Etika Dalam Bisnis Global [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ETIKA DALAM BISNIS GLOBAL Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Etika Bisnis dan Profesi



Oleh: Zuhrotul Munawaroh



145020300111035



Marizya Rukhma S



145020300111040



Dian Ayu Nurfitriana



145020307111015



JURUSAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS BRAWIJAYA APRIL 2017



ETIKA DALAM BISNIS INTERNASIONAL Berulang kali dapat kita dengar bahwa kini kita hidup dalam era globalisasi ekonomi: kegiatan ekonomi mencakup seluruh dunia, sehingga hampir semua negara tercantum dalam “pasar” sebagaimana dimengerti sekarang dan merasakan akibat pasang surutnya pasar ekonomis. Gejala globalisasi ekonomi ini bisa berakibat positif maupun negatif. Disatu pihak globalisasi dapat meningkatkan rasa persaudaraan dan kesetiakawanan antara bangsa-bangsa dan dengan demikian melanjutkan tradisi perdagangan internasional sejak dulu. Di lain pihak, gejala yang sama bisa berakhir dalam suasan konfrontasi dan permusuhan, kerna mengakibatkan pertentangan ekonomi dan perang dagang, melihat kepentingan-kepentingan raksasa yang di pertaruhkan di situ. Internasionalisasi bisnis yang semakin mencolok sekarang ini menampilkan juga aspek etis yang baru. Tidak mengherankan jika terutama tahun-tahun terakhir ini diber perhatian khusus kepada aspek-aspek etis dalam bisnis internasional. Dalam bab ini akan dibaha beberapa masalah moral yang khusus berkaitan dengan bisnis pada taraf internasional. J Norma-Norma Moral yang Umum Pada Taraf Internasional? Richard De George menjelaskan bahwa terdapat tiga hal yang harus kita lakukan jika di bidang bisnis norma-norma moral di negara lain berbeda dengan norma-norma yang kita anut, yaitu: 1. Menyesuaikan diri Seperti peribahasa Indonesia: “Dimana bumi berpijak, disana langit dijunjung”. Maksudnya adalah kalau sedang mengadakan kegiatan ditempat lain bisnis harus menyesuaikan diri dengan norma-norma yang berlaku di tempat itu. Diterapkan di bidang moral, pandangan ini mengandung relativisme ekstrem. 2. Rigorisme moral Yang di maksud dengan rigorisme moral adalah mempertahankan kemurnian etika yang sama seperti di negeri sendiri. De George mengatakan bahwa perusahaan di luar negeri hanya boleh melakukan apa yang boleh dilakukan di negaranya sendiri dan justru tidak boleh menyesuaikan diri dengan norma etis yang berbeda di tempat lain. Kebenaran yang dapat ditemukan dalam pandangan rigorisme moral ini adalah bahwa kita harus konsisten dalam perilaku moral kita. Norma-norma etis memang bersifat umum. Yang buruk di satu tempat tidak mungkin menjadi baik dan terpuji di tempat lain. 3. Imoralisme naif



Menurut pandangan ini, dalam bisnis internasional tidak perlu kita berpegang pada normanorma etika. Memang kita harus memenuhi ketentuan-ketentuan hukum tetapi selain itu, kita tidak terikat oleh norma-norma moral. Malah jika perusahaan terlalu memperhatikan etika, ia berada dalam posisi yang merugikan, karena daya saingnya akan terganggu. Perusahaanperusahaan lain yang tidak begitu scrupulous dengan etika akan menduduki posisi yang lebih menguntungkan. Sebagai argumen untuk mendukung sikap itu sering dikemukakan: “semua perusahaan melakukan hal itu”. J Masalah “Dumping” Dalam Bisnis Internasional Yang dimaksudkan dengan dumping adalah menjual sebuah produk dalam kuantitas besar di suatu negara lain dengan harga dibawah harga pasar dan kadang-kadang malah di bawah biaya produksi. Yang akan merasa keberatan terhadap praktek dumping ini bukannya para konsumen, melainkan para produsen dari produk yang sama di negara di mana dumping dilakukan. Dumping produk bisa diadakan dengan banyak motif yang berbeda. Salah satu motif adalah bahwa si penjual mempunyai persediaan terlalu besar, sehingga ia memutuskan untuk menjual produk bersangkutan di bawah harga saja. Motif lebih jelek adalah berusaha untuk merebut monopoli dengan membanting harga. Praktek dumping produk itu tidak etis karena melanggar etika pasar bebas. Sebagaimana doping dalam perlombaan olah raga harus dianggap kurang etis karena merusak kompetisi yang fair, demikian juga praktek seperti dumping menghancurkan kemungkinan bagi orang bisnis untuk bersaing pada taraf yang sama. Kalau dilakukan dengan maksud merebut monopoli, dumping menjadi kurang etis juga karena merugikan konsumen. Akan tetapi, tidak etis pula bila suatu negara menuduh negara lain mempraktekkan dumping, padahal maksudnya hanya melindungi pasar dalam negerinya. Jika negara lain bisa memproduksi sesuatu dengan harga lebih murah, karena cara produksinya lebih efisien atau karena bisa menekan biaya produksi, kenyataan ini harus diterima oleh negara lain. Misalnya jika negara berkembang sanggup memproduksi pakain jadi dengan lebih murah karena biaya produksinya kurang dikarenakan upah karyawan yang relatif kecil, hal itu tidak boleh dinilai sebagai dumping. Tidak etis bila menuduh dumping semata-mata menjadi kedok untuk menyingkirkan saingan dari pasar. Melanjutkan perbandingan tadi, sebagaimana kita memiliki metode-metode yang objektif dan pasti untuk membuktikan adanya bpraktek doping dalam bidang olah raga, demikian juga kita membutuhkan prosedur yang jelas untuk memastikan adanya dumping. Kita



membutuhkan suatu instansi supranasional yang sanggup bertindak dan sekaligus diakui sebagai wasit yang objektif. Tetapi dalam situasi dunia sekarang instansi seperti itu belum dimungkinkan. Dalam rangka Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) telah dibuat sebuah dokumen tentang dumping, tetapi hanya sebagai model untuk membuat peraturan hukum di negara-negara anggotanya. J Aspek-Aspek Etis Dari Korporasi Multinasional Yang dimaksud dengan korporasi multinasional adalah perusahaan yang mempunyai investasi langsung dalam dua negara atau lebih. Jadi perusahaan yang mempunyai hubungan dagang dengan luar negeri, dengan demikian belum mencapai status korporasi multinasional (KMN), tetapi perusahaan yang memiliki pabrik di beberapa negara termasuk di dalamnya. Kita semua mengenal KMN seperti Coca-Cola, Johnson & Johnson, AT & T, General Motors, IBM, Mitsubishi, Toyota, Sony, Philips, Unilever yang mempunyai kegiatan di seluruh dunia dan menguasai nasib jutaan orang. Karena memiliki kekuatan ekonomis yang sering kali sangat besar dan karena beroperasi di berbagai tempat yang berbeda dan sebab itu mempunyai mobilitas tinggi, KMN menimbulkan masalah-masalah etis sendiri. Di sini kita membatasi diri pada masalahmasalah yang berkaitan dengan negara-negara berkembang. Tentu saja, negara-negara berkembang sudah mengambil berbagi tindakan untuk melindungi diri. Misalnya, mereka tidak mengijinkan masuk KMN yang bisa merusak atau melemahkan suatu industri dalam negeri. Beberapa negara berkembang hanya mengijinkan KMN membuka suatu usaha di wilayahnya, jika mayoritas saham (sekurang-kurangnya 50,1%) berada dalam tangan warga negara setempat. Karena kekosongan hukum pada taraf internasional, kesadaran etis bagi KMN lebih mendesak lagi. De George merumuskan sepuluh aturan etis yang dianggap paling mendesak dalam konteks ini. Tujuh norma pertama berlaku untuk semua KMN, sedangkan tiga aturan terakhir terutama dirumuskan untuk industri berisiko khusus seperti pabrik kimia atau instalasi nuklir. Sepuluh aturan itu adalah: 1. Korporasi Multinasional tidak boleh dengan segaja mengakibatkan kerugian langsung. Dengan sengaja mengakibatkan kerugian bagi orang lain selalu merupakan tindakan yang tidak etis, kecuali dalam beberapa kasus eksepsional seperti bela-diri, bila ada alasan khusus untuk merugikan (malah membunuh) orang lain. 2. Korporasi Multinasional harus menghasilkan lebih banyak manfaat daripada kerugian bagi negara di mana mereka beroperasi.



Tidak cukup bila KMN tidak melakukan hal-hal yang jelek di negara lain, perlu juga ia melakukan sesuatu yang baik dan yang baik itu harus melebihi yang jelek. 3. Dengan kegiatannya, Korporasi Multinasional itu harus memberi konstribusi kepada pembangunan negara di mana ia beroperasi. KMN harus bersedia melakukan alih teknologi dan alih keahlian. 4. Korporasi Multinasional harus menghormati Hak Asasi Manusia dari semua karyawannya. Norma ini perlu disebut secara eksplisit. Terutama tentanng upah dan kondisi kerja, di banyak negara berkembang HAM para pekerja dilanggar dengan membayar upah di baah upah minimum, mempekerjakan anak, atau mempraktikkan diskriminasi karena alasan agama, ras, gender, atau sebagainya. 5. Sejauh kebudayaan setempat tidak melanggar norma-norma etis, Korporasi Multinasional harus menghormati kebudayaan lokal itu dan bekerja sama dengannya, bukan menentangnya. KMN akan merugikan negara di mana ia beroperasi, jika ia tidak menghormati kebudayaan setempat. 6. Korporasi Multinasional harus membayar pajak yang “fair”. Setiap perusahaan harus membayar pajak menurut tarif yang telah ditentukan dalam suatu negara. 7. Korporasi Multinasional harus bekerja sama dengan pemerintah setempat dalam mengembangkan dan menegakkan “background institutions” yang tepat. Yang dimaksudkan dalam hal ini adalah lembaga-lembaga yang mengatur serta memperkuat kegiatan ekonomi dan industri di suatu negara, seperti dinas perpajakan, bea cukai, instansi pengawas keselamatan dan kesehatan kerja, serikat buruh, perlindungan hak asasi, peraturan pemerintah yang tepat, dan sebagainya. 8. Negara yang memiliki mayoritas saham sebuah perusahaan harus memikul tanggung jawab moral atas kegiatan dan kegagalan perusahaan tersebut. Norma ini mengatakan bahwa dalam kasus pertanggung-jawaban kecelakaan dalam pabrik milik KMN, tanggung jawab moral harus dipikul oleh pemilik mayoritas saham. 9. Jika suatu Korporasi Multinasional membangun pabrik yang berisiko tinggi, ia wajib menjaga supaya pabrik itu aman dan dioperasikan dengan aman. Membangun sebuah pabrik dan setelah itu lepas tangan berarti merugjan pihak lain, sama seperti produsen yang membuat produk yang berbahaya, lalu tidak mau bertanggung jawab atas akibatnya. 10. Dalam mengalihkan teknologi berisiko tinggi kepada negara berkembang, Korporasi Multinasional wajib merancang kembali sebuah teknologi demikian rupa, sehingga dapat dipakai dengan aman dalam negara baru yang belum berpengalaman.



Menurut norma ini, prioritas harus diberikan kepada keamanan. Kalau mungkin, teknologi harus dirancang sesuai dengan kebudayaan dan kondisi setempat, sehingga terjamin keamanan optimal. J Masalah Korupsi Pada Taraf Internasional Korupsi dalam bisnis tentu tidak hanya terjadi pada taraf internasional, namun perhatian yang diberikan kepada masalah korupsi dalam literatur etika bisnis terutama diarahkan kepada konteks internasional. Masalah korupsi dapat menimbulkan kesulitan moral besar bagi bisnis internasional, karena di negara satu bisa saja dipraktekkan apa yang tidak mungkin diterima di negara lain. Berdasarkan pemikiran De George, terdapat empat alasan mengapa praktek suap harus dianggap tidak bermoral. Alasan pertama dan paling penting adalah bahwa praktek suap itu melanggar etika pasar. Kalau kita terjun dalam dunia bisnis yang didasarkan pada prinsip ekonomi pasar, dengan sendirinya kita mengikat diri untuk berpegang pada aturan-aturan mainnya. Pasar ekonomi merupakan kancah kompetisi yang terbuka. Hal itu mengakibatkan antara lain bahwa harga produk merupakan buah hasil dari pertarungan daya-daya pasar. Dengan praktek suap, dayadaya pasar dilumpuhkan dan para pesaing mempunyai produk sama baik dengan harga lebih menguntungkan, tidak sedikit pun dapat mempengaruhi proses penjualan. Karena itu baik yang memberi suap maupun yang menerimanya berlaku kurang fair terhadap orang bisnis lain. Pasar yang didistorsi oleh praktek suap adalah pasar yang tidak efisien. Karena praktek suap itu, pasar tidak berfungsi seperti semestinya. Alasan kedua adalah bahwa orang yang tidak berhak, mendapatkan imbalan juga. Dalam sistem ekonomi kita, mereka yang bekerja atau berjasa mendapat imbalan. Alasan ketiga berlaku untuk banyak kasus suap di mana uang suap diberikan dalam keadaan kelangkaan. Misalnya, dalam keadaan kekurangan kertas seorang penerbit mendapatkan persediaan kertas baru dengan memberi uang suap. Pembagian barang langka dengan menempuh praktek suap mengakibatkan bahwa barang itu diterima oleh orang yang tidak berhak menerimanya, sedangkan orang lain yang berhak menjadi tidak kebagian. Hal ini jelas bertentangan dengan asas keadilan. Alasan terakhir adalah bahwa praktek suap mengundang untuk melakukan perbuatan tidak etis dan ilegal lainnya. Baik perusahaan yang memberi uang suap maupun orang atau instansi yang menerimanya tidak bisa membukukan uang suap itu seperti mestinya. Secara tidak langsung, orang yang terlibat dalam kasus suap akan terlibat dalam perbuatan kurang etis lainnya karena terpaksa terus-menerus harus menyembunyikan keterlibatannya.



PENUTUP: PERANAN ETIKA DALAM BISNIS Jika perusahaan ingin mencatat sukses dalam bisnis, menurut Richard De George dibutuhkan dalam 3 hal: produk yang baik, manajemen yang mulus, dan etika.



Selama perusahaan memiliki produk yang bermutu serta berguna untuk masyarakat dan disamping itu dikelola dengan manajemen yang tepat di bidang produksi, finansial, sumberdaya manusia, dan lain-lain, tetapi tidak mempunyai etika, maka kekurangan ini cepat atau lambat akan menjadi batu sandungan bagi perusahaan. Banyak usaha pelatihan, pendidikan, dan penelitian diadakan untuk membantu si pebisnis dalam menghasilkan produk ang baik dan manajemen yang mulus. Guna memperoleh produk yang baik, pebisnis dapat memanfaatkan seluruh perangkat ilmu dan teknologi modern. Guna mencapai manajemen yang mulus, si pebisnis dapat memakai sepenuhnya ilmu ekonomi dan teori manajemen. J Bisnis berlangsung dalam konteks moral Bisnis merupakan suatu unsur penting dalam masyarakat, semua orang membeli barang atau jasa untuk bisa hidup atau setidak-tidaknya bisa hidup dengan lebih nyaman. Makin maju suatu masyarakat makin besar pula ketergantungan satu sama lain di bidang ekonomi. 1. Mitos mengenai bisnis amoral Dalam masyarakat beredar kabar bahwa bisnis tidak mempunyai hubungan dengan etika atau moralitas. Sebagaimana matahari yang memancarkan cahaya serta panas yang didalamnya tidak termasuk faktor etika. Moralitas menjadi urusan individu,tetapi kegiatan bisnis itu sendiri tidak berkaitan langsung dengan etika. Moralitas tidak mempunyai relevansi bagi bisnis. Bisnis itu sendiri adalah netral terhadap moralitas jadi merupakan suatu mitos atau dongeng saja. Menurut De George, beliau menemukan tiga gejala dalam masyarakat yang menunjukkkan sirnanya mitos tersebut. Dalam liputan media massa terdapat skandal di bidang bisnis, bisnis di soroti tajam oleh masyarakat, masyarakat tidak ragu untuk mengaitkan bisnis dengan moralitas. Bisnis diamati dan di kritik oleh banyak LSM apa yang disimak oleh mereka berkonotasi dengan etika bisnis mulai prihatin dengan dimensi etis dalam kegiatannya, hal ini tampak dalam konferensi seminar mengenai aspek etis dari bisnis. 2. Mengapa bisnis harus berlaku etis? Bisnis hanya merupakan suatu bidang khusus dari kondisi manusia yang umum secara lengkapnya sebagai berikut: a. Tuhan adalah hakim kita Menurut agama sesudah kehidupan jasmani ini manusia hidup terus dalam dunia bakadimana tuhan sebagai hakim maha agung akan menghukum kejahatan yang



pernah dilakukan dan mengganjar kebaikannya, diharapkan setiap pebisnis akan dibimbing oleh iman kepercayaannya untuk tetap berpegang pada motivasi moral ini. b. Kontrak sosial Setiap kegiatan yang dilakukan bersama-sama dalam masyarakat menuntut adanya norma-norma dan nilai-nilai moral yang kita sepakati bersama. Hidup dalam masyarakat berarti mengikatkan diri untuk berpegang kepada norma-norma dan nilainilai tersebut. Dasar moralitas umat manusia adalah berdasarkan kontrak sosial yang mana umat manusia diwajibkan untuk berpegang pada norma-norma moral, kontrak ini bersifat mengikat dan tidak ada seorang pun yang dapat melepaskan dari kontrak ini. c. Keutamaan Manusia harus melakukan yang baik karena hal yang baik mempunyai nilai instrinsik. Manusia yang berlaku etis adalah baik begitu saja, baik secara menyeluruh bukan menurut aspek tertentu saja. Pebisnis atau perusahaan tidak mempunyai integritas, kalau mereka mengumpulkan kekayaan tanpa pertimbangan moral. J Kode Etik Perusahaan 1. Manfaat dan kesulitan aneka macam kode etik perusahaan Manfaat kode etik perusahaan dapat dilukiskan sebagai berikut: 1) Kode etik dapat meningkatkan kredibilitas suatu perusahaan, karena etika telah dijadikan sebagai coporate culture. Dengan adanya kode etik, secara intern semua karyawan terikat dengan standar etis yang sama sehingga akan mengambil keputusan yang sama pula untuk kasus-kasus yang sejenis. Misalnya mereka akan tolak dilibatkan dalam tindak korupsi, secara ekstern para stakeholder lain memaklumi apa yang bisa diharapkan dari perusahaan. 2) Kode etik dapat membantu dalam menghilangkan grey area atau kawasan kelabu di bidang



etika. Beberapa ambiguitas moral yang



sering merongrong kinerja



perusahaan dapat terhindarkan. 3) Kode etik dapat menjelaskan bagaimana perusahaan menilai tanggung jawab sosialnya. Diharapkan perusahaan tidak membatasi diri pada standar minimal, melalui kode etiknya ini ia dapat menyatakan bagaimana ia dapat memahami tanggung jawab sosial. 4) Kode etik menyediakan bagi perusahaan dan dunia bisnis pada umumnya kemungkinan untuk mengatur dirinya sendiri. Dengan demikian negara tidak perlu campur tangan. Kode etik menyediakan bagi perusahaan-perusahaan dan dunia bisnis pada umumnya kemungkinan untuk mengatur dirinya sendiri (self regulation). Namun dalam kenyataan



konkret sering menimbulkan harapan terlalu besar dengan adanya kode etik perusahaan. Karena itu tidak mengherankan bila kode etik perusahaan menemui kritik juga, antara lain: 1) Kode etik perusahaan seringkali merupakan formalitas belaka. 2) Banyak kode etik perusahaan dirumuskan dengan terlalu umum 3) Kritik yang paling berat adalah bahwa jarang sekali tersedia enforcement untuk kode etik perusahaan. Faktor-faktor untuk menjamin keefektifan kode etik adalah: 1) Kode etik sebaiknya dirumuskan berdasarkan masukan dari semua karyawan sehingga mencerminkan kesepakatan semua pihak didalamnya. 2) Harus dipertimbangkan dengan teliti bidang-bidang apa dan topik-topik mana sebaiknya tercakup oleh kode etik perusahaan. 3) Kode etik perusahaan sewaktu-waktu harus direvisi dan disesuaikan dengan perkembangan intern maupun ekstern 4) Kode etik perusahaan ditegakkan secara konsekuen dengan menerapkan sanksi 2. Ethical auditing Untuk menilai kinerja finansial sebuah perusahaan sudah lama ada standar-standar accounting yang diterima secara nasional dalam suatu negara dan malah secara internasional. Jika perusahaan memiliki sebuah kode etik, ethical auditing itu secara khusus terfokuskan pada kode etik tersebut. Hal itu bisa mudah dimengerti, sehingga dengan demikian metode tersebut bisa digunakan untuk menegakkan kode etik perusahaan secara sadar dan konsekuen. Kode etik tidak lagi sebatas perhiasan saja. Pemeriksaan atas kinerja etis dan sosial itu tidak saja dilakukan terhadap perusahaan, tapi juga terhadap atau tidak. 3. The Body Shop sebagai contoh The Body Shop adalah sebuah perusahaan internasional yang berasal dari Inggris dan bergerak di bidang kosmetika serta toiletries. Perusahaan ini didirikan oleh Anita Roddick pada 1976, dan 20 tahun kemudian sudah mempunyai omzet setengah miliar dollar AS. Kini The Body Shop mempunyai toko tersebar di seluruh dunia, antara lain sekitar 300 toko di Amerika Serikat. Perusahaan ini selalu 8 organisasi nirlaba. Organisasi-organisasi seperti itupun harus berpegang pada standar-standar etis, entah mereka memiliki kode etik tertulis menitikberatkan manajemen yang etis. “First and foremost are the values” merupakan ungkapan terkenal dari Anita Roddick. Rupanya Roddick pula yang pertama kali melontarkan gagasan mengenai audit sosial etis. Setiap dua tahun The Body Shop membiarkan dirinya diaudit dari segi sosial dan etis. Audit pertama itu dilakukan oleh Institute of Social and Ethical Accountability dan diterbitkan dengan judul The Values Report 1995 (1996). Dalam audit ini antara lain



diperiksa pelaksanaan dua dokumen etik yang dimiliki perusahaan ini yaitu, The Body Shop



Mission



Statement



dan



The



Body



Shop



Trading



Charter.



J Good ethics, good business Ethics pay (etik membawa untung), Good business is ethical business, Corporate ethics: a prime business asset. Dalam kode etiknya, kini banyak perusahaan mengakui pentingnya etik untuk bisnis mereka. Bahkan telah ditunjukkan secara empiris bahwa perusahaan yang mempunyai standar etis tinggi tergolong juga perusahaan yang sukses. Kendatipun tidak ada jaminan mutlak, pada umumnya perusahaan yang etis adalah perusahaan yang mencapai sukses juga. Good ethics, good business. Keyakinan ini sekarang terbentuk cukup umum. Namun demikian, hal itu tidak berarti bahwa harapan akan sukses boleh menjadi satu-satunya motivasi atau justru menjadi motivasi utama untuk berperilaku etis. Yang baik harus dilakukan karena hal itu baik, bukan karena membuka jalan menuju sukses, walaupun motivasi itu tidak senantiasa perlu dihayati secara eksplisit. Sudah sejak Aristoteles, hal itu disebut bertingkah laku “menurut keutamaan”.