Makalah Ashabah  [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN A.



Latar Belakang Sebelum Era islam, bangsa arab telah mengenal system waris yang menjadi sebab berpindahnya hak kepemilikan atas harta benda atau hak-hak material lainnya, dari seseorang yang meninggal kepada orang lain yang menjadi ahli warisnya. Islam telah meletakkan aturan kewarisan dan hukum mengenai harta benda dengan sebaik-baik dan seadil-adilnya. Agama Islam menetapkan hak milik seseorang atas harta, baik laki-laki atau perempuan melalui jalan syara’. seperti perpindahan hak milik laki-laki dan perempuan di waktu masih hidup ataupun perpindahan harta kepada para ahli warisnya setelah ia meninggal dunia. Dalam Al-Qur'an telah dijelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak warisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah atau seibu. Seiring berkembangnya zaman, masalah kewarisan dikembangkan secara kompleks oleh para fuqoha. Dalam kewarisan tersebut mereka mengelompokkan pihak-pihak dalam hal warisan diantaranya Ashabah. Mewariskan dengan cara Ashabah merupakan cara kedua untuk memberikan harta waris kepada ahli waris si mayit. Sebab, sebagaimana yang kita ketahui bahwa pembagian harta waris dapat dilakukan dengan dua cara yaitu fard dan ta’shib (ashabah). Ahli waris yang mewarisi bagian tetap lebih didahulukan dari pada ahli yang menjadi ashabah. Hal ini dikarenakan kedudukan ashabul furudh lebih utama daripada kedudukan ashabah. Nabi SAW bersabda. “Berikanlah bagian-bagian tetap itu kepada orang yang berhak, dan jika ada sisa, baru untuk laki-laki dari keturunannya.” Dalam istilah ulama fiqh ashabah berarti ahli waris yang tidak mempunyai bagian tertentu, baik besar maupun kecil, yang telah disepakati para ulama (seperti ashabul furudh) atau yang belum disepakati oleh mereka.



B.



Rumusan Masalah 1 | Makalah Ashabah



1.



Apa pengertian ahli waris ashabah ?



2.



Apa saja macam-macam ashabah ?



BAB II



2 | Makalah Ashabah



PEMBAHASAN A. ‘Ashabah ‘Ashabah adalah bentuk jama’ dari kata ‫ ﻋﺎﺼﺐ‬yakni ahli waris yang mendapat harta warisan dengan bagian yang tidak ditentukan. 1 Sedangkan ahli faroid mendefinikan ‘ashabah yaitu setiap orang yang mendapat seluruh harta jika berada sendirian dan mendapat sisanya setelah Ashabul furudh mendapat bagian mereka yang telah ditentukan.2 Jika ahli waris mayit hanya mereka, maka mereka mengambil semua harta,



dan



apabila



bersama



mereka



ini



ada



ahli



waris



yang



mendapat



bagian furudh, maka mereka mengambil sisa harta setelah bagian furudh diberikan. Namun jika harta tidak tersisa, maka mereka tidak mendapat apa-apa.3 Dalam pembagian sisa harta warisan, ahli waris yang terdekatlah yang lebih dahulu



menerimanya.



Konsekuensinya



adalah,



ahli



waris



yang



peringkat



kekerabatannya dibawah tidak mendapatkan bagian. Hal ini berdasarkan hadist Rasulullah :



‫ض ِقبأأوهِقلأهﺎ أفأمﺎ أبِققأي أفجهأو أ‬ ‫لووأل ى أرججرل أذأكرر‬ ‫أأولِقحجقوئا ئاولأفأرئاِقئ أ‬ “Berikanlah warisan kepada ahli waris yang berhak menerimanya dan jika tersisa,



maka



diberikan



kepada



ahli



waris



laki-laki



yang



lebih



berhak



menerimanya”. ( H.R Al-Bukhari dan Muslim ). Ahli waris ashabah harus menunggu sisa pembagian dari ahli waris yang telah ditentukan bagiannya, dan keistimewaan ashabah ini ia dapat menghabiskan seluruh, kalau ahli waris yang ditentukan bagiannya sudah mengambil apa yang menjadi haknya. 1. Muhammad bin Shahil al-‘Utsaimin, Panduan Praktis Hukum Waris, (Bogor, Pustaka Ibnu



Katsir,2009) hlm. 96



2 . Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ilmu Hukum Wris Menurut ajaran Islam, (Surabaya, Mutiara Ilmu, 2010) hlm.55 3 . Suhrawardi K.Lubis, Hukum Waris Islam ( Jakarta,Sinar Grafika, 2007 ) hlm 99



3 | Makalah Ashabah



B. Macam-macam ‘Ashabah Ashabah terbagi menjadi 2 bagian yaitu ‘Ashabah Nasabiah dan Ashabah Sababiyah. Nasabiah adalah ashabah yang disebabkan oleh nasab. Sedangkan ashabah Sababiah adalah ashabah yang disebabkan pembebasan budak.4 I.



Ashabah Nasabiah adalah ashabah yang disebabkan oleh nasab. Adapun macam-macam ashabah nasabiah terbagi kepad 3 macam yaitu: 1. Ashabah bin Nafsi Yaitu ahli waris yang karena kedudukan dirinya sendiri berhak menerima



bagian ashabah, ahli waris kelompok ini semuanya laki-laki, kecuali mu’tiqah (orang perempuan yang memerdekakan hamba sahaya) yaitu terdi dari:             



Anak laki-laki Cucu laki-laki dari garis laki-laki Bapak Kakek (dari garis bapak) Saudara laki-laki sekandung Saudara laki-laki seayah Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung Anak laki-laki saudara laki-laki se ayah Paman sekandung Paman se ayah Anak laki-laki paman sekandung Anak laki-laki paman se ayah Mu’tiq atau mu’tiqah (orang laki-laki



atau



perempuan



yang



memerdekakan hamba sahaya).5 Sebagai contohnya, jika seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris seorang ayah dan seorang anak laki-laki, maka ayah mendapatkan 1/6 dan



4 . Muhammad Ali Ash-Shabuni, Op.Cit, hlm 57 5 . Ahmad Rofiq, Op., Cit



4 | Makalah Ashabah



selebihnya diberikan kepada anak laki-laki sebagai bagian ‘ashabah. Dalam hal ini bapak tidak mendapatkan ‘ashabah, sebab jalur bunuwwah mendahului arah ubuwwah.6 Hukum ‘ashabah bin nafsi ‘Ashabah bin nafsh mempunyai empat arah dan derajat kekuatan hak warisnya sesuai urutannya. Hingga salah satunya secara tunggal (sendirian) menjadi ahli waris seorang yang meninggal dunia, maka ia berhak mengambil seluruh warisan yang ada. Namun bila ternyata pewaris mempunyai ahli waris dari ‘ashabul furudh, maka sebagai ‘ashabah mendapat sisa harta setelah dibagikan kepada ‘ashabul furudh. Dan bila setelah dibagikan kepada ‘ashabul furudh ternyata tidak ada sisa, maka para ‘ashabah tidak mendapat bagian. Adapun bila para ‘ashabah bin nafsh lebih dari satu orang, maka cara penarjihannya (pengunggulannya) sebagai berikut : Pertama : penarjihan dari segi arah Apabila ada suatu keadaan pembagian waris terdapat beberapa ‘ashabah bin nafs, maka pengunggulannya di lihat dari segi arah. Arah anak lebih didahulukan dibanding yang lain. Anak akan mengambil seluruh harta peninggalan yang ada, atau akan menerima sisa harta waris setelah dibagikan kepada ‘ashabul furudh bagian masing-masing. Apabila anak tidak ada, maka cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki dan seterusnya. Sebab cucu akan menduduki posisi anak bila anak tidak ada. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan anak laki-laki, ayah, dan saudara kandung. Dalam keadaan demikian, yang menjadi ‘ashabah adalah anak laki-laki. Sebab arah anak lebih didahulukan dari pada arah yang lain. Sedangkan ayah termasuk ‘ashabul furudh karena mewarisi bersama-sama dengan anak laki-laki. Sementara itu, saudara kandung laki-laki tidak mendapatkan waris dikarenakan arahnya lebih jauh. Kedua : penarjihan secara derajat Apabila dalam suatu keadaan pembagian waris terdapat ‘ashabah bin nafs, kemudian merekapun dalam satu arah, maka penarjihannya dengan melihat derajat mereka, siapakah diantara mereka yang paling dekat pada pewaris. Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan anak dan cucu keturunan anak laki-laki. Dalam hal ini hak 6 . Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Op. Cit, hlm 101



5 | Makalah Ashabah



warisnya secara ‘ashabah diberikan kepada anak, sedangkan cucu tidak mendapatkan bagian apapun. Sebab, anak lebih dekat kepada pewaris dibandingkan cucu laki-laki.



Ketiga : penarjihan menurut kuatnya kekerabatan Bila dalam suatu kedaan pembagian waris terdapat banyak ‘ashabah bin nafsi yang sama dalam arah dan derajatnya, maka penarjihannya dengan melihat manakah diantara mereka yang paling kuat kekerabatannya dengan pewaris. Misal : saudara kandung lebih kuat dari pada seayah, paman kandung lebih kuat dari pada paman seayah, anak dari saudara kandung lebih kuat dari pada anak dari saudara seayah dan seterusnya. Dalam hal ini hanya digunakan untuk arah saudara dan arah paman. 2. ‘Ashabah bil ghair Yaitu ahli waris yang menerima bagian dari sisa karena bersama-sama dengan ahli waris yang telah menerima bagian sisa apabila ahli waris penerima sisa tidak ada maka ia tetap menerima bagian tertentu. Ahli waris penerima ‘ashabah bil ghair tersebut terdiri dari : a. b. c. d.



Anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki Cucu perempuan garis laki-laki bersama dengan cucu laki-laki garis laki-laki Saudara perempuan sekandung bersama saudara laki-laki sekandung Saudara perempuan se ayah bersama dengan saudara laki-laki se ayah.7



Adapun syarat-syarat ‘ashabah bil ghair : 1) Perempuan tersebut tergolong ahli waris ashabul furud (mempunyai bagian tetap). Orang perempuan yang tidak tergolong ashabul furud walaupun ia mewarisi bersama dengan muasib-nya, tidak menjadi ashabah bil ghair. Misalnya, anak perempuannya saudara laki-laki sekandung tidak dapat menjadi ashabah dengan saudara laki-laki sekandung. Hal ini, karena anak perempuannya saudara lakilaki sekandung tidak mempunyai bagian tetap. Demikian juga, saudara perempuan ayah sekandung tidak dapat menjadiashabah dengan saudara lakilaki ayah sekandung. Karena saudara perempuan ayah sekandung tidak memiliki bagian tetap. 7 . Suhrawardi K.Lubis, Op.Cit hlm 100



6 | Makalah Ashabah



2) Antara perempuan yang mempunyai bagian tetap (ashabul furud) dengan orang yang meng-ashabah-kan (muasibnya) memiliki tingkatan (dalam jihat) yang sama. Dengan demikian, anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki yang mewarisi bersama saudara kandung tidak menjadi ashabah bil ghair, karena kedudukan derajat mereka tidak sama. Anak perempuan dari anak laki-laki jihatnya adalah bunuwwah, sedangkan saudara sekandung jihatnya adalah ukhuwwah. 3) Orang yang meng-ashabah-kan (muasib) harus sama derajatnya dengan perempuan yang mempunyai bagian tetap (ashabul furud). Oleh karena itu, cucu perempuan dari anak laki-laki bila ia mewarisi bersama dengan anak laki-laki, tidak dapat menjadi ashabah bil ghair sebagaimana halnya saudari kandung bila bersama-sama anak laki-laki saudara kandung. Dalam contoh terakhir, saudara kandung mendapat bagian ½ , kemudian sisanya yaitu ½ di berikan kepada anak laki-laki saudara sekandung secaraashabah. 4) Adanya persamaan kekuatan kerabat antara perempuan ashabul furuddengan muasib-nya. Saudari kandung yang mempunyai (yang mempunyai dua jurusan kekerabatan) bila bersama-sama dengan saudara seayah (yang hanya mempunyai satu jurusan kekerabatan) tidak dapat menjadi ashabah bil ghair,kecuali cucu perempuan dari anak laki-laki yang dapat menjadi ashabah bil ghair dengan cucu laki-laki dari anak laki-laki yang lebih rendah derajatnya, bila ia di butuhkan oleh cucu perempuan tersebut untuk memperoleh warisan.8 Adapun beberapa contoh dari ashabul bil ghair yaitu: a. Seseorang wafat meninggalkan anak perempuan, ibu, dan paman, dalam hal ini anak perempuan memperoleh ½ dari harta warisan, ibu memperoleh 1/6 berdasarkan furudh dan paman mendapatkan sisanya ashabah b. Seseorang wafat meninggalkan 2 anak perempuan, istri, dan paman, dalam hal ini dua anak perempuan memperoleh 2/3 bagian berdasarkan ketentuanfurudh, istri mendapatkan 1/8 bagian berdasarkan ketentuan furudh, dan paman mendapatkan sisanya ashabah.



8 . Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, (Cet : III, Bandung, Pustaka Setia, 2006) hlm 89-90



7 | Makalah Ashabah



c. Seseorang wafat meninggalkan ayah, ibu, anak laki-laki, dan anak perempuan dalam hal ini, ayah memperoleh 1/6 bagian berdasarkan ketentuan furdh, ibu memperoleh 1/6 bagian berdasarkan ketentuan furudh,dan anak laki-laki dan anak perempuan mendapatkan sisanya sebagaiashabah dengan ketentuan bagian kali-laki adalah dua kali lipat bagian perempuan.9 3. Ashabah ma’al ghair Ashabah ma’al ghair adalah ahli waris yang menerima bagian ashabah karena bersama ahli waris lain yang bukan penerima bagian ashabah. Apabila ahli waris lain tadi tidak ada, maka menerima bagian tertentu. Ashabah ma’al ghair ini diterima ahli waris:  Saudara perempuan sekandung (seorang atau lebih) karena bersama dengan anak perempuan (seorang atau lebih), atau bersama dengan cucu perempuan garis laki-laki (seorang atau lebih). Misalnya, seorang meninggal ahli warisnya terdiri dari seorang anak perempuan, saudara perempuan dan ibu. Maka bagian:  Anak perempuan ½  Saudara perempuan sekandung ashabah  Ibu 1/6  Saudara perempuan seayah (seorang atau lebih) bersama dengan anak atau cucu perempuan (seorang atau lebih). Misalnya seorang meniggal, ahli warisnya terdiri dari seorang anak perempuan, seorang cucu perempuan garis laki-laki dan dua orang saudara perempuan seayah. Maka bagian masing-masing adalah:  Anak perempuan ½  Cucu perempuan garis laki-laki 1/6  2 saudara perempuan seayah ashabah Yang menjadi ashabah ma’al ghair ini adalah saudara perempuan seibu sebapak karena mewaris bersama dengan anak perempuan, cucu perempuan, cicit perempuan, dan seterusnya. Apabila saudara perempuan seayah seibu menjadi ashabah bersama lainnya, maka ia menjadi seperti saudara lelaki seayah maupun seibu. Maka ia menutupi saudara-saudara seayah, baik laki-laki maupun perempuan dan menutup ashabah yang derajatnya di bawah mereka seperti anak-anak lelaki dari saudara-saudara lelaki dan paman-paman seayah seibu atau seayah.



9 . M. Thaha Abul Ela Khalifah, Hukum Waris, (Cet.1 Solo, Tiga Serangkai, 2007) hlm.409



8 | Makalah Ashabah



Begitu pula saudara perempuan seayah bilamana menjadi ashabah bersama anak perempuan. Ia menjadi sama kekuatannya dengan saudara lelaki seayah dan menutup anak-anak lelaki dari saudara lelaki dan yang sesudah mereka.10 Contoh kasus 1: Seseorang wafat meninggalkan seorang anak perempuan, cucu perempuan dan saudara kandung perempuan, dalam hal ini seorang anak perempuan memperoleh ½ dari harta warisan, cucu perempuan memperoleh 1/6 dari harta warisan untuk melengkapi 2/3, dan saudara kandung perempuan memperoleh sisa sebagai ashabah. Contoh kasus 2: Seorang wanita wafat meninggalkan suami, ibu, dua anak perempuan, dan saudara perempuan seayah, dalam hal ini suami memperoleh ¼ dari harta warisan, ibu memperoleh 1/6 dari harta warisan, dua anak perempuan memperoleh 2/3 bagian. Dari contoh diatas dapat diketahui bahwa ashabah ma’al ghair memiliki dua kondisi dalam warisan: a. mewarisi apa yang tersisa setelah ashabul furud sebagaimana dalam contoh pertama. b. Tidak mewarisi apapun. Hal itu terjadi jika seluruh harta warisan telah habis dibagikan kepada asbabul furud. Perbedaan Ashabah Bil Ghair dan Ashabah Ma’al Ghair Ashabah bin nafsi adalah setiap perempuan yang mempunyai bagian tetap (ashabul furud) kemudian mendapatkan ashabah dengan saudaranya. Misalnya, anak perempuan dengan anak laki-laki, saudara perempuan sekandung dengan saudara lakilaki sekandung, dan seterusnya. ketentuan hukum warisannya adalah seorang laki-laki mendapatkan bagian dua kali lipat bagian perempuan. Adapun ashabah ma’al ghair adalah ashabah yang diperoleh saudara perempuan dengan beberapa anak perempuan. Ketentuan hukum warisnya adalah saudara-saudara perempuan mendapatkan sisa harta warisan setelah dibagikan kepada ahli warisyang mempunyai bagian tetap (ashabul furud). Dari ketentuan ini dapat, dapat di ketahui letak perbedaannya,



yaitu



dalamashabah



bil



ghair, selalu



10 . Muhammad Ali Ash-Shabuni, Op.Cit., hlm 62-65



9 | Makalah Ashabah



ada



orang-orang



yang



memperoleh ashabah dengan dirinya sendiri, yaitu anak laki-laki, anak laki-lakinya anak laki-laki, saudara laki-laki sekandung, dan saudara laki-laki seayah. Adapun dalam ashabah



ma’al



ghairtidak



ada



orang



lain



(ahli



waris)



yang



mendapat ashabah dengan dirinya sendiri. Dalam Syarah Syirajiyah dijelaskan bahwa perbedaan tersebut dapat di lihat dari dua segi, yaitu : a)



b)



Dari segi mu’asib-nya Muashib ashabah bil ghair adalah para ashabah bin nafsi, seperti anak laki-lak, cucu laki-lakidari anak laki-laki, dan saudara sekandung atau seayah. Dari segi penerimaan pusaka Pada ashabah bil ghair baik orang yang di ashabahkan maupun muasibnya, bersama-sama menerima bagian ashabah dari ashabul furud, atau seluruh harta peninggalan bila seluruh ahli waris hanya ashabah saja, dengan ketentuan, laki-laki mendapat bagian dua kali lipat bagian perempuan. Adapun pada ashabah ma’al ghair, muasibnya tidak turut menerima usubah. Ia



hanya di minta untuk meng-ashabahkan saja. Selesai tugasnya, ia menduduki fungsinya sebagai ashabul furud.11



II.



Ashabah sababiyah Ashabah sababiyah adalah ashabah yang terjadi karena telah memerdekakan



budak. Nabi SAW bersabda : “Hak ketuanan itu milik orang memerdekakannya”. Orang laki-laki atau perempuan yang memerdekakan budak tidak boleh menjadi ahli waris, kecuali apabila yang bekas budak itu tidak meninggalkan orang yang termasuk ashabah nasabiyah. Dari Abdullah bin Syaddah dari putrid Hamzah, ia berkata : “Bekas budakku telah meninggal dunia dan ia meninggalkan seorang putri, maka Rasulullah SAW



11 . Dian Khairul Umam, Op.Cit.,hlm 94-95



10 | M a k a l a h A s h a b a h



membagi harta peninggalannya kepada kami dan kepada putrinya, yaitu beliau menetapkan separuh untukku dan separuh lagi untuk dia”.



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Kata ashabah merupakan jamak dari ‫ ﻋﺎﺼﺐ‬yang berarti kerabat seseorang dari pihak bapaknya dalam memberikan defenisi ashabah atau ta’shib pada hakikatnya, para ulama faraid mempunyai kesamaan persepsi dan asal-usul antara lain sebagai mana yang 11 | M a k a l a h A s h a b a h



dikemukakn Rifa’I Arif. Dalam pengertian lain ashabah adalah bagian sisa setelah diberikan kepada ahli waris ashbul al-furud. Sebagai ahli waris penerima bagian sisa, ahli waris ashabah terkadang menerima bagian banyak (seluruh harta warisan) terkadang menerima bagian sedikit, tetapi terkadang tidak menerima bagian sama sekali, karena telah habis diberikan kepada ahli waris ashabul al-furud. Macam-macam Ashabah 1. Ashabah bi nafsi Yaitu ahli waris yang karena kedudukan dirinya sendiri berhak menerima bagian ashabah, ahli waris kelompok ini semuanya laki-laki, kecuali mu’tiqah (orang perempuan yang memerdekakan hamba sahaya) 2. Ashabah bi al-ghair Yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa karena bersama-sama dengan ahli waris yang telah menerima bagian sisa apabila ahli waris penerima sisa tidak ada maka ia tetap menerima bagian tertentu. 3. Ashabah ma’al-ghair yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa karena bersama-sama dengan ahli waris lain yang tidak meneriman bagian sisa.



DAFTAR PUSTAKA Ash Shabuni, Ali. 2010. Ilmu HUKUM WARIS menurut ajaran islam. Surabaya : Mutiara Ilmu Rofiq, Ahmad. 1993. FIQIH MAWARIS. Jakarta : Raja Grafindo Persada Utsaimin, Shahil. 2009. Panduan Praktis HUKUM WARIS. Bogor : Pustaka Ibnu Katsir



12 | M a k a l a h A s h a b a h



Umam, Dian Khairun. 2006. FIQIH MAWARIS. Bandung : Pustaka Setia Lubis.K, Suhrawardi. 2007. HUKUM WARIS ISLAM. Jakarta : Raja Grafindo Persada Khalifah, Thaha Abul Ela. 2007. HUKUM WARIS. Solo : Tiga Serangkai Sayid Sabiq,. Fiqh Sunnah, terjemahan Mahyudin Syaf, jil.14, Penerbit Al-Maarif, Bandung,1993 Faturrahman., Ilmu mawaris PT-Al-Ma’arif , bandung, 1987



13 | M a k a l a h A s h a b a h