Farfis Percobaan 5 - Thohira Ilyas - 2001085 - S1-2B [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PRAKTIKUM 5 FARFIS DAYA PENYERAPAN AIR ZAT PADAT DENGAN ALAT ENSLIN



Nama



: Sri Lidya Rasihen



NIM



: 1901111



Kelas



: S1-2C



Grup



:D



Hari Praktikum



: SELASA (11.00-14.00)



Dosen Pembimbing



: Wildan Khairi Muhtadi, M.Pharm.,Sci.,Apt



Asisten Dosen



: 1. Dhea Ananda 2. Nabila Nada islami 3. Sulastari cahyani



PROGRAM STUDI S1 FARMASI SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI RIAU YAYASAN UNIV RIAU PEKANBARU 2020



DAYA PENYERAPAN AIR ZAT PADAT DENGAN ALAT ENSLIN I.



Tujuan Praktikum : Mengetahui daya penyerapan air dari beberapa bahan pembantu dengan menggunakan alat enslin yang telah dimodifikasi.



II.



Tinjauan Pustaka : Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk sediaan padat ke dalam media pelarut. Pelarut suatu zat aktif sangat penting artinya karena ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut melarut ke dalam media pelarut. Pelarut suatu zat aktif sangat penting artinya karena ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut melarut ke dalam media pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh. Sediaan obat yang harus diuji disolusinya adalah bentuk padat atau semi padat yaitu bentuk tablet, kapsul dan salep (Martin,1993) Agar suatu obat diabsorbsi, mula-mula obat tersebut harus larut dalam cairan pada tempat absorpsi. Dalam hal ini dimana kelarutan suatu obat tergantung dari apakah medium asam atau medium basa, obat tersebut akan dilarutkan berturut-turut dalam lambung dan dalam usus halus. Proses melarutnya suatu obat disebut disolusi (Ansel, 1989). Jika proses disolusi untuk suatu partikel obat tertentu adalah cepat atau jika obat diberikan sebagai suatu larutan dan tetap ada dalam tubuh seperti itu, laju obat yang terabsorbsi terutama akan tergantung pada kesanggunpannya menembeus pembatas membrane. Tetapi, jika disolusi untuk suatu partikel obat lambat, misalnya mungkin karena karakteristik zat obat atau bentuk dosis yang diberikan, proses disolusinya sendiri akan merupakan tahap yang menentukan laju dalam proses absorbsi (Ansel, 1989) Penentuan kecepatan pelarutan suatu zat dapat dilakukan dengan metode: (Effendi, 2005) a. Metode suspensi Bubuk zatpadat ditambahkan pada pelarut tanpa pengontrolan yang eksak terhadap luas pemukaan partikelnya. Sample diambil pada waktu-waktu tertentu dan jumlah zat yang terlarut ditentukan dengan cara yang sesuai. b. Metode permukaan konstan



Zat ditempatkan dalam suatu wadah yang diketahui luasnya, sehingga variable perbedaan luas permukaan efektif dapat dihilangkan. Biasanya zat dibuat tablet terlebih dahulu. Kemudian sampel ditentukan seperti pada metode suspensi. Kecepatan pelarutan berbanding lurus dengan luas permukaan bahan padat, koefisien difusi, serta berbanding lurus dengan turunnya konsentrasi pada waktu t. Kecepatan pelarutan ini juga berbanding terbalik dengan tebal lapisan difusi. Pelepasan zat aktif dari suatu produk obat sangat dipengaruhi oleh sifat fisikokimia zat aktif dan bentuk sediaan. Ketersediaan zat aktif ditetapkan oleh kecepatan pelepasan zat aktif dari bentuk sediaan, dimana pelepasan zat aktif ditentukan oleh kecepatan melarutnya dalam media sekelilingnya (Tjay, 2002). Agar suatu obat diabsorbsi, mula-mula obat tersebut harus larutan dalam cairan pada tempat absorbsi. Sebagai contoh, suatu obat yang diberikan secara oral dalam bentuk tablet atau kapsul tidak dapat diabsorbsi sampai partikel-partikel obat larut dalam cairan  pada suatu tempat dalam saluran lambung-usus. Dalam hal dimana kelarutan suatu obat tergantung dari apakah medium asam atau medium basa, obat tersebut akan dilarutkan berturut-turut dalam lambung dan dalam usus halus. Proses melarutnya suatu obat disebut disolusi (Ansel, 1985). Pelepasan zat aktif dari suatu produk obat sangat dipengaruhi oleh sifat fisikokimia zat aktif dan bentuk sediaan. Ketersediaan zat aktif biasanaya ditetapkan oleh kecepatan pelepasan zat aktif dari bentuk sediaannya. Pelepasan zat aktif dari bentuk sediaan biasanya ditenmtukan oleh kecepatan melarutnya dalam media sekelilingnya (Amir, 2007). Disolusi adalah suatu jenis khusus dari suatu reaksi heterogen yang menghasilkan transfer massa karena adanya pelepasan dan pemindahan menyeluruh ke pelarut dari permukaan padat. Teori disolusi yang umum adalah: (Amir, 2007). 1. Teori film (model difusi lapisan) 2. Teori pembaharuan-permukaan dari Danckwerts (teori penetrasi) 3. Teori Solvasi terbatas/Inerfisial Kecepatan disolusi merupakan kecepatan zat aktif larut dari suatu bentuk sediaan utuh/ pecahan/ partikel yang berasal dari bentuk sediaan itu sendiri. Kecepatan disolusi zat aktif dari keadaan polar atau dari sediaannya didefinisikan sebagai jumlah zat aktif yang terdisolusi per unit waktu di bawah kondisi antar permukaan padat-cair, suhu dan kompisisi media yang dibakukan  (Shargel, 1988).



Tes  kecepatan melarut telah didesain untuk mengukur berapa kecepatan zat aktif dari satu tablet atau kapsul melarut ke dalam larutan. Hal ini perlu diketahui sebagai indikator kualitas dan dapat memberikan informasi sangat berharga tentang konsistensi dari “batch” satu ke “batch” lainnya. Tes disolusi ini didesain untuk membandingkan kecepatan melarutnya suatu obat, yang ada di dalam suatu sediaan pada kondisi dan ketentuan yang sama dan dapat diulangi (Shargel, 1988). Kecepatan disolusi sediaan sangat berpengaruh terhadap respon klinis dari kelayakan sistem penghantaran obat. Disolusi menjadi sifat sangat penting pada zat aktif yang dikandung oleh sediaan obat tertentu, dimana berpengaruh terhadap kecepatan dan besarnya ketersediaan zat aktif dalam tubuh. Jika disolusi makin cepat, maka absorbsi makin cepat. Zat aktif dari sediaan padat (tablet, kapsul, serbuk, seppositoria), sediaan system terdispersi (suspensi dan emulsi), atau sediaan-sediaan semisolid (salep,krim,pasta) mengalami disolusi dalam media/cairan biologis kemudian diikuti absorbsi zat aktif ke dalam sirkulasi sistemik (Voigt, 1995). Untuk mengetahui kualitas tablet yang dihasilkan perlu dilakukan uji kualitas tablet sebagai berikut: a. Sifat alir Sifat alir dapat dievaluasi secara langsung dan tidak langsung dengan menguji waktu alirnya artinya waktu yang diperlukan untuk mengalirkan sejumlah granul atau serbuk pada alat yang dipakai b. Sudut diam Sudut tetap yang terjadi antara timbunan partikel bentuk kerucut dengan bidang horizontal. Besar kecilnya sudut diam dipengaruhi bentuk, ukuran dan kelembapan granul atau serbuk yang mempunyai sudut diam lebih dari atau sama dengan yang biasanya sifat alirnya kurang baik c. Kompresibilitas Uji ini dimasukan untuk mengetahui kemampuan campuran serbuk selama ditempa. Kompreksibilitas digambarkan oleh ketebalan tablet Pertimbangan biofarmasetik dalam formulasi sediaan obat tidak lepas dari penelusuran hubungan sifat-sifat fisikokimia bahan obat dengan respon biologis tubuh. Salah satu sifat fisikokimia yang menjadi pertimbangan penting dalam formulasi sediaan obat adalah sifat kelarutan. Suatu obat akan melewati serangkaian proses absorpsi sistemik meliputi desintegrasi yang diikuti pelepasan obat, pelarutan obat di dalam



saluran cerna dan absorbsi melewati membran sel menuju sirkulasi sistemik sehingga tercapai respon biologis tubuh (Ansel,1989; Shargel dan Andrew, 1998). Bila suatu tablet atau sediaan obat lainnya dimasukkan dalam saluran cerna, obat tersebut mulai masuk ke dalam larutan dari bentuk padatnya. Kalau tablet tersebut tidak dilapisi polimer, matriks padat juga mengalami disintegrasi menjadi granul-granul, dan granulgranul ini mengalami pemecahan menjadi partikel-partikel halus. Disintegrasi, deagregasi dan disolusi bisa berlangsung secara serentak dengan melepasnya suatu obat dari bentuk dimana obat tersebut diberikan (Martin, 1993). Mekanisme disolusi, tidak dipengaruhi oleh kekuatan kimia atau reaktivitas partikelpartikel padat terlarut ke dalam zat cair, dengan mengalami dua langkah berturut-turut: (Gennaro, 1990) 1. Larutan dari zat padat pada permukaan membentuk lapisan tebal yang tetap atau film disekitar partikel 2. Difusi dari lapisan tersebut pada massa dari zat cair. Langkah pertama,. larutan berlangsung sangat singkat. Langka kedua, difusi lebih lambat dan karena itu adalah langkah terakhir. Pada waktu suatu partikel obat memngalami disolusi, molekul-molekul obat pada permukaan mula-mula masuk ke dalam larutan menciptakan suatu lapisan jenuh obatlarutan yang membungkus permukaan partikel obat padat. Lapisan larutan ini dikenal sebagai lapisan difusi. Dari lapisan difusi ini, molekul-molekul obat keluar melewati cairan yang melarut dan berhubungan dengan membrane biologis serta absorbsi terjadi. Jika molekul-molekul obat terus meninggalkan larutan difusi, molekul-molekul tersebut diganti dengan obat yang dilarutkan dari permukaan partikel obat dan proses absorbsi tersebut berlanjut (Martin, 1993). Kecepatan absorpsi obat yang mudah larut dalam air hanya tergantung pada kesanggupannya dalam melintasi membran. Untuk obat-obat yang memiliki karakteristik sangat sukar larut atau praktis tidak larut dalam air, laju disolusi merupakan tahap yang menentukan (rate limiting step) dalam proses absorpsi. Semakin baik laju disolusi suatu obat maka laju absorpsinya akan baik sehingga efek farmakologis obat dapat tercapai dengan cepat. Salah satu cara untuk meningkatkan laju disolusi dan absorpsi obat yaitu dengan proses teknologi sistem dispersi padat (Ansel,1989 ; Voight,1994). Teknologi sistem dispersi padat merupakan suatu metoda yang dapat meningkatkan laju pelarutan zat aktif yang sangat sukar larut atau praktis tidak larut dalam air. Pada teknologi ini, obat terdispersi pada pembawa inert yang larut air dalam keadaan padat yang dibuat dengan metoda peleburan, pelarutan atau gabungan peleburan dan pelarutan. Dengan mengurangi ukuran partikel bahan obat menjadi sangat halus bahkan dalam bentuk molekul sehingga terjadi peningkatan laju disolusi dan absorbsi senyawa obat (Lachman et al;1994).



III.



Alat dan Bahan : 







IV.



Bahan : -



Talkum



-



Pati



-



Natrium karboksimetil selulosa (Na CMC)



Alat : -



Corong hirsch



-



Slang plastik



-



Pipet ukur



-



Standar buret



-



Klem buret



Prosedur Kerja 1. Alat diatur seperti skema alat enselin yang dimodifikasi. 2. Sampel yang akan digunakan/diukur, dikeringkan terlebih dahulu dalam oven suhu 50 ℃ hingga berat konstan, kemudian ditimbang 1 gram. 3. Sampel yang ditimbang diletakkan di atas corong hirsch dan disebar secara merata. 4. Kemudian dicatat jumlah air (ml) yang diserap tiap selang waktu tertentu dengan membaca skala pada alat, amati hingga 1 jam. 5. Buatlah kurva hubungan antara jumlah air (ml) yang diserap terhadap waktu (menit).



V.



Hasil dan pembahasan a. HASIL



Data hasil percobaan Waktu



Jumlah air yang diserap (ml)



(menit) 1



Avicel PH 120 0



Pati 0,2



Na CMC 0,1



5



0,1



0,2



0,1



15



0,1



0,3



0,2



30



0,2



0,4



0,3



45



0,3



0,4



0,5



60



0,3



0,5



0,7



Berdasarkan data diatas, buatlah grafikhubungan antara jumlah air (ml) yang diserap oleh masing-masing bahan terhadap waktu (menit) !



"Grafik hubungan antara jumlah air (mL) yang diserap oleh masing-masing bahan terhadap waktu (menit)" 0.8 0.7 0.6



Avicel PH 102 Pati Na CMC



0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 1



5



15



30



45



60



b. PEMBAHASAN Daya penyerapan air (bilangan enslin) adalah jumlah cairan yang diserap (ml atau gram) oleh 1 gram zat padat dalam waktu tertentu. Pengukuran daya penyerapan dilakukan dengan alat Enslin yang telah dimodifikasi. Pada percobaan diatas sampel yang akan digunakan dikeringkan terlebih dahulu dalam oven suhu 50 ͦ C hingga berat konstan, kemudian ditimbang sebanyak 1 gram. Zat padat yang digunakan sebagai bahan pembantu ada 3 yaitu : Avicel PH 120, Pati dan Na CMC. Percobaan dilakukan dengan rentang waktu tertentu selama 1, 5, 15, 30, 45 sampai 60 menit. Kemudian dicatat jumlah air yang diserap tiap selang waktu yang ditentukan pada masing-masing sampel. Dengan membaca skala yang terdapat pada alat.



Maka, dari percobaan diatas dapat kita amati bahwa semakin banyak jumlah air yang diserap oleh zat padat, maka semakin lama waktu yang dibutuhkan zat padat untuk menyerap. 1. Avicel PH 120 Pada sampel Avicel PH 120 pada menit pertama jumlah air yang diserap adalah 0 ml. setelah 5 menit jumlah air yang diserap bertambah menjadi 0,1 ml. pada menit ke 30 jumlah air yang diserap bertambah lagi menjadi 0,2 ml. dan pada menit ke 45 jumlah air bertambah menjadi 0,3 ml sampai menit ke 60. 2. Pati Pada sampel pati pada menit pertama jumlah air yang diserap adalah 0,2 ml. setelah 15 menit jumlah air yang diserap bertambah menjadi 0,3 ml. pada menit ke 30 jumlah air yang diserap bertambah lagi menjadi 0,4 ml. dan pada menit ke 60 jumlah air bertambah menjadi 0,5 ml. 3. Na CMC Pada sampel Na CMC pada menit pertama jumlah air yang diserap adalah 0,1 ml. setelah 15 menit jumlah air yang diserap bertambah menjadi 0,2 ml. pada menit ke 30 jumlah air yang diserap bertambah lagi menjadi 0,3 ml. pada menit ke 45 jumlah air bertambah menjadi 0,5dan pada menit ke 60 jumlaih air bertambah menjadi 0,7 ml. Semakin lama waktu kontak dapat memungkinkan proses difusi dan penempelan molekul adsorbat berlangsung lebih baik. Konsentrasi zat-zat organik akan turun apabila kontaknya cukup dan waktu kontak biasanya sekitar 10-15 menit. Adanya sifat kapilaritas dari bahan-bahan pembantu, maka air akan masuk kedalam poripori serbuk dengan kecepatan tinggi sehingga terjadi pertambahan lapisan air serapan yang menghubungkan antar partikel, akibatnya terjadi perbesaran jarak antar partikel yang memungkinkan air masuk dengan jumlah yang lebih banyak.



VI.



Kesimpulan a. Daya penyerapan air bertujuan untuk mengukur daya serap dari beberapa bahan pembantu dengan menggunakan alat enslin b. Na CMC lebih mudah diserap dibandingkan dengan pati solanum



c. Sebelum dilakukan pengukuran daya serap terlebih dahulu ssampel dikeringkan hingga bobotnya kelarutan d. Sampel yang digunakan yaitu CMC dan Amylum, kedua sampel harus keadaan konstan. e. CMC menggunakan mekanisme sifat pengembangan untuk hancurnya tablet. Sedangkan Amylum menggunakan mekanisme aksi kapiler. f. Semakin cepat sediaan menyerap, maka semakin cepat hancurnya tablet.



VII.



Daftar Pustaka Martin. A et. Al 1993. Farmasi Fisika. Jakarta UI Press Ansel, HC. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta. III Press. Perrie, Y. 2010. FASTtrack: Pharmaceutics - Drug Delivery and Targeting. London: Pharmaceutical Press. Gennaro, A. R., et all., 1990,  Remingto’s Pharmaceutical Sciensces, Edisi 18th, Marck Publishing Company, Easton, Pensylvania Lachman, Leon. 1994.Teori dan Praktek Farmasi Industri. Jilid III.Edisi III. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Jones, D. 2008. FASTtrack: Pharmaceutics – Dosage Form and Design. London: Pharmaceutical Press.