Fikih MSJ - Kel.13.. [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH JARIMAH RIDDAH DAN AL-BAGHYU Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah FIQIH MUNAKAHAH, SIYASAH, DAN JINAYAH Dosen Pengampu : Muhammad Zainul Muttaqin, M,H.



Disusun Oleh : Sholihatul Azizah



(12201193374)



Husnun Nida‟ isyfina



(12201193154)



PAI 4-H JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI TULUNGAGUNG JUNI 2021



i



PRAKATA



Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberi kami kekuatan dan petunjuk untuk menyelesaikan tugas makalah ini. Tanpa petunjuk dan pertolonganya saya tidak bisa menyelesaikan makalah dengan baik. Sholawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda kita Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafa‟atnya di akhirat nanti.Dalam penyusunan makalah ini, tak lupa kami sampaikan terima kasih atas kontribusi yang tak ternilai dari beberapa pihak diantaranya: 1. Bapak Prof. Dr. Maftukhim, M.Ag. selaku Rektor Institut Agama Islam Negeri Tulungagung yang telah memberikan sarana- prasaran untuk penulis menyelesaikan tugas penyusunan makalah ini. 2.



Bapak Dr. H. Abd. Aziz, M.Pd. selaku Wakil Rektor Institut Agama Islam Negeri Tulungagung yang telah memberikan pelayanan akademik kepada seluruh mahasiswa.



3. Bapak Muhammad Zainul Muttaqin, M,H. selaku Dosen pengampu mata kuliah Fiqih Munakahah, Siyasah, Dan Jinayah yang telah memberikan bimbingan dan tugas menulis makalah ini. 4. Civitas Akademika yang telah berkontribusi terhadap terkondisinya tempat belajar. 5. Teman-teman mahasiswa FTIK khususnya kelas PAI 4-H yang telah memberi dukungan untuk menyelesaikan makalah ini. Selanjutnya demi kesempurnaan penulis dalam menyelesaikan makalah berikutnya, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak sehingga dapat menyelesaikan dengan baik dan sempurna.Mudah-mudahan dengan adanya makalah ini dapat menambah wawasan bagi semua pihak.



Tulungagung, 18 Juni 2021



Tim penulis



ii



DAFTAR ISI



COVER ........................................................................................................................ i PRAKATA .................................................................................................................. ii BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................1 Latar Belakang ..........................................................................................................1 Rumusan Masalah .....................................................................................................1 Tujuan Pembahasan Masalah ....................................................................................2 BAB II PEMBAHASAN .............................................................................................3 Pengertian Jarimah Riddah........................................................................................3 Unsur Jarimah Riddah ...............................................................................................3 Hukuman Jarimah Riddah Menurut Pendapat Ulama ...............................................5 Pengertian Al-Baghyu (Pemberontakan) .................................................................10 Unsur-unsur Pemberontakan (al-Baghyu)...............................................................11 Hukuman Tindak Pidana Pemberontakan (al-Baghyu)...........................................14 Tujuan diadakan Larangan Pemberontakan (al-Baghyu) ........................................14 BAB III PENUTUP ...................................................................................................16 Kesimpulan..............................................................................................................16 Saran ........................................................................................................................17 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................18



iii



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Islam disyariatkan oleh Allah dengan tujuan utama yaitu untuk merealisasi dan melindungi kemaslahatan umat manusia, baik kemaslahatan individu maupun masyarakat. Kemaslahatan yang ingin diwujudkan dalam hukum Islam itu menyangkut seluruh aspek kepentingan manusia. Aspekaspek kepentingan manusia itu, menurut para ulama dapat diklafikasikan menjadi tiga aspek, yaitu dharruriyat (primer), hajjiyat (sekunder) dan tahsiniyyat (stabilitas sosial). Dalam rangka merealisasikan dan melindungi kemaslahatan umat tersebut, maka Islam memberikan pahala atau ganjaran kebaikan bagi yang melakukan kebaikan dan hukuman bagi yang melakukan kejahatan. Persoalankejahatan dan hukumannya di bahas dalam fiqh jinayah. Jarimah Riddah merupakan perbuatan yang dilarang oleh Allah yang diancam dengan hukuman diakhirat, yaitu dimasukkan ke neraka selamalamanya. Namun pada kenyataannya hal tersebut merupakan hal yang banyak diabaikan oleh kebanyakan orang. Entah memang karena tidak takut akan ancaman Allah SWT. Atau memang karena tidak percaya akan adanya kesengsaraan di neraka. Bila seseorang murtad bukan hanya ucapan melainkan banyak macamnya tentunya hukuman yang akan menantipun akan semakin banyak dan berat. Oleh karena itu, Allah sudah mengatur pasal-pasal tentang jarimah riddah ini sesuai dengan ketentuan-Nya yang dapat menjadi petunjuk bagi umat manusia dalam meniti kehidupan di muka bumi yang fana ini. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana Pengertian jarimah riddah? 2. Bagaimana unsur jarimah riddah? 3. Bagaimana dasar hukuman jarimah riddah? 4. Bagaimana hukuman jarimah riddah menurut ulama? 5. Bagaimana Pengertian Al-Baghyu (Pemberontakan)? 6. Bagaimana Unsur-unsur Pemberontakan (al-Baghyu)? 7. Bagaimana Hukuman Tindak Pidana Pemberontakan (al-Baghyu)? 8. Bagaimana Tujuan diadakan Larangan Pemberontakan (al-Baghyu)?



1



C. Tujuan Pembahasan Masalah 1. Untuk mengetahui Pengertian jarimah riddah. 2. Untuk mengetahui unsur jarimah riddah. 3. Untuk mengetahui dasar hukuman jarimah riddah. 4. Untuk mengetahui hukuman jarimah riddah menurut ulama. 5. Untuk mengetahui Pengertian Al-Baghyu (Pemberontakan). 6. Untuk mengetahui Unsur-unsur Pemberontakan (al-Baghyu). 7. Untuk mengetahui Hukuman Tindak Pidana Pemberontakan (al-Baghyu). 8. Untuk mengetahui Tujuan diadakan Larangan Pemberontakan (alBaghyu).



2



BAB II PEMBAHASAN



A. Pengertian Jarimah Riddah Secara etimologi kata riddah atau irtidad berakar dari kata “raad” yang berarti “ berbalik kembali”, juga mengandung makna berpindah, dan kata riddah „an al-islam



berarti “ keluar dari islam”. Menurut istilah syara‟



Wahbah Al-Zuhaili mendefinisikan riddah yaitu keluar dari islam menjadi kafir (sesudah beriman), baik dengan niat, ucapan, atau perbuatan yang menyebabkan seseorang dikategorikan menjadi kafir. Abdul Qadir Audah mendefinisikan riddah adalah kembali (keluar) dari agama islam atau memutuskan (keluar) dari agama islam. Dari definisi-definisi yang dikemukakan di atas, dapatlah dipahami bahwa riddah adalah keluar dari agama islam dan kembali kepada kekafiran.1 Menurut Dr. abd. Karim Zaidan riddah adalah meninggalkan agaman islam dan kelua dari pada (islam) setelah menganutnya. Sedangkan menurut Al- Mawardi sedikit berbeda dari pengertian di atas, bahwa riddah adalah orang yang keluar dari agama islam, sekelompok orang dengan status hukum keislaman yang pasti, baik mereka lahir dalam keadaan islam maupun mereka masuk islam yang sebelumnya beragama lain. terhadap dua jenis kelompok ini berlaku ketentuan hukum tentang murtad dengan ketentuan hukun yang sama. Dan beliau memaparkan pendapat di atas untuk membedakan antara jihad melawan kaum musyrik dan non musyrik adalah kaum murtad, pemberontak dan perampok. Jadi, dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa riddah adalah seorang muslim yang keluar dari agama islam baik dengan kepercayaan, perkataan, atau perbuatan dengan kehendak sendiri. B. Unsur Jarimah Riddah Jarimah riddah memiliki dua unsur, yaitu keluar dari agaman islam lalu menuju kekafiran dan melawan hukum.



1



Ismaul Haq, Fiqh Jinayah (Sulawesi Selatan: IAIN Parepare Nusantara Perss, 2020) hlm.114



3



1. Keluar dari Agama Islam kemudian menuju Kekafiran. Artinya: tidak lagi meyakini bahwa Islam adalah agama yang benar. Proses ini terjadi melalui tiga cara yaitu sebagai berikut: a. Dengan Tindakan. Maksudnya yaitu melakukan perbuatan yang diharamkan secara sengaja untuk menghina, meremehkan, atau menentang Islam. Misalnya, menganggap zina, minum khamar, dan membunuh sebagai perbuatan yang halal dan bukan atas dasar ta‟wil (pemahaman mendalam terhadap dalil al-Qur‟an dan hadits). Adapun perbuatan kelompok Khawarij yang mencaci-maki, mengkafirkan, dan menganggap halal darah sebagian sahabat Nabi, tidak membuat mereka dianggap kafir oleh ulama. Mereka tetap tidak dianggap murtad karena mereka melakukan ta‟wil terhadap al-Qur‟an dan hadits .Sementara itu, Abdul Qadir Audah mengatakan bahwa contoh paling konkret pada masa kini adalah banyaknya pihak yang tidak mau menerima hukum Islam. Mereka menggantinya dengan hukum positif yang merupakan buatan manusia. Padahal,wajib menjadikan hukum non-Islam untuk mengatur kehidupan sehari-hari. Fuqaha (para ahli Fikih) pun sepakat bahwa setiap aturan hukum yang bertentangan dengan perinsip syariat dianggap sebagai hukum yang batil dan tidak wajib mentaatinya. b. Dengan Ucapan.Seseorang dapat menjadi kafir apabila ia mengatakan bahwa Allah bukanlah Tuhan, Allah itu tidak Esa, Allah memiliki tandingan, pasangan, dan anak, malaikat dan Nabi itu tidak ada, al-Quran berisi kebohongan, hari kiamat tidak pernah terjadi, syahadat itu dusta, syariat Islam tidak untuk mengatur kehidupan manusia, serta hukum manusia jauh lebih cocok. Selain itu, memproklamasikan diri telah keluar dari agama Islam atau menyatakan diri sebagai nabi, maka secara otomatis ia telah murtad. c. Dengan Keyakinan. Murtad juga dapat terjadi melalui keyakinan, seperti meyakini bahwa alam ini telah ada sebelum adanya Allah, Allah ada setelah adanya alam, antara khalik dan makhluk dapat bersatu, reinkarnasi itu ada, Al-Quran tidak berasal dari Allah, 4



Nabi Muhammad SAW itu pembohong, dan Ali adalah titisan tuhan. 2. Unsur Kedua: Melawan Hukum. Maksudnya yaitu seseorang sengaja mengucapkan atau melakukan apa yang sebelumnya terlintas dalam hatinya dan ia sadar hal itu akan membuatnya dianggap murtad. Sementara itu, bagi orang yang tidak mengerti bahwa hal itu dapat berakibat batal pada keimanannya, ia tidak dianggap murtad. Demikian pula orang yang secara tidak sadar mengucapkan, “ ya Allah, saya Tuhan dan engkau hamba”, karena terlalu gembira atau terlalu sedih, hal itu tidak membuatnya murtad.2 C. Hukuman Jarimah Riddah Menurut Pendapat Ulama Pada dasarnya hukuman bagi murtad adalah hukuman mati, ini adalah pendapat mayoritas bahkan bisa dikatakan ijma‟ dalam empat mazhab, yang menjadi perbedaan dan perdebatan di kalangan mereka adalah, apakah perempuan juga mendapatkan hukuman ini jika murtad ataukah hanya lakilaki, jumhur mengatakan bahwa perempuan juga terkena hukuman mati setelah ditunggu tiga hari atau sekali haid untuk dituntut pertaubatannya, menurut mazhab Hanafi, wanita tidak terkena hukuman mati walaupun ia murtad karena kemurtadannya tidak mempunyai efek yang signifikan terhadap agama dan stabilitas keamanan suatu negara secara perempuan itu dianggap makhluk yang lemah dan tidak punya kuasa, berbeda dengan mazhab yang lain yang sepakat bahwa wanita sama hukumnya dengan pria dewasa. Pembahasan siapa dan bagaimana kriteria murtad yang layak dibunuh berkembang hingga saat ini, jika mengacu kepada pendapat mazhab Hanafi illat dilaksanakannya hukuman mati itu adalah jika kemurtadan tersebut bisa menyebabkan situasi yang tidak kondusif dan bisa membahayakan stabilitas negara.Di samping pendapat umum dari mazhab-mazhab fiqih empat di atas, ada beberapa ulama kontemporer yang tingkat keilmuannya diakui secara internasionalmemberikan pendapat yang berbeda dengan pendapat klasik di atas. Di sini akan disebutkan beberapa ulama kaliber internasional tersebut dengan pendapatnya mengenai hukuman terhadap pelaku murtad. 2



Siti Zailia, Murtad Dalam Prespektif Syafi‟i Dan Hanafi, Jurnal Istinbath No.15 vol.14, 2015 hlm. 72-75



5



Perbedaan pendapat para ulama internasional ini karena gencarnya wacana HAM yang diantaranya hak untuk memilih agama tanpa ada paksaan. Hukuman mati untuk orang yang keluar dari Islam dianggap paksaan terhadap seseorang untuk memeluk satu agama tertentu dengan ancaman yang serius, yaitu hukuman mati. Thaha Jabir al-Alwani. Dia lahir di Iraq dan menyelesaikan studi doktoralnya syariahnya di Al-Azhar Mesir. Setelah kembali ke Iraq, dia menjadi hakim. Khusus masalah murtad, dia menulis buku yang telah mendapat respons dari ulama lain. Baik dalam bentuk buku ataupun artikel. Isinya juga bermacam, mulai dari membantah, mendukung, dan mengkritisi proses penalaran tanpa membantah atau mendukung. Diantara bukunya yang paling fenomenal adalah buku yang berjudul La ikraha fi ad Din. kesimpulan besar yang diambil Alalwani bahwa murtad tidak ada hukumannya dalam Islam. Proses penalarannya atas kesimpulan besar itu adalah: Pertama, mengatakan bahwa seratusan lebih ayat al-Qur‟an menyatakan kebebasan memeluk agama tanpa ada paksaan. Ayat-ayat ini dianggapnya sebagai ayat Qath‟i, bermakna pasti dan karena itu mendasari ayat-ayat lain dalam tema yang sama. Diantara ayat ini adalah: agama dalam paksaan ada tidak, ٍََ ‫ي ِ ِإو َْزا‬ َ‫ف‬ َ‫ال ال ِ ّدي ِْي‬Kedua, ayat-ayat Al-Qur‟an tentang murtad tidak ada yang menyebutkanhukuman duniawi bagi pelaku murtad. Ayat hanya menjelaskan hukuman akhirat.Seperti ayat: ٧١٢: ‫َي دِيٌِ ََِ فـَيَ ُوذَْ َُّ ََُْ وَبفِزَ فَأُّلَئِهََ َد ِج َطذَْ أ َ ْع َوبلَُُُ َْم( الجمزح‬ َْ ‫ي يـ َ ْزرَ ِد َْد ِه ٌْ ُى َْن ع‬ َْ ‫َّ َه‬ Artinya: Barangsiapa diantara kalian, keluar dari agamanya, lalu meninggal dalam keadaan kafir, maka amal-amal –baiknya- terhapus. Ketiga, teks hadits atau atsar para Sahabat nabi SAW yang digunakan ulama klasik sebagai dalil hukuman mati pelaku murtad adalah kurang tepat. Karena itu menurutnya dalil untuk pemberontakan atau pengkhianatan terhadap penguasa.Sebagaimana apa yang dikenal peperangan Abu Bakar terhadap orang murtad, menurutnya itu adalah peperangan terhadap pengkhianatan atas penguasa atau persatuan. Sebagaimana dipahami dari hadits riwayat Muslim yang digunakan dalil hukuman mati untuk pelaku murtad, yaitu: ‫ت ا‬ ْ ِ‫ض ِلنَ ي‬ َ‫ش‬ َ ً‫الزا‬ َُ ِّ‫ الثـاي‬: َ‫ص ْْ َُي هللااِ إ َالا ثِ ِإدْ دَي ثَلََ س‬ َِّ ًَ‫ى َالَ إلَ َََ إ َالا هللاا َّأ‬ َْ َ ‫ش َِ َُد أ‬ ْ ‫اه ِزئَ ُه‬ ُ ‫ي َر‬ ْ ‫" َالَ يخ َُِيَ َد َُم‬ ُ ‫ َّالٌـا ْف‬، ِ ‫ي‬ َ ‫ق ِل ْل َج َوبعَخ‬ َُ ‫ َّالزا ِبرنَُ ِل ِد ْيٌِ ََِ ا ْل ُو َف ِبر‬، ‫ش‬ َ ِ ‫ِثبلٌـ ا ْف‬ 6



Menurut Al-Alwani, penekanan hadits itu yaitu pada frase al-mufariqu li al-jama‟ati, artinya: yang memisahkan diri dari kelompok. Jadi menurutnya, meninggalkan agama saja tidak menjadikan dihukum mati. Menurut al-Jabiri, hukuman terhadap bentuk murtad yang pertama adalah hukuman di akhirat dan tidak ada hukuman yang bersifat duniawi. Dalil yangdikemukakannya ialah, ayat-ayat al-Quran, antara lain : َ‫َصَد ًْراَفـَ َعلَي ِِْ ْن‬ َ ‫َّلَ ِى ْيَ َه ْيَش ََزحََ ِثب ْل ُى ْف ِز‬ ِ ِ‫بَّلل‬ ‫َه ْيَ َوفَ َزَ ِث ا‬ َ ‫بى‬ َ ٍَ ‫َه ْيَثـ َ ْعدَِ ِإي َوبًِ ََِ ِإالاَ َه ْيَأُو ِْز‬ ِ ‫َّلـ َ ْلجََُُ ُه ْط ََوئِيٌّ َ ِثب ْإل ُِي َو‬ َ َ‫عذَاةَع َِظين‬ َ َ‫َّلََُُ ْم‬ ِ ‫غضَت‬ ‫َهيَ ا‬ َ ِ‫ََّللا‬ Artinya : Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (ia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (ia tidakberdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaanAllah menimpanya dan baginya azab yang besar. (al-Nahl, 16:106) ْ ‫بَّا‬ َ َ‫َّأُّلَ ِئه‬ َ َُ‫آل‬ ِ ‫َّ َه ْيَيـ َ ْزر َ ِدد‬ َ ‫َرَ ِح‬ َ ‫َُّ ََُْوَبفِزَفَأُّلَئِهَ َ َدجِ َطذْ َأ َ ْع َوبلَُُُ ْمَفيَِالدًـْ َي‬ َ ْ‫َْه ٌْ ُى ْنَع َْيَدِيٌِ ََِفـَيَ ُوذ‬ َ ِ‫ر‬ ََ‫َبةَالٌا ِبرَ ُُ ْنَفِيَِبَ َسب ِلدُّى‬ ْ َ‫أ‬ ُ ‫صذ‬ Artinya : Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.(alBaqarah, 2: 217) َ‫َّللاَُالََيـ َ ِْدِيَا ْلمَ ْْ َم‬ َ‫َّش َِِدُّاَأَىا ا‬ ‫ْفَيـ َ ِْد‬ ٌّ ‫صْيََ َد‬ ‫َّ ا‬ ُ ‫َالز‬ ‫ا‬ َ ‫َوي‬ َ ُ‫َّجَب َء ُُ ُنَا ْلجـَيـٌَِّبد‬ َ ‫ك‬ َ ‫ِيََّللاَُلـ َ ْْ ًهبَ َوفَ ُزّاَثـ َ ْعدََإِي َوب ُِِ ْم‬ َ‫فَعٌَـْ ُِ ُن‬ َ َ ‫َأُّ َلئِهَ َج ََزا ُؤ ُُ ْنَأَىا‬.َ َ‫ال اظب ِل ِويي‬ ِ ‫َّالٌا‬ ‫علَي ِِْ ْنَلَ ْعٌَخَ ا‬ ُ ‫َ َسب ِلدِييَََ ِفيَِبَالََي ُز َُ اف‬.َ َ‫بسَأَج ْنَُ ِعيي‬ َ ‫َّا ْل َولََئِ َى ِخ‬ َ ِ‫ََّللا‬ .َ َ‫َرّى‬ َ ‫اة‬ ُ َ‫ا ْلعَذ‬ ُ ‫َّالََ ُُ ْنَيـ ٌَُْ َظ‬ Artinya : Bagaimana Allah akan menunjuki suatu kaum yang kafir sesudah mereka beriman, serta mereka telah mengakui bahwa Rasul itu (Muhammad) benar-benar rasul, dan keterangan-keteranganpun telah datang kepada mereka? Allah tidak menunjuki orang-orang yang zalim.Mereka itu, balasannya ialah: laknat Allah ditimpakan kepada mereka, laknat para malaikat dan manusia seluruhnya. Mereka kekal di dalamnya, tidak diringankan siksa dari mereka, dan tidak (pula) mereka diberi tangguh. (Ali `Imran, 3: 86-88) Menurut al-Jabiri, ayat-ayat di atas menjelaskan hukuman orang yang murtad adalah laknat dari Allah, malaikat dan umat Islam, kebaikannya menjadi terhapus, dan 7



di akhirat mendapat siksa neraka, tetapi tidak satupun ayat-ayat tersebut yang menyebutkan hukuman mati terhadap mereka. Lebih dari itu, kepada mereka terbuka lebar pintu untuk bertaubat. Bahwa kepada mereka yang semata-mata berpindah keyakinan tanpa memusuhi Islam tidak dijatuhi hukuman apapun di dunia, menurut al-Jabiri, sejalan dengan prinsip kebebasan beragama yang diajarkan Islam. Perlakuan terhadap pelaku murtad yang dibarengi unsur permusuhan tersebut adalah dengan pemberian penjelasan atas keraguan-keraguannya atas Islam oleh ulama yang disediakan oleh penguasa. Apabila sudah dijawab, dan tetap mengajakdan menyebarkan keraguan itu, maka dia dihukum mati oleh penguasa karena memusuhi, bukan karena murtadnya saja.Tetapi hukuman mati itu digagalkan apabila dia bertobat, yaitu dengan tidakmenyebarkan keraguan yang telah dijawab dan tidak mengajak orang Islam untukmurtad. Jadi pertobatannya dari hukuman mati tidak dengan masuk Islam lagi. Jadi illat atau sebab dibunuhnya murtad adalah permusuhan.3 Sedangkan Apostasy atau konversi agama (riddah) mendapat hukuman yang berbeda-beda tergantung tempat dan waktu kejahatan itu berlaku, yaitu Hukuman



asal,



hukuman



ganti,



dan



hukuman



tambahan.Adapun



penjabarannya sebagai berikut. 1. Hukum asal atau pokok. Pidana pokok untuk jarimah riddah adalah pidana mati. Sanksi pidana pokok lain, adalah pidana penjara. Akan tetapi ini hanya berlaku bagi perempuan yang murtad (murtadah). Pada dasarnya hukuman asal riddah adalah dibunuh sebagaimana sabda Rasulullah SAW. Dibunuh adalah hukuman secara umum bagi seorang murtad, dan tidak membedakan laki-laki atau perempuan, muda atau tua. Akan tetapi Abu Hanifah berpendapat, perempuan tidak dibunuh karena riddah, tapi ia dipaksa masuk Islam. Adapun paksaannya ke Islam 3



Pipin Suitra, Riddah Dan Konsekuensinya Dalam Hukum Islam Kontemporer ,Jurnal Studi Keislaman Vol. 4, NO. 2, 2018, hlm. 187-192



8



dengan cara dipenjara, dan ia dikeluarkan bila ia bertaubat dan masuk Islam. Apabila tidak, maka ia dikurung sampai ia masuk Islam atau mati. Hujjah Abu Hanifah



adalah sesungguhnya Rasulullah SAW.



melarang membunuh perempuan kafir. Apabila seorang perempuan tidak dibunuh karena perempuan kafir, maka lebih utama tidak membunuh seorang perempuan yang berbuat riddah.



2. Hukuman Pengganti. Hukuman pengganti pada orang yang berbuat riddah (konversi agama) dilihat dari dua keadaan: Keadaan pertama, pidana pengganti diberikan kepada pelaku riddah, apabila sanksi pidana pokok tidak dapat diterapkan, yaitu jika pelaku riddah telah bertaubat. Sanksi pidana pengganti ini adalah ta‟zir yang diputuskan oleh penguasa atau hakim, sesuai dengan tindak kejahatan, berupa penahanan sementara, dera, denda atau pencelaan dirinya, dan penahanan sementara tersebut tidak ada batasnya sehingga muncul islah. Keadaan kedua, apabila ada kesamaran sebagaimana pendapat Abu Hanifah bahwa sanksi pidana pokok tidak dapat diterapkan pada perempuan murtadah dan anak murtad. Pendapat Ima>m Ma>lik, bahwa keduanya dipenjara sampai masuk Islam dan dipaksa masuk Islam. 3. Hukum Tambahan Sanksi pidana tambahan untuk pelaku riddah, adalah merampas hartanya dan hilangnya hak terpidana untuk mengelola hartanya. Menurut salah satu pendapat dari al-Malikiyyah dan al-Hambaliah, dan rajih dari al-Shafi‟iyyah, bahwa harta orang murtad yang telah dibunuh, menjadi harta (harta rampasan) di bayt al-mal (kas negara) kaum muslimin, dan didistribusikan kepada penerima fay‟, karena harta tersebut tidak boleh diwarisi orang muslim atau orang kafir. Kaidah di atas menjelaskan bahwa apabila seseorang berbuat riddah atau keluar dari Islam, maka ia dikenai hukuman mati. Ia kehilangan hak hartanya dan selama penundaan hukum pidana (hukuman mati) sampai dijatuhi hukuman mati atau sekembalinya (masuk islam kembali). Itulah ketentuan-ketentuan tentang orang-orang murtad, yang tidak berdomisili di 9



daerahnya sendiri (negara Islam), dan berada di tengah-tengah kaum muslimin.4



D. Pengertian Al-Baghyu (Pemberontakan) Secara bahasa, pemberontak berarti menuntut sesuatu. Dikatakan Bagaytu kaza berarti “saya menuntut hal itu”. Secara „urf (adat), kata alBaghyu biasanya berarti menuntut sesuatu yang tidak halal berupa kezaliman. Walaupun demikian secara bahasa, al-Baghyu bisa juga berarti menuntut secara benar. Di dalam buku M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, mendefinisikan pemberontak secara etimologi pemberontak disebut dengan istilah (al-Baghyu) berasal dari kata (Bagha-yabghi-baghyan) yang berarti menuntut sesuatu. Mencari atau menuntut sesuatu. Pengertian tersebut kemudian menjadi populer untuk mencari dan menuntut sesuatu yang tidak halal, baik karena dosa maupun kezaliman yang melampaui batas. 2 Secara terminologi al-Baghyu memiliki beragam definisi dalam berbagai mazhab fiqh, Ulama kalangan Malikiyah mengatakan al-Baghyu adalah menolak untuk tunduk dan taat kepada orang yang kepemimpinannya telah tetap dan tindakannya bukan dalam maksiat, dengan cara menggulingkannya, dengan menggunakan alasan (takwil).5 Secara terminologis, al-Baghyu adalah usaha melawan pemerintahan yang sah dengan terang-terangan atau nyata, baik dengan mengangkat senjata maupun tidak mengindahkan ketentuan yang digariskan oleh pemerintah. AsySyafi‟i mengatakan, pemberontak adalah orang Muslim yang menyalahi Imam, dengan cara tidak mentaatinya dan melepaskan diri dari Imam, menolak



kewajiban,



yang



memiliki



kekuatan,



argumentasi,



dan



pimpinan.Ulama Malikiyah mendefinisikan pemberontakan sebagai penolakan untuk taat kepada orang yang kepemimpinannya sudah tetap dalam hal yang bukan maksiat dengan cara mengadakan perlawanan walaupun menggunakan takwil. Mereka mendefinisikan pemberontak (bugāt) sebagai sekelompok 4



Abd Al-qadir „awda, Al-Tashri‟ Al-Jinai Muqaranan Bi Al-Qanun Al-Wad‟i ( beriut: muassasah al-Risalah, 2000) hlm.720. 5 M. Nurul Irfan & Masyrofah, Fiqh Jinayah, cet ke-II, (Jakarta: Amzah, 2014), hlm. 59.



10



muslim yang melawan pemimpin tertinggi (al-Imām al-a‟aẓam) atau wakilnya dengan menolak hak yang wajib atas mereka atau tidak taat padanya.6 Dengan demikian, dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa dalam hukum Pidana Islam pemberontakan adalah suatu tindak pidana yang dilakukan baik secara perseorangan maupun kelompok dengan cara pembangkangan terhadap Imam (pemimpin tertinggi) seperti kepala negara dengan melakukan perlawanan. Kemudian definisi pemberontak dalam hukum pidana positif di Indonesia, pemberontak lebih dikenal dengan istilah makar. Di mana kata makar tersebut dapat diartikan sebagai pemberontak atau penyerangan. Makar berasal dari kata aanslag (Belanda) yang menurut arti harafiah adalah penyerangan atau serangan. Untuk adanya suatu makar itu harus dilakukannya suatu permulaan pelaksanaan oleh pelaku untuk menyelesaikan tindak pidana yang ditimbulkannya. Diharuskan adanya suatu permulaan pelaksanaan pada tindak



pidana



makar,



yakni



dalam



hal



orang



bermaksud



untuk



mempersalahkan orang lain telah melakukan pelanggaran terhadap laranganlarangan yang diatur dalam Pasal 104, 106, 107 dan Pasal 108 KUHP karena kemudian akan diketahui bahwa walaupun seseorang itu belum melakukan suatu permulaan pelaksanaan, tindak pidana yang diatur dalam Pasal 104, 106, 107 atau Pasal 108 KUHP orang tersebut ternyata telah dapat dituntut dan dipidana dengan pidana yang sama seperti yang diancamkan seperti tindak pidana yang dimaksudkan, yakni segera setelah orang tersebut bersama dengan orang lain mencapai kesepakatan untuk melakukan tindak pidana seperti yang diatur dalam pasal-pasal tersebut.7 E. Unsur-unsur Pemberontakan (al-Baghyu) 1. Memberontkan Imam (Pemimpin Tertinggi). Yang dimaksud melawan Imam adalah menentang Imam dan berusaha untuk menjatuhkannya atau tidak mau memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan atas mereka. Kewajiban tersebut bisa berupa hak Allah yang ditetapkan untuk



6



Abdul Qadir Audah, al-Tasyrī‟ al-Jinā‟ī ………., hlm. 234. Lani Sujiagnes Panjaitan, dkk., Penerapan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Makar Oleh Organisasi Papua Merdeka, (Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2016), hlm. 88. 7



11



kemaslahatan bersama, atau hak manusia yang ditetapkan untuk kemaslahatan perseorangan. Dengan demikian, termasuk di dalam masalah ini adalah setiap hak penguasa atas rakyat yang ditetapkan oleh hukum Islam, hak masyarakat atas perseorangan. Hak perseorangan atas perorangan. Barangsiapa menolak mengeluarkan zakat berarti menolak hak yang diwajibkan kepada dirinya. Akan tetapi berdasarkan kesepakatan para fuqaha, penolakan untuk tunduk kepada perintah yang menjurus kepada kemaksiatan , bukan merupakan pemberontakan, melainkan merupakan suatu kewajiban . hal ini oleh karena ketaatan tidak diwajibkan kecuali dalam kebaikan, tidak boleh dalam kemaksiatan. Oleh karena itu apabila seorang Imam (kepala Negara) memerintahkan suatu yang bertentangan dengan syari‟at maka tidak



ada



kewajiban



bagi



siapapun



untuk



mentaati



apa



yang



diperintahkanya. Para



fuqaha



sangat



berhati-hati



dalam



mendefinisikan



pemberontak. Imam atau kepala negara Islam tertinggi atau pejabatnya yang diantaranya adalah sultan, menteri, hakim atau lainya. Sebagian fukaha menyebut penguasa Islam tertinggi sebagai Imam yang tidak ada lagi diatasnya. Penguasa dibawahnya disebut Imam saja jika ia memimpin negara Islam atau pejabat Imam jika ia mewakili Imam tertinggi. Menurut hukum Islam, hukum Imamah (adalah fardu kifayah, sebagaimana hukum adanya lembaga kehakiman. Suatu hal yang mutlak bahwa umat Islam harus memiliki Imam untuk menegakkan agama, membela sunnah, menolong



orang-orang



yang



tertindas,



memenuhi



hak-hak



dan



meletakkanya pada tempatnya.8 2. Pemberontakan dilakukan dengan Kekuatan Menurut Imam Abu Hanifah, Asy-Syafi‟i, dan Ahmad bin Hambal, ada tiga jenis pemberontakan, yaitu sebagai berikut:



8



Ahsin Sakho Muhammad, et.al, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, jilid5, (Jakarta: PT.Kharisma Ilmu, 2008). Hal. 236



12



1.) Pemberontak tanpa alasan (ta‟wil), baik yang memiliki kekuatan atau tidak. 2.) Pemberontak yang memiliki alasan, tapi tidak memiliki kekuatan. 3.) Pemberontak yang memiliki alasan dan kekuatan. Yang dimaksud dengan alasan (ta‟wil) adalah pernyataan pemberontak tentang sebab-sebab tindakan mereka. Selama kesalahan yang menurut mereka terjadi itu belum terbukti, salah atau benarnya ta‟wil yang mereka pakai hukumnya sama. Penakwilan dianggap salah jika alasan dan kenyataan tidak sejalan. Yang dimaksud man‟ah atau syaukah (kekuatan) adalah banyaknya jumlah pemberontak atau kekuatan fisik mereka, jumlah pemberontak atau kekuatan yang mereka miliki untuk memberi perlawanan sehingga Imam membutuhkan dukungan besar untuk memenuhi anggaran dan kebutuhan pasukan untuk mempersiapkan perang dan sebagainya guna mengembalikan ketaatan mereka. Ulama hanabila menganggap sekelompok kecil orang sebagai pemberontak, misalnya satu, dua, atau sepuluh orang yang bersenjata dan bisa berperang meskipun tidak memilili kekuatan.9 3. Adanya Niat yang Melawan Hukum Unsur ini terpenuhi apabila seseorang bermaksud menggunakan kekuatan untuk menjatuhkan Imam atau tidak menaatinya. Apabila tidak ada maksud untuk keluar dari Imam atau tidak ada maksud untuk menggunakan kekuatan maka perbuatan pembangkangan itu belum dikategorikan sebagai pemberontakan . Untuk bisa dianggap keluar dari Imam,



disyaratkan



bahwa



pelaku



bermaksud



untuk



mencopot



(menggulingkan) Imam, atau tidak mentaatinya, atau menolak untuk melaksanakan kewajiaban yang diebankan oleh syara‟. Dengan demikian, apabila niat atau tujuan pembangkangannya untuk menolak kemaksiatan, pelaku



tidak



pembangkang



dianggap melakukan



sebagai



pemberontak.



jarimah-jarimah



Apabila



sebelum



seorang



mugha>labah



(penggunaan kekuatan) atau selesainya pemberontakan maka disini tidak



9



Ibid, hal. 240



13



diperlukan adanya niat untuk memberontak, karena dalam hal ini tidak dihukum sebagai pemberontak, melainkan sebagai jarimah biasa.10 F. Hukuman Tindak Pidana Pemberontakan (al-Baghyu) Ulama fiqih mengatakan bahwa al-Baghyu merupakan salah satu tindak pidana berat yang termasuk tindak pidana hudud (tindak pidana yang jenis, bentuk, dan ukuran hukumannya ditentukan syara‟ tidak boleh diubah, dikurangi, dan ditambah). Dalam menentukan hukuman terhadap para pemberontak, ulama fikih membagi pemberontakan itu menjadi dua bentuk. 1. Para pemberontak yang tidak memiliki kekuatan persenjataan dan tidak menguasai daerah tertentu sebagai basis mereka. Untuk pemberontak seperti ini, ulama fikih sepakat menyatakan bahwa pemerintah yang sah boleh menangkap dan memenjarakan mereka sampai mereka sadar dan tobat. 2. Pemberontakan yang menguasai suatu daerah dan memiliki kekuatan bersenjata. Terhadap para pemberontak seperti ini, pihak pemerintah pertama sekali harus menghimbau mereka untuk mematuhi segala peraturan yang berlaku serta mengakui kepemimpinan yang sah . apabila usaha pemerintah ini disambut dengan gerakan senjata, maka pemerintah dapat memerangi mereka.11 G. Tujuan diadakan Larangan Pemberontakan (al-Baghyu) Setiap tata aturan itu pasti mempunyai tujuan yang hendak dicapai oleh pembuatnya. Karena itu kalau tidak ada maka pembuatan tata aturan itu menjadi sia-sia serta tidak mencerminkan kebijaksanaan pikiran pembuatnya. Begitu pula adanya larangan contempt of court / menghina peradilan menurut Islam itu mempunyai tujuan. Dalam membahas mengenai tujuan diadakanya larangan penghinaan itu tidaklah dapat dilepaskan dari tujuan diadakanya tata hukum pidana khususnya pidana Islam. Adapun tujuan diadakanya pidana dalam hukum pidana Islam itu ada dua macam :



10



Ibid, hal. 116 Abdul Aziz Dahlan et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ictiar baru Van Hoeve,2006), hal. 173 11



14



a. Untuk memelihara kemuliaan masyarakat dari penetapan hukum yang jelas. b. Untuk kemanfaatan dan kemaslahatan umum . Sedangkan menurut Abdul Qadir Audah bahwa tujuan syari‟at Islam mewajibkan adanya pidana bagi orang yang melanggar hukum Allah adalah untuk memperbaiki keadaan manusia serta menjaga mereka dari kerusakan dan menunjukkan ke arah yang tidak menyesatkan dan mencegah dari maksiat dan mengajak mereka untuk taat dan menyelamatkan diri dari kebodohan. Hanafi, A, M.A mengatakan bahwa tujuan pokok dari penjatuhan hukuman pidana dalam hukum Islam adalah untuk mencegah atau preventif (ar-radu wa az-zajru) dan pengajaran serta pendidikan atau represif (al-islah wa tahzib). Pencegahan disini adalah menahan pembuat agar tidak mengulangi perbuatan jarimahnya atau tidak terus menerus melakukan perbuatannya, mencegah orang lain agar tidak melakukannya. Selain untuk mencegah dan mendidik, maka syari‟at Islam juga memberikan perhatian terhadap si pembuat yakni memberi pelajaran dan mengusahakan agar mereka menjadi orang yang baik. Ini merupaka tujuan inti . Selain kabaikan si pembuat, syari‟at Islam dalam menjatuhkan pidana juga bertujuan untuk membentuk masyarakat yang baik dan yang dikuasai oleh penguasa yang saling menghormati dan mencintai diantara anggotanya dengan mengetahui batas-batas hak dan kewajiban karena pada hakekatnya perbuatan pidana adalah merupakan perbuatan yang tidak disenangi oleh masyarakat dan menginjak-injak keadilan yang didambakan oleh masyarakat. Pidana (hukuman) juga merupakan salah satu cara perwujudan reaksi balasan masyarakat terhadap perbuatan pembuat yang telah melanggar kehormatanya dan merupakan pemenangan terhadap si korban dengan demikian akan terwujudlah ras keadilan dari tujuan diadakanya penjatuhan pidana bagi bagi si pembuat.12



12



Abdul Qadir „Audah, Tasry‟ al-Jina‟i…………, hal. 609



15



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Secara etimologi kata riddah atau irtidad berakar dari kata “raad” yang berarti “ berbalik kembali”, juga mengandung makna berpindah, dan kata riddah „an al-islam berarti “ keluar dari islam”. sedangkan riddah menurut istilah seorang muslim yang keluar dari agama islam baik dengan kepercayaan, perkataan, atau perbuatan dengan kehendak sendiri. Jarimah riddah memiliki dua unsur, yaitu pertama, keluar dari agaman islam lalu menuju kekafiran Artinya: tidak lagi meyakini bahwa Islam adalah agama yang benar. Proses ini terjadi melalui tiga cara yaitu dengan tindakan, dengan ucapan, dan dengan keyakinan. Kedua, melawan hukum. Maksudnya yaitu seseorang sengaja mengucapkan atau melakukan apa yang sebelumnya terlintas dalam hatinya dan ia sadar hal itu akan membuatnya dianggap murtad. Menurut mazhab Hanafi illat dilaksanakannya hukuman mati itu adalah jika kemurtadan tersebut bisa menyebabkan situasi yang tidak kondusif dan bisa membahayakan stabilitas negara. Menurut Al-alwani bahwa murtad tidak ada hukumannyadalam Islam. Menurut al-Jabiri orang yang keluar dari agama islam tanpa memusuhi islam itu tidak dijatuhi hukuman apapun di dunia. Sedangkan Apostasy atau konversi agama (riddah) mendapat hukuman yang berbeda-beda tergantung tempat dan waktu kejahatan itu berlaku, yaitu Hukuman asal, hukuman ganti, dan hukuman tambahan. Secara bahasa, pemberontak berarti menuntut sesuatu. Dikatakan Bagaytu kaza berarti “saya menuntut hal itu”. Secara „urf (adat), kata alBaghyu biasanya berarti menuntut sesuatu yang tidak halal berupa kezaliman. Walaupun demikian secara bahasa, al-Baghyu bisa juga berarti menuntut secara benar. Adapun



unsur-unsur



pemberontakan



(al-Baghyu)



yaitu



:



a)



Memberontkan Imam (Pemimpin Tertinggi). b) Pemberontakan dilakukan dengan Kekuatan. c) Adanya Niat yang Melawan Hukum. Dalam menentukan hukuman terhadap para pemberontak, ulama fikih membagi pemberontakan itu 16



menjadi dua bentuk. a) Para pemberontak yang tidak memiliki kekuatan persenjataan dan tidak menguasai daerah tertentu sebagai basis mereka. Untuk pemberontak seperti ini, ulama fikih sepakat menyatakan bahwa pemerintah yang sah boleh menangkap dan memenjarakan mereka sampai mereka sadar dan tobat. b) Pemberontakan yang menguasai suatu daerah dan memiliki kekuatan bersenjata. Terhadap para pemberontak seperti ini, pihak pemerintah pertama sekali harus menghimbau mereka untuk mematuhi segala peraturan yang berlaku serta mengakui kepemimpinan yang sah . apabila usaha pemerintah ini disambut dengan gerakan senjata, maka pemerintah dapat memerangi mereka. Adapun tujuan diadakanya pidana dalam hukum pidana Islam itu ada dua macam : a) Untuk memelihara kemuliaan masyarakat dari penetapan hukum yang jelas. b) Untuk kemanfaatan dan kemaslahatan umum B. Saran Dalam penyusunan dan penulisan makalah ini terdapat banyak kekurangan, keterbatasan penulis dalam mencari referensi dan dalam menyajikan kepada para pembaca. Maka dari itu, penulis memerlukan kritik dan saran yang bersifat membangun.



17



DAFTAR PUSTAKA Auda, Abd Al-qadir. 2000. Al-Tashri‟ Al-Jinai Muqaranan Bi Al-Qanun Al-Wad‟i ( Beriut: Muassasah al-Risalah. Dahlan Abdul Aziz. 2006. Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ictiar baru Van Hoeve) Haq Ismaul. 2020. Fiqh Jinayah (Sulawesi Selatan: IAIN Parepare Nusantara Perss). Irfan, M. Nurul & Masyrofah. 2014. Fiqh Jinayah, cet ke-II, (Jakarta: Amzah). Muhammad Ahsin Sakho. 2008. Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, jilid5, (Jakarta: PT.Kharisma Ilmu). Panjaitan Lani Sujiagnes. dkk.2016. Penerapan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Makar Oleh Organisasi Papua Merdeka, (Medan: Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara). Suitra Pipin. 2018. Riddah Dan Konsekuensinya Dalam Hukum Islam Kontemporer ,Jurnal Studi Keislaman Vol. 4, NO. 2. Zailia Siti. 2015. Murtad Dalam Prespektif Syafi‟i Dan Hanafi, Jurnal Istinbath No.15 vol.14.



18