Fluks Pancaran (1-5) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

PERTEMUAN KE 1-5 fluks pancaran, luminositas dan magnitudo Kuantitas yang pertama kali langsung dapat ditentukan dari pengamatan sebuah bintang adalah fluks pancarannya, yaitu jumlah cahaya atau tenaga yang diterima permukaan kolektor (mata atau teleskop) per satuan luas per satuan waktu. Biasanya dinyatakan dalam satuan watt per cm2 (satuan internasional) atau erg per detik per cm2 (satuan cgs).



Luminositas Di dalam astronomi, luminositas adalah jumlah cahaya atau energi yang dipancarkan oleh sebuah bintang ke segala arah per satuan waktu. Biasanya satuan luminositas dinyatakan dalam watt (satuan internasional), erg per detik (satuan cgs) atau luminositas matahari. Dengan menganggap bahwa bintang adalah sebuah benda hitam sempurna, maka luminositasnya adalah, dimana L adalah luminositas, σ adalah tetapan Stefan-Boltzmann, R adalah jari-jari bintang dan Te adalah temperatur efektif bintang. Jika jarak bintang dapat diketahui, misalnya dengan menggunakan metode paralaks, luminositas sebuah bintang dapat ditentukan melalui hubungan



dengan E adalah fluks pancaran, L adalah luminositas dan d adalah jarak bintang ke pengamat.



Magnitudo Secara tradisi kecerahan bintang dinyatakan dalam satuan magnitudo. Kecerahan bintang yang kita amati, baik menggunakan mata bugil maupun teleskop, dinyatakan oleh magnitudo tampak (m) atau magnitudo semu. Secara tradisi magnitudo semu bintang yang dapat dilihat oleh mata bugil dibagi dari 1 hingga 6, di mana satu ialah bintang paling cerah, dan 6 sebagai bintang paling redup. Terdapat juga kecerahan yang diukur secara mutlak, yang menyatakan kecerahan bintang sebenarnya. Kecerahan ini dikenal sebagai magnitudo mutlak (M), dan terentang antara +26.0 sampai -26.5. Magnitudo adalah besaran lain dalam menyatakan fluks pancaran, yang terhubungkan melalui persamaan, dimana m adalah magnitudo semu dan E adalah fluks pancaran.



Sistem Magnitudo Materi yang berikutnya akan dibahas sebagai rangkaian pengenalan akan fotometri adalah sistem magnitudo. Magnitudo adalah suatu sistem skala ukuran kecerlangan bintang. Sistem magnitudo ini dibuat pertama kali oleh Hipparchus pada abad 2 sebelum masehi. Dia membagi terang bintang menjadi 6 kelompok berdasarkan penampakkannya dengan mata telanjang. Bintang yang paling terang diberi magnitudo 1 sedangkan bintang yang paling lemah yang bisa diamati oleh mata telanjang diberi magnitudo 6. Hal yang perlu diperhatikan bahwa semakin terang suatu bintang, semakin kecil magnitudonya. Kelemahan sistem ini adalah tidak adanya suatu standar baku tentang terang bintang dan penentuan skala ini sangat tergantung pada kejelian dan kualitas mata pengamat (karena bersifat kualitatif) Ilmuwan John Herschel mendapatkan bahwa kepekaan mata dalam menilai terang bintang bersifat logaritmik. Bintang yang bermagnitudo 1 ternyata 100 kali lebih terang dibandingkan bintang yang bermagnitudo 6. Berdasarkan fakta ini, Pogson merumuskan skala magnitudo secara kuantitatif. Hal ini menyebabkan sistem magnitudo semakin banyak digunakan hingga saat ini. Skala Pogson untuk magnitudo (semu): m1 - m2 = -2,5log(E1/E2) dengan : m1 : magnitudo (semu) bintang 1 m2 : magnitudo (semu) bintang 2 E1 : Fluks pancaran yang diterima pengamat dari bintang 1 E2 : Fluks pancaran yang diterima pengamat dari bintang 2 Harga acuan (pembanding standar) skala magnitudo mula-mula digunakan bintang Polaris. Bintang Polaris ditetapkan memiliki magnitudo 2 dan bintang lainnya dibandingkan terhadap bintang Polaris. Bintang Polaris, yang juga bintang kutub langit utara, dipilih karena bintang ini terlihat dari seluruh observatorium yang ada di belahan bumi utara (karena pada masa itu, belahan bumi utara lebih berkembang dan maju secara teknologi). Namun, bintang ini ternyata memiliki kecerlangan yang berubah-ubah (Polaris ternyata adalah sebuah bintang variabel Cepheid) sehingga kecerlangan Polaris tidak bisa digunakan sebagai patokan/standar baku. Oleh sebab itu, astronom menentukan bintang - bintang lainnya untuk dijadikan standar. Untuk mengukur kecerlangan suatu bintang digunakan alat yang dinamakan fotometer. Prinsip kerjanya adalah dengan memanfaatkan gejala fotolistrik. Efek fotolistrik inilah yang membuat Einstein memperoleh hadiah Nobel (dan bukan karena hukum relativitas). Penerapan efek fotolistrik ini antara lain diterapkan pada sel surya, chip CCD, dll. Cahaya (atau gelombang elektromagnetik lainnya) ketika menyentuh kelompok bahan tertentu akan menyebabkan elektron yang ada di permukaan bahan akan terlepas. Jumlah elektron yang terlepas tergantung dari intensitas radiasi gelombang elektromagnetik yang diterimanya. Jumlah elektron yang dihasilkan ini dapat menghasikan arus listrik yang dapat kita ukur. Dengan prinsip inilah, kita dapat mengukur intensitas cahaya sebuah bintang. Cara terbaik untuk mengukur magnitudo adalah dengan membandingkan kecerlangan suatu bintang dengan bintang standar yang ada di dekatnya. Hal ini disebabkan perbedaan keadaan



atmosfer antara kedua bintang (bintang standar dan bintang program/yang diamati) tidaklah besar. Atmosfer Bumi dapat menyerap sebagian cahaya bintang dan besarnya penyerapan tergantung dari ketinggian dan kondisi atmosfer yang dilewati cahaya bintang sebelum sampai ke detektor pengamat. Pada saat ini, sudah banyak bintang standar, baik di langit belahan utara maupun selatan. Magnitudo yang kita bahas di atas merupakan ukuran terang bintang yang kita lihat atau terang semu (ada faktor jarak dan penyerapan yang harus diperhitungkan). Magnitudo yang menyatakan ukuran fluks energi bintang yang kita terima/ukuran terang bintang yang kita lihat/jumlah foton yang kita terima disebut magnitudo semu (apparent magnitude). Untuk menyatakan luminositas atau kuat sebenarnya sebuah bintang, kita definisikan besaran magnitudo mutlak (intrinsic/absolute magnitude), yaitu magnitudo bintang yang diandaikan diamati dari jarak 10 pc. Skala Pogson untuk magnitudo mutlak (M) : M1 - M2 = -2,5log(L1/L2) dengan M1 : magnitudo mutlak M2 : magnitudo mutlak L1 : Luminositas L2 : Luminositas



bintang bintang bintang bintang



: 1 2 1 2



Hubungan antara magnitudo semu (m) dan magnitudo mutlak (M) disebut modulus jarak. m - M = -5 + 5 log d dengan d adalah jarak bintang (dalam pc) dan (m-M) disebut modulus jarak. Persamaan modulus jarak umumnya digunakan dalam menentukan jarak bintang-bintang yang jauh secara tidak langsung (metode indirect). Seperti yang sudah pernah dibahas sebelumnya bahwa metode paralaks trigonometri hanya bisa menentukan jarak secara akurat untuk beberapa bintang dengan jarak kurang dari 500 pc. Untuk bintang yang lebih jauh lagi, perlu digunakan metode-metode tak langsung (indirect). Salah satunya adalah dengan mengukur magnitudo semu bintang lalu memperkirakan magnitudo mutlaknya. Cara memperkirakan magnitudo mutlak ini banyak metode/caranya. Dengan mengetahui magnitudo semu dan perkiraan magnitudo mutlak, maka kita bisa memperkirakan jarak suatu bintang dengan modulus jarak. Hal yang perlu diperhatikan adalah persamaan modulus jarak di atas valid/benar/akurat jika diasumsikan tidak ada materi antar bintang yang terletak di antara arah pandang kita ke bintang. Materi antar bintang tersebut dapat mengabsorpsi sebagian cahaya bintang. Jika keberadaan serapan oleh materi antar bintang (MAB) tidak diabaikan, maka persamaan modulus jaraknya : m - M = -5 + 5 log d + AV dengan AV : konstanta serapan materi antar bintang. Contoh: Magnitudo mutlak sebuah bintang adalah M = 5 dan magnitudo semunya adalah m = 10. Jika absorpsi oleh materi antar bintang diabaikan, berapakah jarak bintang tersebut ? Jawab



:



m



=



10



dan



M



=



5,



dari



rumus



Pogson



m – diperoleh, 5 log d



M 10



= –



log =



5 2



-5 = d -->



+ -5



5 +



d



5 = =



log log 100



d d 10 pc



Sebelum perkembangan fotografi, magnitudo bintang ditentukan dengan mata. Kepekaan mata untuk daerah panjang gelombang yang berbeda tidak sama. Mata terutama peka untuk cahaya kuning hijau di daerah λ = 5 500 Å, karena itu magnitudo yang diukur pada daerah ini disebut magnitudo visual atau mvis. Dengan berkembangnya fotografi, magnitudo bintang selanjutnya ditentukan secara fotografi. Pada awal fotografi, emulsi fotografi mempunyai kepekaan di daerah biru-ungu pada panjang gelombang sekitar 4.500 Å. Magnitudo yang diukur pada daerah ini disebut magnitudo fotografi atau mfot . Jadi, untuk suatu bintang, mvis berbeda dari mfot. Selisih kedua magnitudo tersebut, yaitu magnitudo fotografi dikurang magnitudo visual disebut indeks warna (Color Index – CI). Semakin panas atau makin biru suatu bintang, semakin kecil indeks warnanya. Dengan berkembangnya fotografi, selanjutnya dapat dibuat pelat foto yang peka terhadap daerah panjang gelombang lainnya, seperti kuning, merah bahkan inframerah. Pada tahun 1951, H.L. Johnson dan W.W. Morgan mengajukan sistem magnitudo yang disebut sistem UBV, yaitu : U = magnitudo semu dalam daerah ultraungu (λef = 3500 Å) B = magnitudo semu dalam daerah biru ( λef = 4350 Å) V = magnitudo semu dalam daerah visual ( λef = 5550 Å) Dalam sistem UBV ini, indeks warna adalah U-B dan B-V. Semakin panas suatu bintang, semakin kecil nilai (B-V) nya. Dewasa ini pengamatan fotometri tidak lagi menggunakan pelat film, tetapi dilakukan dengan kamera CCD, sehingga untuk menentukan bermacam-macam sistem magnitudo tergantung pada filter yang digunakan. Contoh: Tiga bintang diamati magnitudo dalam panjang gelombang visual (V) dan biru (B) seperti yang diperlihatkan dalam tabel di bawah. No. B V 1



8,52



8,82



2



7,45



7,25



3



7,45



6,35



1. Tentukan bintang nomor berapakah yang paling terang ? Jelaskanlah alasannya



2. Bintang yang anda pilih sebagai bintang yang paling terang itu dalam kenyataannya apakah benar-benar merupakan bintang yang paling terang ? Jelaskanlah jawaban anda. 3. Tentukanlah bintang mana yang paling panas dan mana yang paling dingin. Jelaskanlah alasannya. Jawab: 1. Bintang paling terang adalah bintang yang magnitudo visualnya paling kecil. Dari tabel tampak bahwa bintang yang magnitudo visualnya paling kecil adalah bintang no. 3, jadi bintang yang paling terang adalah bintang no. 3 2. Belum tentu karena terang suatu bintang bergantung pada jaraknya ke pengamat seperti terlihat pada rumus yang sudah dijelaskan sebelumnya. Oleh karena itu bintang yang sangat terang bisa tampak sangat lemah cahayanya karena jaraknya yang jauh. 3. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini kita tentukan dahulu indeks warna ketiga bintang tersebut, karena makin panas atau makin biru sebuah bintang maka semakin kecil indeks warnanya. Nomor bintang 1. 2. 3.



B 8,52 7,45 7,45



V 8,82 7,25 6,35



B-V -0,30 0,20 1,10



Dari tabel di atas tampak bahwa bintang yang mempunyai indeks warna terkecil adalah bintang no. 1. Jadi bintang terpanas adalah bintang no. 1. Magnitudo Bolometrik Sistem magnitudo yang sudah kita bahas di atas hanya diukur pada panjang gelombang tertentu saja (mvis,mfot,mB,mU). Walaupun berbagai magnitudo tersebut dapat menggambarkan sebaran energi pada spektrum bintang sehingga dapat memberikan petunjuk mengenai temperaturnya, namun belum dapat memberikan informasi mengenai sebaran energi pada seluruh panjang gelombang yang dipancarkan oleh suatu bintang. Oleh sebab itu, didefinisikanlah sistem magnitudo bolometrik (mbol) yang menyatakan magnitudo bintang yang diukur dalam seluruh panjang gelombang. Magnitudo mutlak bolometrik bintang sangat penting karena dapat digunakan untuk mengetahui luminositas dari sebuah bintang (energi total yang dipancarkan permukaan bintang per detik) dengan membandingkannya dengan magnitudo mutlak bolometrik Matahari.



mutlak Mbol¤



=



magnitudo



Dengan Mbol = bolometrik mutlak bolometrik Matahari



magnitudo bintang (4,74)



Persamaan modulus jarak untuk magnitudo bolometrik (absorpsi MAB diabaikan): mbol - Mbol = -5 + 5log d dengan d dalam parsec. Apabila Mbol suatu bintang dapat ditentukan, maka luminositasnya juga dapat ditentukan (dapat dinyatakan dalan luminositas Matahari). Luminositas bintang merupakan parameter yang sangat penting dalam teori evolusi bintang. Sayangnya, magnitudo mutlak bolometrik sangat sukar ditentukan, karena beberapa panjang gelombang tidak dapat menembus atmosfer bumi. Untuk bintang yang panas, sebagian energinya dipancarkan pada daerah ultraviolet. Untuk bintang yang dingin, sebagian energinya dipancarkan pada daerah inframerah. Oleh karena itu, pengamatan magnitudo bolometrik harus dilakukan di atas atmosfer. Untuk memudahkan, magnitudo bolometrik ditentukan secara teori berdasarkan pengamatan di bumi. Atau, dapat ditentukan secara tidak langsung, yaitu dengan memberikan koreksi pada magnitudo visualnya, yang disebut koreksi bolometrik (Bolometric Correction - BC). mv – mbol = BC Mv – Mbol = BC Nilai



BC



tergantung



pada



temperatur



atau



warna



bintang.



Untuk bintang yang sangat panas, sebagian besar energinya dipancarkan pada daerah ultraviolet sedangkan untuk bintang yang sangat dingin, sebagian besar energinya dipancarkan pada daerah inframerah (hanya sebagian kecil saja pada daerah visual). Untuk bintang-bintang seperti ini, harga BC-nya besar. Untuk bintang-bintang yang bertemperatur sedang, sebagian besar energinya dipancarkan pada daerah visual, sehingga harga BC-nya kecil. Karena harga BC bergantung pada warna bintang, maka kita dapat mencari hubungan antara BC dan indeks warna (B-V). Untuk bintang yang dapat ditentukan magnitudo bolometriknya. Didefinisikan bahwa harga terkecil BC adalah nol (BC ≥ 0). Untuk BC = 0 untuk (B-V) = 0,3. Hubungan antara nilai BC dengan indeks warna (CI) ditunjukkan dalam grafik di bawah ini:



Untuk Matahari, magnitudo bolometriknya (mbol) = -26,83, magnitudo mutlak bolometriknya adalah Mbol = 4,74 dan koreksi bolometriknya BC = 0,08. Berikut disajikan tabel temperatur efektif dan koreksi bolometrik untuk bintang-bintang deret utama dan bintang maharaksasa. B-V - 0,25 - 0,23 - 0,20 - 0,15 - 0,10 - 0,01 0,00 0,10 0,20 0,30 0,40 0,50 0,60 0,70 0,80 0,90 1,00 1,20



Bintang deret utama Tef BC 24500 2,30 21000 2,15 17700 1,80 14000 1,20 11800 0,61 10500 0,33 9480 0,15 8530 0,04 7910 0 7450 0 6800 0 6310 0,03 5910 0,07 5540 0,12 5330 0,19 5090 0,28 4840 0,40 4350 0,75



Bintang maharaksasa Tef BC 26000 2,20 23500 2,05 19100 1,72 14500 1,12 12700 0,53 11000 0,14 9800 - 0,01 8500 - 0,09 7440 - 0,10 6800 - 0,10 6370 - 0,09 6020 - 0,07 5800 - 0,003 546 0,003 5200 0,10 4980 0,19 4770 0,30 4400 0,59



Latihan: 1. Bintang A tampak mempunyai kecerlangan yang sama pada filter merah dan biru. Bintang B tampak lebih terang pada filter merah daripada filter biru. Bintang C tampak lebih terang pada filter biru daripada di filter merah. Urutkan bintang-bintang itu berdasarkan pertambahan temperaturnya. 2. The binary star Capella has a total magnitude of 0.21 m and the two components differ in magnitude by 0.5m. The parallax of Capella is 0.063”. Calculate the absolute magnitudes of the two components. 3. There are about 250 millions of the stars in the elliptical galaxy M32. The visual magnitude of this galaxy is 9. If the luminosities of all are equal, what is the visual magnitude of one star in this galaxy? 4. Two stars have the same apparent magnitude and are of the same spectral type. One is twice as far away as the other. What is the relative size of the two stars? 5. Sebuah galaksi diamati memiliki magnitudo visual mV = 21. Magnitudo ini berasosiasi dengan energi dari 1011 bintang yang ada di dalamnya (terdiri dari 3 jenis). Perkirakan/hitung jarak galaksi tersebut. Untuk itu gunakan asumsi sebagai berikut Jenis bintang a b c



MV 1 4 6



Jumlah (%) 20 50 30 Sumber : Djoni D. Dawanas



Radiasi Tenaga yang dihasilkan oleh bintang, sebagai hasil samping dari reaksi fusi nuklear, dipancarkan ke luar angkasa sebagai radiasi elektromagnetik dan radiasi partikel. Radiasi partikel yang dipancarkan bintang dimanifestasikan sebagai angin bintang (yang berwujud sebagai pancaran tetap partikel-partikel bermuatan listrik seperti proton bebas, partikel alpha dan partikel beta yang berasal dari bagian terluar bintang) dan pancaran tetap neutrino yang berasal dari inti bintang. Hampir semua informasi yang kita miliki mengenai bintang yang lebih jauh dari Matahari diturunkan dari pengamatan radiasi elektromagnetiknya, yang terentang dari panjang gelombang radio hingga sinar gamma. Namun tidak semua rentang panjang gelombang tersebut dapat diterima oleh teleskop landas Bumi. Hanya gelombang radio dan gelombang cahaya yang dapat diteruskan oleh atmosfer Bumi dan menciptakan ‘jendela radio’ dan ‘jendela optik’. Teleskopteleskop luar angkasa telah diluncurkan untuk mengamati bintang-bintang pada panjang gelombang lain. Banyaknya radiasi elektromagnetik yang dipancarkan oleh bintang dipengaruhi terutama oleh luas permukaan, suhu dan komposisikimia dari bagian luar (fotosfer) bintang tersebut. Pada akhirnya kita dapat menduga kondisi di bagian dalam bintang, karena apa yang terjadi di permukaan pastilah sangat dipengaruhi oleh bagian yang lebih dalam. Dengan menelaah spektrum bintang, astronom dapat menentukan temperatur permukaan, gravitasi permukaan, metalisitas, dankecepatan rotasi dari sebuah bintang. Jika jarak bisa ditentukan, misal dengan metode paralaks, maka luminositas bintang dapat diturunkan. Massa, radius, gravitasi permukaan, dan periode rotasi kemudian dapat diperkirakan dari pemodelan. Massa bintang dapat juga diukur secara langsung untuk bintang-bintang yang berada dalam sistem bintang ganda atau melalui metode mikrolensing. Pada akhirnya astronom dapat memperkirakan umur sebuah bintang dari parameter-parameter di atas. [sunting]Fluks



pancaran



Kuantitas yang pertama kali langsung dapat ditentukan dari pengamatan sebuah bintang adalah fluks pancarannya, yaitu jumlahcahaya atau tenaga yang diterima permukaan kolektor (mata atau teleskop) per satuan luas per satuan waktu. Biasanya dinyatakan dalam satuan watt per cm2 (satuan internasional) atau erg per detik per cm2 (satuan cgs). [sunting]Luminositas Di dalam astronomi, luminositas adalah jumlah cahaya atau energi yang dipancarkan oleh sebuah bintang ke segala arah per satuan waktu. Biasanya satuan luminositas dinyatakan dalam watt (satuan internasional), erg per detik (satuan cgs) atau luminositas Matahari. Dengan menganggap bahwa bintang adalah sebuah benda hitam sempurna, maka luminositasnya adalah,



dimana L adalah luminositas, σ adalah tetapan Stefan-Boltzmann, R adalah jari-jari bintang dan Te adalah temperatur efektif bintang. Jika jarak bintang dapat diketahui, misalnya dengan menggunakan metode paralaks, luminositas sebuah bintang dapat ditentukan melalui hubungan



dengan E adalah fluks pancaran, L adalah luminositas dan d adalah jarak bintang ke pengamat. [sunting]Magnitudo Secara tradisi kecerahan bintang dinyatakan dalam satuan magnitudo. Kecerahan bintang yang kita amati, baik menggunakan mata bugil maupun teleskop, dinyatakan oleh magnitudo tampak (m) atau magnitudo semu. Secara tradisi magnitudo semu bintang yang dapat dilihat oleh mata bugil dibagi dari 1 hingga 6, di mana satu ialah bintang paling cerah, dan 6 sebagai bintang paling redup. Terdapat juga kecerahan yang diukur secara mutlak, yang menyatakan kecerahan bintang sebenarnya. Kecerahan ini dikenal sebagaimagnitudo mutlak (M), dan terentang antara +26.0 sampai -26.5. Magnitudo adalah besaran lain dalam menyatakan fluks pancaran, yang terhubungkan melalui persamaan,



dimana m adalah magnitudo semu dan E adalah fluks pancaran. [sunting]Satuan



pengukuran



Kebanyakan parameter-parameter bintang dinyatakan dalam satuan SI, tetapi satuan cgs kadang-kadang digunakan (misalnya luminositas dinyatakan dalam satuan erg per detik). Penggunaan satuan cgs lebih bersifat tradisi daripada sebuah konvensi. Seringkali pula massa, luminositas dan jari-jari bintang dinyatakan dalam satuan Matahari, mengingat Matahari adalah bintang yang paling banyak dipelajari dan diketahui parameter-parameter fisisnya. Untuk Matahari, parameter-parameter berikut diketahui: kg[



massa Matahari: 5]



luminositas Matahari:



watt[5 ]



radius Matahari:



m[6]



Skala panjang seperti setengah sumbu besar dari sebuah orbit sistem bintang ganda seringkali dinyatakan dalam satuan astronomi(AU = astronomical unit), yaitu jarak rata-rata antara Bumi dan Matahari. [sunting]Klasifikasi Artikel utama untuk bagian ini adalah: Klasifikasi bintang Berdasarkan spektrumnya, bintang dibagi ke dalam 7 kelas utama yang dinyatakan dengan huruf O, B, A, F, G, K, M yang juga menunjukkan urutan suhu, warna dan komposisi-kimianya. Klasifikasi ini dikembangkan oleh Observatorium Universitas Harvard danAnnie Jump Cannon pada tahun 1920an dan dikenal sebagai sistem klasifikasi Harvard. Untuk mengingat urutan penggolongan ini biasanya digunakan kalimat "Oh Be A Fine Girl Kiss Me". Dengan kualitas spektrogram yang lebih baik memungkinkan penggolongan ke dalam 10 sub-kelas yang diindikasikan oleh sebuah bilangan (0 hingga 9) yang mengikuti huruf. Sudah menjadi kebiasaan untuk menyebut bintang-bintang di awal urutan sebagai bintang tipe awal dan yang di



akhir urutan sebagai bintang tipe akhir. Jadi, bintang A0 bertipe lebih awal daripada F5, dan K0 lebih awal daripada K5.



Kelas



Warna



Suhu Permukaan °C



Contoh



O



Biru



> 25,000



Spica



B



Putih-Biru



11.000 - 25.000



Rigel



A



Putih



7.500 - 11.000



Sirius



F



Putih-Kuning 6.000 - 7.500



Procyon A



G



Kuning



5.000 - 6.000



Matahari



K



Jingga



3.500 - 5.000



Arcturus



M



Merah