ESWL [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFERAT Upper Urinary Tract Procedure Ectracorporeal Shockwave litotripsi, Uretrorenoscopi dan Percutaneus nefrolitopaxy



Oleh : Ida Bagus Indra Nugraha Sudewa H1A010036



Pembimbing: dr. Pandu I Sp U



DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN/SMF BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM/RSUP NTB 2014 0



BAB I PENDAHULUAN Upper Urinaray Tract Procedure merupakan prosedur non invasive dan minimal invasive yang digunakan untuk pengobatan saluran genitourinaria bagian atas. Adapun beberapa prosedur yang akan dibahas yakni Ektracorporeal Shock Wave Litotripsi, Uretrorenoscopi, dan Percutaneus nefrolitopaxy. Ketiga prosedur ini merupakan prosedur yang digunaknan untuk mengatasi kejadian batu pada saluran kemih bagian atas. Penyakit batu saluran kemih merupakan sudah dikenal sejak jaman babilonia dan jaman mesir kuno. Sebagai salah satu buktinya adalah ditemukannya batu pada kandung kemih seorang murni. Penyakit ini dapat menyerang penduduk di seluruh dunia tidak terkecuali penduduk di Indonesia. Angka kejadian penyakit ini tidak sama di berbagai belahan bumi. Di negara-negara berkembang banyak dijumpai pasien batu buli- buli sedangkan di negara maju lebih banyak dijumpai batu saluran kemih bagian atas, hal ini karena adanya pengaruh status gizi dan aktivitas pasien sehari hari. Di amerika serikat 5- 10 % penduduknya menderita penyakit ini, sedangkan di seluruh dunia rata-rata terdapat 1-12 % penduduk yang menderita batu saluran kemih. Penyakit ini merupakan penyakit ketiga terbanyak disampaing infeksi saluran kemih dan pembesaran prostat benigna.( Basuki,2011) Sekarang telah dikembangkan beberapa metode medikamentosa non invasive dan minimal invasive dalam memcah batu saluran kemih bagian atas tanpa pembedahan yaitu dengan prosedure ESWL( extracorporeal



shock wave litotripsi) yaitu dengan energi kejut listrik ,



URS( uretrorenoskopi) dengan endoskopi yang dimasukkan melalui uretra



dan PCNL



( percutaneus nefrolitopaxy)



1



BAB II



TINJAUAN PUSTAKA 2.1



ESWL ( Ekstracorporeal Shock Wave Lithotripsy ) Extracorporeal Shockwave Lithotripsy (ESWL) adalah prosedur dimana batu ginjal dan ureter dihancurkan menjadi fragmen–fragmen kecil dengan menggunakan gelombang kejut. Fragmen kecil ini kemudian dapat keluar secara spontan. Terapi non-invasif ini membuat pasien terbebas dari batu tanpa pembedahan ataupun endoskopi.



2.1.1 Teknologi Mesin ESWL Dornier HM3 (Human Model 3) adalah prototip mesin ESWL pertama yang dirancang oleh Christian Chaussy dari Jerman, dan menjadi standar pembanding untuk mesin-mesin baru. Mesin ini menggunakan generator gelombang kejut spark-gap. Pasien dan dan generator ditempatkan pada sebuah bak air, sehingga gelombang kejut dengan mudah melalui air serta jaringan dan terarah pada batu. Lokalisasi dilakukan menggunakan fluoroskopi biplanar. Dalam perkembangannya, dilakukan modifikasi untuk mengurangi penggunaan anestesi, lokalisasi batu lebih akurat, dan meningkatkan efektivitas. Bak air yang digunakan oleh Dornier HM3 digantikan oleh generator kecil dan kasur air. Dengan desain baru ini, pasien dapat diterapi dalam berbagai posisi yang membantu lokalisasi dan maksimalisasi efek. Generator elektromagnetik merupakan generator yang banyak digunakan saat ini. Alat ini memiliki zona fokus lebih kecil dari Dornier HM3 dan lebih 2



sedikit menggunakan anestesi. Pada mesin generasi baru juga dijumpai kombinasi ultrasonik dan fluoroskopi. 4 Semua mesin litotripsi tersusun atas 4 komponen dasar : (1) sumber energi (generator gelombang kejut), (2) focusing system, (3) pencitraan atau unit lokalisasi, dan (4) mekanisme coupling. a. Generator gelombang kejut Semua generator gelombang kejut didasari oleh prinsip geometri elips. Gelombang kejut dibuat pada titik fokus pertama dari ellipsoid (F1 dalam separuh elips) dan dikirim ke titik fokus kedua (F2) pada pasien. Zona fokus adalah daerah pada F2 dimana gelombang kejut terkonsentrasi. Terdapat 3 teknik yang digunakan untuk membangkitkan gelombang kejut, yaitu elektrohidrolik, pizoelektrik dan energi elektromagnetik b. Focusing system Semua litotriptor gelombang kejut memiliki sebuah focusing system yang mengkonsentrasikan dan mengarahkan energi gelombang kejut ke batu, yaitu pada F2, sehingga batu hancur menjadi fragmen. Sistem elektrohidrolik menggunakan prinsip dari elips untuk mengarahkan energi yang di buat dari elektroda spark-gap. Pada sistem pizoelektrik, kristal diatur pada lempeng hemisfer, sehingga energi yang dihasilkan diarahkan pada satu titik pusat. Sistem elektromagnetik menggunakan lensa akustik atau reflektor silindris untuk memfokuskan gelombang. c. Sistem lokalisasi Pencitraan Dikerjakan untuk melokalisasi batu dan mengarahkan gelombang kejut pada batu. Selama terapi, pencitraan tetap dilakukan dengan tujuan untuk membantu meyakinkan gelombang kejut ditembakkan pada arah yang tepat. Terdapat dua metode yang digunakan untuk melokalisasi batu, yaitu fluoroskopi dan ultrasound. Fluoroskopi memiliki keuntungan yaitu dapat mengidentifikasi batu renal dan ureter dan dapat membantu menghitung perpindahan fragmen. Kerugian fluoroskopi adalah penggunaan radiasi ion dan ketidakmampuan untuk memvisualisasikan batu radiolusen atau radioopak minimal. d. Mekanisme coupling Sistem coupling dibutuhkan untuk menyalurkan energi yang dihasilkan oleh generator dan gelombang tekanan pada permukaan kulit, yang kemudian akan 3



menembus jaringan tubuh untuk mencapai batu. Dahulu hal ini dilakukan dengan menempatkan pasien pada bak mandi besar (Dornier HM3, generasi ke-1).. . 2.1.2 Indikasi ESWL a. Penggunaan ESWL untuk Batu Ureter Berdasarkan pedoman dari AUA, ESWL merupakan pilihan terapi untuk batu ureter distal maupun proksimal, namun tidak untuk batu ureter tengah. Sedangkan pedoman dari EAU lebih rinci menguraikan bahwa ESWL in situ merupakan pilihan pertama terapi untuk batu radioopak, batu infeksi dan batu sistin semua ukuran di ureter proksimal; batu radioopak, urat, batu infeksi dan sistin semua ukuran di ureter tengah; serta batu radioopak, urat, batu infeksi dan sistin semua ukuran di ureter distal, ureter tengah. Terdapat kontroversi dalam hal terapi mana yang terbaik untuk batu ureter, terutama batu ureter distal, apakah ESWL atau URS. b. Penggunaan ESWL untuk batu ginjal Tujuan tatalaksana batu ginjal adalah untuk mencapai bersihan batu maksimal (dinyatakan dengan angka bebas batu) dengan morbiditas minimal. Dalam memilih pendekatan terapi , beberapa faktor harus dipertimbangkan, yaitu faktor batu, anatomi ginjal, serta pasien. Faktor-faktor tersebut akan diuraikan sebagai berikut. Tabel 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi tatalaksana batu ginjal. Batu Ukuran Jumlah Komposisi



Anatomi ginjal Obstruksi/ stasis Hidronefrosis Obstruksi uretropelvic



Lokasi Primer / residif



junction Divertikel kaliks Ginjal tapal kuda



Pasien (klinis) Infeksi Obesitas Deformitas habitus tubuh



Anak-anak dan orangtua atau Hipertensi dan gagal ginjal



anomali ektopik Batu berukuran diameter 2cm paling baik diterapi dengan teknik endoskopi. El-Anany melakukan uji klinis terhadap 30 pasien dengan batu ginjal >2cm yang diterapi dengan laser holmium melalui ureteroskop. Keberhasilan didefinisikan sebagai fragmentasi total mencapai 3cm, terapi membutuhkan 135 (75-160) menit dan sukses pada tiga pasien. Semakin kecil beban



batu, semakin besar kesuksesan dan



semakin sedikit waktu yang



dibutuhkan. Kesimpulan dari studi ini adalah bahwa terapi batu ginjal menggunakan ureteropieloskopik merupakan terapi invasif minimal dibandingkan PNL dan operasi terbuka, aman serta efektif untuk batu pelvis besar. 2.1.3 Kontradindikasi ESWL a. Kontraindikasi Absolut Kontra indikasi absolut adalah : infeksi saluran kemih akut, gangguan perdarahan yang tidak terkoreksi, kehamilan, sepsis serta obstruksi batu distal. Mengenai kehamilan, Asgari et al, melakukan studi kasus kontrol dari data sekunder terhadap 824 wanita usia reproduksi dengan batu ginjal yang menjalani terapi ESWL (Dornier HM3). Dari jumlah tersebut, enam wanita sedang mengalami kehamilan bulan pertama saat menjalani ESWL. Sebelum ESWL, keenam pasien pernah melahirkan bayi cukup bulan tanpa malformasi. Follow-up terhitung sejak sesi terakhir ESWL adalah 32,1 (10-58) bulan. Rata-rata jumlah gelombang kejut yang diberikan adalah 2850 (8006300), sedangkan rata-rata ukuran batu adalah 12 (5-18) mm. Keenam wanita tersebut melahirkan bayi tanpa malformasi ataupun anomali kromosom. Studi ini menyimpulkan bahwa ESWL dengan tuntunan ultrasound untuk batu ginjal tampaknya aman pada wanita hamil. Namun, jumlah pasien yang lebih besar dengan studi prospektif dibutuhkan untuk



5



menilai efek jangka panjang; studi ini tidak menyarankan litotripsi sebagai terapi batu ginjal untuk wanita hamil. 13 Frankenschmidt melaporkan kasus seorang wanita 28 tahun, hamil 25 minggu dengan nyeri pinggang kanan. Ultrasound menunjukkan dilatasi sistem pengumpul ginjal kiri dan ureter proksimal, terdapat batu berukuran 16x5 mm di ureter proksimal. Upaya mendorong batu dengan stent tidak berhasil dan pasien mengalami serangan kolik berulang yang tidak reda dengan narkotik parenteral, oleh karena itu dianjurlkan nefrostomi perkutan. Namun, ketika pasien dijelaskan mengenai risiko perdarahan, infeksi, pergeseran tube dan oklusi serta kemungkinan diversi ureter, sehingga pasien meminta dilakukan ESWL. Dari pemeriksaan didapatkan jarak yang cukup (11 cm) antara batu/fokus dan uterus, kemudian dilakukan ESWL pizoelektrik dengan penuntun ultrasound. Batu berhasil dihancurkan dan fragmen keluar spontan tanpa kolik. Untuk menghindari steinstrasse, dimasukkan Double J stent selama 3 minggu.14 b. Kontraindikasi Relatif untuk terapi ESWL adalah : 1. Status mental, meliputi kemampuan untuk bekerja sama dan mengerti prosedur 2. Berat badan > 300 lb (150 kg) tidak memungkinkan gelombang kejut mencapai batu, karena jarak antara F1 dan F2 melebihi spesifikasi lithotriptor. Pada pasien seperti ini sebaiknya dilakukan simulasi lithotriptor terlebih dahulu . 3. Pasien dengan deformitas spinal atau orthopedik, ginjal ektopik dan atau malformasi ginjal (meliputi ginjal tapal kuda) mungkin mengalami kesulitan dalam pengaturan posisi yang sesuai untuk ESWL. Selain itu, abnormalitas drainase intrarenal dapat menghambat pengeluaran fragmen yang dihasilkan oleh ESWL 4. Masalah paru dan jantung yang sudah ada sebelumnya dan dapat diatasi dengan anestesi 5. pasien dengan pacemaker aman diterapi dengan ESWL, tetapi dengan perhatian dan pertimbangan khusus. 6. pasien dengan riwayat hipertensi kaena telah ditemukan peningkatan insiden hematom perianal pasca terapi. 7. pasien dengan gangguan gastrointestinal, karena dapat mengalami eksaserbasi pasca terapi walaupun jarang terjadi. 6



2.1.4 Prosedur ESWL Bila seseorang telah ditentukan memenuhi indikasi ESWL dan memberikan informed consent, maka perlu dilakukan pemeriksaan pra ESWL sebagai berikut: 1.



Laboratorium Pemeriksaan laboratorium berikut dilakukan sebelum terapi untuk memastikan bahwa pasien tidak menderita infeksi saluran kemih ataupun gangguan perdarahan a.



Fungsi ginjal : kreatinin serum



b.



Analisis urin, kultur urin –



c.



Hitung darah lengkap, prothrombin time (PT) dan activated parsial thromboplastin time (APTT)



2.



Pencitraan – a. Pielografi intravena b. ultrasonografi ginjal – c. CT scan non kontras



3. Pemeriksaan lain - EKG pada pasien berusia > 50 tahun 2.1.5 Komplikasi Berikut ini merupakan komplikasi yang mungkin terjadi akibat terapi ESWL. Komplikasi Ginjal. 1. Hematoma perinefrik, subkapsular dan intranefrik, yang dapat mengakibatkan nyeri hebat, ileus dan syok/hipotensi. 2. Hematuria. Ini terjadi pada sebagian besar pasien dan hilang dalam beberapa jam sampai beberapa hari. Kadang-kadang terjadi banyak bekuan darah sehingga memerlukan pencitraan segera untuk mencari sumber retroperitoneal dan atau renal. 3. Sepsis. Hal ini jarang terjadi bila urin preoperatif steril. 4. Steinstrasse. Jika asimtomatik dan tidak menimbulkan obstruksi, pasien dimonitor dengan pencitraan berkala. Jika terjadi obstruksi, infeksi, gejala klinis, maka sebaiknya dilakukan nefrostomi perkutaneus atau ureteroskopi dengan stenting. Hipertensi. Hal ini jarang terjadi, kemungkinan akan lebih besar bila terbentuk hematom perinefrik yang besar. Elves melakukan uji klinis acak terkontrol mengenai efek ESWL terhadap tekanan arah. Sebanyak 228 pasien dengan batu kaliks kecil (2 cm, dengan angka bebas batu sebesar 89%, lebih tinggi dari angka bebas batu bila dilakukan ESWL yaitu 43%.1,6 2. Batu kaliks ginjal, terutama batu kaliks inferior dengan ukuran 2 cm, dengan angka bebas batu 90% dibandingkan dengan ESWL 28,8%. Batu kaliks superior biasanya dapat diambil dari akses kaliks inferior sedangkan untuk batu kaliks media seringkali sulit bila akses berasal dari kaliks inferior sehingga membutuhkan akses yang lebih tinggi.1,6 3. Batu multipel, pernah dilaporkan kasus batu multipel pada ginjal tapal kuda dan berhasil diekstraksi batu sebanyak 36 buah dengan hanya menyisakan 1 fragmen kecil pada kalis media posterior. 4. Batu pada ureteropelvic junction dan ureter proksimal. Batu pada tempat ini seringkali impacted dan menimbulkan kesulitan saat pengambilannya.Untuk batu ureter proksimal yang letaknya sampai 6 cm proksimal masih dapat dijangkau dengan nefroskop, namun harus diperhatikan bahaya terjadinya perforasi dan kerusakan ureter, sehingga teknik ini direkomendasikan hanya untuk yang berpengalaman. 5 Batu ginjal besar PCNL bada batu besar terutama staghorn membutuhkan waktu operasi yang lebih lama, mungkin juga membutuhkan beberapa sesi operasi, dan harus diantisipasi kemungkinan adanya batu sisa. Keberhasilan sangat berkaitan dengan pengalaman operator. 6 Batu pada solitary kidney. Batu pada solitary kidney lebih aman diterapi dengan PCNL dibandingkan dengan bedah terbuka. 4.1.3 Kontraindikasi Hanya ada satu kontraindikasi absolut PCNL yaitu pada pasien yang memiliki kelainan perdarahan atau pembekuan



14



4.1.4 Persiapan dan teknik PCNL Secara umum teknik PCNL mencakup tahap prosedur yaitu : akses ginjal perkutan, dilatasi, fragmentasi dan ekstrasi batu setra drainase. 4.1.4.1 Persiapan pasien Persiapan meliputi anamnesis lengkap riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Kontraindikasi absolut terhadap tindakan PCNL perlu diidentifikasi sebelum tindakan, yaitu: koagulopati dan infeksi saluran kemih yang aktif serta belum diterapi. Penggunaan obat-obatan antikoagulan harus dihentikan minimal 7 hari sebelum tindakan. Pemeriksaan penunjang yang dianjurkan adalah darah tepi, fungsi ginjal, elektrolit, dan kultur urin.1 4.1.4.2 Alat dan Perlengkapan Kelengkapan yang dibutuhkan dalam tindakan PCNL adalah:1 Ultrasound, flouroskopi, jarum pungsi 18G translumbar angiography, guide wire, Metallic dilator cannula 9 F dengan metal sheath 11 F (Karl Storz Endoscopes,® Germany), Metal telescope dilators dengan hollow guide rod (9-24 F, Karl Storz), rigid nephroscopes 18 F and 26 F(6°telescope, Karl Storz®), lithotriptor, stone forceps,folley catheter 16F, bila diperlukan selang nefrostomi, ureter kateter no 5Fr, dan DJ stent. Sedangkan bahan-bahan yang perlu disiapkan adalah: cairan irigasi NaCl 0,9%, kontras, metillen blue, dan benang jahit. 4.1.4.3 Posisi Pasien Sebelum dimulai tindakan PCNL dilakukan pemasangan kateter ureter dalam posisi litotomi, kemudian posisi pasien dirubah menjadi tengkurap. PCNL dikerjakan dalam posisi pasien tengkurap dengan sisi ginjal yang akan dikerjakan diposisikan lebih tinggi 30 derajat. Posisi tersebut menjamin ventilasi pasien tetap baik dan membuat kaliks posterior berada pada posisi vertikal sehingga membantu pada saat melakukan pungsi.1,4 4.1.5 Komplikasi 1. Perdarahan Perdarahan sering terjadi pada tindakan PCNL. Dilaporkan oleh Kessaris et al. dikutip



dari 23 tahun 1995, angka kejadian perdarahan yang tidak terkontrol dan 15



membutuhkan penanganan embolisasi mencapai 0,8% dari 2200 kasus. Peningkatan risiko perdarahan terutama dihubungkan dengan pungsi kaliks media, pungsi multipel, pungsi pada ginjal yang memiliki struktur anatomi abnormal, dan pada pasien dalam medikasi antikoagulan atau antiplatelet. Pada kebanyakan kasus perdarahan, transfusi tidak diperlukan dan cukup dengan tatalaksana konservatif. Perdarahan akut pada tindakan PCNL disebabkan trauma pada pembuluh darah parenkim ginjal atau pada cabang-cabang dari arteri dan vena di sistem pelviokaliks. Perdarahan akut biasanya dapat dihentikan oleh sheath PCNL yang menimbulkan efek tamponade. Setelah tindakan PCNL selesai, selang nefrostomi ukuran besar dapat menghentikan perdarahan. Bila perdarahan masih berlangsung, perlu dilakukan pemasangan selang nefrostomi balon kateter ukuran besar yang dapat dikembangkan, atau bila gagal dengan teknik embolisasi. Adapun tindakan yang dapat mengurangi perdarahan antara lain penggunaan dilator balon dan miniperc. 2. Trauma pada pelvis renalis Perforasi pada pelvis renalis biasanya terdiagnosis intraoperatif. Penyebab perforasi yang paling sering adalah dilatasi yang terlalu agresif serta tindakan percutaneus lithotripsy. Lithotripsy dengan menggunakan alat mekanik seperti ultrasound rigid atau probe pneumatic dapat juga menimbulkan perforasi pelvis. Adanya infeksi dan inflamasi dapat membuat pelvis renalis menjadi lebih rapuh dan mudah mengalami perforasi, adanya kinking dan angulasi pada polebawah ginjal juga meningkatkan risiko perforasi. Bila terjadi perforasi maka irigasi diperlambat, cairan irigasi diubah menjadi normal saline, serta dilakukan evaluasi apakah prosedur dapat diteruskan atau tidak. Bila prosedur dihentikan perlu dipasang stent ureter dan selang nefrostomi. Antegrade nefrostogram hendaknya dikerjakan sebelum PCNL sekunder dilakukan atau sebelum pencabutan nefrostomi atau stent ureter. 3. Trauma rongga pleura Risiko terjadinya trauma paru atau rongga pleura meningkat dengan dilakukannya pungsi superior. Pungsi yang dilakukan saat akhir inspirasi meningkatkan risiko komplikasi intratoraks. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain: pneumotoraks (0-4%) dan efusi pleura (0-8%). Postoperatif sebaiknya dilakukan rontgen toraks di ruang pemulihan untuk menyingkirkan hidrotoraks atau pneumotoraks pada pasien-pasien yang 16



menjalani pungsi interkostal. Bila terjadi komplikasi pleura maka dapat diatasi dengan pemasangan chest tube.2 4. Perforasi usus Perforasi kolon adalah komplikasi PCNL yang jarang terjadi, kurang dari 1%. Hadar dan Gadoth tahun 1984 melaporkan penemuan retrorenal kolon sebanyak 0.6% kasus. Retrorenal kolon sering terdapat pada pasien wanita yang kurus. Pasien dengan kelainan anatomi ginjal dan pasien pasien yang pernah menjalani operasi usus memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya perforasi kolon jika dilakukan PCNL. Penggunaan CT guided nefrostomi atau pemeriksaan CT preoperatif dapat digunakan sebagai guide pada kasus-kasus di atas. Diagnosis perforasi kolon dipertimbangkan apabila terdapat hematoschezia intraoperatif, peritonitis, sepsis, atau drainase berupa gas atau feses dari selang nefrostomi. Perforasi kolon seringkali asimtomatik dan baru bergejala pasca operasi



yang



dapat



ditegakkan



dengan



nefrostografi



pascaoperasi.



Perforasi



esktraperitoneal dapat ditatalaksana secara konservatif dengan pemasangan DJ stent dan pencabutan nefrostomi, pemberian antibiotik spektrum luas, serta kolonografi 7-10 hari kemudian.Eksplorasi bedah dilakukan pada kasus perforasi intraperitoneal atau jika terdapat tanda-tanda peritonitis dan sepsis.Perforasi duodenum dapat juga terjadi pada tindakan PCNL kanan dan biasanya diterapi secara konservatif dengan pemasangan selang nefrostomi dan NGT. 5.



Trauma Hepar dan limfa Trauma hepar dan limpa biasanya terjadi pada kasus splenomegali atau hepatomegali. Penggunaan CT-guide dapat mengurangi risiko trauma pada kasus di atas. Pada kasus trauma limpa seringkali membutuhkan tatalaksana eksplorasi, sedangkan pada kasus trauma hepar tatalaksana adalah secara konservatif dan jarang diperlukan eksplorasi Bedah



6. Sepsis Disarankan semua pasien sebelum menjalani prosedur PCNL memiliki hasil kultur urin dan diberikan antibiotik sesuaikultur agar urin steril. Sepsis pasca PCNL dilaporkan sebanyak 0,25-1,5%.



17



.



DAFTAR PUSTAKA



18



American Urological Association. (2005). AUA Guideline on the Management of Staghorn Calculi: Diagnosis and Treatment Recommendations. Dhinakar. (2007). A Retrospective Study of Ureteroscopy Performed at the Sultan Qaboos Hospital, Salalah from August 2001 –August 2006 vol. 22. Oman Medical Journal. Michael Grasso III, MD Professor and Vice Chairman.2014 Extracoporeal Shock Wave Litotripsi Department of Urology, New York Medical College; Director, Living Related Kidney Transplantation, Westchester Medical Center; Director of Endourology, Lenox Hill Hospital Available from http://emedicine.medscape.com/article/444554-overview Satar. (1998). Flexible Ureterorenoscopy For The Treatment Of Refractory Upper Urinary Tract Stones. BJU International. Sjamsuhidajat R, Wim de Jong. (2010). Buku Ajar Ilmu Bedah Ed. 3th. ECC : Jakarta Basuki, P., (2011). Dasar-dasar Urology. Ed. 3th. Sagung Seto : Malang Subhani et, al. (2007). Role Of Ureterorenoscopy In Bypassing The Ureter Obstruction vol.1. Departement of Urologi and Renal Transplant Allied Hospital, Punjab Medical Collage Faisalabad. Tanagho, A. Emil & Mc.Anich, W. Jack. (2008). Smith General Urology 17th Edition. The McGraw-Hill Companies : United States. Taufique dan Bagely. (2005). Effect Of Tamsulosin On The Number And Intensity Of Ureteral Colic In Patients With Lower Ureteral Calculus. International J Urology. Tiselius HG et al. (2001). Guidelines of urolithiasis. European Association of Urology (EAU). Walsh, C. Patrick, (2002), Study Guide Campbell Urology Second Edition. W. B. Saunders : Philadelphia. Wein, J. Alan, (2012), Campbell-Walsh Urology Tenth Edition Volume Two. Elsevier : Philadelphia. Yahya, F, (2012, 9 Mei), Uretrorenoskopi, di akses dari : http://www.rspkujogja.com/beritaartikel/berita/159-ureterorenoscopy-urs (Akses tanggal 12 November 2013) 19



20