Evaluasi Program Stunting [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Evaluasi Program Stunting Ringkasan Masalah Program : Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya (kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah anak lahir, tetapi baru nampak setelah anak berusia 2 tahun). Kegagalan memenuhi persyaratan mikronutrien, lingkungan yang tidak mendukung dan penyediaan perawatan yang tidak adekuat merupakan



faktor



yang



bertanggungjawab



dan



mempengaruhi kondisi



pertumbuhan hampir 200 juta anak dibawah umur 5 tahun. Masalah bayi dan balita stunting sangat dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor ibu dan pola asuh yang kurang baik terutama pada perilaku dan praktik pemberian makan pada anak juga menjadi penyebab anak stunting, apabila ibu tidak memberikan asupan gizi yang cukup dan baik. Ibu yang masa remajanya kurang nutrisi, bahkan dimasa kehamilan, dan laktasi akan sangat mempengaruhi pada pertumbuhan tubuh dan otak anak. Faktor lainnya yang menyebabkan stunting adalah, terjadi infeksi pada ibu, kehamilan remaja, gangguan mental pada ibu, jarak kelahiran anak yang pendek, dan hipertensi. Selain itu rendahnya akses terhadap pelayanan kesehatan termasuk akses sanitasi air bersih menjadi salah satu faktor yang sangat mempengaruhi pertumbuhan anak.



Pelaku: Pemerintah melalui Perpres No.42/2013 tentang Percepatan Perbaikan Gizi sejauh ini telah mengatur langkah sinergis yang dapat dijalankan untuk investasi gizi itu. Target pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) adalah menurunkan prevalensi stunting dari status awal 32,9 persen turun menjadi 28 persen pada tahun 2019. Intervensi dilakukan pada sepanjang siklus kehidupan baik di sektor kesehatan maupun non kesehatan yang melibatkan berbagai lapisan masyarakat seperti pemerintah, swasta, masyarakat sipil, PBB melalui tindakan kolektif untuk peningkatan perbaikan gizi, baik jangka pendek (intervensi spesifik) maupun jangka panjang (sensitif). Dalam hal ini profesi yang terlibat dalam program ini adalah Ahli Gizi yang membantu perbaikan gizi bayi dan balita dalam pola pemberian makanannya, serta peran orang tua yang turut andil menjaga pola makan bayi dan balita. Selain itu, perlu adanya profesi promosi kesehatan dalam hal melakukan penyuluhan ke masyarakat terutamanya orang tua yang memiliki bayi atau balita dan ibu yang sedang mengandung untuk memberikan pemahaman makanan yang bergizi seimbang. Konteks Program: Dalam pelaksanaan kebijakan yang temuat dalam Peraturan Presiden RI No. 42 Tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi. Tujuan umum dari Perpres ini untuk percepatan perbaikan gizi masyarakat prioritas pada seribu hari pertama kehidupan, dan tujuan khususnya adalah untuk meningkatkan komitmen para pemangku kepentingan untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan gizi masyarakat, meningkatkan kemampuan pengelolaan program gizi, khususnya



koordinasi antar sektor untuk mempercepat sasaran perbaikan gizi serta memperkuat implementasi konsep program gizi yang bersifat langsung dan tidak langsung. Dalam perpres ini, perlu adanya hubungan kerja antar sektor yang sangat baik agar dalam perwujudannya kebijakan ini dapat tercapai seperti dalam tujuan yang terkandung pada Perpres tersebut. Proses Program: Pada Desember 2011 Sekjen PBB menunjuk Deputi Bidang SDM dan Kebudayaan – Bappenas menjadi anggota  Lead Group Scaling Up Nutrition (SUN) Movement. SUN merupakam upaya Sekjen PBB dalam mengkoordinasi dan sebagai respon negara-negara di dunia terhadap kondisi status pangan dan gizi untuk pemerataan pencapaian sasaran tujuan MDGs. Dalam menilai capaian dari pelaksanaan Scaling Up Nutrition (SUN) Movement di masing-masing negara anggota SUN, digunakan 4 indikator proses yang ditetapkan oleh SUN Movement Secretariat, yaitu: 



Meningkatkan partisipasi pemangku kepentingan dalam berbagi pengalaman pelaksanaan,







Terjaminnya kebijakan yang koheren dan adanya kerangka legalitas program,







Menyelaraskan program-program sesuai dengan kerangka program SUN Movement; dan







Teridentifikasinya sumber-sumber pembiayaan. Dalam rangka pencapaian 4 indikator SUN, Indonesia melakukan beberapa



program diantaranya : pada tanggal 19 September 2012 dilaksanakan soft launching Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi, bulan Nopember 2012 dilakukan Lokakarya Pangan dan Gizi Nasional serta diskusi dengan para pengusaha terkait Gerakan 1000 HPK. Hingga pada bulan Mei 2013, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Presiden No. 42/2013 mengenai Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi yang berisikan kerangka kerja untuk melaksanakan upaya percepatan perbaikan gizi di Indonesia.



Latar Belakang Banyak yang berpendapat bahwa masalah gizi seperti stunting (ukuran tubuh pendek), gemuk, dan beberapa penyakit tertentu terutama penyakit tidak menular disebabkan oleh faktor genetik, sehingga tidak banyak usaha yang dilakukan untuk memperbaikinya. Akan tetapi, menurut berbagai bukti ilmiah dari banyak penelitian lembaga rizet gizi terbaik di dunia mengemukakan bahwa masalah gizi yang selama ini dianggap sebagai masalah faktor genetik merupakan suatu anggapan yang kurang benar. Faktor penyebab terpenting tubuh pendek, gemuk, penyakit tidak menular dan beberapa indikator kualitas hidup lainnya adalah lingkungan hidup sejak konsepsi sampai anak usia 2 tahun yang dapat dirubah dan diperbaiki. Sehingga pemberian gizi 1000 hari pertama kehidupan merupakan penentu status gizi dan kesehatan ibu dan anak. Berdasarkan data Riskesdas tahun 2010 Indonesia mengalami masalah gizi double burden dimana pada salah satu pihak mengalami kekurangan gizi dan di pihak lain mengalami kelebihan gizi dengan presentase BBLR sebesar 8,8%, anak balita stunting sebesar 35,6%, dan anak balita kurus sebesar 12,2%. Selain itu, hasil Riskesdas 2013 menyebutkan kondisi konsumsi makanan ibu hamil dan balita tahun 2016-2017 menunjukkan di Indonesia 1 dari 5 ibu hamil kurang gizi, 7 dari 10 ibu hamil kurang kalori dan protein, 7 dari 10 balita kurang kalori, serta 5 dari 10 balita kurang protein. Dampak yang dapat disebabkan masalah gizi tersebut dapat dibagi menjadi dua, yaitu masalah yang timbul dalam jangka pendek dan jangka panjang. Dalam jangka pendek masalah gizi tersebut berdampak pada terganggunya perkembangan otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik dan gangguan



metabolisme dalam tubuh. Sedangkan dalam jangka panjang masalah gizi berdampak pada penurunan kemampuan kognitif dan prestasi belajar, penurunan kekebalan tubuh sehingga beresiko terserang penyakit, dan resiko tinggi terkena kegemukan dengan berbagai penyakit yang menyertainya. Jika masalah gizi tersebut tidak diatasi maka akan menurunkan kualitas sumber daya manusia yang ada di Indonesia. Untuk mengatasi masalah gizi yang ada di Indonesia, Pemerintah Indonesia menyepakati untuk menjadi bagian dari Gerakan SUN Movement dan kemudian mengeluarkan Peraturan Presiden RI No. 42 Tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi. Stunting dapat dicegah dengan pencegahan primer, sekunder dan tersier. Untuk pencegahan primer dapat dilakukan : 1. suplementasi Tablet Besi Folat pada Bumil ; 2. Pemberian Makanan Tambahan (PMT) Bumil KEK; 3. Promosi dan Konseling IMD dan ASI Eksklusif ; 4. Pemberian Makanan Bayi dan Anak (PMBA) ; 5. Pemantauan Pertumbuhan di Posyandu ; 6. Pemberian Imunisasi ; 7. Pemberian Makanan Tambahan Balita Gizi Kurang ; 8. Pemberian Vitamin A ; 9. Pemberian Taburia pada Baduta ; 10. Pemberian Obat Cacing pada Bumil. Pencegahan sekunder disosialisasikan kepada remaja putri yaitu dengan pemberian (1) Suplementasi Tablet Tambah Darah pada Remaja Putri ; (2) Pemberian obat cacing pada Remaja Putri ; (3) Promosi Gizi Seimbang ; (4) Pemberian Suplementasi Zink ; (5) Penyediaan akses PKPR (Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja) di Puskesmas. Percegahan tersier lebih ditujukan kepada orang terdekat (suami, orang tua, guru, remaja putra) yaitu dengan (1) konsultasi perencanaan kehamilan dengan



melibatkan suami dan keluarga (orang tua) ; (2) Pelayanan kontrasepsi bagi Suami untuk penundaan kehamilan ; (3) Bimbingan konseling ke Bidan bersama dengan suami untuk penentuan tempat dan penolong persalinan



; (4) Pendidikan Kespro



bagi Remaja Putra ; (5) Mempersiapkan konseling Calon Pengantin Selain itu pencegahan yang dapat dilakukan dengan : (1) Penyediaan akses dan ketersediaan air bersih serta sarana sanitasi (jamban sehat) di keluarga ; (2) Pelaksanaan fortifikasi bahan pangan ; (3) Pendidikan dan KIE Gizi Masyarakat ; (4) Pemberian Pendidikan dan Pola Asuh dalam Keluarga ; (5) Pemantapan Akses dan Layanan KB ; (6) Penyediaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan Jaminan Persalinan ; (7) Pemberian Edukasi Kespro. Analisa isi Program Tingginya angka stunting di Indonesia, yakni dari 34 provinsi hanya ada dua provinsi yang jumlahnya di bawah 20% (batas angka stunting dari WHO). Untuk mengatasinya, pemerintah berkomitmen untuk menurunkan angka stunting melalui beberapa kebijakan kesehatan. Kebijakan tersebut berupa program yang dicanangkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI di antaranya Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PIS-PK), Pemberian Makanan Tambahan (PMT), dan 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). PIS-PK telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) RI nomor 39 tahun 2016 tentang pedoman penyelenggaraan PIS-PK. Program ini dilakukan dengan mendatangi langsung ke masyarakat untuk memantau kesehatan



masyarakat, termasuk pemantauan gizi masyarakat untuk menurunkan angka stunting oleh petugas Puskesmas. PIS-PK merupakan salah satu cara Puskesmas untuk meningkatkan jangkauan sasaran dan mendekatkan akses pelayanan kesehatan di wilayah kerjanya dengan mendatangi keluarga. Diharapkan gizi masyarakat akan terpantau di seluruh wilayah terutama di daerah dan perbatasan agar penurunan angka stunting bisa tercapai. Kemudian, terkait PMT sudah di atur dalam Permenkes RI nomor 51 tahun 2016 tentang Standar Produk Suplementasi Gizi. Dalam Permenkes itu telah diatur Standar Makanan Tambahan untuk Anak Balita, Anak Usia Sekolah Dasar, dan Ibu Hamil. Pemberian makanan tambahan yang berfokus baik pada zat gizi makro maupun zat gizi mikro bagi balita dan ibu hamil sangat diperlukan dalam rangka pencegahan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dan balita stunting. Peraturan Presiden RI No. 42 Tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi terfokus pada kelompok 1000 hari pertama kehidupan meliputi 270 hari masa kehamilan dan 730 hari hingga anak usia 2 tahun. Tujuan umum dari Perpres ini untuk percepatan perbaikan gizi masyarakat prioritas pada seribu hari pertama kehidupan, dan tujuan khususnya adalah untuk meningkatkan komitmen para pemangku kepentingan untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan gizi masyarakat, meningkatkan kemampuan pengelolaan program gizi, khususnya koordinasi antar sektor untuk mempercepat sasaran perbaikan gizi serta memperkuat implementasi konsep program gizi yang bersifat langsung dan tidak



langsung. Serta di dalam Perpres tersebut sudah tercantum siapa pelaksananya, pembagian gugus tugas dan strategi dalam pengupayaan kebijakan.



Analisis Pelaku Program KIA Dalam kebijakan gerakan nasional percepatan perbaikan gizi aktor yang berperan terbentuknya dan berjalannya kebijakan ini dari berbagai pihak. Dalam hal ini sangat ditekankan pentingnya kemitraan dengan berbagai pihak, karena masalah perbaikan gizi tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah tetapi perlu adanya keterlibatan dari kementrian dan lembaga, dunia, usaha, mitra pembangunan internasional, lembaga sosial kemasyarakatan, dan didukung oleh organisasi profesi, perguruan tinggi, serta media. 1. Pemerintah Pemerintah berperan sebagai inisiator, fasilitator, dan motivator. 2. Mitra Pembangunan/ Donor Tugas mitra pembangunan adalah untuk memperkuat kepemilikan nasional dan kepemimpinan, berfokus pada hasil, mengadopsi pendekatan multisektoral, memfokuskan pada efektivitas, mempromosikan akuntabilitas dan memperkuat kolaborasi dan inklusi. Kebijakan Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi merupakan program kemitraan yang melibatkan banyak kementrian dalam penyusunannya. Setiap kementrian dilibatkan karena masing-masing memiliki peran dalam menentukan program kerja, mobilisasi sumber daya, dan besarnya alokasi dana dalam rangka mendukung program intervensi percepatan gizi, baik gizi spesifik (langsung) atau gizi sensitif (tidak langsung). Keterlibatan setiap



kementrian dalam penyusunan perpres terlihat secara jelas dengan dibentuknya Gugus Tugas Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi yang tercantum didalam Bab IV Pasal 10 terkait keanggotannya yang melibatkan lintas kementrian. a. Kementrian Kesehatan Program intervensi gizi spesifik dalam rangka menangani penyebabpenyebab langsung terjadinya kurang gizi. b. Kementerian PPN / BAPPENAS Program intervensi rencana aksi pangan dan gizi nasional dan daerah c. Kementerian Sosial dan Kementerian Dalam Negeri Program intervensi pengentasan kemiskinan, PNPM Generasi dan PKH d. Kementerian Pertanian Program intervensi produksi dan konsumsi keanekaragaman pangan, makanan bergizi, seimbang dan aman. e. Kementerian Kelautan dan Perikanan Program intervensi peningkatan konsumsi ikan f. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Program intervensi keluarga berencana untuk menunda usia kehamilan pertama dan meningkatkan jarak kelahiran g. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Program intervensi pendidikan bagi remaja perempuan serta pendidikan anak usia dini h. Kementerian Pekerjaan Umum



Program intervensi air bersih dan sanitasi dasar. i. Pemerintah Daerah Komitmen dalam realisasi program intervensi dimasing-masing daerah pemerintahannya masing-masing. 3. Organisasi Kemasyarakatan Tugas organisasi kemasyarakatan adalah memperkuat mobilisasi, advokasi, komunikasi, riset dan analisasi kebijakan serta pelaksana pada tingkat masyarakat untuk menangani kekurangan gizi. 4. Dunia Usaha Dunia usaha bertugas untuk pengembangan produk, control kualitas, distribusi, riset, pengembangan teknologi informasi, komunikasi, promosi perubahan perilaku untuk hidup sehat. 5. Mitra Pembangunan Internasional/ Organisasi PBB Mitra pembangunan bertugas untuk memperluas dan mengembangkan kegiatan gizi sensitif dan spesifik melalui harmonisasi keahlian dan bantuan teknis antar mitra pembangunan antara lain UNICEF, WHO, FAO dan IFAD, SCN (Standing Committee on Nutrition). Dalam kebijakan gerakan nasional percepatan perbaikan gizi pemerintah Indonesia telah bekerja sama dengan PBB sebagai bukti komitmen pemerintah Indonesia terhadap gerakan SUN Movement Penyusunan perpres ini dipengaruhi oleh indikator yang ditetapkan oleh SUN Movement secretariat sebagai tolak ukur pencapaian proses untuk masingmasing negara anggota, termasuk Indonesia di dalamnya. Sehingga secara tidak langsung terdapat pengaruh organisasi PBB dalam penyusunannya. UNICEF



juga secara tidak langsung memiliki peran dalam penyusnan perpres ini. Hal ini dikarenakan, sumber dana untuk merealisasikan Perpres ini tidak hanya berusmber dari APBN, tetapi juga berasal dari pendanaan UNICEF. 6. Kader-kader masyarakat seperti Posyandu, pemberdayaan kesejahteraan keluarga, dan atau kader-kader  masyarakat  yang  sejenis 7. Masyarakat, khususnya remaja, ibu hamil, ibu menyusui, anak di bawah usia dua tahun. Analisis Konteks Program Dalam analisis berdasarkan konteks dapat dianalisis dengan beberapa faktor, antara lain faktor situasional, faktor struktural, faktor budaya, dan faktor internasional. Faktor Situasional Menurut data SDKI tahun 2007 sekitar sepertiga wanita berusia 20–45 tahun di Indonesia memiliki anak pertama saat masih belum cukup umur dan 14 persen wanita usia subur mengalami kurang gizi (lingkar lengan atas < 23,5 cm). Meskipun lebih dari 80% ibu hamil menerima tablet besi folat, hanya 18% yang telah mengonsumsi suplemen tersebut selama sedikitnya 90 hari. Serta adanya double burden pada masalah gizi di Indonesia mempengaruhi tidak meratanya pencapaian gizi di Indonesia sehingga tidak tercapainya sasaran MDGs. Faktor Struktural Sejak tahun 50an, permasalahan gizi sudah menjadi masalah di Indonesia dan terus berlanjut menjadi suatu isu yang tetap dibahas hingga tahun 2000an.



Selama ini permasalahan gizi hanya dipandang dari satu sektor saja, yaitu sektor kesehatan tanpa melibatkan sektor lain, sehingga permasalahan ini tidak pernah terselesaikan. Untuk menyelesaikan permasalahan gizi ini perlu adanya komitmen yang melibatkan kemitraan antar berbagai pihak seperti yang telah dijelaskan pada analisis menurut analisis pelaku. Faktor Budaya Di Indonesia Balita stunting (pendek) sudah menjadi hal yang biasa dalam lintasan generasi. Masih adanya persepsi tinggi anak bergantung dari faktor keturunan (genetik), dan masih kurangnya usaha masyarakat dalam mengatasinya serta adanya anggapan di masyarakat bahwa kurang gizi hanya disebabkan oleh asupan makanan tanpa memperhatikan faktor lain. Faktor Internasional Indonesia melalui surat keikutsertaan dari Menteri Kesehatan kepada Sekjen PBB sejak bulan Desember tahun 2011 telah menjadi bagian dari Scalling Up Nutrition (SUN) Movement. Scalling Up Nutrition (SUN) Movement  merupakam upaya Sekjen PBB dalam mengkoordinasi dan sebagai respon negara-negara di dunia terhadap kondisi status pangan dan gizi untuk pemerataan pencapaian sasaran tujuan MDGs. Dimana dalam pencapaiannya berkembang lambat bagi negara berkembang. Analisis Proses Program



Proses terbentuknya kebijakan kesehatan yang termuat dalam Peraturan Presiden RI No. 42 Tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi dimulai dari adanya masalah gizi yang tak kunjung terselesaikan dengan berjalannya



waktu hingga terjadinya double burden dalam masalah tersebut dan terjadinya kekhawatiran akan tidak tercapainya sasaran MDGs. Di Indonesia kebijakan perbaikan gizi dilakukan dengan upaya peningkatan gizi pada 1000 hari pertama kehidupan terlihat sejak tahun 2004 dengan diterbitkannya berbagai Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), Rencana Aksi Nasional (RAN) dan Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi (RAD-PG). Akan tetapi semua pelaksanaan tersebut masih terbatas di sektor kesehatan saja. Pada Desember 2011, pada saat Indonesia menjadi bagian dari SUN Movement, Sekjen PBB menunjuk Deputi Bidang SDM dan Kebudayaan – Bappenas menjadi anggota  Lead Group SUN Movement. Sejak itu, Deputi Bidang SDM dan Kebudayaan – Bappenas berkewajiban melaporkan perkembangan pelaksanaan SUN Movement di Indonesia, dan bersama anggota SUN Lead Group lainnya memberi arahan langkah-langkah global dari SUN. Untuk membentuk kebijakan perbaikan gizi tersebut telah banyak kegiatan yang telah dilakukan dimulai dari soft launching, serangkaian lokakarya dan konsultasi di tingkat nasional dengan pemangku kebijakan, hingga pada bulan Mei 2013, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden RI No. 42 Tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi. Dalam Pelaksanaan kebijakan setelah ditetapkannya Peraturan Presiden RI No. 42 Tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi, Indonesia berpartisipasi dalam pertemuan tingkat tinggi Nutrition for Growth di London. Dalam pelaksanaan dan pembagian tugas telah diatur dalam perpres tersebut dalam pasal 7, 8, dan 9. Dalam pembentukan gugus tugas melibatkan berbagai macam elemen kementriaan dan non kementrian karena



untuk menanggulangi masalah gizi yang ada di Indonesia diperlukannya komitmen yang kuat dari berbagai pihak. Berdasarkan data monitoring dan evaluasi Kementerian Kesehatan 2016, prevalensi stunting diperkirakan berada pada 27,5 persen. Artinya, kebijakan pemerintah dalam penanganan stunting sudah selaras dengan target RPJMN. Sinergi program kementerian/lembaga yang secara regular telah dilaksanakan ialah, peningkatan derajat kesehatan ibu dan anak. Selain itu, pemerintah terus melakukan sosialisai dan edukasi untuk ASI ekslusif, 4 Sehat 5 Sempurna, dan pernikahan di atas 19 tahun untuk perempuan. Program lainnya yakni penguatan pelayanan kesehatan dasar berkualitas, pembangunan infrastruktur air minum dan sanitasi.