Fiqih Muamalah Rahn (Gadai) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

MAKALAH FIQH MUAMALAH II RAHN



DISUSUN OLEH : ATIKA PRATIWI (0501173244) MUHAMMAD RAHMANSYAH (0501171045) MUHAMMAD RAIHAN (0501172168)



JURUSAN EKONOMI ISLAM FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA T.A 2019/2020 1



KATA PENGANTAR Puji dan syukur kami ucapkan kepada Allah Swt Atas Berkat Rahmat-Nya lah kami dapat menyelesaikan Tugas ini sesuai dengan yang di harapkan, dalam makalah ini kami akan membahas mengenai “RAHN (GADAI)”.



Pada kesempatan ini kami mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah menbantu dan mendukung kami dalam pembuatan dan penyusunan makalah ini. Terutama kepada Ibu pembimbing. yang telah membimbing dan memberi arahan kepada kami dalam pembuatan makalah ini. Kami menyadari makalah singkat ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu penyusun menerima dengan tangan terbuka pendapat-pendapat, masukan,kritik maupun saran terhadap makalah ini untuk perbaikan. Semoga makalah singkat ini bermanfaat bagi pembaca.



i



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR ................................................................................................................................... i DAFTAR ISI................................................................................................................................................. ii BAB I ............................................................................................................................................................ 1 PENDAHULUAN .................................................................................................................................... 1 A.



LATAR BELAKANG .................................................................................................................. 1



B.



RUMUSAN MASALAH .............................................................................................................. 1



BAB II........................................................................................................................................................... 2 PEMBAHASAN ....................................................................................................................................... 2 A.



Pengertian Rahn ............................................................................. Error! Bookmark not defined.



B.



Dasar Hukum Rahn ....................................................................................................................... 2



C.



Rukun Rahn ................................................................................................................................. 3



D.



Manfaat Rahn ................................................................................................................................ 3



E.



Syarat-syarat Rahn ..................................................................................................................... 4



F.



Aplikasi Rahn dalam Perbankan Syariah ....................................... Error! Bookmark not defined.



G.



Risiko Rahn .............................................................................................................................. ...7



H.



Penyelesaian Rahn (gadai) ............................................................................................................ 7



I.



Produk Hukum Rahn.................................................................................................................. 8



J.



Fatwa DSN -MUI tentang Pembiayaan yang Disertai Rahn...............................................9



PENUTUP .................................................................................................................................................. 12 A.



KESIMPULAN ............................................................................................................................... 12



DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................. 13



ii



BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Gadai dalam Bahasa Arab disebut rahn, yang berarti tetap,kekal,dan jaminan. Secara syara,rahnadalah menyandera sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, tetapi dapat diambil kembali sebagai tebusan. Gadai merupakan salah satu kategori dari perjanjian utang piutang, yang mana untuk suatu kepercayaan dari orang yang berpiutang, maka orang yang berutang menggadaikan barangnya sebagai jaminan terhadap utangnya itu. Barang jaminan tetap milik orang yang menggadaikan (orang yang berhutang) tetapi dikuasai oleh penerima gadai (yang



berpiutang). Konsep tersebut



dalam fiqh Islam dikenaldengan istilah rahn atau gadai. Rahn adalah penyerahan barang yang dilakukan oleh muqtaridh (orang yang berhutang) sebagai jaminan atas hutang yang diterimanya. Dengan demikian, pihak yang memberi hutang memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya apabila peminjam tidak mampu membayar hutangnya, dengan beberapa ketentuan.



B. RUMUSAN MASALAH 1. Apa itu Rahn? 2. Apa Saja Dasar Hukum Rahn? 3. Apa Saja Rukun Rahn? 4. Apa Saja Manfaat Rahn? 5. Apa Saja Syarat-syarat Rahn? 6. Bagaimana Aplikasi Rahn dalam Perbankan Syariah? 7. Apa Saja Risiko Rahn? 8. Bagaimana Penyelesaian Rahn? 9. Apa Saja Produk Hukum Rahn? 10. Apa Fatwa-Fatwa DSN-MUI Tentang Pembiayaan yang Disertai Rahn?



1



BAB II PEMBAHASAN



A. Pengertian Rahn Rahn secara etimologis, berarti tsubut (tetap) dan



dawam (kekal, terus-menerus).



Dikatakan ma’rahin artinya air yang diam (tenang). Ni’mah rahinah, artinya nikmat yang terusmenerus/kekal. Ada yang mengatakan bahwa rahn adalah habs (menahan) berdasarkan firman Allah QS. Al- Mudatsir (74):



38: “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang



diperbuatnya”. Maksudnya, setiap diri itu tertahan. Makna ini lebih dekat dengan makna yang pertama (yakni tetap), karena sesuatu tertahan itu bersifat tetap di tempatnya.1 Adapun rahn secara terminologis adalah menjadikan harta benda sebagai jaminan utang agar utang itu dilunasi (dikembalikan), atau dibayarkan harganya jika tidak dapat mengembalikannya.2



B. Dasar Hukum Rahn Rahn (gadai) hukumnya boleh berdasarkan dalil Al-Qur’an, Hadis, dan Ijma’. 1.



Dalil Al-Qur’an adalah firman Allah dalam QS. Al- Baqarah (2): 283:



ٍ۬ ٍ۬ ۡ‫ض ُكم بَع‬ ‫ضا فَ ۡليُ َؤ ِد‬ ُ ۡ‫ضةۖ فَإ ِ ۡن أ َ ِمنَ بَع‬ َ ‫سفَ ٍ۬ر َولَ ۡم ت َ ِجدُواْ َكاتِ ٍ۬با فَ ِر َه ٰـ ٍ۬ن م ۡقبُو‬ َ ‫َوإِن ُكنت ُ ۡم َعلَ ٰى‬ ۡ َ‫ق ٱَّللَ َربهُ ۗۥ َو ََل ت َ ۡكت ُ ُمواْ ٱلش َه ٰـدَةۚ َ َو َمن ي‬ ‫ڪتُمۡ َها فَإِنهُ ۥۤ َءاثِ ٍ۬م قَ ۡلبُهُ ۗۥ‬ ِ ‫ٱلذِى ۡٱؤت ُ ِمنَ أ َ َم ٰـنَتَهُ ۥ َو ۡليَت‬ )٢٨٣( ‫َوٱَّللُ ِب َما ت َعۡ َملُونَ َع ِل ٍ۬يم‬



“Jika kalian dalam perjalanan (bermuamalah tidak secara tunai), sedangkan kalian tidak mendapatkan seorang penulis, hentdaklah ada barang tanggungan yang dipegang…”



2.



Dasar Hadis diantaranya adalah hadis yang bersumber dari Aisyah r.a.:



‫ﺗﺬاﻛﺮﻧﺎﻋﻨﺪاﺑﺮﻫﻴﻢاﻟﺮﺣﻤﻦﻮاﻟﻘﺒﻴﻞ‬:‫ﺣﺪﺛﻨﺎاﻷﻋﻤﺶﻗل‬:‫ﺣﺪﺛﻨﺎﻋﺒﺪاﻟﻮاﺣﺪ‬:‫ﺣﺪﺛﻨﺎﻣﺴﺪد‬ ْ‫ﺣﺪﺛﻨﺎاﻷﺳﻮد ﻋ ْﻦ ﻋﺎ ِئشة ﻗﺎﻟت‬:‫ﻓﻲاﻟﺴﻠﻒ˛ﻓﻘﺎٳلﺑﺮاﻫﻴﻢ‬ ‫ِى ِإﻟى أج ٍّﻞ ورﻫﻨهُ د ِْرﻋًﺎ ﻟهُ ِﻣ ْﻦ ﺣﺪِي ٍّﺪ‬ ُ ‫ر‬ ‫ﺳﻮل ه‬ ٍّ ‫ اشْتﺮى طعﺎ ًﻣﺎ ِﻣ ْﻦ ي ُهﻮد‬-‫صﻠى هللا ﻋﻠﻴه وﺳﻠﻢ‬- ِ‫َّللا‬ 1



Maman Surahman, Penerapan Prinsip Syariah pada Akad Rahn di Lembaga Pegadaian Syariah, Jurnal Law and Justice Vol. 2 No. 2 Oktober 2017. 2 Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2002), h 105.



2



“Bahwa Rasulullah SAW membeli makanan dari orang Yahudi dan beliau menggadaikan baju besi kepadanya.” (HR. Bukhari-Muslim). 3.



Dasar Ijma’ adalah bahwa kaum Muslimin sepakat diperbolehkan rahn (gadai) secara syariat ketika bepergian (safar) dan ketika di rumah (tidak bepergian) kecuali Mujahid berpendapat yang berpendapat rahn (gadai) hanya berlaku ketika bepergian berdasarkan ayat di atas. Akan tetapi, pendapat Mujahid ini dibantah dengan argumentasi hadis di atas. Di samping itu, penyebutan safar (bepergian) dalam ayat di atas keluar dari yang umum (kebiasaan).3



C. Rukun Rahn Rukun rahn (gadai) ada empat, yaitu: 1. Barang yang digadaikan (marhun) 2. Modal hasil gadaian (marhun bih) 3. Shigat 4. Aqidain (yang berakad), yaitu rahin (yang mengutang) dan murtahin (pemberi hutang).4



D. Manfaat Rahn Manfaat yang dapat diambil oleh bank dari prinsip rahn adalah sebagai berikut: 1.



Menjaga kemungkinan nasabah untuk lalai atau bermain-main dengan fasilitas pembiayaanyang diberikan bank.



2.



Memberikan keamanan bagi semua penabung dan pemegang deposito, bahwa dananya tidak akan hilang begitu saja jika nasabah peminjam ingkar janji karena ada suatu aset atau barang (marhun) yang dipegang oleh bank.



3.



Jika rahn diterapkan dalam mekanisme pegadaian, sudah barang tentu sangat membantu saudara kita yang kesulitan dana, terutama di daerah-daerah. Adapun manfaat langsung didapat bank adalah biaya-biaya konkret yang harus dibayar oleh nasabah untuk pemeliharaan dan keamanan asset tersebut. Jika penahanan asset berdasarkan



3 4



Ridwan Nurdin, Fiqh Muamalah (Sejarah, Hukum, dan Perkembangannya), (Pena: Banda Aceh, 2010), h 118. Jaih Mubarak & Hasanudin, Fikih Mu’amalah Maliyyah, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2017), h 220-221.



3



fidusia (penahanan barang bergerak sebagai jaminan pembayaran), nasabah juga harus membayar biaya asuransi yang besarnya sesuai dengan yang berlaku secara umum.5 E. Syarat – Syarat Rahn Dalam rahn disyaratkan beberapa syarat berikut. 1. Persyaratan Aqid Kedua orang yang akan akad harus memenuhi kriteria al-ahliyah. Menurut Ulama Syafi’yah ahliyah adalah orang yang telah sah untuk jual-beli, yakni berakal dan mumayyiz, tetapi tidak disyaratkan harus baligh. Dengan demikian, anak kecil yang sudah mumayyiz, dan orang yang bodoh berdasarkan izin dari walinya dibolehkan melakukan rahn. Menurut ulama selain Hanafiyah, ahliyah dalam rahn seperti pengertian ahliyah dalam jualbeli dan derma. Rahn tidak boleh dilakukan oleh orang yang mabuk,gila,bodoh,atau anak kecil yang belum baligh. Begitu pula seorang wali tidak boleh menggadaikan barang orang yang dikuasainya, kecuali jika dalam keadaan madarat dan meyakini bahwa pemegangnya yang dapat dipercayai.6



2. Syarat Shighat Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa shighat dalam rahn tidak boleh memakai syarat atau dikaitkan dengan sesuatu. Hal ini karena, seab rah jual-beli, jika memakai syarat tertentu, syarat tersebut batal dan rahn tetap sah. Adapun menurut ulama selain Hanafiyah, syarat dalam rah nada yang sahih dan yang rusak. Uraiannya adalah sebagai berikut: a. Ulama Syafi’yah berpendapat bahwa syarat dalam rahn ada tiga : 1. Syarat sahih, seperti mensyaratkan agar murtahin cepat membayar sehingga jaminan tidak disita. 2. Mensyaratkan sesuatu yang tidak bermanfaat, seperti mensyaratkan agar hewan yang dijadikan jaminannnya diberi makanan tertentu. Syarat seperti itu batal, tetapi akadnya sah. 3. Syarat yang merusak akad, seperti mensyaratkan sesuatu yang akan merugikan murtahin.



5 6



Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah Fiqh Muamalah, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2012), h 297. Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah , (Bandung: Pustaka Setia), h 162.



4



b. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa syarat rahn terbagi dua, yaitu rahn sahih dan rahn fasid. Rahn Fasid adalah rah yang di dalamnya mengendung persyaratan yang tidak sesuai dengan kebutuhan atau dipalingkan pada sesuatu yang haram, seperti mensyaratkan barang harus berada dibawah tanggung jawab rahin. c. Ulama Hanabialh berpendapat seperti pendapat Ulama Malikiyah diatas, yakni rahn terbagi dua, sahih dan fsid. Rahn sahih adalah rahn yang mengandung unsur kemaslahatan dan sesuai dengan kebutuhan.7



3. Syarat Marhun Bih (utang) Marhun bih adalah hak yang diberikan ketika rahn. Ulama Hanafiyah memberikan beberapa syarat, yaitu : a. Marhun bih hendaklah barang yang wajib diserahkan Menurut ulama selain Hanafiyah, marhun bih hendaklah berupa utang ang wajib diberikan kepada orang menggadaikan barang, baik berupa uang ataupun berbentuk benda. b. Marhun bih memungkinkan dapat dibayarkan Jika marhun bih tidak dapat dibayarkan, rahn menjadi tidak sah, sebab meyakini maksud dan tujuan dan disyariatkannya rahn. c. Hak atas marhun bih harus jelas Dengan demikian, tidak boleh memberikan dua marhun bih tanpa dijelaskan utang mana menjadi rahn. Ulama Hanabilah dan Syafi’yah memberikan tiga syarat bagi marhun bih : 1. Berupa utang yang tetap dan dapat dimanfaatkan. 2. Utang harus lazim pada waktu akad. 3. Utang harus jelas dan diketahui oleh rahin dan murtahin.8



4. Syarat Marhun (Borg) Marhun adalah barang yang dijadikan jaminan oleh rahin. Para ulama fiqih sepakat mensyaratkan marhun sebagaimana persyaratan barang dalam jual-beli, sehingga barang tersebut dapat dijual untuk memenuhi hak murtahin.



7 8



Ibid, h 163. Ibid, h 163-164.



5



Ulama Hanafiyah mensyaratkan marhun, antara lain. a.



Dapat diperjualbelikan



b.



Bermanfaat



c.



Jelas



d.



Milik rahin



e.



Bias diserahkan



f.



Tidak bersatu dengan harta lain



g.



Dipegang (dikuasai) oleh rahin



h.



Harta yang tetap atau dapat dipindahkan9



5. Syarat Kesempurnaan Rahn (Memegang Barang) Secara umum, ulama fiqih sepakat bahwa memegang atau menerima barang adalah syarat dalam rahn, yang didasarkan pada firman Allah SWT QS. Al-Baqarah: 283. Jumhur ulama Malikiyah berpendapat bahwa memegang bukan syarat sah rahn, tetapi syarat lazim. Dengan demikian, jika barang belum dipegang oleh murtahin, akad bisa dikembangkan lagi. Sebalikna, jika rahin sudah menyerahkan barang, maka akad menjadi lazim, dan rahin tidak boleh membatalkannya secara sepihak. Ulama malikiyah berpendapat bahwa memegang marhun adalah syarat kesempurnaan, tetapi bukan syarat sah atau syarat lazim. Menurut ulama malikiyah, akad dipandang lazim dengan adanya ijab qabul. Aakan tetapi, murtahin harus meminta kepada rahin barang yang digadaikan, jika tidak memintanya atau merelakan borg ditangan rahin, rahn menjadi batal. Ulama Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah berpendapat bahwa diantara syarat memegang, murtahin harus tetap atau lama memegang borg. Dengan demikian menurut Malikiyah dan Hanafiyah, rahn batal jika murtahin meminjamkan atau menitipkan borg kepada rahin. Adapun menurut ulama hanabilah, akad rahn tidak batal, tetapi hilang kelazimannya dan akan menjadi lazim kembali jika rahin mengembalikannya kepada murtahin. Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa akad rahn tidak batal jika murtahin menitipkan atau meminjamkan borg kepada rahin misalnya untuk memanfaatkannya. Hal itu didasari pada hadis Druquthni dan Hakim: “Rahn dikendarain dan diperah” 10 9



Ibid, h 164.



6



F. Aplikasi Rahn dalam Perbankan Syari’ah Kontrak rahn di[akai dalam perbankan dalam dua hal berikut : 1. Sebagai produk pelengkap. Rahn dipakai sebagai produk pelengkap, artinya sebagai akad tambahan (jaminan/collateral) terhadap produk lain seperti dalam pembiayaan ba’I al-murabahah. Bank dapat menahan barang nasabah sebagai konsekuensi akad tersebut. 2. Sebagai Produk tersendiri. Di beberapa Negara Islam termasuk di antaranya adalah Malaysia, akad rahn telah dipakai sebagai alternatif dari pegadaian konvensional. Bedanya dengan pegadaian biasa, dalam rahn, nasabah tidak dikenakan bunga; yang dipungut dari nasabah adalah biaya penitipan, pemeliharaan, penjagaan, serta penaksiran.



Perbedaan utama antara biaya rahn dan bunga pegadaian adalah sifat bunga yang biasa berakumulasi dan berlipat ganda, sedangkan biaya rahn hanya sekali dan ditetapkan dimuka.11



G. RISIKO RAHN Adapun risiko yang mungkin terdapat pada rahn apabila diterapkan sebagai produk adalah : a. Risiko tidak terbayarnya uang nasabah (wanprestasi) b. Risiko penurunan nilai aset yang ditahan atau rusak.12



H. Penyelesaian Rahn (Gadai) Untuk menjaga supaya tidak ada pihak yang dirugikan, dalam gadai tidak boleh diadakan syarat-syarat, misalkan ketika akad gadai diucapkan, ”Apabila rahin tidak mampu melunasi utangnya hingga waktu yang telah ditentukan, maka marhun menjadi milik murtahin sebagai pembayaran utang”, sebab ada kemungkinan pada waktu pembayaran yang telah ditentukan untuk membayar utang harga marhun akan lebih kecil daripada utang rahin yang harus dibayar, 10



Ibid. Imam Mustofa, Fiqih Muamalah Kontemporer, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2016), h 201-202. 12 Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah Fiqh Muamalah, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2012), h 297 11



7



yang mengakibatkan ruginya pihak murtahin. Sebaliknya ada kemungkinan juga harga marhun pada waktu pembayaran yang telah ditentukan akan lebih besar jumlahnya daripada utang yang harus dibayar, yang akibatnya akan merugikan pihak rahin. Apabila syarat seperti diatas diadakan dalam akad gadai, akad gadai itu sah, tetapi syaratsyaratnya batal dan tidak perlu diperhatikan. Apabila pada waktu pembayaran yang telah ditentukan rahin belum membayar utangnya, hak murtahin adalah menjual marhun, pembelinya boleh murtahin sendiri atau yang lain, tetapi dengan harga yang umum berlaku pada waktu itu dari penjualan marhun tersebut. Hak murtahin hanyalah sebesar piutangnya, dengan akibat apabila harga penjualan marhun lebih besar dari jumlah utang, sisanya dikembalikan kepada rahin. Apabila sebaliknya, harga penjualan marhun kurang dari jumlah utang, rahin masih menanggung pembayaran kekurangannya.13



I.



Produk Hukum Rahn Dalam konteks hukum, di indonesia telah ditemukan beberapa produk hukum yang



berkaitan dengan rahn ini, baik dalam bentuk peraturan perundang undangan maupun dalam bentuk fatwa yang dikeluarkan oleh DSN Majelis Ulama Indonesia. Undang Undang pertama yang menyebutkan istilah ijarah adalah UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan UU Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam undang undang ini, Rahn disebut dengan istilah agunan yang berarti jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.Ketentuan ini diperkuat lagi dalm pasal 1 ayat 26 UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah yang menyebutkan bahwa rahn (agunan) adalah jaminan tambahan, baik berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak, yang diserahkan oleh pemilik agunan kepada bank syariah dan/atau UUS, guna menjamin pelusanan kewajiban nasabah penerima fasilitas. Produk hukum lain yang berbicara tentang rahn adalah fatwa DSN MUI. Ada tiga fatwa yang terkait dengan rahn ini, yakni fatwa DSN-MUI Nomor 25/DSN-MUI/ III /2002 tentang rahn



13



Nurhayati & Ali Imran Sinaga, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Depok: Prenadamedia Group, 2017), h 175.



8



fatwa DSN-MUI Nomor 26/DSN-MUI /III/2002 tentang rahn emas, dan fatwa DSN-MUI Nomor 26/DSN-MUI/III/2008 tentang rahn Tasjily. Dalam fatwa DSN-MUI Nomor 25/DSN-MUI/III/2002 Telah disebutkan berbagai aturan yzang berkaitan dengan rahn. Rahn dalam fatwa tersebut diartikan dengan menahan barang sebagai jaminan utang. Selain itu, dalam fatwa tersebut dikemukakan ketentuan umum yang berkaitan dengan rahn. Pertama, murtahin( penerima barang) mempunyai hak untuk menahan marhun atau barang sampai semua utang rahin ( yang menyerahkan barang ) dilunasi. Kedua, Marhun dan manfaatnya



tetap menjadi milik rahin. Pada prinsipnya, marhun tidak boleh



dimanfaatkan oleh murtahin kecuali seizin rahin, dengan tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatanya itu sekedar pengganti biaya pemeliharan dan perawatanya. Ketiga, pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahin, namun dapat bila dilakukan juga oleh muratahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin. Keempat, besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman. Kelima, penjualan marhun; (a) apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin untuk segera melunasi utangnya; (b) apabila rahin tetap tidak bisa melunasi utangnya, maka marhun dijual paksa/di eksekusi melalui lelang sesuai syariah; (c) hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan; dan (d) kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekuranganya menjadi kewajiban rahin.14



J.



Fatwa DSN-MUI Tentang Pembiayaan Yang Disertai Rahn Diskusi keterkaitan antara qardh dan ujrah atas penjagaan serta pemeliharaan marhun



berhubungan dengan tiga fatwa DSN-MUI, yaitu fatwa Nomor 25 Tahun 2002 tentang rahn, fatwa Nomor 26 Tahun 2002 rahn emas, dan fatwa nomor 29 tahun 2002 tentang pembiayaan pengurus haji lembaga keuangan syariah. Setelah itu, dibuatlah fatwa Yang bersifat lebih luas sehingga utang piutang (al-dain) tidak mesti lahir karena akad qardh, yaitu fatwa DSN-MUI Nomor 92 Tahun 2014 tentang pembiayaan yang disertai rahn (al-tamwil mautsuq bi al-rahn) ketentuan penting dalam fatwa Nomor 92 Tahun 2014, antara lain; 14



Budiman Setyo Harryanto, Kedudukan Gadai Syariah (Rahn) dalam Sistem Hukum Jaminan Indonesia, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 10 No. 1 Januari 2010.



9



1. Ketentuan tentang barang jaminan atau (marhun), yaitu: a. Barang jamianan (marhun) harus berupa harta (mal) berharga. Baik benda bergerak maupun tidak bergerak, yang boleh dan dapat diperjual belikan, termaksud aset keuangan beupa sukuk, efek syariah atau surat berharga syariah lainya. b. Jika barang jaminan (marhun) merupakan musya’ (bagian dari kepemilikan bersama/ part of undivided of ownership), musya’ yang digadaikan harus sesuai dengan porsi kepemilikanya. c. Barang jaminan (marhun) boleh diasuransikan sesuai peraturan perundang undangan yang berlaku atau kesepakatan. 2. Ketentuan tentang utang (marhun bih/dain), yaitu: a. Utang boleh dalam bentuk uang dan atau barang. b. Utang harus bersifak mengikat (lazim) yang tidak mungkin dihapus, kecuali setelah dibayar atau dibebaskan. c. Utang harus jelas jumlah atau kuantitas dan atau kualitasnza serta jangka waktunya. d. Utang tidak boleh bertambah karena perpanjangan jangka waktu pembayaran. e. Apabila jangka waktu pembayaran utang/pengembalian modal diperpanjang, lembaga keuangan syariah megenakan ta’widh dan ta’zir jika rahin melanggar perjanjian



atau



terlambat



menuanaikan



kewajibanya



dan



mengenakan



pembebanan biaya riil jika jangka waktu pembayaran diperpanjang.



3. Ketentuan Mengenai Akad, yaitu: a. Pada prinsispnya akad rahn diperbolehkan hanya atas utang piutang (al-da’in) yang antara lain timbul karena akad qardh, jual beli (al-bai’) yang tidak tunai, atau akad sewa menyewa (ijarah) yang pembayaran ujrahnya tidak tunai. b. Pada prinsipnya, dalm akad amanah tidak diperbolehkan adanya barang jaminan (marhun). Namun, agar pemegang amanah tidak melakukan penyimpangan perilaku (moral hazard), Lembaga Keuangan Syariah boleh meminta barang jaminan (marhun)



10



dari pemegang amanah (antara lain syarik, mudharib, dan musta’jir) atau pihak ketiga. c. Barang jaminan (marhun) dalam akad amanah hanya dapat dieksekusi apabila pemegang amanah amanah (antara lain syarik, mudharib, dan musta’jir) melakukan perbuatan moral hazard, antara lain; 1) ta’addi (ifrath),yaitu melakukan sesuatu yang tidak boleh/tidak semestinya dilakukan; 2) taqsir (tafrith) yaitu tidak melakukan sesuatu yang boleh/semestiya dilakukan; atau 3) mukhalafat al-syurut, yaitu melanggar ketentuan-ketentuan (yang tidak bertentangan dengan syariah) yang disepakati pihak-pihak yang berakad. 4. Ketentuan tentang Pendapatan Murtahin, yaitu: a. Jika rahn (dain/marhun bih) terjadi karena akad jual-beli (al-bai’) yang pembayarannya tidak tunai, pedapatan murtahin hanya berasal dari keuntungan (alribh) jual-beli. b. Jika rahn (dain/marhun bih) terjadi karena akad sewa-menyewa (ijarah) yang pembayarannya ujrah-nya tidak tunai, pendapatan murtahin hanya berasal dari ujrah. c. Jika rahn (dain/marhun bih) terjadi karena peminjaman uang (akad qardh), pendapatan murtahin hanya berasal dari mu’nah (jasa pemeliharaan/penjagaan) atas marhun yang besarnya harus ditetapkan pada saaat akad, sebagaimana ujrah dalam akad ijarah. d. Jika rahn dilakukan pada akad amanah, pendapatan/penghasilan murtahin (syarik/shahibul mal) hanya berasal dari bagi hasil atas usaha yang dilakukan oleh pemegang amanah (syarik-pengelola/mudharib).15



15



Mubarak & Hasanudin, Fikih Mu’amalah Maliyyah, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2017), h 231-233.



11



PENUTUP A. KESIMPULAN Rahn (gadai) adalah menjadikah suatu benda itu berharga sebagai jaminan sebagai tanggungan utang berdasarkan perjanjian (akad) antara orang yang memiliki hutang dengan pihak yang memberi hutang. Dapat disimpulkan bawa syarat barang gadai adalah sehat fikirannya, baligh, dewasa, adanya barang gadai, dan barang gadai tersebut bisa diserahkan/dipegang murtahin. Rukun dari gadai adalah adanya rahin, murtahin, borg, akad dan hutang yang dimiliki. Dalam pemanfaatan barang gadai terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama yaitu diantara jumhur Fuqoha’, Ulama’ Hanafiyah, Mahmud Syaltut dan Imam Ahmad,Ibnu Ishak, Al Laits, dan Al Hasan, yaitu antara memperbolehkan pemanfaatan barang gadai dengan seizin orang yang menggadaikan dan tidak memperbolehkannya dikarenakan hal itu termasuk riba dalam hutang.



12



DAFTAR PUSTAKA Mardani. 2012. Fiqh Ekonomi Syariah Fiqh Muamalah. Jakarta: Prenada Media Group. Suhendi, Hendi. 2002. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. Mubarok, Jaih & Hasanudin. 2017. Fikih Muamalah Maliyyah Akad Tabarru’. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Janwari, Yadi. 2015. Lembaga Keuangan Syariah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Mustofa, Imam. 2016. Fiqih Muamalah Kontemporer. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. Nurhayati & Ali Imran Sinaga. 2017. Fiqh dan Ushul Fiqh. Depok: Prenada Media Group. Syafe’I, Rachmat. Fiqih Muamalah untuk UIN, STAIN, PTAIS, dan Umum. Bandung: Pustaka Setia. Nurdin, Ridwan. Fiqh Muamalah (Sejarah, Hukum, dan Perkembangannya). Banda Aceh: Yayasan Pena Banda Aceh. Surahman, Maman & Panji. Penerapan Prinsip Syariah pada Akad Rahn di Lembaga Pegadaian Syariah. Jurnal Law and Justice Vol. 2 No. 2 Oktoberr 2017. Haryanto, Budiman Setyo. Kedudukan Gadai Syariah (Rahn) Dalam Sistem Hukum Jaminan Indonesia). Jurnal Dinamika Hukum Vol. 10 No. 1 Januari 2010.



13