Final - Pedoman Pertusis - 15 Des 2015 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PETUNJUK TEKNIS Surveilans Pertusis



Untuk Petugas Surveilans



Edisi Pertama Januari, 2016



Kementerian Kesehatan



BAB I Pendahuluan



A. Latar Belakang Pertusis (whooping cough/batuk rejan/batuk seratus hari) adalah penyakit menular pada saluran pernapasan yang disebabkan oleh bakteri Bordetella pertussis. Di dunia terjadi sekitar 30 sampai 50 juta kasus per tahun, dan menyebabkan kematian pada 300.000 kasus (data dari WHO). Penyakit ini biasanya terjadi pada anak berusia di bawah 1 tahun. Sembilan puluh persen kasus ini terjadi di negara berkembang. Serangan pertusis yang pertama tidak selalu memberikan kekebalan penuh. Jika terjadi serangan pertusis kedua, biasanya bersifat ringan dan tidak selalu dikenali sebagai pertusis. Estimasi dari WHO menyatakan bahwa pada tahun 2008 terjadi sekitar 16 juta kasus pertusis di seluruh dunia 95% diantaranya terjadi di Negara berkembang dan mengakibatkan sekitar 195 ribu kematian. Di Indonesia, angka kesakitan yang disebabkan pertusis dari tahun 2010-2012 berdasarkan laporan STP(Surveilans Terpadu Penyakit) rata-rata insiden kumulatif 2,45 per 100.000 penduduk. Bila dilihat dari data tersebut. Kasus pertusis terjadi pada semua golongan umur, namun kasus tersebar hampir merata pada usia balita (1-4 tahun) hingga dewasa (45-54 tahun). Kasus terbanyak dijumpai pada golongan umur 1-4 tahun.



B. Epidemiologi Penyakit



1. Penyebab penyakit Penyebab dari pertusis adalah Bordetella pertussis, yang merupakan suatu coccobacillus gram negative yang bersifat fastidious (sulit dibiak). Selain itu terdapat B. parapertusis yang juga bisa menyebabkan penyakit yang mirip pertusis namun tidak terlalu berbahaya seperti pertusis. 2. Distribusi penyakit Penyakit ini sering menyerang anak-anak (khususnya usia dini) tersebar di seluruh dunia, tidak tergantung etnis, cuaca ataupun lokasi geografis. Terjadi penurunan yang nyata dari angka kesakitan pertusis selama empat decade terakhir, terutama pada masyarakat dimana program imunisasi berjalan dengan baik serta tersedia pelayanan kesehatan yang cukup dan gizi yang baik. Pada anak yang lebih besar, remaja dan dewasa pertusis sering kali tidak dikenali karena gejalanya sering kali tidak khas. 3. Reservoir Reservoir pertusis sampai sekarang manusia dianggap sebagai satu-satunya hospes (pejamu). 4. Cara-cara penularan Penularan terutama melalui kontak langsung dengan discharge selaput lendir saluran pernapasan dari orang yang terinfeksi lewat udara kepada orang yang rentan, kemungkinan juga penularan terjadi melalui percikan ludah. Pada stadium catarrhal pertusis sangat menular dengan angka serangan sekunder mencapai 90% pada orang-orang yang tidak imun. Penderita yang tidak diobati bisa menularkan selama 3 minggu atau lebih sejak mulai timbulnya gejala pertusis meskipun setelah stadium catarrhal potensi penularan menurun. Sedangkan penderita yang mendapatkan pengobatan antibiotika yang efektif masih bisa menularkan hingga 5 hari sejak pengobatan dimulai. Pertusis jarang menjadi pembawa kronis (Chronic carrier). Remaja dan dewasa merupakan sumber transmisi pertusis yang bermakna kepada bayi 5. Masa inkubasi



Masa inkubasi pertusis umumnya 9-10 hari (dengan kisaran 6-20 hari). Pertusis yang berat terjadi pada bayi muda yang belum pernah diberi imunisasi. Setelah masa inkubasi 7-10 hari, anak timbul demam, biasanya disertai batuk dan keluar cairan hidung yang secara klinik sulit dibedakan dari batuk dan pilek biasa. Pada minggu ke-2, timbul batuk paroksismal yang dapat dikenali sebagai pertusis. Batuk dapat berlanjut sampai 3 bulan atau lebih. Anak infeksius selama 2 minggu sampai 3 bulan setelah terjadinya penyakit. Gejala timbul pada umumnya dalam waktu 9-10 hari setelah terinfeksi. 6. Masa penularan Penularan pertusis pada stadium kataral awal sebelum stadium paroxysmal sangat tinggi. Selanjutnya tingkat penularannya secara bertahap menurun dan dapat diabaikan dalam waktu 3 minggu untuk kontak bukan serumah, walaupun batuk spasmodic yang disertai “whoop” masih tetap ada. Untuk kepentingan penanggulangan, stadium menular diperluas dari awal stadium kataral sampai dengan 3 minggu setelah munculnya batuk paroxysmal yang khas pada penderita yang tidak mendapatkan terapi antibiotika. 7. Gambaran Klinis Bakteri menginfeksi lapisan tenggorokan, trakea dan saluran pernapasan sehingga pembentukan lendir semakin banyak. Pada awalnya lendir encer, tetapi kemudian menjadi kental dan lengket. Infeksi berlangsung selama 6 minggu, dan berkembang melalui 3 tahapan : a. Tahap kataral (mulai terjadi secara bertahap dalam waktu 9-10 hari setelah terinfeksi) gejalanya menyerupai flu ringan; bersin-bersin, mata berair, nafsu makan berkurang, lesu, batuk (pada awalnya hanya timbul di malam hari kemudian terjadi sepanjang hari). b. Tahap paroksismal (mulai timbul dalam waktu 10-14 hari setelah timbulnya gejala awal). Batuk 5-15 kali diikuti dengan menghirup nafas dalam dengan nada tinggi (whooping). Setelah beberapa kali bernafas normal, batuk kembali terjadi diakhiri dengan menghirup nafas bernada tinggi lagi. Batuk bisa disertai pengeluaran sejumlah besar lendir yang biasanya ditelan oleh bayi/anak-anak atau tampak sebagai gelembung udara di hidungnya. Batuk atau lendir yang kental sering



merangsang terjadinya muntah. Serangan batuk bisa diakhiri oleh penurunan kesadaran yang bersifat sementara. Pada bayi, apneu (henti nafas) dan tersedak lebih sering terjadi dibandingkan dengan tarikan nafas yang bernada tinggi. c. Tahap konvalesen (mulai terjadi dalam waktu 4-6 minggu setelah gejala awal). Batuk semakin berkurang, muntah juga berkurang, anak tampak merasa lebih baik. Kadang batuk terjadi selama berbulan-bulan, biasanya akibat iritasi saluran pernafasan. Komplikasi dari pertusis yang pernah dilaporkan adalah bronchopneumonia, kejang, ensepalopati. Angka kematian di Negara berkembang diperkirakan sebesar 4% pada anak kurang dari 1 tahun dan 1% pada anak umur 1-4 tahun. 8. Diagnosis Tanda diagnostik yang paling berguna: 



Batuk paroksismal diikuti suara whoop saat inspirasi, sering disertai muntah







Perdarahan subkonjungtiva







Anak tidak atau belum lengkap diimunisasi terhadap pertusis







Bayi muda mungkin tidak disertai whoop, akan tetapi batuk yang diikuti oleh berhentinya napas atau sianosis, atau napas berhenti tanpa batuk







Periksa anak untuk tanda pneumonia dan tanyakan tentang kejang.



Diagnosis etiologis ditegakkan berdasarkan ditemukannya B.pertusis dari specimen nasofaring yang diambil selama fase kataral atau paroksimal awal. Selain itu pemeriksaan penunjang bisa dilakukan dengan : - Pemeriksaan darah lengkap (terjadi peningkatan jumlah sel darah putih yang ditandai dengan sejumlah besar limfosit) - Pemeriksaan serologis untuk Bordetella pertussis dengan ELISA - PCR (Polymerase Chain Reaction) Selanjutnya dapat dilihat pada Bab Pemeriksaan Laboratorium 9. Pengobatan 



Antibiotika



-



Pengobatan dengan antibiotika jenis makrolid misalnya eritromisin, azithromisin, clarithromisin, akan mencegah atau meringankan gejala klinis pertusis bila diberikan selama masa inkubasi atau stadium kataral awal. 1.Eritromisin



dengan



dosis



50



mg/kgbb/hari



dibagi



dalam



4



dosis.



Obat ini dapat menghilangkan Bordetella pertusis dari nasofaring dalam 2-7 hari (rata rata 3-4 hari) dengan demikian memperpendek kemungkinan penyebaran infeksi. Eritromisisn juga menyembuhkan pertusis bila diberikan dalam stadium kataralis, mencegah dan menyembuhkan pneumonia, oleh karena itu sangat penting



untuk



pengobatan



2.Ampisilin



dengan



dosis



100



pertusis



untuk



mg/kgbb/hari,



dibagi



bayi dalam



muda. 4



dosis.



3.lain lain : rovamisin, kotromoksazol, kloramfenikol dan tetrasiklin -



Bila diberikan pada fase paroksimal obat antibiotika tidak akan mengubah perjalanan klinis penyakit tapi bisa menghilangkan bakteri dari nasofaring sehingga mengurangi penularan • Imunoglobulin Belum ada penyesuaian faham mengenai pemberian immunoglobulin pada stadium kataralis. • Ekspektoransia dan mukolitik • Kodein diberikan bila terdapat batuk batuk yang hebat sekali. • Luminal sebagai sedative. • Oksigen bila terjadi distress pernapasan baik akut maupun kronik. • Terapi suportif : atasi dehidrasi, berikan nutrisi • Betameatsol dan salbutamol untuk mencegah obstruksi bronkus, mengurangi batuk paroksimal, mengurangi lama whoop.



10. Komplikasi 



Pneumonia Merupakan komplikasi tersering dari pertusis yang disebabkan oleh infeksi sekunder bakteri atau akibat aspirasi muntahan. Tanda yang menunjukkan pneumonia bila didapatkan napas cepat di antara episode batuk, demam dan terjadinya distres pernapasan secara cepat.







Kejang Hal ini bisa disebabkan oleh anoksia sehubungan dengan serangan apnu atau sianotik, atau ensefalopati akibat pelepasan toksin.



Jika kejang tidak berhenti dalam 2 menit, beri antikonvulsan 



Gizi kurang Anak dengan pertusis dapat mengalami gizi kurang yang disebabkan oleh berkurangnya asupan makanan dan sering muntah. Cegah gizi kurang dengan asupan makanan adekuat, seperti yang dijelaskan pada perawatan penunjang.







Perdarahan dan hernia Perdarahan subkonjungtiva dan epistaksis sering terjadi pada pertusis. Tidak ada terapi khusus. Hernia umbilikalis atau inguinalis dapat terjadi akibat batuk yang kuat. Tidak perlu dilakukan tindakan khusus kecuali terjadi obstruksi saluran pencernaan, tetapi rujuk anak untuk evaluasi bedah setelah fase akut.



C. Aspek Imunisasi Imunisasi untuk pencegahan penyakit pertusis diberikan dalam kombinasi dengan antigen penyakit lain berupa DPT-HB-Hib yang mencakup 5 penyakit (pentavalen) yaitu Dipteri, Pertusis, Tetanus, Hepatitis B, dan Haemofilus Influenzae tipe B. Imunisasi yang diberikan merupakan imunisasi rutin yang dilaksanakan secara terus menerus sesuai jadwal dan diberikan pada bayi usia < 1 tahun dan diberikan booster pada anak usia 18 bulan. Anak-anak yang tidak diimunisasi umumnya rentan terhadap infeksi. Tidak ada imunitas transplacental pada bayi. Penyakit ini umumnya menyerang anak-anak. Angka insidensi penyakit yang dilaporkan tertinggi pada anak umur dibawah 5 tahun. Kasus yang ringan atau kasus atypic yang tidak terdeteksi terjadi pada semua kelompok umur. Setelah infeksi pertusis alami akan terbentuk antibodi pada 80-85% penderita. Infeksi alami tidak memberikan perlindungan jangka panjang terhadap pertusis, dan dapat terjadi serangan kedua (diantaranya disebabkan oleh B. parapertussis). Vaksin pertusis (dalam kombinasi dengan dipteri dan tetanus) telah menjadi bagian dari perluasan program imunisasi WHO (expanded program on immunization) sejak diperkenalkan tahun 1974, dan pada tahun 2008 sekitar 82% bayi di dunia telah mendapat 3 dosis vaksin pertusis, dan berhasil mencegah 687.000 kematian.



Selama beberapa dekade program vaksinasi pertusis telah berhasil mencegah penyakit pertusis yang parah diseluruh dunia. Terdapat 2 macam vaksin pertusis yaitu : 1.



Vaksin whole-cell (wP) yang berasal dari organisme B. pertusis yang dimatikan.



2.



Vaksin acellular(aP) yang berasal dari komponen tertentu bakteri yang dimurnikan.



Reaksi lokal imunisasi pertusis cenderung meningkat sesuai dengan bertambahnya umur dan jumlah suntikan. Karenanya vaksin yang mengandung pertusis tidak direkomendasikan untuk remaja atau dewasa. Berdasarkan rekomendasi dari ITAGI, pemberian vaksin pertusis whole-cell dibatasi sampai dengan usia 3 tahun. Program imunisasi di Indonesia memberikan imunisasi pertusis dalam kombinasi dengan difteri, tetanus, Hepatitis B dan Haemofilus influenzae tipe b (pentavalen) yang diberikan sebanyak 3 kali pada umur 2,3, 4 bulan dan booster pada usia 18 bulan. D. Pengertian Definisi kasus klinis adalah kasus yang didiagnosa oleh dokter atau orang dengan batuk lebih dari 2 minggu dan dengan salah satu gejala berikut : - Batuk Paroksismus (batuk terus-menerus) - Whooping - Muntah setelah batuk tanpa sebab yang lain - Apnea dengan atau tanpa sianosis (hanya untuk usia kurang dari 1 tahun)



Sedangkan kriteria untuk kasus konfirmasi laboratorium adalah sebagai berikut : - Isolasi Bordetella pertussis atau - Deteksi sekuens genom atau - Positif paired serology



Karena itu, klasifikasi kasus terdiri atas : 1.



Konfirmasi Klinis: kasus dengan gejala klinis tanpa konfirmasi laboratorium



2.



Konfirmasi Laboratorium: Kasus dengan gejala klinis dan disertai konfirmasi laboratorium



Definisi kasus klinis dirancang untuk meningkatkan sensitifitas penemuan kasus pertusis bila pemeriksaan lab tidak dilakukan atau negative. Hasil lab bisa negatif walaupun seseorang benar menderita pertusis. Pada situasi endemik dan sporadik kasus yang memenuhi kriteria klinis sudah cukup memadai untuk menentukan kasus pertusis.



Pada situasi KLB batasan kasus klinis adalah cukup dengan batuk yang berlangsung selama 2 minggu atau lebih tanpa gejala lain.



BAB II Tujuan Surveilans Data surveilans yang dikumpulkan melalui penyelidikan kasus bisa digunakan untuk menilai beban penyakit dan memonitor perubahan epidemiologi sejalan dengan waktu. Data surveilans bisa juga digunakan untuk mengarahkan kebijakan dan menyusun strategi penanggulangan



A. Tujuan Umum Melakukan deteksi



dini



dan



mengetahui



gambaran



epidemiologi



untuk



pengendalian penyakit pertusis. B.



Tujuan Khusus  Terlaksananya pengumpulan data berdasarkan waktu, tempat dan orang  Terdeteksinya kasus pertusis secara dini  Terlaksananya Penyelidikan Epidemiologi setiap KLB pertusis dan konfirmasi laboratorium  Terlaksananya analisa data pertusis berdasarkan variabel epidemiologi yang meliputi waktu, tempat kejadian dan orang di setiap tingkat administrasi kesehatan, sebagai bahan monitoring dampak program imunisasi pertusis  Terdisseminasinya hasil analisis kepada unit terkait  Terwujudnya pengambilan keputusan untuk pengendalian penyakit pertusis.



Bab III Kebijakan dan Strategi A. Kebijakan



Pertusis merupakan jenis



penyakit menular tertentu yang dapat menimbulkan



KLB/wabah seperti tercantum dalam Permenkes 1501 tahun 2010. Setiap satu



kasus klinis



pertusis harus dilakukan penyelidikan epidemiologi dan



penanggulangan sesegera mungkin untuk menghentikan penularan dan menurunkan angka kematian.



B. -



Strategi Menemukan kasus secara aktif di rumah sakit berintegrasi dengan surveilans AFP dan PD3I lainnya.



- Menemukan kasus di masyarakat dibawah koordinasi Puskesmas -



Melakukan pemantauan harian Surveilans Berbasis Kejadian (Event base Surveilans)



-



Melakukan pemantauan kasus mingguan secara dini melalui SKDR



-



Semua kasus pertusis harus dilakukan penyelidikan epidemiologi



-



Penemuan dan penatalaksanaan kasus pertusis secara dini



-



Semua kasus pertusis dirujuk ke Rumah Sakit untuk mendapatkan tindakan secara cepat dan tepat.



-



Menghentikan transmisi pertusis dengan cara pengobatan penderita dan dirujuk ke rumah sakit bila perlu penanganan lebih lanjut.



-



Mengambil dan memeriksa spesimen pada kasus dan kontak.



-



Meningkatkan cakupan imunisasi dasar dan booster.



-



Menganalisa data sebagai dasar rekomendasi dalam pengendalian penyakit pertusis.



-



Diseminasi dan informasi tentang penyakit pertusis. BAB IV Kegiatan Surveilans Pertusis



A. Di tingkat puskesmas 1. Penemuan Kasus - Setiap penderita dengan batuk lebih dari 2 minggu yang datang ke puskesmas harus dicari gejala tambahan dan ditentukan apakah -



memenuhi kriteria klinis pertusis. Bila penderita datang dengan batuk yang kurang dari 2 minggu diupayakan untuk dimonitor perjalanan penyakitnya serta dicari gejala tambahan pertusis lainnya.



-



Bila kasus memenuhi kriteria klinis pertusis, catat dalam format laporan pertusis seperti dalam lampiran (



) dan lakukan penyelidikan



epidemiologi untuk mencari kasus tambahan. - Bila memenuhi kriteria KLB maka dilakukan penyelidikan KLB 2. Pengambilan Spesimen Kasus pertusis dapat juga didiagnosa secara laboratoris dengan mengambil sampel berupa hapus tenggorok (cara pengambilan lihat di bab laboratorium). 3. Pencatatan dan Pelaporan Puskesmas mencatat setiap kasus pertusis ke dalam format list pertusis dan dilaporkan ke dinas kesehatan kab/kota setiap bulan. Contoh format bisa dilihat dalam lampiran. 4. Pengolahan dan analisis data Puskesmas melakukan analisis data pertusis yang meliputi antara lain : -



Jumlah kasus berdasarkan kelompok umur (< 1 tahun, 1-4 tahun, 5-9 tahun, >10 tahun )



-



Status imunisasi DPT- HB – Hib atau DPT - HB penderita



-



Angka CFR total dan menurut kelompok umur



-



Angka insidensi menurut kelompok umur dan jenis kelamin



berdasarkan bulan dan tahun B. Di Rumah Sakit (Surveilans Aktif) 1. Penemuan Kasus Surveilans aktif RS bertujuan untuk menemukan kasus pertusis yang berobat ke rumah sakit baik langsung maupun rujukan dari fasilitas kesehatan lain. Surveilans pertusis di RS dilakukan secara aktif oleh petugas surveilans Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan petugas surveilans rumah sakit/contact person RS, yang diintegrasikan dengan surveilans AFP dan PD3I lainnya. 2. Pengambilan Spesimen Kasus pertusis dapat juga didiagnosa secara laboratoris dengan mengambil sampel berupa hapus tenggorok (cara pengambilan lihat di bab laboratorium). 3. Pencatatan dan Pelaporan Kasus yang terjadi di Rumah Sakit dilaporkan ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota oleh petugas Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang melakukan kunjungan surveilans aktif RS C.



Di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota



1. Penemuan Kasus Setiap minggu petugas dinas kesehatan kabupaten/kota mengunjungi rumah sakit di wilayah kerjanya untuk mencari dan menemukan secara aktif kasus pertusis (diintegrasikan dengan surveilans AFP, campak, difteri). Tata cara pelaksanaan surveilans aktif RS lebih rinci lihat buku pedoman surveilans AFP. kontak person rumah sakit juga dapat langsung melaporkan kasus pertusis ke dinas kesehatan kab/kota. 2. Pengiriman Spesimen Jika dilakukan pengambilan spesimen hapus tenggorok dari RS, dan dari



puskesmas



dapat



dikirimkan



ke



Laboratorium



Rujukan



segera/secepatnya. 3. Pencatatan dan Pelaporan Data pertusis yang dilaporkan dari Puskesmas direkap dalam formulir list pertusis dan dikirim ke Dinas Kesehatan Provinsi setiap bulannya.



Laporan yang harus dikirim setiap bulan ke propinsi : -



Laporan Integrasi (AFP, campak, TN, difteri, pertusis)



-



Laporan Kelengkapan Surveilans aktif



RS dan puskesmas (Form



Absensi/K) 4. Pengolahan dan analisis data Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melakukan analisis data pertusis yang meliputi antara lain : -



Jumlah kasus berdasarkan kelompok umur (< 1 tahun, 1-4 tahun, 5-9 tahun, >10 tahun )



-



Status imunisasi DPT- HB – Hib atau DPT - HB penderita



-



Angka CFR total dan menurut kelompok umur



-



Kecenderungan kasus menurut kelompok umur serta kecendrungan kasus berdasarkan bulan dan tahun



-



Distribusi kasus berdasarkan kecamatan



5. Umpan Balik Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota membuat umpan balik mengenai situasi penyakit pertusis di wilayahnya kepada Puskesmas di wilayah kerjanya berupa buletin atau media lain yang dapat diintegrasikan dengan penyakit-penyakit lainnya. D.



Di Dinas Kesehatan Provinsi 1. Pencatatan dan Pelaporan Data pertusis yang dilaporkan dari Kabupaten/Kota direkap dalam format list kasus pertusis Provinsi dan dikirim ke Pusat setiap bulan Buat absensi laporan bulanan pertusis dan kelengkapan kegiatan surveilans aktif RS diintegrasikan dengan surveilans AFP menggunakan form Absensi/K. Laporan yang harus dikirim setiap bulan ke pusat : -



Laporan Integrasi (AFP, campak, TN, difteri, pertusis)



-



Laporan Kelengkapan Surveilans aktif



RS dan puskesmas (Form



Absensi/K) 2. Pengolahan dan analisis data Dinas kesehatan Provinsi melakukan pengolahan dan analisis data pertusis yang meliputi antara lain : -



Jumlah kasus berdasarkan kelompok umur (< 1 tahun, 1-4 tahun, 5-9 tahun, >10 tahun )



-



Status imunisasi DPT- HB – Hib atau DPT - HB penderita



-



Angka CFR total dan menurut kelompok umur



-



Kecenderungan



kasus



menurut



kelompok



umur



kecendrungan kasus berdasarkan bulan dan tahun -



Distribusi kasus berdasarkan kab/kota



3. Pengiriman specimen



serta



Spesimen hapus tenggorok dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dikirimkan ke provinsi atau ke laboratorium rujukan yang ditentukan segera/secepatnya. Sebelum spesimen dikirim ke laboratorium rujukan, spesimen disimpan di dalam lemari es, bukan dalam freezer. 4. Umpan Balik Dinas Kesehatan Provinsi membuat umpan balik mengenai situasi penyakit



pertusis



di



wilayahnya



kepada



Dinas



Kesehatan



Kabupaten/Kota di wilayah kerjanya berupa bulletin atau media lain yang dapat diintegrasikan dengan penyakit-penyakit lainnya. E.



Tingkat Pusat 1. Pencatatan dan Pelaporan Data pertusis yang dilaporkan dari Provinsi direkap untuk mendapatkan data nasional. 2. Pengolahan dan analisis data Pusat melakukan pengolahan dan analisis data pertusis yang meliputi antara lain : -



Jumlah kasus berdasarkan kelompok umur (< 1 tahun, 1-4 tahun, 5-9 tahun, >10 tahun )



-



Status imunisasi DPT- HB – Hib atau DPT - HB penderita



-



Angka CFR total dan menurut kelompok umur



-



Kecenderungan



kasus



menurut



kelompok



umur



serta



kecendrungan kasus berdasarkan bulan dan tahun -



Distribusi kasus berdasarkan kab/kota



3. Umpan Balik Pusat membuat umpan balik mengenai situasi penyakit pertusis di wilayahnya kepada Provinsi di wilayah kerjanya berupa bulletin atau media lain yang dapat diintegrasikan dengan penyakit-penyakit lainnya. 4. Diseminasi informasi



Bila disepakati secara regional/global Kementerian Kesehatan dapat mendesiminasikan informasi pertusis ini ke tingkat WHO regional sesuai permintaan.



BAB V KLB Pertusis dan Penanggulangannya A.



Definisi Operasional KLB Pertusis Kriteria KLB Pertusis sesuai dengan kriteria penetapan KLB pada Permenkes 1501 tahun 2010 tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu yang Dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangan.



B.



Penyelidikan Epidemiologi Pertusis Penyelidikan Epidemiologi dilakukan untuk mengetahui gambaran kelompok rentan



dan



penyebaran



kasus



agar



mendapatkan



arah



upaya



penanggulangan. Petugas membuat kurva epidemi dibuat dalam harian dan mingguan kasus dan atau kematian, sampai KLB dinyatakan selesai. Tabel dan grafik dapat menjelaskan gambaran epidemiologi angka serangan (attack rate) dan case fatality rate menurut umur, jenis kelamin dan wilayah tertentu. Area map dan spot map dapat menggambarkan penyebaran kasus dan kematian dari waktu ke waktu.



Penyelidikan Epidemiologi : Penyelidikan lapangan dilakukan untuk mengidentifikasi kemungkinan adanya kasus lain, terutama pada kelompok rentan dengan cara :  Kunjungan dari rumah ke rumah seluas perkiraan penularan  Kunjungan sekolah/tempat kerja kasus  Mengisi format investigasi/penyelidikan epidemiologi terhadap kasus dan kontak (semua umur) C.



Penanggulangan KLB Pertusis a. Pengobatan : Kasus klinis/konfirmasi laboratorium diberikan antibiotika eritromisin selama 7-14 hari (maks 3 minggu) dengan dosis untuk anak-anak 40-50 mg/kgbb/hari, dewasa 2 gram/hari yang masing-masing dibagi dalam 4 b.



dosis. Lakukan pemisahan terhadap kontak yang tidak pernah diimunisasi atau yang tidak diimunisasi lengkap. Pemisahan tersebut berlaku sampai dengan 21 hari sejak terpajan dengan penderita atau sampai dengan saat penderita dan kontak sudah menerima antibiotika minimal 5 hari



c.



dari 14 hari yang diharuskan. Kontak yang berusia dibawah 7 tahun dan yang belum mendapatkan 4 dosis DPT- HB atau yang tidak mendapat DPT dalam 3 tahun terakhir harus segera diberikan suntikan satu dosis setelah terpapar. Dianjurkan pemberian erythromycin selama 14 hari bagi anggota keluarga dan kontak dekat tanpa memandang status imunisasi dan umur. Lakukan Investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi: Lakukan pencarian kasus secara dini, cari juga kasus yang tidak dilaporkan dan kasuskasus atipik. Oleh karena bayi-bayi dan anak tidak diimunisasi



d.



mempunyai risiko tertular. Pengobatan spesifik: Pengobatan dengan erythromycin memperpendek masa penularan, namun tidak mengurangi gejala kecuali bila diberikan selama masa inkubasi, pada stadium kataral atau awal stadium paroxysmal. Dalam suatu kondisi KLB selain peningkatan cakupan imunisasi pertusis perlu diberikan antibiotic propilaksis pasca paparan (postexposure antimicrobial propilaksis /PEP) kepada : - Kontak serumah dari pertusis



- Orang yang beresiko tinggi dalam waktu 21 hari sejak terpapar dengan kasus pertusis, yaitu :  Bayi dan wanita hamil trimester ke-3  Semua orang yang kondisi kesehatannya bisa diperburuk oleh infeksi pertusis misalnya orang dengan imunocompromised atau  



penderita dengan pengobatan asma sedang atau berat Kontak erat dari orang-orang di atas Masyarakat sekitar yang lebih luas bila KLB terjadi pada lingkungan yang terbatas dan kasusnya sedikit namun bila KLB meluas tidak dianjurkan pemberian propilaksis ke masyarakat luas melainkan melakukan monitoring kepada kontak untuk melihat tanda dan gejala pertusis selama 21 hari.



BAB VI Pemberian Nomor EPID



A. Pemberian Nomor Epid Kasus Individu di Puskesmas Setiap kasus pertusis



diberi nomer Epid di tingkat puskesmas, caranya sama



dengan cara penomoran kasus AFP, tetapi didahului dengan huruf P dan ditambah dengan nomor urut puskesmas. Pemberian nomor Epid berurutan selama 1 tahun, dan pada tahun berikutnya penomoran dimulai kembali dari nomor satu. Cara penulisan nomor Epid sbb : -



Digit 1 dan 2 kode provinsi



-



Digit 3 dan 4 kode kabupaten/kota



-



Digit 5,6 dan 7 kode puskesmas di kabupaten/kota tersebut



-



Digit 8 dan 9 kode tahun



-



Digit 10,11, dan 12 kode kasus yang dimulai dengan 001



Contoh: Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, kota Banda Aceh, puskesmas X dilaporkan kasus pertama pertusis tahun 2012 maka penomoran Epidnya adalah sbb : P010200112001 B. Pemberian Nomor Epid Kasus Individu di Rumah Sakit Nomor EPID kasus pertusis yang dilaporkan rumah sakit diberikan oleh Kabupaten :



- Kabupaten menginformasikan



ke puskesmas setiap kasus pertusis



yang



dilaporkan oleh RS untuk dilakukan pencarian kasus tambahan serta meminta nomor EPID penderita, atau - Kabupaten dapat memberikan nomor EPID kasus setiap bulan sekali yaitu setelah



kabupaten



menerima



laporan



pertusis



dari



puskesmas



dan



menambahkan kasus pertusis di formulir pertusis puskesmas mengurut nomor EPID yang sudah ada dan selanjutnya menginformasikan ke puskesmas bersangkutan.



BAB VII Laboratorium Surveilans Pertusis



Konfirmasi laboratorium penting karena kuman pathogen lain bisa juga menyebabkan gejala yang sama dengan pertusis. Kultur



B. Pertusis adalah test diagnostik yang



paling spesifik. Semua penderita batuk dengan culture B. Pertusis yang positif harus dilaporkan sebagai kasus konfirmasi laboratorium (confirmed) walaupun batuknya masih kurang dari 14 hari. Pemeriksaan PCR lebih sensitif dibanding kultur. A. Peran lab Peran laboratorium pada surveilans pertusis : - Membantu menegakkan diagnosis pertussis dengan ditemukannya Bordettella pertussis - Menentukan tipe pertussis : B. pertussis and B. parapertussis.



B.



Penatalaksanaan Spesimen Laboratorium (Pengambilan, Penyimpanan dan Pengiriman Spesimen) Pertusis



Prinsip



keberhasilan



pemeriksaan



bakteriologi



sangat



ditentukan



dari



teknik



pengambilan, penggunaan media transport, penyimpanan dan pengiriman spesimen. Seringkali ditemukan proses awal penanganan spesimen yang salah yang berdampak pada proses pemeriksaan laboratorium. Sebaik apapun metode yang kita gunakan dalam mendeteksi pemeriksaan laboratorium pertusis akan menjadi sia – sia apabila penanganan spesimen dilakukan dengan tidak benar. Idealnya pengambilan spesimen dilakukan oleh tenaga kesehatan yang terlatih karena pengambilan spesimen yang representatif dan sesuai standar sangat diperlukan untuk kualitas hasil yang



dikeluarkan. Spesimen yang digunakan untuk pemeriksaan laboratorium



adalah



nasopharyngeal swabs (NPS) atau nasopharyngeal aspirates (NPA). Setelah spesimen diambil harus segera dibawa ke laboratorium rujukan untuk dilakukan pemeriksaan atau bila ditunda harus menggunakan medium transport.



-



Prinsip pengumpulan spesimen



Prinsip



keberhasilan



pemeriksaan



bakteriologi



sangat



ditentukan



dari



teknik



pengambilan, penggunaan media transport, penyimpanan dan pengiriman spesimen. Seringkali ditemukan proses awal penanganan spesimen yang salah yang berdampak pada proses pemeriksaan kultur. Sebaik apapun metode yang kita gunakan dalam mendeteksi pemeriksaan kultur difteri, akan menjadi sia – sia apabila jika penanganan spesimen dilakukan dengan tidak benar. Idealnya pengambilan spesimen dilakukan oleh tenaga kesehatan yang terlatih. Pengambilan spesimen yang representatif dan sesuai standar sangat diperlukan untuk kualitas hasil yang dikeluarkan. Untuk pengambilan



kasus



pertusis,



nasopharyngeal aspirates (NPA) laboratorium rujukan



sampel



nasopharyngeal



swabs



(NPS)



atau



setelah pengambilan harus segera dibawa ke



untuk dilakukan pemeriksaan atau bila ditunda harus



menggunakan medium transport.



-



Medium Transport



Medium transport digunakan bila spesimen yang diambil tidak langsung dilakukan pemeriksaan segera untuk menjaga viabilitas bakteri dan menjaga pertumbuhan over grow bakteri lainnya. Media yang sering digunakan sebagai medium transport adalah : 1.



Medium Amies dengan charcoal



2.



Medium Casein hydrolysate 0.5 - 1% : spesimen dalam medium ini dapat bertahan