Askep Maloklusi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB 1 PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang Pada era modern seperti saat ini, kebutuhan dan tuntutan akan perawatan ortodontik semakin banyak. Masyarakat semakin menyadari bahwa gigi yang tidak teratur akan sangat mempengaruhi penampilan. Bentuk dari gigi yang tidak teratur salah satunya adalah maloklusi. Menurut American Academy of Pediatric Dentistry adalah ketidaksesuaian posisi gigi dan rahang. Maloklusi merupakan kondisi yang menyimpang dari tumbuh kembang yang dapat mempengaruhi self cleansing, kesehatan jaringan lunak, pertumbuhan rahang, bicara, dan penampilan serta mempengaruhi pencernaan makanan. Berdasarkan laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Nasional tahun 2013, sebanyak 14 provinsi mengalammi masalah dengan gigi dan mulut yaitu 25,9%. Prevalensi maloklusi di Indonesia masih sangat tinggi, sekitar 80% dari jumlah penduduk, dan merupakan salah satu masalah kesehatan gigi dan mulut yang cukup besar. Penelitian yang dilakukan Rosani pada pasien orthodentik RSGM FKG Universitas Hasanudin menunjukan 40% yang mengalami maloklusi. Penelitian lain yang dilakukan pada siswa Sekolah Menengah Pertama di Kecamatan Malayang oleh Astuti tahun 2011 menunjukan jumlah yang mengalami maloklusi yaitu 60,2 % dan yang mengalami oklusi normal yaitu 2,2%. Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka sebagai mahasiswa keperawatan perlu mempelajari asuhan keperawatan pada pasien dengan maloklusi secara komprehensif. 1.2 Tujuan 1.2.1 Tujuan umum Setelah proses pembelajaran, diharapkan mahasiswa mampu melakukan asuhan keperawatan sistem pencernaan pada klien dengan maloklusi secara komprehensif. 1.2.2



Tujuan khusus Setelah proses pembelajaran, mahasiswa mampu memahami : a. Anatomi gigi b. Pengertian maloklusi c. Klasifikasi maloklusi d. Etiologi maloklusi



e. f. g. h. i.



Manifestasi maloklusi Patofisiologi maloklusi WOC maloklusi Penatalaksanaan maloklusi Asuhan keperawatan pada pasien dengan maloklusi



BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Fisiologi Gigi



Gigi merupakan salah satu aksesoris dalam mulut dan memiliki struktur bervariasi yang memungkinkan mereka untuk melakukan banyak fungsi. Fungsi utama dari gigi adalah untuk merobek dan mengunyah makanan, sedangkan fungsi lain dari gigi adalah fungsi fonasi estatika, dan identifikasi (forensik). Adapun struktur gigi terdiri dari: 1. Insisivus Gigi Insisivus terletak dibagian anterior rahang, berfungsi sebagai alat potong, estetik.. Mahkota dari gigi insisivus berbentuk segitiga. 2. Caninus Akar gigi caninus adalah akar yang terpanjang dibandingkan dengan akar gigi yang lainnya. Fungsi dari gigi caninus adalah merobek makanan. mahkotanya berbentuk segitiga. 3. Premolar Gigi Premolar 1 dan Premolar 2 Rahang Atas memiliki 2 tonjolan. Tonjolan tersebut terletak di bagian bukal dan palatinal. Gigi Premolar 1 Rahang Bawah memiliki 1 tonjolan, sedangkan Premolar 2 Rahang bawah memiliki 3 tonjolan. 4. Molar Gigi Molar merupakan gigi yang paling besar diantara gigi yang lainnya. gigi. Gigi molar memiliki banyak tonjolan, dan terletak di dekat TMJ (Temporo Mandibula Junction). Fungsi dari gigi molar adalah untuk mengahancurkan makanan.



Gigi manusia memiliki tiga bagian, yaitu mahkota, leher, dan akar (Ten Cate, 1998) a) Mahkota gigi atau corona (crown) Mahkota merupakan bagian yang tampak di atas gusi dan secara struktur terdiri atas bagian-bagian berikut:







Emai. Email merupakan jaringan keras yang mengalamu kalsifikasi yang menutupi detin dari mahkota gigi. Email memiliki fungsi menahan daya kunyah/ abrasi. Struktur email terdiri atas zat anorganik kurang lebih 99% sebagai prismata dan zat







organik 1% sebagai substantia pelekat. Dentin. Merupakan jaringan ikat yang mengalami kalsikal dan jaringan yang terbesar dari gigi. Struktur dentin terdiri atas zat anorganik kurang lebih 70% dan zat organic







kurang lebih 30% pada canaliculi dentin. Pulp. Pulp mempunyai fungsi utama adalah sebagai formatif (memberi bentuk), nutrisi, sensoris, dan defensive. Pada rongga pulpa terdapat jaringan saraf dan



pembuluh darah. b) Leher gigi atau kolum, merupakan bagian yang berada di dalam gusi. c) Akar gigi atau radiks (roots). Akar gigi atau radiks (roots) merupakan bagian yang tertanam pada tulang rahang. Akar gigi melekat pada tulang rahang dengan perantaraan semen gigi. Semen gigi melapisi akar gigi dan membantu menahan gigi agar tetap melekat pada gusi. Akar terdiri atas bagian-bagian sebagai berikut:  Lapisan semen merupakan pelindung akar gigi dalam gusi.  Gusi merupakan tempat tumbuh gigi.



Gigi juga dibagi menjadi beberapa klasifikasi, yaitu sebagai berikut: a) Klasifikasi gigi berdasarkan masa pertumbuhan.  Gigi susu yaitu gigi yang tumbuh mulai usia 6 bulan. Sebagian anak dilahirkan tanpa gigi yang dapat terlihat (gigi berada dalam gusi). Duapuluh gigi susu tumbuh (erupsi) secara bertahapdimulai saat bayi berusia 6 



bulan sampai 1 tahun. Gigi tetap/ permanen yaitu pengganti gigi susu yang berangsur-angsur tanggal. Semua gigi susu akan lepas dan akan di gantikan oleh 32 gigi tetap/ permanen. Proses ini terjadi secara bertahap pada anak berusia 6 tahun sampai 14 tahun. Gigi



terakhir (molar 3)akan bererupsi pada masa usia 17 sampai 21 tahun. b) Klasifikasi gigi berdasarka bentuk.  Gigi seri (incivvus) berfungsi menggigit atau memotong makanan.  Gigi taring (caninus) berfungsi merobek atau mencabik makanan.







Geraham depan (premolar) dan geraham depan (molar) berfungsi mengunyah atau melumatkan makanan. Sedangkan 4 Pokok Fungsi gigi, yaitu:  Mastikasi  Fonetik  Estetik  Pelindung jaringan penyangga (Gibson,2003)



2.2 Definisi a. Maloklusi



menurut



American



Academy



of



Pediatric



Dentistry



adalah



ketidaksesuaian posisi gigi dan rahang. Maloklusi merupakan kondisi yang menyimpang dari tumbuh kembang yang dapat mempengaruhi self cleansing, kesehatan jaringan lunak, pertumbuhan rahang, bicara, dan penampilan. b. Maloklusi terjadi ketika gigi rahang atas dan rahang bawah tidak dapat berhubungan atau bertemu dengan tepat, fungsi fisiologis mengunyah menjadi kurang efektif dan efek kosmetik kurang menyenangkan. Gigi tidak rata, padat atau bertumpuk atau bahkan tidak dapat benar-benar kontak dengan gigi pada rahang yang lainnya kemungkinan menjadi predisposisi penyakit pada tahun-tahun berikutnya. (Wong, 2003) c. Maloklusi yaitu penyimpangan dari oklusi normal yang mengganggu fungsi yang sempurna dari gigi-gigi.(buku ajar otodensia FKG UGM) 2.3 Klasifikasi Klasifikasi maloklusi menurut Edward Angle (1899) terdiri dari 3 kelas, yang berdasar pada bidang sagital. Pada klasifikasi Angle, gigi molar pertama permanen rahang atas dan bawah digunakan sebagai kunci klasifikasi maloklusi, karena gigi molar dianggap gigi yang paling stabil dan kedudukannya jarang berubah (Rahardjo, 2009). 1) Kelas 1 Maloklusi kelas 1 atau biasa disebut neutroklusi terjadi dimana terdapat hubungan normal anteroposterior antara maksila dan mandibula. Pada kelas ini, gigi M1 rahang atas tonjol cusp mesiobukal berada pada bukal groove M1 rahang bawah (Foster, 1997). Dewey Anderson memodifikasi kelas 1 Angle, sehingga terbagi menjadi 5 tipe, yaitu : 8 a) Tipe 1 : kelas 1 Angle dengan gigi bagian anterior maksila mengalami crowding dan gigi caninus ektostem b) Tipe 2 : kelas 1 Angle dengan gigi anterior maksila labioversi c) Tipe 3 : kelas 1 Angle dengan gigi anterior palatoversi sehingga terjadi gigitan terbalik (anterior crossbite)



d) Tipe 4 : kelas 1 dengan adanya crossbite pada gigi posterior e) Tipe 5 : kelas 1 dimana terjadinya mesial drift atau pergeseran kearah mesial pada gigi molar akibat premature ekstraksi (Widodo, 2007).



Maloklusi kelas 1 2) Kelas 2 Maloklusi kelas 2 atau biasa disebut distoklusi ialah adanya relasi posterior dari mandibula terhadap maksila. Sehingga tonjol mesiobukal cusp M1 rahang atas berada lebih mesial dari bukal groove M1 rahang bawah (Rahardjo,2009).



Maloklusi kelas 2 Maloklusi kelas 2 dikelompokan menjadi 3 kelompok, yaitu : a) Divisi I : pada gigi insisivus sentral rahang atas terjadi proklinasi (kemiringan anterior kearah labial) sehingga didapatkan gigitan besar atau overjet. Insisivus lateral rahang atas juga mengalami proklinasi sehingga didapati overbite b) Divisi II : Gigi insisivus sentral rahang atas mengalami retroklinasi atau retrusi dan pada insisvus lateral rahang atas terjadi proklinasi sehingga terjadi gigitan dalam atau deepbite c) Subdivisi : apabila distooklusi hanya terjadi pada salah satu sisi rahang (Foster, 1997). 3) Kelas 3 Maloklusi kelas 3 atau biasa disebut mesioklusi adanya relasi anterior dari mandibula terhdap maksila. Sehingga, tonjol mesiobukal cusp M1 permanen rahang atas berada lebih ke distal dari bukal groove M1 rahang bawah sehingga terdapat anterior crossbite (Rahardjo,2009).



9



Malokusi kelas 3 Oleh Dewey Anderson, maloklusi kelas 3 dibagi menjadi 3 tipe, yaitu ; a) Tipe 1 : adanya lengkung gigi yang baik, akan tetapi relasi lengkungnya tidak baik sehingga pada gigi anterior terjadi edge to edge 10 b) Tipe 2 : adanya lengkung gigi yang baik dari gigi anterior maksila tetapi terjadi linguoversi dari giigi anterior mandibula sehingga terjadinya crowding c) Tipe 3 : lengkung maksila kurang berkembang sehingga terjadi crossbite pada pada gigi anterior maksila yang crowding. Akan tetapi lengkung mandibulanya bekembang dengan baik dan lurus. (Foster, 1997). 2.4 Etiologi Kondisi maloklusi lebih banyak diakibatkan oleh faktor genetik yang mengakibatkan ketidakseimbangan antara ukuran rahang dengan ukuran gigi secara keselurahan. Namun dalam hal ini faktor lokal juga mempengaruhi etiologi dari maloklusi. 1. Faktor herediter (Foster, 1997) Pada populasi primitif yang terisolasi jarang dijumpai maloklusi yang berupa disproporsi ukuran rahang dan gigi sedangkan relasi rahangnya menunjukan relasi yang sama. Pada populasi modern lebih sering ditemukan maloklusi daripada populasi primitif sehingga diduga karena adanya kawin campur menyebabkan peningkatan prevalensi maloklusi. Cara yang lebih baik untuk mempelajari pengaruh herediter adalah dengan mempelajari anak kembar monozigot yang hidup pada lingkungan yang sama. Suatu penelitian menyimpulkan bahwa 40 persen variasi dental dan fasial dipengaruhi faktor heriditer sedangkan penelitian yang lain menyimpulkan bahwa karakter skeletal kraniofacial sangat dipengaruhi oleh faktor heriditer sedangkan pengaruh heriditer terhadap gigi rendah. Pengaruh heriditer dapat bermanifestasi dalam dua hal, yaitu a.



Disproporsi ukuran gigi dan ukuran rahang yang menghasilkan maloklusi berupa gigi berdesakan atau maloklusi berupa diastema multipel meskipun yang terakhir ini jarang



b.



dijumpai Disproporsi ukuran, posisi dan bentuk rahang atas dan rahang bawah yang menghasilkan relasi rahang yang tidak harmonis. Dimensi kraniofacial, ukuran dan jumlah gigi sangat dipengaruhi faktor genetik sedangkan ukuran dan jumlah gigi sangat



dioengaruhi faktor genetik sedangkan dimensi lengkung geligi dipengaruhi oleh faktor lokal. Urutan pengaruh genetik pada skelet yang paling tinggi adalah mandibula yang prognatik, muka yang panjang serta adanya deformitas muka. Menurut Mossey (1999) berbagai komponen ikut menentukan terjadinya oklusi normal ialah : Ukuran maksila dan mandibula termasuk ramus dan korpus  Faktor yang ikut mempengaruhi relasi maksila dan mandibula seperti basis kranial 



 



dan lingkungan Jumlah, ukuran dan morfologi gigi Morfologi dan sifat jaringan lunak (bibir,lidah,dan pipi). Kelainan pada komponen tersebut serta interaksinya dapat menyebabkan maloklusi.



Etiologi maloklusi kelas 1 Angle : Pola skelet maloklusi kelas 1 biasanya kelas 1 tetapi dapat juga kelas II atau kelas III ringan. Pola jaringan lunak pada maloklusi kelas 1 umumnya menguntungkan kecuali pada maloklusi yang disertai proklinasi bimaksiler (insisivi atas dan bawah proklinasi) yang mungkin merupakan ciri khas ras tertentu. Kebanyakan maloklusi kelas 1 disebabkan faktor lokal yang dapat berupa diskrepansi ukuran gigi dan lengkung geligi. Faktor lokal yang dapat menyebabkan kelainan pada maloklusi kelas II dan kelas III. Etiologi maloklusi kelas II : 1. Kelas II divisi 1 Angle Pada maloklusi kelas II divisi I sering didapatkan letak mandibula yang lebih posterior daripada maloklusi kelas 1 atau maksila yang lebih anterior sedangkan madibula normal. Kadang-kadang didapatkan ramus mandibula yang lebih sempit dan panjang total mandibula juga berkurang. Terdapat korelasi yang tinggi antara pasien dengan keluarga langsungnya sehingga beberapa peneliti menyimpulkan bahwa pewarisan maloklusi kelas II divisi I dari faktor poligenik. Selain faktor genetik maloklusi kelas II divisi I juga disebabkan faktor lingkungan. Jaringan lunak, misalnya bibir yang tidak kompeten dapat mempengaruhi posisi insisivus atas karena hilagnya keseimbangan yang dihasilkan oleh bibir dan lidah sehingga insisivus atas protrusi. Kebiasaan menghisap jari dapat menghasilkan maloklusi kelas II divisi I meskipun relasi rahang atas dan bawah kelas I sehingga ada yag menyebut maloklusi ini sebagai maloklusi kelas II divis I tipe dental. Pada maloklusi kelas II divisi I insisivus atas dalam keadaan proklinasi sehingga jarak gigit menjadi besar. Adanya diskrepansi skeletal dalam jurusan sagital juga dapat menyebabkan jarak gigit yang besar. Dengan adanya jarak gigit yang besar biasanya tidak terdapat stop bagi insisivus bawah sehingga terjadi supra erupsi insisivus bawah dengan akibat terjadi gigitan dalam dan kurva spee



menjadi positif. Posisi bibir iku berperan pada maloklusi kelas II divisi I. Pada bibir yang tidak kompeten pasien berusaha mendapatkan anterior oral seal dengan cara muskulus sirkum oral berkontraksi dengan mengajukan mandibula sehingga bibir atas dan bawah dapat berkontak pada saat isitrahat, lidah berkontak dengan bibir bawah atau kombinasi keadaan-keadaan ini. Bila mandibula diajukan kelainan relasi skeletal nampak tidak terlalu parah tetapi bila bibir bawah terletak dipalatal inisisivus atas dapat berakibat retroklinasi insisivus bawah dan proklinasi insisivus atas sehingga jarak gigit menjadi lebih besar. 2. Kelas II divisi 2 Angle Maloklusi ini merupakan hasil interaksi faktor-fakto yang mempengaruhi skelet dan jaringan lunak. Penelitian pada anak kembar monozigot menunjukan bahwa maloklusi kelas II divisi 2 dipengaruhi oleh faktor herediter autosomal yang dominan tetapi yang bersifat poligenik. Pola skelet pada maloklusi kelas II divisi 2 biasanya kelas II ringan atau kelas 1 dan meskipun sangat jarang bisa juga pola skelet kelas III ringan. Tinggi muka yang berkurang disertai relasi skelet kelas II sering menyebabkan tidak adanya stop antara insisivus bawah dengan insisivus atas sehingga insisivus bawah bererupsi melebihi normal sehingga terjadi gigitan dalam. Pengaruh bibir bawah sagat besar terutama bila didapatkan high lower lip line (bibir bawah menutupi lebih dari sepertiga panjang mahkota insisivus) yang menyebabkan posisi insisivus atas retroklinasi, bila panjang mahkota insisivus laterla pendek maka gigi ini dapat terletak normal sedangkan insisivus sentral retroklinasi dan bila panjang inisisivus lateral normal gigi ini bisa juga terletak retroklinasi. Bisa juga didapatkan retroklinasi insisivus atas maupun bawah bila bibir sangat aktif. Kadang – kadang didapatkan letak gigi berdesakan dan insisivus lateral yang rotasi mesiolabial disebabkan tekanan bibir pada insisivus sentral. Etiologi maloklus Kelas III Angle : Contoh paling jelas dan terkenal adanya pengaruh faktor genetik adalah prognati mandibula yang didapatkan pada dinasti Hasburg dikerajaan Austria yang diturunkan dari generasi ke generasi dengan cara autosomal dominan. Maloklusi kelas III dapat terjadi karena faktor skelet, yaitu maksila yang kurang tumbuh sedangkan mandibula normal atau maksila normal dan mandibula yang tumbuh berlebihan atau kombinasi kedua keadaan tersebut. Selain itu juga dipengaruhi oleh panjang basis kranial serta sudut yang terbentuk antara basis kranial posterior dan anterior. Kadang-kadang fossa glenoidal yang terletak anterior menyebabkan mandibula terletak lebih anterior. Jaringan lunak tidak begitu memainkan peranan dalam terjadinya maloklusi kelas III kecuali adanya tendens tekanan



dari bibir dan lidah yang mengompensasi relasi skelet kelas III sehingga terjadi retroklinasi insisivus bawah dan proklinasi insisivus atas. Faktor genetik lebih mempengaruhi skelet ( misalnya, pada sindrom muka panjang yang menyebabkan adanya gigitan terbuka ) sedangkan faktor lingkungan lebih mempengaruhi letak gigi dalam lengkung geligi. Lengkung geligi atas yang sempit menyebabkan terjadinya gigi berdesakan dan lengkung geligi bawah yang lebar menyebabkan letak gigi yang normal atau bahkan kadang-kadang terdapat diastema. 2. Faktor lokal (Foster, 1997) a. Gigi sulung tanggal prematur Gigi sulung yang tanggal prematur dapat berdampak pada susunan gigi permanen. Semakin muda umur pasien pada saat terjadi tanggal prematur gigi sulung semakin besar akibatnya pada gigi permanen. Insisivus sentral dan lateral sulung yang taggal prematur tidak begitu berdampak tetapi kaninus sulung akan menyebabkan adanya pergeseran garis median. Perlu diusahakan agar kaninus sulung tidak tidak tanggal prematur. Sebagian peneliti mengatakan bahwa bila terjadi tanggal prematur kaninus sulung karena resobsi insisivus lateral atau karena karies disarankan dilakukan balancing ekstraction, yaitu pencabutan kaninus sulung kontralateral agar tidak terjadi pergeseran garis median dan kemudian dipasang space mentainer. Molar pertama sulung yang tanggal prematur juga dapat menyebabkan pergeseran garis median. Perlu tidaknya dilakukan balancing ekstraction harus dilakukan terlebih dahulu. Molar kedua sulung terutama rahang bawah merupakan gigi sulung yang paling sering tanggal prematur karena karies, kemudian gigi molar permanen bergeser kearah diastema sehingga tempat untuk premolar kedua berkurang dan premolar kedua tumbuh sesuai letak benihnya. Gigi molar kedua sulung yang tanggal prematur juga dapat menyebabkan asimetri lengkung geligi, gigi berdesakan serta kemungkinan terjadi supra erupsi gigi antagonis. Bila kolar kedua sulung tanggal prematur banyaknya pergeseran molar pertama permanen ke mesial dipengaruhi oleh tinggi tonjil gigi (bila tonjol gigi tinggi pergeseran makin sedikit) dan waktu tanggal gigi tersebut (pergeseran paling banyak bila molar kedua sulung tanggal sebelum molar permanen erupsi). b. Persistensi gigi Persistensi gigi sulung atau disebut juga over retained decidous teeth berarti gigi sulung yang sudah melewati waktunya tanggal tetapi tidak tanggal. Perlu diingat bahwa waktu tanggal gigi sulung sangat bervariasi. Keadaan yang jelas menunjukan persistensi gigi sulung adalah apabila gigi permanen pengganti telah erupsi tetapi gigi sulungnya tidak tanggal. Bila diduga terjadi persistensi gigi sulung tetapi gigi sulungnya tidak ada



dirongga mulut, perlu diketahui anamnesis pasien, dengan melakukan wawancara medis kepada orang tua pasien apakah dahulu pernah terdapat gigi yang bertumpuk diregio tersebut. c. Trauma Trauma yang mengenai gigi sulung dapat menggeser benih gigi permanen. Bila terjadi trauma pada saat mahkota gigi permanen sedang terbentuk dapat terjadi gangguan pembentukan enamel, sedangkan bila mahkota gigi gigi permanen telah terbentuk dapat terjadi dilaserasi, yaitu akar gigi yang mengalami distorsi bentuk (biasanya bengkok). Gigi yang mengalami dilaserasi biasanya tidak dapat mencapai oklusi yang normal bahkan kalau parah tidak dapat dirawat ortodontik dan tidak ada pilihan lain kecuali dicabut. Kalau ada dugaan terjadi trauma pada saat pembentukan gigi permanen perlu diketahui anamnesis apakah pernah terjadi trauma disekitar mulut untuk lebih memperkuat dugaan adanya trauma. Trauma pada salah satu sisi muka pada masa kanak-kanak dapat menyebabkan asimetri muka. d. Pengaruh jaringan lunak Tekanan dari otot bibir, pipi dan lidah memberi pengaruh yang besar terhadap letak gigi. Meskipun tekanan dari otot-otot ini jauh lebih kecil daripada tekanan otot pengunyah tetapi berlangsung lebih lama. Menurut penelitian tekanan yang berlangsung selama 6 jam dapat mengubah letak gigi. Dengan demikian dapat dipahami bahwa bibir, pipi dan lidah yang menempel terus pada gigi hampir selama 24 jam dapat sangat mempengaruhi letak gigi. Tekanan dari lidah, misalnya karena letak lidah pada posisi istrahat tidak benar atau karena adanya makroglosi dapat mengubah keseimbangan tekanan lidah dengan bibir dan pipi sehingga insisivus bergerak ke labial.



Dengan



demikian



patut



dipertanyakan



apakah



tekanan



lidah



dapat



mempengaruhi letak insisivus karena meskipun tekanannya cukup besar yang dapat menggerakkan gigi tetapi berlagsung dalam waktu yang singkat. Bibir yang telah dioperasi pada pasien celah bibir dan langit-langit kadang-kadang mengandung jaringan parut yang selain tekanannya yang besar oleh karena bibir pada keadaan tertentu menjadi pendek sehingga memberi tekanan yang lebih besar dengan akibat insisivus tertekan ke palatal. e. Kebiasaan buruk Suatu kebasaan yang berdurasi sedikitnya 6 jam sehari, berfrekuensi cukup tinggi dengan intensitas yang cukup dapat menyebabkan maloklusi. Kebiasaan mengisap jari atau benda-benda lain dalam waktu yang berkepanjangan dapat menyebabkan maloklusi. Dari ketiga faktor ini yang paling berpengaruh adalah durasi atau lama kebiasaan berlangsung. Kebiasaan mengisap jari pada fase geligi sulung tidak



mempunyai dampak pada gigi permanen bila kebiasaa tersebut telah berhenti sebelum gigi permanen erupsi. Bila kebiasaan ini terus berlanjut sampai gigi permanenn erupsi akan terdapat maloklusi dengan tanda-tanda berupa insisivus atas proklinasi dan terdapat diastema, gigitan terbuka, lengkung atas sempit serta retroklinasi inisisvus bawah. Maloklusi yang terjadi ditentukan oleh jari mana yang diisap dan bagaimana pasien meletakkan jarinya pada waktu mengisap. Kebiasaan mengisap bibir bawah dapat menyebabkan proklinasi insisivus atas disertai jarak gigit yang bertambah da retroklinasi insisivus bawah. Kebiasaan mendorong lidah sebetulnya bukan merupakan kebiasaan tetapi lebih berupa adaptasi terhadap adanya gigitan terbuka misalnya karena mengisap jari. Dorongan lidah pada saat menelan tidak lebih beda daripada yang tidak mendorongkan lidahnya sehingga kurang tepat untuk mengatakan bahwa gigitan terbuka anterior terjadi karena adanya dorongan lidah pada saat menelan. Kebiasaan menggigit kuku juga dapat menyebabkan maloklusi tetapi biasanya dampaknya hanya pada satu gigi. f. Faktor iatrogenik Pengertian kata iatrogenik adalah berasal dari suatu tindakan profesional. Perawatan ortodontik mempunyai kemungkinan terjadinya kelainan iatrogenik. Misalnya, pada saat menggerakkan kaninus ke distal dengan peranti lepasan tetapi karena kesalahan desain atau dapat juga saat menempatkan pegas tidak benar sehingga yag terjadi gerakan gigi kedistal dan palatal. Contoh lain adalah pemakaian kekuatan yang besar untuk menggerakkan gigi dapat menyebabkan resobsi akar gigi yang digerakkan, resobsi yang berlebihan pada tulang alveolar selain kematian pulpa gigi. Kelainan jaringan periodontal dapat juga disebabkan adanya perawatan ortodontik, misalnya gerakkan bibir kearah labial/bukal yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya dehiscence dan fenestrasi. 2.5 Patofisiologi Etiologi maloklusi secara umum banyak sekali ada yang mengkategorikan menjadi faktor luar dan lokal, seperti pertumbuhan dan organ kepala sekitar mulut yang tidak harmonis, adanya penyakit sistemik, faktor genetik, kebiasaan buruk yang sering dilakukan sehingga menyebabkan maloklusi, muskulus sekitar mulut yang abnormal atau tidak seimbang dalam memberikan tekanan, malfungsi dari lidah, gigi, dan tulang rahang, metabolisme tidak normal, kelainan hormonal dan lain-lain.



Maloklusi dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pada pengunyahan, bicara serta estetik. Gangguan pengunyahan yang terjadi yaitu dapat berupa rasa tidak nyaman saat mengunyah, terjadinya rasa nyeri pada TMJ dan juga mengakibatkan nyeri kepala dan leher. Pada gigi yang berjejal dapat mengakibatkan kesulitan dalam pembersihan. Tanggalnya gigi-gigi akan mempengaruhi pola pengunyahan misalnya pengunyahan pada satu sisi, dan pengunyahan pada satu sisi ini juga dapat mengakibatkan rasa sakit pada TMJ. Maloklusi dapat mempengaruhi kejelasan bicara seseorang. Apabila ciri maloklusinya berupa disto oklusi akan terjadi hambatan mengucapkan huruf p dan b. Apabila ciri maloklusinya berupa mesio oklusi akan terjadi hambatan mengucapkan huruf s, z, t, dan n. Gangguan pada proses oklusi umumnya dapat diakibatkan faktor herediter yang mengakibatkan pertumbuhan dan perkembangan dari komponen-komponen penyusun oklusi seperti dental, skletal dan neuromuskular terganggu Namun, gangguan oklusi atau maloklusi juga bisa ditimbulkan oleh kebiasaan buruk atau faktor lain, seperti kebiasaan menghisap jari tangan sejak kecil, kebiasaan menjulurkan lidah, atau kondisi pasca kecelakaan yang melibatkan bagian muka, kehilangan gigi terlalu dini, dan banyak faktor lainnya. 2.6 WOC (terlampir) 2.7 Manifestasi Klinis a. Kelainan pada baris gigi b. Kesulitan menggigit makanan c. Kesulitan mengunyah d. Kesulitan berbicara e. Nyeri temporomanibular f. Gangguan dalam mastikasi sehingga makanan tidak menjadi bolus yang baik sehingga menyebabkan gagguan pencernaan terutama maldigesti dan dispepsia g. Bentuk wajah abnormal 2.8 Pemeriksaan Diagnostik a. Rongent gigi b. Plaster atau mencetak bentuk gigi 2.9 Penatalaksanaan Maloklusi ini bisa diperbaiki dengna beberapa cara. Gigi bisa disusun ulang dengan kekuatan ringan sevara terus menerus melalui penggunaan alat gigi, seperti bingkai penyangga gigi (kawat dan pegas dibawa oleh pengurung yang disesuaikan dengan gigi,



dengan lem gigi) atau sebuah penyangga (bingkai penahan gigi yang bisa dipindahkan dengna kawat dan piringan plastik yang diselipkan kedalam atap mulut) Untuk beberapa maloklusi minor, terapi gigi bisa dilakukan dengan alat yang hampir tidak bisa dilihat. Kadangkala, ketika alat gigi tunggal tidak cukup, operasi rahang kemungkinan bisa dilakukan. Metode lain pengobatan maloklusi termasuk pilihan menggerinda pada beberapa gigi atau pembuatan gigi dengan mahkota gigi. (persatuan senat mahasiswa kedokteran gigi Indonesia,2015) Penatalaksanaan open bite tergantung pada etiologinya masing-masing kasus, dan umur. Mizrahi 1978 menjelaskan empat cara penatalaksanaan dari open bite: modulasi pertumbuhan, orthodonthic mechanotherapy, bedah orthognatic, dan kombinasi dari dua atau lebih. Ekstrasi dan restraksi sangat direkomendasikan untuk mengurangi overjet dan open bite pada pasien dengan open bite anterior dental. 2.10 Komplikasi a. Masalah pada temporomandibular (TMJ) Sendi temporomandibular (TMJ) adalah sendi engsel yang menghubungkan rahang bawah (mandibula) dengan tulang temporal dari tengkorak di depan telinga pada setiap sisi kepala. Sendi yang fleksibel, yang memungkinkan rahang untuk bergerak dengan lancar atas dan ke bawah dan sisi ke sisi dan memungkinkan Anda untuk berbicara, mengunyah, dan menguap. Otot melekat pada dan sekitar sendi rahang kontrol posisi dan pergerakan rahang. b. Bruxism Bruxism adalah kegiatan yang umum yang dapat terjadi baik siang hari dan pada malam hari. Mengepalkan atau grinding saat terjaga sangat umum selama periode konsentrasi, marah, atau stres, dan sering terjadi tanpa orang menyadarinya. Beberapa pendapat menyatakan bahwa anomalisasi struktur gigi akan menjadi salah satu pendorong untuk melakukan aktivitas ini, tetapi penjelasan mengenai hal tersebut masih diteliti lebih lanjut.



BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN



3.1 Pengkajian a. Identitas Klien



Kaji identitas klien, nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, agama, tanggal masuk rumah sakit, diagnosa medis tentang penyakit yang diderita serta alamat klien. b. Keluhan utama Penderita maloklusi umumnya mengalami nyeri pada TMJ. Terkadang menjalar ke kepala dan leher. c. Riwayat kesehatan sekarang Ada tidaknya kondisi penyakit penyerta pada pasien. Kebiasaan hidup sehari-hari mencakup aktivitas, pola makan, penggunaan obat-obat tertentu, istirahan dan tidur. d. Riwayat kesehatan dahulu Memberikan pertanyaan kepada pasien seperti: Apakah pernah mengalami karies gigi atau trauma pada gigi? e. Riwayat penyakit keluarga Salah satu penyebab maloklusi adalah faktor genetik. Pasien diberi pertanyaan tentang penyakit keluarga selama tiga generasi ke atas, apakah ada anggota keluarga lain yang pernah memiliki penyakit yang sama seperti yang diderita pasien. f. Pengkajian Psikososial Respon emosi pasien pada maloklusi pada umumnya labil. Pemeriksaan fisik 1) B1 (breathing) a) frekuensi pernafasan meningkat 2) B2 (blood) a) takikardi 3) B3 (brain) a) bicaranya tidak jelas b) ganguan status mental, tidak percaya diri 4) B4 (bladder) Tidak ada gangguan 5) B5 (bowel) a) nafsu makan menurun b) berat badan menurun c) susah menggigit makanan d) susah mengunyah makanan 6) B6 (bone)



a) nyeri 3.2 Diagnosa Keperawatan a. Nyeri akut TMJ berhubungan dengan kelainan anatomi gigi b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kesulitan mencerna makanan c. Hambatan komunikais verbal berhubungan dengan kelainan anatomis gigi d. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan gangguan fungsi tubuh (gigi)



3.3 Intervensi Keperawatan No 1



Diagnosa Nyeri akut TMJ



Tujuan dan kriteria hasil Selama dilakukan tindakan



berhubungan dengan



keperawatan, nyeri pasien



pengkajian



kelainan anatomi gigi



hilang dengan kriteria hasil : - Pasien rileks - Mampu mengontrol



nyeri



-



nyeri Skala nyeri 0-1



Intervensi a. Lakukan yang



komprehensif, meliputi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi



dan



kulitas nyeri b. Berikan informasi penyebab nyeri pasien c. Berikan lingkungan yang nyaman dan tenang d. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgetik e. Kolaborasi dengan orthodentis



untuk menangani masalah 2



maloklusi klien a. Kaji derajat



Ketidakseimbangan



Selama dilakukan tindakan



nutrisi kurang dari



keperawatan,kebutuhan



kesulitan



kebutuhan tubuh



nutrisi klien adekuat dengan



mengunyah



berhubugan dengan



kriteria hasil :



ketidakmampuan untuk



-



Food and fluid intake



-



adekuat Nutrient intake adekuat



mencerna makanan



pasien b. Berikan makanan dalam tekstur lunak atau cair c. Anjurkan pada pasien untuk makan pelan, sedikit-sedikit tapi sering d. Kolaborasi dengan ahi gizi dalam penyusunan



3



Hambatan komunikasi



Selama dilakukan tindakan



verbal berhubungan



keperawatan, pasien tidak



dengan kelainan



mengalami hambatan



anatomis gigi



komunikasi dengan kriteria



a.



hasil : b. - Mampu mengkomunikasikan kebutuhan dengan c. lingkungan - Komunikasi ekspresi : ekspresi pesan verbal atau pun non verbal bermakna d. 4



Gangguan citra tubuh



Setelah dilakukan tindakan a.



menu makanan Dorong pasien untuk berkomunkasi secara perlahan dan untuk mengulangi permintaan Dengarkan penuh perhatian Anjurkan ekspresi diri dengan cara lain dalam menyampaikan informasi (bahasa isyarat) Kolaborasi dengan orthodentist Dorong klien



berhubungan dengan gangguan fungsi tubuh



keperawatan pasien tidak mengungkapkan mengalami gangguan citra perasaannya tentang tubuh, dengan kriteria hasil : b. Jelaskan pengobatan, - body image positif Mempertahankan interaksi perawatan c. Fasilitasi kontak sosial individu dengan kelompok kecil d. Beri reinforcement yang positif



BAB 4 STUDI KASUS Pasien laki-laki 12 tahun datang ke klinik Ortodonsia RSGM Prof. Soedomo dengan keluhan gigi berjejal, susah makan susah menngunyah. Pemeriksaan intra oral menunjukan maloklusi Angle kelas 1, gigi kaninus kanan kiri rahang atas dan gigi kaninus kanan rahang bawah tidak erupsi dan gigi kaninus desidul masih melekat kuat pada posisinya, gigi anterior rahang atas dan rahang bawah sangat berjejal, kurve spee rahang bawah tajam, deep overbite, iverjet 3 mm dan overbite 8,80 mm. 4.1 Pengkajian a. Identitas Klien Nama : sdr X Usia : 12 th Tempat tgl lahir : Surabaya, 28 Februari 2008



Alamat : Surabaya Agama : Islam Dx. Medis : Maloklusi b. Keluhan utama keluhan gigi berjejal,nyeri, susah makan susah menngunyah. c. Riwayat kesehatan sekarang Ibu pasien mengatakan dulu saat masih gigi susu, giginya masih rapi. Tapi begitu tumbuh gigi baru menjadi tidak beraturan. Pernah dibawa ke dokter gigi, disarankan perbaikan gigi saat semua gigi susu sudah lepas. d. Riwayat kesehatan dahulu Tidak ada e. Riwayat penyakit keluarga Ibu pasien mengatakan kakaknya dulu memiliki masalah yang sama dengan pasien. Pemeriksaan fisik a. B1 (breathing) : RR : 20x/menit b. B2 (blood) : TD : 110/70 mmhg, N : 79x/menit c. B3 (brain) : klien berbicara kurang jelas d. B4 (bladder) :Tidak ada gangguan e. B5 (bowel) : nafsu makan menurun, susah menggigit makanan, susah mengunyah makanan f. B6 (bone) : Nyeri di area gigi rahang kadang sampai leher, nyeri sedang skala 5 4.2 Diagnosa 1. Nyeri akut TMJ berhubungan dengan kelainan anatomi gigi 2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubugan dengan ketidakmampuan untuk mencerna makanan 4.3 Intervensi No 1



Diagnosa Nyeri akut TMJ



Tujuan kriteria hasil Selama dilakukan tindakan



berhubungan dengan



keperawatan, nyeri pasien



pengkajian



kelainan anatomi



hilang dengan kriteria hasil : - Pasien rileks - Mampu mengontrol nyeri - Skala nyeri 0-1



nyeri



gigi



Intervensi a. Lakukan yang



komprehensif, meliputi lokasi, karakteristik,



durasi, frekuensi dan kulitas nyeri b. Berikan informasi penyebab nyeri pasien c. Berikan lingkungan yang nyaman dan tenang d. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgetik e. Kolaborasi dengan orthodentis untuk menangani masalah maloklusi 2



klien a. Kaji derajat



Ketidakseimbangan



Selama dilakukan tindakan



nutrisi kurang dari



keperawatan,kebutuhan nutrisi



kesulitan



kebutuhan tubuh



klien adekuat dengan kriteria



mengunyah



berhubugan dengan



hasil :



ketidakmampuan



-



Food and fluid intake



-



adekuat Nutrient intake adekuat



untuk mencerna makanan



pasien b. Berikan makanan dalam tekstur lunak atau cair c. Anjurkan pada pasien untuk makan



pelan, sedikitsedikit tapi sering d. Kolaborasi dengan ahi gizi dalam penyusunan menu makanan



DAFTAR PUSTAKA Buku Ajar Ortodensia 1. FKG Universitas Gajah Mada Yogyakarta Foster, T. D., 1997, Buku Ajar Ortodonsi, Edisi III, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta Gibson,John. 2003. Fisiologi dan Anatomi Modern Untuk Perawat.EGC : Jakarta Mizrahi EA. 1978. Review of Anterior Open Bite.Br J Orthod.1978:5:21-7 Rahardjo, 2011, Anak Suka Menghisap Ibu Jari, http://psikologi.umk.ac.id/2011/02/anak-menghisapibu-jari.html, Rahardjo, P., 2009, Ortodonti Dasar, Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair, Surabaya Widodo, A., Kisnawati, 2007, Penggunaan Inclined Bite Plane sebagai Piranti Awal untuk Koreksi Anterior Crossbite. M.I Kedokteran Gigi Scientific Journal in Dentistry; FKG Trisakti; 2007; 20 (60) Wong,Dona L.2003. Pedoman Klinis Perawatan Pediatrik. Jakarta:EGC