Fisika Bintang Bintang - Fix [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada malam hari, bintang-bintang terlihat menempel di kubah bola langit, seakan-akan semua bintang sama jauhnya dari bumi, tetapi bila dilihat dari cahayanya, ada bintang besar yang sangat terang dan ada pula yang nampak dengan cahaya sangat lemah. Terang lemahnya suatu cahaya bintang bisa disebabkan karena memang cahaya bintang itu demikian keadaannya, tetapi bisa juga disebabkan karena jauh dekatnya kedudukan suatu bintang itu dari pengamat (bumi). Bintang yang jauh akan tampak cahayanya lebih lemah dan kecil, sedangkan bintang yang dekat akan tampak terang dan besar. Cahaya



bintang



yang



terlihat



dengan



menggunakan



mata



tidak



menunjukkan cahaya bintang yang sebenarnya. Bumi beredar mengelilingi matahari satu kali edar dalam satu tahun, hal ini berarti kedudukan bumi terhadap bintang juga berubah selama satu tahun. Bintang, yang juga seperti matahari, adalah benda angkasa yang memancarkan cahayanya sendiri. Warna cahaya bintang itu berbeda-beda, dan menurut hukum radiasi, bintang yang biru suhunya lebih tinggi dari bintang yang sinar cahayanya kuning. Jadi, cahaya bintang tersebut dipengaruhi oleh suhu permukaan bintang. Jika dilihat, warna bintang dengan menggunakan mata dan dengan menggunakan plat



film akan



menunjukkan hasil yang berbeda, hal ini disebabakan karena mata akan lebih peka terhadap cahaya merah dan kuning, sedangkan plat film peka terhadap cahaya biru dan putih. Perbedaan cahaya bintang ini tidak hanya dipengaruhi oleh jarak bintang terhadap pengamat, tetapi juga dipengaruhi suhu permukaan bintang tersebut dan spektrum yang dipancarkan oleh bintang. Untuk mengatasi keterbatasan penglihatan warna bintang, sekarang ini telah dibuat plat film yang peka terhadap berbagai spektrum cahaya. Ada berbagai spektrum cahaya bintang yang hampir sama dengan spektrum cahaya matahari, hal ini yang membedakan penglihatan warna



1



bintang yang diamati. Selain memiliki perbedaan cahaya, bintang juga bisa mengalami revolusi. Berdasarkan latar belakang inilah, maka dipandang perlu untuk membahas lebih jauh tentang fisika bintang-bintang. Hal itulah yang melatarbelakangi penulisan makalah dengan judul, “Fisika BintangBintang”. Dalam makalah ini, akan dibahas lebih lanjut mengenai jarak dan cahaya bintang, warna dan suhu bintang, spektrum bintang, dan gerak bintang. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah pada makalah ini, diantaranya: 1.2.1. Bagaimanakah jarak dan cahaya bintang? 1.2.2. Bagaimanakah warna dan suhu bintang? 1.2.3. Bagaimanakah spektrum bintang? 1.2.4. Bagaimanakah gerak bintang? 1.3. Tujuan Penulisan Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut: 1.3.1. Untuk mendeskripsikan mengenai jarak dan cahaya bintang. 1.3.2. Untuk mendeskripsikan mengenai warna dan suhu bintang. 1.3.3. Untuk mendeskripsikan mengenai spektrum bintang. 1.3.4. Untuk mendeskripsikan gerak bintang. 1.4. Manfaat Penulisan 1.4.1. Bagi penulis Penulisan makalah ini bermanfaat untuk meningkatkan pengetahuan penulis tentang penulisan suatu karya ilmiah dan materi fisika bintang-bintang. 1.4.2. Bagi pembaca Penulisan makalah ini bermanfaat bagi pembaca terutama untuk menambah pengetahuan tentang fisika dalam bintang-bintang.



2



BAB II PEMBAHASAN 2.1. Jarak dan Cahaya Bintang Di malam hari bintang-bintang tampak seperti menempel di kubah bola langit, seakan-akan semua itu sama jauhnya dari bumi. Tetapi bila dilihat dari cahanya, ada bintang besar dan sangat terang, dan ada pula yang tampak kecil dengan cahayanya yang sangat lemah. Terang lemahnya cahaya bintang bisa disebabkan karena memang cahaya bintang itu demikian keadaannya, tetapi bisa pula disebabkan jauh dekatnya kedudukan bintang itu dari pengamat (bumi). Bintang yang jauh akan tampak cahayanya lebih lemah dan kecil, sedang bintang yang dekat akan tampak terang dan besar. Seperti halnya dengan bola lampu mobil, bila mobil itu jauh akan tampak cahaya lampu itu lemah dan kecil, tetapi bila mobil itu sudah dekat akan tampak cahaya lampunya terang dan besar. Salah satu cara untuk menentukan jarak suatu bintang adalah dengan mengukur paralaks bintang tersebut, yaitu perubahan arah penampakan bintang dari satu sisi ke sisi dari orbit lain 2.1.1. Jarak dan Paralaksis Bintang Bumi beredar mengelilingi matahari satu kali edar dalam satu tahun. Ini berarti kedudukan bumi terhadap bintang juga berubah selama satu tahun (Surya, 2006). Bintang yang jaraknya dekat, penampakannya akan bergeser terhadap kedudukan binatng jauh yang tampak seperti latar belakang. Perubahan kedudukan ini akan tampak berbentuk kecil terhadap bintang jauh tersebut seperti terlihat pada Gambar 1 berikut.



Gambar 1. Kedudukan bumi mengitari matahari dan paralaks bintang



3



Misalkan ketika bumi berada di B1, maka binatng S akan tampak berada di S1,sedangkan 6 bulan kemudian bumi berada di B 2 dan bintang S akan tampak berada di S2, dan 6 bulan berikutnya lagi bumi berada kembali di B1 dan bintang



S kembali berada di S 1. demikian terus



berulang selam setahun. Perubahan kedudukan bintang di langit dari sisi orbit yang satu ke sisi orbit yang lain disebut paralaks bintang. Setengah sumbu panjang orbit paralaks bintang itu dinamakan paralaks heliosentrik, yaitu sama dengan sudut p. Dari gambar 1 di atas terlihat bahwa dari segitiga MB1S didapat: sin p 



MB1 a  B1 S d



sin p 



(1.1)



c d



Paralaks bintang biasanya sangat kecil, dan bila p dinyatakan dalam radian di mana 1 rad = 57,30 , maka sin p = p, sehingga persamaan (1.1) menjadi: p



a d



(1.2)



Jarak rerata bumi-matahari a = 1,5 x 1011m disebut dengan satu satuan Astronomi atau 1 SA = 1,5 x 1011m. bila a dinyatakan dalam SA, maka persamaan (1.1) bisa ditulis menjadi: p



1 atau d



d 



1 p



(1.3)



Dari hasil pengamatan ternyata paralaks bintang selalu lebih kecil dari satu detik busur dan terbesar paralksnya adalah 0,76 detik busur (0’’, 76). Bintang yang paralaksnya satu detik busur, jaraknya dinamakan satu parsec (pc) atau dengan perkataan lain p = 1’’ maka d = 1 pc. Karena 1 rad = 206265” atau 1”= 1/206265 rad Maka persamaan (5.3) dapat ditulis menjadi 1pc 



1 SA 1 / 206265



1pc  206265SA



atau (1.4)



4



Bila paralaks p dinyatakan dalam detik busur (”) dan jarak d dinyatakan dalam parsec (pc) maka persamaan (1.3) menjadi, 1  pc  p



d



(1.5)



Karena ukuran jarak bintang merupakan bilangan yang sangat besar, lebih-lebih bila dinyatakan dalam meter, maka jarak bintang sering atau lebih umum dinyatakan dalam tahun cahaya (tc). Karena laju cahaya c = 3 x 108 m/s atau 1 detik cahaya = 3 x 108, maka: 1 tahun cahaya = 365 x 24 x 60 x 60 x (3 x 108) m = 9,46 x 1015m 1tc 



9,46 x1015 m  6,3x10 4 SA 11 1,5x10 m / SA



Karena 1 pc = 206265 = Jadi,



206265SA  3,26 tc 6,3x10 4 SA / tc



1 pc = 3,26 tc



Menentukan paralaks bintang adalah pekerjaan yang sangat sulit, karena pada umumnya paralaks bintang itu jauh lebih kecil dari satu detik busur. Misalnya bintang kasat mata yang paralaksnya terbesar adalah bintang Alpha Centauri yang paralaksnya adalah 0,75. berarti jarak bintang ini adalah: 1 pc  1,33pc 0,75 d  1,33pc  3,26 tc / pc   4,3tc d



Contoh: Bintang sirius paralaksnya 0,38. Berapa jarak bintang tersebut dalam tahun cahaya (tc)? Penyelesaian: Diketahui:



p = 0,38



Ditanyakan:



d = . . .?



Jawab:



5



d = 1/p = 1/0,38 pc = 2,6 pc = (3,26 tc/pc) (2,6 pc) = 8,5 tc Di dalam astronomi, metode yang digunakan dalam penentuan jarak adalah metode paralaks. Paralaks merupakan metode yang digunakan dengan melihat pada pergeseran dua titik tetap relatif satu terhadap yang lain dilihat dari sudut pandang pengamat. a) Paralaks Trigonometri Penentuan jarak bintang baru berhasil dilakukan pada abad ke-19 dengan menggunakan metode paralaks trigonometri (Surya, 2006). Akibat dari gerak edar bumi, bintang dekat akan terlihat bergeser terhadap bintang jauh. Dan bintang tersebut seolah bergerak menempuh lintasan ellips relatif terhadap latar belakang bintang yang jauh. Gerak ellips tersebut merupakan pencerminan gerak bumi. Sudut yang dibentuk oleh bumi dan matahari ke bintang inilah yang diebut paralaks bintang. Semakin jauh letak bintang, lintasan ellipsnya makin kecil, paralaksnya juga makin kecil



Gambar 2. jarak bumi - matahari, serta paralaks bintang Dengan mengetahui jarak bumi - matahari, serta paralaks bintang, jarak bintang bisa diketahui dari hubungan :



Metode paralaks trigonometri hanya bisa digunakan untuk mendapatkan jarak bintang-bintang terdekat (untuk jarak ratusan parsec). b) Paralaks Spektroskopik Dalam pengamatan, terang suatu bintang diukur dalam satuan magnitude (Suwitra, 2010). Dari pengamatan magnitudo semu bintang serta kelas spektrum bintang juga bisa diketahui. Dengan mendefinisikan 6



magnitudo mutlak bintang sebagai magnitudo bintang yang diandaikan diamati pada jarak yang sama, yaitu 10 parsec. Untuk bintang-bintang jauh, dengan membandingkan kelas spektrum bintang dari hasil pengamatan dengan bintang yang kelas spektrumnya sama dan sudah diketahui jaraknya, magnitudo mutlak bintang bisa diketahui dari hubungan pada temperatur (kelas spektrum dengan M). Selisih magnitudo semu dan magnitudo mutlak akan memberikan harga jarak bintang dari pengamat setelah dikoreksi terhadap serapan antar bintang :



Kondisi tanpa adanya debu akan mempermudah penentuan magnitudo absolut bintang. Untuk bintang dekat, efek debu kecil dan bisa diabaikan. c) Paralaks Rata-Rata Perhitungan jarak bintang dengan paralaks rata-rata dilakukan untuk bintang-bintang yang sangat jauh. Penentuan paraks rata-rata melibatkan sejumlah bintang yang memiliki kelas spektrum dan kelas luminositas yang sama sehingga diharapkan magnitudo mutlak semua bintang dalam gugus akan sama. Untuk menentukan paralaks rata-rata, diamati gerak bintang yang akan memberi informasi jaraknya. Gerak sejati bintang bisa diuraikan dalam 2 komponen yakni komponen apex-antapex dan komponen



yang tegak lurus arah apex – antapex dan



tidak terpengaruh gerak matahari. Bila kecepatan tangensial pada arah



yang searah dengan arah



merupakan komponen



, maka :



τ yang digunakan adalah harga rata-rata untuk semua bintang. Paralaks rata-rata sekelompok bintang itu akan memenuhi persamaan :



dimana Dari pengamatan terhadap



dan



masing-masing bintang, harga



magnitudo mutlak bintang kelompok itu bisa ditentukan dari hubungan :



7



Dari sini harga paralaks masing-masing bintang bisa ditentukan dan jarak bisa diketahui d) Paralaks Gerak Gugus Penentuan jarak berdasarkan gerak bintang juga bisa dilakukan dengan mengamati gerak sejati bintang dalam gugus bintang. Untuk gugus yang tidak terlampau jauh, lintasan bintang dalam gugus terlihat memusat pada suatu titik. Titik temu vektor gerak sejati inilah yang disebut titik vertex. Jika A merupakan sudut yang dibentuk oleh gugus bintang dan titik vertex dan V merupakan kecepatan gugus dalam ruang dimana Vr merupakan kecepatan radialnya, maka kecepatan tangensialnya gugus adalah :



Dengan mengetahui kecepatan tangensial, jarak bisa diketahui dari hubungan : , merupakan gerak sejati bintang



Gambar 3. jarak bumi - matahari, serta paralaks bintang e) Paralaks Dinamik Dalam pengamatan bintang ganda visual, parameter orbit yang dapat ditentukan adalah sudut inklinasi eksentrisitas orbit sumbu besar



, sudut setengah sumbu besar



, periode orbit



,



. Hubungan antara sudut setengah



dan setengah sumbu besar



adalah :



atau dengan jarak dinyatakan dalam AU sehingga hubungan jarak dan paralaks yang berlaku adalah



; paralaks dalam detik busur.



8



Dari hubungan Hukum Keppler Ketiga didapat :



Jika sudut setengah sumbu besar orbit masing-masing bintang adalah dan



maka : atau



Dan massa bintang memenuhi :



Pada sistem bintang ganda visual, magnitudo mutlak bolometrik setiap komponen dapat ditentukan, dan luminositasnya dapat diketahui : , dan dari hubungan empirik massa-luminositas : atau Dari hubungan-hubungan ini dapat diketahui jarak bintang jika pada pengamatan bintang ganda visual telah diketahui



dengan



langkah sebagai berikut : Langkah 1 : Pendekatan pertama, anggap massa total Langkah 2 : Tentukan paralaks dari hubungan Langkah 3 : Tentukan magnitudo mutlak bolometrik untuk masing-masing komponen Langkah 4 :Tentukan massa masing-masing bintang dari hubungan massaluminositas Langkah 5 : Ulangi langkah 2 Langkah 6 : Ulangi langkah 3



9



Langkah-langkah ini diulang sampai mendapat beda harga p, M 1 dan M2 yang cukup kecil. Jarak bisa didapat dari hubungan paralaks dan jarak :



f) Cepheid Sebagai Lilin Penentu Jarak Tahun 1784, John Goodricke menemukan kalau bintang Cepheid berubah cahayanya secara berkala dan diduga merupakan komponen bintang ganda. Tapi pada tahun 1914 Shapley menemukan kalau bintang ini berubah-ubah cahayanya bukan karena Cepheid merupakan bintang ganda gerhana melainkan bintang ini berdenyut. Secara teori hubungan periode perubahan cahaya dan rapat massa bintang memberikan :



Pada bintang Cepheid juga ditemukan hubungan antara luminositas dan periode perubahan cahaya. Hubungan ini menyatakan semakin terang suatu Cepheid, makin besar periodenya. Untuk mengetahui jarak variabel Cepheid di galaksi lain, diambil hubungan titik nol yakni titik pada periode dimana magnitudo mutlaknya nol. Untuk mendapatkan hubungan titik nol, dapat ditentukan dengan membandingkannya dengan Cepheid dalam Galaksi kita pada gugus bintang yang jaraknya sudah diketahui. Dengan mengandaikan Cepheid yang diamati memiliki sifat sama dengan Cepheid di Galaksi kita, maka periode perubahan cahaya dan luminositasnya dianggap sama juga. Karena luminositas dianggap sama maka Magnitudo mutlak bisa diketahui dari hubungan :



Maka modulus jarak



bisa diketahui dengan m dari



pengamatan pada bintang variabel Cepheid galaksi lain yang diamati, maka jarak pun bisa diketahui :



2.1.2. Terang Bintang Bintang, seperti juga matahari adalah benda angkasa yang memancarkan cahaya sendiri. Seperti yang telah diketahui bahwa terang 10



suatu benda yang bercahaya yang nampak oleh mata, terangnya sangat bergantung pada jarak benda tersebut. Makinjauh jarak bintang tersebut maka makin redup pula cahayanya yang namapak oleh mata. Terang bintang yang tampak oleh pengamat (bumi) adalah merupakan energi dari bintang itu yang diterima oleh pengamat per satuan waktu per satuan luas yang disebut dengan fluks energi yang dinyatakan dalam joule/s.m2. Besarnya energi yang dipancarkan oleh suatu bintang ke ruang angkasa per satuan waktu disebut luminositas (L) bintang.



L







S



E



B



d Gambar 4. memperlihatkan suatu bintang S yang luminositasnya L. Berarti bintang ini memancarkan energi ke ruang angkasa ke segala arah Gambar 4. Hubungan luminositas L, jarak d, dari fluks sebesar L joule per detik (J/s). Pengamat B yang berada pada jarak d dari energi E bintang S juga akan menerima energi yang dipancarkan oleh bintang S ini. Besarnya energi yang diterima oleh pengamat B (bumi) per satuan waktu per satuan luas adalah sebesar E. Dikatakan fluks energi di B adalah E. Karena energi yang dipancarkan oleh bintang s telah merambat sejauh d, berarti melalui permukaan seluas 4rd 2 . Oleh karena itu, besarnya energi yang diterima oleh b per satuan luas per satuan waktu yang sama dengan fluks energi di B adalah E



L 4d 2



(1.6)



11



Terang bintang yang tampak oleh pengamat bergantung pada fluks energi binatang yang sampai di mata pengamat. Bintang tampak terang bila fluks energinya besar dan tampak lemah bila fluks energinya kecil. Dari persamaan (5.6) terlihat bahwa fluks energi ini sebanding dengan luminositas bintang dan berbanding terbalik dengan kuadrat jaraknya dari pengamat. Misalnya, matahari sebenarnya adalah sebuah bintang, tetapi karena jaraknya yang sangat dekat dibandingkan dengan bintang lainnya, makanya fluks energinya jauh lebih besar sehingga terang matahari jauh lebih kuat dibandingkan dengan bintang lainnya. Jadi sebenarnya matahari adalah merupakan bintang yang terdekat jaraknya dengan bumi. Fluks energi matahari yang tiba di bumi adalah 1,95 kalori per cm2 per menit yang disebut tetapan matahari. Bila tetapan matahari ini kita namakan E  maka, E   1,95 kal per cm2 per menit



Karena jaraak bumi-matahari telah diketahui d = 1,5 x 10 11 m atau sama dengan 1 SA, maka dengan menggunakan persamaan (5.6) kita bisa menghitung luminositas matahari, L  L   4d 2 .E 







  4  1,5x1011 m  3,78x10  3,9 x10



26



26



 1,37 x10 2



3



J / m 2 .s







J/s



watt  3,9 x10 20 MW



Ini berarti matahari memancarkan energinya ke ruang angkasa tiap detiknya sebesar 3,9x1020 MW. Energi sebesar ini sama dengan energi yang dihasilkan oleh semua pembangkit energi butan manusia di bumi sekarang ini untuk selama tiga juta tahun. Menentukan Jejari Matahari Karena matahari nampak sebagai piringan di bola langit, maka kita bisa menentukan jejarinya dengan mengukur diamater sudut bulatan matahari seperti pada Gambar 5. jadi berbeda dengan bintang yang dilihat dengan teleskop apapun hanya nampak sebagai titik cahaya saja.



Gambar 5 Menentukan jejari matahari dengan mengukur jejari angulernya



12



Dari Gambar 5 di atas terlihat bahwa R   d  tan  , di mana R  = jejari matahari d  = jarak matahari ke bumi







= jejari anguler matahari



Dari hasil pengukuran didapat bahwa besarnya jejari anguler matahari θ = 960” dan jarak bumi-matahari d  =1,5 x 1011m. Oleh karena itu, R  = (1,5 x 1011m). Tan 960”



= 6,98 x 108 m Dibandingkan dengan jejari bumi R  = 6,37 x 106 m, berarti, R 6,98x10 8 m   109 R  6,37 x10 6 m



Jadi jejari matahari adalah 109 kali jejari bumi. Sebagai gambar nyata bayangkan matahari itu sebesar bola basket maka bumi hanya sebesar kacang hijau yang kedudukannya berada pada jarak sekitar 100 meter dari bola basket tersebut. 2.1.3. Magnitudo Bintang Bila diperhatikan cahaya bintang di langit, ternyata ada bintang yang sangat terang dan ada bintang yang sangat lemah cahayanya. Pada abad kedua sebelum Masehi, Hiparcus telah membuat penggolongan terang



bintang



yang



disebut



dengan



magnitudo



bintang.



Dia



menggolongkan bintang dalam enam kategori yaitu bintang yang paling terang tampak oleh mata diberi magnitudo 1, dan bintang yang paling lemah cahayanya yang masih bisa dilihat dengan mata telanjang diberi



13



magnitudo 6. Oleh karena itu, bintang memiliki magnitudo antara 1 sampai dengan 6. Pada tahun 1830, Herschel (dalam Suwitra, 2010) berkesimpulan bahwa bintang yang magnitudonya 1 terangnya 100 kali lebih terang dari bintang yang magnitudonya 6. Webwr dan Fechner (dalam Suwitra, 2010) mengajukan bahwa kepekaan penginderaan manusia bersifat logaritmik, dengan rumusan S = c log R



(1.7)



Di mana S = intensitas penginderaan R = stimulus yang menyebabkan, dan c = konstanta perbandingan Pada tahun 1856, Pogson (Suwitra, 2010) menggunakan hukum Weber dan Fechner dan menilai Konstanta c = -2,5 atau = - 1/0,4 = 1/ log 2,512 Dengan hubungan sebagai berikut:



0,4 m 2  m1   log E1 / E 2 atau m 2  m1  2,5 log E 2 / E 1



(1.8)



Di mana, m1 = magnitudo bintang yang fluksnya E1 dan m2 = magnitudo bintang yang fluksnya E2. Persamaan (1.8) ini dinamakan persamaan Pogson Dengan pengukuran secara cermat ternyata ada bintang yang magnitudonya lebih kecil dari 1 dan ada pula yang lebih besar dari 6. Telah kita ketahui bahwa makin kecil magnitudo bintang berarti makin terang cahayanya dan sebaliknya, makin besar magnitudonya maka makin lemah cahayanya. Berikut ini adalah tabel data magnitudo beberapa bintang dan benda langit lainnya. Tabel 1. Data Magnitudo Beberapa Bintang dan Benda Langit Lainnya Benda Langit Matahari Bulan purnama



Magnitudo -26,8 -12,7



Benda Langit Sirius Aldebaran



Magnitudo -1,5 0,8 14



Jupiter Venus Mars



-4,4 -2,7 -2,0



Betelgeuse Antares Vega



0,4 0,98 0,04



a) Magnitudo Semu dan Magnitudo Mutlak Terang bintang yang tampak adalah merupakan ukuran dari fluks energinya yang diterima oleh mata. Telah kita ketahui bahwa fluks energinya itu berbanding terbalik dengan kuadrat jaraknya, seperti pada persamaan (1.6). Ini berarti bahwa terang bintang yang tampak oleh mata kita tidak bisa membandingkan mana sebenarnya lebih terang atau lebih lemah dari yang lainnya. Oleh karena itu, terang bintang yang tampak oleh mata dinamakan magnitudo semu yang diberi simbol m. Untuk membandingkan terang sebenarnya bintang satu dengan yang lainnya, maka bintang haruslah berada pada kedudukan atau jarak yang sama dari pengamat. Untuk maksud ini maka diambillah magnitudo bintang bila bintang berada pada jarak 10 parsec ini dinamakan magnitudo mutlak atau diberi simbol M. Hubungan antara magnitudo semu dengan magnitudo mutlaknya suatu bintang dapat dicari dengan menggunakan persamaan Pogson. Misalkan sebuah bintang jaraknya d parsec, fluks energinya E. Bila bintang ini berada pada jarak 10 parsec maka fluks energinya adalah E0. Dengan memasukkan besaran ini ke dalam rumus Pogson akan menjadi: m  M  2,5 log E / E 0



(1.9)



Dengan menggunakan persamaan (1.6) maka akan didapat: E L / 4d 2 10 2   E 0 L / 410  2 d2



Dengan memasukkan harga E/E0 ini ke dalam persamaan (1.9) maka: m  M  2,5 log10 / d 



2



 5 log10 / d   5 log 10  log d   51  log d 



Jadi, m  M  5  5 log d



(1.10) 15



Di mana d adalah jarak bintang dalam parsec (pc). Persamaan (1.10) dapat juga ditulis menjadi: M  m  5  5 log d



(1.11)



Dengan menggunakan rumus Pogson kita dapat pula membuktikan bahwa perbedaan magnitudo mutlak dua buah bintang sebanding dengan logaritma perbandingan luminositasnya. Misalkan bintang 1 magnitudo mutlaknya M1 dengan luminositas L1 dan bintang 2 magnitudo mutlaknya M2 dengan luminositas L2, maka diperoleh: M 2  M 1  2,5 log E 02 / E 01



L2 M 2  M 1  2,5 log



Karena E 02 



L2



L1



(1.12)



410 



2



410



2



410



2



L dan E 01  1



410 



2



, maka persamaan



(1.12) akan menjadi: M 2  M 1  2,5 log L 2 / L1



(1.13)



Dengan demikian, bila jarak bintang itu diketahui maka kita dapat menentukan magnitudo mutlaknya dengan memakai persamaan (1.10) atau persamaan (1.11). Dari persamaan (1.13) ternyata magnitudo mutlaknya



bisa



digunakan



untuk



menentukan



perbandingan



luminositas bintang yang satu dengan bintang yang lainnya ataukah dengan luminositas matahari yang mudah ditentukan dengan baik. Contoh: Dari tabel 1 dikatahui magnitudo semu matahari adalah -26,8 dan jaraknya 1 SA, maka magnitudo mutlaknya dapat ditentukan. Diketahui: m = -26,8 d = 1 SA = 1/206265 pc Dengan menggunakan rumus M  m  5  5 log d Maka magnitudo mutlaknya adalah: M  26,8  5  5 log1 / 206265  26,8  5  26,6  4,8



16



Dengan cara yang sama kita dapat menentukan magnitudo mutlak bintang Sirius yang magnitudo semunya -1,44 dan jaraknya 2,7 parsec. Ternyata diperoleh magnitudo mutlaknya adalah M = +1,4. b) Luminositas Relatif Dari persamaan (1.13) ternyata bila magnitudo mutlak dua bintang diketahui M1 dan M2, maka perbandingan luminositasnya L2 dan L1 dapat ditentukan: M 2  M 1  2,5 log L 2 / L1



Atau



LogL 2 / L1  0,4 M 1  M 2 



(1.14)



Pernyataan luminositas suatu bintang dalam bentuk luminositas bintang lain disebut luminositas relatif. Biasanya luminositas relatif suatu bintang dinyatakan dalam bentuk luminositas matahari sehingga persamaan (1.14) akan menjadi: LogL  0,4 M   M 



(1.15)



Karena luminositas mutlak visual matahari telah dapat diketahui yaitu +4,8, maka luminositas relatif suatu bintang dapat dinyatakan dalam suatu persamaan berikut: log L  0,4 4,8  M 



(1.16)



Dari persamaan (1.16) kita dapat menghitung luminositas relatif suatu bintang terhadap luminositas matahari atau dalam artian terang sebenarnya bintang tersebut dibanding dengan terangnya matahari. Contoh: Telah diperoleh bahwa magnitudo mutlak bintang Sirius + 1,4, maka luminositas relatifnya dapat ditentukan. Dengan menggunkan rumus: log L  0,4 4,8  M   0,4 4,8  1,4   1,39 L  101,36  22,9



Jadi terang sebenarnya bintang sirius adalah 22.9 kali lebih terang dari matahari. Pada hal kita melihat matahari jauh lebih terang sekitar 13 x 109 kali lebih terang dari bintang Sirius. 2.1.4



Modulus Jarak



17



Selisih magnitudo semu dan magnitudo mutlak suatu bintang dapat dicari dengan menggunkan hukum kebalikan kuadrat jarak seperti pada Gambar 6. berikut. d



M



m



S



E 10 pc



C



A B



Gambar 6. Flux energi berbanding terbalik dengan kuadrat jarak Gambar 6 Fluks energi berbanding terbalik dengan kuadrat jarak Misalkan pengamat ada di A pada jarak d dari bintang S dan magnitudo yang teramati dari A adalah m. Bila pengamat berada di B pada jarak 10pc dari bintang S, maka magnitudo bintang yang terlihat dari B adalah sama dengan magnitudo mutlaknya M. Kalau fluks energi di A adalah E dan fluks energi di B adalah E 0, maka menurut hukum kebalikan kuadrat jarak E/E0 = 102/d2 , sehingga persamaan Pogson akan menjadi: m  M  2,5 log E / E 0  2,5 log d / 10 



2



Jadi,



m  M  5 log d / 10



Atau



 m  M  / 5  log d / 10  log d  1 log d   m  M  / 5  1   m  M  5 / 5 d  10  m  M  5  / 5



(1.17)



(1.18)



Dari persamaan (1.17) dan (1.18) ini ternyata harga (m - M) hanya bergantung pada jarak bintang d saja. Oleh karena itu selisih magnitudo semu dan magnitudo mutlak (m - M) disebut modulus jarak. Makin besar harga (m - M) maka harga d juga makin besar dan sebaliknya. Jadi modulus jarak adalah merupakan ukuran jarak dari suatu bintang yang diukur dalam parsec (pc).



18



Contoh: Bintang beta Centauri magnitudo semunya +4,2, sedangkan magnitudo mutlaknya adalah -0,8. berapa jarak bintang ini? Diketahui: m = + 4,2 M = -0,8 Dicari: d = . . . ? Dengan menggunakan rumus: d  10  m  M  5  / 5 d  10  4, 2  0,8 5  / 5



Maka jarak bintang:



 1010 / 5  10 2 d  100pc



Jadi jarak bintang tersebut adalah 100 parsec. 2.2



Warna dan Suhu Bintang Bintang terbentuk dari dua buah gas, yaitu gas Hidrogen dan Gas Helium. Kedua gas tersebut mempunyai suhu yang sangatlah panas, sehingga atom yang menyusun keduanya bergerak dengan sangat cepat. Ketika atom-atom yang bergerak cepat tersebut saling bertabrakan, atomatom tersebut bergabung dan terbentukalah atom yang lebih berat sehingga terciptalah sebuah ledakan energi. Ledakan energi yang terdiri dari dari cahaya inilah yang membuat sebagian bintang menampakan sinarnya. Bila diperhatikan cahaya bintang dengan lebih cermat akan ternyata bahwa warna cahayanya berbeda-beda, ada yang bercahaya kemerahan, seperti bintang Betelgeuse dan Antares, ada yang cahayanya kebiruan seperti bintang Sirius dan bintang Vega, dan ada pula yang kekuningan seperti bintang Alpa Centauri dan bintang Capella serta ada juga bercahaya keputihan seperti bintang Procyon. Kita tidak dapat menyebutkan seberapa terangnya suatu bintang hanya dengan memandangnya, karena bintang tersebut terletak pada jarak yang sangat jauh. Sinar terang asli yang dikeluarkan bintang tersebut juga berbeda. Jika suatu bintang terlihat redup, ini bisa diakibatkan karena letaknya yang lebih jauh dari pada bintang yang terlihat terang.



19



Gambar 7 Ribuan Bintang dengan Warna yang Berbeda-Beda Secara teori fisika, perbedaan warna cahaya yang dipancarkan oleh suatu benda yang panas menandakan adanya perbedaan suhu dari benda-benda tersebut seperti halnya dengan benda yang memijar dan memancarkan cahaya, bila suhunya rendah maka radiasi yang dipancarkan berwarna kemerahan, dan bila suhunya tinggi maka radiasi yang dipancarkan makin menguning dan bila suhunya cukup tinggi maka cahaya yang dipancarkan berwarna putih dan kebiruan. Hubungan antara suhu benda dan warna cahaya yang dipancarkan dapat dijelaskan dengan hukum radiasi. 2.2.1



Hukum Radiasi Cahaya Bintang sebagai sumber yang memancarkan radiasi dapat dipandang sebagai benda hitam sempurna, maka itu sifat radiasi cahaya bintang dapat dipelajari dari hukum radiasi benda hitam. Setiap benda hitam memancarkan radiasi pada seluruh panjang gelombang. Makin tinggi suhu benda makin banyak energi yang dipancarkannya. Radiasi pada tiap suhu tertentu terdapat panjang gelombang tertentu pula yang membawakan energi maksimum dan panjang gelombang ini dinamakan panjang gelombang maksimum. 20



Makin tinggi suhu benda ternyata makin pendek panjang gelombang maksimum yang dipancarkannya seperti terlihat pada Gambar 8 . Panjang gelombang maksimum ini diberi simbul λm, sedang luas kurve menyatakan energi total yang dipancarkan pada suhu tersebut di mana tampak makin tinggi suhu, luas kurvenya makin besar dan harga λ m nya makin kecil. Dari gambar juga terlihat bahwa T1  T2  T3  T4 sedangkan m1  m 2  m3  m 4



Gambar 8 Grafik kurva radiasi pada berbagai suhu a) Hukum Wien Hubungan antara suhu benda dengan panjang gelombang maksimum ini disebut hukum pergeseran Wein yang menyatakan bahwa panjang gelombang maksimum suatu radiasi benda hitam berbanding terbalik dengan suhu mutlaknya atau dinyatakan dengan persamaan m 



b T



(2.1)



Di mana m = panjang gelombang maksimum T = suhu benda b = konstanta yang harganya 2,9 x 10-3 m.K Sebagai konsekuensi dari hukum Wien, berarti panjang gelombang maksimum ini juga menentukan warna radiasi yang 21



dipancarkannya. Bila suhu bintang sekitar 3000 K maka panjang gelombang maksimumnya sekitar 700 nm, yaitu ada di daerah merah sehingga bintang tampak kemerahan. Jadi warna cahaya bintang juga menentukan merupakan suatu petunjuk suhu permukaan tersebut. b) Hukum Stefan-Boltzmann Secara eksperimental Stefan menemukan bahwa energi total yang dipancarkan per satuan luas per satuan waktu sebanding dengan pangkat empat suhu mutlaknya. W  T4



(2.2)



Di mana W = rapat radiasi yaitu energi yang dipancarka per satuan luas per satuan waktu, T = suhu mutlaknya benda dan σ = konstanta Stefan-Boltzmann yang harganya 5,6 x 10 -8 W/m2 K2. Persamaan di atas dinamakan hukum Stefan-Boltzmann, di mana bisa digunakan untuk menentukan suhu permukaan bintang. Misalkan bila luminositas bintang (L) dan jejarinya (R) diketahui maka dengan menggunakan hukum Stefan-Boltzmann dapat ditentukan berapa suhu permukaan bintang tersebut. Dengan memandang bintang itu berbentuk bola dengan jejari R,maka luas permukaan bintang A  4R 2 sehingga luminositasnya menjadi, L  4R 2W



(2.3)



Dengan memasukkan rumus Stefan-Boltzmann maka, L  4R 2



(2.4)



Suhu yang didapat menggunakan hukum Stefan-Boltzmann dinamakan suhu efektif dengan simbl Te. Hukum



Stefan-Boltzmann



juga



dapat



digunakan



untuk



menentukan besar atau ukuran bintang karena berdasarkan warnanya kita dapat menentukan suhu permukaan bintang. Selanjutnya berdasarkan suhu ini kita tahu berapa energi yang dipancarkan bintang tersebut per satuan luar per satuan waktu dari permukaan bintang. Dengan mengetahui jarak bintang kita dapat



22



menentukan berapa energi yang dipancarkan dari seluruh permukaannya. Dengan membagi energi total yang dipancarkannya dengan energi per satuan luas maka kita dapatkan luas permukaan bintang, sehingga kita dapat menghitung jejari atau besarnyan bintang tersebut. luas permukaan bintang 



energi total bintang energi per luas per waktu



c) Hukum Radiasi Planck Planck menyatakan bahwa energi radiasi itu merupakan paket energi dan harga tiap paket energi dinamakan kuantum energi yang harganya sebanding dengan frekuensi radiasi. E  h



atau



E  hc 



(2.5)



Besaran h adalah suatu konstanta yang disebut konstanta Planck yang harganya, h = 6,63 x 10-34 J s dan υ adalah frekuensi. Kuantum energi gelombang elektromagnetik dinamakan foton. Menurut Planck, intensitas rapat radiasi untuk daerah panjang gelombang antara λ dan λ+dλ adalah E ( T ) d 



2hc 2 1 d hc kT 5 e 1



(2.6)



Di mana c adalah laju cahaya dan k = konstanta Boltzmann yang harganya k = 1,38 x 10-23 J. K-1. Persamaan di atas dinamakan hukum radiasi Planck untuk radiasi benda hitam. Kurve radiasi benda hitam sangat cocok dengan hukum radiasi Planck. Bintang yang meskipun bukan benda hitam sempurna, tetapi sifat radiasi energinya dapat dijelaskan dengan baik dengan menggunakan hukum radiasi benda hitam seperti misalnya hukum Stefan-Boltzmann, Hukum Wien, dan hukum radiasi Planck. Oleh sebab itu, warna dan suhu dapat juga dijelaskan dengan menggunakan ketiga hukum radiasi ini. Bintang yang suhunya tinggi, panjang gelombang maksimumnya akan berada pada daerah panjang gelombang pendek (biru) sehingga cahaya bintang akan



23



nampak kebiruan. Misalnya bintang yang suhunya 10.000 K, maka menurut hukum Wien, panjang gelombang maksimumnya, m 



2,9  10 3 mK  2,9  10 7 m  290 nm 1,0  10 4 K



Sedangkan bintang yang suhunya rendah, panjang gelombang maksimumnya akan berada pada daerah merah dari spektrum sehingga cahaya bintang akan nampak kemerahan. Matahari yang suhunya sekitar 5800 K, panjang gelombang maksimumnya sekitar 500 nm dan ini ada pada daerah kuning. 2.2.2



Indeks Warna Menurut hukum radiasi, bintang yang biru suhunya lebih tinggi dari bintang yang warna cahayanya kuning (Kubus, 2010). Magnitudi suatu bintang baik magnitudo semu maupun magnitudo mutlaknya didasarkan pada terang bintang yang diamati oleh mata disebut magnitudo visual yang diberi simbol mv, untuk magnitudo semunya dan Mv untuk magnitudo mutlak visual. Namun mata manusia itu ternyata kepekaannya terhadap warna tidak sama. Mata manusia peka terhadap cahaya kuning dan hijau dan kurang peka terhadap warna biru dan ungu. Sedangkan emulsi foto atau plat film itu peka terhadap bahaya biru-ungu tetapi kurang peka terhadap cahaya kuning dan bahkan tidak merespon terhadap cahaya dengan panjang gelombang yang lebih besar dari 500 nm. Sehingga terang bintang yang diamati dengan mata biasa akan berbeda hasilnya bila diamati atau diambil dengan kertas film. Misalkan ada dua bintang A dan B di mana A adalah bintang biru dan B adalah bintang kuning. Andaikan energi cahaya yang ditangkap melalui teleskop dari kedua bintang itu sama banyaknya. Namun mata akan mengamati bintang B lebih terang dari bintang A. Sedangkan bila cahaya kedua bintang itu ditangkap dengan kertas film maka hasilnya akan nampak bintang A lebih terang dari pada bintang B. Hal ini disebabkan karena bintang A lebih banyak memancarkan energi pada



24



daerah biru dibandingkan dengan daerah kuning dibandingkan dengan daerah biru. Jadi magnitudo bintang A bila dilihat dengan mata akan lebih besar dari magnitudo bintang B, sedangkan bila ditangkap dengan kertas foto, maka bintang A magnitudonya akan lebih kecil daro pada bintang B. Magnitudo yang dihasilkan dengan plat foto yang peka biru disebut magnitudo fotografik yang diberi simbol mf, dan untuk magnitudo mutlaknya diberi simbol Mf. Magnitudo bintang yang didasarkan pada hasil pengamatan mata biasa dinamakan magnitudo visual yang diberi simbol mv dan untuk magnitudo mutlaknya diberi simbol Mv. Jadi untuk bintang A ternyata mv > mf sedang sebaliknya dengan bintang B yang ternyata mv < mf. Selisih antara magnitudo fotografik dengan magnitudo visual atau mf - mv suatu bintang dinamakan indeks warna. Pada contoh tadi bintang A adalah bintang biru memiliki mf < mv sehingga mf - mv menjadi negatif sedangkan untuk bintang B sebagai kuning memiliki indeks warna mf - mv yang positif. Makin tinggi suhu bintang maka mf akan makin kecil dan mv makin besar sehingga indeks warna bintang makin kecil dan kemungkinan bisa negatif. Oleh karena itu, indeks warna ini dapat digunakan sebagai petunjuk suhu suatu permukaan bintang, dan suhu bintang ditentukan dengan menggunakan indeks warna dinamakan suhu warna. Pada tahun 1950, Johnson dan Morgan mengajukan sistem magnitudo U (ultraviolet), B (biru), dan V (visual), dan sistem ini menghasilkan dua indeks warna U-B dan B-V. Indeks warna mf - mv bisa dituliskan dengan B-V. Indeks warna juga dapat dinyatakan dalam magnitudo mutlaknya Mf - Mv atau dapat dituliskan MB - Mv. Sesuai dengan hukum kebalikan kuadrat jarak dari cahaya, maka indeks warna suatu bintang tidak akan berubah meskipun ditempatkan pada jarak yang berbeda,misalnya pada jarak 10 parsec, sehingga dengan demikian, B V  M B  MV



(2.7)



25



Sekarang ini orang telah membuat kertas film yang peka segala warna termasuk yang peka kuning yang memberi respon sama seperti mata manusia. Karena cahaya bintang biru bila ditangkap dengan kertas film peka biru akan lebih terang dibandingkan dengan pada kertas peka kuning, berarti megnitudo biru B kecil dari magnitudo kuning V, sehingga B-V menjadi negatif. Sebaliknya bintang kuning atau bintang merah memiliki magnitudo visual yang lebih kecil dibanding magnitudo biru sehingga indeks warnanya B-V menjadi positif. Dengan demikian indeks warna itu memberikan ukuran warna suatu bintang. Indeks warna yang kecil atau negatif menandakan bintang itu makin biru dan indeks warna yang benar menunjukkan bintang itu kuning atau merah. Selanjutnya



warna bintang



menunjukkan suhu bintang. Ini berarti indeks warna itu juga memberikan indikasi suhu bintang. Pada suhu 10 4 K, magnitudo ultra violet, biru, dan visual atau U, B, dan V harganya sama satu dengan yang lainnya, sehingga pada suhu ini indeks warna bintang harganya nol, baik indeks warna U-B maupun B-V. Rentang indeks warna B-V adalah antara -0,4 untuk bintang yang paling biru dan +2 untuk bintang yang paling merah. Sistem magnitudo U, B, V, hanya untuk daerah spektrum tertentu saja. Sistem magnitudio berlaku untuk seluruh daerah spektrum radiasi yang dinamakan magnitudo bolometrik dengan simbol mbol, dan magnitudo bolometrik pada jarak 10 parsec yang disebut magnitudo bolometrik mutlak yang diberi simbol Mbol. Selisih antara magnitudo visual dengan magnitudo bolometrik dinamakan koreksi bolometrik dengan simbol BC. V  mbol  M V  M bol



2.3



(2.8)



SPEKTRUM BINTANG



26



Bila sinar matahari kita lewatkan melalui sebuah prisma, maka akan dihasilkan cahaya warna-warni yang disebut pelangi atau dinamakan juga spektrum sinar. Ini menandakan bahwa sinar putih itu adalah gabungan dari berbagai macam warna. Umumnya spektrum sinar matahari susunannya adalah merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Selain itu masih ada bagian spektrum yang tidak kasat mata yaitu inframerah (IM) dan ultraviolet (UV). Bagian cahaya yang tampak dinamakan cahaya kasat mata. Sebenarnya spektrum sinar matahari itu mengandung banyak sekali warna atau panjang gelombang sehingga tampak sebaran warna yang kontinu.



Gambar 9 Spektrum sinar matahari Bila kita amati spektrum dari berbagai sumber cahaya seperti nyala lilin, lampu pijar, lampu TL, dan yang lainnya, ternyata jenis spektrumnya berbeda-beda. Cahaya lilin misalnya, banyak mengandung warna merah, orange, dan kuning namun hampir tidak mengandung warna biru dan ungu. Sedangkan lampu TL spektrumnya hampir selengkap spektrum matahari. Jika spektrum suatu cahaya bergantung dari bahan dan keadaan fisis sumber tersebut, sehingga hasil analisis spektrum suatu sumber cahaya dapat digunakan sebagai informasi mengenai keadaan fisis sumber tersebut. Dengan demikian spektrum benda angkasa yang bercahaya seperti halnya



27



spektrum bintang dapat dipakai sebagai bahan informasi keadaan fisis benda tersebut. 2.3.1



Jenis Spektrum Spektrum merupakan suatu bukti adanya tingkat-tingkat energi dalam suatu atom. Spektrum dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu spektrum emisi dan spektrum absorpsi yang dapat diamati menggunakan spektroskop (Kubus, 2010).



gas c Spectrum kontinu dengan garis gelap



b



a Spectrum kontinu



Spectrum garis terang



Gambar 10. Spektrum emisi dan Spektrum Serap Spektrum emisi dihasilkan oleh suatu zat yang memancarkan gelombang elektromagnetik dan dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu spektrum garis, spektrum pita, dan spektrum kontinu. Spektrum garis dihasilkan oleh gas-gas bertekanan rendah yang dipanaskan. Spektrum ini terdiri dari cahaya monokromatik dengan panjang gelombang tertentu yang merupakan karakteristik dari unsur yang menghasilkan spektrum tersebut. Spektrum pita dihasilkan oleh gas dalam keadaan molekuler, misalnya gas H2, O2, N2, dan CO. Spektrum yang dihasilkan berupa kelompok-kelompok garis yang sangat rapat sehingga membentuk pita-pita. Spektrum kontinu adalah spektrum yang terdiri atas cahaya dengan semua panjang gelombang, walaupun



28



dengan intensitas berbeda-beda. Spektrum ini dihasilkan oleh zat padat, cair, dan gas berpijar. Spektrum absorpsi adalah spektrum yang terjadi karena penyerapan panjang gelombang tertentu oleh suatu zat terhadap radiasi gelombang elektromagnetik yang memiliki spektrum kontinu. Spektrum ini terdiri dari sederetan garis-garis hitam pada sederetan spektrum kontinu. Contoh spektrum absorpsi adalah spektrum matahari. Secara sepintas spektrum matahari tampak seperti spektrum kontinu. Akan tetapi, jika dicermati akan tampak garis-garis gelap terang yang disebut dengan garis-garis Fraunhofer (Suwitra, 2010). Spektrum kontinu Spektrum emisi Spektrum serap Gambar 11 Spektrum kontinu, Spektrum emisi, Spektrum Serap Gejala emisi dan absorpsi pertama kali dijelaskan oleh Kirchoff pada tahun 1869 dengan mengajukan tiga hukum analisis spektrum, yaitu: 1. Zat padat ataupun zat cair yang memijar akan memancarkan cahaya dengan spektrum pada seluruh panjang gelombang, sehingga menghasilkan spektrum kontinu. 2. Gas renggang yang memijar akan memancarkan cahaya dengan spektrum berupa garis-garis terang yang dinamakan spektrum garis; dan 3. Cahaya putih dari sumber cahaya bila dilewatkan dari gas renggang yang dingin, maka gas itu akan menyerap panjang gelombang tertentu sehingga pada spektrum kontinu terdapat garis-garis gelap yang dinamakan garis serat atau garis absorbsi.



29



Panjang garis serat ini tepat sama dengan panjang gelombang garis emisi ini bila gas itu memijar. Ternyata unsur-unsur kimia tertentu bila dalam keadaan gas akan menghasilkan pola garis atau garis terang yang memiliki ciri khas tertentu. Ini berarti tiap gas tertentu hanya menyerap atau memancarkan panjang gelombang cahaya tertentu saja. Pola-pola garis spektrum unsur-unsur ini dapat digunakan untuk manganalisis unsur yang dikandung oleh sumber cahaya. Adanya pola karakteristik spektrum garis unsur tertentu ini dapat digunakan sebagai indikator adanya unsur tersebut pada sumber yang memancarkan cahaya itu. Adanya garis-garis gelap pada spektrum kontinu sinar matahari pertama kali diamati oleh Wallaston tahun 1802. Selanjutnya pada tahun 1814 dan 1815, Fraunhofer melakukan penelitian yang seksama dan menggunakan sekitar 600 garis gelap dalam spektrum kontinu sinar matahari, sehingga garis-garis gelap ini dinamakan garis-garis Fraunhofer. Adanya garis-garis Fraunhofer dalam spektrum sinar matahari, memberikan indikasi adanya unsur-unsur kimia tertentu yang ada pada bagian luar matahari yang menyerap panjang gelombang tersebut. Garis-garis gelap seperti ini juga terdapat pada spektrum bintang, sehingga dengan begitu kita dapat mempelajari unsur-unsur kimia yang ada pada bintang tersebut berdasarkan pada pola garis gelap yang ada pada spektrum bintang tersebut. Penelitian yang lebih jauh terhadap spektrum bintang juga bisa memberi petunjuk mengenai keadaan suhu, tekanan, turbulensi, keadaan medan magnetik dan medan listriknya, dan beberapa keadaan fisis bintang lainnya. Misalnya analisis pergeseran spektrum bisa memberikan informasi gerak bintang apakah menjauhi atau mendekati kita, juga informasi mengenai massa bintang dengan menggunakan hukum relativitas umum Einstein. Studi mengenai spektrum bendabenda langit ini merupakan cara yang sangat berguna bagi Astronom untuk mendapatkan data tentang jagat raya ini.



30



2.3.2



Klasifikasi Spektrum Penelitian foto spektrum bintang-bintang menghasilkan berbagai jenis spektrum. Tiap jenis spektrum memiliki pola garis spektrum yang berbeda, karena banyaknya pola spektrum yang dihasilkan ini maka orang mengelompokkan spektrum radiasi bintang yang disebut dengan klasifikasi



spektrum.



Pada



tahun



1863,



Angelo



Secci



mengklasifikasikan spektrum bintang menjadi 4 kelompok menurut garis-garis spektrumnya. Tetapi dewasa ini para Astronom membagi spektrum bintang menjadi tujuh kelompok atau klas. Tidak lama kemudian ditemukan bahwa klasifikasi ini ternyata bergantung pada suhu permukaan bintang, bukan pada komposisi bahan kimia penyusunnya. Klas spektrum ini disusun menurut penurunan suhunya dan diberi kode dengan huruf yaitu: klas O, B, A, F, G, K, M. Tiap klas dibagi lagi menjadi sepuluh bagian yang diberi tanda dari 0 sampai 9. Misalnya bintang yang klas spektrumnya G5 berarti berada antara G0 dan K0. 0



B



B1



A



F



G0



G5



K0



M



M2



Urutan spektrum ini mulai dari bintang terpanas sampai bintang yang paling



rendah



suhu



permukaannya.



Tabel



di



bawah



ini



memperlihatkan deret klas spektrum bintang dengan rentang suhu pada klas masing-masing. Tabel 1. Deret Klas Spektrum Bintang Klas spectrum O B A



Warna Biru Biru Biru



Suhu > 25000 11. 103 – 25. 103 3



7,5. 10 – 11. 10



3



Contoh Lacertae Rigel



Di rasi bintang Lacerta Orion



Spica Sirius



Virgo Canis mayor Lyra Carina



F



Biru-putih



6. 10 – 7,5. 10



Vega Canopus



Putih-kuning



5. 103 – 6. 103



Procyon Matahari



Canis minor



G



Capella



Auriga



3



3



31



K



Orange-



3,5. 103 – 5000



Acturus



Bootes



M



merah Merah