Etiologi Maloklusi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ETIOLOGI MALOKLUSI



Disusun oleh: Adinda Putri Rahmawati 021923143129



Pembimbing: Alida ,drg., M.Kes.,Sp.Ort.



FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2020



BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam bidang kedokteran gigi, semakin banyak ahli ortodontik yang memperhatikan cara untuk mengatasi gangguan pertumbuhan rahang dan gigi geligi yang disebabkan oleh ketidakseimbangan aktivitas bibir dan lidah pada  periode gigi bercampur. Perkembangan gigi manusia terbagi menjadi gigi desidui, gigi campuran, dan gigi tetap. Gigi bercampur merupakan tumbuhnya gigi susu bersama-sama dengan tumbuhnya gigi tetap. Dalam hal ini, di dalam rongga mulut, terdapat beberapa gigi permanen yang mulai erupsi menggantikan gigi desidui secara bertahap. Selama masa pertumbuhan rahang dan gigi akan ada kemungkinan terjadinya suatu kelainan posisi atau biasa disebut dengan maloklusi. Maloklusi ini dapat terjadi karena banyak hal seperti faktor keturunan, bad  habit , kelainan jumlah gigi, kelainan ukuran gigi, kelainan bentuk gigi, dan lain-lain. Kebiasaan buruk atau bad habit   dianggap sebagai hal yang memberikan rasa nyaman bagi pemilik kebiasaan namun berdampak buruk. Kebiasaan buruk ini meliputi mengisap jari dan jempol, menggigit kuku, menjulurkan lidah, menggigit bibir, bernapas melalui mulut, dan lain-lain. Setiap kebiasaan buruk ini memiliki peranan dalam mekanisme terjadinya maloklusi.



1.2 Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan maloklusi? 2. Apa saja etiologi maloklusi? 1.3 Tujuan Penulisan 1. Mengetahui dan memahami definisi dari maloklusi 2. Mengetahui dan memahami etiologi dari maloklusi



BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Maloklusi menurut American Academy of Pediatric Dentistry adalah ketidaksesuaian posisi gigi dan rahang. Maloklusi merupakan kondisi yang menyimpang dari tumbuh kembang yang dapat mempengaruhi self cleansing, kesehatan jaringan lunak, pertumbuhan rahang, bicara, dan penampilan. 2.2 Klasifikasi Maloklusi 2.2.1 Klasifikasi Skeletal Deskripsi ini menghubungkan antara hubungan rahang atas dan rahang bawah terhadap dasar kranial. Klasifikasi ini terbagi atas tiga kelas, yaitu : 1. Kelas I skeletal : rahang atas dan rahang bawah pada relasi normal (orthognathi). 2. Kelas II skeletal : rahang bawah terlihat lebih kecil dibanding rahang atas (retrognathi). Hal ini berkaitan dengan : a. Rahang bawah yang kecil b. Rahang atas besar  c. Kombinasi keduanya 3. Kelas III skeletal : rahang bawah terlihat lebih besar dibanding rahang atas ( prognathi). Hal ini berkaitan dengan : a. Rahang bawah yang besar  b. Rahang atas kecil c. Kombinasi keduanya 2.2.2 Klasifikasi Angle Klasifikasi Angle didasarkan atas relasi molar pertama permanen. Bia molar   pertama permanen bergeser karena molar sulung hilang prematur, maka relasi molar yang ada bukan relasi molar yang sebenarnya sebelum terjadi  pergeseran. Angle berpendapat bahwa letak molar pertama permanen tetap stabil dalam perkembangannya pada rahang sehingga dengan melihat relasi molar dapat dilihat pula relasi rahang. Menurut Angle, klasifikasi ini terbagi atas beberapa kelas, yaitu : 1. Kelas I : terdapat relasi lengkung anteroposterior yang normal dilihat dari relasi molar   pertama permanen (netroklusi). Kelainan yang menyertai dapat berupa, misalnya gigi berdesakan, gigitan terbuka, protrusi dan lain-lain. Dalam ortodontik pediatrik, kelas I dibagi menjadi 5 tipe, yaitu: a. Tipe 1 : gigi anterior yang berjejal, gigi molar normal (crowded). b. Tipe 2: hubungan gigi molar normal, gigi anterior terutama gigi atas terlihat labioversi ( protrusi) c. Tipe 3 : terdapat gigitan bersilang anterior (crossbite anterior ) karena inklinasi gigi atas ke palatinal. d. Tipe 4 : hubungan molar normal dalam arah mesio-distal , tetapi hubungan dalam arah bukolingual  ada pada posisi gigitan bersilang (crossbite posterior ) e. Tipe 5 : hubungan molar pertama tetap normal, tetapi pada gigi  posterior terjadi migrasi ke arah mesial (mesial drifting ).



3. Kelas II : lengkung rahang  bawah paling tidak setengah tonjol lebih ke distal daripada lengkung atas dilihat dari relasi molar pertama permanen(distoklusi). a. Divisi 1 : insisivi atas prostrusi sehingga didapatkan jarak gigit  besar, tumpang gigit besar dan kurva Spee positif. b. Divisi 2 : insisivi sentral atas retroklinasi, insisivi lateral atas  proklinasi, tumpang gigit besar (gigitan dalam). Jarak gigit bisa normal atau sedikit bertambah 4. Kelas III : lengkung bawah  paling tidak setengah tonjol lebih mesial terhadap lengkung atas dilihat pada relasi molar pertama permanen (mesioklusi) dan terdapat gigitan silang anterior. Dr. Martin Dewey pun merincikan maloklusi Angle kelas III ini menjadi : a. Tipe 1 : hubungan molar pertama tetap atas dan bawah mesioklusi, sedangkan hubungan gigi anterior adalah insisal dangan insisal (edge to edge) b. Tipe 2 : hubungan molar pertama tetap atas dan bawah mesioklusi, sedangkan gigi anterior hubungannya normal c. Tipe 3 : hubungan gigi anterior seluruhnya adalah bersilang (cross bite) sehingga dagu penderita menonjol ke depan.



4.2 Etiologi Maloklusi 2.3.1 Faktor Herediter Pada populasi primitif yang terisolir jarang dijumpai maloklusi yang berupa disproporsi ukuran rahang dan gigi. Pada populasi modern lebih sering ditemukan maloklusi disbanding populasi primitif diduga karena adanya kawin campur yang menyebabkan peningkatan prevalensi maloklusi (Profit,2013). Pengaruh herediter dapat bermanifestasi dalam dua hal, yaitu : 1. Disproporsi ukuran gigi dan ukuran rahang yang menghasilkan maloklusi berupa gigi berdesakan atau maloklusi berupa diastema multipel. 2. Disproporsi ukuran, posisi dan bentuk rahang atas dan rahang bawah yang menghasilkan relasi rahang yang tidak harmonis. Dimensi kraniofasial, ukuran dan jumlah gigi sangat mempengaruhi faktor genetic atau herediter sedangkan dimensi lengkung geligi dipengaruhi oleh faktor lokal. 2.3.2



Faktor Lokal



1. Gigi Sulung Tanggal Prematur Gigi sulung tanggal prematur dapat berdampak pada susunan gigi  permanen. Semakin muda umur pasien pada saat tanggal premature gigi sulung semakin besar akibatnya pada gigi permanen 2. Persistensi Gigi Persistensi gigi sulung atau disebut juga over retained deciduoud teeth  berart gigi sulung yang sudah waktunya tanggal tetapi tidak tanggal 3. Trauma Trauma yang mengenai gigi sulung dapat menggeser benih gigi  permanen. Bila terjadi trauma pada saat mahkota gigi permanen sedang terbentuk dapar terjadi gangguan pembentukan enamel, sedangkan bila mahkota gigi permanen telah terbentuk dapat terjadi dilaserasi, yaitu akar  gigi yang mengalami distorsi bentuk (biasanya bengkok). Gigi yang mengalami dilaserasi



biasanya tidak dapat mencapai oklusi yang normal  bahkan kalau parah tidak dapat dirawat ortodotik dan tidak ada pilihan lain kecuali dicabut. 4. Pengaruh jaringan lunak  Tekanan dari oto bibir, pipi dan lidah member pengaruh yang besar  terhadap letak gigi. Meskipun tekanan otot-otot ini jauh lebih kecil daripada tekanan otot pengunyah tetapi berlangsung lebih lama. Menurut  penelitian tekanan yang berlangsung selama 6 jam dapat mengubah letak  gigi. 5. Kebiasaan buruk  Suatu kebiasaan yang berdurasi sedikitnya 6 jam sehari,  berfrekuensi cukup tinggi dengan intensitas yang cukup dapat menyebabkan maloklusi. Kebiasaan menghisap jari atau benda-benda lain dalam waktu berkepanjangan dapat menyebabkan maloklusi. Kebiasaan menghisap bibir bawah dapat mengakibatkan proklinasi insisivi atas disertai jarak gigit yang bertambah dan bertroklinasi insisivi bawah. Kebiasaan mendorong lidah , kebiasaan menggigit kuku juga dapat menyebabkan maloklusi tetapi biasnya dampaknya hanya pada satu gigi. Kebiasaan buruk lainnya adalah bernapas dengan mulut. Bernapas lewat mulut telah lama diketahui sebagai salah satu penyebab terjadinya  penyimpangan pertumbuhan wajah. Penyimpangan tersebut timbul akibat ketidakseimbangan aktivitas otot-otot orofasial. Selama bernapas lewat mulut terjadi perubahan aktivitas otot-otot orofasial. Fungsi abnormal rongga mulut akan menyebabkan terjadinya perubahan tekanan otot yang  bekerja pada tulang kraniofasial, sehingga menghasilkan perubahan morfologi kraniofasial.



BAB 3 KESIMPULAN a. Maloklusi merupakan kondisi yang menyimpang dari tumbuh kembang yang dapat mempengaruhi  self cleansing , kesehatan jaringan lunak, pertumbuhan rahang, bicara, dan penampilan. b. Secara garis besar, klasifikasi maloklusi terdiri atas klasifikasi skeletal dan klasifikasi dentoalveolar. Masing-masing klasifikasi memiliki tiga kelas, namun  pada klasifikasi dentoalveolar menurut Angle terbagi menjadi beberapa divisi. c. Etiologi maloklusi dibedakan menjadi faktor herediter dan faktor lokal. Faktor  herediter meliputi disproporsi ukuran gigi dan rahang serta disproporsi ukuran,  posisi, dan bentuk rahang. Sedangkan faktor lokal meliputi kebiasaan buruk,  prematur loss, persistensi gigi desidui, trauma, dan faktor iatrogenik. d. Salah satu kebiasaan buruk adalah bernapas melalui mulut yang menjadi  penyebab terjadinya maloklusi yang biasa ditandai dengan mandibula retrognati, wajah memanjang, palatum dalam, gigi insisivus yang lebih ke depan, dan mulut terbuka.



DAFTAR PUSTAKA Rahardjo, P. 2009. Piranti Ortodonsi Lepasan. Surabaya: Airlangga University Press Profit W, Fielsd H W Jr., Sarver Drg. M. 2007. Contemporary Orthodontics 4 th ed. St. Louis:Mosby Inc. Foster ,TD. 1985. A Textbook of Orthodontics. Philadelphia: J.B Lippincott Co. Ardani IGAW, Narmada IB, Hamid T, Sjafei A, Sjamsudin J, Winoto ER, Alida. Pengantar Ilmu Ortodonti II. Surabaya: Airalngga University Press: 2017. Achmad Harun, Handayani Hendrastuti, Fery Fajriani. 2012.  Buku Ajar Maloklusi  pada Anak, Etiologi, dan Penanganannya. Makassar: Bimer  Achmad Harun, Runkat Jakobus. 2008 Rahardjo Pambudi. Diagnosis Ortodontik . Surabaya: Airlangga University Press Rahardjo Pambudi. 2009. Ortodonti Dasar . Surabaya: Airlangga University Press