Filsafat Pendidikan Di Indonesia [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

4.



5.



FILSAFAT PENDIDIKAN DI INDONESIA Agar uraian tentang filsafat pendidikan ini menjadi lebih lengkap, berikut ini diuraikan beberapa aliran filsafat pendidikan yang dominan di dunia (Made Pidarta, 1997: 90-94), aliran itu ialah : 1. Esensialis. Filsafat pendidikan Esensialisme bertitik tolak dari kebenaran yang telah terbukti berabadabad lamanya. Kebenaran seperti itulah yang esensial, yang lain adalah suatu kebenaran secara kebetulan saja. Kebenaran yang esensial itu ialah kebudayaan klasik yang muncul pada zaman romawi yang menggunakan buku-buku klasik ditulis dengan bahasa latin yang dikenal dengan nama Great Book. Buku ini sudah berabad-abad lamanya mampu membentuk manusia–manusia berkaliber internasional. Inilah bukti bahwa kebudayaan ini merupakan suatu kebenaran yang esensial. Tekanan pendidikannya adalah pada pembentukan intelektual dan logika. Dengan mempelajari kebudayaan Yunani Romawi yang menggunakan bahasa Latin yang sulit itu, diyakini otak peserta didik akan terasah dengan baik dan logikanya akan berkembang. Disiplin sangat diperhatikan. Pelajaran dibuat sangat berstruktur, dengan materi pelajaran berupa warisan kebudayaan, sehingga mempercepat kebiasaan berfikir efektif. Pengajaran terpusat pada guru. 2. Perenialis Filsafat pendidikan perenialis tidak jauh berbeda dengan filsafat pendidikan esensialis. Kebenaran perenialis ada pada wahyu Tuhan. Tentang bagaimana cara menumbuhkan kebenaran itu pada diri peserta didik dalam proses belajar mengajar tidaklah jauh berbeda antara esensialis dengan perenialis. Proses pendidikannya sama-sama bersifat tradisional. 3. Progresivis Filsafat pendidikan progresivis lahir di Amerika Serikat. Menurut filsafat pendidikan ini, tidak ada tujuan yang pasti, begitu pula tidak ada kebenaran yang pasti. Ukuran kebenaran ialah yang berguna bagi kehidupan manusia hari ini. Sebagai konsekuensi dari pandangan ini, maka yang dipentingkan dalam pendidikan adalah mengembangkan peserta didik untuk bisa berfikir, yaitu bagaimana berfikir yang baik. Pendidikan menjadi terpusat pada anak. Rekonstruksionis Filsafat pendidikan rekonstruksionis merupakan variasi dari progresivisme, yang menginginkan kondisi manusia pada umumnya harus diperbaiki. Mereka bercita-cita mengkonstruksi kembali kehidupan manusia secara total. Semua bidang kehidupan harus diubah dan dibuat baru aliran yang ekstrim ini berupaya merombak tata susunan masyarakat lama dan membangun tata susunan hidup yang baru sama sekali, melalui lembaga dan proses pendidikan. Eksistensialis Filsafat pendidikan eksistensialis berpendapat bahwa kenyataan atau kebenaran adalah eksistensi atau adanya individu manusia itu sendiri. Pendidikan menurut filsafat ini bertujuan mengembangkan kesadaran individu, memberi kesempatan untuk bebas memilih etika, mendorong pengembangan pengetahuan diri sendiri, bertanggung jawab sendiri, dan mengembangkan komitmen diri. Materi pelajaran harus memberi kesempatan aktif sendiri, merencana dan melaksanakan sendiri, baik dalam bekerja sendiri maupun kelompok. Materi yang dipelajari ditekankan kepada kebutuhan langsung dalam kehidupan manusia. Peserta didik perlu mendapatkan pengalaman sesuai dengan perbedaan-perbedaan individual mereka. Guru harus bersifat demokratis dengan teknik mengajar tidak langsung. 3.



Pancasila sebagai Landasan Filsafat Sistem Pendidikan Nasional Bangsa Indonesia memiliki filsafat umum atau filsafat Negara ialah pancasila sebagai falsafah Negara, Pancasila patut menjadi jiwa bangsa Indonesia, menjadi semangat dalam berkarya pada segala bidang. Pasal 2 UU-RI No. 2 Tahun 1989 menetapkan bahwa pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Rincian selanjutnya tentang hal itu tercantum dalam penjelasan UU-RI No. 2 Tahun 1989, yang menegaskan bahwa pembangunan nasioanal termasuk dibidang pendidikan adalah pengamalan pancasila, dan untuk itu pendidikan nasional mengusahakan antara lain: “ Pembentukan manusia Pancasila sebagai manusia pembangunan yang tinggi kualitasnya dan mampu mandiri”. Sedangkan ketetapan MPR-RI No.II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila menegaskan pula bahwa pancasila itu adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia, kepribadian bangsa Indonesia, pandangan hidup bangsa Indonesia, dan dasar Negara



Republik Indonesia. Pancasila sebagai sumber dari segala gagasan mengenai wujud bangsa manusia dan masyarakat yang dianggap baik, sumber dari segala sumber nilai yang menjadi pangkal serta mauara dari setiap keputusan dan tindakan dalam pendidikan dengan kata lain : Pancasila sebagai sumber system nilai dalam pendidikan. Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila (P4) Atau Ekaprasetya Pancakarsa sebagai petunjuk operasional pengamalan pancasila dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam bidang pendidikan. Perlu ditegaskan bahwa pengamalan Pancasila itu haruslah dalam arti keseluruhan dan keutuhan kelima sila dalam pancasila itu, sebagai yang dirumuskan dalam pembukaan UUD 1945, yaitu Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmad kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Belum ada upaya mengopersionalkan Pancasila agar mudah diterapkan dalam kegiatan– kegiatan di masyarakat, termasuk penerapanya dalam dunia pendidikan. Kalaupun ada bidang studi menyangkut moral Pancasila, sebagan besar diterapkan seperti melaksanakan bidang-bidang studi lain. Pendidik mengajarkannya kemudian peserta didik berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan pendidik dalam ujian-ujian. Sementara itu dunia pendidikan di Indonesia belum punya konsep atau teori-teori sendiri yang cocok dengan kondisi, kebiasaan atau budaya Indonesia tentang pengertian dan cara–cara mencapai tujuan pendidikan. Sebagian besar konsep atau teori pendidikan diimpor dari luar negeri sehingga belum tentu valid untuk diterapkan di Indonesia. Teori-teori biasa didapat dengan cara belajar diluar negeri, atau dengan cara melakukan studi banding. Dan yang paling banyak dilakukan adalah dengan mendatangkan buku atau membeli buku dari Negara lain. Inilah sumber konsep pendidikan di Indonesia. Kalaupun ada usaha menyusun sendiri konsep pendidikan sebagian besar juga bersumber dari buku-buku ini. Begitu pula tentang konsep-konsep pendidikan yang ditatarkan dalam penataran-penataran pendidikan juga bersumber dari buku-buku. Dengan demikian dapat diibaratkan membuat manusia Indonesia yang dicita-citakan seperti menerpa patung dengan cetakan luar negeri. hasilnya tentu tidak sama persis seperti manusia yang dicita-citakan, karena cetakan itu sendiri belum ada di Indonesia. B. 1.



Implikasi Landasan Filsafat Pendidikan Implikasi Bagi Guru Apabila kita konsekuen terhadap upaya memprofesionalkan pekerjaan guru maka filsafat pendidikan merupakan landasan berpijak yang mutlak. Artinya, sebagai pekerja professional, tidaklah cukup bila seorang guru hanya menguasai apa yang harus dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya. Kedua penguasaan ini baru tercermin pada kompetensi seorang tukang. Disamping penguasaan terhadap apa dan bagaimana tentang tugasnya, seorang guru juga harus menguasai mengapa ia melakukan setiap bagian serta tahap tugasnya itu dengan cara tertentu dan bukan dengan cara yang lain. Jawaban terhadap pertanyaan mengapa itu menunjuk kepada setiap tindakan seorang guru didalam menunaikan tugasnya, yang pada gilirannya harus dapat dipulangkan kepada tujuan-tujuan pendidikan yang mau dicapai, baik tujuan-tujuan yang lebih operasional maupun tujuan-tujuan yang lebih abstrak. Oleh karena itu maka semua keputusan serta perbuatan instruksional serta non-instruksional dalam rangka penunaian tugas-tugas seorang guru dan tenaga kependidikan harus selalu dapat dipertanggungjawabkan secara pendidikan (tugas professional, pemanusiaan dan civic) yang dengan sendirinya melihatnya dalam perspektif yang lebih luas dari pada sekedar pencapaian tujuan-tujuan instruksional khusus. Perlu digarisbawahi di sini adalah tidak dikacaukannya antara bentuk dan hakekat. Segala ketentuan prasarana dan sarana sekolah pada hakekatnya adalah bentuk yang diharapkan mewadahi hakekat proses pembudayaan subjek didik. Oleh karena itu maka gerakan ini hanya berhenti pada “penerbitan” prasarana dan sarana sedangkan transaksi personal antara subjek didik dan pendidik, antara subjek didik yang satu dengan subjek didik yang lain dan antara warga sekolah dengan masyarakat di luarnya masih belum dilandasinya, maka tentu saja proses pembudayaan tidak terjadi. Seperti telah diisyaratkan dimuka, pemberian bobot yang berlebihan kepada kedaulatan subjek didik akan melahirkan anarki, sedangkan pemberian bobot yang berlebihan kepada otoritas pendidik akan melahirkan penjajahan dan penjinakan. Kedua orientasi yang ekstrim itu tidak akan menghasilkan pembudayaan manusia.



2.



Implikasi bagi Pendidikan Guru dan Tenaga Kependidikan Tidaklah berlebihan kiranya bila dikatakan bahwa di Indonesia kita belum punya teori tentang pendidikan guru dan tenaga kependidikan. Hal ini tidak mengherankan karena kita masih belum saja menyempatkan diri untuk menyusunnya. Bahkan salah satu prasaratnya yaitu teori tentang pendidikan sebagimaana diisyaratkan pada bagian-bagian sebelumnya, kita masih belum berhasil memantapkannya. Kalau kita terlibat dalam berbagi kegiatan pembaharuan pendidikan selama ini maka yang diperbaharui adalah pearalatan luarnya bukan bangunan dasarnya. Hal tersebut dikemukakan tanpa samasekali didasari oleh anggapan bahwa belum ada diantara kita yang memikirkan masalah pendidikan guru itu. Pikiran-pikiran yang dimaksud memang ada diketengahkan orang tetapi praktis tanpa kecuali dapat dinyatakan sebagi bersifat fragmentaris, tidak menyeluruh. Misalnya, ada yang menyarankan masa belajar yang panjang (atau, lebih cepat, menolak program-program pendidikan guru yang lebih pendek terutama yang diperkenalkan didalam beberapa tahun terakhir ini) ; ada yang menyarankan perlunya ditingkatkan mekanisme seleksi calon guru dan tenaga kependidikan; ada yang menyoroti pentingnya prasarana dan sarana pendidikan guru; dan ada pula yang memusatkan perhatian kepada perbaikan sistem imbalan bagi guru sehingga bisa bersaing dengan jabtan-jabatan lain dimasyarakat. Tentu saja semua saran-saran tersebut di atas memiliki kesahihan, sekurang-kurangnya secara partial, akan tetapi apabila di implementasikan, sebagian atau seluruhnya, belum tentu dapat dihasilkan sistem pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang efektif. Sebaiknya teori pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang produktif adalah yang memberi rambu-rambu yang memadai di dalam merancang serta mengimplementasikan program pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang lulusannya mampu melaksanakan tugas-tugas keguruan di dalam konteks pendidikan (tugas professional, kemanusiaan dan civic). Rambu-rambu yang dimaksud disusun dengan mempergunakan bahan-bahan yang diperoleh dari tiga sumber yaitu: pendapat ahli, termasuk yang disangga oleh hasil penelitian ilmiah, analisis tugas kelulusan serta pilihan nilai yang dianut masyarakat. Rambu-rambu yang dimaksud yang mencerminkan hasil telaah interpretif, normative dan kritis itu, seperti telah diutarakan di dalam bagian uraian dimuka, dirumuskan ke dalam perangkat asumsi filosofis yaitu asumsi-asumsi yang memberi rambu-rambu bagi perancang serta implementasi program yang dimaksud. Dengan demikian, perangkat ramburambu yang dimaksud merupakan batu ujian di dalam menilai perancang dan implementasi program, maupun di dalam “mempertahankan” program dari penyimpngan-penyimpangan pelaksanaan ataupun dari serangan-serangan konseptual.



1) 2)



3) 4)



C. Upaya Mewujudkan Filsafat Pendidikan di Indonesia Pendidikan di Indonesia baru dalam tahap perhatian. Perhatian-perhatian terhadap perlunya filsafat pendidikan itupun baru muncul disana-sini belum terkoordinasi menjadi suatu perhatian besar untuk segera mewujudkanya. Kondisi seperti ini tidak terlepas dari kesimpangsiuran pandangan para pendidik terhadap pendidikan itu sendiri, seperti telah diungkapkan di atas. Ada suatu hasil penelitian bertalian dengan hal di atas yang dilakukan oleh Jasin, dan kawankawanya (1994), dengan responden para mahasiswa PGSD, SI, S2, dan S3 IKIP Jakarta dan para ahli pendidikan di Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Penelitian itu menemukan hal-hal sebagai berikut : Lebih dari separo responden menginginkan penegasan kembali pengertian pendidikan dan pengajaran. Hampir separo responden mahasiswa dan dosen berpendapat bahwa ilmu pendidikan kurang dikembangkan, sementara itu seperlima para ahli pendidikan menyatakan pendidikan kurang fungsional untuk menyiapkan para calon guru. Para mahasiswa dan dosen berpendapat pendidikan adalah ilmu mandiri, sementara itu hampir sepertiga para ahli menyatakan ilmu pendidikan adalah ilmu terapan. Semua responden menyatakan kurang mengenal struktur ilmu pendidikan. Karena keragaman pandangan di atas membuat responden terpecah menjadi sebagian mendukung pernyataan guru tidak mendidik melainkan mengajar dan sebagian lagi menolak. Dari hasil penelitian tersebut di atas dapat ditarik sejumlah masalah bertalian dengan ilmu pendidikan, yaitu : (1) Belum jelas pengertian pendidikan dan pengajaran.



(2) (3) (4) (5) (6)



Ilmu Pendidikan kurang dikembangkan. Ilmu Pendidikan kurang fungsional untuk menyiapkan para calon guru. Belum jelas apakah ilmu Pendidikan merupakan ilmu dasar atau ilmu terapan. Struktur ilmu pendidikan kurang dikenal. Belum jelas apakah guru mendidik dan mengajar atau hanya mengajar saja. Keenam masalah tersebut di atas menunjukan bahwa pendidikan, khususnya pendidikan sebagai ilmu belum ditangani. Mulai dari pengertian, apakah sebagai ilmu dasar atau ilmu terapan, struktur ilmu itu, sampai dengan penerapannya pada para calon guru dan guru-guru masih belum jelas. Kondisi ilmu pendidikan seperti ini terjadi karena memang ilmu itu belum digali dan dikembangkan. Untuk mengembangkan ilmu Pendidikan yang bercorak Indonesia secara valid, terlebih dahulu dibutuhkan pemikiran dan perenungan itu adalah filsafat yang khusus membahas pendidikan yang tepat diterpkan dibumi Indonesia . Dengan kata lain, untuk menemukan teori-teori pendidikan yang bercorak Indonesia dibutuhkan terlebih dahulu rumusan filsafat pendidikan yang bercorak Indonesia pula. Bagaimana kiat untuk meningkatkan kegiatan usaha merumuskan filsafat pendidikan Indonesia ini, yang kini baru dalam tahap perhatian yang bersifat sporadic ? Tampaknya kiat itu perlu disesuaikan dengan alam kebiasaan bangsa Indonesia saat ini. Sesuatu akan terjadi secara relative lebih mudah bila gagasan itu bersumber dari dan disepakati atau disetujui oleh pemerintah. Filsafat pendidikan akan lebih mudah mendapat jalan dalam perkembanganya manakala pemrakarsa dapat menggugah hati pemerintah untuk menyetujuinya. Upaya mendorong pemerintah untuk memberi syarat akan pentingnya = merumuskan filsafat pendidikan dan teori pendidikan yang bercorak Indonesia sudah pernah dilakukan menjelang sidang umum MPR (kompas, 27 Nopember 1992), sebagai satu sumbangan untuk bahan sidang umum itu. Namun GBHN 1993 sebagai produk sidang itu, tidak mencantumkan perlunya perumusan filsafat dan teori pendidikan itu. Hal ini menunjukkan kemauan politik pemerintah kearah itu belum ada. Mudahmudahan di waktu-waktu yang akan datang kemauan itu akan muncul. Di samping kunci utama untuk memulai kegiatan pengembangan filsafat pendidikan itu belum ada, ada lagi kunci kedua yang membuat sulitnya mengembangkan filsafat dan teori pendidikan itu, yaitu kesulitan menjabarkan sila-sila Pancasila agar mudah diterapkan di lapangan. Memang benar sila-sila Pancasila sudah dijabarkan menjadi 45 butir, tetapi penjabanran itu belum tentu sesuai dengan kebiasaan kerja para ahli pendidikan yang membuat hasil kerja mereka lebih mudah diterapkan di lapangan. Sampai sekarnag tidak setiap ahli diperkenankan menjabarkan sila-sila Pancasila. Yang diperbolehkan menjabarkan sila-sila itu hanya BP7 pusat, dengan maksud sangat mungkin unutk menghindari kesimpang-siuran makna sila-sila Pancasila itu sendiri. Tetapi bila para ahli pendidikan yang berwenang merumuskan filsafat pendidikan tidak diperkenankan menjabarkan atau menafsirkan sendiri sila-sila Pancasila itu akan membatasi kebebasan mereka berfikir dan mewujudkan filsafat itu.



Bila hal itu tidak bisa ditawar-tawar,



mungkin dapat diambil jalan kompromi yaitu dengan dibentuk tim yang anggotanya beberapa ahli pendidikan dan beberapa anggota BP7 pusat. Dengan cara ini kemacetan salah satu faktor penghambat pengembangan filsafat pendidikan di Indonesia dapat diatasi. Andaikan isyarat untuk mewujudkan filsafat pendidikan sudah ada atau sudah ada suatu kelompok yang berupaya merumuskan filsafat itu, maka ada beberapa hal yang harus dipikirkan. Halhal yang dimaksud adalah: (1) Apakah filsafat pendidikan yang akan dibentuk, yang sesuai dengan kondisi dan budaya Indonesia akan diberi nama Filsafat Pendidikan Pancasila atau dengan nama lain ? (2) Apakah filsafat pendidikan itu diambil dari filsafat pendidikan internasional yang sudah ada, dengan memilih salah satu dari Esensilais, Perenialis, Progesivise, Rekonstruksionis, dan Eksistensialis? Sehingga tinggal merevisi agar cocok dengan kondisi Indonesia. (3) Ataukah filsafat itu dimunculkan bersumber dari filsafat-filsafat umum yang berlaku secara Internasional, seperti yang dilaksanakan oleh Negara Australia. Ahli pendidikan di Australia menyatakan filsafat yang mendasari pendidikan mereka adalah Liberal, Demokrasi, dam multicultural Seakan-akan mereka tidak memiliki filsafat khusus tentang pendidikan (Made Pidarta, 1997 : 102).



ISPI (1989) mengingatkan bahwa tugas utama para ahli ilmu Pendidikan adalah (1) mengungkapkan pikiran yang sistematik dan mendasar mengenai implikasi filsafat Pancasila dalam filsafat pendidikan nasional yang akan dibentuk, dan (2) dalam mengungkapkan sumber-sumber dari luar termasuk teori pendidikan dan perlu diadakan saringan-saringan agar sesuai dengan filsafat negara kita (Made Pidarta, 1997 : 104) Sumber : http://wulandhary.blogspot.com/2012/06/landasan-filsafat-pendidikan-di.html



2.3 Aliran-aliran filsafat Pendidikan yang digunakan di Indonesia 2.3.1 Aliran Filsafat Pendidikan Idealisme Tokoh aliran idealisme adalah Plato (427-374 SM), murid Sokrates. Aliran idealisme merupakan suatu aliran ilmu filsafat yang mengagungkan jiwa. Menurutnya, cita adalah gambaran asli yang semata-mata bersifat rohani dan jiwa terletak di antara gambaran asli (cita) dengan bayangan dunia yang ditangkap oleh panca indera. Pertemuan antara jiwa dan cita melahirkan suatu angan-angan yaitu dunia idea. Aliran ini memandang serta menganggap bahwa yang nyata hanyalah idea. Idea sendiri selalu tetap atau tidak mengalami perubahan serta penggeseran, yang mengalami gerak tidak dikategorikan idea. Keberadaan idea tidak tampak dalam wujud lahiriah, tetapi gambaran yang asli hanya dapat dipotret oleh jiwa murni. Alam dalam pandangan idealisme adalah gambaran dari dunia idea, sebab posisinya tidak menetap. Sedangkan yang dimaksud dengan idea adalah hakikat murni dan asli. Aliran idealisme kenyataannya sangat identik dengan alam dan lingkungan sehingga melahirkan dua macam realita. Pertama, yang tampak yaitu apa yang dialami oleh kita selaku makhluk hidup dalam lingkungan ini seperti ada yang datang dan pergi, ada yang hidup dan ada yang demikian seterusnya. Kedua, adalah realitas sejati, yang merupakan sifat yang kekal dan sempurna (idea), gagasan dan pikiran yang utuh di dalamnya terdapat nilai-nilai yang murni dan asli, kemudian kemutlakan dan kesejatian kedudukannya lebih tinggi dari yang tampak, karena idea merupakan wujud yang hakiki. Prinsipnya, aliran idealisme mendasari semua yang ada. Yang nyata di alam ini hanya idea, dunia idea merupakan lapangan rohani dan bentuknya tidak sama dengan alam nyata seperti yang tampak dan tergambar. Sedangkan ruangannya tidak mempunyai batas dan tumpuan yang paling akhir dari idea adalah arche yang merupakan tempat kembali kesempurnaan



yang disebut dunia idea dengan Tuhan, arche, sifatnya kekal dan sedikit pun tidak mengalami perubahan. Aliran idealisme berusaha menerangkan secara alami pikiran yang keadaannya secara metafisis yang baru berupa gerakan-gerakan rohaniah dan dimensi gerakan tersebut untuk menemukan hakikat yang mutlak dan murni pada kehidupan manusia. Demikian juga hasil adaptasi individu dengan individu lainnya. Walaupun katakanlah idealisme dipandang lebih luas dari aliran yang lain karena pada prinsipnya aliran ini dapat menjangkau hal-ihwal yang sangat pelik yang kadang-kadang tidak mungkin dapat atau diubah oleh materi. 2.3.2 Aliran Filsafat Pendidikan Realisme Menurut realisme, kualitas nilai tidak dapat ditentukan secara konseptual, melainkan tergantung dari apa atau bagaimana keadaannya bisa dihayatioleh subjek tertentu dan selanjutnya akan tergantung pula dari sikap subjek tersebut. Teori lain yang muncul dari realisme disebut determinismetis. Dikatakan bahwa semua yang ada dalam alam ini, termasuk manusia, mempunyai hubungan hingga merupakan rantai sebab akibat. Realisme dalam berbagai bentuk menurut Kattsoff (1996:126) menarik garis pemisah yang tajam antara yang mengetahui dan yang diketahui, dan pada umumnya cenderung ke arah dualisme atau monisme materialistik. Menurut Amos Comenius: Manusia selalu berusaha untuk mencapai tujuan hidup berupa keselamatan dan kebahagiaan hidup yang abadi dan kehidupn dunia yang sejahtera serta damai. Oleh karena itu dalam pembelajaran sangat ditekankan dengan penggunaan metode peragaan atau metode peragaan merupakan suatu keharusan dalam proses belajar mengajar, sehingga beliau dijuluki sebagai Bapak Keperagaan dalam Belajar Mengajar Dengan demikian pandangan-pandangan realisme mengenai pendidikan mencerminkan dua jenis determinasi mutlak dan determinasi terbatas; 1. Determinisme Mutlak, menunjukkan bahwa belajar adalah mengenal hal-hal yang tidak dapat dihalang-halangi adanya, jadi harus ada yang bersama-sama membentuk dunia ini. 2. Determinisme Terbatas, memberikan gambaran kurangnya sifat pasif mengenai belajar. Bahwa meskipun pengenalan terhadap hal-hal yang kuantitatif didunia ini tidak berarti dimungkinkan adanya penguasaan terhadap mereka, namun kemampuan akan pengawasan diperlukan. 2.3.3. Aliran Filsafat Pendidikan Materialisme Aliran materialisme adalah suatu aliran filsafat yang berisikan tentang ajaran kebendaan, dimana benda merupakan sumber segalanya, sedangkan yang dikatakan materialistis mementingkan kebendaan menurut materialisme (Poerwadarminta, 1984:638). Materialisme, yang berpendapat bahwa kenyatan yang sebenarnya adalah alam semesta badaniah. Aliran ini tidak mengakui adanya kenyataan spiritual. Aliran materialisme memiliki dua variasi yaitu materialisme dialektik dan materialisme humanistis. Menurut Noor Syam, (1986:162-163) semuanya adalah materi, serba zat, serba benda, manusia merupakan makhluk ilmiah yang tidak punya perbedaan dengan alam semesta demikian juga wujudnya yang merupakan makrokosmos, dan tingkah laku manusia pada prosesnya sejalan dengan



sifat dan gerakan peristiwa alamiah, yang terkait dengan benda dan menjadi bagian dari hukum alam. Karl Marx, memberikan suatu pandangan bahwa kenyataan yang ada adalah dunia materi, dan didalam suatu susunan kehidupan yaitu masyarakat, pada muatannya terdapat berupa kesadaran-kesadaran yang menumbuhkan ide serta teori serta pandangan yang semuanya adalah suatu gambaran yang nyata. 2.3.4. Aliran Filsafat Pendidikan Pragmatisme Pragmatisme merupakan aliran paham dalam filsafat yang tidak bersikap mutlak (absolut) tidak doktriner tetapi relatif tergantung kepada kemampuan minusia. Filsafat ini dipandang sebagai filsafat Amerika asli, pada hal kenyataan yang sebenarnya adalah berpangkal pada filsafat empirisme Inggris, yang berpendapat bahwa sumber pengetahuan manusia adalah apa yang manusia alami. Tokoh yang terkenal filsafat ini adalah Charles Sandre Pierce (1839-1914), William James (1842-1910) dan John Dewey (18591952). Pragmatisme berasal dari kata ”pagma” yang berarti praktik atau aku berbuat. Pendidikan menurut pandangan pragmatisme bukan merupakan suatu proses pembentukan dari luar dan juga bukan merupakan suatu pemerkahan kekuatan-kekuatan laten dengan sendirinya (unfolding), melainkan merupakan suatu proses reorganisasi dan rekonstruksi dari pengalaman-pengalaman individu; yang berarti bahwa setiap manusia selalu belajar dari pengalamannya. Menurut John Dewey (Sadulloh. 2003), pendidikan perlu didasarkan pada tiga pokok pemikiran, yakni: 1. Pendidikan merupakan kebutuhan untuk hidup 2. Pendidikan sebagai pertumbuhan 3. Pendidikan sebagai fungsi sosial 2.3.5. Aliran Filsafat Pendidikan Eksistensialisme Eksistensialisme adalah aliran filsafat yg pahamnya berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran bersifat relatif, dan karenanya masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar. Eksistensialisme adalah salah satu aliran besar dalam filsafat, khususnya tradisi filsafat Barat. Eksistensialisme mempersoalkan keber-Ada-an manusia, dan keber-Ada-an itu dihadirkan lewat kebebasan. Pertanyaan utama yang berhubungan dengan eksistensialisme adalah melulu soal kebebasan. Apakah kebebasan itu? bagaimanakah manusia yang bebas itu? dan sesuai dengan doktrin utamanya yaitu kebebasan, eksistensialisme menolak mentah-mentah bentuk determinasi terhadap kebebasan kecuali kebebasan itu sendiri. Dalam studi sekolahan filsafat eksistensialisme paling dikenal hadir lewat Jean-Paul Sartre, yang terkenal dengan diktumnya "human is condemned to be free", manusia dikutuk untuk bebas, maka dengan kebebasannya itulah kemudian manusia bertindak. Pertanyaan yang paling sering muncul



sebagai derivasi kebebasan eksistensialis adalah, sejauh mana kebebasan tersebut bebas? atau "dalam istilah orde baru", apakah eksistensialisme mengenal "kebebasan yang bertanggung jawab"? Bagi eksistensialis, ketika kebebasan adalah satu-satunya universalitas manusia, maka batasan dari kebebasan dari setiap individu adalah kebebasan individu lain. Namun, menjadi eksistensialis, bukan melulu harus menjadi seorang yang lain-daripada-yang-lain, sadar bahwa keberadaan dunia merupakan sesuatu yang berada diluar kendali manusia, tetapi bukan membuat sesuatu yang unik ataupun yang baru yang menjadi esensi dari eksistensialisme. Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri, dan sadar akan tanggung jawabnya dimasa depan adalah inti dari eksistensialisme. Sebagai contoh, mau tidak mau kita akan terjun ke berbagai profesi seperti dokter, desainer, insinyur, pebisnis dan sebagainya, tetapi yang dipersoalkan oleh eksistensialisme adalah, apakah kita menjadi dokter atas keinginan orang tua, atau keinginan sendiri. Filsafat ini memfokuskan pada pengalaman-pengalaman individu. Secara umum, eksistensialisme menekankan pilihan kreatif, subjektifitas pengalaman manusia dan tindakan kongkrit dari keberadaan manusia atas setiap skema rasional untuk hakekat manusia atau realitas. Beberapa tokoh dalam aliran ini : Jean Paul Satre, Soren Kierkegaard, Martin Buber, Martin Heidegger, Karl Jasper, Gabril Marcel, Paul Tillich. Eksistensialisme:  Menekankan pada individual dalam proses progresifnya dengan pemikiran yang merdeka dan otentik.  Pada dasarnya perhatian dengan kehidupan sebagai apa adanya dan tidak dengan kualitaskualitas abstraknya.  Membantu individu memahami kebebasan dan tanggung jawab pribadinya. Jadi, menggunakan pendidikan sebagai jalan mendorong manusia menjadi lebih terlibat dalam kehidupan sebagaimana pula dengan komitmen tindakannya.  Individu seharusnya senantiasa memperbaiki diri dalam kehidupan dunia yang terus berubah.  Menekankan pendekatan “I-Thou” (Aku-Kamu) dalam proses pendidikan, baik guru maupun murid.  Promosikan pendekatan langsung-mendalam (inner-directed) yang humanistik; dimana siswa bebas memilih kurikulum dan hasil pendidikannya. 2.3.6. Aliran Filsafat Pendidikan Progresivisme Progresivisme berpendapat tidak ada teori realita yang umum dan bahwa manusia berkembang terus menerus dalam arah yang posisitf. Apa yang dipandang benar sekrang belum tentu benar pada masa yang akan dating. Oleh sebab itu, peserta didik bukan dipersiapkan untuk menghidupi kehidupan masa kini, melainkan mereka harus dipersiapkan menghadapi kehidupan masa dating. Permasalahan hidup masa kini tidk akan sama dengan permasalahan hidup masa yang akan dating. Pengalaman menurut progresivisme bersifat dinamis dan temporal; menyala. tidak pernah sampai pada yang paling ekstrem, serta



pluralistis. Menurut progresivisme, nilai berkembang terus karena adanya pengalamanpengalaman baru antara individu dengan nilai yang telah disimpan dalam kehudayaan. Belajar berfungsi untuk :mempertinggi taraf kehidupan sosial yang sangat kompleks. Kurikulum yang baik adalah kurikulum yang eksperimental, yaitu kurikulum yang setiap waktu dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Guru pendidik harus berperan sebagai pembimbing dan fasilitator agar peserta didik terdorong dan terbantu untuk mempelajari dan memiliki pengalaman tentang hal yang penting bagi kehidupan mereka, bukan memberikan sejumlah kebenaran yang disebut abadi. Progresivisme menekankan pada perubahan dan sesuatu yang baru. Progresivisme berpendapat bahwa tidak ada teori realita yang umum dan ini bertentangan dengan perenialisme. Pengalaman menurut progresivisme bersifat dinamis dan temporal, tidak pernah sampai pada yang paling extrim serta pluralistis. Menurutnya nilai berkembang terus karena adanya pengalaman -pengalaman baru antara individu dengan nilai yang telah disimpan. Progresivisme: 1. Suka melihat manusia sebagai pemecah persoalan (problem-solver) yang baik. 2. Oposisi bagi setiap upaya pencarian kebenaran absolut. 3. Lebih tertarik kepada perilaku pragmatis yang dapat berfungsi dan berguna dalam hidup. 4. Pendidikan dipandang sebagai suatu proses. 5. Mencoba menyiapkan orang untuk mampu menghadapi persoalan aktual atau potensial dengan keterampilan yang memadai. 6. Mempromosikan pendekatan sinoptik dengan menghasilkan sekolah dan masyarakat bagi humanisasi. 7. Bercorak student-centered. 8. Pendidik adalah motivator dalam iklim demoktratis dan menyenangkan. 9. Bergerak sebagai eksperimentasi alamiah dan promosi perubahan yang berguna untuk pribadi atau masyarakat. 2.3.7 Aliran Filsafat Pendidikan Perenialisme Perenialisme berpendirian bahwa untuk mengembalikan keadaan kacau balau seperti sekarang ini, jalan yang harus ditempuh adalah kembali kepada prinsip-prinsip umum yang telah teruji. Menurut. perenialisme, kenyataan yang kita hadapi adalah dunia dengan segala isinya. Perenialisme berpandangan hahwa persoalan nilai adalah persoalan spiritual, sebab hakikat manusia adalah pada jiwanya. Sesuatu dinilai indah haruslah dapat dipandang baik.



Beberapa pandangan tokoh perenialisme terhadap pendidikan:



1. Program pendidikan yang ideal harus didasarkan atas paham adanya nafsu, kemauandan akal (Plato) 2. Perkemhangan budi merupakan titik pusat perhatian pendidikan dengan filsafat sebagai alat untuk mencapainya ( Aristoteles) 3. Pendidikan adalah menuntun kemampuan-kemampuan yang masih tidur agar menjadi aktif atau nyata (Thomas Aquinas) Adapun norma fundamental pendidikan menurut J. Maritain adalah cinta kebenaran, cinta kebaikan dan keadilan, kesederhanaan dan sifat terbuka terhadap eksistensi serta cinta kerjasama. Perenialisme:  Berhubungan dengan perihal sesuatu yang terakhir. Cenderung menekankan seni dan sains dengan dimensi perennial yang bersifat integral dengan sejarah manusia.  Pertama yang harus diajarkan adalah tentang manusia, bukan mesin atau teknik. Sehingga tegas aspek manusiawinya dalam sains dan nalar dalam setiap tindakan.  Mengajarkan prinsip-prinsip dan penalaran ilmiah, bukan fakta.  Mencari hukum atau ide yang terbukti bernilai bagi dunia yang kita diami.  Fungsi pendidikan adalah untuk belajar hal-hal tersebut dan mencari kebenaran baru yang mungkin.  Orientasi bersifat philosophically-minded. Jadi, fokus pada perkembangan personal.  Memiliki dua corak: Perennial Religius: Membimbing individu kepada kebenaran utama (doktrin, etika dan penyelamatan religius). Memakai metode trial and error untuk memperoleh pengetahuan proposisional. Perennial Sekuler: Promosikan pendekatan literari dalam belajar serta pemakaian seminar dan diskusi sebagai cara yang tepat untuk mengkaji hal-hal yang terbaik bagi dunia (Socratic method). Disini, individu dibimbing untuk membaca materi pengetahuan secara langsung dari buku-buku sumber yang asli sekaligus teks modern. Pembimbing berfungsi memformulasikan masalah yang kemudian didiskusikan dan disimpulkan oleh kelas. Sehingga, dengan iklim kritis dan demokratis yang dibangun dalam kultur ini, individu dapat mengetahui pendapatnya sendiri sekaligus menghargai perbedaan pemikiran yang ada. 2.3.8. Aliran Filsafat Pendidikan Esensialisme Esensialisme berpendapat bahwa dunia ini dikuasai oleh tata yang tiada cela yang mengatur dunia beserta isinya dengan tiada cela pula. Esensialisme didukung oleh idealisme modern yang mempunyai pandangan yang sistematis mengenai alam semesta tempat manusia berada. Esensialisme juga didukung oleh idealisme subjektif yang berpendapat hahwa alam semesta itu pada hakikatnya adalah jiwa/spirit dan segala sesuatu yang ada ini nyata ada dalam arti spiritual. Realisme berpendapat bahwa kualitas nilai tergantung pada apa dan



bagaimana keadaannya, apabila dihayati oleh subjek tertentu, dan selanjutnya tergantung pula pada subjek tersebut. Menurut idealisme, nilai akan menjadi kenyataan (ada) atau disadari oleh setiap orang apabila orang yang bersangkutan berusaha untuk mengetahui atau menyesuaikan diri dengan sesuatu yang menunjukkan nilai kepadanya dan orang itu mempunyai pengalaman emosional yang berupa pemahaman dan perasaan senang tak senang mengenai nilai tersehut. Menunut realisme, pengetahuan terbentuk berkat bersatunya stimulus dan tanggapan tententu menjadi satu kesatuan. Sedangkan menurut idealisme, pengetahuan timbul karena adanya hubungan antara dunia kecil dengan dunia besar. Esensialisme berpendapat bahwa pendidikan haruslah bertumpu pada nilai- nilai yang telah teruji keteguhan-ketangguhan, dan kekuatannya sepanjang masa Essensialisme adalah suatu filsafat pendidikan konservatif yang pada mulanya dirumuskan sebagai suatu kritik terhadap trend-trend progreif di sekolah-sekolah. Essensialisme, berpendapat bahwa kultur kita telah memiliki suatu inti pengetahuan umum yang harus diberikan di sekolah-sekolah dalam suatu cara yang sistematik dan berdisiplin. Essensialisme menekankan pada apa yang mendukung pengetahuan dan keterampilan yang diyakini penting yang harus diketahui oleh para anggota masyarakat yang produktif. Essensialisme, sepertihalnya perenialisme dan progresivisme bukan merupakan suatu aliran filsafat tersendiri, yang mendirikan suatu bangunan filsafat, malainkan suatu gerakan dalam pendidikan yang memprotes terhadap pendidikan progresivisme. Essensialisme mengadakan protes tersebut tidak menolak atau menentang secara keseluruhan pandangan progresivisme seperti halnya yang dilakukan perenislisme. Dua aliran filsafat –idealisme dan realisme – yang membentuk corak essensialisme sebagai pendukung essensialisme, akan tetapi tidak lebur menjadi satu dan tidak melepaskan sifatnya yang utama pada dirinya masing-masing.  Berkaitan dengan hal-hal esensial atau mendasar yang seharusnya manusia tahu dan menyadari sepenuhnya tentang dunia dimana mereka tinggal dan juga bagi kelangsungan hidupnya.  Menekankan data fakta dengan kurikulum yang tampak bercorak vokasional.  Konsentrasi studi pada materi-materi dasar tradisional seperti: membaca, menulis, sastra, bahasa asing, matematika, sejarah, sains, seni dan musik.  Pola orientasinya bergerak dari skill dasar menuju skill yang bersifat semakin kompleks.  Perhatian pada pendidikan yang bersifat menarik dan efisien.  Yakin pada nilai pengetahuan untuk kepentingan pengetahuan itu sendiri.  Disiplin mental diperlukan untuk mengkaji informasi mendasar tentang dunia yang didiami serta tertarik pada kemajuan masyarakat teknis. 2.3.9 Aliran Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme Rekonstruksionisme adalah suatu kelanjutan yang logis dari cara berpikir progresifisme dalam pendidikan. Tidak cukup kalau individu belajar hanya dari pengalaman-pengalaman kemasyarakatan di sekolah. Tujuan pendidikan adalah untuk menumbuhkan kesadaran



peserta didik akan masalah-masalah sosial, ekonomi, dan politik yang dihadapi manusia bukan hanya nasional, regional, akan tetapi juga ecara global. Brameld (Sadulloh:2003) mengemukakan teori pendidikan rekonstruksionisme terdiri dari lima tesis. Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis. Pendekatan konstruktivisme mempunyai beberapa konsep umum seperti: 1. Pelajar aktif membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah ada. 2. Dalam konteks pembelajaran, pelajar seharusnya membina sendiri pengetahuan mereka. 3. Pentingnya membina pengetahuan secara aktif oleh pelajar sendiri melalui proses saling mempengaruhi antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru. 4. Unsur terpenting dalam teori ini ialah seseorang membina pengetahuan dirinya secara aktif dengan cara membandingkan informasi baru dengan pemahamannya yang sudah ada. 5. Ketidakseimbangan merupakan faktor motivasi pembelajaran yang utama. Faktor ini berlaku apabila seorang pelajar menyadari gagasan-gagasannya tidak konsisten atau sesuai dengan pengetahuan ilmiah. 6. Bahan pengajaran yang disediakan perlu mempunyai perkaitan dengan pengalaman pelajar untuk menarik miknat pelajar. Konstruktivisme merupakan satu pendekatan yang didapati sesuai dipraktikkan dalam pengajaran dan pembelajaran sains. Dalam pendekatan ini murid dianggap telah mempunyai idea yang tersendiri tentang sesuatu konsep yang belum dipelajari. Idea tersebut mungkin benar atau tidak. Rekonstruksionisme:  Promosi pemakaian problem solving tetapi tidak harus dirangkaikan dengan penyelesaian problema sosial yang signifikan.  Mengkritik pola life-adjustment (perbaikan tambal-sulam) para Progresivist.  Pendidikan perlu berfikir tentang tujuan-tujuan jangka pendek dan jangka panjang. Untuk itu pendekatan utopia pun menjadi penting guna menstimuli pemikiran tentang dunia masa depan yang perlu diciptakan.  Pesimis terhadap pendekatan akademis, tetapi lebih fokus pada penciptaan agen perubahan melalui partisipasi langsung dalam unsur-unsur kehidupan.



 Pendidikan berdasar fakta bahwa belajar terbaik bagi manusia adalah terjadi dalam aktivitas hidup yang nyata bersama sesamanya.  Learn by doing! (Belajar sambil bertindak).



= 3.1 Kesimpulan Filsafat pendidikan merupakan terapan dari filsafat umum, maka salam membahas filsafat pendidikan akamn berangkat dari filsafat. Dalam arti, filsafat pendidikan pada dasarnya menggunakan cara kerja filsafat dan akan menggunakan hasil-hasil dari filsafat, yaitu berupa hasil pemikiran manusia tentang realitas, pengetahuan, dan nilai. Dalam filsafat terdapat berbagai mazhab, aliran-aliran, seperti materialisme, idealisme, realisme, pragmatisme, dan lain-lain. Karena filsafat pendidikan merupakan terapan dari filsafat, sedangkan filsafat beraneka ragam alirannya, maka dalam filsafat pendidikan pun kita akan temukan berbagai aliran, sekurang-kurnagnya sebanyak aliran filsafat itu sendiri. Brubacher (1950) mengelompokkan filsafat pendidikan pada dua kelompok besar, yaitu filsafat pendidikan “progresif” dan filsafat pendidikan “ Konservatif”. Yang pertama didukung oleh filsafat pragmatisme dari John Dewey, dan romantik naturalisme dari Roousseau. Yang kedua didsari oleh filsafat idealisme, realisme humanisme (humanisme rasional), dan supernaturalisme atau realisme religius. Filsafat-filsafat tersebut melahirkan filsafat pendidikan esensialisme, perenialisme, dan sebagainya. Berikut aliran-aliran dalam filsafat pendidikan: 1. Filsafat Pendidikan Idealisme Filsafat idealisme memandang bahwa realitas akhir adalah roh, bukan materi, bukan fisik. Pengetahuan yang diperoleh melaui panca indera adalah tidak pasti dan tidak lengkap. Aliran ini memandang nilai adalah tetap dan tidak berubah, seperti apa yang dikatakan baik, benar, cantik, buruk secara fundamental tidak berubah dari generasi ke generasi. Tokoh-tokoh dalam aliran ini adalah: Plato, Elea dan Hegel, Emanuael Kant, David Hume, Al Ghazali 2. Filsafat Pendidikan Realisme Realisme merupakan filsafat yang memandang realitas secara dualitis. Realisme berpendapat bahwa hakekat realitas ialah terdiri atas dunia fisik dan dunia ruhani. Realisme membagi realitas menjadi dua bagian, yaitu subjek yang menyadari dn mengetahui di satu pihak dan di pihak lainnya adalah adanya realita di luar manusia, yang dapat dijadikan objek pengetahuan manusia. Beberapa tokoh yang beraliran realisme: Aristoteles, Johan Amos Comenius, Wiliam Mc Gucken, Francis Bacon, John Locke, Galileo, David Hume, John Stuart Mill 3. Filsafat Pendidikan Materialisme Materialisme berpandangan bahwa hakikat realisme adalah materi, bukan rohani, spiritual atau supernatural.



Beberapa tokoh yang beraliran materialisme: Demokritos, Ludwig Feurbach 4. Filsafat Pendidikan Pragmatisme Pragmatisme dipandang sebagai filsafat Amerika asli. Namun sebenarnya berpangkal pada filsafat empirisme Inggris, yang berpendapat bahwa manusia dapat mengetahui apa yang manusia alami. Beberapa tokoh yang menganut filsafat ini adalah: Charles sandre Peirce, wiliam James, John Dewey, Heracleitos. 5. Filsafat Pendidikan Eksistensialisme Filsafat ini memfokuskan pada pengalaman-pengalaman individu. Secara umum, eksistensialisme menekankn pilihan kreatif, subjektifitas pengalaman manusia dan tindakan kongkrit dari keberadaan manusia atas setiap skema rasional untuk hakekat manusia atau realitas. Beberapa tokoh dalam aliran ini : Jean Paul Satre, Soren Kierkegaard, Martin Buber, Martin Heidegger, Karl Jasper, Gabril Marcel, Paul Tillich 6. Filsafat Pendidikan Progresivisme Progresivisme bukan merupakan bangunan filsafat atau aliran filsafat yang berdiri sendiri, melainkan merupakan suatugerakan dan perkumpulan yang didirikan pada tahun 1918. Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin tidak benar di masa mendatang. Pendidikan harus terpusat pada anak bukannya memfokuskan pada guru atau bidang muatan. Beberapa tokoh dalam aliran ini : George Axtelle, william O. Stanley, Ernest Bayley, Lawrence B.Thomas, Frederick C. Neff 7. Filsafat Pendidikan Esensialisme Esensialisme adalah suatu filsafat pendidikan konservatif yang pada mulanya dirumuskan sebagai suatu kritik pada trend-trend progresif di sekolah-sekolah. Mereka berpendapat bahwa pergerakan progresif telah merusak standar-standar intelektual dan moral di antara kaum muda. Beberapa tokoh dalam aliran ini: william C. Bagley, Thomas Briggs, Frederick Breed dan Isac L. Kandell. 8. Filsafat Pendidikan Perenialisme Merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad kedua puluh. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Mereka menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Perenialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan, ketidakpastian, dan ketidakteraturan, terutama dalam kehidupan moral, intelektual dan sosio kultual. Oleh karena itu perlu ada usaha untuk mengamankan ketidakberesan tersebut, yaitu dengan jalan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat dan teruji.



Beberapa tokoh pendukung gagasan ini adalah: Robert Maynard Hutchins dan ortimer Adler 9. Filsafat Pendidikan rekonstruksionisme Rekonstruksionisme merupakan kelanjutan dari gerakan progresivisme. Gerakan ini lahir didasarkan atas suatu anggapan bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat yang ada sekarang. Rekonstruksionisme dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun 1930, ingin membangun masyarakat baru, masyarakat yang pantas dan adil. Beberapa tokoh dalam aliran ini: Caroline Pratt, George Count, Harold Rugg. Daftar Pustaka Tim Penyusun dan Pengajar. 2009. Diktat Filsafat Pendidikan. Medan: Universitas Negeri Medan. Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991) http://hendrinizar.blogspot.com/2008/06/aliran-filsafat-pendidikan.html http://www.barumbung.co.cc/index.php?option=com_content&task=view&id=63&Itemid=42 http://id.wikipedia.org Sumber : http://hansseba.blogspot.com/2011/09/aliran-filsafat-yang-digunakan-di.html