Fase Pada Prinsip Kerja MRI [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

A. Fase Presisi Fase presisi dimulai saat pasien masuk kedalam magnet utama dari MRI, kemudian protonproton dari inti hidrogen akan membentuk jaringan magnetisasi yang memiliki arah cenderung dengan arah kutub medan magnet utama pesawat MRI(B0). Arah kutub medan magnet utama dikenal juga dengan arah longitudinal (Z axis). Saat pasien masuk kedalam magnet, selain proton terus melakukan spin, proton juga melakukan gerakan relatif. Gerakan relatif tersubut serupa dengan gerakan permukan gasing yang disebut gerakan procession yaitu pergerakan yang berpusat pada bagian dasarnya,



Gambar.2 Proton pada fase precession [2] Gerakan procession menghasilkan suatu frekuensi yang didapat dari berapa banyak proton melakukan gerakan procession dalam satu detik. Besarnya frekuensi tergantung dari jenis atom dan kekuatan medan magnet luar yang mempengaruhinya, dalam hal ini kekuatan medam magnet pesawat MRI (B0). Frekuensi tersebut dikenal dengan nama Larmor Frequency (ω0). Frekuensi Larmor dapat dihitung berdasarkan rumus Larmor sebagai berikut



ω0 = .B0 Dimana ω0 merupakan frekuensi Larmor (MHz) kemudian



adalah faktor gyromagnetic



(MHz/T ) dan B0 adalah kekuatan medan magnet utama MRI dalam satuan Tesla (T).



Nuclei



Unpaired Unpaired Net Protons



Neutrons Spin



(MHz/T)



1



H



1



0



1/2



42.58



2



H



1



1



1



6.54



31



P



1



0



1/2



17.25



23



Na



1



2



3/2



11.27



14



N



1



1



1



3.08



13



C



0



1



1/2



10.71



19



F



1



0



1/2



40.08



Tabel.1 Faktor Gyromagnetic[3] Kita dapat mengetahui besarnya frekuensi Larmor pada MRI 0.5 T, dengan cara memasukan faktor gyromagnetic hydrogen (



)dari table 1 yaitu ; 42.58 MHz/T kemudian



masukan besar medan magnet (B0) sebesar 0.5T kedalam rumus Larmor ω0 = .B0 sehingga didapat frekuensi Larmor pada MRI 0.5 T adalah sebesar 21.29 MHz B. Fase Resonansi Jaringan magnetisasi sulit dideteksi dan diukur karena arah induksi magnetnya sama dengan arah induksi magnet utama pesawat, sehingga dibutuhkan perubahan arah induksi magnet dari jaringan magnetisasi tersebut. Untuk mengubah arah induksi tersebut maka digunakanlah radio frequency. Mengetahui secara tepat frekuensi Larmor dari proton sangat mutlak untuk menentukan besarnya radio frequency (RF) yang akan dipancarkan untuk mengubah arah orientasi proton yang membentuk jaringan magnetisasi. Pada saat fase precession radio frequency (RF) dipancarkan dari RF Amplifier yang merupakan salah satu hardware dari MRI. Proses resonansi terjadi ketika besarnya RF sama dengan besarnya frekuensi Larmor dari proton. Pada saat proses resonansi terjadi maka proton akan menyerap energi dan mulai bergerak meninggalkan arah longitudinal yang sejajar dengan arah kutub magnet pesawat menuju kearah transversal yaitu tegak lurus terhadap sumbu medan magnet pesawat. Proses resonansi menghasilkan magnetisasi transversal. Proton yang dapat



dipengaruhi oleh Radio Frequency hanyalah proton yang memiliki frekuensi Larmor yang sama dengan besarnya Radio Frequency. Fase proton proton bergerak meninggalkan sumbu longitudinal menuju arah transversal disebut sebagai fase resonansi.



Gambar.3. Proton pada fase resonansi, A.Posisi longitudinal B. Posisi Transvesal



Gambar.4. C.Proses T2 D. Proses T1



C. Fase Relaksasi Proton-proton hidrogen berada pada bidang transversal hanyalah bersifat sementara, ketika sinyal Radio Frequenscy dihentikan maka proton-proton akan kembali ke posisi Longitudinal. Saat Radio Frequency dihentikan maka proton proton secara perlahan –lahan akan kehilangan energinya dan mulai bergerak meninggalkan arah transversal menuju kembali kearah longitudinal (recovery). Proses kembalinya posisi proton-proton pada posisi awal dinamakan sebagai fase relaksasi. Pada saat proton-proton kembali ke posisi awal, maka proton akan menginduksikan signal dalam bentuk gelombang elektromagnetik yang dikenal dengan nama Free Induction Decay( FID) yang kemudian akan diterima oleh antenna berupa sebuah kumparan penerima.



Waktu yang dibutuhkan untuk proton kembali pada posisi transversal



dibagi menjadi dua pembagian yaitu T1 dan T2. T1 didefenisikan sebagai waktu yang diperlukan proton- proton hydrogen untuk kembali pada posisi longitudinal dengan memakan waktu sekitar 63% dari recovery time.T1 mencerminkan tingkat transfer energi frekuensi radio (RF) dari proton-proton pada keseluruhan jaringan sekitarnya (Tissue-Lattice).Sehingga T1 biasa pula dikenal dengan istilah Spin Lattice-Relaxation, dimana besar T1 tergantung pada kepadatan serta struktur kimiawi dari materi jaringan yang diperiksa. Jika waktu T1 makin lama maka akan diperoleh sinyal yang semakin besar.



Ketika



Radio Frequency dengan kekuatan energy yang dapat membuat sudut



precession dari proton berubah menjadi sebesar 90° (RF 90° ) maka akan diperoleh sinyal dari arah transversal secara maksimum. Namun ketika sinyal RF 90° dihentikan, maka magnetisasi transversal yang



pada awalnya memancarkan signal maksimum, berangsur-angsur mulai



berkurang (Decay). Pada saat gerakan precession dimulai, proton-proton berada dalam kecepatan yang sama, namun secara perlahan satu sama lain terlihat saling meninggalkan. Sehingga terjadi peristiwa dephasing yaitu proton dengan tingkat energi lebih besar melakukan over lapping pada proton lainnya pada waktu melakukan putaran procession.T2 merupakam waktu yang diperlukan proton-proton untuk mencapai dephasing Peristiwa tersebut disebabkan karena adanya interaksi dari masing-masing proton dengan proton-proton disekitarnya (spin-spin interaction). Peristiwa terjadinya T2* merupakan suatu fenomena tambahan yang dikonstribusikan dari kenyataan bahwa medan magnetic dari pesawat MRI idak benar-benar homogen.Akibat dari tidak homogennya medan magnet MRI maka akan menghasilkan magnetisasi proton proton lokal yang tidak homogen (local inhomogeneity). Local inhomogeneity meningkatkan interks antar spin-spin dan mempercepat dephasing sehingga mempercepat penurunan besarnya signal FID ke nilai nol. Hal ini berarti terdapat adanya signal yang hilang.



Gambar.6. Proses T1 dan T2 saat relaksasi T2 membutuhkan waktu sebesar 37% dari waktu relaksasi Waktu tersebut merupakan nilai T2 yang sebenarnya. Kehilangan signal yang diakibatkan oleh medan magnetic lokal yang tidak homogen tersebut, menutupi nilai T2 yang sebenarnya. Hadirnya T2* mempersepat signal



menuju ke nol, oleh karena itu prosedur pemeriksaan MRI salah satunya adalah mengurangi atau menghilangkan efek T2*, sehingga diperileh nilai T2 yang sebenarnya. Sementara jaringan dengan waktu relaksasi T2 pendek mengalami dephasing sangat cepat sehingga intensitas sinyal yang dihasilkan sangat besar. Jaringan dengan waktu relaksasi T2 pendek akan kelihatan hitam pada pembobotan T2.Waktu relaksasi T1 dan T2 terjadi bersamaan pada saat eksitasi jaringan oleh gelombang radio (RF) dan merupakan suatu proses kerja yang berlawanan yaitu saat proses recovery ke magnetisasi longitudinal diimbangi dengan proses peluruhan kurva relaksasi T2. Jika nilai T2 besar maka signal yang dihasilkan juga besar. Jadi proses dephasing diakibatkan oleh hasil interaksi spin-spin yang sebenarnya dan interaksi spin spin akibat medan magnet yang tidak homogen.



Daftar Pustaka Ridgway JP. Cardiovascular magnetic resonance physics for clinicians: part I.Cardiovasc Magn Reson 2010;12:71. Smith H, Ranello F. A non-mathematical approach to basic MRI. Madison, Wis: Medical Physics Publishing, 1989. Schild H. MRI made easy. Berlin: Schering, 1990.



Clara Alverina Santoso 1506669274