Farfis Perc 3 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PRAKTIKUM FARMASI FISIKA PERCOBAAN III FENOMENA DISTRIBUSI



NAMA



: SURYA SEPTIA ULAN



NIM



: 1913026019



KELOMPOK



: 4 (EMPAT)



KELAS



:A



ASISTEN



: NOVINDA TAMI SUKOWATI S.FARM



PROGRAM STUDI S1 FARMASI KLINIS FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MULAWARMAN SAMARINDA 2021



PERCOBAAN III FENOMENA DISTRIBUSI I.



Tujuan Mengetahui dan mempraktekkan cara menentukan koefisien partisi suatu zat dalam pelarut yang tidak saling bercampur



II.



Tugas Pendahuluan 1. Jelaskan pengertian dari koefisien partisi! Jawab : Koefisien partisi adalah kelarutan relatif antara dua fasa yang tidak tercampur, ditetapkan dengan melarutkan zat dalam larutan yang mengandung air dan dikocok dengan pelarut organic. Perbandingan obat dalam dua fase disebut juga koefisien partisi. Jika koefisien partisi >0,001, hal ini menunjukan zat memiliki kelarutan dalam lipid yang besar. (Muchtaridi Dkk, 2018) 2. Jelaskan peranan koefisien partisi dalam formulasi sediaan farmasi! Jawab : Koefisien



partisi



dapat



memberikan



informasi



untuk



memperkirakan proses absorbsi, distribusi dan eliminasi obat didalam tubuh. pengetahuan tentang nilai koefisien partisi dapat digunakan untuk memperkirakan onset kerja obat atau durasi kerja obat atau untuk mengetahui apakah obat akan bekerja secara aktif. koefisien partisi juga digunakan untuk menghubungkan antara aktivitas biologis suatu obat dengan karakteristik fisika dan kimianya. Kecepatan absorpsi obat sangat dipengaruhi oleh koefisien partisinya. Hal ini disebabkan oleh komponen dinding usus yang sebagian besar terdiri dari lipida. Dengan demikian obat-obat yang mudah larut dalam lipida akan dengan melaluinya. Sebaliknya obatobat sukar larut dalam lipida akan sukar diabsorpsi. Obat-obat yang mudah larut dalam lipida tersebut dengan sendirinya memiliki



koefisien partisi yang besar, sebaliknya obat-obat yang sukar larut dalam lipida akan memiliki koefisien partisi lipida air kecil. (Cairns, 2009) III.



Teori Umum Koefisien partisi adalah distribusi kesetimbangan dari analit antara fasa sampel dan fasa gas, dan kesetimbangan dari perbandingan kadar zat dalam dua fase. Koefisien partisi minyak-air adalah suatu petunjuk sifat lipofilik atau hidrofobikdari molekul obat. Lewatnya obat melalui membran lemak dan interaksi dengan makromolekul pada reseptor kadang-kadang berhubungan baik dengan koefisien partisi oktanol/air dari obat (Ansel,1989). Koefisien partisi merupakan suatu informasi penting karena dapat digunakan untuk memperkirakan proses absorpsi, ditribusi, dan eliminasi obat di dalam tubuh. Pengetahuan tentang nilai P dapat digunakan untuk memperkirakan onset kerja obat atau durasi kerja obat, atau untuk mengetahui apakah obat akan bekerja secara aktif. Bagian kimia medisinal, yaitu ilmu pengetahuan tentang rancangan obat yang rasional, melibatkan hubungan struktur-aktivitas, yang menggunakan koefisien



partisi



dalam



persamaan



matematika



yang



mencoba



menghubungkan anatar aktivitas biologis suatu obat dengan karakteristik fisika dan kimianya (Cairns, 2009). Pada kenyataannya, hubungan sederhana di atas berlaku hanya jika zat terlarutnya tidak terion pada pH pengukuran. Jika zat terlarut merupakan asam lemah atau basa lemah (dan terdapat obat dalam jumlah yang besar), proses ionisasi untuk membentuk garam akan sangat memengaruhi profil kelarutan obat. Garam yang terion penuh akan jauh lebih mudah terlarut di dalam air dibandingkan dengan asam atau basa yang tidak terion, sehingga perbandingan di atas akan bervariasi bergantung pada pH pengukuran (Cairns, 2009). Nilai koefisien partisi dapat dipengaruhi oleh hidrofilitas dan porositas pelarut organik serta struktur atau gugus-gugus fungsi yang ada



pada pelarut organik maupun solut. Nilai koefisien partisi n-oktanol air (Log P) dipengaruhi oleh substituen alkil yang membentuk gugus ester pada rantai samping polimer (-COOR') semakin panjang rantai alkil pada R maka nilai log P semakin besar yang berarti pula nilai kelarutan dalam air akan semakin kecil. Hal ini juga dapat dilihat pada nilai Log Sw (kelarutan dalam air), semakin panjang rantai alkil pada-COOR' menyebabkan semakin kecil kelarutan senyawa polimer di dalam air (Iswanto et all, 2004). Koefisien partisi dipengaruhi oleh keadaan terion dan tidak terionnya solute, dimana keadaan terion lebih terlarut dalam fase polar dan keadaan tidak terion lebih terlarut dalam fase nonpolar. Diketahui bahwa membran kulit yang berupa lipoprotein terdiri dari fase polar dan nonpolar. Keadaan disosiasi solute tersebut dipengaruhi oleh pH (keasaman) sediaan obar dan tempat berpenetrasi (Kartika, 2013). Koefisien partisi adalah salah satu faktor yang mempengaruhi distribusi obat dalam tubuh. Setelah obat sampai ke peredaran darah, obat harus menembus sejumlah sel untuk mencapai reseptor. Dimana koefisien partisi juga menentukan jaringan mana yang dapat dicapai oleh suatu senyawa. Senyawa yang sangat mudah larut dalam air (hidrofilik) tidak akan sanggup melewati membran lipid untuk mencapai organ yang kaya akan lipid, misalnya otak (Nogrady. 1992). Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi distribusi zat dalam larutan, yaitu: 1.



Temperatur Kecepatan berbagai reaksi bertambah kira-kira 2 atau 3 tiap kenaikan suhu 10oC.



2.



Kekuatan Ion Semakin kecil konsentrasi suatu larutan maka laju distribusi makin kecil.



3.



Konstanta Dielektrik Efek konstanta dielektrik terhadap konstanta laju reaksi ionik diekstrapolarkan sampai pengenceran tak terbatas, yang pengaruh



kekuatan ionnya 0. Untuk reaktan ion yang kekuatannya bermuatan berlawanan maka laju distribusi reaktan tersebut adalah positif dan untuk reaktan yang muatannya sama maka laju distribusinya negatif. 4.



Katalisis Katalisis dapat menurunkan laju - laju distribusi (Katalis negatif). Katalis dapat juga menurunkan energi aktivitas dengan mengubah mekanisme reaksi sehingga kecepatan bertambah.



5.



Katalis Asam Basa Spesifik Laju distribusi dapat dipercepat dengan penambahan asam atau basa. Jika laju peruraian ini terdapat bagian yang mengandung konsentrasi ion hidrogen atau hidroksi.



6.



Cahaya Energi Cahaya seperti panas dapat memberikan keaktifan yang diperlukan untuk terjadi reaksi. Radisi dengan frekuensi yang sesuai dengan energi yang cukup akan diabsorbsi untuk mengaktifkan molekul – molekul. (Sinko,2002).



IV.



Referensi Ansel,H.C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi.Jakarta : Universitas Indonesia Press. Cairns, Donald.2009.Intisari Kimia Farmasi, Ed.2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Muchtaridi, Dkk. 2018. Kimia Medisinal: Dasar-Dasar Dalam Perancangan Obat Edisi Pertama. Jakarta: Prenadamedia Group. Iswanto, P., I. Tahir, dan H. D. Pranowo, 2004, "Kajian Hubungan Kuantitatif Struktur Sifat Terhadap Suhu Transisi Gelas Turunan Poli(Asam Akrilat)". Prosiding Pertemuan Ilmiah Pengetahuan dan Teknologi Bahan, Serpong Kartika. W. I, 2013, "Penentuan Koefisien Partisi APMS (Asam p Metoksisinamat) Pada Berbagai pH Sebagai Studi Praformulasi Sediaan Topikal", Universitas Airlangga, Surabaya



Nogrady, T., 1992,"Kimia Medisinal Pendekatan Secara Biokimia", Edisi kedua, Terjemahan Rasli Rasyid dan Amir Musadad, ITB, Bandung



Nogrady, T., 1992,”Kimia Medisinal Pendekatan Secara Biokimia”, Edisi kedua, Terjemahan Rasli Rasyid dan Amir Musadad, ITB, Bandung Sinila,Santi.2016. Farmasi Fisik. Jakarta : Pusdik SDM Kesehatan. Sinko, Patrick J., 2002, “Martin Farmasi Fisika dan Ilmu Farmasetika”, Edisi 5, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. V.



Alat dan Bahan 1. Alat  Batang pengaduk  Baskom



 Botol semprot  Buret 25,0 mL  Corong pisah  Erlenmeyer 250 mL  Gelas kimia 250 mL; 500 mL  Gelas ukur 50 mL  Pipet tetes  Sendok tanduk  Statif dan klem  Timbangan analitik 2. Bahan  Aquades  Asam borat  Asam benzoat  Aluminium foil  Indikator fenolftalein  Minyak kelapa  NaOH 0,5694 N  Kertas timbang VI.



Cara Kerja 1. Disiapkan alat dan bahan 2. Ditimbang 100 mg asam borat di atas timbangan analitik, lalu dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 mL 3. Dilarutkan dengan aquades secukupnya hingga tidak ada partikel sampel yang tertinggal pada dasar (melarut seluruhnya), kemudian dicukupkan volume larutan hingga 100 mL dengan aquades 4. Diambil 25 mL dari larutan tersebut, dimasukkan dalam corong pisah, dan ditambahkan dengan 25 mL minyak kelapa ke dalam corong pisah tersebut



5. Dikocok selama beberapa menit campuran di dalam corong pisah tadi, dan didiamkan selama 10-15 menit hingga kedua cairan memisah satu sama lain 6. Dibuka tutup corong pisah, lalu ditampung cairan, yang berada sebelah bawah corong pisah, dalam sebuah erlenmeyer 250 mL, cairan lainnya dibuang 7. Ditambahkan indikator fenolftalein sebanyak 3 tetes ke dalam erlenmeyer berisi cairan/ asam borat yang dikeluarkan dari corong pisah 8. Dititrasi larutan dengan titran larutan baku NaOH 0,1 N sampai terjadi perubahan warna indikator dari bening menjadi merah muda 9. Diambil 25 mL larutan no. 2 di atas, kemudian dititrasi dengan larutan baku NaOH 0,1 N, serta ditambahkan pula dengan indikator fenolftalein sebanyak 3 tetes 10. Titrasi dihentikan setelah tercapai titik akhir titrasi, ditandai dengan perubahan warna indikator dari bening menjadi merah muda 11. Dicatat volume titrasi yang digunakan 12. Diulang prosedur di atas untuk sampel asan benzoat sebanyak 100 mg VII.



Hasil Pengamatan No



Asam Borat (ml)



Asam Benzoat (ml)



Dengan



Tanpa



Dengan



Tanpa



Minyak



Minyak



Minyak



Minyak



1 2 VIII. IX.



Reaksi Perhitungan A. Standarisasi NaOH dengan Asam Oksalat Volume NaOH yang tersisa didalam buret = 20 ml Konsentrasi asam oksalat = 0.05 (10 ml) M 1 . V 1=M 2 .V 2



M 1 . 20 mL=0.05 .10 mL M1 = 0,025 M B. Asam Borat 1. Dengan Minyak a) Konsentrasi Asam Borat V1 = 0,4 mL V2 = 2 mL M 1 NaOH . V 1 NaOH =M 2 H 3 B O3 . V 2 H 3 B O3 0,025 ×0,4 ml=M 2 ×2 mL M 2=0,005 b) Kadar Asam Borat M=



gr 1000 × mr v



0,005=



gr 1000 × 62 2



gram=0,0062 gram c) Persentase Asam Borat ¿



Berat asamborat ×100 % berat asam borat yang di timbang



¿



0,062 ×100 % 0.1



¿ 0.62 % 2. Tanpa Minyak a) Konsentrasi Asam Borat V1 = 0,5 mL V2 = 5 mL M 1 NaOH . V 1 NaOH =M 2 H 3 B O 3 . V 2 H 3 B O 3 0,025 ×0,5 ml=M 2 × 5 mL M 2=0,0025 b) Kadar Asam Borat M=



gr 1000 × mr v



0,0025=



gr 1000 × 62 5



gram=0,000775 gram c) Persentase Asam Borat ¿



Massa Asam Benzoat × 100 % Volume Titran



¿



0,000775 ×100 % 0.1



¿ 0,775 % 3. Koefisien Partisi Kp=¿ = (log 0,77 % −log 0,62 % ¿−log 0,77 % ¿ = 2.20 C. Asam Benzoat 1. Dengan Minyak a) Konsentrasi Asam Borat V1 = 0,3 mL V2 = 4 mL M 1 NaOH . V 1 NaOH =M 2 C7 H 6 O2 . V 2 C 7 H 6 O2 0,025 ×0,3 ml=M 2 × 4 mL M 2=0,0018 b) Kadar Asam Borat M=



gr 1000 × mr v



0,0018=



gr 1000 × 122 4



gram=0,00087 gram c) Persentase Asam Borat ¿



Berat asambenzoat ×100 % berat asam benzoat yang di timbang



¿



0,00087 ×100 % 0.1



¿ 0,87 % 2. Tanpa Minyak a) Konsentrasi Asam Borat V1 = 1 mL V2 = 10 mL M 1 NaOH . V 1 NaOH =M 2 C7 H 6 O2 . V 2 C 7 H 6 O2 0,025 ×1 ml=M 2 ×10 mL M 2=0,0025 b) Kadar Asam Borat M=



gr 1000 × mr v



0,0025=



gr 1000 × 122 10



gram=0,0030 gram c) Persentase Asam Borat ¿



Berat asambenzoat ×100 % berat asam benzoat yang di timbang



¿



0,0030 ×100 % 0.1



¿3% 3. Koefisien Partisi Kp=¿ = (log 3 %−log 0,87 % ¿−log 3 % ¿ = 2,06 X.



Pembahasan Pada percobaan ini berjudul “Fenomena Distribusi” bertujuan agar mahasiswa mengetahui dan mempraktekkan cara menentukan koefisien partisi suatu zat dalam pelarut yang tidak saling bercampur.



Koefisien partisi adalah kelarutan relatif antara dua fasa yang tidak tercampur, ditetapkan dengan melarutkan zat dalam larutan yang mengandung air dan dikocok dengan pelarut organic. Perbandingan obat dalam dua fase disebut juga koefisien partisi. Koefisien partisi merupakan suatu informasi penting karena dapat digunakan untuk memperkirakan proses absorpsi, ditribusi, dan eliminasi obat di dalam tubuh. Pengetahuan tentang nilai P dapat digunakan untuk memperkirakan onset kerja obat atau durasi kerja obat, atau untuk mengetahui apakah obat akan bekerja secara aktif. Bagian kimia medisinal, yaitu ilmu pengetahuan tentang rancangan obat yang rasional, melibatkan hubungan struktur-aktivitas, yang menggunakan koefisien



partisi



dalam



persamaan



matematika



yang



mencoba



menghubungkan anatar aktivitas biologis suatu obat dengan karakteristik fisika dan kimianya. Kecepatan absorpsi obat sangat dipengaruhi oleh koefisien partisinya. Hal ini disebabkan oleh komponen dinding usus yang sebagian besar terdiri dari lipida. Dengan demikian obat-obat yang mudah larut dalam lipida akan dengan melaluinya. Sebaliknya obat-obat sukar larut dalam lipida akan sukar diabsorpsi. Obat-obat yang mudah larut dalam lipida tersebut dengan sendirinya memiliki koefisien partisi yang besar, sebaliknya obat-obat yang sukar larut dalam lipida akan memiliki koefisien partisi lipida air kecil. (Cairns, 2009). Pada praktikum ini diperlukan alat dan bahan untuk dapat melakukan sebuah percobaan. Alat yang digunakan yaitu Batang pengaduk,Baskom, Botol semprot, Buret 25,0 mL, Corong pisah, Erlenmeyer 250 mL, Gelas kimia 250 mL; 500 mL, Gelas ukur 50 mL, Pipet tetes, Sendok tanduk, Statif dan klem dan Timbangan analitik. Bahan yang digunakan yaitu Aquades, Asam borat, Asam benzoate, Aluminium foil, Indikator fenolftalein, Minyak kelapa, NaOH 0,5694 N, dan Kertas timbang. Adapun prosedur kerja yang dilakukan dalam percobaan ini. Pertama, disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan. Ditimbang 100 mg asam borat di atas timbangan analitik, lalu dimasukkan ke dalam



erlenmeyer 250 mL, kemudian dilarutkan dengan aquades secukupnya hingga tidak ada partikel sampel yang tertinggal pada dasar (melarut seluruhnya), kemudian dicukupkan volume larutan hingga 100 mL dengan aquades. Diambil 25 mL dari larutan tersebut, dimasukkan dalam corong pisah, dan ditambahkan dengan 25 mL minyak kelapa ke dalam corong pisah tersebut dan dikocok selama beberapa menit campuran di dalam corong pisah tadi, dan didiamkan selama 10-15 menit hingga kedua cairan memisah satu sama lain. Setelah itu, dibuka tutup corong pisah, lalu ditampung cairan, yang berada sebelah bawah corong pisah, dalam sebuah erlenmeyer 250 mL, cairan lainnya dibuang. Ditambahkan indikator fenolftalein sebanyak 3 tetes ke dalam erlenmeyer berisi cairan/ asam borat yang dikeluarkan dari corong pisah, kemudian dititrasi larutan dengan titran larutan baku NaOH 0,1 N sampai terjadi perubahan warna indikator dari bening menjadi merah muda. Diambil 25 mL larutan asam borat murni di atas, kemudian dititrasi dengan larutan baku NaOH 0,1 N, serta ditambahkan pula dengan indikator fenolftalein sebanyak 3 tetes. Titrasi dihentikan setelah tercapai titik akhir titrasi, ditandai dengan perubahan warna indikator dari bening menjadi merah muda. Selanjutnya, dicatat volume titrasi yang digunakan. Diulang prosedur di atas untuk sampel asan benzoat sebanyak 100 mg. Pada percobaan ini menggunakan sampel Asam Borat dan Asam Benzoat karena kedua sampel tersebut dapat larut dalam pelarut polar maupun non polar. Metode yang digunakan adalah titrasi. Titrasi merupakan salah satu teknik analisis kimia kuantitatif yang dipergunakan untuk



menentukan



konsentrasi



suatu



larutan



tertentu,



dimana



penentuannya menggunakan suatu larutan standar yang sudah diketahui konsentrasinya secara tepat. Sebelum melakukan prosedur kerja pada percobaan ini, dilakukan standarisasi NaOH menggunakan Asam Oksalat terlebih dahulu. Standarisasi ini bertujuan untuk mengetahui nilai konsentrasi larutan NaOH menggunakan Larutan baku yang telah diketahui nilai konsentrasinya yaitu asam oksalat. Berdasarkan teori, Asam Borat larut dalam …….. dapat dilihat dari gugus asam borat yang



memiliki hydrogen lebih banyak daripada asam benzoate. Sedangkan berdasarkan teori asam benzoate larut dalam …….dapat pula dilihat dari gugus hydrogen asam benzoate. Hasil pada praktikum kali ini didapatkan konsentrasi, kadar dan persentase Asam Borat dengan minyak secara berturut-turut adalah ….. Konsentrasi , kadar, dan presentase Asam Borat tanpa minyak secara berturut-turut adalah …… Dengan nilai Kp yaitu …. Menunjukan bahwa Asam borat larut dalam ….. Hal ini tidak sesuai dengan teori yang ada bahwa seharusnya Asam Borat memiliki kecendrungan untuk larut dalam pelarut polar atau air karena memiliki gugus hydrogen……. Hasil berikutnya yaitu didapatkan konsentrasi,kadar, dan persentase Asam Benzoat dengan minyak secara berturut-turut adalah….. Dan konsentrasi, kadar , serta persentase Asam Benzoat tanpa minyak secara berturut-turut adalah ….. Dengan nilai Kp yaitu … menunjukan bahwa Asam Benzoat larut dalam ….. sesuai dengan teori bahwa Asam Benzoat larut dalam lemak karena memiliki gugus …. Yang lebih sedikit sehingga menyebabkan Asam Benzoat lebih cenderung larut dalam pelarut non polar atau lemak. Nilai koefisien partisi dapat dipengaruhi oleh hidrofilitas dan porositas pelarut organik serta struktur atau gugus-gugus fungsi yang ada pada pelarut organik maupun solut (Gustian et all, 2013). Nilai koefisien partisi n-oktanol air (Log P) dipengaruhi oleh substituen alkil yang membentuk gugus ester pada rantai samping polimer (-COOR') semakin panjang rantai alkil pada R maka nilai log P semakin besar yang berarti pula nilai kelarutan dalam air akan semakin kecil. Hal ini juga dapat dilihat pada nilai Log Sw (kelarutan dalam air), semakin panjang rantai alkil pada-COOR' menyebabkan semakin kecil kelarutan senyawa polimer di dalam air (Iswanto et all, 2004). Besarnya senyawa yang bercampur atau larut dalam oktanol tergantung pada koefisien partisi oktanol/air (O/A) dari senyawa tersebut. Makin tinggi koefisien partisinya menunjukkan bahwa senyawa tersebut semakin bersifat lipofil artinya semakin mudah terlarut dalam lemak.



Sebaliknya apabila koefisien O/A nya semakin rendah senyawa tersebut lebih mudah larut dalam fase air atau disebut bersifat hidrofil. Dengan menghitung besarnya cacahan radioaktivitas dalam fase oktanol dibanding dengan radioaktivitas dalam fase air dapat diketahui koefisien partisinya, sedangkan lipofilisitasnya dinyatakan dengan P (oct/air) yang sama dengan logaritma dari koefisien partisi O/A (Oekar dkk, 2010). Koefisien partisi lipid - air dari suatu obat, yaitu rasio dari kelarutan di dalam suatu pelarut organik terhadap kelarutan obat tersebut di dalam air. Umumnya, semakin besar koefisien partisi dan kelarutan obat dalam lipid, makin mudah suatu obat menembus membran sel (Staf Pengajar Departemen Farmakologi FK UNSRI, 2009). XI.



Kesimpulan



DAFTAR PUSTAKA Ansel,H.C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi.Jakarta : Universitas Indonesia Press. Cairns, Donald.2009.Intisari Kimia Farmasi, Ed.2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Gustian, A. R. P., M. Alauhdin dan W. Pratjojo, 2013, "Sintesis dan Karakterisasi Membran Kitosan-PEG (Polietilen Glikol) Sebagai Pengontrol Sistem Pelepasan Obat". Indo. J. Chem. Sci. 2 (3) Iswanto, P., I. Tahir, dan H. D. Pranowo, 2004, "Kajian Hubungan Kuantitatif Struktur Sifat Terhadap Suhu Transisi Gelas Turunan Poli(Asam Akrilat)". Prosiding Pertemuan Ilmiah Pengetahuan dan Teknologi Bahan, Serpong



Kartika. W. I, 2013, "Penentuan Koefisien Partisi APMS (Asam p Metoksisinamat) Pada Berbagai pH Sebagai Studi Praformulasi Sediaan Topikal", Universitas Airlangga, Surabaya Muchtaridi, Dkk. 2018. Kimia Medisinal: Dasar-Dasar Dalam Perancangan Obat Edisi Pertama. Jakarta: Prenadamedia Group. Nogrady, T., 1992,"Kimia Medisinal Pendekatan Secara Biokimia", Edisi kedua, Terjemahan Rasli Rasyid dan Amir Musadad, ITB, Bandung Oekar, N. K., E. M. Widyasari dan E. Isabela, 2010, "Karakteristik Fisiko-Kimia Radiofarmaka Tc-Human Serum Albumin (HSA)Nanosfer", Pusat Teknologi Nuklir Bahan dan Radiometri, Batan, Bandung Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, 2009, "Kumupulan Kuliah Farmakologi", Edisi kedua, EGC. Jakarta



Nogrady, T., 1992,”Kimia Medisinal Pendekatan Secara Biokimia”, Edisi kedua, Terjemahan Rasli Rasyid dan Amir



Musadad, Bandung



ITB,



Sinila,Santi.2016. Farmasi Fisik. Jakarta : Pusdik SDM Kesehatan. Sinko, Patrick J., 2002, “Martin Farmasi Fisika dan Ilmu Farmasetika”, Edisi 5, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.