10 0 177 KB
Euthanasia Menurut Hukum Islam Posted by Farid Ma'ruf pada 26 Januari 2007 Soal : Apakah euthanasia dibolehkan dalam Islam ? Jawab : EUTHANASIA MENURUT HUKUM ISLAM Pengertian Euthanasia
Menurut Deklarasi Lisabon 1981, euthanasia dari sudut kemanusiaan dibenarkan dan merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan. Namun dalam praktiknya dokter tidak mudah melakukan euthanasia, karena ada dua kendala. Pertama, dokter terikat dengan kode etik kedokteran bahwa ia dituntut membantu meringankan penderitaan pasien Tapi di sisi lain, dokter menghilangkan nyawa orang lain yang berarti melanggar kode etik kedokteran itu sendiri. Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain merupakan tindak pidana di negara mana pun. (Utomo, 2003:178).
Euthanasia secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti “baik”, dan thanatos, yang berarti “kematian” (Utomo, 2003:177). Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah qatlu ar-rahma atau taysir al-maut. Menurut istilah kedokteran, euthanasia berarti tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga berarti mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya (Hasan, 1995:145).
Pandangan Syariah Islam
Dalam praktik kedokteran, dikenal dua macam euthanasia, yaitu euthanasia aktif dan euthanasia pasif. Euthanasia aktif adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Suntikan diberikan pada saat keadaan penyakit pasien sudah sangat parah atau sudah sampai pada stadium akhir, yang menurut perhitungan medis sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan yang biasanya dikemukakan dokter adalah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan memperpanjang penderitaan pasien serta tidak akan mengurangi sakit yang memang sudah parah (Utomo, 2003:176).
Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad), walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya. Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri. Misalnya firman Allah SWT :
Contoh euthanasia aktif, misalnya ada seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus (Utomo, 2003:178). Adapun euthanasia pasif, adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi. Terdapat tindakan lain yang bisa digolongkan euthanasia pasif, yaitu tindakan dokter menghentikan pengobatan terhadap pasien yang menurut penelitian medis masih mungkin sembuh. Alasan yang dikemukakan dokter umumnya adalah ketidakmampuan pasien dari segi ekonomi, yang tidak mampu lagi membiayai dana pengobatan yang sangat tinggi (Utomo, 2003:176). Contoh euthanasia pasif, misalkan penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau, orang yang terkena serangan penyakit paruparu yang jika tidak diobati maka dapat mematikan penderita. Dalam kondisi demikian, jika pengobatan terhadapnya dihentikan, akan dapat mempercepat kematiannya (Utomo, 2003:177).
Syariah Islam merupakan syariah sempurna yang mampu mengatasi segala persoalan di segala waktu dan tempat. Berikut ini solusi syariah terhadap euthanasia, baik euthanasia aktif maupun euthanasia pasif. A. Euthanasia Aktif
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS Al-An’aam : 151) “Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja) …” (QS An-Nisaa` : 92) “Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS An-Nisaa` : 29). Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad) yang merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa besar. Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan mematikan, menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena membunuh), oleh pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai firman Allah : “Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.” (QS Al-Baqarah : 178) Namun jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash (dengan memaafkan), qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai dua pilihan lagi, meminta diyat (tebusan), atau memaafkan/menyedekahkan. Firman Allah SWT : “Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang
memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).” (QS AlBaqarah : 178)
Al-Ashlu fi al-amri li ath-thalab
Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di antaranya dalam keadaan bunting, berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa`i (Al-Maliki, 1990: 111). Jika dibayar dalam bentuk dinar (uang emas) atau dirham (uang perak), maka diyatnya adalah 1000 dinar, atau senilai 4250 gram emas (1 dinar = 4,25 gram emas), atau 12.000 dirham, atau senilai 35.700 gram perak (1 dirham = 2,975 gram perak) (Al-Maliki, 1990: 113). Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu kasihan melihat penderitaan pasien sehingga kemudian dokter memudahkan kematiannya. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak diketahui dan tidak dijangkau manusia. Dengan mempercepat kematian pasien dengan euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan Allah kepada-Nya, yaitu pengampunan dosa. Rasulullah SAW bersabda,”Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang menimpanya itu.” (HR Bukhari dan Muslim).
Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadits itu tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan, qarinah yang ada dalam hadits-hadits lain justru menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib. Hadits-hadits lain itu membolehkan tidak berobat.
B. Euthanasia Pasif Adapun hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan yag dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien. Bagaimanakah hukumnya menurut Syariah Islam? Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan kita tentang hukum berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub,mubah, atau makruh? Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun sebagian ulama ada yang mewajibkan berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Utomo, 2003:180). Menurut Abdul Qadim Zallum (1998:68) hukum berobat adalah mandub. Tidak wajib. Hal ini berdasarkan berbagai hadits, di mana pada satu sisi Nabi SAW menuntut umatnya untuk berobat, sedangkan di sisi lain, ada qarinah (indikasi) bahwa tuntutan itu bukanlah tuntutan yang tegas (wajib), tapi tuntutan yag tidak tegas (sunnah). Di antara hadits-hadits tersebut, adalah hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA) Hadits di atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat. Menurut ilmu Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi makna adanya tuntutan (li ath-thalab), bukan menunjukkan kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai kaidah ushul :
“Perintah itu pada asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan.” (An-Nabhani, 1953)
Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa seorang perempuan hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu berkata,”Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap auratku [saat kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku!” Nabi SAW berkata,”Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.” Perempuan itu berkata,”Baiklah aku akan bersabar,” lalu dia berkata lagi,”Sesungguhnya auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh], maka berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersingkap.” Maka Nabi SAW lalu berdoa untuknya. (HR Bukhari) Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan dengan hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka hadits terakhir ini menjadi indikasi (qarinah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandub), bukan wajib (Zallum, 1998:69). Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya sunnah, termasuk dalam hal ini memasang alatalat bantu bagi pasien. Jika memasang alat-alat ini hukumnya sunnah, apakah dokter berhak mencabutnya dari pasien yag telah kritis keadaannya? Abdul Qadim Zallum (1998:69) mengatakan bahwa jika para dokter telah menetapkan bahwa si pasien telah mati organ otaknya, maka para dokter berhak menghentikan pengobatan, seperti menghentikan alat bantu pernapasan dan sebagainya. Sebab pada dasarnya penggunaan alat-alat bantu tersebut adalah termasuk aktivitas pengobatan yang hukumnya sunnah, bukan wajib. Kematian otak tersebut berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi kembalinya kehidupan bagi pasien. Meskipun sebagian organ vital lainnya masih bisa berfungsi, tetap tidak akan dapat mengembalikan kehidupan kepada pasien, karena organorgan ini pun akan segera tidak berfungsi. Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat bantu kepada pasien adalah sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya sunnah. Karena itu, hukum euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien – setelah matinya/rusaknya organ otak—hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi dokter. Jadi setelah mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak dapat dapat dikatakan berdosa dan tidak dapat dimintai tanggung jawab mengenai tindakannya itu (Zallum, 1998:69; Zuhaili, 1996:500; Utomo, 2003:182). Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin dari pasien, walinya, atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus pasien). Jika pasien tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib diperlukan izin dari pihak penguasa (Al-
Hakim/Ulil Amri) (Audah, 1992 : 522-523). Wallahu a’lam. DAFTAR PUSTAKA Al-Maliki, Abdurrahman. Beirut : Darul Ummah.
1990.
Nizham Al-‘Uqubat.
An-Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Asy-Syakhshiyah AlIslamiyah. Juz III. Al-Quds : Mansyurat Hizb Al-Tahrir. Audah, Abdul Qadir. 1992. At-Tasyri’ Al-Jina`i Al-Islami. Beirut : Muassasah Ar-Risalah. Az-Zuhaili, Wahbah. 1996. Al-Fiqh Adillatuhu. Juz IX (Al-Mustadrak). Damaskus : Darul Fikr.
Al-Islami
penderitaannya. Ditambah bahwa pengobatan itu sendiri tidak akan mengurangi penyakit yang diderita yang memang sudah parah. Atau menurut perhitungan medis, penyakit itu sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau si pasien sudah tidak akan bertahan lama. Atau bisa juga dengan alasan bahwa pihak keluarga pasien tidak mempunyai kemampuan finansial untuk membayar pengobatannya sementara walaupun pengobatan dilanjutkan juga tidak akan membawa hasil positif. [http://id.wikipedia.org/wiki/Eutanasia#cite_note -25]
wa
Hasan, M.Ali. 1995. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam. Jakarta : RajaGrafindo Persada. Utomo, Setiawan Budi. 2003. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer. Jakarta : Gema Insani Press. Zallum, Abdul Qadim. 1997. Hukm Asy-Syar’i fi AlIstinsakh, Naql A’dha`, Al-Ijhadh, Athfaal Al-Anabib, Ajhizatul In’asy At-Tibbiyah, al-Hayah wa al-Maut. Beirut : Darul Ummah. Zallum, Abdul Qadim. 1998. Beberapa Problem Kontemporer dalam Pandangan Islam : Kloning, Transplantasi Organ Tubuh, Abortus, Bayi Tabung, Penggunaan Organ Tubuh Buatan, Definisi Hidup dan Mati. Bangil : Al Izzah. Zuhdi, Masjfuk. 1993. Masail Fiqhiyah. Cetakan VI. Jakarta : CV. Haji Masagung (http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/26/eu thanasia-menurut-hukum-islam/) Euthanasia Dalam Perspektif Islam Secara bahasa, euthanasia berasal dari bahasa Yunani, eu yang berarti “baik”, dan thanatos, yang berarti “kematian”. Sementara dalam fiqh Islam, euthanasia ini diistilahkan dengan qatl arrahmah (membunuh karena kasihan) atau taisir al-maut (mempermudah kematian). Adapun secara istilah, maka euthanasia adalah praktik memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit -karena kasih sayang-, dengan tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif (aktif) maupun negatif (pasif). Euthanasia biasa dilakukan dengan alasan bahwa pengobatan yang diberikan kepada pasien hanya akan memperpanjang
Bentuk-Bentuk Euthanasia Dalam definisi di atas sudah diisyaratkan bahwa euthanasia mempunyai 2 bentuk A.
Euthanasia Aktif atau Positif.
Dia adalah tindakan memudahkan kematian si sakit yang dilakukan oleh dokter dengan mempergunakan instrumen (alat), yang biasanya berupa penyuntikan obat ke dalam tubuh pasien. Misalnya: Ada seseorang menderita penyakit yang sangat kronis atau sudah sampai pada stadium akhir, yang disertai dengan rasa sakit yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin jika si pasien tidak akan bertahan lama. Maka dokter kemudian memberinya obat (morfin atau semacamnya) dengan takaran tinggi (overdosis) yang dapat menghilangkan rasa sakitnya, akan tetapi sekaligus menghentikan pernapasannya. B.
Euthanasia Pasif atau Negatif.
Dia adalah tindakan menghentikan pengobatan pasien yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat disembuhkan. Dimana penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian si pasien. Penghentian pengobatan biasanya dilakukan dengan mencabut alat bantu pernafasan dari pasien yang notabene merupakan satu-satunya sebab yang membuat pasien masih hidup. Misalnya: Ada seorang yang menderita koma dalam jangka lama, dimana otaknya sudah tidak berfungsi atau sudah mati. Secara medis, orang ini sudah tidak mungkin sembuh dan jika dia hidup maka itu hanya akan menyiksa dirinya mengingat tubuhnya sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Dan satu-satunya alasan yang membuat dia masih hidup (tentunya setelah izin Allah) adalah adanya alat bantu pernafasan yang membuat dia masih bisa bernafas. Maka melihat kenyataan seperti itu, si dokter
melepaskan alat bantu pernafasan tersebut sehingga akhirnya pasien meninggal karena sudah tidak bisa bernafas. Hukum Euthanasia A.
Hukum Euthanasia Aktif (Positif)
Euthanasia aktif dengan semua bentuknya adalah haram dan merupakan dosa besar. Hal itu karena euthanasia aktif hakikatnya merupakan pembunuhan dengan sangaja. Dan pembunuhan dengan sengaja atau terencana adalah haram, apapun alasan yang melandasinya. Baik itu dengan alasan kasih sayang, permintaan si pasien sendiri, permintaan keluarga pasien, atau alasan lainnya yang jelas tidak diterima oleh syariat. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS. Al-An’am 151) Dan kami rasa dalil-dalil akan haramnya pembunuhan dengan sengaja adalah hal yang sudah masyhur, karenanya tidak perlu disebutkan di sini. Adapun jika itu atas permintaan si pasien, maka si pasien itu telah menanggung dosa yang sangat besar karena dia telah membunuh dirinya atau menyuruh orang lain membunuh dirinya. Sementara dokter dan pihak keluarga yang rela dengan hal itu semuanya mendapatkan dosa karena telah meridhai bahkan bekerja sama dalam perbuatan dosa. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS An-Nisaa` : 29) Ini hukumnya di akhirat. Adapun hukum pidana di dunia, maka hukumnya dikembalikan kepada keluarga di pasien. Dan dalam hal ini keluarga pasien mempunyai 3 opsi: a. Memaafkan si dokter dan membebaskannya dari semua tuntutan dan ganti rugi. b. Meminta ganti rugi (diyat) kepada si dokter. Dan diyat untuk pembunuhan dengan sengaja adalah 100 ekor onta atau yang senilai dengannya berupa emas dan perak atau 1000 dinar atau 12.000 dirham menurut pendapat mayoritas ulama. Sementara 1 dinar setara dengan 4,25 gr emas.
c. Menuntut si dokter dengan hukuman mati (qishash). Hanya saja perlu diingatkan bahwa masalah qishash mempunyai beberapa hukum dan masalah tersendiri, yang rinciannya bisa dilihat dalam buku-buku fiqhi. Ketiga opsi ini terambil dari firman Allah Ta’ala yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma’af) membayar (diat) kepada yang memberi ma’af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.” (QS Al-Baqarah : 178) B.
Hukum Euthanasia Pasif (Negatif)
Jika kita memperhatikan praktik euthanasia pasif ini, maka kita bisa mengetahui bahwa sebenarnya hakikat dari euthanasia pasif ini adalah tindakan menghentikan pengobatan, karena diyakini (atau dugaan besar) pengobatan itu sudah tidak bermanfaat dan hanya akan menambah kesusahan bagi pasien. Karenanya, hukum euthanasia pasif ini kembalinya kepada hukum berobat itu sendiri. Apakah berobat itu hukumnya wajib, sunnah, atau mubah? Jika kita katakan berobat hukumnya wajib, maka berarti menghentikan pengobatan (euthanasia pasif) hukumnya adalah haram. Jika kita katakan berobat itu hukumnya sunnah, maka maka berarti menghentikan pengobatan (euthanasia pasif) hukumnya adalah makruh. Dan jika kita katakan berobat itu hukumnya mubah (boleh), maka maka berarti menghentikan pengobatan (euthanasia pasif) hukumnya adalah mubah. Dan telah kami jelaskan pada artikel sebelumnya bahwa berobat hukumnya adalah sunnah. Silakan baca artikelnya di sini. Kita kembali. Maka jika berobat hukumnya sunnah, maka berarti menghentikan pengobatan adalah hal yang mubah. Karenanya euthanasia pasif ini hukumnya adalah tidak diharamkan jika memang sudah dipastikan
(atau dugaan besar) si pasien sudah tidak bisa sembuh dan hidupnya dia hanya akan menambah penderitaannya. Jika si dokter melakukannya maka insya Allah dia tidak mendapatkan hukuman di akhirat. Hanya saja untuk pelaksanaan euthanasia pasif ini tetap disyaratkan harus adanya izin dari pasien, atau walinya, atau atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus pasien). Jika pasien tidak mempunyai wali atau washi, maka yang dimintai izin adalah pemerintah. Wallahu Ta’ala A’lam bishshawab. (http://al-atsariyyah.com/euthanasia-dalam-perspektifislam.html)
kesepakatan, akibat situasi ini semakin menempatkan dokter pada posisi yang sulit. Kelompok yang tidak setuju berpendapat bahwa euthanasia adalah suatu pembunuhan yang terselubung, sehingga bertentangan dengan kehendak Tuhan. Kelompok ini berpendapat bahwa hidup adalah semata-mata diberikan oleh Tuhan sendiri, sehingga tak seorang manusia atau institusi manapun yang berhak mencabutnya. Dengan demikian manusia sebagai ciptaan Tuhan yang tidak memiliki hak untuk mati. Kelompok yang pro berpendapat bahwa tindakan euthanasia dilakukan dengan persetujuan dan tujuan utama untuk menghentikan penderitaan pasien. Salah satu prinsip yang menjadi pedoman kelompok ini adalah pandapat bahwa manusia tidak boleh dipaksa untuk menderita. Jadi tujuan utamanya
Euthanasia, Legal atau Non Legal? In Total Artikel on Mei 25, 2008 at 5:07 pm Hipocrates bersabda kepada murid-muridnya
adalah meringankan penderitaan pasien dengan resiko hidupnya diperbaiki.
untuk tidak melakukan praktek euthanasia dan
Euthanasia (eu = baik, thanatos = mati) atau
melakukan pengguguran kandungan.
good death / easy death sering pula disebut
(Di sisi lain) Keinginan untuk mati merupakan hak asasi setiap manusia di atas segala hukum, baik hukum positif maupun kode etik profesi kedokteran.
“mercy killing” pada hakekatnya pembunuhan atas dasar perasaan kasihan, sebenarnya tidak lepas dari apa yang disebut hak untuk menentukan nasib sendiri (the right self of determination) pada diri pasien. Hak ini menjadi unsur utama hak asasi manusia dan seiring dengan kesadaran baru mengenai hak-hak
Pada dasawarsa ini para dokter dan petugas
tersebut. Demikian pula dengan berbagai
kesehatan lain menghadapi sejumlah masalah
perkembangan ilmu dan teknologi (khususnya
dalam bidang kesehatan yang cukup berat
dalam bidang kedokteran), telah
ditinjau dari sudut pandang medis-etis-yuridis.
mengakibatkan perubahan yang dramatis atas
Masalah yang dimaksud, antara lain:
pemahaman mengenai euthanasia.
transplantasi organ manusia, inseminasi artificial, sterilisasi, bayi tabung, Abortus provocatus, dan euthanasia. Dari keenam masalah tersebut di atas maka euthanasia merupakan dilema yang menempatkan tenaga kesehatan pada situasi yang sangat sulit, karena sampai sekarang masih terus menjadi bahan perdebatan baik para ahli dari komponen agama, medis, dan etis belum memperoleh
Namun, uniknya, kemajuan dan perkembangan yang pesat ini rupanya tidak diikuti oleh perkembangan di bidang hukum dan etika. Pakar hukum kedokteran Prof. Separovic menyatakan bahwa konsep kematian dalam dunia kedokteran masa kini dihadapkan pada kontradiksi antara etika, moral, dan hukum di satu pihak, dengan kemampuan serta teknologi kedokteran yang sedemikian maju di pihak lain.
Jadi, pertanyaan-pertanyaan seputar euthanasia
jika dokter melakukan negative act tidak
itu sebenarnya akar permasalahan dari
melakukan tindakan apa-apa yang secara tidak
kontradiksi tersebut yang antara lain adalah
langsung menyebabkan kematian.
Bagaimana “posisi” etika, moral, dan hukum bagi dokter yang harus berhadapan dengan
Dilihat dari orang yang membuat keputusan
realita euthanasia tersebut di tengah
euthanasia dibagi menjadi Voluntary
masyarakat.
euthanasia, jika yang membuat keputusan adalah orang yang sakit dan Involuntary
Di dunia etik kedokteran kata euthanasia
euthanasia, jika yang membuat keputusan
diartikan secara harfiah akan memiliki arti “mati
adalah orang lain seperti pihak keluarga atau
baik”. Di dalam bukunya seorang penulis Yunani
dokter karena pasien mengalami koma medis.
bernama Suetonius menjelaskan arti euthanasia sebagai “mati cepat tanpa derita”.
Selain pembagian-pembagian euthanasia seperti tersebut di atas terdapat pula beberapa
Euthanasia Studi Grup dari KNMG Holland
istilah lain yang bisa dijadikan pertimbangan,
(Ikatan Dokter Belanda) menyatakan:
yaitu:
“Euthanasia adalah perbuatan dengan sengaja
Auto-euthanasia, bila pasien secara tegas
untuk tidak melakukan sesuatu untuk
menolak dengan sadar untuk menerima
memperpanjang hidup seorang pasien atau
perawatan medis dan ia mengetahui bahwa hal
sengaja melakukan sesuatu untuk
ini akan memperpendek atau mengakhiri
memperpendek atau mengakhiri hidup seorang
hidupnya. Dari penolakan tersebut ia membuat
pasien, dan semua ini dilakukan khusus untuk
sebuah pernyataan tertulis Auto-euthanasia
kepentingan pasien itu sendiri”.
pada dasarnya adalah euthanasia pasif atas permintaan.
Kemudian oleh komisi negara yang dibentuk oleh pemerintah Belanda tahun 1984 yang
Pseudo euthanasia (Prof.Mr.H.J.J.Leenen), yaitu
bernama “Staats Commissie Euthanasia”
bentuk-bentuk pengakhiran hidup yang bukan
dirumuskan dalam sebuah definisi:
euthanasia, tapi mirip dengan euthanasia, yang termasuk dalam penggolongan ini adalah
“Euthanasia, tindakan mengakhiri hidup
pengakhiran perawatan pasien karena gejala
seseorang oleh orang lain dengan secara
brainstamdeath, keadaan yang bersifat
sengaja dan atas permintaan yang
emergency, perawatan medis yang tidak
bersangkutan kepadanya”.
berguna lagi, dan pasien menolak perawatan
Secara umum euthanasia diartikan sebagai
medis.
tindakan mengakhiri hidup seseorang atas
Banyak dokter merasa ragu, apakah tindakan
dasar kasihan karena menderita penyakit,
menghentikan atau melepaskan alat-alat
kecideraan, atau ketidakberdayaan yang tak
penunjang kehidupan yang sudah terlanjur
mempunyai harapan lagi untuk sembuh (the
dipasang dapat dikategorikan sebagai tindakan
mercy killing of the hoplessly ill, injured or
euthanasia pasive. Keraguan seperti itu
incapacitated).
mestinya tak perlu kalau dokter memahami
Dilihat dari cara melakukannya dikenal dua macam, yaitu euthanasia aktif jika dokter melakukan positive act yang secara langsung menyebabkan kematian dan euthanasia pasif
bahwa keputusan medik itu menjadi tanggung jawab dokter dan tidak dapat diganggu gugat atau dipengaruhi oleh siapapun.
Untuk menentukan kematian seseorang
“Di Indonesia sebagai negara yang berazaskan
diperlukan kriteria diagnostik yang benar
Pancasila, dengan sila yang pertamanya adalah
berdasarkan konsep diagnostik yang dapat
Ke Tuhanan Yang Maha Esa, tidak mungkin
dipertanggung-jawabkan secara ilmiah. Kriteria
dapat menerima tindakan “euthanasia aktif”
diagnostik pertama yang dibuat oleh para ahli di bidang kedokteran adalah berdasarkan
Namun apabila pasien dipastikan mengalami
konsep “permanent of heart beating and
kematian otak maka pasien dinyatakan telah
respiration is death”. Setelah ditemukannya
meninggal. Tindakan penghentian terapeutik
respirator yang dapat mempertahankan fungsi
diputuskan oleh oleh dokter yang telah
paru-paru dan jantung maka disusunlah kriteria
berpengalaman, selain harus pula
baru berdasarkan pada kansep “brain death is
dipertimbangkan keinginan pasien, keluarga
death”. Terakhir, konsep diagnostik tersebut
pasien, dan kualitas hidup yang diharapkan.
diperbaiki lagi menjadi “brain stem death is
Sesuai dengan surat edaran IDI menyatakan:
death”.
Sampaikan kepada pasien dan atau keluarganya keadaan yang sebenarnya dan sejujur-jujurnya
Di Indonesia, lkatan Dokter Indonesia (IDI)
mengenai penyakit yang diderita pasien.
dengan surat keputusan Nomor 336/PB/A.4/88 merumuskan bahwa seseorang dinyatakan mati
Dalam keadaan di mana ilmu dan teknologi
apabila fungsi spontan pernafasan dan jantung
kedokteran sudah tidak dapat lagi diharapkan
telah berhenti secara pasti (irreversible), atau
untuk memberi kesembuhan, maka upaya
apabila terbukti telah terjadi kematian batang
perawatan pasien bukan lagi ditujukan untuk
otak.
memperoleh kesembuhan melainkan harus lebih ditujukan untuk memperoleh kenyamanan
Seorang filosof Yunani yang meletakkan
dan meringankan penderitaannya.
landasan legisme bagi sumpah dokter dan etika kedokteran, Hippocrates menuntut para
Bahwa tindakan menghentikan usia pasien pada
muridnya untuk bersumpah tidak melakukan
tahap menjelang ajalnya, tidak dapat dianggap
euthanasia dan pengguguran kandungan,
sebagai suatu dosa, bahkan patut dihormati.
kemudian PP Thun 1969 tentang Lafal Sumpah
Namun demikian dokter wajib untuk terus
Dokter Indonesia yang bunyinya sama dengan
merawatnya, sekalipun pasien dipindah ke
Deklarasi Jenewa 1948 dan Deklarasi Sydney
fasilitas lainnya.
1968.
MUI dalam fatwanya tidak memperbolehkan
Dalam pasal 9, BAB II KODEKI tentang
euthanasia karena tidak diperbolehkan agama.
kewajiban dokter kepada pasien, disebutkan
Hal senada juga ditegaskan oleh PGI, hanya
bahwa seorang dokter harus senantiasa
dengan catatan bila secara medis sudah tidak
mengingat akan kewajiban melindungi hidup
ada harapan sembuh dan kondisi pasien justru
mahluk insani menurut etik kedokteran, dokter
semakin menderita. Membunuh tidak
tidak boleh menggugurkan kandungan dan
dibenarkan dalam agama namun keputusan
mengakhiri hidup orang yang sakit meskipun
euthanasia atas seseorang hanya bisa dilakukan
menurut pengetahuan tidak mungkin sembuh.
jika diambil dalam persidangan yang mendengarkan keterangan ahli hukum, etika
Ditegaskan pula dalam Surat Edaran IDI
kedokteran, dan agama pasien.
No.702/PB/H2/09/2004 yang menyatakan sebagai berikut:
Secara umum sebenarnya hukum tidak memberikan rumusan yang tegas mengenai
kematian seseorang. Hanya, disebutkan bahwa
meminta dokter untuk mengakhiri hidupnya
kematian adalah hilangnya nyawa seseorang,
sebetulnya tidak ingin mati tetapi ingin
namun tidak ada penjelasan lebih lanjut.
mengakhiri penderitaanya. Namun demikian di
Padahal, dengan kemajuan iptek kedokteran
negara kita belum ada hukum yang jelas
masa kini, detak jantung dan napas seseorang
mengenai euthanasia ini. Dasar dari penentuan
dapat terus dipertahankan karena fungsi
tindakan boleh dilakukan euthanasia atau tidak
otonomnya (dengan bantuan peralatan medis
boleh dilakukan euthanasia adalah pedoman
tertentu), walaupun sebenarnya otak atau
yang dikeluarkan oleh Pengurus besar Ikatan
batang otaknya telah berhenti berfungsi. Inilah
Dokter Indonesia, yaitu Surat Edaran
yang di kalangan kedakteran dikenal sebagai
No.702/PB/H.2/09/2004 tentang euthanasia.
keadaan vegetatif (vegetative state). Dalam pandangan hukum, euthanasia bisa Permasalahan yang timbul kemudian adalah
dilakukan jika pengadilan megijinkan. Namun
bahwa pasien tidak dapat melakukan kegiatan
bila euthanasia dilakukan tanpa dasar hukum,
selayaknya manusia, hidup dengan bantuan
maka dokter dan rumah sakit bisa dianggap
alat-alat yang tentunya akan semakin
melanggar pasal 345 KUHP, yaitu
memperpanjang penderitaan. Pada kasus ini
menghilangkan nyawa orang lain dengan
jelas bahwa pasien mengalami kematian batang
menggunakan sarana. Dari sudut pandang
otak di mana secara etik-moral dapat
hukum euthanasia aktif jelas melanggar, UU RI
menghentikan tindakan terpeutik dengan tujuan
No. 39 tahun 1999 tentang HAM, yaitu Pasal 4,
untuk mengakhiri penderitaan. Tindakan ini
Pasal 9 ayat 1, Pasal 32, Pasal 51, Pasal 340,
menurut Prof.J.J.leennen digolongkan pseudo
Pasal 344, dan Pasal 359.
euthanasia. Masalah kemudian berkembang ketika menyentuh hak dasar pasien untuk menentukan dirinya sendiri (the right self of determination), di mana tentunya pasien yang diwakili oleh keluarga meminta untuk mengakhiri hidup dengan melepas alat-alat bantu tersebut. Dalam memandang kasus seperti ini kita memandang dari dua sisi, yaitu pertama, pasien memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan mempunyai hak untuk menolak perawatan, hal ini merupakan hak dasar yang tercantum di dalam UU HAM dan UU Kesehatan. Kedua, dokter mempunyai kewajiban bahwa di dalam menjalankan hak dan kebebasanya sebagai seorang dokter hendaknya menghormati hak dan kebebasan yang digunakan pasien untuk memenuhi tuntuntan yang adil sesuai dengan pertimbangan etikmoral. Prof. Olga Lelacic dari fakultas hukum SPLIT mengemukakan bahwa seorang pasien yang
(http://laporanpenelitian.wordpress.com/20
08/05/25/euthanasia-antara-legal-dan-nonlegal/) SKENARIO 1: Euthanasia Setelah 2 bulan opname di RS tingkat Propinsi yang peralatan medisnya cukup lengkap dan canggih, suami pasien dengan perasaan sedih dan lemas melapor pada dokter yang merawat isterinya :” Dok, mohon maaf kami terpaksa akan membawa pulang isteri saya. Kami ucapkan banyak terima kasih atas perawatan dokter selama ini. Segala resiko yang terjadi akan kami tanggung. Bagaimana sebaiknya sikap, saran, nasehat serta tindakan yang patut dilakukan oleh dokter tersebut dengan mempertimbangkan aspek etik, moral, medikolegal, profesionalisme serta keselamatan pasien. Sebagai TAMBAHAN informasi : Suami pasien seorang buruh tani, keadaan sosial ekonomi rendah, umur pasien 45 tahun. Untuk keperluan opname isterinya di RS ia telah menjual tanah pekarangannya, sedang ia masih menanggung kedua anaknya yang masih sekolah SD dan SMP. Pasien dirawat dengan coma karena cirrhosis hepatis. PERTANYAAN : Bagaimana pandangan semua kasus diatas Bagaimana pandangan semua kasus diatas Bagaimana pandangan semua kasus diatas Tindakan apa yang harus dilakukan, jika yang memutuskan perkara diatas ?
menurut Al-Quran ? Al-Hadist ? ilmu kedokteran ? anda sebagai dokter
Petunjuk Penyusunan Makalah dan Presentasi -Makalah Agama Islam disusun dengan format Kertas Ukuran :
A4, Margin Atas dan Kiri : 4 cm, Bawah dan Kanan : 3 cm, Spasi : 1,5 cm -Isi dari makalah sesuai kasus -Batas akhir pengumpulan makalah tanggal 21 Oktober ke asisten masing-masing. -Makalah dikerjakan oleh tiap-tiap anggota (satu mahasiswa satu makalah) yang dibimbing dan dinilai keaktifannya oleh assisten masing-masing Kompetensi : Menunjukkan sikap yang sesuai dengan kode etik dokter indonesia Mempertimbangkan masalah pembiayaan dan hambatan lain dalam memberikan pelayanan kesehatan serta dampaknya Mempertimbang aspek etis dan moral dalam hubungan dengan petugas kesehatan lain serta bertindak secara profesional Berperan dalampengelolaan masalah pasien dan menerapkan nilai profesionalisme Memahami dan menerima tanggung jawab hukum berkaitan dengan HAM Menerapkan SKP (Standart keselamatan Pasien) Terkait I. hak pasien Menerapkan SKP terkait 3. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan