Filsafat Pendidikan Matematika [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

FILSAFAT PENDIDIKAN MATEMATIKA Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Dosen : Indra Budiman, S.Pd., M.Pd.



Disusun oleh : KOMARUDIN MUHAMAD ZAELANI 1610631050082 2B



PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN MATEMATIKA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SINGAPERBANGSA KARAWANG 2017



KATA PENGANTAR Alhamdulillah segala puji dan syukur kita haturkan kehadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan taufiq dan rahmat-Nya, Saya dapat



menyelesaikan



makalah



ini



berjudul “



yang



Filsafat



Pendidikan Matematika”. Semoga hal ini dapat berguna bagi Saya sebagai mahasiswa dan juga rekan-rekan semua, terutama untuk menambah khazanah keilmuan serta wawasan dalam bidang pendidikan. Terlepas dari itu semua, dengan segala kemampuan dan usaha yang dilakukan Saya telah berupaya agar makalah ini dapat mudah dipahami terutama oleh Saya sendiri dan para mahasiswa. Oleh karena itu jika terdapat kekurangan dalam penyusunan dan materi dalam makalah ini itu semata-mata karena kekurangan yang ada pada Saya, karena kita ketahui bahwa manusia tidak terlepas dari kekurangan. Dan tentunya Saya pun berharap masukan dan saran yang bermanfaat dan berguna untuk meningkatkan nilai keilmuan dan wawasan Saya dalam dinul Islam yang mulia ini. Dengan segala harapan dan doa semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi penyusun khususnya dan bagi pembaca umumnya. Atas segala perhatiannya Saya ucapkan terima kasih.



Karawang, April 2017



Penyusun



i



DAFTAR ISI Kata Pengantar ..................................................................................................... i Daftar Isi.............................................................................................................. ii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .......................................................................... 1 B. Rumusan Masalah ................................................................................... 2 C. Tujuan Penulisan ..................................................................................... 2 BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Filsafat ................................................................................... 3 B. Hakikat Ilmu Matematika ....................................................................... 5 C. Filsafat Matematika ................................................................................. 6 D. Pengertian Pendidikan ........................................................................... 12 E. Tujuan Pendidikan ................................................................................ 13 F. Filsafat Pendidikan ................................................................................ 17 G. Filsafat Pendidikan Matematika ............................................................ 18 BAB III PENUTUP Kesimpulan ....................................................................................................... 22 DAFTAR PUSTAKA



ii



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kita akan menjelaskan dan mengkritik perspektif epistemologis yang dominan dalam matematika.Yaitu, pandangan absolut bahwa kebenaran matematika adalah mutlak, bahwa matematika adalah salah satu ilmu pengetahuan yang tidak diragukan lagi dan obyektif. Hal ini bertantangan dengan pandangan fallibilist bahwa kebenaran matematika adalah tidak mutlak, dan tidak pernah bisa dianggap sebagai sesuatu yang tidak perlu adanya revisi dan koreksi. Banyak yang diperoleh dari perbedaan absolut-fallibilist , diantaranya adalah perspektif filosofis yang diadopsi karena faktor epistemologis yang paling penting yang mendasari pengajaran matematika. Filsafat dan ilmu adalah dua kata yang saling terkait, baik secara substansial maupun secara historis, karena kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan filsafat, sebaliknya perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat. Filsafat menuntut manusia agar berfikir secara cerdas, sehingga manusia tersebut berkembang menuju level pemikiran pengetahuan selanjutnya. Akan tetapi, terkadang manusia tidak menyadari keterbatasan dirinya, sehingga dia selalu berusaha memikirkan segala hal di luar jangkauan kemampuan logika dan akalnya. Sehingga kebingungan itu tidak mengantarkan dia ke level pemikiran selanjutnya, namun malah menjadikan dia berputar-putar di siklus tiada henti, karena manusia tersebut terkadang dalam memikirkan suatu hal tidak berada pada koridornya, seperti kereta yang berusaha keluar dari rel, maka otomatis kereta tersebut tergelincir dan jatuh. Untuk itulah, dalam berfilsafat, manusia perlu adanya suatu definisi yang jelas mengenai apa yang boleh difikirkan dan yang tidak boleh dia fikirkan, karena batas itu sudah di luar batas logikanya. Ilmu matematika adalah ilmu yang menuntut agar manusia berfikir kritis, kreatif, mampu melakukan abstraksi, menggunakan logikanya agar manusia tersebut mampu memecahkan masalah. Dengan melatih kemampuan pemecahan masalah yang ada dalam matematika, diharapkan manusia tersebut dapat



1



menerapkan matematika untuk memecahkan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk menyampaikan matematika, diperlukan suatu metode dalam hal ini pembelajaran kepada para penuntut ilmu matematika, yaitu para siswa maupun mahasiswa. Pembelajaran adalah bagian dari dunia pendidikan, dan tidak akan pernah terlepas dari pendidikan. Selanjutnya, dalam makalah ini, akan dikaji mengenai filsafat pendidikan matematika. Seorang filsuf besar dari Yunani kuno setelah Zeno menegaskan hubungan yang amat erat antara matematika dan filsafat adalah Plato. Ia menegaskan bahwa geometri sebagai pengetahuan ilmiah yang berdasarkan akal murni menjadi kunci ke arah pengetahuan dan kebenaran kebenaran filsafat. Menurut Plato, geometri merupakan suatu ilmu dengan akal murni membuktikan proporsi-proporsi abstrak mengenai hal-hal abstrak seperti garis lurus, segitiga atau lingkaran. Filosofi matematika yang berbeda menghasilkan produk yang sangat berbeda dalam hal praktek pendidikannya. Namun hubungannya tidak langsung, dan penyelidikan atas filosofi yang mendukung pengajaran matematika dan kurikulum matematika membuat kita juga harus mempertimbangkan nilai-nilai, ideologi dan kelompok-kelompok sosial yang mentaatinya. B. Rumusan Masalah Bagaimana Hakikat Filosofi Pendidikan Matematika? C. Tujuan Mengetahui Hakikat Filosofi Pendidikan Matematika.



2



BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Filsafat Kata ‘filsafat’ berasal dari bahasa Yunani, yaitu ‘philosophia’. Kata philosophia merupakan gabungan dari dua kata yaitu philos dan sophia. Philos berarti sahabat atau kekasih, sedangkan sophia memiliki arti kebijaksanaan, pengetahuan, kearifan. Dengan demikian maka arti dari kata philosophia adalah cinta pengetahuan. Plato dan Socrates dikenal sebagai philosophos (filsuf) yaitu orang yang cinta pengetahuan. Dalam membangun tradisi filsafat, banyak orang mengajukan pertanyaan yang sama, menanggapi, dan meneruskan karya-karya pendahulunya sesuai dengan latar belakang budaya, bahasa, bahkan agama tempat tradisi filsafat itu dibangun. Secara Terminologi, Filsafat mempunyai banyak sekali definisi tergantung dari siapa yang mendefinisikannya, bahkan setiap orang memiliki definisi tersendiri mengenai filsafat. Dalam hal ini, akan dijelaskan beberapa definisi dari beberapa para filsuf merumuskan pengertian filsafat sesuai dengan kecenderungan pemikiran kefilsafatan yang dimilikinya. Seorang Plato mengatakan bahwa : Filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencapai pengetahuan kebenaran yang asli. Sedangkan muridnya Aristoteles berpendapat kalau filsafat adalah ilmu (pengetahuan) yang meliputi kebenaran yang terkandung didalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika. Lain halnya dengan Al-Farabi yang berpendapat bahwa filsafat adalah ilmu (pengetahuan) tentang alam maujud bagaimana hakikat yang sebenarnya. Berikut ini disajikan beberapa pengertian Filsafat menurut beberapa para ahli: 1) Plato mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan untuk meraih kebenaran yang asli dan murni. Ia juga mengatakan bahwa filsafat adalah penyelidikan tentang sebab-sebab dan asas-asas yang paling akhir dari segala sesuatu yang ada 2) Aristoteles (murid Plato) mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang selalu berusaha mencari prinsip-prinsip dan penyebabpenyebab dari realitas yang ada. Ia juga mengatakan bahwa filsafat adalah 3



ilmu pengetahuan yang berupaya mempelajari “ada dan tampilan” dan “ada dan realita” 3) Cicero filsafat adalah sebagai “ibu dari semua seni “ (the mother of all the arts“ ia juga mendefinisikan filsafat sebagai ars vitae (seni kehidupan). 4) Rene Descartes, filsuf Prancis, mengatakan bahwa filsafat merupakan himpunan yang pangkal penyelidikannya tentang Tuhan, alam, dan manusia. 5) William James, filsuf Amerika, tokoh pragmatisme dan pluralisme, mengatakan bahwa filsafat adalah suatu upaya yang luar biasa hebatnya untuk berpikir yang jelas dan terang. Ada empat hal yang merangsang manusia untuk berfilsafat ialah: ketakjuban, ketidakpuasan, hasrat bertanya, dan keraguan. Kata ketakjuban/keheranan/ kekaguman mengandung arti ada subjek (yang kagum) dan ada objek (yang dikagumi). Yang kagum adalah manusia, dan yang dikagumi adalah segala sesuatu yang ada dan yang dapat diamati. Pada awalnya segala sesuatu dijelaskan melalui mitos-mitos (takhayul-takhayul). Hal ini mengakibatkan keraguan manusia dan merangsang untuk ingin tahu dengan akalnya. Keraguan merangsang timbulnya pertanyaan, dan terus bertanya, yang kemudian menggiring manusia berfilsafat. Sifat Dasar Filsafat adalah Berpikir Radikal (sampai ke akar-akarnya); Mencari Asas (esensi realita); Memburu Kebenaran; Mencari Kejelasan (kejelasan seluruh realita); Berpikir Rasional (logis sistematis). Peranan filsafat adalah sebagai pendobrak (mitos, kezaliman, penipuan), sebagai pembebas (membebaskan dari segala



“penjara”),



dan



pembimbing



(untuk



berpikir



integral/utuh



dan



koheren/nyata). Dan perlu untuk kita ingat bahwa kata filsuf (philosophos) dan filsafat (philosophia) ini baru menyebar luas setelah masa Aristoteles. Aristoteles sendiri tidak menggunakan istilah ini (philosophia atau philosophos) dalam literaturliteraturnya. Setelah masa kejayaan Romawi dan Persia memudar, penggunaan istilah filsafat berikutnya mendapat perhatian besar dari kaum muslimin di Arab. Kata falsafah (hikmah) atau filsafat kemudian mereka sesuaikan dengan perbendaharaan kata dalam bahasa Arab,



yang memiliki arti berbagai ilmu



pengetahuan yang rasional.



4



B. Hakikat Ilmu Matematika Secara



tradisional,



matematika



telah



dipandang



sebagai



paradigma



pengetahuan tertentu. Euclid mendirikan struktur logika yang luar biasa hampir 2.500 tahun lalu, yang sampai akhir abad kesembilan belas diambil sebagai paradigma untuk mendirikan kebenaran dan kepastian. Newton menggunakan unsur-unsur logika dalam bukunya Principia, dan Spinoza juga menggunakannya dalam bukunya Ethics, untuk memperkuat klaim mereka menjelaskan kebenaran secara sistematis. Matematika telah lama dianggap sebagai sumber pengetahuan tertentu yang paling dikenal umat manusia. Sebelum menanyakan hakikat dari ilmu matematika, pertama-tama perlu mempertimbangkan hakikat ilmu pengetahuan pada umumnya. Jadi kita mulai dengan pertanyaan, apa itu ilmu pengetahuan? pertanyaan tentang apa itu ilmu pengetahuan merupakan jantung filsafat, dan pengetahuan matematika memainkan peran khusus. Jawaban filosofis standar untuk pertanyaan ini adalah bahwa pengetahuan adalah kepercayaan yang dibenarkan. Lebih tepatnya, bahwa pengetahuan proposisional terdiri dari proposisi yang diterima (yaitu, dipercaya), asalkan ada dasar yang memadai untuk menegaskannya (Sheffler,; 1965; Chisholm, 1966; Woozley, 1949). Pengetahuan



diklasifikasikan



berdasarkan



pada



pernyataan



tersebut.



Pengetahuan apriori terdiri dari proposisi hanya berdasarkan alasan saja, tanpa pengamatan dari dunia. Alasannya terdiri dari penggunaan logika deduktif dan makna istilah, biasanya dapat ditemukan dalam definisi. Sebaliknya, empiris atau pengetahuan posteriori terdiri dari proposisi yang menjelaskan berdasarkan pengalaman, yaitu, dengan pengamatan dunia (Woozley, 1949). Pengetahuan matematika diklasifikasikan sebagai pengetahuan priori, karena terdiri dari proposisi yang menjelaskan atas dasar alasan saja. Alasannya, termasuk logika deduktif dan yang digunakan sebagai definisi, hubungannya dengan aksioma matematika atau postulat, adalah sebagai dasar untuk menyimpulkan pengetahuan matematika. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengetahuan dasar matematika yaitu dasar untuk menyatakan kebenaran proposisi matematika, yang terdiri dari bukti deduktif.



5



Bukti dari proposisi matematika adalah proposisi terbatas yang memenuhi syarat cukup. Setiap pernyataan adalah aksioma yang berdasarkan seperangkat aksioma sebelumnya, atau diperoleh dengan aturan penarikan kesimpulan dari satu atau lebih pernyataan yang telah ada sebelumnya. Istilah ‘aksioma’ dipahami secara luas, yang merupakan pernyataan yang diakui menjadi bukti tanpa demonstrasi. Selain aksioma yaitu dalil-dalil dan definisi. C. Filsafat Matematika Kita akan menjelaskan dan mengkritik perspektif epistemologis yang dominan dalam matematika.Yaitu, pandangan absolut bahwa kebenaran matematika adalah mutlak, bahwa matematika adalah salah satu ilmu pengetahuan yang tidak diragukan lagi dan obyektif. Hal ini bertantangan dengan pandangan fallibilist bahwa kebenaran matematika adalah tidak mutlak, dan tidak pernah bisa dianggap sebagai sesuatu yang tidak perlu adanya revisi dan koreksi. Banyak yang diperoleh dari perbedaan absolut-fallibilist , diantaranya adalah perspektif filosofis yang diadopsi karena faktor epistemologis yang paling penting yang mendasari pengajaran matematika. Filsafat matematika adalah cabang filsafat yang berujuan untuk merenungkan dan menjelaskan sifat dari matematika. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam Filosofi matematika seperti: Apa dasar untuk pengetahuan matematika? Apakah sifat kebenaran matematika? Apa ciri kebenaran matematika? Apa pembenaran untuk pernyataan mereka? Mengapa kebenaran matematika kebenaran yang diperlukan?. Pendekatan secara luas diadopsi oleh epistemologi, adalah untuk menganggap bahwa pengetahuan dalam bidang apapun diwakili oleh satu set proposisi, bersamasama dengan prosedur untuk memverifikasi atau memberikan pembenaran pada suatu pernyataan. Ketika pembuktian matematika didasarkan pada penarikan kesimpulan saja tanpa dengan data empiris, maka pengetahuan matematika dipahami sebagai pengetahuan yang paling diyakini. Secara tradisional, filsafat matematika bertujuan untuk memberikan dasar kepastian pengetahuan matematika. Yaitu, menyediakan sistem di mana pengetahuan matematika dapat dibuang secara sistematis dalam membangun kebenarannya. Hal ini tergantung pada asumsi yang 6



diadopsi, yaitu secara implisit atau eksplisit. Peran filsafat matematika adalah untuk memberikan landasan yang sistematis dan absolut untuk pengetahuan matematika, yaitu dalam nilai kebenaran matematika. Asumsi ini adalah dasar dari foundationism, doktrin bahwa fungsi filsafat matematika adalah untuk memberikan dasar-dasar tertentu untuk pengetahuan matematika. Pandangan Foundationism terhadap pengetahuan matematika terikat dengan pandangan absolutist, yaitu menganggap bahwa kebenaran matematika adalah mutlak. Berikut beberapa pandangan hakikat matematika secara filosofis menurut menurut filsuf atau matematikawan : 1) Plato, Bagi Plato yang penting, bahkan yang terpenting, adalah tugas akal budi untuk membedakan tampilan (penampakan) dari realita (kenyataan yang sebenar-benarnya). Tugas demikian bukan saja diperlukan oleh para ilmuwan dan filsuf, tetapi juga oleh manusia pada umumnya. Lebih khusus, para penjabat pemerintahan, yang harus mencari sarangnya di dunia tampilan dan harus memahami permasalahan senyatanya. Apa yang dapat dilakukan, dan yang seharusnya dilakukan, agar menjadi pemimpin, praktis atau teoretis, di dunia tampilan, yang selalu berubah, Anda harus tahu realita, yang tidak pernah berubah. Hanya dengan begitulah, kita dapat memahami dan mengatur dunia tampilan di sekitar kita. Derivatif dari bidang filsafat umum yang tinggi dan kering ini ke filsafat Plato tentang matematika terapan dan murni, yakni, perbedaan antara tampilan dan realita menjadi lebih jelas. Plato melihat bahwa orang biasanya membedakan antara apa yang tampak dan apa yang realitanya tanpa keraguan. Pertimbangan mereka semacam kriteria yang kurang jelas. Maka Anda memerlukan objek real yang keberadaannya kira kira bebas dari persepsi Anda dan cara bagaimana Anda menangkapnya. Karena itu objek harus memiliki suatu derajat permanen. Kemudian dapat didefinisikan dengan derajat ketepatan tertentu, dan sebagainya. Realitas entitas absolut ini disebut "dunia ide" atau “bangun ide”, menjadi permanen, abadi, dan bebas dari persepsi. Dunia ide bukan hanya model ideal dari objek fisik saja akan tetapi juga termasuk kejadian-kejadian. Menurut Plato, ketetapan, abadi atau permanen, bebas untuk dipahami haruslah merupakan



7



karakteristik pernyataan-pernyataan matematika. Dan pandangannya bahwa bilangan-bilangan, entitas geometri dan relasi antara entitas-entitas itu objektif, atau paling tidak saling terkait, eksistensinya masuk akal. Plato yakin bahwa terdapat objek-objek yang permanen, tertentu, bebas dari pikir seperti yang Anda sebut “satu”, “dua”, “tiga”, dan sebagainya, yaitu, Bangun Aritmetika. Hal yang sama untuk objek-objek “titik”, “garis”, “lingkaran” dan sebagainya, yakni, bangun geometri. Jadi terdapat dunia ide, permanen, tertentu, yang berlainan dengan dunia cita rasa. Dunia ide dipahami tidak dengan cita rasa, tetapi dengan nalar. Bangun aritmetika dan bangun geometri telah menjadi isi bidang studi matematika. Bagi Plato, matematika murni (pada masanya adalah aritmetika dan geometri Euclid) mendeskripsikan bangun matematis dan realisasi di antara mereka. Matematika terapan melukiskan objek-objek empiris beserta relasi-relasinya. Menurut Plato, matematika bukanlah idealisasi aspek-aspek tertentu dari dunia empiris akan tetapi sebagai deskripsi dari bagian realitanya. 2) Aristoteles, Filsafat matematika Aristoteles sebagian dikembangkan dari oposisinya terhadap Plato (gurunya) dan sebagian lagi bebas dari ajaran Plato. Ia menolak pembedaan Plato antara dunia ide yang disebutnya realita kebenaran, dan bahwa pengalaman cita rasa dikatakan hanya sebagai pendekatan (aproksimasi) dari dunia ide. Bagi Aristoteles, bangun atau esensi sebarang objek empiris, misalnya piring, membangun, sebagiannya, seperti halnya pada materinya. Dalam menyatakan bahwa Anda melihat piring bulat, kita harus tidak menyimpulkan bahwa piring adalah aproksimasi bulat dari bangun



lingkaran.



Aristoteles



membedakan



dengan



tajam



antara



kemungkinan mengabstraksi bulatan dengan karakteristik matematis yang lain dan objek-objek dan kebebasan keberadaannya dari karakteristik atau contoh-contohnya, yakni lingkaran. Ia sering kali menekankan bahwa kemungkinan mengabstraksikan tidak berarti memerlukan kebebasan keberadaan yang diabstraksikan. Bidang studi matematika adalah hasil abstraksi matematis yang ia sebut “objek matematis”. Pandangan Aristoteles tentang hubungan matematika murni dan terapan juga menjadi agak jelas. 8



Pernyataan-pernyataan



dalam



matematika



terapan



harus



mendekati



pernyataan-pernyataan dalam matematika murni. Aristoteles juga banyak mencurahkan



perhatiannya



pada



struktur



keseluruhan



teori



dalam



matematika. Ia membedakan dengan jelas antara: (i) prinsip-prinsip yang berlaku bagi semua sains (dalam bahasa sekarang prinsip-prinsip logika formal yang diduga berlaku dalam pengembangan formulasi dan deduksi sebarang sains), (ii) prinsip khusus yang dianggap benar oleh matematikawan terhalang di dalam demonstrasi teori-teori, (iii) definisi-definisi, yang tidak mengasumsikan apakah yang didefinisikan itu ada, dan (iv) hipotesis keberadaan, yang mengasumsikan bahwa apa yang didefinisikan itu ada. Hipotesis keberadaan ini dalam matematika murni tidak diperlukan. 3) Gottfried Wilhelm Leibniz adalah matematikawan, filsuf, dan fisikawan. Ia banyak menyerupai Plato dan Aristoteles. Dengan yang terakhir adalah sejajar dalam hal doktrin metafisis, yang menyebutkan bahwa setiap proposisi dapat direduksi ke dalam bentuk subjek-predikat. Leibniz mengambil posisi lebih radikal, bahwa predikat sebarang proposisi “termuat” di dalam subjek, paralel dengan doktrin metafisis yang terkenal bahwa dunia terdiri dari subjek yang self-contained (substansi atau monand yang tidak berinteraksi). Dalam bukunya Monandology, yang ditulis dua tahun sebelum kematiannya, ia memberikan sinopsis filsafatnya sebagai berikut : “Terdapatlah, juga, dua macam kebenaran, yaitu kebenaran penalaran dan kebenaran kenyataan (fakta). Kebenaran penalaran adalah perlu dan lawannya adalah tidak mungkin. Kebenaran kenyataan adalah kebetulan dan lawannya adalah mungkin. Apabila suatu kebenaran adalah perlu, alasannya dapat dicari dengan melalui analisis, menguraikannya ke dalam ide-ide kebenaran yang lebih sederhana, sampai Anda tiba di sini tempat yang Anda ... Dengan demikian, kebenaran penalaran, mendasarkan pada “prinsip kontradiksi”, yang diambilnya untuk mengkover prinsip identitas dan prinsip tolak-tengah. Bukan hanya tolologi trivial, tetapi semua aksioma, postulat, definisi, dan teorema matematika, adalah kebenaran penalaran, dengan kata lain,



9



semuanya itu adalah proposisi identik yang sebaliknya adalah suatu pernyataan kontradiksi”. Leibniz, setuju dengan Aristoteles, bahwa setiap proposisi di dalam analisis terakhir berbentuk subjek-predikat. Ia juga percaya bahwa subjek “memuat” predikat. Hal itu harus berlaku untuk semua kebenaran penalaran yang berbentuk subjek-predikat. Dengan demikian, menurutnya, harus benar untuk kebenaran penalaran apa pun. Dalam arti bagaimanakah kebenaran kenyataan (misalnya kebenaran bolpoin Anda berwarna hitam) dipandang sebagai subjek yang memuat predikatnya sangat tidak jelas. Sebenarnyalah untuk menjelaskan asersi bahwa subjek dari kebenaran kenyataan memuat predikatnya, Leibniz harus membawa Tuhan dan ketakhinggaan. Reduksi kebenaran/kebetulan, yang akan menunjukkan predikatnya termuat dalam subjeknya, hanya mungkin bagi Tuhan. Leibniz menjelaskan persoalan ini dengan mengatakan bahwa, seperti dalam kasus pecahan bentuk akar, “reduksi melibatkan proses takhingga dan bahkan mendekati ukuran umum sehingga tertentu tetapi harus diperoleh deretan tak berakhir, demikian pulalah kebenaran-kebetulan memerlukan analisis takhingga, yang hanya Tuhan yang mampu menyelesaikannya. Konsepsi Leibniz tentang bidang studi matematika murni sangat berbeda dengan pandangan Plato dan Aristoteles. Bagi Plato, proposisi matematis adalah serupa proposisi logis dan bahwa proposisi ini bukan objek tertentu yang permanen atau idealisasi hasil abstraksi objek-objek atau sebarang jenis obyek. Proposisi-proposisi itu benar karena penolakannya menjadi tak mungkin secara logis. Anda boleh mengatakan bahwa proposisi-proposisi adalah perlu benar untuk semua objek, semua kejadian yang mungkin, atau menggunakan phrase Leibniz, dalam semua dunia yang mungkin. 4) Kant, Sistem filsafat Kant dikembangkan di bawah pengaruh filsafat rasionalis yang diwakili oleh Leibniz dan filsafat empiris yang diwakili oleh Hume, dan dengan kesadarannya berlawanan dengan keduanya Hume dan Leibniz membagi semua proposisi ke dalam kelas yang eksklusif, yakni, proposisi analisis dan faktual. Kedua filsuf memandang proposisi matematis 10



sebagai analisis. Bagaimanapun, Hume dan Leibniz sangat berbeda dalam hal proposisi faktual. Hume tidak bicara banyak tentang matematika murni. Dengan demikian polemik Kant ditujukan kepada Leibniz. Kant membagi proposisi ke dalam 3 kelas. Pertama proposisi analisis, seperti Leibniz (yakni, proposisi yang negasinya kontradiksi). Proposisi non-analisis disebutnya proposisi sintesis. Kant membedakannya menjadi dua kelas, yakni, yang empiris atau apostteori, dan yang non-empiris atau apriori. Proposisi sintesis apostteori bergantung pada persepsi indera. Dalam sebarang proposisi apriori, jika benar, harus melukiskan persepsi indera yang mungkin (bolpoin saya hitam), atau secara logis berimplikasi pendeskripsian persepsi indera (semua burung gagak adalah hitam). Sebaliknya proposisi sintesis apriori tidak tergantung pada persepsi indrawi. Proposisi-proposisi demikian perlu dalam arti bahwa sebarang proposisi di dunia fisis, mereka ini juga harus benar. Dengan kata lain, proposisi sintesis apriori adalah syarat perlu bagi kemungkinan pengalaman objektif. Jadi, Kant membagi proposisi sintesis apriori ke dalam dua kelas: “intuitif”, dan “diskursif”. Intuitif terutama berkaitan dengan struktur persepsi dan justifikasi perseptual. Diskursif dengan pengurutan fungsi dari pengertian umum. Contoh dari diskursif, proposisi sintetik apriori adalah prinsip sebab-akibat. Semua proposisi matematika murni adalah masuk dalam kelas proposisi sintetis apriori. Kant tidak setuju dengan pandangan pada matematika murni yang menjadikan persoalan definisi dan entitas terpostulatkan berada di bawahnya. Baginya, matematika murni bukanlah analisis, ia sintetis apriori, sebab ia terkait (mendeskripsikan) ruang dan waktu. Jawaban Kant terhadap persoalan sifat matematika murni dan terapan dapat secara kasar dirumuskan sebagai berikut. Proposisi dalam aritmetika dan geometri murni adalah proposisi yang perlu, meskipun proposisi-proposisi itu sintetis apriori, bukan analisis. Sintetis, sebab proposisi-proposisi itu tentang struktur ruang dan waktu terlihat oleh apa yang dapat di konstruksi di dalamnya. Dan apriori sebab ruang dan waktu adalah kondisi invarian (tak berubah) dari sebarang persepsi objek fisik. Proposisi-proposisi dalam matematika terapan, adalah apostteori sepanjang



11



proposisi-proposisi ini tentang persepsi materi empiris dan apriori sepanjang proposisi-proposisi itu mengenai ruang dan waktu. Matematika murni memiliki isi untuk dirinya sendiri struktur ruang dan waktu dan bebas dari materi empiris. Matematika terapan memiliki isi untuk dirinya sendiri struktur ruang dan waktu dengan materi yang mengisinya. D. Pengertian Pendidikan Pendidikan



pada



hakekatnya



adalah



usaha



sadar



manusia



untuk



mengembangkan kepribadian di dalam maupun di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Oleh karenanya agar pendidikan dapat dimiliki oleh seluruh rakyat sesuai dengan kemampuan masyarakat, maka pendidikan adalah tanggung jawab keluarga, masyarakat dan pemerintah. Tanggung jawab tersebut didasari kesadaran bahwa tinggi rendahnya tingkat pendidikan masyarakat berpengaruh pada kebudayaan suatu daerah, karena bagaimanapun juga, kebudayaan tidak hanya berpangkal dari naluri semata-mata tapi terutama dilahirkan dari proses belajar dalam arti yang sangat luas. Secara formal pendidikan itu dilaksanakan sejak usia dini sampai perguruan tinggi. Adapun secara hakiki pendidikan dilakukan seumur hidup sejak lahir hingga dewasa. Waktu kecil pun dalam UU 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pendidikan anak usia dini yang nota bene anak-anak kecil sudah didasari dengan pendidikan yang mengajarkan nilai-nilai moral yang baik agar dapat membentuk kepribadian dan potensi diri sesuai dengan perkembangan anak. Dalam PP 27 tahun 1990 bab 1 pasal 1 ayat 2, disebutkan bahwa sekolah untuk peserta didik yang masih kecil adalah salah satu bentuk pendidikan pra sekolah yang menyediakan program pendidikan dini bagi anak usia 4 tahun sampai memasuki pendidikan dasar (Harianti, 1996: 12). Di samping itu terdapat 6 fungsi pendidikan (Depdiknas 2004: 4) yaitu: 1) Mengenalkan peraturan dan menanamkan disiplin kepada anak. 2) Mengenalkan anak pada dunia sekitarnya. 3) Menumbuhkan sikap dan perilaku yang baik.



12



4) Mengembangkan kemampuan berkomunikasi dan bersosialisasi. 5) Mengembang ketrampilan, kreativitas, dan kemampuan yang dimiliki anak. 6) Menyiapkan anak untuk memasuki pendidikan dasar. Dari beberapa uraian di atas inilah, maka pendidikan yang menanamkan nilai-nilai positif akan tepat dimulai ketika anak usia dini. Dengan demikian pendidikan bagi peserta didik yang masih kecil merupakan landasan yang tepat sebelum masuk pada pendidikan yang lebih tinggi. Pendidikan anak usia dini merupakan pendidikan awal yang sesuai dengan tujuan untuk mengembangkan sosialisasi anak, menumbuhkan kemampuan sesuai dengan perkembangannya, mengenalkan lingkungan kepada anak, serta menanamkan disiplin, karena secara tidak langsung dapat menanamkan atau mentransfer nilai-nilai moral dan nilai sosial kepada anak. E. Tujuan Pendidikan Fitur penting dari pendidikan adalah bahwa pandidikan merupakan kegiatan yang disengaja (Oakshott 1967; Hirst dan Peters, 1970). Niat yang mendasari kegiatan ini, dinyatakan dalam tujuan dan hasil yang diinginkan, merupakan tujuan pendidikan. Sejumlah istilah berbeda digunakan untuk mengacu pada hasil termasuk maksud (aims), tujuan (goals), target (target) dan tujuan (objectives). Sejak Taba (1962), perbedaan dalam pendidikan umumnya digambarkan antara tujuan pendidikan jangka pendek (objectives) dan tujuan luas, tujuan jangka panjang dan yang kurang spesifik (aims). Hirst (1974) berpendapat bahwa tidak ada yang diperoleh dengan membuat perbedaan, dan lebih memilih istilah tujuan dengan menggunakan kata objectives. Jadi, misalnya. entri indeks untuk tujuan (aims) dalam Hirst (1974) baca ‘see objectives of education’. Dia berpendapat bahwa pergeseran menuju istilah yang lebih teknis saja (pergeseran menggunakan istilah objectives) menunjukkan tumbuhnya kesadaran bahwa deskripsi rinci untuk pencapaian yang kita kejar memang benar-benar diinginkan. Berbicara tentang tujuan (objectives) kurikulum aku akan benar-benar mengingat hal tersebut sebagai deskripsi ketat tentang apa yang akan dipelajari dan yang tersedia (Hirst, 1974) Jadi Hirst, dalam kesesuaiannya dengan kedua pandangan sistem kurikulum dan psikologi 13



behavioris, melihat tujuan (aims) dan sasaran (objectives) secara teknis dan normatif. Mereka adalah sarana dalam mendesain kurikulum rasional, sarana menentukan apa kurikulum seharusnya. Hal ini adalah pandangan yang tersebar luas di seluruh literatur tentang teori kurikulum, yang telah digambarkan sebagai asumsi masyarakat statis, kurangnya konflik, dan akhir dari ideologi (Inglis, 1975). Namun, spesifikasi tujuan pendidikan juga dapat menjadi tujuan lain. Tujuan (purpose) tersebut salah satunya adalah kritik dan pembenaran praktek pendidikan, dengan kata lain, evaluasi pendidikan, baik teoritis atau praktis. Dalam arti luas, evaluasi pendidikan berkaitan dengan nilai praktek pendidikan. Sebaliknya, pendekatan teknis dan normatif terhadap maksud (aims) dan tujuan (objectives), dengan memfokuskan pada hasil pembelajaran tertentu, menerima banyak konteks dan status quo pendidikan sebagai suatu yang tidak problematis. Konteks sosial dan politik pendidikan dan pandangan yang diterima dari sifat pengetahuan dilihat sebagai latar belakang tetap yang padanya perencanaan kurikulum terjadi. Stenhouse mengakui hal ini. Terjemahan dari struktur mendalam (deep structure) dari pengetahuan ke dalam tujuan perilaku merupakan salah satu penyebab utama dari distorsi pengetahuan di sekolah seperti yang dicatat oleh Young (1971a), Bernstein (1971) dan Esland (1971). Penyaringan pengetahuan melalui analisis tujuan memberikan wewenang dan kekuasaan kepada sekolah atas siswanya dengan menetapkan batas arbitrary untuk spekulasi dan dengan mendefinisikan solusi arbitrary terhadap masalah pengetahuan yang belum terselesaikan. Hal ini menerjemahkan guru dari peran siswa bidang pengetahuan kompleks kepada versi peran master sekolah yang disepakati dalam bidangnya. (Stenhouse, 1975). Pendidikan adalah kegiatan yang disengaja, dan pernyataan dari niat yang mendasari merupakan tujuan pendidikan. Namun niat tidak ada dalam abstrak, dan untuk menganggap bahwa mereka menyebabkan adanya objetifikasi palsu. Setiap penjelasan tentang tujuan perlu menentukan kepemilikannya, untuk tujuan dalam Pendidikan merupakan tujuan dari individu atau kelompok. Sockett mengatakan: “tindakan manusia yang disengaja harus berdiri di tengah sebuah alasan dari maksud dan tujuan kurikulum” (Sockett, 1975).



14



Tujuan pendidikan, oleh karenanya, bukan produk akhir yang padanya proses pendidikan merupakan sarana instrumental. Mereka merupakan ekspresi nilai-nilai dimana beberapa karakter pendidikan khas yang diberikan, atau yang dianut dari, apa pun ‘cara’ yang sedang digunakan. (Carr dan Kemmis, 1986). Bertujuan mengekspresikan filsafat pendidikan individu dan kelompok sosial, dan karena pendidikan merupakan proses sosial yang kompleks, sarana untuk mencapai tujuantujuan ini juga harus dipertimbangkan. Karena nilai-nilai yang terkandung dalam tujuan pendidikan harus menentukan, atau setidaknya membatasi, cara mencapainya. Sebagaimana kita ketahui, bahwa pendidikan adalah merupakan suatu pekerjaan yang sangat kompleks dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Hasil dari suatu pendidikan tidak segera dapat kita lihat hasilnya atau kita rasakan. Di samping itu hasil akhir dari pendidikan ditentukan pula oleh hasil-hasil dari bagianbagian dari pendidikan yang sebelumnya. Untuk membawa anak kepada tujuan akhir, maka perlu anak diantar terlebih dahulu kepada tujuan dari bagian-bagian pendidikan. Menurut Langeveld dalam (Ahmadi dan Uhbiyati 2007 :105) tujuan pendidikan bermacam-macam yaitu : 1) Tujuan Umum, tujuan ini juga disebut tujuan total, tujuan yang sempurna atau tujuan akhir. Bahwa tujuan akhir dari pendidikan itu ialah untuk membentuk insan kamil atau manusia sempurna. 2) Tujuan Khusus, untuk menuju kepada tujuan umum itu, perlu adanya pengkhususan tujuan yang disesuaikan dengan kondisi dan situasi tertentu misalnya, disesuaikan dengan cita-cita pembangunan bangsa, disesuaikan dengan tugas dari suatu badan atau lembaga pendidikan, disesuaikan dengan bakat kemampuan anak didik.,disesuaikan dengan tingkat pendidikan dan sebagainya. Tujuan-tujuan pendidikan yang telah disesuaikan dengan keadaan-keadaan tertentu, dalam rangka untuk mencapai tujuan umum pendidikan inilah yang dimaksud dengan tujuan khusus. 3) Tujuan Tak Lengkap, tiap-tiap aspek pendidikan mempunyai tujuan-tujuan pendidikan sendiri-sendiri. Tujuan dari aspek-aspek pendidikan inilah yang dimaksud tujuan pendidikan tak lengkap. Sebab masing-masing aspek 15



pendidikan itu menganggap seolah-olah dirinya terlepas dari aspek pendidikan yang lain. Pada hal masing-masing pendidikan itu hanyalah merupakan bagian-bagian dari pendidikan secara keseluruhan. Oleh karena itu tujuan dari masing-masing aspek itu harus dilengkapi dengan tujuan dari aspek-aspek yang lain. 4) Tujuan Insidentil (tujuan seketika atau sesaat), tujuan ini timbul secara kebetulan , secara mendadak dan hanya bersifat sesaat. Misalnya, tujuan untuk mengadakan hiburan atau variasi dalam kehidupan sekolah. Maka diadakanlah darmawisata ke suatu tempat. Dalam hai ini tujuan itu telah selesai, setelah darmawisata itu dilaksanakan. 5) Tujuan Sementara, tujuan sementara adalah tujuan-tujuan yang ingin kita capai dalam fase-fase tertentu dalam pendidikan. Misalnya : anak dimasukkan ke sekolah. Tujuanya ialah agar anak dapat membaca dan menulis. Dapat membaca dan menulis inilah yang disebut tujuan sementara. Tujuan yang lebih lanjut ialah agar anak dapat belajar ilmu pengetahuan dari buku-buku. Dapat belajar dari buku inipun menjadi tujuan sementara. Tujuan sebenarnya ialah agar anak dapat memiliki iulmu pengetahuan tertentu. Memiliki ilmu pengetahuan inipun merupan tujuan sementara. Dan begitulah seterusnya. Demikian tujuan-tujuan sementara ini semakin meningkat untuk menuju kepada pengetahuan umum, tujuan total atau tujuan akhir. 6) Tujuan Perantara, Tujuan perantara disebut juga tujuan intermediair. Tujuan inilah adalah merupakan alat atau sarana untuk mencapai tujuantujuan yang lain. Misalnya : kita belajar bahasa Inggris atau bahasa Belanda, atau yang lain. Tujuan belajar bahasa ini ialah, agar kita dapat mempelajari buku-buku yang tertulis dalam bahasa Inggris atau dalam bahasa yang lain. Jadi kita belajar bahasa asing di sini hanyalah merupakan sekedar alat saja. Demikian macam-macam tujuan pendidikan, yang kesemuanya mengarah kepada tujuan umum pendidikan. Yaitu menuju kehidupan sebagai insal kamil, dimana terjamin adanya hakikat manusia secara harmonis. Berbagai macan uraian dari tujuan pendidikan diatas maka dapat di simpulkan bahwa



16



pendidikan bertujuan untuk mengembangkan manusia agar supaya memiliki ketrampilan dan mampu bersaing dan berdaya guna bagi bangsa dan negara. F. Filsafat Pendidikan Dalam arti yang luas dapatlah dikatakan bahwa filsafat pendidikan adalah pemikiran-pemikiran filsafat tentang pendidikan. Ada yang berpendapat bahwa filsafat pendidikan ialah filsafat tentang proses pendidikan, dan pada sisi lain ada yang berpendapat filsafat pendidikan ialah filsafat tentang disiplin ilmu pendidikan.. Filsafat tentang proses pendidikan bersangkut paut dengan cita-cita, bentuk, metode, dan hasil dari proses pendidikan. Sedangkan filsafat tentang disiplin ilmu pendidikan bersifat metadisiplin, dalam arti bersangkut paut dengan konsep-konsep, ide-ide, dan metode-metode ilmu pendidikan. Secara historis, filsafat pendidikan yang dikembangkan oleh para filsuf, seperti Aristoteles, Augustinus, dan Locke, adalah filsafat tentang proses pendidikan sebagai bagian dari sistem filsafat yang mereka anut. Adapun filsafat pendidikan yang dikembangkan pada akhir-akhir ini, oleh pengaruh filsafat analitik, merupakan filsafat tentang ilmu pendidikan, yakni, sejarah pendidikan, sosiologi pendidikan, dan psikologi pendidikan. Ada beberapa aliran filsafat yang begitu mempengaruhi filsafat pendidikan. Beberapa di antaranya diuraikan di bawah ini. 1) Filsafat analitik. Filsafat pendidikan analitik tidak mengetengahkan dan tidak membahas proposisi-proposisi substantif atau pun persoalan-persoalan faktual dan normatif tentang pendidikan. Filsafat ini menganalisis dan menguraikan istilah-istilah dan konsep-konsep pendidikan seperti pengajaran (teaching), kemampuan (ability), pendidikan (education), dan sebagainya. Filsafat ini mengecam dan sekaligus mengklarifikasi berbagai slogan pendidikan seperti “ajarlah anak, bukan pelajaran” (teach children, not subject matter). Alat-alat yang digunakan oleh filsafat pendidikan analitik untuk melaksanakan tugasnya adalah logika dan linguistik serta teknik-teknik analisis yang berbeda-beda dari filsuf yang satu dengan filsuf yang lain. 2) Progressivisme. Filsafat ini berpendapat bahwa pendidikan bukanlah sekedar mentransfer pengetahuan kepada anak-anak, melainkan melatih kemampuan dan keterampilan berpikir dengan cara memberi rangsangan 17



yang tepat. John Dewey (tokoh pragmatisme), termasuk dalam golongan progressivisme. Ia mengatakan bahwa sekolah adalah institusi sosial. Selanjutnya, pendidikan adalah proses kehidupan, bukan mempersiapkan anak untuk masa depan. Pendidikan adalah proses kehidupan itu sendiri, maka kebutuhan individual anak-anak harus diutamakan, bukan berorientasi mata pelajaran (subjeck matter oriented). 3) Eksistensialisme. Filsafat ini menyatakan bahwa yang menjadi tujuan utama pendidikan bukan agar anak didik dibantu bagaimana menanggulangi masalah-masalah eksistensial mereka, melainkan agar dapat mengalami secara penuh eksistensi mereka. Para pendidik eksistensialis akan mengukur hasil pendidikan bukan semata-mata pada apa yang telah dipelajari dan diketahui oleh si anak didik, akan tetapi yang lebih penting adalah apa yang mampu mereka ketahui dan alami. Para pendidik eksistensialis menolak pendidikan dengan sistem indoktrinasi. 4) Rekonstruksionisme. Filsafat ini berpendapat bahwa pendidikan merupakan reformasi sosial yang menghendaki “renaissance sivilisasi modern”. Para pendidik rekonstruksialis melihat bahwa pendidikan dan reformasi sosial itu sesungguhnya adalah sama. Mereka memandang kurikulum sebagai problemcentered. Pendidikan pun harus berani menjawab pertanyaan George S. Cout: “Beranikah sekolah-sekolah membangun suatu orde sosial baru?” G. Filsafat Pendidikan Matemaika Ada yang mempermasalahkan istilah “pendidikan matematika” dan “matematika pendidikan”. Kita tidak akan mempermasalahkan mana yang lebih benar. Filsafat pendidikan matematika lebih menyoroti proses pendidikan dalam bidang matematika. Menurut Wein (1973), pendidikan matematika adalah ”suatu studi aspek-aspek tentang sifat-sifat dasar dan sejarah matematika beserta psikologi belajar dan mengajarnya yang akan berkontribusi terhadap pemahaman guru dalam tugasnya bersama siswa, bersama-sama studi dan analisis kurikulum sekolah, prinsip-prinsip yang mendasari pengembangan dan praktik penggunaannya di kelas” Dengan demikian, filsafat pendidikan matematika mempersoalkan masalahmasalah sifat dasar matematika,, sejarah matematika, psikologi belajar matematika, 18



teori mengajar matematika, psikologi anak dalam kaitannya dengan belajar matematika, pengembangan kurikulum matematika sekolah, dan pelaksanaan kurikulum matematika di kelas. Dalam filsafat pendidikan matematika ini secara khusus akan dikemukakan Filsafat Konstruktivisme yang sejak tahun sembilan puluhan banyak diikuti. Pada tahun 1983, Resnick menerbitkan catatan tentang pengertian baru “belajar matematika”. Ia menjelaskan bahwa “seseorang yang belajar itu membentuk pengertian”. Bettencount (1989) menuliskan bahwa orang yang belajar itu tidak hanya meniru atau merefleksikan apa yang diajarkan atau yang ia baca, melainkan menciptakan pengertian. Pengetahuan atau pengertian dibentuk oleh siswa yang aktif, bukan hanya diterima secara pasif dari gurunya. Dalam penelitiannya tentang miskonsepsi, Fisher dan Lipson, 1986, mendapati bahwa dalam belajar matematika “pengetahuan dan pengertian mencakup suatu proses aktif dan konstruktif”. Konstruktivisme mempengaruhi banyak studi tentang “salah pengertian” (misconceptions) dan pengertian alternatif dalam belajar matematika. Di Universitas Cornell, pada Konferensi Internasional tentang Miskonsepsi I, 1983, disajikan 69 makalah. Pada konferensi II, 1987, membengkak menjadi 160 makalah, dan konferensi III, 1993, lebih membengkak lagi menjadi 250 makalah. Ini menunjukkan bahwa konstruktivisme sedang naik daun. Ringkasnya, gagasan konstruktivisme tentang pengetahuan adalah sebagai berikut (von Glaserfeld dan Kitchener, 1987). 1) Pengetahuan bukanlah gambaran kenyataan belaka, tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek. 2) Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu untuk pengetahuan. 3) Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi membentuk pengetahuan apabila konsepsi berlaku dalam berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang dan disebut konsep itu jalan. Dalam proses konstruksi, menurut Glaserfeld, diperlukan berbagai kemampuan: kemampuan mengingat dan mengungkap kembali pengalaman, kemampuan



19



membandingkan, mengambil keputusan mengenai kesamaan dan perbedaan, dan kemampuan untuk lebih menyenangi pengalaman yang satu daripada pengalaman yang lain. Belajar merupakan proses aktif pelajar mengonstruksi makna atau arti baik dari teks, dialog, pengalaman fisis, atau lainnya. Belajar juga menyatakan proses mengasimilasi dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang telah dipelajari dengan pengertian yang sudah dipunyai pelajar sehingga pengertiannya berkembang. Cirinya adalah sebagai berikut: 1) Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan oleh siswa dari apa yang dilihat, dirasakan, dan dialami. Konstruksi makna dipengaruhi oleh pengertian yang sudah dimilikinya. 2) Konstruksi makna itu adalah proses yang terus menerus. Setiap kali berhadapan dengan fenomena baru diadakanlah konstruksi. 3) Belajar bukanlah hasil pengembangan, melainkan pengembangan itu sendiri, perkembangan menuntut penemuan dan pengaturan kembali pikiran siswa. 4) Proses belajar yang sesungguhnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam keraguan, yang merangsang pikiran lebih lanjut. 5) Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman siswa dengan dunia fisik dan alam sekitarnya. 6) Hasil belajar siswa dipengaruhi oleh apa yang telah diketahui siswa: konsep, tujuan, dan motivasi yang mempengaruhi interaksi dengan bahan yang dipelajari. Menurut konstruktivisme, kegiatan belajar adalah kegiatan yang aktif. Siswa membangun sendiri pengetahuannya. Siswa mencari makna sendiri dari apa yang dipelajari. Proses mencari ini adalah proses menyesuaikan konsep dan ide-ide baru dengan kerangka berpikir yang telah ada dalam pikiran siswa. Siswa sendirilah, yang bertanggung jawab atas hasil belajarnya (Shymanski, 1992). Menurut konstruktivisme, mengajar bukanlah memindahkan (mentransfer) pengetahuan dari guru kepada siswa, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti berpartisipasi dengan siswa dalam membentuk pengetahuan, membuat makna,



20



mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi. Jadi, mengajar adalah suatu bentuk belajar sendiri (Bettencount, 1989). Berpikir yang baik lebih penting daripada mempunyai jawaban yang baik terhadap suatu persoalan yang sedang dipelajari. Siswa yang mempunyai cara berpikir yang baik, dalam arti bahwa cara berpikirnya dapat digunakan untuk menghadapi fenomena baru (= jalan), akan menemukan pemecahan dalam menghadapi persoalan yang lain. Jika cara berpikir ini berdasarkan pengandaian yang salah atau tidak dapat diterima pada saat itu, siswa masih dapat mengembangkan pikirannya. Mengajar, dalam konteks ini, adalah membantu siswa berpikir secara benar dengan membiarkannya berpikir sendiri. Menurut prinsip konstruktivisme, peran guru adalah sebagai mediator dan fasilitator yang membantu siswa agar proses belajar siswa berjalan dengan baik. Tekanannya ada pada siswa yang belajar dan bukan pada guru yang mengajar. Penjabaran guru sebagai mediator dan fasilitator adalah sebagai berikut. 1) Menyediakan kegiatan-kegiatan yang memungkinkan siswa bertanggung jawab dalam membuat rancangan, proses, dan penelitian (bukan ceramah). 2) Menyediakan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa dan membantu siswa mengungkapkan ide ilmiahnya. Menyediakan sarana yang mendukung berpikir produktif. Menyediakan pengalaman yang mendukung proses belajar. 3) Memonitor, mengevaluasi, dan menunjukkan apakah pikiran siswa jalan atau tidak. Guru mempertanyakan apakah pengetahuan siswa berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang terkait. Guru membantu mengevaluasi kesimpulan siswa



21



BAB III PENUTUP Kesimpulan 



Filsafat pendidikan adalah pemikiran-pemikiran filsafat tentang pendidikan. Dapat mengonsentrasikan pada proses pendidikan, dapat juga pada ilmu pendidikan. Jika mengutamakan proses pendidikan, yang dipersoalkan adalah cita-cita, bentuk, metode, dan hasil dari proses pendidikan. Jika mengutamakan ilmu pendidikan maka yang menjadi pusat perhatian adalah konsep, ide, dan metode pengembangan dalam ilmu pendidikan. Filsafat pendidikan matematika termasuk filsafat yang membahas proses pendidikan dalam bidang studi matematika. Aliran-aliran yang berpengaruh dalam



filsafat



pendidikan



antara



filsafat



analitik,



progesivisme,



eksistensialisme, rekonstruksionisme, dan konstruktivisme. 



Pendidikan matematika adalah bidang studi yang mempelajari aspek-aspek sifat dasar dan sejarah matematika, psikologi belajar dan mengajar matematika, kurikulum matematika sekolah, baik pengembangan maupun penerapannya di kelas.







Filsafat konstruktivisme banyak mempengaruhi pendidikan matematika sejak tahun sembilan puluhan. Konstruktivisme berpandangan bahwa belajar adalah membentuk pengertian oleh si belajar. Jadi siswa harus aktif. Guru bertindak sebagai mediator dan fasilitator.



22



DAFTAR PUSTAKA Ernest, Paul. (2004). The Philosophy of Mathematics Education : Studies in Mathematics Education. British Library Cataloguing in Publication Data. Sukardjono. (____). Hakikat dan Sejarah Matematika. Universitas Terbuka diambil dari (http://repository.ut.ac.id/4690/2/PEMA4101-M1.pdf diakses pada 28 April 2017).