FIELDTRIP Paleontologi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bumi merupakan objek yang penting untuk dipelajari. Cabang ilmu yang mempelajari tentang bumi adalah Geologi. Walaupun hanya mempelajari satu objek yaitu bumi, tetapi perlu diketahui bahwa bumi itu kompleks, itulah mengapa ada banyak cabang dari ilmu geologi yang mempelajari aspek-aspek yang ada di bumi. Salah satu cabang dari ilmu geologi adalah paleontologi. Paleontologi merupakan cabang ilmu yang mempelajari tentang sejarah kehidupan pada masa lampau di bumi yang berkaitan dengan cabang ilmu geologi lainnya. Kajian dari ilmu paleontologi yaitu fosil. Fosil merupakan sisa atau jejak kehidupan masa lampau yang terawetkan dan membatu pada batuan sedimen. Agar dapat memahami ilmu paleontologi lebih dalam, kegiatan pembelajaran secara teoritis tidaklah cukup. Mahasiswa geologi dituntut untuk dapat mengaplikasikan pengetahuannya dilapangan, karena keadaan di lapangan dan teori tidak selalu sama. Berdasarkan hal tersebut sehingga diadakanlah Fieldtrip Paleontologi sebagai pengenalan lapangan melalui pengaplikasian teori yang telah didapat sekaligus melatih ketepatan, kesigapan, ketelitian, dan kreatifitas di lapangan. 1.2 Maksud dan Tujuan Adapun maksud dari praktikum lapangan paleontologi ini adalah agar praktikan dapat menerapkan pengetahuan atau teori yang didapatkan ke dalam praktikum lapangan ini. Adapun tujuan dari praktikum ini adalah: 1. Mengetahui jenis filum daerah penelitian 2. Mengetahui jenis litologi daerah penelitian 3. Mengetahui umur daerah dan lingkungan pengendapan fosil daerah penelitian



1



1.3 Batasan Masalah Pada laporan ini membahas tentang filum-filum, jenis litologi daerah penelitian dan lingkungan pengendapan dari fosil yang terdapat di daerah padanglampe. 1.4 Waktu, Lokasi dan Kesampaian Daerah Fieldtrip paleontologi ini dilaksanakan pada hari jumat, tanggal 22-23 Maret 2019. Lokasi daerah penelitian berada di daerah Padanglampe Kec. Tenate Riaja, kabupaten Barru, Sulawesi Selatan sekitar 135 km arah barat daya kabupaten Gowa. Perjalanan ke daerah penelitian dapat ditempuh kurang lebih 6 jam dari Gowa dan sampai di Barru dari jam 09.00 - 15.00 dengan menggunakan bus, keadaan jalan cukup baik. Secara administratif daerah penelitian meliputi wilayah Daerah Padanglampe Kecamatan Taneteriaja, Kabupaten Barru, Provinsi Sulawesi Selatan dan secara geografis terletak pada koordinat 119⁰41’30” Bujur Timur – 119⁰43’30” Bujur Timur dan 04⁰29’30” Lintang Selatan – 05⁰31’00” Lintang Selatan



Gambar 1.1 Peta tunjuk lokasi penelitian



1.5 Peneliti Terdahulu Beberapa peneliti yang pernah melakukan penelitian di daerah ini baik secara detail maupun regional antara lain: 1. Sarasin (1901), melakukan penelitian geografi dan geologi di pulau Sulawesi.



2



2. Van Bemmelen (1949), melakukan penelitian geologi umum di Indonesia, termasuk Sulawesi Selatan. 3. Djuri dan Sujatmiko (1974),meneliti geologi lembar Pangkajene dan Watampone bagian barat lembar Palopo Sulawesi Sleatan dengan skala 1:250.000 4. Rab Sukamto, (1975) mengadakan penelitian tentang perkembangan tektonik Sulawesi dan sekitarnya, yang merupakan sintesis yang berdasarkan tektonik lempeng. 5. Van Leuwen (1975), meneliti geologi Sulawesi Selatan dengan studi khusus daerah Barru. 6. S. sartono dan K.A.S Astadireja (1981), meneliti geologi kuarter Sulawesi Selatan dan Tenggara. 7. S. Sartono dan K.A.S Astadireja (1981), meneliti Geologi Karst Sulawesi Selatan & Sulawesi Tenggara. 8. Rab Sukamto (1982), membuat peta geologi regional lembar Pangkajene dan Watampone bagian barat, provinsi Sulawesi Selatan.



3



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Geologi Regional Secara regional, daerah penelitian termasuk dalam Peta Geologi Lembar Pangkajene dan Watampone Bagian Barat Sulawesi, skala 1:250.000 yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung (Sukamto,1982). Kajian mengenai geologi regional lembar ini terbagi atas geomorfologi regional, stratigrafi regional, dan struktur geologi regional. 2.1.1 Geomorfologi Regional Pada Lembar Pangkajene dan Watampone bagian Barat (Rab. Sukamto,1982) pegunungan bagian barat menempati hampir setengah luas daerah, yang melebar di bagian selatan (50 kilometer) dan menyempit di bagian utara (22 kilometer) dengan puncak tertingginya 1694 m dan ketinggian rata–ratanya 1500 meter dari permukaan laut. Pembentuknya sebagian besar batuan gunungapi. Di lereng barat dan di beberapa tempat di lereng timur terdapat topografi karst yang mencerminkan adanya Batugamping. Di antara topografi karst pada lereng barat terdapat perbukitan yang dibentuk oleh batuan pada zaman Pra-Tersier. Pegunungan ini dibatasi oleh dataran Pangkajene – Maros yang luas, dan sebagian merupakan lanjutan di dataran sekitarnya. Pegunungan yang di timur relatif lebih sempit dan lebih rendah, dengan puncaknya rata–rata setinggi 700 meter dari permukaan air laut, sedangkan yang tertinggi adalah 787 meter dimana sebagian besar pegunungan ini tersusun dari batuan gunungapi. Di bagian selatannya selebar 20 kilometer dan lebih tinggi, tetapi ke utara menyempit dan merendah dan akhirnya menunjam ke bawah batas antara lembah Walanae dan dataran Bone. Pada bagian utara pegunungan ini mempunyai topografi karst yang permukaanya sebagian berkerucut. Batasnya pada bagian timurlaut adalah dataran Bone yang luas dan menempati hampir sepertiga bagian timur.



4



2.1.2 Statigrafi Regional Pulau Sulawesi dibagi menjadi tiga Mandala geologi, yang didasarkan pada perbedaan litologi stratigrafi, struktur dan sejarahnya. Ketiga mandala tersebut adalah Mandala Sulawesi bagian barat, Mandala Sulawesi bagian timur, dan Mandala Banggai Sula. Dari ketiga mandala tersebut secara orogen yang paling tua adalah Mandala Sulawesi timur dan yang termuda adalah Mandala Sulawesi bagian barat. (Rab Sukamto, 1975) Batuan gunungapi berumur Paleosen (58,5 – 63,0 juta tahun yang lalu) dan diendapkan dalam lingkungan laut, menindih tak selaras batuan flysch yang berumur Kapur Atas. Batuan sedimen formasi Mallawa yang sebagian besar dicirikan oleh endapan darat dengan sisipan batubara, menindih tak selaras batuan gunungapi Paleosen dan batuan flysch Kapur Atas. Di atas formasi Malawa ini secara berangsur beralih ke endapan karbonat formasi Tonasa yang terbentuk secara menerus dari Eosen Bawah sampai bagian bawah Miosen Tengah. Tebal formasi Tonasa lebih kurang 3000 meter, dan melampar cukup luas mengalasi batuan gunungapi Miosen Tengah di barat. Sedimen klastik formasi Salo Kalupang yang Eosen sampai Oligosen bersisipan Batugamping dan mengalasi batuan gunungapi Kalamiseng Miosen Awal di timur. Sebagian besar pegunungan, baik yang di barat maupun yang di timur, mempunyai batuan gunungapi. Di pegunungan yang timur, batuan itu diduga berumur Miosen Bawah bagian atas yang membentuk batuan Gunungapi Kalamiseng. Dilereng timur bagian utara pegunungan yang barat , terdapat batuan Gunungapi Soppeng yang juga diduga berumur Miosen Bawah. Batuan sedimen berumur Miosen Tengah sampai Pliosen Bawah berselingan dengan batuan gunungapi yang berumur antara 8,93 sampai 9,29 juta tahun yang lalu. Secara bersamaan batuan ini menyusun formasi Camba yang tebalnya sekitar 5000 meter. Sebagian besar pegunungan yang barat terbentuk dari formasi Camba ini yang menindih tak selaras dengan formasi Tonasa. Selama Miosen Atas sampai Pliosen, di daerah yang sekarang jadi lembah Walanae diendapkan sedimen klastik formasi Walanae. Batuan ini tebalnya sekitar 4500 meter, dengan bioherm Batugamping koral tumbuh di beberapa tempat 5



(Batugamping Anggota Tacipi). Formasi Walanae berhubungan menjari dengan bagian atas formasi Camba. Kegiatan gunungapi selama Miosen Atas sampai Pliosen Bawah merupakan sumber bahan bagi formasi Walanae. Kegiatan gunungapi yang masih terjadi di beberapa tempat selama Pliosen, dan menghasilkan batuan gunungapi Parepare (4,25 – 4,95 juta tahun) dan BaturapeCindako, juga merupakan sumber bagi formasai itu. Terobosan batuan beku yang terjadi di daerah ini semuanya berkaitan erat dengan kegiatan gunungapi tersebut. Bentuknya berupa stok, sil dan retas bersusun beraneka ragam dari basal, andesit, trakit, diorit dan granodiorit yang berumur berkisar dari 8,3 – 19, 2 juta tahun yang lalu. Setelah Pliosen Atas, rupanya tidak terjadi pengendapan yang berarti di daerah ini, dan juga tidak ada kegiatan gunungapi. Endapan undak di utara Pangkajene dan di beberapa tempat ditepi sungai Walanae, rupanya terjadi selama Pliosen. Endapan Holosen yang luas berupa aluvium terdapat di sekitar danau Tempe, di dataran Pangkajene-Maros dan di bagian utara dataran Bone. 1. Formasi Balangbaru Formasi Balangbaru merupakan formasi batuan sedimen tipe flysch; batupasir berselingan dengan batulanau, batulempung dan serpih, bersisipan konglomerat, batupasir konglomeratan, tufa dan lava, batupasirnya bersusunan grewake dan sarkosa, sebagian tufaan dan gampingan. Pada umumnya menunjukkan struktur turbidit, di beberapa tempat ditemukan konglomerat dengan susunan basal, andesit, diorit, serpih, tufa, terkersikkan, sekis, kuarsa, dan bersemen batupasir. Di bawah miskroskop, batupasir dan batulanau terlihat mengandung pecahan batuan beku, metasedimen dan rijang radiolaria. Formasi ini tebalnya sekitar 2000 meter, tertindih tak selaras batuan formasi Mallawa dan batuan Gunungapi Terpropilitkan, dan menindih tak selaras Komplek tektonika Bantimala. 2. Formasi Mallawa Formasi Mallawa merupakan batupasir, konglomerat, batulanau, batulempung, dan napal, dengan sisipan lapisan atau lensa batubara dan batulempung,



6



batupasirnya sebagian besar batupasir kuarsa, ada pula yang arkosa, grewake, dan tufaan, umumnya berwarna kelabu muda dan coklat muda, bersifat rapuh, dan kurang padat. Batulempung dan Batugamping umumnya mengandung Mollusca. Dan batubara berupa lensa setebal beberapa sentimeter dan lapisan sampai 1,5 meter. Tebal formasi ini tidak kurang dari 400 meter, tertindih selaras oleh Batugamping Temt, dan menindih tak selaras batuan sedimen, dan batuan gunungapi Tpv. 3. Formasi Tonasa Formasi ini beranggotakan Batugamping koral pejal sebagian terhablurkan, berwarna putih dan kelabu muda, Batugamping bioklastika dan kalkarenit, berwarna putih, coklat muda dan kelabu muda, sebagian berlapis baik, berselingan dengan napal globigerina tufaan, bagian bawahnya mengandung Batugamping berbitumen, setempat bersisipan breksi Batugamping dan Batugamping pasiran; di dekat Malawa daerah Camba terdapat Batugamping yang mengandung glaukonit dan di beberapa tempat di daerah Ralla ditemukan Batugamping yang mengandung banyak sisipan sekis dan batuan ultramafik, Batugamping berlapis sebagian mengandung banyak foraminifera kecil dan beberapa lapisan napal pasiran mengandung banyak kerang (Pelecypoda) dan siput (Gastropoda). 4. Formasi Camba. Formasi Camba merupakan batuan sedimen laut berselingan dengan batuan gunungapi, batupasir tufaan berselingan dengan tufa, batupasir, batulanau, dan batulempung, bersisipan dengan napal, Batugamping, konglomerat dan breksi gunungapi. Dan setempat batubara. Pada formasi ini ditemukan fosil-fosil foraminifera, ganggang dan koral. Kemungkinan sebagian dari formasi Camba diendapkan dekat daerah pantai. Satuan ini tebalnya sekitar 5000 meter, menindih tak selaras Batugamping dari formasi Tonasa dan batuan dari formasi Mallawa, mendatar berangsur berubah menjadi bagian bawah daripada formasi Walanae, diterobos oleh retas, sil dan stok bersusunan Basal piroksin, Andesit dan Diorit.



7



2.1.3 Struktur Geologi Regional Lengan selatan pulau Sulawesi secara struktural dibagi atas dua bagian yaitu lengan selatan bagian utara dan lengan selatan bagian selatan yang sangat berbeda struktur geologinya. (Van Bemellen, 1949) Lengan selatan bagian utara berhubungan dengan orogen, sedangkan lengan Selatan bagian Selatan memperlihatkan hubungan kearah jalur orogen yang merupakan sistem pegunungan Sunda. Perkembangan struktur lengan selatan bagian utara pulau Sulawesi di mulai pada zaman Kapur, yaitu terjadinya perlipatan geosinklin disertai dengan kegiatan vulkanik bawah laut dan intrusi Gabro. Bukti adanya intrusi ini terlihat pada singkapan disepanjang pantai Utara–Selatan Teluk Bone. Batuan yang masih dapat diketahui kedudukan struktur stratigrafinya dan tektoniknya adalah sedimen flisch formasi Balangbaru dan formasi Marada, di bagian bawah tidak selaras oleh batuan yang lebih muda. Batuan yang lebih tua merupakan



massa



yang



terimbrikasi



melalui



sejumlah



sesar



sungkup,



terbreksikan, tergerus dan sebagian tercampur aduk dengan Mélange. Berdasarkan himpunan batuannya diduga formasi Balangbaru dan formasi Marada merupakan endapan lereng di dalam sistem busur palung zaman Kapur Atas dan gejala ini menunjukkan bahwa Mélange di daerah Bantimala terjadi sebelum Kapur Atas. Pada daerah bagian timur terjadi vulkanisme yang dimulai sejak Miosen Atas dimana hal ini ditunjukkan pada daerah Kalamiseng dan Soppeng. Akhir kegiatan vulkanisme ini diikuti oleh tektonik yang menyebabkan terjadinya permulaan



terban



Walanae



yang



kemudian



menjadi



cekungan



tempat



pembentukan formasi Walanae. Peristiwa ini kemungkinan besar berlangsung sejak awal Miosen Tengah dan mengalami penurunan perlahan-lahan selama terjadi proses sedimentasi sampai kala Pliosen, proses penurunan terban Walanae dibatasi oleh dua sistem sesar normal, yaitu sesar Walanae yang seluruhnya nampak hingga sekarang di timur dan sesar Soppeng yang hanya tersingkap tidak menerus di sebelah Barat. Sejak Miosen Tengah terjadi sesar utama yang berarah utara – baratlaut dan tumbuh setelah Pliosen. Perlipatan besar yang berarah hampir sejajar dengan 8



sesar utama diperkirakan terbentuk sehubungan adanya tekanan mendatar yang kira-kira berarah timur-barat sebelum akhir Pliosen. Tekanan ini mengakibatkan pula adanya sesar lokal yang mengsesarkan batuan Pra Kapur Akhir di lembah Walanae dan di bagian barat pegunungan barat, yang berarah baratlaut- tenggara dan merencong, kemungkinan besar terjadi oleh gerakan mendatar ke kanan sepanjang sesar besar. 2.2 Struktur Sedimen Struktur sedimen memiliki pengertian yang sangat luas, meliputi penampakan dari perlapisan normal termasuk kenampakan kofigurasi perlapisan danjuga modifikasi dari perlapisan yang disebabkan proses baik selama pengendapan berlangsung maupun setelah pengendapan berhenti. Oleh sebab itu perlu kiranya dijelaskan dulu apakah sebenarnya yangdimaksud dengan perlapisan (bedding ) itu, sehingga selanjutnya akan memperjelas batasanstruktur sedimen.Sebenarnya belum ada difinisi perlapisan yang memuaskan semua fihak, walaupun sebenarnya istilah perlapisan sudah luas sekali digunakan dalam pemerian runtunan sedimen. Studi struktur sedimen paling baik dilakukan di lapangan (Pettijohn, 1975), dapat dikelompokkan menjadi tiga macam struktur, yaitu: 1. Struktur Sedimen Primer Struktur ini merupakan struktur sedimen yang terbentuk karena proses sedimentasi dapatmerefleksikan mekanisasi pengendapannya. Contohnya seperti perlapisan, gelembur gelombang, perlapisan silang siur, konvolut, perlapisan bersusun, dan lain-lain. (Suhartono, 1996 : 47) A. Cross Bedding (Perlapisan Silang) Cross bedding merupakan struktur primer yang membentuk srutur penyilangan suatulapisan batuan terhadap lapisan batuan yang lainya, atau lapisan batuan yang lebih mudamemotong lapisan batuan yang lebih tua. Cross bedding didefinisikan oleh Pettijohn (1972) sebagai struktur yang membatasi suatu unit sedimentasi dari jenis yang lain dan dicirikandengan perlapisan dalam atau laminasi disebut juga dengan foreset bedding miring ke permukaan bidang akumulasi (deposisi).



9



B. Graded Bedding (Perlapisan Bersusun) Graded bedding merupakan struktur perlapisan sedimen yang menunjukan perbedaan fragmen atau ukuran butir sedimen yang membentuk suatu lapisan batuan. Perbedaan ini terbentuk karena adanya gaya gravitasi yang mempengaruhi terjadinyapengendapan pada sedimen tersebut. Sedimen yang memiliki ukuran but ir lebih besarakan lebih dahulu mengendap dibandingkan dengan sedimen yang memiliki ukuran lebih kecil sehingga struktur graded bending akan selalu menunjukan sturktur perlapisan yang semakin keatas lapisan tersebut ukuran butir yang dijumpai akan semakin kecil. C. Parallel Laminasi (Perlapisan Sejajar) Struktur primer lapisan sedimen yang sejajar.



Riple Mark (Gelembur



Gelombang): merupakan struktur primer perlapisan sedimen yang menunjukan adanya permukaan seperti ombak atau begelombang yangdisebabkan adanya peng ikiran oleh kerjaair, dan angin. Pada awalnya lapisan batuan sedimen tersebut datar dan horizontal karena adanya pengaruh kerja air dan angin menyebabkan bagian-bagian lemah terbawa air atauangin sehingg menyisahkan cekungancekungan yang membentuk seperti gelombang. 2. Struktur Sedimen Sekunder Struktur yang terbentuk sesudah proses sedimentasi, sebelum atau pada waktu diagenesa. Juga merefleksikan keadaan lingkungan pengendapan misalnya keadaan dasar, lereng dan lingkungan organisnya. Antara lain : beban, rekah kerut, jejak binatang 3. Struktur Sedimen Organik Struktur yang terbentuk oleh kegiatan organisme, seperti molusca, cacing atau binatang lainnya. Antara lain: kerangka, laminasi pertumbuhan. Jenis-jenis struktur sedimen : 1. struktur sedimen biogenik, merupakan struktur yang dibentuk dikarenakan aktivitas organisme, contohnya adalah bioturbasi Struktur biogenic: trace fossil Trace fossil terbagi menjadi 2 kelompok yaitu: a. Trace fossil yang dibentuk oleh organisme epibentik pada permukaan sediment (track dan trail).



10



b. Trace fossil yang dibentuk oleh organisme endobentik di dalam sediment (burrow). 2. Struktur sedimen pra pengendapan, yaitu struktur yang terbentuk sebelum pengendapan berlangsung, contohnya adalah struktur-struktur erosional 3. Struktur sedimen saat pengendapan (depositional sedimentary structure), yaitu struktur yang terbentuk selama proses pengendapan, contohnya adalah perlapisan, laminasi, crossbedding, dan lain-lain. a. Struktur Perlapisan: Struktur ini dikatakan perlapisan dikarenakan mempunyai jarak lapisan >1 cm struktur ini terbentuk karena pengaruh endapan lapisan atau arus gelombang yang tenang dan pengendapan yang lama. b. Struktur Laminasi: Struktur



ini



hampir



sama



dengan



perlapisan



namun



yang



membedakannya adalah jarak perlapisan yang kurang dari 1 cm. Biasanya struktur ini diakibatkan oleh proses diagenesis sediment yang cepat dengan media pengendapan yang tenang. 4.



Struktur sedimen setelah pengendapan, yaitu struktur sedimen yang terbentuk setelah pengendapan berhenti, contohnya adalah nendatan atau slump.



5.



Struktur sedimen lain-lain, yaitu struktur sedimen yang terbentuk selain dari 3 proses yang telah disebutkan diatas, misalnya: rain drop & mud crack



Struktur sedimen merupakan data dinamis yang sangat berguna untuk mengidentifikasi lingkungan pengendapan. Struktur sedimen oleh proses fisika sebelum,selama dan sesudah sedimentasi. 2.3 Proses Pemfosilan Fosil berasal dari kata fossilis dalam bahasa latin yang artinya menggali atau mengambil sesuatu dari dalam tanah. Sisa-sisa dari hewan atau tumbuhan yang hidup dimasa lalu yang tertinggal dan terkumpul dalam lapisan tanah yang umumnya telah membatu yang disebut fosil. Fosil yang terawetkan terdiri dari fosil yang berasal dari organisme itu sendiri ataupun sisa aktifitasnya.



11



Fosilisasi atau proses pemfosilan adalah semua proses yang menghasilkan fosil. Dimana proses-proses fosilisasi meliputi tiga tahap utama yaitu kematian, peristiwa preburial/pra-terkubur, dan peristiwa post-burial/pasca-terkubur. Saat organisme mati, organisme mengalami pembusukan jaringan lunak oleh bakteri sedangkan bagian yang keras seperti tulang dan cangkang akan tetap awet, bagian inilah yang terfosilkan. Organisme yang telah mati dan terkubur cepat (rapid burial) biasanya akan terfosilkan ditempat dimana ia mati, fosil ini disebut bioconose. Fosil ini biasanya memiliki bagian tubuh yang lengkap jika dijumpai sebagai fosil karena proses rapid burial. Adapun fosil yang tidak megalami rapid burial biasanya akan mengalami proses fisika seperti transportasi, proses biologi berupa gangguan dari organisme lain, serta proses kimia seperti pelarutan. Fosil yang tertransportasikan biasanya ditemukan pada keadaan anatomi yang tidak sempurna. Setelah tertransportasikan, fosil akan terendapkan pada suatu cekungan bersama material sedimen ikut tertrasportasi. Terjadi akumulasi lalu mengalami kompaksi serta sementasi. Dalam umur geologi yang lama terus terjadi prosesproses diatas sehingga terbentuklah fosil melalui lithifikasi/ pembatuan. 2.4 Karakteristik Invertebrata 2.4.1 Filum Protozoa Protozoa adalah organisme seluler yang bersifat eukariotik dengan tidak memiliki dinding sel dan heterotrof serta dapat bergerak (motil). Protozoa dapat bergerak dengan menggunakan alat geraknya, yaitu pseudopodia (kaki semu), silia (rambut getar), atau flagela (bulu cambuk). Dalam kajian evolusi, Protozoa diduga merupakan cikal bakal organisme hewan yang sangat kompleks. Protozoa dibagi menjadi empat klas tergantung pada metode penggerak mereka. Mastigophora (flagellate) bergerak dengan menggunakan satu atau lebih flagela. Sarcodina (amoebae) memiliki ekstensi sitoplasma yang disebut pseudopodia assisting fagositosis dan gerak pada organisme. Ciliophora (ciliates) bergerak dengan cara silia. Sporozoa (Apicomplexa) tidak memiliki penggerak.



12



1. Kelas Mastighopora Kelas ini cara bergeraknya menggunakan flagel hidupnya bebas dan ada juga sebagai protozoa parasit. Pada umunya golongan ini mempunyai satu inti dengan beberapa flagel dan dapat hidup dalam lingkungan air tawar maupun air asin. Sebagian besar merupakan hewan planktonik. 2. Kelas Ciliata Bentuk cangkan dari kelas ini sangat bermacam-macam. Cara bergeraknya dengan menggunakan semacam rambut pendek. Kelas ini sangat sedikit dijumpai fosil-fosilnya. Sehingga dalam paleontologi tidak dibicarakan fosil dan klasifikasinya. Merupakan kelas terbesar dari protozoa. Ciliata adalah hewan berbulu getar. Contoh dari kelas ini Paramecium caudatum 3. Kelas Sarcodina Bergerak menggunakan pseudopodia. Dalam kelas ini sangat banyak dijumpai fosil. Dapat hidup dalam air tawar maupun air laut.cara hidup soliter. 4. Kelas Rhizopoda Bergerak dengan kaki semu (pseudopodia) yang merupakan penjuluran protoplasma sel. Hidup di air tawar, air laut, tempat-tempat basah, dan sebagian ada yang hidup di tubuh hewan atau manusia. Jenis yang paling mudah diamatii adalah Amoeba. 5. Kelas Apicomplexa (sporozoa) Tidak memiliki alat gerak khusus, menghasilkan spora (sporozoid) sebagai cara perkembang biakannya. Dimana sporozoid memilki organel-organel kompleks pada salah satu ujung pada manusia dan hewan.



13



Gambar 2.1 Filum Coelenterata



2.4.1 Filum Bryozoa Bryozoa dianggap sebagai tumbuhan karena bentuk dan karakteristik dari Bryozoa menyerupai tumbuhan lumut. Namun, setelah penelitian lebih lanjut Bryozoa merupakan koloni atau hewan kecil-kecil. Bryozoa memiliki ciri sebagai berikut; hidup berkoloni dan bebas di air laut, mirip dengan beberapa koral, umumnya memiliki kerangka keras yang membatu, biasanya ditemukan di bebatuan, memiliki lubang kecil dipermukaan tubuhnya. Variasi tubuh bermacam misalnya bentuk ranting, bentuk cabang dan atau menyerupai tenda. Adapun pengklasifikasian dari filum Bryozoa adalah: 1. Phylactolaemata Berbentuk tapal kuda mempunyai epistome, dinding berotot,



koloni



monomorfik, terdapat di air tawar, menghasilkan statoblast, tidak ada zooid 2. Gymnolaemata Lophophore berbentuk lingaran, epistosme tidak ada, dinding tubuh tidak berotot, lebih dari 3000 spesies, kebanyakan hidup di laut, zoeica



kompleks



berbentuk silindris. 3. Stenolaemata Bentuk zoeicum seperti tabung, terbuka di bagian ujung, dinding zoeica berkapur dan menyatu satu sama lain, orifice bundar, telur dierami dalam ovicer besar, terdapat 900 spesies hidup dan hidup di laut.



14



Manfaat fosil ini Dalam bidang geologi fosil dari filum bryozoa dapat dimanfaatkan untuk menganalisa kondisi laut pada masa lampau. Kondisi arus lautan asupan nutrisi dan suhu laut sangat mempengaruhi bentuk tubuh ukuran, serta tingkat kepadatan populasi dalam filum bryozoa semasa hidupnya, melalui data ini para ahli dapat memperkirakan lingkungan dan kondisi laut masa lampau dari tempat hidup fosil dari filum bryozoa yang dipermukaan.



Gambar 2.2 Filum Bryozoa



2.4.3 Filum Coelenterata Coelenterata dalam bahasa yunani, coelenteron berarti rongga adalah invertebrata yang memiliki rongga tuubuh. Rongga tubuh tersebut berfungsi sebagai alat penceraan (gastrovaskuler). Coelenterata disebut juga cnidaria (dalam bahasa yunani, cnido berarti penyengat karena memiliki sel penyengat. Bagian tubuh coeleterata yang dapat diamati saat terfosilkan diantaranya : 1. 2. 3. 4. 5.



Oral Disk adalah katup yang terletak pada tubuh fosil Oral Opening merupakan tempat keluar-masuknya makanan dan air Eksoskeleton yaitu rangka bagian luar Hypostoma yaitu bagian yang tertambat di dasar laut Calyx atau kamar merupakan garia vertikal yang terdapat dipermukaan tubuh



fosil 6. Enteron, yaitu sekat yang membatasi antar calyx. Coelenterata dibedakan atas tiga kelas utama yaitu :



15



Coelenterata diklasifikasikan berdasarkan bagian tubuh yang lunak, siklus hidup, struktur dan kenampakan skeleton, struktur internal skeleton, serta genesa dari filum coelenterata. Coelenterata terbagia atas tiga kelas utama yaitu: a.



Hydrozoa Beberapa jenis hydrozoa mengalmi dua siklus hidup yaitu tahap polip yang aseksual dan tahap medusa yang seksual. Contohnya adalah Obelia sp. Ada pula yang selama hidupnya hanya berbentuk polip saja, seperti Hydra.



b.



Scyphozoa Hewan ini memiliki bentuk seperti mangkuk, kadang mempunyai tubuh berwarna, namun ada beberap spesies yang transparan. Tubuhnya dilengkapi dengan tentakel yang mempunyai sel penyengat.



c.



Anthozoa Memiliki ciri- ciri khusus yaitu menyerupai bunga. Anthozoa hidup sebagai polip. Anthozoa juga biasa disebut dengan Koral. Anthozoa mempunyai tiga ordo yang ppenting untuk dipelajari, yaitu Sclerectina, Rugosa dan Tabulata.



2.4.4 Filum Porifera Porifera merupakan sebuah filum untuk hewan multiseluler yang paling sederhana. Ciri-ciri morfologinya antara lain tubuhnya berpori, multiseluler, umumnya bertubuh simetri, walaupun terkadang ada yang memiliki simetri radial. Porifera hidup secara heterotrof. Makanannya adalah bakteri dan plankton. Makanan yang masuk ke tubuhnya dalam bentuk cairan. Habitat di laut dangkal. Porifera bersifat multiseluler dengan ukuran yang bevariasi, tidak mempunyai mulut tetapi berpori, hidup secara sesil, hidup di laut dangkal. Adapun pengklasifikasian filum porifera adalah



1. Kelas Calcarea Umumnya berukuran sangat kecil ditemukan di laut dangkal tapi beberapa spesies dapat hidup di lingkungan laut pada kedalaman 4000 kaki. Terdiri dari 2 ordo, yaitu ordo homocoela dan ordo heterocoela. 2. Kelas Hexactinellida 16



Rangka tubuh tersusun dari silika, terkadang disebut dengan spons gelas. Umumnya mereka ditemukan hidup secara individu dengan bentuk silinder atau seperti vas bunga. Hidup di laut dalam. 3. Kelas Demospongia. Kelas ini yang umum dijumpai dikarenakan penyebaran. Bertubuh lunak karena tidak memiliki rangka. Tersusun atas silika. 4. Kelas Sclerospongea Spons ini tersusun dari kalsium karbonat dan silika, termasuk dalam tipe spons koral. 2.4.5 Filum Brachiopoda Brachiopoda adalah hewan bercangkang yang berevolusi pada zaman awal tahun Brachiopoda adalah hewan laut yang memiliki "katup" keras (cangkang) pada permukaan atas dan bawah, tidak seperti pengaturan kiri dan kanan di moluska bivalvia. Katup brakiopoda berengsel di bagian belakang, sedangkan bagian depan dapat dibuka untuk makan atau tertutup untuk perlindungan. Adapun ciri-ciri dari filum ini adalah sebagai berikut: a. Tubuh tertutup oleh 2 cangkang, satu ke arah dorsal dan yang lainnya ke arah b. c.



ventral (bilvalvia). Biasanya melekat pada substrat dengan pedicle. Lophophore membentuk kumparan dengan atau tanpa didukung oleh skeletel



d. e. f.



internal. Mempunyai satu atau sepasang metanefridia. Sebagian besar diocious, larve disebut lobate. Hidup soliter sebagai organisme bentik di laut.



Adapun pengklasifikasian filum Brachipoda terbagi atas dua kelas: 1. Kelas Articulata Cangkang atas dan bawah (valve) dihubungkan dengan otot dan terdapat selaput dan gigi. Kelas Articulata / Pygocaulina memiliki masa hidup dari Zaman Cambrian hingga ada beberapa spesies yang dapat bertahan hidup sampai sekarang seperti anggota dari ordo Rhynchonellida dan ordo Terebratulida. Adapun ciri-ciri kelas Articulata yaitu; cangkang dipertautkan oleh gigi dan socket yang diperkuat oleh otot, cangkang umumnya tersusun oleh material



17



karbonatan, tidak memiliki lubang anus, memiliki keanekaragaman jenis yang besar, banyak berfungsi sebagai fosil index, mulai muncul sejak Zaman Kapur hingga saat ini. 2. Kelas Inarticulata Cangkang atas dan bawah (valve) tidak dihubungkan dengan otot dan terdapat socket dan gigi yang dihubungkan dengan selaput pengikat. Adapun ciri-ciri dari kelas Inarticulata; tidak memiliki gigi pertautan (hinge teeth) dan garis pertautan (hinge line), pertautan kedua cangkangnya dilakukan oleh sistem otot, sehingga setelah mati cangkang akan terpisah, Cangkang umumnya berbentuk membulat atau seperti lidah, tersusun oleh senyawa fosfat atau khitinan, Mulai muncul sejak Zaman Cambrian awal hingga sekarang Kegunaan fosil Brachiopoda ini yaitu sangat baik untuk fosil indeks (index fossils) untuk strata pada suatu wilayah yang luas. Contoh kegunaan fosil brachiopoda dalam geologi : Genus Lingula merupakan penciri dari jenis brachiopoda yang paling tua, yaitu Lower Cambrian. Jenis ini ditemukan pada batuan Lower Cambrian dengan kisaran umur 550 juta tahun yang lalu. Secara garis besar, jenis Phylum Brachiopoda ini merupakan hewan-hewan yang hidup pada Masa Paleozoikum, sehingga kehadirannya sangat penting untuk penentuan umur batuan sebagai Index Fossils.



Gambar 2.3 Filum Brachiopod



2.4.6



Filum Mollusca



18



Moluska berasal dari bahasa latin: molluscus yang artinya lunak.Moluska adalah hewan triploblastik slomata yang bertubuh lunak. Mollusca hidup di laut, air tawar, payau, dan darat. Beberapa Mollusca memiliki cangkang. Filum Mollusca merupakan filum terbesar kedua setelah Artropoda. 1. Kelas Amphineura Amphineura adalah kelompok yang memiliki 8 cangkang tersusun seperti atap rumah pada tubuhnya. Cangkang tersebut terbuat dari zat kapur. Hewan ini memiliki tubuh simetri bilateral, tubuhnya bulat seperti telur dan pipih. Hewan ini hanya terdapat di laut dan biasnya menempel pada bebatuan, 2. Kelas Cephalopoda Cephalopoda adalah kelompok yang memiliki kaki pada bagian kepalanya. Tubuhnya terbagi menjadi bagian kepala, leher , dan badan. Bagian kepalanya relatif besar dan memiliki 2 buah mata. Hewan ini tidak memiliki cangkang. Pada kepalanya terdapat 10 bagian memanjang, 8 diantaranya berfungsi sebagai lengan berukuran panjang yang disebut tentakel. Hewan ini memiliki rongga mantel yang ditutupi oleh mantel khas yang ada padanya. 3. Kelas Gastropoda Gastropoda adalah kelompok yang menggunakan perutnya sebagai kaki untuk bergerak. Kata Gastropoda berasal dari 2 kata, yaitu Gaster yang artinya perut dan Podos yang artinya kaki. Perut hewan ini dapat menghasilkan lendir yang berfungsi untuk melindungi dan mempermudahnya dalam bergerak. Gastropoda memiliki cangkang dan tubuhnya simetri bilateral. Pada bagian kepala terdapat 2 buah tentakel yang berfungsi sebagai indra penglihatan dan penciuman. 4. Kelas Scaphopoda Scaphopoda adalah kelompok yang memiliki cangkang berbentuk tajam seperti taring atau terompet. Habitatnya pada daerah yang berlumpur atau berpasir, dan hidup dengan menanamkan diri pada daerah tersebut. Pada ujung cangkangnya terdapat lubang yang berfungsi untuk menyesuaikan diri dengan habitatnya. Scaphopoda memiliki kaki kecil yang berfungsi untuk bergerak, pada kepalanya terdapat beberapa tentakel . 5. Kelas pelecypoda



19



Kelas ini adalah kelompok mollusca yang memiliki kaki pipih dan cangkang terdiri atas 3 lapisan.



BAB III METODE PENELITIAN 3.1



Metode Penelitian Metode yang digunakan untuk penelitian ini terdiri dari metode orientasi



lapangan dan pengambilan data lapangan pada lintasan-lintasan yang dilalui pada daerah penelitian. Dalam metode pengambilan data digunakan beberapa metode yang umumnya dilakukan untuk pengambilan data yaitu metode measuring section dan juga metode pengamatan yang mencakup penggambaran keadaan singkapan, deskripsi litologi batuan, sketsa bentang dan pengambilang data foto stasiun. Kemudian dilakukan analisis laboratorium dimana fosil yang didapatkan di lapangan dan di laboratorium dicocokkan dengan sampel yang ada didalam laboratorium. 3.2 3.2.1



Alat dan Bahan Alat Adapun alat yang digunakan di lapangan yaitu:



1. Palu geologi 2. Roll meter 20



3. Global positioning system (GPS) 4. Kompas geologi 5. Kamera digital 6. Peta topografi daerah penelitian 7. Alat tulis menulis 8. Clipboard 9. Lup 10. Komparator 11. Busur derajat ( 360˚ dan 180˚) 12. Mistar 13. Pita meter 14. Hekter 15. Topi lapangan 16. Buku lapangan 3.2.2



Bahan Adapun bahan yang digunakan di lapangan yaitu:



1. Kantong sampel 2. Karung 3. Double tip 4. Kertas grafik 5. Kertas A4 6. Laurat HCL (0,1 M) 7. Spidol permanen 3.3



Tahapan Penelitian Kegiatan ini dilakukan dengan beberapa tahapan penelitian, yaitu tahap



persiapan, tahap penelitian lapangan, tahap pengolahan data lapangan, tahap analisis data lapangan, dan tahap penyusunan laporan. A.



Tahap Persiapan



21



Tahap ini merupakan tahap persiapan sebelum melakukan pengambilan data di lapangan, meliputi studi literatur mengenai karakteristik data geologi regional sehingga mempermudah dalam kegiatan penelitian serta penyediaan segala perlengkapan untuk kegiatan di lapangan. Dalam tahap ini, juga dilakukan pengurusan administrasi persuratan meliputi surat permohonan izin kegiatan yang ditujukan kepada beberapa pihak, yang terdiri atas pengurusan perizinan kepada pihak Departemen Teknik Geologi Universitas Hasanuddin, Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin, Pemerintahan Provinsi melalui sub bagian Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah Provinsi Sulawesi Selatan, kemudian surat keluar dari BKPMD tembusan untuk Pemerintah Daerah Kabupaten Barru.



B.



Tahap Penelitian Lapangan Pada tahap penelitian lapangan dilakukan proses pengambilan data secara



pengamatan dan pendeskripsian singkapan serta metode Tabel Measuring Section C.



Tahap Pengolahan Data Tahap ini dilakukan setelah pengambilan data lapangan dilakukan.



Tahapan ini meliputi pengkoreksian data kedudukan batuan, ketebalan tiap lapisan,



jenis litologi batuan, geomorfologi dan lintasan penelitian. Data



geomorfologi meliputi data kemiringan lereng. Selain itu juga dilakukan pengolahan data litologi, berupa sampel batuan berbeda yang didapatkan di lapangan serta pendeskripsian fosil yang dijumpai tiap lapisan dilapangan. D.



Tahap Analisis Data Lapangan Data-data lapangan selanjutnya diolah untuk dianalisis dan interpretasi



lebih lanjut mencakup aspek geomorfologi, struktur geologi, litologi dan deskripsi fosil. Pengerjaan analisa data lapangan tersebut mencakup; a. Analisis geomorfologi, mengidentifikasi satuan geomorfologi daerah penelitian yang didasarkan pada pengolahan analisis beda tinggi, pola aliran sungai dan ciri geomorfologi lainnya. b. Analissi litologi, contoh batuan yang telah diambil dari lapangan selanjutnya diidentifikasi kandungan fosil yang terdapat pada batuan



22



tersebut. c. Analisis struktur geologi, yaitu pengamatan struktur geologi untuk mengidentifikasi struktur geologi yang nampak, melakukan pencatatan, pengukuran dan perekaman data. d. Analisis kandungan fosil, yaitu pegamatan kenampakan bentuk fosil yang didapatkan di lapangan kemudian di cocokan dengan sampel fosil yang di laboratorium berdasarkan jenis filum hinggan spesies. E.



Tahap Penyusunan Laporan Pada tahap ini data yang telah diperoleh, dianalisis secara detail serta



dilakukan penarikan kesimpulan mengenai kondisi geologi daerah penelitian. Pada tahap ini juga dilakukan pembuatan peta stasiun pengamatan geologi, profil lintasan, peta stasiun, tabel measuring section, serta kolom litologi. Inti dari tahapan ini. Penyajian data dan hasil laporan berupa laporan identifikasi kandungan fosil tersebut disusun secara sistematis dalam bentuk tulisan ilmiah berupa laporan lapangan.



Gambar 3.1 Diagram alir



23



4.1 4.1.1



BAB IV IDENTIFIKASI KANDUNGAN FOSIL DAERAH Stasiun Berjalan Stasiun 1



Gambar 4.1 Singkapan Stasiun 1 litologi Batugamping



Dijumpai singkapan dengan jenis batuan Batuan Sedimen, dengan dimensi 7 m × 3 m, singkapan ini merupakan insitu atau merupakan singkapan yang terbentuk di area tersebut dan belum mengalami transportasi. Singkapan ini terletak di daerah Padanglampe, kecamatan Taneteriaja, Kabupaten Barru, Provinsi Sulawesi Selatan. Dengan letak koordinat 4⁰20’23.8”S 119⁰43’64”E. Arah penyebaran batuan dari Barat Daya mengarah ke Timur Laut.



24



Dijumpai Batuan Sedimen dengan warna segar abu-abu, dan warna lapuk cokelat, memiliki tekstur non klastik. Sehingga dari kenampakan fisik dapat diketahui nama batuan tersebut adalah Batugamping Singkapan memiliki relief miring, dengan tipe morfologi daerah adalah perbukitan. Berdasarkan pengamatan sekitar dengan adanya vegetasi, maka diketahui area tersebut memiliki tingkat pelapukan tinggi. Untuk tata guna lahan, warga sekitar memanfaatkan lahan sebagai lahan ternak 4.1.2



Stasiun 2



Gambar 4.2 Singkapan Stasiun 2 litologi Batugamping, dengan struktur Bioturbasi



Dijumpai singkapan dengan jenis batuan Batuan Sedimen, dengan dimensi 5 m × 3 m, singkapan ini merupakan insitu atau merupakan singkapan yang terbentuk di area tersebut dan belum mengalami transportasi. Singkapan ini terletak di daerah Padanglampe, kecamatan Taneteriaja, Kabupaten Barru, Provinsi Sulawesi Selatan. Dengan letak koordinat 4⁰30’15.68”S 119⁰42’18.84”E. Dijumpai struktur Bioturbasi pada singkapan ini berupa lubang yang merupakan jejak dari suatu organisme Dijumpai Batuan Sedimen dengan warna segar abu-abu, dan warna lapuk cokelat, memiliki tekstur non klastik. Sehingga dari kenampakan fisik dapat diketahui nama batuan tersebut adalah Batugamping Singkapan memiliki relief miring, dengan tipe morfologi daerah adalah perbukitan. Berdasarkan pengamatan sekitar dengan adanya vegetasi, maka diketahui area tersebut memiliki tingkat pelapukan tinggi. Untuk tata guna lahan, warga sekitar memanfaatkan lahan sebagai perkebunan dan lahan ternak. 4.2 4.2.1



Measuring Section Litologi Batupasir



25



Dijumpai batuan sedimen dengan warna segar jingga kecokelatan, warna lapuk cokelat. Memiliki tekstur klastik, dengan ukuran butir dari pasir halus hingga pasir kasar (1/8-1 mm), sortasi baik, kemas tertutup, dan permeabilitas baik. Berdasarkan sifat fisik yang diamati nama batuan adalah Batupasir No 1



Spesies Porpites porpita L.



Pada



Deskripsi litologi batupasir,



dijumpai



fosil



yang



termasuk



dalam



Filum



Coelenterata,



Kelas



Hydrozoa,



Ordo



Anthomedusae,



Family



Porpitesidae,



Genus



Porpites, dan dengan nama 2



Favosites saginatus LECOMPTE.



spesies Porpites porpita L. Fosil ini termasuk dalam Filum



Porifera,



Kelas



Calcarea, Ordo Favositida, Family



Favositesidae,



Genus



Favosites



dengan



nama



Favosites 3



Cyathophyllum dinanthus GOLDF.



dan spesies



saginatus



LECOMPTE. Fosil ini termasuk dalam Filum Coelenterata, Kelas Anthozoa, Ordo Strauiida, Famili Cyathophyllumidae, Genus Cyathophyllum, dan dengan



nama



Cyathophyllum



spesies dinanthus



GOLDF



26



3



4



Brotia inquinata DEFR.



Dreissena spathulata (PARTSCH)



Fosil ini termasuk dalam Filum Mollusca, Kelas Gastropoda, Ordo Sorbeocancha, Family Brotianidae, Genus Brotia dan dengan nama spesies Brotia inquinata (DEFR.)



Fosil ini termasuk dalam filum



Mollusca,



Kelas



Pelecypoda, Ordo Myida, Family



Dreissenanidae,



Genus



Dreissena



dengan



nama



Dreissena 5



Odontobelus tripartitus gracilis (A.)



dan spesies



spathulata



(PARTSCH) Fosil ini termasuk dalam filum Coelenterata, Kelas Anthozoa, Ordo Rugosa, Family Genus



Odontobelusidae, Odontobelus



dengan



nama



Odontobelus



dan



spesies tripartitus



gracilis (A.) 6



Tympanotonos funantus (SOW)



Fosil ini termasuk dalam filum



Porifera,



Calcarea, Tympanoida,



Kelas Ordo Family



Tympanotonosidae, Genus 27



Tympanotonosdan nama



dengan



Tympanotonos



funantus (SOW)



7



Plagiostoma ternuistriata (MSTR.)



Fosil ini termasuk dalam filum



Porifera,



Kelas



Calcarea,



Ordo



Heterocoela,



Family



Plagiostomanidae,



Genus



Plagiostoma



dan



dengan



nama



Plagiostoma



ternuistriata (MSTR.)



Tabel 4.1 Keterdapatan Fosil pada batupasir



4.2.2



Litologi Batugamping Dijumpai batuan sedimen dengan warna segar putih kekuningan, warna



lapuk cokelat. Memiliki



tekstur non klastik permeabilitas baik, dan struktur



berlapis. Berdasarkan sifat fisik yang diamati nama batuan adalah Batugamping No 1



Spesies Favosites saginatus LECOMPTE.



Deskripsi Fosil ini termasuk dalam Filum



Porifera,



Kelas



Calcarea, Ordo Favositida, Family Genus



Favosites



dengan



nama



Favosites 2



Minantothyris concentrica var.tumida KAYSER



Favositesidae, dan spesies saginatus



LECOMPTE. Fosil ini termasuk dalam Filum Brachiopoda, Kelas



28



Artikulata,



Ordo



Terebratuida,



Family



Minantothyrisidae,



Genus



Minantothyris dan dengan nama spesies Minantothyris concentrica



var.tumida



KAYSER



3



Porpites porpita L.



Pada



litologi



batupasir,



dijumpai



fosil



yang



termasuk



dalam



Filum



Coelenterata,



Kelas



Hydrozoa,



Ordo



Anthomedusae,



Family



Porpitesidae,



Genus



Porpites, dan dengan nama 4



Dreissena spathulata (PARTSCH)



spesies Porpites porpita L. Fosil ini termasuk dalam filum



Mollusca,



Kelas



Pelecypoda, Ordo Myida, Family



Dreissenanidae,



Genus



Dreissena



dengan



nama



Dreissena 5



Acanthoceras rhotomagense (DEFR.)



dan spesies



spathulata



(PARTSCH) Fosil ini termasuk dalam filum Coelenterata, Kelas Anthozoa, Ordo Rugosa, Family



Acanthocerasidae,



Genus Acanthoceras dan dengan



nama



spesies



29



Acanthoceras rhotomagense (DEFR.)



6



Ampullina lignitarum DESH



Fosil ini termasuk dalam filum



Mollusca,



Gastropoda,



Kelas Ordo



Architenioglossa,



Family



Ampullinanidae,



Genus



Ampullina nama



dan



spesies



dengan



Ampullina



lignitarum DESH 7



Caninia cornucopiae NICH



Fosil ini termasuk dalam filum Coelenterata, Kelas Anthozoa, Ordo Rugosa, Family



Caninianidae,



Genus Caninia dan dengan nama



spesies



Caninia



cornucopiae NICH . 8



Modiolus gibbosus



Fosil ini termasuk dalam filum Mollusca , Kelas Gastropoda,



Ordo



Pyramidellacea,



Family



Modiolusidae



Genus



Modiolus dan dengan nama spesies Modiolus gibbosus



30



. 9



Murchisonia verneuili BARR



Fosil ini termasuk dalam filum Mollusca Kelas Gastropoda, Ordo Murchisoniia, Family Murchisonianidae



Genus



Murchisonia dan dengan nama spesies Murchisonia verneuili BARR



Tabel 4.2 Keterdapatan fosil pada batugamping



4.2.3



Litologi Batubara Dijumpai batuan sedimen dengan warna segar hitam. Memiliki tekstur



nonklastik, merupakan batuan sisipan. Berdasarkan sifat fisik yang diamati nama batuan adalah Batubara No 1



Spesies Porpites porpita L.



Deskripsi Pada litologi



batupasir,



dijumpai



fosil



yang



termasuk



dalam



Filum



Coelenterata,



Kelas



Hydrozoa,



Ordo



Anthomedusae,



Family



Porpitesidae,



Genus



Porpites, dan dengan nama 2



Cyathophyllum dinanthus GOLDF.



spesies Porpites porpita L. Fosil ini termasuk dalam Filum Coelenterata, Kelas Anthozoa, Ordo Strauiida, Famili Cyathophyllumidae, Genus Cyathophyllum, dan dengan



nama



Cyathophyllum



spesies dinanthus



GOLDF 31



Tabel 4.3 Keterdapatan fosil pada batubara



4.2.4



Litologi Batulempung Dijumpai batuan sedimen dengan warna lapuk abu-abu tua, warna segar



jingga kecokelatan. Memiliki tekstur klastik, dengan ukuran butir lempung (1/256 mm), porositas baik, sortasi baik, dan kemas tertutup. Berdasarkan sifat fisik yang diamati nama batuan adalah Batulempung



No 1



Spesies Ampullina lignitarum DESH



Deskripsi Fosil ini termasuk dalam filum



Mollusca,



Kelas



Gastropoda,



Ordo



Architenioglossa,



Family



Ampullinanidae,



Genus



Ampullina nama



dan



spesies



dengan



Ampullina



lignitarum DESH 2



Cyathophyllum dinanthus GOLDF.



Fosil ini termasuk dalam Filum Coelenterata, Kelas Anthozoa, Ordo Strauiida, Famili Cyathophyllumidae, Genus Cyathophyllum, dan dengan



nama



Cyathophyllum 3



Odontobelus tripartitus gracilis (A.)



spesies dinanthus



GOLDF Fosil ini termasuk dalam filum Coelenterata, Kelas Anthozoa, Ordo Rugosa, Family Genus dengan



Odontobelusidae, Odontobelus nama



dan



spesies



32



Odontobelus



tripartitus



gracilis (A.)



Tabel 4.5 Keterdapatan fosil pada batulempung



BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari praktikum ini adalah: 1. Adapun



filum yang dijumpai pada daerah penelitian antara lain: filum



Mollusca, filum Coelenterata, filum Brachiopoda dan filum Porifera 2. Jenis litologi yang terdapat pada daerah penelitian adalah Pada stasiun 1A12B adalah Batupasir pada stasiun 12B-24A adalah Batugamping pada stasiun



33



24A adalah Batubara, pada stasiun 24B-27A yaitu Batupasir dan pada stasiun 27A merupakan Batulempung 3. Pada daerah penelitian termasuk pada formasi Tonasa yang berumur Eosen – Miosen. Serta lingkungan pengendapan laut dangkal



4.1 Saran untuk daerah penelitian Saran untuk daerah penelitian agar pemerintah dan warga sekitar memperhatikan daerah penelitian tersebut supaya lebih baik lagi, seperti ada akses jalan yang memadai, tidak ada sampah di daerah penelitian



DAFTAR PUSTAKA Noor, Djauhari. 2009. Pengantar geologi. Bogor: Graha Ilmu Sukamto, Rab. 1982. Geologi Lembar Pangkejene dan Watampone bagian Barat. Bandung: Pusat penelitian dan Pengembangan Geologi Direktorat Jenderal Pertanbangan umum Departemen Pertambangan dan Energi.



34



Subekti, Imam. 2014. Geologi Umum. Jakarta: Teknosain Treman, I Wayan. 2012. Geologi Dasar. Jakarta: Graha Ilmu



35



LAMPIRAN



36