FMM 3 Dzawil Furudh, Ashabah, Hijab Dan Dzawil Arham-1 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

DZAWIL FURUDH, ASHABAH, HIJAB DAN DZAWIL ARHAM Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah : Fiqh Mawaris dan Munakahat Dosen Pengampu : Widodo Hami, M.Ag



Disusun Oleh: 1. Ikbal Febriyanto



(2118013)



2. Fairus Audina Al Fath



(2119055)



3. Afra‟ Putri Widyaningrum



(2119181)



Kelas F JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PEKALONGAN 2021



KATA PENGANTAR Alhamdulillahirobbilalamin puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Dzawil Furudh, Ashabah, Hijab dan Dzawil Arham, dan juga kami berterimakasih kepada Bapak Widodo Hami, M.Ag selaku dosen mata kuliah Fiqh Mawaris dan Munakahat yang telah memberikan tugas ini dan telah memberikan arahan serta bimbingannya kepada para mahasiswa. Penulisan makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Mawaris dan Munakahat. Kami menyadari adanya kekurangan di dalam penulisan makalah ini, namun terlepas dari itu semua semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya dan dapat membantu dalam proses pembelajaran. Sekian dan terimakasih.



Karawang, 1 Oktober 2021



Penyusun



i



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR ..................................................................................................................... i DAFTAR ISI................................................................................................................................... ii BAB 1 ............................................................................................................................................. 1 PENDAHULUAN .......................................................................................................................... 1 A. Latar belakang ...................................................................................................................... 1 B. Rumusan Masalah ................................................................................................................ 1 C. Tujuan .................................................................................................................................. 2 BAB II ............................................................................................................................................ 3 PEMBAHASAN ............................................................................................................................. 3 A. Dzawil Furudh ..................................................................................................................... 3 B. Ashabah.............................................................................................................................. 10 C. Hijab................................................................................................................................... 15 D. Dzawil Arham .................................................................................................................... 19 BAB III ......................................................................................................................................... 28 PENUTUP..................................................................................................................................... 28 A. Kesimpulan ........................................................................................................................ 28 B. saran ................................................................................................................................... 28 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 29



ii



BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar belakang Sistem kewarisan islam yang dianut oleh Mazhab Syafi‟i dapat digolongkan kepada sistem kewarisan patrilineal. Hal ini ditinjau dari cara beliau menafsirkan atau menginterpretasikan ayat-ayat mawaris. Dalam penafsirannya secara jelas akan dijumpai bahwa penafsiran-penafsiran tersebut dilator belakangi oleh keadaan masyarakat sekelilingnya, yaitu masyarakat patrilineal. Meskipun demikian sistem kewarisan patrilineal Mazhab Syafi‟I tidak bisa diartikan seperti sistem kewarisan masyarakat yang sepenuhnya tidak memberikan hak kepada perempuan tetapi patrilineal ajaran tersebut semacam sistem pengutamaan kepada pihak laki-laki jika terdapat kesempatan untuk menetapkan demikian, dengan tetap memberikan warisan kepada kaum wanita yang tertentu. Hal ini, dipengaruhi oleh sifat kekeluargaan di tanah Arab yang merupakan tempat tinggal Imam Syafi‟i. Adapun sebab-sebab seseorang dapat menerima harta waris dalam hukum fiqih, adalah karena hubungan darah, hubungan perkawinan dan karena memerdekakan budak. Mengenai ahli waris sebab hubungan darah, menurut Mazhab Syafi‟I digolongkan kedalam dzawil furudh, ashabah dan dzawil arham. Dalam hal ini, dikalangan Mazhab Syafi‟i atau para pengikut Imam Syafi‟i berbeda beda dengan Imam Syafi‟i yang tidak memasukkan Dzawil Arham karna. Para pengikut Imam syafi‟i memasukkan Dzawil Arham sebagai bagian dari ahli waris, sebagaimana di jelaskan dalam surah Al-Anfal ayat 75 dan surah Al-Ahzab ayat 6. Kemudian mengenai hijab dalam Mazhab Syafi‟I dikenal dengan dua macam hijab yakni Hijab Nukhsan dan Hijab Hirman (M. Ali AsShabuni, 1988:204). B. Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan Dzawil Furud? 2. Bagaimana pembagian dengan Dzawil furudh? 3. Apa yang dimaksud dengan Ashabah? 4. Bagaimana macam-macam Ashabah?



1



5. Apa yang dimaksud dengan Hijab? 6. Bagaimana macam-macam Hijab? 7. Apa yang dimaksud dengan Dzawil Arham? 8. Bagaimana pendapat ulama tentang Dzawil Arham? 9. Bagaimana pembagian waris mengenai Dzawil Arham? 10. Bagaimana perbedaan antara Ahlut Tanzil dengan Ahlul Qarabah? 11. Bagaimana pembagian Ahlul Qarabah? 12. Bagaimana syarat-syarat pembagian hak waris bagi Dzawil Arham? C. Tujuan 1. Untuk mengetahui pengertian Dzawil Furud. 2. Untuk mengetahui pengertian Ashabah. 3. Untuk mengetahui macam-macam Ashabah. 4. Untuk mengetahui pengertian Hijab. 5. Untuk mengetahui macam-macam Hijab. 6. Untuk mengetahui pengertian Dzawil Arham. 7. Untuk mengetahui pendapat ulama tentang Dzawil Arham? 8. Untuk mengetahui pembagian waris mengenai Dzawil Arham. 9. Untuk mengetahui perbedaan antara Ahlut Tanzil dengan Ahlul Qarabah. 10. Untuk mengetahui pembagian Ahlul Qarabah. 11. Untuk mengetahui syarat-syarat pembagian hak waris bagi Dzawil Arham.



2



BAB II PEMBAHASAN A. Dzawil Furudh 1. Pengertian Dzawil Furudh Dzawil furudh adalah gabungan dua kata, yaitu dzawil. Secara bahasa berarti mempunyai.1 Sedangkan furud jamak dari kata al-fardh menurut bahasa mempunyai beberapa pnegertian, diantaranya adalah al-qath‟ “ketetapan yang pasti”, attaqdir “ketentuan”, al-bayan “penjelasan”.2 Dengan demikian, dzawil furudh secara istilah adalah ahli waris yang mempunyai bagian tertentu sesuai dengan yang ditentukan syara‟(al-Qur‟an dan hadits).3 Secara sederhananya dzawil furudh dapat diartikan sebagai ahli waris yang sudah ditentukan secara jelas bsear kecilnya. Misalnya ½, 1/3, ¼, dan sebagainya. Hukum Islam menetapkan bahwa bagian-bagian ahli waris tersebut atau yang disebut dengan furudhul muqaddarah itu ada 6, yaitu: 1. Seperdua (½) 2. Seperempat (¼) 3. Seperdelapan (1/8) 4. Dua pertiga (2/3) 5. Sepertiga (1/3) 6. Seperenem (1/6) Di samping furudhul muqaddarah di atas, terdapat juga satu macam bagian ahli waris hasil ijtihad jumhur Ulama‟, yaitu 1/3 sisa harta peninggalan.4 4 Adapun rincian masing-masing ahli waris dzawil furudh ini dalam alQur‟an terdapat dalam surat an-Nisa„ ayat 11, 12, dan 176, jumlah mereka berdasarkan al-Qur‟an terdiri 12 orang,5 yaitu:



1



Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, hlm. 72. Addys aldizar dan Fathurrahman, Hukum Waris, hlm. 106. 3 Muslich Msrzuki, Pokok-Pokok Ilmu Waris, hlm. 29 4 Fathur Rahman, Ilmu Waris, hlm. 128. 5 Eman Suparman, Hukum Waris Islam Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW, hlm. 17-18. 2



3



a. Dalam garis ke bawah: Anak perempuan dan Anak perempuan dari anak laki-laki b. Dalam garis ke atas: Ayah, Ibu, Kakek dari garis ayah, Nenek dari garis ayah maupun dari garis ibu c. Dalam garis ke samping: Saudari perempuan kandung, Saudari perempuan seibu, Saudari perempuan seayah, Saudara laiki-laki seibu d. Suami e. Istri Mereka disebut dengan dzawil furudh karena merupakan kelompok orang yang menerima bagian tertentu. Dari jumlah 12 orang tersebut, dua diantaranya termasuk ahli waris yang disebabkan adanya ikatan perkawinan dengan pewaris, yaitu janda atau duda. Mereka disebut juga dengan ashabul furudh sababiyah. Sedangkan sisanya termasuk golongan ahli waris yang disebabkan adanya hubungan kerabat dan nasab. Mereka disebut juga dengan ashabul furudh nasabiyah.6 2. Bagian-Bagian Dzawil Furudh dan Syarat-Syarat Kewarisannya Di antara ahli waris yang ditentukan bagiannya di dalam al-Qur‟an hanya ahli waris dzawil furud, sehingga bagian mereka selamanya tetap tertentu dan tidak berubahubah. Berbeda halnya dengan para ahli waris lain yang bukan dzawil furudh, seperti ahli waris „ashabah dan dzawil arham. Bagian mereka yang disebut terkahir, merupakan sisa setelah dikeluarkan hak para ahli waris dzawil furudh. Adapun bagian tetap para ahli waris dzawil furudh secara rinci dapat dilihat lebih lanjut dalam uraian di bawah ini.7 a. Ahli waris yang mendapatkan bagian setengah (1/2). Para ahli waris yang mendapatkan bagian ½ ada lima orang, yaitu: 1) Seorang anak perempuan, dengan syarat: a) Tidak bersama dengan anak laki-laki yang menjadi mu‟as}s}ibnya. b) Tidak lebih dari seorang perempuan. Ketentuan ini bedasarkan firman Allah SWT. Q. S. An-Nisa„: 11 Artinya “Jika anak permpuan itu seorang diri saja, maka ia memperoleh separuh harta”. 8 2) Cucu perempuan dari anak laki-laki, dengan syarat: 6



Otje Salman, Mustofa Haffas, Hukum Waris Islam, hlm. 52. Eman Suparman, Hukum Waris Islam Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW, hlm. 20. 8 Departemen Agama, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, hlm. 116. 7



4



a) Tidak bersama saudara laki-laki yang berhak „as{abah (cucu lakilaki dari anak laki-laki). b) Ia hanya seorang diri, sebagai cucu tunggal. c) Tidak ada anak laki-laki atau perempuan. Dalil yang mendasari bahwa cucu perempuan dari anak laki-laki memperoleh bagian ½ adalah kedudukannya dapat disamakan dengan anak perempuan, sedangkan anak perempuan dapat bagian ½, jika tidak ada anak lakilaki. Berdasarkan firman Allah Q. S. Al-Nisa‟:11 Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan yaitu kata “ ‫“ أوالدكم‬mengandung makna anak dan cucu lakilaki dari anak laki-laki. Hal ini telah menjadi ijma‟ para ulama‟.9 3) Saudara perempuan sekandung, dengan syarat: a) Ia tidak mempunyai saudara kandung laki-laki. b) Ia seorang diri. c) Pewaris tidak mempunyai ayah atau kakek, dan keturunan (baik laki-laki atau perempuan). Berdasarkan firman Allah, Q. S. An-Nisa„:176. Artinya” …..Jika seorang meninggal dunia dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkan….”. 10 4) Saudara perempuan seayah, dengan syarat: a) Ia tidak mempunyai saudara laki-laki mu‟asshib-nya. b) Ia seorang diri. c) Pewaris tidak mempunyai saudara kandung perempuan. Dalil ketentuan suadara perempuan ini sama dengan bagian saudara perempuan kandung berdasarkan firman Allah Q.S. AnNisa„:176.



9



Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, hlm. 70.



10



Departemen Agama, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, hlm. 153



5



5) Suami, dengan syarat tidak ada anak atau cucu dari istrinya yang meninggal, baik dari hasil perkawinan dengannya atau dengan lakilaki lain. Hal berdasarkan firman Allah Q.S. An-Nisa„:12: b. Ahli waris yang mendapatkan bagian seperempat (1/4). Ahli waris yang mempunyai hak menerima bagian ¼ terdiri dari 2, yaitu: 1) Suami, apabila istri yang meninggal dunia mempunyai anak atau cucu, baik dari hasil perkawinan dengannya atau dengan suami lain. Berdasarkan firman Allah Q.S. AnNisa„:12: . Artinya“…Jika istri-istrimu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat bagian dari harta yang ditinggalkan…”. 2) Istri, dengan syarat suaminya tidak mempunyai anak atau cucu, baik dari istrinya atau dari istri lain. Berdasarkan firman Allah Q.S. AnNisa„:12: ..Artinya“…Bagi istri mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkan, jika kamu tidak mempunyai anak….”.



Patut diperhatikan bahwa bagian istri, baik seorang atau lebih tetap



merupakan satu kesatuan. Mengingat firman Allah di atas menggunakan bentuk jamak. Karena itu, seandanyai masing-masing istri diberi ¼, sedangkan suami mempunyai empat istri, tentu mereka akan menghabiskan semua harta peninggalan. Dengan demikian, bertambahnya jumlah istri tidak akan mempengaruhi bagian istri, yaitu ¼.11 c. Ahli waris yang mendapatkan bagian seperdelapan (1/8). Bagian 1/8 hanya diberikan oleh seorang ahli waris, yaitu seorang atau beberapa orang istri, dengan syarat apabila suaminya mempunyai anak atau cucu, baik baik diperoleh dari perkawinan dengannya atau istri lain. Berdasarkan firman Allah Q.S. An-Nisa„:12: ...Artinya“…Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan…”. d. Ahli waris yang mendapatkan bagian duapertiga (2/3). Ahli waris yang berhak menerima bagian 2/3 terdiri atas 4 orang, yaitu: 1) Dua anak perempuan atau lebih, dengan syarat mereka tidak memiliki saudara lakilaki sebagai muasshib-nya, yaitu anak laki-laki. Berdasarkan firman Allah Q.S. AnNisa„:11: ... Artinya“ ….Dan jika anak itu semuanya lebih dari dua, maka bagi mereka du pertiga dari harta yan ditingalkan….”. Yang dimaksud dengan “ ‫ “اثنتینفىق‬ayat di 11



6 M. Ali Ashshobuni, hukum Kewarisan Menurut al-Qur‟an dan Sunnah, hlm. 66-67.



6



2) atas adalah bukanlah anak perempuan lebih dari dua tetapi dua anak perempuan atau lebih. Hal ini telah menjadi ijma‟ ulama‟. 3) Dua orang atau lebih cucu perempuan dari anak laki-laki, dengan syarat: a) Pewaris tidak meninggalkan anak kandung, baik laki-laki atau perempuan. b) Pewaris tidak mempunyai dua orang anak kandung perempuan. c) Mereka tidak mempunyai saudara laki-laki sebagai muassib-nya. 3) Dua orang atau lebih saudari kandung perempuan, dengan syarat: a) Tidak ada anak (laki-laki atau perempuan), ayah, atau kakek. b) Tidak ada saudara laki-laki kandung sebagai muas}s}ib-nya. c) Tidak ada anak perempuan, cucu perempuan dai anak laki-laki, baik satu orang atau lebih. Dalilnya adalah berdasarkan firman Allah Q.S. An-Nisa„:176: .. Artinya“….jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi kedunya duapertiga dari harta yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal…”. 4) Dua orang atau lebih saudari perempuan seayah, dengan syarat: a) Tidak ada anak laki-laki, ayah, atau kakek. b) Tidak ada saudara laki-laki seayah sebagai muasshibnya. c) Tidak ada anak perempuan atau cucu perempuan dari anak lakilaki. d) Tidak ada saudara sekandung (baik perempuan atau laki-laki). Dalil ketentuan dua orang atau lebih saudari perempuan seayah ini sama dengan bagian dua orang atau lebih saudara perempuan kandung berdasarkan firman Allah Q.S. An-Nisa„:176. tetapi ditambah satu syarat, yaitu tidak adanya saudara sekandung (baik lakilaki atau perempuan). Mencakup saudari kandung perempuan dan saudari perempuan seayah. Sedangakan saudari perempuan seibu tidak termasuk.12 e. Ahli waris yang mendapatkan bagian sepertiga (1/3). Ahli waris yang berhak menerima bagian 1/3 terdiri atas 2 orang, yaitu: 1) Ibu, dengan syarat: a) Pewaris tidak mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki. b) Pewaris tidak mempunyai dua orang atau lebih laki-laki atau perempuan, baik sekandung, seayah, atau seibu yang dapat mewarisi sehingga menjadikannya terhijab. Hal ini berdasarkan firman Allah Q.S. An-Nisa„:11: 12



M. Ali Ashshobuni, hukum Kewarisan Menurut al-Qur‟an dan Sunnah, hlm. 71.



7



2) Dua orang saudara seibu atau lebih, dengan syarat: a) Pewaris tidak mempunyai anak baik laki-laki atau perempuan, ayah, atau kakek. b) Jumlah mereka dua orang atau lebih baik laki-laki, perempuan semua, atau campuran. Hal ini berdasarkan firman Allah Q.S. An-Nisa„:12: .. Artinya“…Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masingmasing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu….” Yang dimaksud dengan kalimat “ ‫ “ أختأوأخىله‬dalam ayat di atas adalah saudara seibu. Karena Allah telah menjelaskan hukum bagian saudara laki-laki dan saudari perempuan sekandung serta seayah pada akhir surat an-Nisa„. Selain itu, ada ayat lain yang perlu diperhatikan dalam ayat selanjutnya, yaitu firman Allah “ ‫ الثلثفیشركاءفهم‬,“ yakni bersekutu menunjukkan mereka harus membagi sama di antara saudara laki-laki dan perempuan seibu tanpa membedakan bahwa laki-laki harus memperoleh bagian lebih besar dari pada perempuan.13 f. Ahli waris yang mendapatkan bagian seperenam (1/6). Ahli waris yang berhak menerima bagian 1/6 terdiri dari 7 orang, yaitu: 1) Ayah, jika pewaris mempunyai anak, baik laki-laki maupun perempuan, cucu dari anak laki-laki, dan seterusnya, yang mana kedudukannya sama dengan anak. Berdasarkan firman Allah, (Q.S. An-Nisa‟ 11. Artinya“…Untuk dua ibu-bapak, bagi mereka masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak…”. 2) Kakek, jika pewaris mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki, dan tidak mempunyai ayah. Kakek dapat menggantikan kedudukan ayah apabila tidak ada ayah, kecuali dalam tiga masalah berikut: a) Beberapa saudara laki-laki kandung atau seayah tidak mewarisi bersama ayah, tetapi bersama kakek.



13



M. Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, hlm. 54.



8



b) Dalam masalah garrawain baik ahli warisnya suami, ayah dan ibu atau istri, ayah dan ibu. Ibu disini mendapatkan bagian 1/3 keseluruhan harta, bukan 1/3 sisa. Ketika kedudukan ayah digantikan olehnya (kakek). 3) Ibu, dengan syarat: a) Pewaris mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki. b) Pewaris mempunyai dua orang saudara atau lebih, baik laki-laki maupun perempuan, baik sekandung, seayah, atau seibu. Dalilnya berdasarkan firman Allah Q.S. An-Nisa„:11. Artinya“…jika ia meninggl dunia itu mempunyai beberapa saudara maka ibunya mendapat seperenam..”. Kata “ ‫ “ إخىة‬bila digunakan dalam ilmu faraid tidak harus bermakna “tiga atau lebih”, sebagaimana lazimnya pengertian jamak. Akan tetapi kata jamak dalam bahasa arab terkadang ditunjukkan untuk bilangan dua. Seperti dalam firman Allah dalam Q.S. At-Tahrim : 4: .“Jika kamu berdua bertobat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong(untuk menerima kebaikan)..”. Pada ayat di atas, kata “ ‫ “ قلىب‬dalam bentuk jamak dipakai untuk menunjukkan hati dua orang. Hal ini membuktikan bahwa dalam bahasa arab terkadang bentuk jamak digunakan untuk menunjukkan bilangan dua.14 4) Cucu perempuan dari anak laki-laki (satu atau lebih), dengan syarat pewaris mempunyai anak perempuan. Dalam keadaan demikian, anak perempuan tersebut mendapat bagian ½, dan Cucu perempuan dari anak laki-laki mendapat bagian 1/6, sebagai pelengkap 2/3 ( ‫ الثلثینتكملة‬.( Karena bagian beberapa anak perempuan adalah 2/3. 5) Saudara perempuan seayah satu orang atau lebih, jika pewaris mempunyai seorang saudari perempuan kandung. Hal ini kedudukannya sama dengan cucu perempuan bersama dengan anak perempuan. Dengan demikian, bila pewaris meninggal dunia dan meninggalkan seorang saudari perempuan kandung dan saudari perempuan seayah atau lebih, maka saudari perempuan seayah mendapat bagian 1/6 sebagai penyempurna dari 2/3. Sebab ketika saudara perempuan kandung memperoleh bagian ½, maka tidak ada sisa kecuali 1/6 yang memang merupakan hak saudara perempuan seayah. 14



M. Ali Ashshobuni, hukum Kewarisan Menurut al-Qur‟an dan Sunnah, hlm. 73.



9



6) Saudara seibu, baik laki-laki atau perempuan, dengan syarat tidak mempunyai anak (cucu ke bawah laki-laki atau perempuan) dan ayah (kakek ke atas). Berdasarkan firman Allah Q.S. An-Nisa„:12 Artinya“…Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masingmasing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta…..”. 7) Nenek dari pihak ayah atau dari pihak ibu, baik seorang atau lebih, dengan syarat pewaris tidak mempunyai ibu. Jika lebih dari seorang maka bagian 1/6 dibagikan sama rata kepada mereka. Hal ini didasarkan hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud: “menceritakan kepada kami Muhammad bin abdul aziz bin abi rizmah, abi rizmah berkata: ayahku memberikan kabar kapadaku dan berkata: menceritakan kepada kami Ubaidullah Abul munib al-„Ataky, dari Dari Ibnu Buraidah dari ayahnya r.a.: “Bahwasannya Nabi s.a.w. menetapkan seperenem buat nenek kalau si mayit tidfak mempunyai ibu”. Diriwayatkan oleh Abu Dawud”. B. Ashabah 1. Pengertian Ashabah Ashabaah adalah bentuk jamak dari “Ashib”, yaitu laki-laki dari kerabat mayit yang dalam penasabannya kepada mayit tidak ada perempuan. Ashabah laki-laki adalah ayah mayit, anak laki-lakinya, kerabatnya dari pihak ayah. Mereka dinamakan ashabah, sebab mereka melingkupi orang yang dekat dengan mereka dan melindunginya. Ashabah dalam ilmu warisan adalah setiap orang yang memperoleh tirkah ketika dia sendirian dengan tirkah tersebut, atau memperoleh harta yang disisakan oleh ashabul furudh. Jika tidak tersisa setelah mereka maka ashabah tidak mewarisi sama sekali. Maka dalam tingkatan, mereka setelah ashabul furudh. Secara singkat, ashabah dalam 'urf ahli faraid adalah orang yang tidak mempunyai bagian tertentu.15 Ashabah dalam ilmu waris secara istilah ialah ahli waris yang berhak menerima harta warisan sisa dengan tidak ditentukan bagiannya. Ashabah merupakan golongan ahli



15



Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adilatuhu (Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm. 414.



10



waris tertentu dengan bagian yang tidak ditentukan bagiannya oleh nash melainkan menerima bagian sisa setelah diserahkan kepada ahli waris ashabul furud.16 Menurut Zakiyah Daradjat, bahwa pengertian ashabah secara bahasa adalah anak dari kerabat seseorang dari jihad ayah. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Fatchurrahman mengartikan lafadz ashabah hanya kerabat seseorang dari jurusan ayah. Para kalangan ulama menyebutkan bahwa ahli farâ'idh mengartikan kata 'ashabah dengan maksud kerabat dari pihak ayah yang mereka namakan 'ashabah nasabiyyah, yakni yang datang dari jihad hubungan darah dan kerabat. Selain itu kalimat ashabah dipergunakan kepada kekerabatan. Menurut hukum (qarabah hukûmiyyah), 'ashabah adalah yang datang dari jihad memerdekakan budak, yang dinamakannya „ushubah sababiyah yaitu 'ushubah yang disebabkan oleh memerdekakan budak. Adapun makna ta'shib ialah menjadikannya 'ashabah atau menjadikannya seseorang yang menjadikan 'ashabah. Secara istilah pengertian 'ashabah dalam terminologi ulama Sunni adalah semua ahli waris yang tidak mempunyai bagian tertentu dengan jelas dalam al-Quran dan AlHadits. Atau ahli waris yang tidak mendapat bagian yang sudah dipastikan besar kecilnya yang telah disepakati oleh seluruh fuqaha dan yang belum disepakati oleh mereka.17 2. Macam-Macam Ashabah a. Ashobah Sababiyah Ashobah Sababiyah adalah : orang yang membebaskan hamba sahaya / hamba sahaya baik perempuan atau laki-laki, hak warisnya dengan wala‟ yaitu warisan dengan ta‟shib, akan tetapi ia diakhirkan setelah warisan nasab (keluarga). Sebelumnya telah dijelaskan bahwa diantara sebab-sebab waris adalah pembebasan dan pelakunya menjadi ashobah karena kebaikan pembebas terhadap hamba sahayanya. Maka apabila seseorang membebaskan hamba sahayanya (laki-laki ataupun perempuan) dengan cara pemerdekaan apapun, menjadi tetaplah baginya dan pembebasnya sebab bagi warisan tuan dari hamba sahayanya.



hlm. 69



16



Asman, Hukum Waris Panduan Dasar untuk Keluarga Muslim, (Solok: Insan Cendikia Mandiri, 2021),



17



Ibid., hlm. 70.



11



Seorang pembebas apabila sendirian, ia mendapat semua harta warisan, apabila bersamanya ada ashabul furudh, maka ia mendapat sisa setelah fardhu mereka, apabila si pembebas telah tiada maka warisannya untuk ashobahnya yang laki-laki. Disyaratkan dalam waris karena pembebasan ini, yaitu tidak adanya ashobah nasab mayit (keluarganya), jadi warisan untuk pembebas diakhirkan setelah ashobah nasabiyah, dan didahulukan dari radd dan waris dzawil arham.18 b. Ashobah Nasabiyah Ashobah Nasabiyah adalah ahli waris ahli waris yang pertalian kekerabatannya kepada al-muarris didasarkan pada hubungan darah.19 1) Ashabah Bin Nafsi Ashabah Bin Nafsi yaitu ahli waris yang menghabiskan sisa harta waris karena status dirinya sendiri bukan karena bersama atau dengan adanya ahli waris lain yang kedudukannya dengan si mayit. Ashabah Bin Nafsi adalah laki-laki yang nasabnya kepada pewaris tidak tercampuri atau diselingi oleh kaum wanita. Jadi Ashabah ini harus dari kalangan laki-laki, sedangkan dari kalangan wanita hanyalah wanita pemerdeka budak. Seperti anak laki-laki, hak dia adalah menghabisi sisa harta sesudah ahli waris lain menerima bagiannya. Bahkan, ia bisa mengambil seluruh harta apabila sendirian tidak ada ahli waris lain. Ashabah Bin Nafsi ini terdiri dari 4 arah, yaitu: a) Arah anak (jihat bunuwah), yakni anak laki-laki, anak laki-laki dari anak lakilaki dan seterusnya ke bawah. b) Arah ayah (jihat ubuwah), yakni ayah, kakek shahih, dan generasi seterusnya ke atas, yang pasti hanya dari pihak laki-laki. c) Arah saudara laki-laki (jihat ukhuwah), yakni saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki seayah, anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung dan generasi seterusnya ke bawah, dan anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah dan generasi seterusnya ke bawah. Jadi arah ini hanya terbatas pada saudara laki-laki sekandung dan yang seayah, termasuk keturunan mereka, namun hanya



18 19



Aisyah As-salafiyah, Ilmu Faraidh & Mawaris, (Bogor: Pustaka Amma Alamia, 2018), hlm. 47-48. Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), hlm. 61.



12



d) yang laki-laki. Adapun saudara laki-laki yang seibu tidak termasuk Ashabah disebabkan mereka termasuk Dzawil furudh. e) Arah paman jihat umumah), yakni paman sekandung, paman seayah, anak lakilaki dari paman sekandung dan generasi seterusnya ke bawah, anak laki-laki dari paman seayah dan generasi seterusnya ke bawah. Keempat arah Ashabah Bin Nafsi di atas skala prioritasnya nomornya. Jadi arah anak lebih didahulukan daripada arah ayah, arah ayah lebih didahulukan dari pada arah saudara lakilaki, dan arah saudara laki-laki lebih didahulukan daripada arah paman. Bila salah satunya menjadi ahli waris tunggal adalah sesuai dengan urutan pewaris, maka ia berhak mengambil seluruh harta warisan yang ada. Namun bila ternyata pewaris mempunyai ahli waris dari Dzawil furudh, maka sebagai Ashabah mendapat sisa harta setelah dibagikan kepada Dzawil furudh tersebut. Dan bila setelah dibagikan kepada Dzawil furudh ternyata tidak ada sisanya, maka para Ashabah pun tidak mendapat bagian. 2) Ashabah Bil Ghair Ashabah Bil Ghair yaitu ahli waris yang pada dasarnya bukan muashib (yang mengambil sisa), ia hanya mengambil bagian yang ditentukan. Akan tetapi karena ia berdampingan dengan ahli waris yang sederajat dengannya (yang statusnya muashib), maka ia turut serta mengambil sisa harta bersama ahli waris yang muashib tersebut. Misalnya, anak perempuan tidak lagi menjadi Dzawil furudh tetapi turut serta menghabisi sisa harta disebabkan adanya anak laki-laki (muashib) yang mendampinginya, dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali lipat bagian perempuan. Kaidah ini hanya berlaku bagi keempat ahli waris dari kalangan wanita, yakni: a) Anak perempuan kandung bersama anak laki-laki kandung. b) Anak perempuan dari anak laki-laki bersama anak laki-laki dari anak laki-laki. c) Saudara perempuan seibu sebapak bersama saudara laki-laki seibu sebapak. d) Saudara perempuan sebapak/seayah bersama saudara laki-laki sebapak/seayah. Adapun sebab penamaan Ashabah Bil Ghairadalah karena hak Ashabah keempat wanita itu bukanlah karena kedekatan kekerabatan mereka dengan pewaris, akan tetapi karena adanya Ashabah Bin Nafsi, yakni anak laki-laki, anak 13



laki-laki dari keturunan anak laki-laki, saudara laki-laki sekandung ataupun saudara laki-laki seayah. Bila para Ashabah Bin Nafsi itu tidak ada, maka keempat wanita tersebut akan mendapat hak warisnya secara furudh. Yaitu berhak mendapat bagian setengah jika sendirian, dan ia berhak mendapatkan bagian dua per tiga bila bersama saudara perempuannya. 3) Ashabah Ma'al Ghair Ashabah Ma‟al Ghair Yaitu ahli waris yang sebetulnya belum dapat memiliki hak bagian harta selagi ada ahli waris lain yang lebih dekat dari si mayit. Akan tetapi, karena ia bersama Dzawil furudh tertentu, maka ia menjadi muashib dengan Dzawil furudh itu. Misalnya. Seorang saudara perempuan berada disamping anak perempuan; saudara perempuan dapat bagian 1/2 karena anak perempuan dapat bagian 1/2 ; saudara perempuan dapat bagian 1/3 karena bersama dua atau lebih anak perempuan, yang me pat bagian 2/3. Ashabah Ma'al Ghair ini khusus bagi para saudara perempuan sekandung maupun saudara perempuan seayah apabila mewarisi bersamaan dengan kelompok furu' dari pihak perempuan, yakni anak perempuan, anak perempuan dari anak lakilaki, dan generasi seterusnya ke bawah, dimana mereka (anak perempuan, anak perempuan dari anak laki-laki dan generasi seterusnya ke bawah tersebut) tidak mempunyai saudara laki-laki. Untuk lebih jelasnya, mereka yang menjadi Ashabah Ma‟al Ghair yaitu sebagai berikut: a) Seorang atau beberapa saudara kandung (seibu sebapak) bersama seorang anak perempuan kandung, atau lebih. b) Seorang atau beberapa saudara perempuan kandung (seibu sebapak) bersama seorang anak perempuan dari anak laki-laki, atau lebih. c) Seorang atau beberapa saudara perempuan seibu sebapak bersama seorang anak perempuan kandung, dan seorang atau beberapa anak perempuan dari anak lakilaki. d) Seorang atau beberapa saudara perempuan sebapak bersama seorang anak perempuan kandung, atau lebih. e) Seorang atau beberapa saudara perempuan sebapak bersama seorang anak perempuan dari anak laki-laki, atau lebih. 14



f) Seorang atau beberapa saudara perempuan sebapak bersama seorang anak perempuan kandung, dan seorang atau beberapa anak perempuan dari anak lakilaki. Adapun saudara laki-laki seibu dan saudara perempuan seibu tidak berhak menjadi ahli waris bila pewaris mempunyai anak perempuan, karena keberadaan anak perempuan menjadi penggugur hak saudara (laki-laki atau perempuan) seibu sehingga tidak dapat menjadi Ashabah.20 C. Hijab 1. Pengertian Hijab Salah satu hal yang harus diperhatikan dalam pembagian warisan adalah mengenai penghalang warisan atau hijab. Seseorang yang berhak untuk mendapatkan harta warisan, akan tetapi karena ada sesuatu keadaan (sifat atau sebab) tertentu, maka ahli waris seharusnya dapat dan berhak menerima bagian dari harta warisan menjadi berkurang dari penerimaan yang semula harus diterimanya atau bahkan menjadi terhalang sama sekali, sehingga tidak berhak menerima bagian dari harta warisan. Menurut logat/bahasa, hijab adalah tabir, rintangan, dinding tutup, mencegah, menghalangi. Dalam hukum waris berarti: dinding yang menghalangi untuk mendapatkan harta warisan atau menghalangi mendapatkan bagian yang lebih banyak. Menurut M. Ali Hasan, hijab ialah dinding yang menjadi halangan sampai kepada sesuatu. Maksud dari dinding yaitu yang menjadi halangan untuk mendapatkan warisan bagi sebagian ahli waris, karena masih ada ahli waris yang lebih dekat pertaliannya (hubungannya ) dengan orang yang meninggal itu.21 Adanya berbagai sebab dan syarat warisan belum cukup menjadi alasan adanya hak waris, kecuali jika tidak terdapat salah satu penghalang sebagai berikut: a. Beda agama antara pewaris dan ahli waris. Alasan penghalang ini adalah hadits Nabi yang mengajarkan bahwa orang muslim tidak berhak waris atas harta orang kafir dan orang kafir tidak berhak waris harta orang muslim. b. Pembunuhan. Hadits Nabi mengajarkan bahwa pembunuh tidak berhak mewaris atas peninggalan orang yang dibunuh. Yang dimaksud dengan membunuh adalah 20 21



M. Bagus Kurnia dan Khoirul Muaddib, Fikih Mawaris, (Sukabumi: Haura Utama, 2020), hlm. 80-85. Suryati, Hukum Waris Islam, (Yogyakarta: Andi, 2017), hlm. 61.



15



c. membunuh dengan sengaja yang mengandung unsur pidana. Sementara pembunuhan yang tidak menjadi penghalang mewaris ialah: 1) Pembunuhan karena khilaf. 2) Pembunuhan yang dilakukan oleh orang yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum. 3) Pembunuhan yang dilakukan karena tugas. 4) Pembunuhan karena uzur untuk membela diri.22 2. Macam-Macam Hijab a. Hijab karena sifat, yaitu terhalangnya seorang ahli waris karena terdapat salah satu dari tiga penghalang mewarisi (mawani‟ul-irts), yaitu perbudakan, pembunuhan, dan perbedaan agama. Setiap ahli waris mempunyai kemungkinan mendapat halangan mewarisi, karena setiap ahli waris mungkin saja berstatus budak, atau sebagai pembunuh pewaris, atau berbeda agama dengan pewaris. Ahli waris yang terhalang (disebut mamnu') dalam hal ini seolah-olah tidak terdaftar dalam susunan ahli waris, sehingga keberadaannya sama dengan ketiadaannya, dan tidak dapat mempengaruhi ahli waris lain dalam pembagian warisan. b. Hijab karena orang, yaitu terhalangnya seorang ahli waris untuk mendapatkan bagian dikarenakan adanya ahli waris lain. Ahli waris yang menghalangi itu disebut hajib, sedangkan ahli waris yang terhalang dinamakan mahjub. Hijab jenis ini ada dua jenis, yaitu: 1) Hijab karena orang, yaitu terhalangnya seorang ahli waris untuk mendapatkan bagian dikarenakan adanya ahli waris lain. Ahli waris yang menghalangi itu disebut hajib, sedangkan ahli waris yang terhalang dinamakan mahjub. Hijab jenis ini ada dua jenis, yaitu: a) Hijab hirman, yaitu hijab yang menyebabkan seorang ahli waris tidak mendapatkan bagian sama sekali. Semua ahli waris dapat terkena hijab hirman, kecuali enam orang, yaitu:



22







Anak laki-laki.







Bapak







Suami.



Ibid., hlm. 62.



16







Anak perempuan.







Ibu.







Istri. Artinya, keenam orang ini tidak pernah terhalang oleh orang lain



dalam menerima warisan. Ahli waris selain keenam orang ini ada dua kemungkinan, dalam satu keadaan dapat menerima bagian, tetapi dalam keadaan lain bisa menjadi mahjub. Ahli waris laki-laki yang dapat terkena hijab hirman adalah sebagai berikut:  Kakek terhalang oleh bapak.  Saudara laki-laki kandung terhalang oleh bapak, anak laki-laki, dan cucu laki-laki.  Saudara laki-laki sebapak terhalang oleh saudara laki-laki kandung, penghalang saudara laki-laki kandung, dan saudara perempuan kandung yang menjadi ashabah ma‟al ghair.  Saudara laki-laki seibu terhalang oleh bapak, kakek, anak, dan cucu.  Cucu laki-laki terhalang oleh anak laki-laki.  Keponakan laki-laki kandung terhalang oleh saudara laki-laki sebapak dan semua penghalang saudara laki-laki sebapak.  Keponakan laki-laki sebapak terhalang oleh keponakan laki-laki kandung dan semua penghalang keponakan laki-laki kandung.  Paman kandung terhalang oleh keponakan laki-laki sebapak dan semua penghalang keponakan laki-laki sebapak.  Paman sebapak terhalang oleh paman kandung dan semua penghalang paman kandung.  Sepupu laki-laki kandung terhalang oleh paman sebapak dan semua penghalang paman sebapak.  Sepupu laki-laki sebapak terhalang oleh sepupu laki-laki kandung dan semua penghalang sepupu laki-laki kandung. Sementara itu, ahli waris perempuan yang dapat terkena hijab hirman adalah sebagai berikut: 17



 Nenek terhalang oleh ibu.  Cucu perempuan terhalang oleh anak laki-laki, dan dua orang atau lebih anak perempuan.  Saudara perempuan kandung terhalang oleh bapak, anak laki-laki, dan cucu laki-laki.  Saudara perempuan sebapak terhalang oleh saudara laki-laki kandung, saudara perempuan kandung yang menjadi 'ashabah maal-ghair, dua saudara perempuan kandung atau lebih, dan semua penghalang saudara perempuan kandung.  Saudara perempuan seibu terhalang oleh bapak, kakek, anak, dan cucu. 2) Hijab Nuqshan, yaitu hijab yang menyebabkan bagian seorang ahli waris menjadi berkurang. Hijab nuqshan ada tujuh bentuk, empat di antaranya karena perpindahan (intiqal), dan tiga karena banyaknya ahli waris yang sejenis atau berdesakan (izdiham). Ketujuh bentuk ini adalah sebagai berikut 



Perpindahan dari mendapat fardh tertentu menjadi fardh yang nilainya lebih kecil. Contoh: Fardh suami berubah dari 1/2 menjadi 1/4 karena ada nya anak. Fardh istri berubah dari 1/4 menjadi 1/8 karena adanya anak.







Perpindahan dari mendapat „ushubah tertentu menjadi „ushubah lain yang nilainya lebih kecil. Contoh: saudara perempuan kandung dan saudara perempuan sebapak, dapat berubah status dari „ashabah ma‟al-ghair menjadi 'ashabah bil-ghair.







Perpindahan dari mendapat fardh tertentu menjadi menerima „ushubah yang nilainya lebih kecil. Contoh: anak perempuan yang mendapat fardh sebesar 1/2 bagian bisa berubah menjadi berstatus sebagai



„ashabah



bil-ghair



karena



adanya



anak



laki-laki



bersamanya. 



Perpindahan dari mendapat ushubah menjadi mendapat fardh yang nilainya lebih kecil. Contoh: bapak dapat berstatus sebagai 'ashabah jika hanya ada anak perempuan, tapi bagian bapak 18







menjadi berubah menjadi menerima fardh sebesar 1/6 bagian saja jika ada anak laki-laki juga.







Berkumpulnya ahli waris yang sejenis (sama statusnya) dalam menerima fardh. Contoh: Dua orang atau lebih saudara seibu (baik laki-laki maupun perempuan) berbagi warisan dalam 1/3 bagian dari harta. Makin banyak saudara seibu yang ada, maka bagian mereka menjadi makin kecil. Dua orang atau lebih anak perempuan (berapa pun jumlah mereka) tetap menerima 2/3 bagian dari harta warisan.







Berkumpulnya ahli waris yang sejenis (sama statusnya) dalam menerima 'ushubah (sabagai “ashabah). Contoh: Anak laki-laki (berapa pun jumlahnya) mendapat bagian warisan sebagai “ashabah secara sama rata di antara mereka. Makin banyak jumlah mereka, maka makin kecil bagian untuk masing-masing.







Berkumpulnya para ahli waris golongan ashhabul furudh sehingga menimbulkan masalah 'aul. Dalam hal ini, semua ahli waris ashhabul-furudh mendapat bagian yang lebih kecil daripada fardh mereka masing-masing yang seharusnya mereka terima secara proporsional.23



D. Dzawil Arham 1. Pengertian Dawil Arham Arham adalah bentuk jamak dari kata rahmun/rahim, yang asalnya dalam bahasa Arab berarti 'tempat pembentukan/menyimpan janin dalam perut ibu'.24Kemudian dikembangkan menjadi 'kerabat', baik datangnya dari pihak ayah ataupun dari pihak ibu. Pengertian ini tentu saja disandarkan karena adanya rahim yang menyatukan asal mereka.Dengan demikian, lafazh rahim tersebut umum digunakan dengan makna kerabat, baik dalam bahasa Arab ataupun dalam istilah syariat Islam.



23



Achmad Yani, Faraidh dan Mawaris Bunga Rampai Hukum Waris Islam, (Jakarta: Kencana, 2016), hlm.



69-72. 24



Al Hafizh Ibn Hajar Al- Asqalani, Terjemah Bulughul Maram, terj.Moh. Machfuddin aladip, (Semarang: Toha Putra. 2010), hlm. 479. 19



Adapun yang dimaksud dengan dzawil arham adalah setiap kerabat pewaris yang tidak termasuk ashhabul furudh dan ashabah, misalnya bibi (saudara perempuan ayah atau ibu), paman dari pihak ibu (saudara laki-laki ibu), keponakan laki-laki dari saudara perempuan, cucu laki-laki dari anak perempuan, dan sebagainya. 2. Pendapat Beberapa Imam tentang Dzawul Arham Para imam mujtahid berbeda pendapat dalam masalah hak waris dzawil arham, sama halnya dengan perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan para sahabat Rasulullah saw. Dalam hal ini ada dua pendapat:25 a. Golongan pertama berpendapat bahwa dzawil arham atau para kerabat tidak berhak mendapat waris. Mereka mengatakan bahwa bila harta waris tidak ada ashhabul furudh atau ashabah yang mengambilnya, maka harta warisan dilimpahkan kepada baitulmal kaum muslimin untuk disalurkan demi kepentingan masyarakat Islam pada umumnya. Dengan demikian, tidak dibenarkan jika harta tersebut diberikan kepada dzawil arham. Di antara mereka yang berpendapat demikian ialah Zaid bin Tsabit r.a. dan Ibnu Abbas r.a. dalam sebagian riwayat darinya, dan juga merupakan pendapat dua imam, yaitu Malik dan Syafi'i rahimahumullah. b. Golongan kedua berpendapat bahwa dzawil arham (kerabat) berhak mendapat waris, bila tidak ada ashhabul furudh, ataupun ashabah yang menerima harta pewaris. Mereka berpendapat bahwa dzawil arham lebih berhak untuk menerima harta waris dibandingkan baitulmaal, sebab dzawil arham memiliki kekerabatan dengan pewaris. Pendapat ini merupakan jumhur ulama, di antaranya Umar bin Khathab, Ibnu Mas'ud, dan Ali bin Abi Thalib. Juga merupakan pendapat Imam Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal rahimahumullah. 3. Cara Pembagian Waris untuk Dzawil Arham Di antara ulama fiqh terjadi perbedaan pendapat mengenai tata cara memberikan hak waris kepada para kerabat, dan dalam hal ini terbagi menjadi tiga kelompok pendapat sebagai berikut:26



25 26



Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), cet. ke-3, hlm. 23. Thaha Abul Ela Khalifah, Hukum Waris: Pembagian Warisan Berdasarkan Syariat Islam, hlm.



438. 20



a. Menurut Ahlur-Rahmi Mengenai cara pembagian hak waris para kerabat, ahlur-rahmi menyatakan bahwa semua kerabat berhak mendapat waris secara rata, tanpa membedakan jauhdekatnya kekerabatan, dan tanpa membeda-bedakan antara laki-laki dengan perempuan.Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan seorang cucu perempuan keturunan anak perempuan, seorang keponakan perempuan dari saudara perempuan, bibi dari pihak ayah (saudara perempuan ayah), bibi dari pihak ibu (saudara perempuan ibu), dan keponakan laki-laki keturunan saudara laki-laki seibu. Maka dalam hal ini mereka mendapatkan bagian waris secara rata, tanpa melebihkan atau mengurangi salah seorang dari ahli waris yang ada. Mazhab ini dikenal dengan sebutan ahlur-rahmi disebabkan orang-orang yang menganut pendapat ini tidak mau membedakan antara satu ahli waris dengan ahli waris yang lain dalam hal pembagian, mereka juga tidak menganggap kuat serta lemahnya kekerabatan seseorang. Yang menjadi landasan mereka ialah bahwa seluruh ahli waris menyatu haknya karena adanya ikatan kekerabatan. Mazhab ini tidak masyhur, bahkan dhaif dan tertolak. Karenanya tidak ada satu pun dari ulama atau para imam mujtahid vang mengakuinya apalagi mengikuti pendapat ini dengan alasan telah sangat nyata bertentangan dengan kaidah syar'iyah yang masyhur dalam disiplin ilmu mawarits. b.



Menurut Ahlut-Tanzil Golongan ini disebut ahlut-tanzil dikarenakan mereka mendudukkan keturunan ahli waris pada kedudukan pokok (induk) ahli waris asalnya.Mereka tidak memperhitungkan ahli waris yang ada (yang masih hidup), tetapi melihat pada yang lebih dekat dari ashhabul furudh dan para ashabahnya. Dengan demikian, mereka akan membagikan hak ahli waris yang ada sesuai dengan bagian ahli waris yang lebih dekat, yakni pokoknya. Inilah pendapat mazhab Imam Ahmad bin Hambal, juga merupakan pendapat para ulama mutakhir dari kalangan Perhatikan contoh berikut:



21



Maliki dan Syafi'i.



1) Bila seseorang wafat dan meninggalkan cucu perempuan keturunan anak perempuan, keponakan laki-laki keturunan saudara perempuan sekandung, dan keponakan perempuan keturunan saudara laki-laki seayah. Maka keadaan ini dapat dikategorikan sama dengan meninggalkan anak perempuan, saudara perempuan sekandung, dan saudara laki-laki seayah. Oleh karena itu, pembagiannya seperti berikut:8 1) Cucu perempuan keturunan anak perempuan mendapat 1/2 bagian 2) Keponakan laki-laki keturunan saudara perempuan sekandung mendapat 1/2 bagian 3) Keponakan perempuan keturunan saudara laki-laki seayah tidak mendapat bagian karena terhalang oleh keponakan laki-laki keturunan saudara perempuan sekandung. Sebab keponakan laki-laki keturunan saudara perempuan sekandung di sini sebagai ashabah, karena itu ia mendapatkan sisanya. 4) Seseorang wafat dan meninggalkan keponakan perempuan keturunan saudara perempuan sekandung, keponakan perempuan keturunan saudara perempuan seayah, keponakan laki-laki keturunan saudara perempuan seibu, dan sepupu perempuan keturunan paman kandung (saudara laki-laki seayah). Kasus ini diibaratkan pewaris meninggalkan saudara perempuan sekandung, saudara perempuan seayah, saudara perempuan seibu, dan paman kandung. Maka pembagiannya adalah sebagai berikut:27 a) Keponakan



perempuan



keturunan



saudara



perempuan



sekandung



mendapatkan 1/2 bagian b) Keponakan perempuan keturunan dari saudara perempuan seayah mendapat 1/6 sebagai penyempurna 2/3 c) Keponakan laki-laki keturunan saudara perempuan seibu mendapatkan 1/6 bagian secara fardh d) Sepupu perempuan anak dari paman kandung juga mendapatkan 1/6 bagian sebagai ashabah. Begitulah cara pembagiannya, yakni dengan melihat kepada yang lebih dekat derajat kekerabatannya kepada pewaris yang tergolong ashhabul furudh dan 27



Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris, (Yogyakarta: UII Press, 2001), Cet. ke-4, hlm. 20. 22



ashabah. Adapun yang dijadikan dalil oleh mazhab ahlut-tanzil ini ialah riwayat yang marfu' (sampai sanadnya) kepada Rasulullah saw.. Ketika beliau memberi hak waris kepada seorang bibi (saudara perempuan ayah) dan bibi (saudara perempuan ibu) kebetulan saat itu tidak ada ahli waris lainnya, maka beliau memberi bibi (dari pihak ayah) dengan dua per tiga (2/3) bagian, dan sepertiga lagi diberikannya kepada bibi (dari pihak ibu). Selain itu, juga berlandaskan fatwa Ibnu Mas'ud r.a. ketika ia menerima pengaduan tentang pembagian waris seseorang yang wafat dan meninggalkan cucu perempuan keturunan anak wanita, dan keponakan perempuan keturunan saudara perempuan sekandung. Maka Ibnu Mas'ud memberikan setengah bagian untuk cucu perempuan dan setengah bagian lainnya untuk keponakan perempuan. Lebih jauh mazhab ini menyatakan bahwa hadits Rasulullah saw. dan keputusan yang dilakukan Ibnu Mas'ud menunjukkan betapa kuatnya pendapat mereka.28 Adapun dalih orang-orang yang memperkuat mazhab kedua ini, yang tampak sangat logis, adalah bahwa memberikan hak waris kepada dzawil arham tidak dibenarkan kecuali dengan berlandaskan pada nash-nash umum, yang justru tidak memberikan rincian mengenai besarnya bagian mereka masingmasing dan tidak ada pentarjihan secara jelas. Oleh karena itu, dengan mengembalikan kepada pokoknya, karena memang lebih mendekatkan posisinya kepada pewaris, jauh lebih utama dan bahkan lebih berhak. Sebab, rincian besarnya bagian ashhabul furudh dan para ashabah telah dijelaskan. Maka tidak ada jalan lain untuk mengenali dan menuntaskan masalah ini kecuali dengan mengembalikan atau menisbatkannya kepada pokok ahli waris yang lebih dekat kekerabatannya kepada pewaris. c. Menurut Ahlul Qarabah Mazhab ini merupakan pendapat Ali bin Abi Thalib r.a. dan diikuti oleh para ulama mazhab Hanafi. Menurut Ahlul Qarabah, hak waris para dzawil arham ditentukan dengan melihat derajat kekerabatan mereka kepada pewaris. Hal ini, menurut mereka, dilakukan dengan mengqiyaskannya pada hak para ashabah, berarti 28



Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Amzah, 2005), Cet. Pertama, hlm. 68. 23



yang paling berhak diantara mereka (para ashabah) adalah yang paling dekat kepada pewaris dari segi dekat dan kuatnya kekerabatan. Sebagaimana telah diungkapkan, dalam hal melaksanakan pembagian waris untuk dzawil arham, mazhab ini membaginya secara kelompok. Dalam prakteknya sama seperti membagi hak waris para ashabah, yaitu melihat siapa yang paling dekat hubungan kekerabatannya dengan pewaris, kemudian barulah yang lebih kuat di antara kerabat yang ada. Selain itu, pelaksanaannya tetap mengikuti kaidah umum pembagian waris, yakni bagian laki-laki adalah dua kali bagian wanita. Di samping itu, mazhab ketiga ini telah mengelompokkan dan membagi dzawil arham menjadi empat golongan, kemudian menjadikan masing-masing golongan mempunyai cabang dan keadaannya. Keempat golongan tersebut adalah:29 1) Orang-orang yang bernisbat kepada pewaris, yakni: a) Cucu dari keturunan anak perempuan, dan seterusnya ke bawah, baik lakilaki ataupun perempuan b) Cicit dari keturunan cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, dan seterusnya ke bawah, baik laki-laki ataupun perempuan. 2) Orang-orang yang dinisbati kekerabatan oleh pewaris, yakni a) Kakek yang bukan sahih, dan seterusnya ke atas, seperti ayah dari ibu, ayah dari ayahnya ibu (kakek dari ibu). b) Nenek yang bukan sahih, dan seterusnya ke atas, seperti ibu dari ayahnya ibu, ibu dari ibu ayahnya ibu. 3) Orang-orang yang bernisbat kepada kedua orang tua pewaris, yakni: a) Keturunan saudara perempuan sekandung, atau yang seayah, atau yang seibu, baik keturunan laki-laki ataupun perempuan. b) Keturunan perempuan dari saudara laki-laki sekandung, atau seayah, seibu, dan seterusnya. c) Keturunan dari saudara laki-laki seibu dan seterusnya. 4) Orang-orang yang bernisbat kepada kedua kakek pewaris atau kedua nenek pewaris, yakni: 29



Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris:Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Gaya Msedia Pratama, 2002), Cet. Ke-2, hlm. 66. 24



a) Bibi (saudara perempuan ayah) pewaris, baik bibi kandung, seayah, atau seibu. Kemudian paman (saudara laki-laki ibu) pewaris, dan bibi (saudara perempuan ibu), dan paman (saudara ayah) ibu. b) Seluruh keturunan kelompok diatas. c) Bibi dari ayah pewaris, baik yang kandung, seayah, ataupun seibu. Juga semua pamannya dan bibinya (paman dan bibi dari ayah). Juga pamannya (saudara ayah) yang seibu (mencakup semua paman dan bibi dari ibu, baik yang kandung maupun yang seayah). d) Seluruh keturunan kelompok diatas. e) Paman kakak yang seibu, dan juga paman nenek. Kemudian paman dan bibi, baik dari ayah maupun ibu, dari kakek dan nenek. f) Seluruh keturunan kelompok diatas. 4. Perbedaan antara Ahlut-tanzil dengan Ahlul Qarabah a. Ahlut-tanzil tidak menyusun secara berurutan kelompok per kelompok, dan tidak pula mendahulukan antara satu dari yang lain. Sedangkan ahlul qarabah menyusun secara berurutan dan mendahulukan satu dari yang lain sebagai analogi dari ashabah bi nafsihi. b. Dasar yang dianggap oleh ahlut-tanzil dalam mendahulukan satu dari yang lain adalah berdasarkan dekatnya keturunan dengan sang ahli waris ashhabul furudh atau ashabah. Sedangkan oleh ahlul qarabah yang dijadikan dasar ialah dekatnya dengan kekerabatan, dan bagian anak laki-laki dua kali lipat bagian kaum wanita sebagaimana yang berlaku pula dalam kalangan ahlul ashabah. 5. Cara Pembagian Waris Menurut Ahlul Qarabah Telah dikemukakan bahwa ahlul qarabah ini mengelompokkan dan memberikan urutan, dalam pembagian hak waris, dengan mengqiyas pada jalur ashabah. 30Dengan demikian, menurut ahlul qarabah, yang pertama kali berhak menerima waris adalah keturunan pewaris (anak, cucu, dan seterusnya). Bila mereka tidak ada, maka pokoknya: ayah, kakek, dan seterusnya. Jika tidak ada juga, maka barulah keturunan saudara lakilaki (keponakan).Bila mereka tidak ada, maka barulah keturunan paman (dari pihak ayah 30



Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Ahkamul-Mawaarits fil-Fiqhil-Islami, terj. Addys Aldisar dan H. Fathurrahman, (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004), Cet. Pertama, hlm. 251



25



dan ibu).Jika tidak ada, maka barulah keturunan mereka yang sederajat dengan mereka, seperti anak perempuan dari paman kandung atau seayah.Dengan demikian, berdasarkan urutan tersebut dapat disimpulkan bahwa kelompok ahli waris yang lebih awal disebutkan dapat menggugurkan kelompok berikutnya. 6. Syarat-syarat Pemberian Hak Waris bagi Dzawil Arham 1) Tidak ada ashhabul furudh. Sebab, jika ada ashhabul furudh, mereka tidak sekadar mengambil bagiannya, tetapi sisanya pun akan mereka ambil karena merupakan hak mereka secara radd. Sedangkan kita ketahui bahwa kedudukan ahli waris secara ar-radd dalam penerimaan waris lebih didahulukan dibandingkan dzawil arham. 2) Tidak ada ashabah. Sebab ashabah akan mengambil seluruh hak waris yang ada, bila ternyata tidak ada ashhabul furudh. Dan bila ada ashhabul furudh, maka para ashabahakan menerima sisa harta waris yang ada, setelah diambil hak para ashhabul furudh. 3) Apabila ashhabul furudh hanya terdiri dari suami atau istri saja, maka ia akan menerima hak warisnya secara fardh, dan sisanya diberikan kepada dzawil arham. Sebab kedudukan hak suami atau istri secara radd itu sesudah kedudukan dzawil arham. Dengan demikian, sisa harta waris akan diberikan kepada dzawil arham. 4) Apabila dzawil arham (baik laki-laki maupun perempuan) seorang diri menjadi ahli waris, maka ia akan menerima seluruh harta waris. Sedangkan jika dia berbarengan dengan salah satu dari suami atau istri, maka ia akan menerima sisanya. Dan bila bersamaan dengan ahli waris lain, maka pembagiannya sebagai berikut:31 a) Mengutamakan dekatnya kekerabatan. Misalnya, pewaris meninggalkan ahli waris cucu perempuan dari keturunan anak perempuan, dengan anak cucu perempuan dari keturunan anak perempuan, maka yang didahulukan adalah cucu perempuan dari anak perempuan. Begitu seterusnya. b) Apabila ada kesamaan pada kedekatan derajat kekerabatan, maka yang lebih berhak untuk dintamakan adalah yang paling dekat dengan pewaris lewat ashhabul furudh atau ashabah. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, dan cucu laki-laki dari keturunan anak perempuan, maka 31



Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris:Hukum Kewarisan Islam, hlm. 184 26



c) yang lebih didahulukan adalah cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Dalam contoh ini, tampak ada kesamaan derajat di antara kedua ahli waris, keduanya memiliki hubungan kekerabatan dengan pewaris sama-sama sebagai cucu. Hanya saja, cucu perempuan keturunan anak laki-laki bernasab kepada pewaris lewat jalur ashhabul furudh, sedangkan cucu laki-laki dari keturunan anak perempuan melalui dzawil arham. d) Apabila segi derajat dan kedekatannya kepada pewaris sama, maka haruslah mengutamakan mana yang lebih kuat kedekatan kekerabatannya. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan anak perempuan dari saudara laki-laki sekandung (yakni keponakan sekandung) dengan anak perempuan dari saudara laki-laki seayah (keponakan bukan sekandung), maka dalam keadaan seperti ini kita harus mengutamakan keponakan kandung, dan berarti seluruh harta waris menjadi haknya. Yang demikian itu disebabkan keponakan kandung lebih kuat kekerabatannya. Begitulah seterusnya. e) Apabila dalam suatu keadaan terjadi persamaan, maka pembagiannya dilakukan secara merata. Artinya, semua ahli waris dari dzawil arham berhak menerima bagian. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan seorang anak perempuan dari anak paman kandung, seorang anak perempuan dari anak paman yang lain (sekandung), dan seorang anak perempuan dari anak paman kandung yang lain. Atau dengan redaksi lain, orang yang wafat ini meninggalkan tiga putri keturunan anak paman kandung. Maka harta warisnya dibagi secara merata di antara mereka, karena ketiganya memiliki derajat yang sama dari segi kekerabatan. f) Aturan pemberian hak waris terhadap para dzawil arham adalah bagian lakilaki dua kali lipat bagian perempuan, sama seperti dalam pembagian para ashabah untuk anak laki-laki dan anak perempuan, sekalipun dzawil arham itu keturunan saudara lakilaki atau saudara perempuan seibu.



27



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dzawil furudh adalah ahli waris yang sahamnya telah ditentukan secara terperinci (seperdua, sepertiga, seperempat, seperenamatau seperdelapan dari warisan). Ashabul Furudh atau Dzawil Furudh adalah orang-orang yang berhak menerima waris yang sudah ditentukan bagian-bagiannya menurut ketentuan syara‟. Ashabul Furudh terbagi menjadi 2 macam, yaitu Ashabul Furudh Sababiyah (karena hubungan pernikahan: suami dan istri) danAshabul Furudh Nasabiyyah (karena hubungan nasab atau keturunan: anak perempuan, cucu perempuan, ibu, bapak, nenek, kakek, saudara perempuan sekandung, saudara perempuan seayah dan saudara perempuan/ laki-laki seibu). Sedangkan Ashabah adalah ahli waris yang tidak ditetapkan bahagianya di dalam Al-Qur‟an dan Hadits. Hijab secara harfiah berarti satir, penutup atau penghalang. Dalam fiqh mawaris, istilah ini digunakan untuk menjelaskan ahli waris yang hubungan kekerabatannya jauh, yang kadang-kadang atau seterusna terhalang hak-hak kewarisanya oleh ahli waris yang lebih dekat.



Ahli waris yang terhalangi disebut hajib, sedangkan ahli waris yang



terhalang disebut dengan mahjub. Keadaan yang terhalangi disebut hijab. Hijab dilihat dari segi akibatnya, hijab dibagi 2 macam, yakni: Hijab Nuqson dan Hijab Hirman. Dan Dzawil Arham adalah semua kerabat mempunyai hubungan kekerabatan dengan pewaris tetapi tidak semua dapat mewaris harta pewaris dengan memperoleh bagian tetap atau ashabah. B. Saran Makalah ini kami buat dengan sungguh-sungguh. Namun, penulis dengan suka hati menerima kritik dan saran apabila terdapat kekurangan dan kesalahan pada makalah, untuk penyempurnaan penulisan makalah yang mendatang.



28



DAFTAR PUSTAKA Aldizar Addys dan Fathurrahman. 2004. Hukum Waris. Jakarta: Senayan Abadi Publishing. Asqalani, Al Hafizh Ibn Hajar. 2010. Terjemah Bulughul Maram, terj.Moh. Machfuddin aladip. Semarang: Toha Putra. Asman. 2021. Hukum Waris Panduan Dasar untuk Keluarga Muslim. Solok: Insan Cendikia Mandiri. Basyir, Ahmad Azhar. 2001. Hukum Waris. Yogyakarta: UII Press. Bakar, Alyasa Abu. 1998. Ahli Waris Sepertalian Darah: Kajian Perbandingan terhadap Penalaran Hazairin dan Penalaran Fiqh Mazhab. Jakarta: INIS. Khalifah, Thaha Abul Ela. Hukum Waris: Pembagian Warisan Berdasarkan Syariat Islam. Muaddib, Khirul dan M. Bagus Kurnia. 2020. Fikih Mawaris. Sukabumi: Haura Utama. Munir, Amin Samsul dan Totok Jumantoro. 2005. Kamus Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: Amzah. Rahman Fatchur. T.t. Ilmu Waris. Bandung: PT. ALMA‟ARIF. Rofiq, Ahmad. 1993. Fiqih Mawaris. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Salafiyah, As Aisyah. 2018. Ilmu Faraidh & Mawaris. Bogor: Pustaka Amma Alamia. Salman, Otje dan Mustofa Haffa. 2006. Hukum Waris Islam. Bandung: Refika Aditama. Suryati. 2017. Hukum Waris Islam. Yogyakarta: Andi. Shidieqy, Ash Hasbi. 1973. Fiqih Mawaris Hukum-hukum Warisan dalam Syari’at Islam. Jakarta: Bulan Bintang. Somawinata, Suparman Usman dan Yusuf. 2002. Fiqh Mawaris:Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Gaya Msedia Pratama. Thalib Sajuti. 1995. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. Jakarta. Sinar Grafita. Umam, Dian Khairul. 2006. Fiqih Mawaris. Bandung: Pustaka Setia. Yani, Achmad. 2016. Faraidh dan Mawaris Bunga Rampai Hukum Waris Islam. Jakarta: Kencana. Zuhaili, Az Wahbah. 2011. Fiqih Islam wa Adilatuhu. Jakarta: Gema Insani.



29