FINAL Laporan Uji Bioekivalensi Obat [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN PRAKTIKUM IV UJI BIOEKIVALENSI OBAT



Disusun Oleh: Kelompok 5



1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.



Ramdan Aresta Permana Ririn Artha Mulya Riska Permatasari Risnawati Rokhimatul Maula Sarah Zulfa Saila Sindi Widia



170106037 170106038 170106039 170106040 170106041 170106042 170106043



Dosen Pengampu : Titian Daru AT. M.Farm, Asisten : Hesti Lestrasi PROGRAM STUDI FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANDUNG Jalan Soekarno-Hatta No. 752 Kota Bandung Prov. Jawa Barat Kode pos : 40614



I.



TUJUAN PRAKTIKUM I.1 Dapat menentukan status bioekivalensi dari suatu produk obat yang diuji I.2 Merancang penelitian uji bioavailabilitas dan bioekivalensi suatu produk obat



II.



DASAR TEORI Bioekuivalensi



merupakan



istilah



yang



lebih



relatif



yang



membandingkan satu produk obat dengan yang lain atau dengan satu produk standar yang sudah dikembangkan. Bioekivalensi mengindikasikan bahwa suatu obat dalam dua atau lebih bentuk dosis yang sama mencapai sirkulasi umum pada tingkat relatif yang sama dan keberadaan relatif yang sama. Studi bioekivalensi produk obat pada umumnya dengan maksud membandingkan bioavailabilitas antara suatu formulasi baru obat standar dibandingkan terhadap formulasi asli/lama, atau suatu bentuk pemakaian baru obat dibandingkan



terhadap



formulasi



yang



diperdagangkan.



Tujuan



uji



bioekivalensi baik di pedoman WHO maupun di Indonesia adalah sama yaitu untuk menjamin bahwa obat copy yang beredar mempunyai standar yang sama dengan produk inovatornya (FDA, 2003) Dua sediaan obat yang ber-ekivalensi kimia tetapi tidak ber-ekivalensi biologik dikatakan memperlihatkan bioinekivalensi. Terutama terjadi pada obat - obat yang absorpsinya lambat karena sukar larut dalam cairan saluran cerna dan obat yang mengalami metabolisme selama absorpsinya. Jika sampai dengan 10% umumnya tidak menimbulkan perbedaan berarti dalam efek kliniknya artinya memperlihatkan ekivalensi terapi. Jika lebih dari 10% dapat menimbulkan inekivalensi terapi (Aiache, 1993) Uji dirancang



bioekivalensi untuk



adalah



uji



bioavailabilitas



komparatif



yang



menunjukkan bioekivalensi antar produk uji dengan



produk obat pembanding (BPOM, 2004). Uji ini diperlukan karena metode fabrikasi dan formulasi dapat mempengaruhi bioavailabilitas produkproduk obat tersebut (Abdou, 1989)



Bioavailabilitas adalah jumlah dan kecepatan zat aktif dalam suatu produk obat yang mencapai/tersedia dalam sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh atau aktif setelah pemberian produk obat tersebut, diukur dari kadarnya dalam darah terhadap waktu atau dari ekskresinya dalam urin. Dua produk disebut bioekivalen jika mempunyai ekivalensi farmasetik (mengandung zat aktif yang sama) atau merupakan alternatif farmasetik (mengandung zat aktif yang sama tetapi berbeda dalam bentuk sediaan atau kekuatan) dan pada pemberian dengan dosis molar yang sama



akan



menghasilkan bioavailabilitas yang sebanding sehingga efeknya akan sama, baik dalam hal efikasi maupun keamanan (BPOM, 2004; Shargel, 1999). Bioavailabilitas terbagi menjadi dua, yaitu : 1.



Bioavailabilitas absolut Bioavailabilitas zat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik dari suatu sediaan obat dibandingkan dengan bioavailabilitas zat aktif diukur dengan membandingkan AUC produk yang diberikan secara oral dengan intravena



2.



Bioavailabilitas relatif Bioavailabilitas zat aktif diukur dengan membandingkan AUC suatu sediaan obat terhadap standar yang diketahui yang mencapai sirkulasi sistemik dari suatu sediaan obat dibandingkan dengan bentuk sediaan lain selain intravena (Hakim,2002)



Obat yang harus diuji bioekivalensinya adalah obat oral dengan pelepasan segera, yaitu: 1. Non-linier farmakokinetik. 2. Obat oral yang diberikan untuk kondisi segera. 3. Obat oral dengan indeks terapi sempit. 4. Obat oral dengan sifat fisikokimia tidak menguntungkan (Amril, 2006) Obat-obat yang tidak memerlukan pengujian bioekuivalensi 1. Produk obat copy untuk penggunaan intravena.



2. produk obat copy untuk penggunaan parenteral lain (intramuskular, subkutan). 3. Produk obat copy berupa larutan untuk penggunaan oral (sirup, eliksir, ataularutan bukan suspensi). 4. Produk obat copy berupa bubuk unturk dilarutkan dan sebagai larutan 5. Produk oba t copy berupa gas. 6. Produk obat copy larutan untuk tetes mata / telinga (Amril, 2006) Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam uji bioavailabilitas dan bioekivalensi 1. Adanya pemahaman terhadap farmakokinetik obat (adsorbsi, distribusi, metabolisme, dan eliminasi). 2. Pemilihan metode analisis yang tepat : hal ini diperlukan untuk mengetahui efek samping, efek toksik, dan penanganan terhadap efekefek tersebut. 3. Stabilitas obat dalam sampel. 4. Penyusunan percobaan protocol yang tepat : sebelum dilakukan uji sebaiknya mendapat persetujuan dari BPOM dan dilakukan kajian etik terlebih dahulu. Protokol harus lulus kajian ilmiah (Aiache, 1993) Faktor farmasetik yang mempengaruhi biovailabilitas obat aktif (Shargel dan Andrew, 2005): 1. Disintegrasi Sebelum absorpsi terjadi, suatu produk obat padat harus mengalami disintegrasi ke dalam partikel-partikel kecil dan melepaskan obat. 2. Pelarutan Pelarutan merupakan proses di mana suatu bahan kimia atau obat menjadi terlarut dalam suatu pelarut. Laju pelarutan obat-obat dengan kelarutan dalam air sangat kecil dari bentuk sediaan padat yang utuh atau terdisintegrasi dalam saluran cerna sering mengendalikan laju absorbsi sistemik obat. Obat yang terlarut dalam larutan jenuh dikenal sebagai ”stagnant layer”, berdifusi ke pelarut dari daerah konsentrasi tinggi ke daerah konsentrasi obat yang rendah. Laju pelarutan adalah jumlah obat yang terlarut per satuan luas per waktu (misal g/cm2.menit). Laju pelarutan



dipengaruhi pula oleh sifat fisikokimia obat, formulasi, pelarut, suhu media dan kecepatan pengadukan 3. Sifat Fisikokimia Obat Sifat fisika dan kimia partikel-partikel obat padat mempunyai pengaruh yang besar pada kinetika pelarutan. Sifat-sifat ini terdiri atas: luas permukaan, bentuk geometrik partikel, derajat kelarutan obat dalam air, dan bentuk obat yang polimorf. 4. Faktor Formulasi Yang Mempengaruhi Uji Pelarutan Obat Berbagai bahan tambahan dalam produk obat juga mempengaruhi kinetika pelarutan obat dengan mengubah media tempat obat melarut atau bereaksi dengan obat itu sendiri. Misalnya, magnesium stearat (bahan pelincir tablet) dapat menolak air, dan bila digunakan dalam jumlah besar dapat menurunkan pelarutan. Natrium bikarbonat dapat mengubah pH media. Untuk obat asam seperti aspirin dengan media alkali akan menyebabkan obat tersebut melarut cepat. Serta, bahan tambahan yang berinteraksi dengan obat dapat membentuk kompleks yang larut atau tidak larut dalam air, contoh tetrasiklina dan kalsium karbonat membentuk kalsium tetrasiklina yang tidak larut air. III.



ALAT DAN BAHAN No. 1.



IV.



Alat



Bahan Data percobaan praktikum bioekivalensi : uji disolusi terbandung



PROSEDUR PERCOBAAN IV.1 Menyusun data AUC dari masing-masing obat yang telah di uji dan menentukan obat yang akan di jadikan sebagai standar



IV.2 Menghitung Frel dan Fabs



V.



VI.3 Status bioekivalensi dari sampel yang di uji di simpulkan DATA DAN PERHITUNGAN 1. Hitunglah bioavailabilitas (F) suatu sediaan obat berupa Emulsi Oral (konsentrasi zat aktif 50 mg/ml) apabila dibandingkan dengan sediaan injeksi intravena (konsentrasi zat aktif 100 mg/ml), dimana dosis yang diberikan untuk emulsi oral adalah dua sendok teh sedangkan dosis injeksi IV adalah 2 ml. Data kadar obat dalam plasma terhadap waktu adalah sebagai berikut : T (Jam ) 0.5 1 1.5 2 3 4 6 8



T (jam) 0



Kadar (µg/ml) Emulsi Injeksi Oral Intravena 2.35 4.91 5.84 4.22 8.1 3.62 9.41 3.1 7.03 2.25 5.2 1.61 2.79 0.76 1.51 0.26 AUC



Kadar (µg/ml) Emulsi oral



Injeksi Intravena 0



LN EO #NUM!



LN Iv #NUM!



EO



AUC Iv



0.5 1 1.5 2 3 4 6 8



2.35 5.84 8.1 9.41 7.03 5.2 2.79 1.51



F Abs



4.91 4.22 3.62 3.1 2.25 1.61 0.76 0.26 Jumlah AUC F. Abs



0.854415328 1.764730797 2.091864062 2.241772954 1.950186706 1.648658626 1.026041596 0.412109651



1.591273942 1.439835128 1.286474026 1.131402111 0.810930216 0.476234179 -0.274436846 -1.347073648



=



AUC Eo 500,000 µg /ml x x 100 % AUC Iv 200,000 µg /ml



=



37.1225 500,000 µg /ml x x 100 % 15.145 200,000 µg /ml



0.5875 1.2275 2.0475 2.2825 3.485 1.96 4.3775 1.68 8.22 2.675 6.115 1.93 7.99 2.37 4.3 1.02 37.1225 15.145 98,0148%



= 98,0148%



2. Nyatakan status bioekivalensi dari ketiga sediaan tablet uji (A, B, C) terhadap sediaan standar (STD) dengan data sebagai berikut :



Sukarelawa n 1 2 3 4 5 6 7 8



Tablet A 13.7 19.8 18.6 12.8 13.1 17.5 12 15.4



AUC (µg/ml.jam) Tablet Tablet Tablet B C STD 18.7 9.2 15.4 19.6 10.2 18.6 17.1 14.2 18.9 19.9 12.7 18 16.9 10 16.8 17 7.9 16.1 16.8 14.1 17.5 16.5 11 17.1



TABLET A (AUC



TABLET B (AUC



TABLET C (AUC



A/AUC STD) X 100% 13.7 1. X 100% = 88.96% 15.4 19.8 2. X 100% = 18.6



B/AUC STD) X 100% 18.7 1. x 100% = 15.4



C/AUC STD) X 100% 9.2 1. x 100% = 15.4



106.45%



121.42%



19.6 2. x 100% = 18.6



59.74% 2.



10.2 x 100% =54.83% 18.6



18.6 X 100% = 98.41% 18.9 12.8 4. X 100% = 71.11% 18 13.1 5. X 100% = 77.97% 16.8 17.5 6. X 100% = 16.1 3.



106.87%



17.1 3. x 100% = 90.47% 18.9 19.9 4. x 100% = 18



3.



75.13% 4.



110.55% 5.



100.59%



12 X 100% = 68.57% 17.5 15.4 8. X 100% =90.05% 17.1 7.



6.



12.7 x 100% = 18 70.55%



16.9 5. x 100% = 16.8



108.69%



14.2 x 100% = 18.9



10 x 100% = 16.8 59.52%



17 x 100% = 16.1



6.



105.59%



7.9 x 100% = 16.1 49.06%



16.8 x 100% = 96% 17,5 16.5 8. x 100% = 96.49% 17.1 7.



7.



14.1 x 100% = 17.5 80.57%



8.



11 x 100% = 17.1 64.32%



Tablet A Sukarelawa n 1 2 3 4 5 6 7 8 Jumlah Rata-rata



AUC (µg/ml.jam) Tablet A 13.7 19.8 18.6 12.8 13.1 17.5 12 15.4



Tablet STD 15.4 18.6 18.9 18 16.8 16.1 17.5 17.1



F. rel 88.96103896 106.4516129 98.41269841 71.11111111 77.97619048 108.6956522 68.57142857 90.05847953 710.2382121 88.77977652



Tablet B Sukarelawa n 1 2 3 4 5



AUC (µg/ml.jam) Tablet B 18.7 19.6 17.1 19.9 16.9



Tablet STD 15.4 18.6 18.9 18 16.8



F. rel 121.4285714 105.3763441 90.47619048 110.5555556 100.5952381



6 7 8



17 16.8 16.5 Jumlah Rata-rata



16.1 17.5 17.1



105.5900621 96 96.49122807 826.5131898 103.3141487



Tablet C Sukarelawa n



Tablet C 1 2 3 4 5 6 7 8



VI.



AUC (µg/ml.jam) 9.2 10.2 14.2 12.7 10 7.9 14.1 11 Jumlah Rata-rata



Tablet STD 15.4 18.6 18.9 18 16.8 16.1 17.5 17.1



F. rel 59.74025974 54.83870968 75.13227513 70.55555556 59.52380952 49.06832298 80.57142857 64.32748538 513.7578466 64.21973082



PEMBAHASAN Bioekivalen adalah dua produk obat yang mempunyai ekivalensi



farmaseutik atau merupakan alternatif farmasetik dan pada pemberian dengan dosis yang sama maka akan memberikan hasil bioavailabilitas yang sama sehingga efeknya akan sama dalam hal efikasi maupun keamanan. Uji ini diperlukan karena metode fabrikasi dan formulasi dapat mempengaruhi bioavailabilitas pada produk-produk obat (Abdou 1989). Pada praktikum kali ini dilakukan penelitian uji bioavaibilitas dan bioekivalesi. Pengujian ini dilakukan dengan tujuan untuk memastikan bahwa suatu obat yang akan beredar di pasar telah melewati serangkaian pengujian antara lain untuk membuktikan bahwa obat tersebut memiliki khasiat seperti yang di harapkan, aman digunakan dan tidak menimbulkan efek negative yang tidak diinginkan dengan proses produksi yang telah distandardisasi. biasanya uji bioekivalensi ini dilakukan untuk pada obat generik agar dapat dipastikan apabila obat tersebut beredar di masyarakat memenuhi syarat bioekivalen. Dimana



diartikan ketika seseorang mengonsumsi antara obat paten atau obat original yang mempunyai izin beredar selama 5 tahun dan telah habis masa edarnya dengan obat generik yang merupakan obat copy- annya, maka pasien akan mendapatkan khasiat yang sama. Tujuan uji bioekivalensi baik di pedoman WHO maupun di Indonesia adalah sama yaitu untuk menjamin bahwa obat copy yang beredar mempunyai standar yang sama dengan produk inovatornya. Apabila tidak tersedia inovatornya maka dapat digunakan pembanding dari obat yang sama dan dosis sama dengan obat uji yang dianggap mempunyai mutu paling baik. Dalam hal ini terdapat perbedan antara kebijakan WHO dan Indonesia. Pada hakekatnya diusahakan pembanding adalah produk inovator, namun menurut pedoman Indonesia apabila produk inovator tidak beredar di Indonesia atau tidak diketemukan lagi inovatornya diganti dengan obat yang dianggap standar oleh BPOM, sedangkan produk yang diharuskan untuk dilakukan uji bioekivalensi menurut draft Pedoman Uji Bioekivalensi dan pedoman dari WHO (Rustamaji, 2005). Uji bioekivalensi obat ini penting dilakukan karena pada kenyataannya, obat tidak hanya terdiri dari zat berkhasiat saja, melainkan ditambahkan dengan bahan-bahan lain, selain itu adnya perbedaan dalam proses pembuatan juga akan mempengaruhi suatu obat sehingga pengujian ini harus dilakukan untuk mengetahui apakah obat yang di buat memiliki khasiat yang sama dengan obat standarnya. Pengujian bioekivalensi obat ini melibatkan manusia sebagai objek percobaan. Pengujian ini dilakukan dengan cara objek percobaan yaitu manusia diberikan obat uji dan obat standar dalam waktu yang tidak bersamaan. Kemudian sampel darahnya di ambil dan di ukur. Selanjutnya, hasil pengukuran dari kedua sampel yaitu obat uji dan obat standanya di bandingkan. Apabila hasilnya sama maka obat uji tersebut dapat dinyatakan bioekivalen dengan obat orisinilnya dan tentunya akan memberikan efek yang sama saat digunakan.



Sedangkan



bioavaibiltas itu sendiri merupakan suatu istilah yang menyatakan jumlah/proporsi (exetent) obat yang diabsorpsi dan kecepatan (rate) yang diabsorpsi itu terjadi. Extent biasanya dinyatakan dalam F. Hal ini biasanya diukur dari perkembangan kadar obat (zat aktif) atau metabolit aktifnya dalam darah dan eksresinya dalam urin terhadap waktu.



Pada pengujian pertama dilakukan perhitungan BA absolut (F) suatu sediaan obat berupa emulsi oral konsentrasi zat aktif 50 mg/mL, apabila dibandingkan denngan injeksi intarvena konsentrasi zat aktif 100 mg/mL dimana dosis yg diberikan untuk emulsi oral adalah dua sendok teh sedangkan dosis intravena 2mL dengan data sebagai berikut



T (Jam) 0.5 1 1.5 2 3 4 6 8



Kadar (µg/ml) Emulsi Injeksi Oral Intravena 3.15 5.71 6.64 5.02 8.9 4.42 10.21 3.9 7.83 3.05 6 2.41 3.59 1.56 2.31 1.06



Tabel. Kadar Obat sediaan emulsi oral dan injeksi intravena pada tiap jamnya Pertama dicari terlebih dahulu nilain In pada kadar obat emulsi oral dan intravena tersebut setelah itu ditentukan nilai AUC pada setiap waktunya dan pada sediaan emulsi oral didaptkan jumlah AUC pada setiap waktunya adalah 37.1225 dan pada sediaan intravena nilai AUC keseluruhan yang didapat adalah 15.145. Dari data yang telah di peroleh dapat diketahui bioavaibilitas absolut obat dengan melakukan perhitungan :



Dan di dapatkan BA obat yang diujikan adalah 98,0148 hasil ini masih cukup baik karena ketersediannya dalam darah masih tinggi yaitu sekitar 98%. Karena Kriteria nilai untuk Fabs yang seharusnya adalah 0- 100% dan 98% masih termasuk kedlam rentang kriteria bioekivalen tersebut.



Pengujian selanjutnya dilakukan uji bioekivalensi terhadap 3 tablet uji yang di bandingkan dengan standarnya, uji ini untuk memastikan obat yang di ujikan memiliki efek yang sama dengan obat standarnya. Pengujian ini dilakukan terhadap 8 orang sukarelawan yang di berikan obat uji dan obat standar pada waktu yang tidak bersamaan kemudian di ambil sampel nya dan di ukur kadarnya. Analisis dilakukan dengan perhitungan AUC obat uji dan obat standar dari setiap sukarelawan, kemudian di hitung nilai F nya, F menyatakan nilai kadar obat yang diabsorpsi. F = (AUC A/AUC STD) x 100% maka didapatkan nilai F rata-ratanya untuk tablet A adalah sebesar 88.77977652 dan nilai F tablet B sebesar 103.3141487. Kriteria BE yang baik suatu obat harus memiliki nilai BE 80 – 125 %. Maka dapat disimpulan tablet A dan tablet B ini memenuhi kriteria BE yang baik karena nilai F yang lebih dari 80%. Untuk Tablet C yang diujikan, di dapatkan nilai F rata-ratanya adalah 64.21973082. Maka dapat disimpulkan tablet C ini tidak memenuhi kriteria BE yang baik karena nilai F rata-ratanya tidak berada dalam rentang 80 – 125 %.



VII.



KESIMPULAN



VII. 1 Uji bioekuivalensi dapat dilakukan dengan membandingkan obat yang akan di uji dengan obat standarnya. Kriteria obat yang memiliki BE yang baik adalah dengan nilai 80-125%. Dari pengujian yang dilakukan obat yang memenuhi kriteria BE yang baik adalah tablet A dan B VII.2 Uji bioavaibilitas dan bioekuivalensi dapat dirancang untuk memastikan suatu obat memiliki kualitas yang baik dan memiliki efek yang sama sesuai dengan obat standarnya bila diberikan pada pasien



DAFTAR PUSTAKA Abdou HM, Dissolution,



Bioavailability and Bioequivalence, Mack P



Publishing Company, Easton-Pennsylvania, 1989,56, 151-153, 166-167. Aiache, J.M. 1993. Farmasetika 2 Biofarmasi edisi 2. Airlangga University Press : Surabaya. Amril, 2006. uji BA/BE Jamin mutu obat, Majalah Farmasia. vol. 6 No. 7 Badan POM Republik Indonesia, Pedoman Uji bioekivalensI, 2004 FDA-Center for



for



Drug



Industry



Administered



Evaluation



and



Research



(CDER),



Guidance



Bioavailability and Bioequivalence Studies for Orally Drug



Products







General Considerations,



http://www.fda.gov/cder/guidance/index.htm, 2003. Hakim, Lukman. 2002.Farmakokinetika. Bursa Buku : Yogyakarta. Rustamiji, dan Sulato Saleh. 2005. Evaluasi Kebijakan Pengendalian Mutu Obat Dengan Uji Ketersediaan Hayati. Bagian Farmakologi Klinik Fakultas Kedokteran, UGM: Yogyakarta