Emotional Eating [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PENDAHULUAN Setiap orang secara umum, pasti pernah mengalami masalah dalam hidupnya. Masalah tersebut dapat datang dari berbagai sumber seperti dari keluarga, lingkungan, kesehatan, pekerjaan, kehidupan asmara, pendidikan dan lain-lain. Sebagai manusia, tentu kita menginginkan kehidupan yang baik-baik saja, namun kenyataannya tidak semua berjalan sesuai dengan apa yang direncanakan. Banyaknya masalah yang dihadapi dapat membuat seseorang menjadi tertekan. Banyak cara dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan tekanan antara lain dengan narkoba, berbelanja atau makan. Salah satu cara yang dilakukan adalah makan atau lebih tepatnya adalah upaya pelepasan stress dikaitkan dengan emotional eating. Stress



yang



dialami



secara



terus



menerus



dapat



menyebabkan



menurunnya sistem imun, penyakit kardiovaskular hingga kanker. Pada remaja, peningkatan frekuensi asupan sweet high energy-dense foods atau makanan manis seperti cake, ice cream, chips dan soda berhubungan dengan emotional eating. Pola makan ini yang akan mengakibatkan terjadinya peningkatan berat badan, apabila terjadi terus menerus (Nguyen-Michel, 2007). Perubahan-perubahan selama masa awal masa remaja terjadi dengan pesat, salah satunya adalah meningginya emosi. Keadaan emosi remaja berada pada periode (storm and stress) yaitu suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Adapun meningginya emosi terutama karena para remaja berada di bawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi dan harapan baru. Keadaan ini menyebabkan remaja mengalami kegagalan dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya, sehingga masa remaja sering dikatakan sebagai usia bermasalah (Hurlock, 1999). Usia remaja dengan perubahan 1



emosinya mempunyai kemungkinan mengalami emotional eating, lebih lanjut emotional eating ini akan berdampak pada kelebihan berat badan (overweight).



PEMBAHASAN Menurut Jessor dkk. (dalam Heaven, 1996) masa remaja merupakan periode yang berisiko terhadap kesehatan. Selain itu, menurut Rice & Dolgin (2002) masa remaja adalah periode perkembangan antara masa anak-anak sampai masa dewasa. Lebih lanjut dikemukakan bahwa masa remaja dibedakan menjadi remaja awal, berada pada rentang pada usia 11-14 tahun dan masa remaja tengah dengan rentang usia 15-19 tahun. Pola makan adalah tingkah laku manusia atau kelompok manusia dalam memenuhi kebutuhannya akan makan yang meliputi sikap, kepercayaan dan pemilihan makanan. Sikap orang terhadap makanan dapat bersifat positif dan negatif. Sikap positif atau negatif terhadap makanan bersumber pada nilai-nilai afektif yang berasal dari lingkungan (alam, budaya, sosial dan ekonomi) dimana manusia atau kelompok manusia itu tumbuh. Demikian juga halnya dengan kepercayaan terhadap makanan yang berkaitan dengan nilai-nilai kognitif yaitu kualitas baik atau buruk, menarik atau tidak menarik. Pemilihan adalah proses psikomotor untuk memilih makanan sesuai dengan sikap dan kepercayaannya. Berdasarkan hasil penelitian Frank Gc. yang dikutip oleh Moehyi (1992), mengatakan bahwa ada hubungan antara kebiasaan makan dengan proporsi tubuhnya. Makan siang dan makan malam remaja menyediakan 60% dari intake kalori, sementara makanan jajanan menyediakan kalori 25%. Anak obesitas ternyata akan sedikit makan pada waktu pagi dan lebih banyak makan pada waktu siang dibandingkan dengan anak kurus pada umur yang sama. Anak sekolah terutama pada masa remaja tergolong pada masa pertumbuhan dan perkembangan 2



baik fisik maupun mental serta peka terhadap rangsangan dari luar. Konsumsi makanan merupakan salah satu faktor penting yang turut menentukan potensi pertumbuhan dan perkembangan remaja. Sebagaimana kita ketahui bahwa pola makan adalah perilaku yang ditempuh seseorang dalam memilih, menggunakan bahan makanan dalam konsumsi pangan setiap hari meliputi jenis makanan, jumlah makanan dan frekuensi makanan yang berdasarkan pada faktor-faktor sosial, budaya dimana mereka hidup. Emotional eating adalah pola makan yang dilakukan seseorang bukan untuk kebutuhan fisiologis melainkan karena faktor emosi yang sedang dirasakan. Emotional eating sering dikaitkan dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) yang lebih tinggi atau kelebihan berat badan. Sebuah studi menunjukkan korelasi antara emotional eating dan IMT. Emotional eating berkorelasai positif dengan IMT, semakin tinggi skor emotional eating, semakin tinggi pula skor IMT (Nolan et al., 2010). Penelitian lain juga menunjukkan korelasi yang serupa, emotional eating dan depresi berkorelasi dengan IMT dan lingkar pinggang yang lebih tinggi (Konttinen et.al.,2010). Kelompok overweight mempunyai kecenderungan untuk makan berlebih saat kondisi emosi buruk (Geliebter et.al., 2003). Peningkatan kecemasan dan depresi berhubungan dengan emotional eating dan kehilangan kontrol sehingga akan menyebabkan peningkatan asupan (Goossens, et al.,2009). Dalam buku “CLEAN GUT” yang ditulis oleh Junger (2014) menjelaskan bahwa dalam emotional eating memiliki 4 siklus fase utama, yaitu : 1. The trigger Dimana individu mengalami suatu peristiwa atau situasi yang menyebabkan munculnya respon emotional stress atau rasa sakit seperti rasa kecewa, namun tidak dilampiaskan secara langsung, hanya dipendam. Tipe yang dapat menyebabkan emosional respon ini setap individu berbeda, tergantung pada rasa ketakutan individu masing-masing. 3



2. The Cover Up Ketika merasa tidak nyaman dengan rasa emosional tersebut, mulailah pengalihan rasa kecewa dengan menghindari, seperti mencari kesenangan sesaat untuk menekan perasaan tersebut, misalnya dalam kasus ini pengalihan tersebut dengan makanan. 3. The False Bliss Dimana dari efek tahap the cover up, akan merasa sebuah kenyamanan saat menutupi perasaan rasa kecewa dengan mengkonsumsi makanan misalnya dengan rasa manis dengan sensasi bahwa segala sesuatu akan baik-baik saja. Kenyamanan makanan dikaitkan dengan keinginan untuk menutupi, melupakan perasasaan rasa kecewa untuk sementara waktu. 4. The Hang-over Efek dari rasa nyaman pada tahap the false bliss yang tidak akan bertahan lama, yang pada akhirnya masuk ketahap ini, dimana individu akan merasakan 2 tipe respon yang berbeda, yakni secara fisik dan emosional. Secara fisik, individu akan merasakan efek seperti mual karena mengkonsumsi makanan yang berlebihan. Secara emosional individu akan merasa bersalah karena makan secara berlebihan disaat sedang membatasi makan seperti diet.



Gavin, (2014) menjelaskan ada nya faktor - faktor yang mempengaruhi dalam terjadinya emotional eating, seperti : 1. Stress stres dapat membuat perasaan lapar, bukan hanya dalam pikiran. Ketika stres kronis, seperti perasaan kacau, itu mengarah ke tingkat tinggi hormon stres, kortisol. Kortisol memicu keinginan untuk asin, manis, dan



4



tinggi lemak makanan-makanan yang memberikan ledakan energi dan kesenangan. 2. Stuffing Emotion Makan dapat menjadi cara untuk sementara meredakan emosi yang tidak nyaman, termasuk marah, takut, sedih, cemas, kesepian, kebencian, dan rasa malu.Sementara tidak ada rasanya lapar, namun dalam pikiran fokus untuk mengkonsumsi makanan. 3. Kebosanan atau perasaan hampa Rasa ingin makan dilakukan untuk menghilangkan kebosanan, atau sebagai cara untuk mengisi kekosongan dalam kegiatan dan makanan adalah cara untuk memenuhi keinginan untuk mulut dan waktu. 4. Kebiasaan masa kanak-kanak Pikirkan kembali kenangan masa kecil saat makan.seperti ketika mendapatkan nilai bagus selalu diberikan makanan seperti coklat ataupun permen. Kebiasaan ini berbasis emosional masa kanak-kanak makan sering terbawa hingga dewasa. 5. Pengaruh sosial Menghabiskan waktu bersama-sama dengan orang lain untuk makan adalah cara yang baik untuk menghilangkan stres, tetapi juga dapat menyebabkan makan berlebihan. Sangat mudah untuk terpengaruh hanya karena makanan yang tersedia atau karena orang lain makan.



SIMPULAN Terdapat beberapa factor yang menyebabkan seseorang menjadi emotional eating seperti pengaruh dari hormone kortisol dapat menyebabkan seseorang ingin mengkonsumsi makanan, selain itu seseorang yang sedang dalam keadaan setress dan tertekan juga dapat mengalami pola makan yang buruk atau emotional eating. 5