FIELDTRIP Paleontologi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang Paleontologi



adalah



ilmu



yang



mempelajari



kehidupan



pra-aksara.



Paleontologi mencakup studi fosil untuk menentukan evolusi suatu organisme dan interaksinya dengan organisme lain dan lingkungannya pada masa lampau. Paleontologi menggunakan fosil organisme untuk memperkirakan kondisi di bumi pada saat kehidupan organisme tersebut berlangsung. Bekas-bekas atau sisa-sisa kehidupan pada masa lampau yang kemudian mengalami beberapa proses hingga membatu disebut fosil. Fosil dapat membantu para geolog untuk dapat menginterpretasi kehidupan pada masa lampau. Fosil juga mempunyai beberapa manfaat seperti mengetahui kehidupan pada masa lampau, iklim pada masa lampau, dapat mengetahui lingkugan pengendapan dan lain-lain. Itulah sebabnya diadakan praktikum lapangan Paleontologi yang berlokasi di Padang Lampe, kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, Indonesia. Dalam rangka pengenalan akan jenis-jenis fosil yang terdapat di daerah padanglampe. 1.2 Maksud dan Tujuan Adapun maksud dan dari praktikum lapangan paleontologi ini adalah agar praktikan dapat menerapkan pengetahuan atau teori yang didapatkan ke dalam praktikum lapangan ini. Adapun tujuan dari praktikum ini adalah: 1. Agar praktikan dapat mengenali macam-macam filum fosil daerah penelitian 2. Agar praktikan dapat litologi daerah penelitian



1



3. Agar praktikan dapat menegetahui umur daerah dan lingkungan pengendapan fosil daerah penelitian 1.3 Batasan Masalah Pada laporan ini membahas tentang filum-filum, proses pemfosilan, lingkungan pengendapan dari fosil yang terdapat di daerah padanglampe. 1.4 Waktu, Lokasi dan Kesampaian Daerah Peta tunjuk lokasi penelitian



Gambar 1.1 Peta tunjuk lokasi



Fieldtrip paleontologi ini dilaksanakan pada hari jum’at tanggal 13-14 april 2018. Lokasi daerah penelitian terdapat di daerah Padang Lampe Kec. Tenate Riaja, kabupaten Barru, Sulawesi Selatan sekitar 152 km arah barat daya kabupaten Gowa. Perjalanan ke daerah penelitian dapat ditempuh kurang lebih 4 jam dengan menggunakan kendaraan roda dua dan juga roda empat, keadaan jalan cukup baik.



2



Secara geografis lokasi penelitian terletak pada koordinat 119°41’30’’ Bujur Timur - 119°43’30” Bujur Timur dan 04°29’30” - 05°31’00” Lintang Selatan 1.5 Metode dan Tahapan Penelitian 1.5.1 Metode Penelitian Dalam metode pengambilan data digunakan beberapa metode yang umumnya dilakukan untuk pengambilan data yaitu metode measuring section dan juga metode pengamatan yang mencakup panggambaran keadaan singkapan, deskripsi litologi batuan, sketsa bentang dan pengambilan data foto stasiun. Kemudian dilakukan analisis laboratorium dengan metode kesamaan jenis spesies. 1.5.1



Tahapan Penelitian Kegiatan ini dilakukan dengan lima tahapan penelitian, yaitu tahap



persiapan, tahap penelitian lapangan, tahap pengolahan data lapangan, tahap penyusunan laporan. 1. Tahap Persiapan Tahap ini merupakan tahapan awal sebelum melakukan penelitian dan pengambilan data di lapangan, meliputi studi regional termasuk studi litelatur mengenai karakteristik data geologi secara langsung dilapangan sehingga mempermudah kegiatan praktikum, kemudian tahapan ini masuk kedalam pengurusan administrasi persuratan. Serta pada tahapan masuk juga dalam pengurusan perlengkapan peralatan yang akan digunakan ketika dilapangan.



3



2. Tahap Penelitian Lapangan Pada tahap ini dilakukan proses pengambilan data baik untuk table measuring section (MS) ataupun pada buku lapngan, foto singkapan, dan sampel pada tiap lapisan. 3. Tahap Pengolahan Data Pada tahap pengolahan data dilakukan setelah pengambilan data lapangan. Tahapan ini meliputi pengolahan data struktur berupa kedudukan batuan, jenis litologi batuan, geomorfologi, dan lintasan penelitian. Data geomorfologi meliputi pengolahan data kemiringan lereng dan statigrafi meliputi perhitungan ketebalan batuan dan pembuatan tabel measuring section tiap stasiun pengamatan. 4. Tahap Pembuatan Laporan Pada tahap pembuatan laporan adalah tahapan akhir, setelah dilakukan pengolahan data yang telah didapatkan pada lapangan selanjutnya adalah pembuatan laporan dan disusun berdasarkan format yang telah diberikan. 1.6 Alat dan Bahan Adapun alat dan bahan yang dibawa: 1. Pensil warna 2. Roll Meter 3. Obat-obatan (jika diperlukan) 4. Kertas HVS 5. Penggaris



4



6. Busur 7. Pensil 8. Penghapus 9. Kantong sampel 10. Spidol 11. Clipboard 12. Hekter atau clip 13. Jas hujan 14. HCL 15. Kompas 16. Peta lokasi penelitian 17. Palu 18. Karung dua lembar 1.7 Peneliti Terdahulu Beberapa peneliti yang pernah melakukan penelitian di daerah ini baik secara detail maupun regional antara lain: 1. Sarasin (1901), melakukan penelitian geografi dan geologi di pulau Sulawesi. 2. Van Bemmelen (1949), melakukan penelitian geologi umum di Indonesia, termasuk Sulawesi Selatan. 3. Djuri dan Sujatmiko (1974),meneliti geologi lembar Pangkajene dan Watampone bagian barat lembar Palopo Sulawesi Sleatan dengan skala 1:250.000



5



4. Rab Sukamto, (1975) mengadakan penelitian tentang perkembangan tektonik Sulawesi dan sekitarnya, yang merupakan sintesis yang berdasarkan tektonik lempeng. 5. Van Leuwen (1975), meneliti geologi Sulawesi Selatan dengan studi khusus daerah Barru. 6. S. sartono dan K.A.S Astadireja (1981), meneliti geologi kuarter Sulawesi Selatan dan Tenggara. 7. S. Sartono dan K.A.S Astadireja (1981), meneliti Geologi Karst Sulawesi Selatan & Sulawesi Tenggara. 8. Rab Sukamto (1982), membuat peta geologi regional lembar Pangkajene dan Watampone bagian barat, provinsi Sulawesi Selatan.



6



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



2.1 Geologi Regional Daerah Penelitian 2.1.1 Geomorfologi Regional Daerah Penelitian Pada Lembar Pangkajene dan Watampone bagian Barat (Rab. Sukamto,1982) pegunungan bagian barat menempati hampir setengah luas daerah, yang melebar di bagian selatan (50 kilometer) dan menyempit di bagian utara (22 kilometer) dengan puncak tertingginya 1694 m dan ketinggian rata–ratanya 1500 meter dari permukaan laut. Pembentuknya sebagian besar batuan gunungapi. Di lereng barat dan di beberapa tempat di lereng timur terdapat topografi karst yang mencerminkan adanya Batugamping. Di antara topografi karst pada lereng barat terdapat perbukitan yang dibentuk oleh batuan pada zaman Pra-Tersier. Pegunungan ini dibatasi oleh dataran Pangkajene – Maros yang luas, dan sebagian merupakan lanjutan di dataran sekitarnya. Pegunungan yang di timur relatif lebih sempit dan lebih rendah, dengan puncaknya rata–rata setinggi 700 meter dari permukaan air laut, sedangkan yang tertinggi adalah 787 meter dimana sebagian besar pegunungan ini tersusun dari batuan gunungapi. Di bagian selatannya selebar 20 kilometer dan lebih tinggi, tetapi ke utara menyempit dan merendah dan akhirnya menunjam ke bawah batas antara lembah Walanae dan dataran Bone. Pada bagian utara pegunungan ini mempunyai topografi karst yang permukaanya sebagian berkerucut. Batasnya pada bagian timurlaut adalah dataran Bone yang luas dan menempati hampir sepertiga bagian timur.



7



2.1.2 Statigrafi Regional Pulau Sulawesi dibagi menjadi tiga Mandala geologi, yang didasarkan pada perbedaan litologi stratigrafi, struktur dan sejarahnya. Ketiga mandala tersebut adalah Mandala Sulawesi bagian barat, Mandala Sulawesi bagian timur, dan Mandala Banggai Sula. Dari ketiga mandala tersebut secara orogen yang paling tua adalah Mandala Sulawesi timur dan yang termuda adalah Mandala Sulawesi bagian barat. (Rab Sukamto, 1975) Kelompok batuan tua yang umurnya belum diketahui terdiri dari batuan ultrabasa, batuan malihan dan batuan melange. Batuannya terbreksikan, tergerus dan mendaun dan sentuhannya dengan formasi disekitarnya berupa sesar atau ketidakselarasan. Penarikan radiomteri pada sekis yang menghasilkan 111 juta tahun kemungkinan menunjukkan peristiwa malihan akhir pada tektonik zaman Kapur. Batuan tua ini tertindih tak selaras oleh endapan flysch formasi Balangbaru dan formasi Marada yang tebalnya lebih dari 2000 meter dan berumur Kapur Atas. Kegiatan magma mulai pada waktu itu dengan bukti adanya sisipan lava dalam flysch. Batuan gunungapi berumur Paleosen (58,5 – 63,0 juta tahun yang lalu) dan diendapkan dalam lingkungan laut, menindih tak selaras batuan flysch yang berumur Kapur Atas. Batuan sedimen formasi Mallawa yang sebagian besar dicirikan oleh endapan darat dengan sisipan batubara, menindih tak selaras batuan gunungapi Paleosen dan batuan flysch Kapur Atas. Di atas formasi Malawa ini secara berangsur beralih ke endapan karbonat formasi Tonasa yang terbentuk secara menerus dari Eosen Bawah sampai bagian bawah Miosen Tengah. Tebal



8



formasi Tonasa lebih kurang 3000 meter, dan melampar cukup luas mengalasi batuan gunungapi Miosen Tengah di barat. Sedimen klastik formasi Salo Kalupang yang Eosen sampai Oligosen bersisipan Batugamping dan mengalasi batuan gunungapi Kalamiseng Miosen Awal di timur. Sebagian besar pegunungan, baik yang di barat maupun yang di timur, mempunyai batuan gunungapi. Di pegunungan yang timur, batuan itu diduga berumur Miosen Bawah bagian atas yang membentuk batuan Gunungapi Kalamiseng. Dilereng timur bagian utara pegunungan yang barat , terdapat batuan Gunungapi Soppeng yang juga diduga berumur Miosen Bawah. Batuan sedimen berumur Miosen Tengah sampai Pliosen Bawah berselingan dengan batuan gunungapi yang berumur antara 8,93 sampai 9,29 juta tahun yang lalu. Secara bersamaan batuan ini menyusun formasi Camba yang tebalnya sekitar 5000 meter. Sebagian besar pegunungan yang barat terbentuk dari formasi Camba ini yang menindih tak selaras dengan formasi Tonasa. Selama Miosen Atas sampai Pliosen, di daerah yang sekarang jadi lembah Walanae diendapkan sedimen klastik formasi Walanae. Batuan ini tebalnya sekitar 4500 meter, dengan bioherm Batugamping koral tumbuh di beberapa tempat (Batugamping Anggota Tacipi). Formasi Walanae berhubungan menjari dengan bagian atas formasi Camba. Kegiatan gunungapi selama Miosen Atas sampai Pliosen Bawah merupakan sumber bahan bagi formasi Walanae. Kegiatan gunungapi yang masih terjadi di beberapa tempat selama Pliosen, dan menghasilkan batuan gunungapi Parepare (4,25 – 4,95 juta tahun) dan BaturapeCindako, juga merupakan sumber bagi formasai itu.



9



Terobosan batuan beku yang terjadi di daerah ini semuanya berkaitan erat dengan kegiatan gunungapi tersebut. Bentuknya berupa stok, sil dan retas bersusun beraneka ragam dari basal, andesit, trakit, diorit dan granodiorit yang berumur berkisar dari 8,3 – 19, 2 juta tahun yang lalu. Setelah Pliosen Atas, rupanya tidak terjadi pengendapan yang berarti di daerah ini, dan juga tidak ada kegiatan gunungapi. Endapan undak di utara Pangkajene dan di beberapa tempat ditepi sungai Walanae, rupanya terjadi selama Pliosen. Endapan Holosen yang luas berupa aluvium terdapat di sekitar danau Tempe, di dataran Pangkajene-Maros dan di bagian utara dataran Bone. 1. Formasi Balangbaru Formasi Balangbaru merupakan formasi batuan sedimen tipe flysch; batupasir berselingan dengan batulanau, batulempung dan serpih, bersisipan konglomerat, batupasir konglomeratan, tufa dan lava, batupasirnya bersusunan grewake dan sarkosa, sebagian tufaan dan gampingan. Pada umumnya menunjukkan struktur turbidit, di beberapa tempat ditemukan konglomerat dengan susunan basal, andesit, diorit, serpih, tufa, terkersikkan, sekis, kuarsa, dan bersemen batupasir. Di bawah miskroskop, batupasir dan batulanau terlihat mengandung pecahan batuan beku, metasedimen dan rijang radiolaria. Formasi ini tebalnya sekitar 2000 meter, tertindih tak selaras batuan formasi Mallawa dan batuan Gunungapi Terpropilitkan, dan menindih tak selaras Komplek tektonika Bantimala.



10



2. Formasi Mallawa Formasi



Mallawa



merupakan



batupasir,



konglomerat,



batulanau,



batulempung, dan napal, dengan sisipan lapisan atau lensa batubara dan batulempung, batupasirnya sebagian besar batupasir kuarsa, ada pula yang arkosa, grewake, dan tufaan, umumnya berwarna kelabu muda dan coklat muda, bersifat rapuh, dan kurang padat. Batulempung dan Batugamping umumnya mengandung Mollusca. Dan batubara berupa lensa setebal beberapa sentimeter dan lapisan sampai 1,5 meter. Tebal formasi ini tidak kurang dari 400 meter, tertindih selaras oleh Batugamping Temt, dan menindih tak selaras batuan sedimen, dan batuan gunungapi Tpv. 3. Formasi Tonasa Formasi ini beranggotakan Batugamping koral pejal sebagian terhablurkan, berwarna putih dan kelabu muda, Batugamping bioklastika dan kalkarenit, berwarna putih, coklat muda dan kelabu muda, sebagian berlapis baik, berselingan dengan napal globigerina tufaan, bagian bawahnya mengandung Batugamping berbitumen, setempat bersisipan breksi Batugamping dan Batugamping pasiran; di dekat Malawa daerah Camba terdapat Batugamping yang mengandung glaukonit dan di beberapa tempat di daerah Ralla ditemukan Batugamping yang mengandung banyak sisipan sekis dan batuan ultramafik, Batugamping berlapis sebagian mengandung banyak foraminifera kecil dan beberapa lapisan napal pasiran mengandung banyak kerang (Pelecypoda) dan siput (Gastropoda).



11



4. Formasi Camba. Formasi Camba merupakan batuan sedimen laut berselingan dengan batuan gunungapi, batupasir tufaan berselingan dengan tufa, batupasir, batulanau, dan batulempung, bersisipan dengan napal, Batugamping, konglomerat dan breksi gunungapi. Dan setempat batubara. Pada formasi ini ditemukan fosil-fosil foraminifera, ganggang dan koral. Kemungkinan sebagian dari formasi Camba diendapkan dekat daerah pantai. Satuan ini tebalnya sekitar 5000 meter, menindih tak selaras Batugamping dari formasi Tonasa dan batuan dari formasi Mallawa, mendatar berangsur berubah menjadi bagian bawah daripada formasi Walanae, diterobos oleh retas, sil dan stok bersusunan Basal piroksin, Andesit dan Diorit. 2.1.3 Struktur Geologi Regional Lengan selatan pulau Sulawesi secara struktural dibagi atas dua bagian yaitu lengan selatan bagian utara dan lengan selatan bagian selatan yang sangat berbeda struktur geologinya. (Van Bemellen, 1949) Lengan selatan bagian utara berhubungan dengan orogen, sedangkan lengan Selatan bagian Selatan memperlihatkan hubungan kearah jalur orogen yang merupakan sistem pegunungan Sunda. Perkembangan struktur lengan selatan bagian utara pulau Sulawesi di mulai pada zaman Kapur, yaitu terjadinya perlipatan geosinklin disertai dengan kegiatan vulkanik bawah laut dan intrusi Gabro. Bukti adanya intrusi ini terlihat pada singkapan disepanjang pantai Utara–Selatan Teluk Bone.



12



Batuan yang masih dapat diketahui kedudukan struktur stratigrafinya dan tektoniknya adalah sedimen flisch formasi Balangbaru dan formasi Marada, di bagian bawah tidak selaras oleh batuan yang lebih muda. Batuan yang lebih tua merupakan



massa



yang



terimbrikasi



melalui



sejumlah



sesar



sungkup,



terbreksikan, tergerus dan sebagian tercampur aduk dengan Mélange. Berdasarkan himpunan batuannya diduga formasi Balangbaru dan formasi Marada merupakan endapan lereng di dalam sistem busur palung zaman Kapur Atas dan gejala ini menunjukkan bahwa Mélange di daerah Bantimala terjadi sebelum Kapur Atas. Pada daerah bagian timur terjadi vulkanisme yang dimulai sejak Miosen Atas dimana hal ini ditunjukkan pada daerah Kalamiseng dan Soppeng. Akhir kegiatan vulkanisme ini diikuti oleh tektonik yang menyebabkan terjadinya permulaan



terban



Walanae



yang



kemudian



menjadi



cekungan



tempat



pembentukan formasi Walanae. Peristiwa ini kemungkinan besar berlangsung sejak awal Miosen Tengah dan mengalami penurunan perlahan-lahan selama terjadi proses sedimentasi sampai kala Pliosen, proses penurunan terban Walanae dibatasi oleh dua sistem sesar normal, yaitu sesar Walanae yang seluruhnya nampak hingga sekarang di timur dan sesar Soppeng yang hanya tersingkap tidak menerus di sebelah Barat. Sejak Miosen Tengah terjadi sesar utama yang berarah utara – baratlaut dan tumbuh setelah Pliosen. Perlipatan besar yang berarah hampir sejajar dengan sesar utama diperkirakan terbentuk sehubungan adanya tekanan mendatar yang kira-kira berarah timur-barat sebelum akhir Pliosen. Tekanan ini mengakibatkan pula adanya sesar lokal yang mengsesarkan batuan Pra Kapur Akhir di lembah



13



Walanae dan di bagian barat pegunungan barat, yang berarah baratlaut- tenggara dan merencong, kemungkinan besar terjadi oleh gerakan mendatar ke kanan sepanjang sesar besar. 2.2 Proses Pemfosilan Fosil (bahasa Latin: fossa yang berarti "menggali keluar dari dalam tanah") adalah sisa-sisa atau bekas-bekas makhluk hidup yang menjadi batu atau mineral. Untuk menjadi fosil, sisa-sisa hewan atau tanaman ini harus segera tertutup sedimen. Oleh para pakar dibedakan beberapa macam fosil. Hewan atau tumbuhan yang dikira sudah punah tetapi ternyata masih ada disebut fosil hidup. Fosil yang paling umum adalah kerangka yang tersisa seperti cangkang, gigi dan tulang. Fosil jaringan lunak sangat jarang ditemukan.Ilmu yang mempelajari fosil adalah paleontologi. Fosilisasi merupakan proses penimbunan sisa-sisa hewan atau tumbuhan yang terakumulasi dalam sedimen atau endapan-endpan baik yang mengalami pengawetan secara menyeluruh, sebagian ataupun jejaknya saja. Terdapat beberapa syarat terjadinya pemfosilan yaitu antara lain: 1. Organisme mempunyai bagian tubuh yang keras 2. Mengalami pengawetan 3. Terbebas dari bakteri pembusuk 4. Terjadi secara alamiah 5. Mengandung kadar oksigen dalam jumlah yang sedikit 6. Umurnya lebih dari 10.000 tahun yang lalu.



14



Proses dari pemfosilan dapat terjadi dengan cara yang bermacam macam, serta dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitarnya. Macam macam hewan dan tumbuhan jika mati jasadnya mungkin dapat terawetkan dalam keadaan yang tidak berubah. Dalam hal ini bahan yang menyusun cangkangnya setelah menjadi fosil sama dengan bahan yang dimiliki oleh hewan atau tumbuhan semula sewaktu hidupnya. Ada pula hewan atau tumbuhan yang cangkangnya terawetkan dalam keadaan berubah, misalnya karena perubahan atau pengurangan zat-zat mineral atau karena penggantian seluruhnya oleh berbagai bahan lain. Jenis jenis pemfosilan antara lain: 1. Fosil Terawetkan Merupakan fosil yang terawetkan tanpa menalami perubahan secara kimiawi, meliputi tubuh lunak maupun tubuh keras dan bersifat insitu. Contoh: Fosil Mammouth dalam endapan es di Siberia.



Gambar 5.1 Fosil mammouth



15



2. Fosil yang berubah Merupakan jenis pemfosilan dimana unsur-unsur kimia di dalam tubuh organism telah terubah baik secara keseluruhan maupun hanya sebagian. Proses tersebut dapat berupa : 1) Permineralisasi, pergantian sebagian tubuh dari suatu organisme yang digantikan oleh mineral karbonatan atau silikaan.



Gambar 5.2 Fosil Permineralisasi



2) Replacement, tergantikannya unsur-unsur kimiawi di dalam bagian keras / rangka oleh mineral lain tanpa merubah bentuk asli dari shell/rangka. 3) Leaching, terlarutkannya unsur-unsur kimia yang ada sehingga sedikit merubah bentuk asli dari shell/rangka.



16



4) Destilasi (Oksidasi), hilangnya unsur nitrogen, oksigen dan hydrogen di dalam cangkang/shell yang tergantikan oleh lapisan tipis karbon. Contohnya adalah batubara



Gambar 5.3 Batubara



5) Histometabesis, terubahnya unsur-unsur kimia pada fosil tumbuh-tumbuhan. 3. Fosil cetakan Merupakan sisa tubuh organisme yang tercetak pada lapisan batuan. Cetakan tersebut dapat berupa: 1) Internal mold, Cetakan langsung dari bagian dalam cangkang/tubuh organisme 2) Eksternal mold, cetakan langsung dari bagian luar cangkang/tubuh organisme.



Gambar 5.4 Fosil mold



3) Internal Cast, cetakan dari mold yang memperlihatkan bagian dalam dari cangkang/tubuh organisme.



17



4) Eksternal cast, cetakan dari mold yang memperlihatkan bagian luar dari cangkang/tubuh organisme.



Gambar 5.5 Fosil cast



5) Cetakan daun, merupakan cetakan dari fosil daun.



Gambar 5.6 Fosil daun



4. Fosil Jejak Organisme selama hidupnya melakukan suatu aktifitas. Sisa aktifitas organism ini dapat terawetkan menadi suatu fosil, berupa : a) Coprolite, merupakan kotoran binatang yang terfosilkan.



Gambar 5.7 Fosil koprolit



18



b) Trail, jejak ekor binatang



Gambar 5.8 Fosil trail



c) Track, kaki binatang



Gambar 5.9 Fosil Track



d) Burrows, jejak berupa tempat tinggal binatang yang berbentuk lubang-lubang.



Gambar 5.10 Fosil burrows



19



Proses pemfosilan bermula ketika suatu organisme mati dan berada pada tempat yang terhindar dari pemangsa dan bakteri pembusuk. Kemudian mengalami transportasi. Selama transportasi tersebut, fosil mengalami proses leaching (pencucian fosil) dan pada akhirnya terendapkan pada daerah cekungan yang relatif stabil. Seiring dengan berjalannya waktu, organisme tersebut tertimbun oleh material-material sedimen yang berbutir halus yang terakumulasi dalam cekungan. Seiring berjalannya waktu, material-material yang sangat kecil akan mengisi ruang kosong sehingga material semakin padat dan terkompaksi. Lalu fosil akan tersementasi sesuai dengan lingkungan pengendapannya yaitu dari material CaCO3. Pada saat fosil ini tersementasi, fosil ini juga mengalami proses pemfosilan yakni permineralisasi dimana sebagian tubuh fosil tergantikan oleh mineral lain yang lebih resisten/tahan terhadap proses pelapukan. Kemudian mengalami litifikasi sehingga membentuk lapisan-lapisan sedimen. Akibat dari tenaga endogen yaitu tektonik, lapisan sedimen akan terangkat ke permukaan tanah. Lapisan sedimen yang cenderung mudah larut ini akan mengalami pelapukan dan erosi sehingga fosil akan nampak pada permukaan. 2.3 Karakteristik Invertebrata Invertebrata adalah hewan yang tidak memiliki tulang punggung atau kolom vertebral. Istilah invertebrata adalah bentuk awal ‘vertebra’ yang berasal dari Bahasa Latin. ‘vertebra’ pada umumnya berarti sendi, arti khusunya adalah sendi tulang belakang dari vertebrata. Kata ini diawali dengan awalan ‘in’ berarti tidak atau tanpa. Mereka adalah hewan berdarah dingin; suhu tubuh tergantung pada



20



suhu atmosfer. Salah satu filum Invertebrata adalah Mollusca dan juga Coelenterata. Moluska berasal dari bahasa latin: molluscus yang artinya lunak. Moluska adalah hewan triploblastik slomata yang bertubuh lunak. Mollusca hidup di laut, air tawar, payau, dan darat. Beberapa Mollusca memiliki cangkang. Filum Mollusca merupakan filum terbesar kedua setelah Artropoda. Mollusca adalah kelompok hewan yang bersifat tripoblastik slomata dan invertebrata yang bertubuh lunak dan multiseluler. Istilah Mollusca berasal dari bahasa Yunani dari kata molluscus yang berarti lunak. Mollusca termasuk dalam hewan yang lunak baik yang dengan cangkang ataupun tanpa cangkang. Seperti dari berbagai jenis kerang-kerangan, siput, kiton, dan cumi-cumi serta kerabatanya. Mollusca merupakan filum yang terbesar kedua dari kerajaan binatang (Animalia) setelah filum Arthropoda. Pada saat ini, diperkirakan terdapat 75 ribu jenis, dengan ditambah 35 ribu jenis yang dalam bentuk posil. Molluska hidup di air laut, air tawar, payau, dan darat. Habitat Mollusca dapat berada di palung benua laut sampai pegunungan yang tinggi, dan bahkan dapat ditemukan dengan mudah di sekitar rumah kita. Molluska dipelajari pada cabang zoologi yang disebut dengan malakologi (malacology). A. Struktur Tubuh Mollusca Mollusca biasanya memiliki bentuk tubuh simetri bilateral ( bila ditarik garis memotong yang membagi tubuhnya dari depan ke belakang akan didapatkan dua sisi yang sama), tubuhnya relatif bulat dan pendek. Tubuh lunak dari mollusca



21



ini dilindungi oleh cangkang, namun beberapa adapula yang tidak bercangkang. Tubuh Mollusca memiliki 3 struktur utama, yaitu : 1.



Kaki, merupakan penjuluran bagian tubuh yang terdiri atas otot – otot. Kaki ini berfungsi untuk bergerak, merayap, atau menggali. Pada beberapa jenis mollusca kaki digantikan dengan tentakel yang berfungsi untuk menangkap mangsa.



2.



Massa Viseral, merupakan bagian tubuh yang lunak tempat terdapatnya organ-organ tubuh. Massa ini diselubungi jaringan tebal yang disebut mantel.



3.



Mantel merupakan bagian yang menyelubungi dan melindungi massa viseral. Pada mantel terdapat rongga cairan yang merupakan tempat lubang insang, anus dan cairan hasil eksresi. Mantel ini juga dapat mensekresikan komponen yang akan membentuk cangkang.



B. Sistem Organ Mollusca 1. Sistem Peredaran Darah Mollusca, merupakan sistem peredaran darah terbuka, kecuali pada kelas cephalopoda. Artinya darah mengalir dari rongga terbuka pada tubuh dan tidak ada arteri atau vena utama yang dapat meningkatkan tekanan darah, sehingga tekanan darahnya lambat dan juga organ tergenang oleh darah. Sistem Peredaran darahnya terdiri atas jantung dan pembuluh darah, jantung terdiri atas satu atau dua atrium dan satu ventrikel. 2. Sistem Pencernaan Mollusca terdiri dari Mulut, esofagus, lambung, usus dan anus. Pada Jenis Mollusca tertentu, dibagian mulutnya terdapat organ seperti



22



rahang dan lidah yang bergerigi yang dapat bergerak ke depan dan ke belakang. 3. Sistem Saraf dari Mollusca terdiri dari cincin saraf yang mengelilingi esofagus dan serabut saraf lainnya yang menyebar dari cicin tersebut untuk mempersarafi berbagai organ. 4. Sistem Eksresi Mollusca terdiri dari Nefridia yang berperan seperti ginjal, Nefridia ini juga mengeluarkan sisa metabolisme dalam bentuk cairan. 5. Sistem Respirasi Mollusca, apabila hewan hidup di air maka yang berperan adalah insang, sedangkan yang hidup di darat melalui paru-paru namun juga dapat terjadi melalui pertukaran udara pada pembuluh darah yang terdapat di mantel, sistem ini fungsinya seperti paru – paru.



C. Kelas Mollusca 1. Kelas Amphineura



Amphineura adalah kelompok yang memiliki 8 cangkang tersusun seperti atap rumah pada tubuhnya. Cangkang tersebut terbuat dari zat kapur. Hewan ini memiliki tubuh simetri bilateral, tubuhnya bulat seperti telur dan pipih. Hewan ini hanya terdapat di laut dan biasnya menempel pada bebatuan, karena hidup di laut maka ia bernapas dengan insang. Sistem pencernaan berawal dari mulut dan berakhir dengan anus. Ia memiliki kaki berbentuk pipih, dan memiliki struktur lidah parut (Ranula) yang melengkapi struktur mulut di bagian kepala. Ia tidak memiliki tentakel dan tidak mempunyai mata. Anggotannya sekitar 700 spesies dan Setiap larva hasil pembuahan secara seksual disebut trafoko



23



2. Kelas Cephalopoda



Cephalopoda adalah kelompok yang memiliki kaki pada bagian kepalanya. Tubuhnya terbagi menjadi bagian kepala, leher , dan badan. Bagian kepalanya relatif besar dan memiliki 2 buah mata. Hewan ini tidak memiliki cangkang. Pada kepalanya terdapat 10 bagian memanjang, 8 diantaranya berfungsi sebagai lengan berukuran panjang yang disebut tentakel. Hewan ini memiliki rongga mantel yang ditutupi oleh mantel khas yang ada padanya. Habitatnya di laut. Hewan ini bernapas dengan insang, memiliki sistem pencernaan yang lengkap, sistem peredaran darah tertutup, dan fertilisasinya terjadi di air laut. Cephalopoda dapat berubah kenampakan dengan cepat karena memiliki otot khusus dan zat kromatofora yang akan melakukan kombinasi perubahan kenampakan tubuhnya. Umumnya ia melarikan diri dari mangsanya dengan menghasilkan sejenis cairan seperti tinta. Anggotanya yang sangat dikenal adalah gurita dan cumi – cumi. 3. Kelas Gastropoda



Gastropoda adalah kelompok yang menggunakan perutnya sebagai kaki untuk bergerak. Kata Gastropoda berasal dari 2 kata, yaitu Gaster yang artinya perut dan Podos yang artinya kaki. Perut hewan ini dapat menghasilkan lendir yang berfungsi untuk melindungi dan mempermudahnya dalam bergerak. Gastropoda memiliki cangkang dan tubuhnya simetri bilateral. Pada bagian kepala terdapat 2 buah tentakel yang berfungsi sebagai indra penglihatan dan penciuman. Hewan ini merupakan hermafrodit (memiliki dua buah alat kelamin dalam 1 tubuh), alat kelaminnya disebut Ovotestis yang dapat menghasilkan sperma dan ovum. Sistem pernapasannya dengan menggunakan paru – paru atau insang yang



24



terdapat di dalam rongga mantel. Gastropoda memiliki mulut dengan alat bergerigi seperti penuh gigi yang disebut radula. Ia biasa memakan tumbuhan, namun adapula yang memangsa hewan lainnya. Sistem pencernaannya lengkap dan eksresinya melalui nefridia yang bekerja seperti ginjal. Contoh Hewan ini adalah siput. 4. Kelas Scaphopoda



Scaphopoda adalah kelompok yang memiliki cangkang berbentuk tajam seperti taring atau terompet. Habitatnya pada daerah yang berlumpur atau berpasir, dan hidup dengan menanamkan diri pada daerah tersebut. Pada ujung cangkangnya terdapat lubang yang berfungsi untuk menyesuaikan diri dengan habitatnya. Scaphopoda memiliki kaki kecil yang berfungsi untuk bergerak, pada kepalanya terdapat beberapa tentakel dan tidak mempunyai insang. Contohnya adalah Dentalium. 5. Kelas pelecypoda



Kelas ini adalah kelompok mollusca yang memiliki kaki pipih dan cangkang terdiri atas 3 lapisan. Lapisan – lapisan cangkangnya adalah : 1.



Periostrakum, yaitu lapisan paling luar yang terdiri dari zat kitin, berfungsi untuk pelindung tubuh.



2.



Prismatic, yaitu lapisan tengah yang terdiri atas kristal CaCo3



3.



Nakreas, yaitu lapisan paling akhir yang terdiri atas CaCo3 halus, berfungsi menghasilkan sekret lapisan mutiara.



25



4.



Kaki dari hewan ini berbentuk seperti kapak yang pipih, dan ia bernapas dengan insang yang berlapis-lapis. Pelecypoda memiliki alat keseimbangan yang disebut statocis yang terletak dekat ganglion pedal. Reproduksi berlangsung secara seksual dan membentuk larva yang disebut glosidium. Sistem peredaran darahnya merupakan sistem peredaran darah tertutup. Anggotanya sekitar 300 spesies. Coelenterata berasal dari Bahasa Yunani,yaitu coelenteron yang artinya



rongga. Sehingga dapat didefinisikan Coelenterata merupakan hewan invertebrate yang memiliki rongga tubuh, yang mana rongga tubuh tersebut berfungsi sebagai alat pencernaan (gastrovaskuler). Coelenterata mempunyai bentuk seperti tabung dan beragam. Coelenterata mempunyai rongga dengan mulut yang dikelilingi oleh tentakel. Adapun ciri- ciri umum yang dapat dijumpai pada Bryozoa yaitu sebagai berikut: a.



Termasuk ke dalam hewan invertebrata (tidak bertulang belakang)



b.



Mulut langsung berhubungan dengan rongga gastrovaskuler



c.



Sistem syaraf terletak di sepanjang dinding tubuhnya



d.



Di sekitar mulut terdapat tentakel yang berfungsi sebagai anus



e.



Hidup secara koloni dan soliter



f.



Mempunyai dua bentuk, yaitu polip (menyerupai tabung) dan medusa (seperti payung)



26



Coelenterata diklasifikasikan berdasarkan bagian tubuh yang lunak, siklus hidup, struktur dan kenampakan skeleton, struktur internal skeleton, serta genesa dari filum coelenterata. Coelenterata terbagia atas tiga kelas utama yaitu: a.



Hydrozoa Beberapa jenis hydrozoa mengalmi dua siklus hidup yaitu tahap polip yang aseksual dan tahap medusa yang seksual. Contohnya adalah Obelia sp. Ada pula yang selama hidupnya hanya berbentuk polip saja, seperti Hydra.



b.



Scyphozoa Hewan ini memiliki bentuk seperti mangkuk, kadang mempunyai tubuh berwarna, namun ada beberap spesies yang transparan. Tubuhnya dilengkapi dengan tentakel yang mempunyai sel penyengat.



c.



Anthozoa Memiliki ciri- ciri khusus yaitu menyerupai bunga. Anthozoa hidup sebagai polip. Anthozoa juga biasa disebut dengan Koral. Anthozoa mempunyai tiga ordo yang ppenting untuk dipelajari, yaitu Sclerectina, Rugosa dan Tabulata.



Karakteristik Invertebrata adalah sebagai berikut: 1.



Organisme multiseluler, tidak memiliki dinding sel



2.



Tidak dapat membuat makanan sendiri atau heterotroph



3.



Invertebrata seperti spons yang menetap, tetapi sebagian organisme adalah motil



4.



Beberapa kelompok invertebrata memiliki eksoskeleton keras dari kitin



5.



Respirasi adalah melalui kulit



6.



Tubuh dibagi menjadi tiga bagian – kepala, dada dan perut



27



7.



Salah satu ciri khas adalah tidak memiliki tulang belakang



8.



Hewan invertebrata umumnya berukuran kecil karena tidak memiliki struktur yang kompleks dalam tubuhnya



9.



Sistem morfologi lebih sederhana disbanding hewan vertebrata



10. Tidak memiliki kerangka dalam yang berupa tulang



28



BAB III IDENTIFIKASI KANDUNGAN FOSIL DAERAH PADANG LAMPE



Hasil dan pembahasan dalam fieldtrip paleontologi dimana praktikan melakukan



pengambilan



data



dengan



pengolahan



data



sesuai



dengan



kenampakkan yang dijumpai di lapangan. Adapun penjelasannya sebagai berikut: 3.1 Kandungan Fosil 3.1.1 Stasiun 1A Pada stasiun 1A dijumpai jenis litologi, dengan keadaan segar warna segar kekuningan, warna lapuk kecoklatan, ukuran butir pasir kasar



1 2



– 1mm. Tekstur



klastik, struktur berlapis. Dapat disimpulkan nama batuan Batupasir. Dijumpai pula spesies fosil seperti Favosites saginatus LECOMTE, Porpites Porpita L, Heterophrentis sp. Ketika ditetesi HCl, fosil tersebut bereaksi sehingga dapat disimpulkan bahwa komposisi kimia karbonatan serta lingkungan pengendapan laut dangkal. Umur fosil kurang lebih Eosen-Miosen sesuai umur pada formasi Tonasa Filum



Spesies Heterophrentis sp.



Coelenterata



29



Favosites Saginatus LECOMPTE



Porpites porpita L



Tabel 3.1 Keterdapatan Fosil



3.1.2 Stasiun 1B Pada stasiun 1B dijumpai jenis litologi, dengan keadaan segar warna segar kekuningan, warna lapuk kecoklatan, ukuran butir pasir kasar



1 2



– 1mm. Tekstur



klastik, struktur berlapis. Dapat disimpulkan nama batuan Batupasir. Dijumpai pula spesies fosil seperti Dreissena spathulata (PARTSCH), Thecosmilia Annularis FLEM , Plicatula gurgutis PICTET dan ROUX. Ketika ditetesi HCl, fosil tersebut bereaksi sehingga dapat disimpulkan bahwa komposisi kimia karbonatan serta lingkungan pengendapan laut dangkal. Umur fosil kurang lebih Eosen-Miosen sesuai umur pada formasi Tonasa



30



Filum Mollusca



Spesies Dreissena spathulata (PARTSCH)



Plicatula gurgutis PICTET dan ROUX



Thecosmilia Annularis FLEM



Coelenterata



Tabel 3.2 Keterdapatan fosil



31



2.1.3 Stasiun 1C Dijumpai batuan sedimen dengan keadaan segar abu-abu, warna lapuk kecoklatan, ukuran butir pasir halus



1 8



-



1 4



mm. Mempunyai struktur berlapis,



tekstur klastik, sortasi baik, kemas tertutup, dapat disimpulkan nama batuan Batugamping. Dijumpai pula spesies fosil antara lain Cyathophyllum dinanthus GOLDF, Porpites Porpita L, Heterophrentis sp. Ketika ditetesi HCl, fosil tersebut bereaksi sehingga dapat disimpulkan bahwa komposisi kimia karbonatan serta lingkungan pengendapan laut dangkal. Umur fosil kurang lebih Eosen-Miosen sesuai umur pada formasi Tonasa Filum



Spesies Heterophrentis sp.



Coelenterata Cyathophyllum dinanthus GOLDF



32



Porpites porpita L



Tabel 3.3 Keterdapatan fosil



2.1.4 Stasiun 1D Dijumpai batuan sedimen dengan keadaan segar abu-abu, warna lapuk kecoklatan, ukuran butir pasir halus



1 8



-



1 4



mm. Mempunyai struktur berlapis,



tekstur klastik, sortasi baik, kemas tertutup, dapat disimpulkan nama batuan Batugamping. Dijumpai pula spesies fosil antara lain Porpites porpita L, Thecosmilia Annularis FLEM, Heterophrentis sp. Ketika ditetesi HCl, fosil tersebut bereaksi sehingga dapat disimpulkan bahwa komposisi kimia karbonatan serta lingkungan pengendapan laut dangkal. Umur fosil kurang lebih EosenMiosen sesuai umur pada formasi Tonasa Filum



Spesies Heterophrentis sp.



Coelenterata



33



Thecosmilia Annularis FLEM



Porpites porpita L



Tabel 3.4 Keterdapatan Fosil



1.1.5 Stasiun 2A Dijumpai batuan sedimen dengan keadaan segar abu-abu, warna lapuk kecoklatan, ukuran butir pasir halus



1 8



-



1 4



mm. Mempunyai struktur berlapis,



tekstur klastik, sortasi baik, kemas tertutup, dapat disimpulkan nama batuan Batugamping. Dijumpai pula spesies fosil antara lain Triplophyllum spinuilosum (EDW. Dan H.), Thecosmilia Annularis FLEM, Heterophrentis sp. Ketika ditetesi HCl, fosil tersebut bereaksi sehingga dapat disimpulkan bahwa komposisi kimia karbonatan serta lingkungan pengendapan laut dangkal. Umur fosil kurang lebih Eosen-Miosen sesuai umur pada formasi Tonasa



34



Filum



Spesies Heterophrentis sp.



Thecosmilia Annularis FLEM



Coelenterata



Triplophyllum spinuilosum (EDW. Dan H.)



Tabel 3.5 Keterdapatan Fosil



35



2.1.5 Stasiun 2B Dijumpai batuan sedimen dengan keadaan segar abu-abu, warna lapuk kecoklatan, ukuran butir pasir halus



1 8



-



1 4



mm. Mempunyai struktur berlapis,



tekstur klastik, sortasi baik, kemas tertutup, dapat disimpulkan nama batuan Batugamping. Dijumpai pula spesies fosil antara lain Dreissena spathulata (PARTSCH), Triplophyllum spinuilosum (EDW. Dan H.), Heterophrentis sp. Ketika ditetesi HCl, fosil tersebut bereaksi sehingga dapat disimpulkan bahwa komposisi kimia karbonatan serta lingkungan pengendapan laut dangkal. Umur fosil kurang lebih Eosen-Miosen sesuai umur pada formasi Tonasa Filum Mollusca



Spesies Dreissena spathulata (PARTSCH)



Triplophyllum spinuilosum (EDW. DanH.)



Coelenterata



36



Heterophrentis sp



Tabel 3.6 Keterdapatan Fosil



2.1.6 Stasiun 2C Dijumpai batuan sedimen dengan keadaan segar abu-abu, warna lapuk kecoklatan, ukuran butir pasir halus



1 8



-



1 4



mm. Mempunyai struktur berlapis,



tekstur klastik, sortasi baik, kemas tertutup, dapat disimpulkan nama batuan Batugamping. Dijumpai pula spesies fosil antara lain Annilaria Glandformis LAM, Porpites Porpita L, Cyathophyllum Dinanthus GOLDF. Ketika ditetesi HCl, fosil tersebut bereaksi sehingga dapat disimpulkan bahwa komposisi kimia karbonatan serta lingkungan pengendapan laut dangkal. Umur fosil kurang lebih Eosen-Miosen sesuai umur pada formasi Tonasa Filum



Spesies Annilaria Glandformis LAM



Mollusca



37



Cyathophyllum dinanthus GOLDF



Coelenterata Porpites porpita L



Tabel 3.7 Keterdapatan Fosil



2.1.7 Stasiun 2D Dijumpai batuan sedimen dengan keadaan segar abu-abu, warna lapuk kecoklatan, ukuran butir pasir halus



1 8



-



1 4



mm. Mempunyai struktur berlapis,



tekstur klastik, sortasi baik, kemas tertutup, dapat disimpulkan nama batuan Batugamping. Dijumpai pula spesies fosil antara lain Heterophrentis sp, Porpites Porpita L, Cyathophyllum Dinanthus GOLDF. Ketika ditetesi HCl, fosil tersebut bereaksi sehingga dapat disimpulkan bahwa komposisi kimia karbonatan serta lingkungan pengendapan laut dangkal. Umur fosil kurang lebih Eosen-Miosen sesuai umur pada formasi Tonasa



38



Filum



Spesies Heterophrentis sp.



Cyathophyllum dinanthus GOLDF



Coelenterata



Porpites porpita L



Tabel 3.8 Keterdapatan Fosil



39



2.1.8 Stasiun 3A Dijumpai batuan sedimen dengan keadaan segar abu-abu, warna lapuk kecoklatan, ukuran butir pasir halus



1 8



-



1 4



mm. Mempunyai struktur berlapis,



tekstur klastik, sortasi baik, kemas tertutup, dapat disimpulkan nama batuan Batugamping. Dijumpai pula spesies fosil antara lain Heterophrentis sp, Porpites Porpita L, Annilaria Glandformis LAM. Ketika ditetesi HCl, fosil tersebut bereaksi sehingga dapat disimpulkan bahwa komposisi kimia karbonatan serta lingkungan pengendapan laut dangkal. Umur fosil kurang lebih Eosen-Miosen sesuai umur pada formasi Tonasa Filum



Spesies Annilaria Glandformis LAM



Mollusca



Heterophrentis sp



Coelenterata



40



Porpites porpita L



Tabel 3.9 Keterdapatan Fosil



2.1.9 Stasiun 3B Dijumpai batuan sedimen dengan keadaan segar abu-abu, warna lapuk kecoklatan, ukuran butir pasir halus



1 8



-



1 4



mm. Mempunyai struktur berlapis,



tekstur klastik, sortasi baik, kemas tertutup, dapat disimpulkan nama batuan Batugamping. Dijumpai pula spesies fosil antara lain Heterophrentis sp, Porpites Porpita L, Cyathophyllum Dinanthus GOLDF. Ketika ditetesi HCl, fosil tersebut bereaksi sehingga dapat disimpulkan bahwa komposisi kimia karbonatan serta lingkungan pengendapan laut dangkal. Umur fosil kurang lebih Eosen-Miosen sesuai umur pada formasi Tonasa Filum



Spesies Heterophrentis sp.



Coelenterata



41



Cyathophyllum dinanthus GOLDF



Porpites porpita L



Tabel 3.10 Keterdapatan Fosil



2.1.10 Stasiun 3C Dijumpai batuan sedimen dengan keadaan segar abu-abu, warna lapuk kecoklatan, ukuran butir pasir halus



1 8



-



1 4



mm. Mempunyai struktur berlapis,



tekstur klastik, sortasi baik, kemas tertutup, dapat disimpulkan nama batuan Batugamping. Dijumpai pula spesies fosil antara lain Heterophrentis sp, Porpites Porpita L, Favosites saginatus LECOMTE . Ketika ditetesi HCl, fosil tersebut bereaksi sehingga dapat disimpulkan bahwa komposisi kimia karbonatan serta



42



lingkungan pengendapan laut dangkal. Umur fosil kurang lebih Eosen-Miosen sesuai umur pada formasi Tonasa Filum



Spesies Heterophrentis sp.



Favosites Saginatus LECOMPTE



Coelenterata



Porpites porpita L



Tabel 3.11 Keterdapatan Fosil



43



2.1.11 Stasiun 3D Dijumpai batuan sedimen dengan keadaan segar abu-abu, warna lapuk kecoklatan, ukuran butir pasir halus



1 8



-



1 4



mm. Mempunyai struktur berlapis,



tekstur klastik, sortasi baik, kemas tertutup, dapat disimpulkan nama batuan Batugamping. Dijumpai pula spesies fosil antara lain Heterophrentis sp, Porpites Porpita L, Cyathophyllum Dinanthus GOLDF. Ketika ditetesi HCl, fosil tersebut bereaksi sehingga dapat disimpulkan bahwa komposisi kimia karbonatan serta lingkungan pengendapan laut dangkal. Umur fosil kurang lebih Eosen-Miosen sesuai umur pada formasi Tonasa Filum



Spesies Heterophrentis sp.



Coelenterata Cyathophyllum dinanthus GOLDF



44



Porpites porpita L



Tabel 3.12 Keterdapatan Fosil



2.1.12 Stasiun 4A Dijumpai batuan sedimen dengan keadaan segar abu-abu, warna lapuk kecoklatan, ukuran butir pasir halus



1 8



-



1 4



mm. Mempunyai struktur berlapis,



tekstur klastik, sortasi baik, kemas tertutup, dapat disimpulkan nama batuan Batugamping. Dijumpai pula spesies fosil antara lain ‘Turbo’ reckecostatus HAUER , Porpites Porpita L, Cyathophyllum Dinanthus GOLDF. Ketika ditetesi HCl, fosil tersebut bereaksi sehingga dapat disimpulkan bahwa komposisi kimia karbonatan serta lingkungan pengendapan laut dangkal. Umur fosil kurang lebih Eosen-Miosen sesuai umur pada formasi Tonasa Filum Mollusca



Spesies ‘Turbo’ reckecostatus HAUER



45



Cyathophyllum dinanthus GOLDF



Coelenterata Porpites porpita L



Tabel 3.13 Keterdapatan Fosil



2.1.13 Stasiun 4B Dijumpai batuan sedimen dengan keadaan segar abu-abu, warna lapuk kecoklatan, ukuran butir pasir halus



1 8



-



1 4



mm. Mempunyai struktur berlapis,



tekstur klastik, sortasi baik, kemas tertutup, dapat disimpulkan nama batuan Batugamping. Dijumpai pula spesies fosil antara lain Favosites saginatus LECOMTE, Porpites Porpita L, Triplophyllum spinuilosum (EDW. Dan H.). Ketika ditetesi HCl, fosil tersebut bereaksi sehingga dapat disimpulkan bahwa komposisi kimia karbonatan serta lingkungan pengendapan laut dangkal. Umur fosil kurang lebih Eosen-Miosen sesuai umur pada formasi Tonasa



46



Filum



Spesies Favosites saginatus LECOMTE



Porpites porpita L



Coelenterata



Triplophyllum spinuilosum (EDW. Dan H.)



Tabel 3.14 Keterdapatan Fosil



47



2.1.14 Stasiun 4C Dijumpai batuan sedimen dengan keadaan segar abu-abu, warna lapuk kecoklatan, ukuran butir pasir halus



1 8



-



1 4



mm. Mempunyai struktur berlapis,



tekstur klastik, sortasi baik, kemas tertutup, dapat disimpulkan nama batuan Batugamping. Dijumpai pula spesies fosil antara lain Heterophrentis sp, Porpites Porpita L, Cyathophyllum Dinanthus GOLDF. Ketika ditetesi HCl, fosil tersebut bereaksi sehingga dapat disimpulkan bahwa komposisi kimia karbonatan serta lingkungan pengendapan laut dangkal. Umur fosil kurang lebih Eosen-Miosen sesuai umur pada formasi Tonasa Filum Mollusca



Spesies Plicatula gurgutis PICTET dan ROUX



Thecosmilia Annularis FLEM



Coelenterata



48



Porpites porpita L



Tabel 3.15 Keterdapatan fosil



2.1.15 Stasiun 4D Dijumpai batuan sedimen dengan keadaan segar abu-abu, warna lapuk kecoklatan, ukuran butir pasir halus



1 8



-



1 4



mm. Mempunyai struktur berlapis,



tekstur klastik, sortasi baik, kemas tertutup, dapat disimpulkan nama batuan Batugamping. Dijumpai pula spesies fosil antara lain Heterophrentis sp, Plicatula gurgutis PICTET dan ROUX, Porpites porpita L. Ketika ditetesi HCl, fosil tersebut bereaksi sehingga dapat disimpulkan bahwa komposisi kimia karbonatan serta lingkungan pengendapan laut dangkal. Umur fosil kurang lebih EosenMiosen sesuai umur pada formasi Tonasa Filum Mollusca



Spesies Plicatula gurgutis PICTET dan ROUX



49



Heterophrentis sp.



Coelenterata Porpites porpita L



Tabel 3.16 Keterdapatan Fosil



2.1.16 Stasiun 5A Dijumpai batuan sedimen dengan keadaan segar abu-abu, warna lapuk kecoklatan, ukuran butir pasir halus



1 8



-



1 4



mm. Mempunyai struktur berlapis,



tekstur klastik, sortasi baik, kemas tertutup, dapat disimpulkan nama batuan Batugamping. Dijumpai pula spesies fosil antara lain Heterophrentis sp, Porpites Porpita L, Cyathophyllum Dinanthus GOLDF. Ketika ditetesi HCl, fosil tersebut bereaksi sehingga dapat disimpulkan bahwa komposisi kimia karbonatan serta lingkungan pengendapan laut dangkal. Umur fosil kurang lebih Eosen-Miosen sesuai umur pada formasi Tonasa



50



Filum



Spesies Platyschisma nohtensis KEYS



Equus caballus fossilis L



Coelenterata



Porpites porpita L



Tabel 3.17 Keterdapatan Fosil



51



2.1.17 Stasiun 5B Dijumpai batuan sedimen dengan keadaan segar hitam, warna lapuk kecoklatan. Mempunyai tekstur non klastik, struktur berlapis, sortasi baik, kemas tertutup, dapat disimpulkan nama batuan Batubara. Dijumpai pula spesies fosil ketika ditetesi HCl, fosil tersebut bereaksi sehingga dapat disimpulkan bahwa komposisi kimia karbonatan serta lingkungan pengendapan laut dangkal. Umur fosil kurang lebih Eosen-Miosen sesuai umur pada formasi Tonasa Filum



Spesies Dreissena spathulata (PARTSCH)



Mollusca



Stephanocoenia Schafhauti WINKLER



Coelenterata



52



Porpites porpita L



Tabel 3.18 Keterdapatan Fosil



2.1.18 Stasiun 5C Dijumpai batuan sedimen dengan keadaan segar abu-abu, warna lapuk kecoklatan, ukuran butir pasir halus



1 8



-



1 4



mm. Mempunyai struktur berlapis,



tekstur klastik, sortasi baik, kemas tertutup, dapat disimpulkan nama batuan Batugamping. Dijumpai pula spesies fosil antara lain Heterophrentis sp, Porpites Porpita L, Cyathophyllum Dinanthus GOLDF. Ketika ditetesi HCl, fosil tersebut bereaksi sehingga dapat disimpulkan bahwa komposisi kimia karbonatan serta lingkungan pengendapan laut dangkal. Umur fosil kurang lebih Eosen-Miosen sesuai umur pada formasi Tonasa Filum Mollusca



Spesies Plicatula gurgutis PICTET dan ROUX



53



Striatopora alba DAVIS



Coelenterata



Porpites porpita L



Tabel 3.19 Keterdapatan Fosil



2.1.19 Stasiun 5D Dijumpai batuan sedimen dengan keadaan segar abu-abu, warna lapuk kecoklatan, ukuran butir pasir halus



1 8



-



1 4



mm. Mempunyai struktur berlapis,



tekstur klastik, sortasi baik, kemas tertutup, dapat disimpulkan nama batuan Batugamping. Dijumpai pula spesies fosil antara lain Heterophrentis sp, Porpites Porpita L, Cyathophyllum Dinanthus GOLDF. Ketika ditetesi HCl, fosil tersebut bereaksi sehingga dapat disimpulkan bahwa komposisi kimia karbonatan serta lingkungan pengendapan laut dangkal. Umur fosil kurang lebih Eosen-Miosen sesuai umur pada formasi Tonasa



54



Filum



Spesies Favosites saginatus LECOMTE



Porpites porpita L



Coelenterata



Triplophyllum spinuilosum (EDW. Dan H.)



Tabel 3.20 Keterdapatan Fosil



55



2.1.20 Stasiun 6A Dijumpai batuan sedimen dengan keadaan segar abu-abu, warna lapuk kecoklatan, ukuran butir pasir halus



1 8



-



1 4



mm. Mempunyai struktur berlapis,



tekstur klastik, sortasi baik, kemas tertutup, dapat disimpulkan nama batuan Batugamping. Dijumpai pula spesies fosil antara lain Heterophrentis sp, Porpites Porpita L, Cyathophyllum Dinanthus GOLDF. Ketika ditetesi HCl, fosil tersebut bereaksi sehingga dapat disimpulkan bahwa komposisi kimia karbonatan serta lingkungan pengendapan laut dangkal. Umur fosil kurang lebih Eosen-Miosen sesuai umur pada formasi Tonasa Filum Coelenterata



Spesies Favosites saginatus LECOMTE



Porpites porpita L



56



‘‘Turbo’ reckecostatus HAUER Mollusca



Tabel 3.21 Keterdapatan Fosil



2.1.21 Stasiun 6B Dijumpai batuan sedimen dengan keadaan segar abu-abu, warna lapuk kecoklatan, ukuran butir pasir halus



1 8



-



1 4



mm. Mempunyai struktur berlapis,



tekstur klastik, sortasi baik, kemas tertutup, dapat disimpulkan nama batuan Batugamping. Dijumpai pula spesies fosil antara lain Heterophrentis sp, Porpites Porpita L, Cyathophyllum Dinanthus GOLDF. Ketika ditetesi HCl, fosil tersebut bereaksi sehingga dapat disimpulkan bahwa komposisi kimia karbonatan serta lingkungan pengendapan laut dangkal. Umur fosil kurang lebih Eosen-Miosen sesuai umur pada formasi Tonasa Filum Coelenterata



Spesies Thecosmilia Annularis FLEM



57



Porpites porpita L



Ostrea cucullaris LAM



Mollusca



Tabel 3.22 Keterdapatan Fosil



2.1.22 Stasiun 6C Dijumpai batuan sedimen dengan keadaan segar coklat, warna lapuk kecoklatan, ukuran butir pasir halus