Formulasi Kebijakan Publik [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Formulasi Kebijakan Publik FORMULASI KEBIJAKAN DALAM ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK Makalah Disusun Guna Memenuhi Tugas UTS Mata Kuliah Manajemen Pemasaran, Humas, dan Analisis Kebijakan Dosen Pengampu : Dr. Fatkuroji, M. Pd.



Disusun oleh : Ummu Hanifah 1500128013



MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2016 FORMULASI KEBIJAKAN DALAM ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK I.          PENDAHULUAN Formulasi kebijakan sebagai bagian dari proses kebijakan publik merupakan tahapan yang paling penting. Formulasi kebijakan bisa dikatakan sebagai inti dari proses kebijakan. Karena formulasi kebijakan berperan untuk menjawab public affairs yang ada di masyarakat melalui pengambilan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah.



Di Indonesia, pergeseran dalam konteks formulasi kebijakan publik juga terjadi dari satu era ke era lainnya. Di era orde lama, partisipasi masyarakat terhadap kebijakan publik belum optimal, sebab cenderung teknokratis dan berkarakter public administration as rulers dimana para pengambil keputusan kerap tidak melibatkan pihak-pihak yang akan menjadi korban. Tak hanya itu, formulasi kebijakan publik saat itu juga kerap cenderung one man show, dari seorang pemimpin karismatik; Soekarno. Kebijakan penyelenggaraan Ganefo, non-blok, pendirian TVRI, pemberdelan surat kabar serta pembubaran partai politik pernah terjadi di era ini dan menunjukan bahwa era orde lama belum melakukan pelibatan masyarakat secara efektif dan berkelanjutan. Kondisi yang tidak jauh berbeda terulang kembali di era orde baru, dimana praktik formulasi kebijakan sangat sentralistik, berkarakter citizens as voters public administration as trustees dengan minimnya pelibatan dari elemen-elemen masyarakat yang kerap menjadi objek dari sebuah kebijakan kala itu, selain itu, pola formulasi kebijakan juga kerap bias dengan kepentingan-kepentingan segelintir kelompok di dalam “lingkaran cendana”, sehingga kebijakan publik tidak lagi merepresentasikan kehendak masyarakat luas dan dampak lebih jauhnya adalah terciptanya sistem otoritarian, dimana seorang pemimpin tidak lagi memiliki batasan tegas dan jelas antara self interest, kepentingan keluarga, kelompok terdekat dan masyarakatnya.[1] Proses formulasi kebijakan publik harus mengikutsertakan masyarakat, terutama kelompok yang mendapatakan keuntungan langsung dari sebuah kebijakan, maupun yang akan mendapatkan dampaknya. Proses formulasi yang ideal diharapkan akan mampu melahirkan kebijakan publik yang tepat dan relevan dengan permasalahan yang sedang terjadi. Untuk membahas lebih jauh mengenai formulasi kebijakan maka dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai beberapa pengertian dan proses dalam formulasi kebijakan serta jenis dan tingkatan kebijakan publik. II.          RUMUSAN MASALAH A.  Apa pengertian formulasi kebijakan? B.  Apa saja jenis dan tingkat kebijakan publik? C.  Bagaimana langkah-langkah dalam formulasi kebijakan publik? III.          PEMBAHASAN A.    Pengertian Formulasi Kebijakan Perumusan (Formulasi) kebijakan publik merupakan salah satu tahap dari rangkaian proses pembuatan dan pelaksanaan suatu kebijakan publik. Setelah tahapan agenda setting dilalui atau suatu isu telah masuk agenda pemerintah, maka tahapan berikutnya adalah membuat formulasi kebijakan. Para ahli mengemukakan pandangan tentang definisi fomulasi kebijakan publik sebagai berikut: Menurut Anderson yang dikutip oleh Nugroho, policy formulation is, “The development of patinent and acceptable proposal courses of action for dealing with problem”. Formulasi kebijakan menyangkut upaya menjawab pertanyaan bagaimana berbagai alternatif disepakati untuk masalah yang dikembangkan dan siapa yang berpartisipasi.[2] Menurut Dunn, perumusan kebijakan (policy formulation) adalah, “pengembangan dan sintesis terhadap alternatif-alternatif pemecahan masalah”. [3]



Menurut Eugene, The complete formulation is “Alternative  will very probably lead to Outcome, which we judge to be the best of the possible outcomes; therefore, we judge a alternative to be the best.”[4] Formulasi yang lengkap adalah menentukan alternatif yang mungkin untuk dibuat kebijakan, dimana kita menilai (mencari) yang terbaik dari kemungkinan yang ada; oleh sebab itu, kita mencari satu alternatif yang terbaik. Tahapan formulasi kebijakan merupakan mekanisme yang sesungguhnya untuk memecahkan masalah publik yang telah masuk dalam agenda pemerintah. Tahapan ini lebih bersifat teknis dibandingkan tahapan agenda setting yang lebih bersifat politis dengan menerapkan berbagai teknis analisis untuk membuat keputusan terbaik.[5] Pada tahap formulasi kebijakan para pejabat merumuskan alternatif kebijakan untuk mengatasi masalah. Alternatif kebijakan melihat perlunya membuat perintah eksekutif, keputusan peradilan, dan tindakan legislatif. [6] Menurut Dunn, dalam formulasi kebijakan dilakukan proses peramalan, yaitu menguji masa depan yang pleusibel, potensial, dan secara normatif bernilai, mengestimasi akibat kebijakan yang diusulkan, mengenali kendala yang mungkin terjadi dalam pencapaian tujuan, dan mengestimasi kelayakan politik (dukungan dan oposisi) dari berbagai pilihan.[7] Proses ini terkait dengan proses pemilihan alternatif kebijakan oleh pembuat kebijakan yang biasanya mempertimbangkan besaran pengaruh langsung yang dapat dihasilkan dari pilihan alternatif utama tersebut. Proses ini biasanya akan mengekspresikan dan mengalokasikan kekuatan dan tarik menarik diantara berbagai kepentingan sosial, politik dan ekonomi.[8] Dalam formulasi kebijakan pendidikan, pendekatan teori kelompok mengumapamakan bahwa kebijakan pendidikan merupakan titik keseimbangan (equilibrium). Inti gagasannya adalah bahwa interaksi dalam kelompok akan menghasilkan keseimbangan, dan keseimbangan adalah sesuatu yang terbaik. Berdasarkan teori kelompok, individu dalam kelompok kepentingan berinteraksi baik secara formal maupun informal, dan secara langsung atau melalui media massa menyampaikan tuntutannya kepada pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yang diperlukan. [9] Sedangkan pendekatan teori rasional mengedepankan gagasan bahwa kebijakan pendidikan sebagai “maximum social gain” yang berarti pemerintah sebagai pembuat kebijakan pendidikan harus memilih kebijakan pendidikan yang memberikan manfaat optimal bagi masyarakat. Proses formulasi kebijakan harus memilih kebijakan yang memberikan manfaat optimal bagi masyarakat dan haruslah didasarkan pada keputusan yang sudah diperhitungkan rasionalitasnya. Rasionalitas yang diambil adalah perbandingan antara pengorbanan dan hasil yang dicapai. Jadi pendekatan rasional lebih menekankan pada aspek efisiensi atau aspek ekonomis.[10] Secara fondamental tahapan formulasi terjadi tatkala pemerintah mengakui keberadaan masalah-masalah publik dan menyadari adanya kebutuhan dan tuntutan untuk melakukan sesuatu dalam rangka mengatasi masalah tersebut. Karenanya dalam perumusan kebijaksanaan publik, persoalan mendasar adalah merumuskan masalah kebijakan (policy problems) dan merancang langkah-langkah pemecahannya (solution).[11] Aktor-aktor yang terlibat dalam proses formulasi kebijakan menurut Peters (1985) antara lain sebagai berikut:[12] 1.    Birokrasi publik merupakan aktor yang menonjol peranannya dalam setiap proses formulasi kebijakan, bureaucracies are central to the process of policy formulation, karena birokrasi mempunyai pengalaman yang paling banyak dalam prosedur formulasi kebijakan.



2.    Tangki-tangki pemikir dan kabinet bayangan yang berada di sekitar birokrasi merupakan alternatif lain sebagai formulator kebijakan publik diluar birokrasi pemerintah, karena bisa disebabkan oleh kepakarannya. 3.    Kelompok kepentingan (interest groups) dengan memberikan tekanan kepada pemerintah agar suatu masalah dapat masuk dalam agenda pemerintah dan berlanjut pada proses formulasi kebijakan. 4.    Anggota dewan secara individual juga merupakan salah satu aktor yang cukup berperan dalam proses formulasi kebijakan, kadangkala bertujuan menunjang karir politik mereka sebagai perumus kebijakan. Berdasarkan pengertian pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa formulasi kebijakan merupakan cara untuk memecahkan suatu masalah yang di bentuk oleh para aktor pembuat kebijakan dalam menyelesaikan masalah yang ada dan dari sekian banyak alternatif pemecahan yang ada maka dipilih alternatif kebijakan yang terbaik.



B.     Jenis dan Tingkat Kebijakan Publik 1.    Jenis-jenis Kebijakan Publik Pada dasarnya kebijakan dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, sesuai sasaran atau objek apa yang mendasari lahirnya sebuah kebijakan tersebut. Para pakar politik mengategorikan kebijakan publik ke dalam kategori: (1) Kebijakan substansif (misalnya: kebijakan pendidikan, perburuhan, kesejahteraan sosial, dan sebagainya), (2) Kelembagaan (misalnya: kebijakan legislatif, kebijakan yudikatif, kebijakan departemen), dan (3) Kebijakan menurut kurun waktu tertentu (misalnya: kebijakan masa Reformasi, kebijakan masa Orde Lama, dan kebijakan masa Orde Baru).[13]  Kategori lain tentag kebijakan, Anderson (1979) membagi kebijakan publik ke dalam 12 jenis:



a.    Substansive Policies,  yaitu suatu kebijakan yang menyangkut materi, isi, atau subject matter kebijakan. Misalnya: kebijakan pendidikan, kebijakan ekonomi, kebijakan hukum, dan lainlain. b.    Procedural Policies, yaitu kebijakan yang menyangkut siapa, kelompok mana, dan pihak mana yang terlibat dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan. Misalnya: dalam merancang, membuat dan melaksanakan UU Sisdiknas pihak mana saja yang terlibat. c.    Distributive Policies, yaitu kebijakan yang memberikan atau keuntungan kepada sejumlah atau sekelompok masyarakat. Misalnya dalam bidang pendidikan kebijakan distributifnya berupa pemberian beasiswa kepada siswa yang berprestasi, dan lain-lain. d.   Redistributive Policies, yaitu kebijakan yang arahnya memindahkan hak, kepemilikan, kepunyaan pada masyarakat. Misalnya: penggolongan uang komite berdasarkan kekayaan orang tua. e.    Regulatory Policies, yaitu kebijakan yang berkenaan dengan pembatasan atas tindakan terhadap seseorang atau sekelompok orang. Misalnya: pembatasan penjualan obat-obat tertentu. f.     Self Regulatory Policies, kebijakan ini hampir sama dengan  regulatory policies hanya saja lazimnya didukung oleh orang yang punya kepentingan dengan pelaksanaan kebijakan tersebut. Misalnya: surat ijin kerja, SIM, dan lain-lain. g.    Material Policies, yaitu kebijakan mengenai penyediaan sumber-sumber material kepada penerimanya, dengan mengenakan beban atau kerugian kepada yang mengalokasikannya. Misalnya: pembebasan biaya komite sekolah kepada sejumlah siswa, namun bebannya diambilkan dari kenaikan biaya komite seluruh siswa. h.    Symbolic Policies, yaitu kebijakan yang tidak memaksa kepada banyak orang karena dilaksanak atau tidaknya tidak berdampak besar pada masyarakat. i.      Collectve Good Policies, yaitu kebijakan tentang penyediaan barang dan pelayanan guna memenuhi kepentingan orang banyak. Misalnya: kebijakan wajib belajar 9 tahun. j.      Private Good Policies, yaitu penyediaan kebutuhan tertentu kepada masyarakat yang membutuhkan, tetapi masyarakat tersebut harus menyediakan biaya untuk mendapatkan layanan. Misalnya: jika ingin layanan pendidikan yang bermutu tinggi harus punya dananya. k.    Liberal Policies, yaitu suatu kebijakan yang menuntut kepada pemerintah untuk megadakan perubahan-perubahan untuk pemerataan hidup masyarakat. l.      Conservative Policies, yaitu kebalikan dari kebijakan liberal, kebijakan ini mempertahankan apa yang telah ada, tanpa rekayasa.[14] 2.    Tingkatan kebijakan Publik Dilihat dari perspektif pengambilan kebijakan, secara konsepsional kebijakan memiliki tingkatan yang dapat dibagi menjadi empat tingkat kebijakan, yaitu: a.    Tingkat kebijakan nasional (national policy level); sebagai penentu kebijakan pada level ini adalah MPR/DPR/DPD, berlaku secara nasional, disebut juga kebijakan administratif. Contoh: UUD 1945 b.    Tingkat kebijakan umum (general policy level); disebut juga kebijakan eksekutif. Yang termasuk dalam kebijakan ini adalah: UU, PP, dan Keputusan, Peraturan, dan Instruksi Presiden. c.    Tingkat kebijakan khusus (special policy level); sebagai penentu tingkat kebijakan ini adalah para Menteri sebagai pembantu presiden. Contoh: Permendikbud, Permendiknas, dan lain-lain. d.   Tingkat kebijakan teknis (technical policy level); disebut juga kebijakan operatif karena merupakan pedoman pelaksanaan. Penentu kebijakan ini berada pada pejabat Eselon 2 ke bawah,



seperti Direktorat Jenderal atau pimpinan lembaga non-departemen. Berdasarkan kebijakan level inilah para guberbur, bupati, kepala dinas dan sebagainya melaksanakan kebijakan sesuai faktor kondisional dan situasional daerahnya. [15] Kebijakan pendidikan merupakan produk sistem dan poitik pendidikan, oleh karenanya stratifikasi kebijakan pendidikan pada dasarnya sangat luas dan beragam, dari yang bersifat makro seperti UUD 1945, Kepres atau Perpres, Permendikbud, hingga yang bersifat mikro seperti Peraturan Desa, peraturan sekolah, dan lain-lain. secara ringkas, stratifikasi atau tingkatan kebijakan pendidikan maliputi: a.    Kebijakan pendidikan di tingkat pusat, yaitu kebijakan pendidikan yang diterapkan lembaga pemerintah di tingkat pusat, mempunyai ruang lingkup nasional dan berlaku di semua wilayah NKRI. Contoh: SNMPTN dan Ujian Nasional (UN). b.    Kebijakan pendidikan di tingkat daerah, yaitu kebijakan pendidikan yang diterapkan di lembaga pemerintah di tingkat daerah, mempunyai ruang lingkup daerah, dan berlaku pada daerah yang mengeluarkan kebijakan tersebut. Wujud kebijakan pendidikan di daerah ada dua macam yaitu: (1) Perda (Peraturan Daerah) tentang pendidikan yang perumusannya berada di tangan eksekutif (Bupati/Walikota) dan legislatif (DPRD), (2) Keputusan/ Peraturan Bupati/ Walikota tentang pedidikan. Contoh: PSB mulai dari SD/MI sampai SMA/MA/SMK/, keputusan bupati/ walikota tentang hal-hal yang berkenaan dengan pendidikan di daerahnya, dan lain-lain.[16]  C.    Langkah-langkah dalam Formulasi Kebijakan Publik Salah satu tugas dari pemerintah adalah merumuskan kebijakan publik. Proses perumusan kebijakan juga sering disebut dengan sebutan lingkaran kebijakan (policy cycle ) menurut Bridgman dan Davis, dalam Edi Suharto. Proses ini melibatkan berbagai lapisan dari pejabat pemerintah dan lembaga non pemerintah.[17] Berkaitan dengan proses perumusan kebijakan, Abidin mengungkapkan bahwa proses perumusan kebijakan publik dapat didekati melalui model yang dinamakan dengan Kerangka Proses dan Lingkungan Kebijaksanaan (KPLK). Kerangka proses tersebut menggambarkan proses kebijakan dalam tiga dimensi, antara lain dimensi luar, dimensi dalam dan tujuan. Diantara dimensi luar dan dimensi dalam terdapat jaringan keterkaitan (linkages).[18] Proses formulasi kebijakan publik dalam Peraturan Menteri Negara PAN No. PER/04/M.PAN/4/2007 yang dikutip oleh Zakaria dalam jurnal ilmu administrasinya adalah sebagai berikut : [19] Untuk lebih memahami mengenai proses perumusan kebijakan, Nugroho mengemukakan Model Proses Ideal Perumusan Kebijakan yang diambil dari Pedoman Umum Kebijakan Publik yang dikembangkan untuk Kantor Menpan yang secara umum dapat digambarkan sebagai berikut :[20] 1.    Munculnya isu kebijakan. Isu kebijakan dapat berupa masalah dan atau kebutuhan masyarakat dan atau negara, yang bersifat mendasar, mempunyai lingkup cakupan yang besar, dan memerlukan pengaturan pemerintah. 2.    Setelah pemerintah menangkap isu tersebut, perlu dibentuk tim perumus kebijakan. Tim kemudian secara paralel merumuskan naskah akademik dan atau langsung merumuskan draf nol kebijakan. 3.    Setelah terbentuk, rumusan draf nol kebijakan didiskusikan bersama forum publik, dalam jenjang sebagai berikut :



a.    Forum publik yang pertama, yaitu para pakar kebijakan dan pakar yang berkenaaan dengan masalah terkait. b.    Forum publik kedua, yaitu dengan instansi pemerintah yang merumuskan kebijakan tersebut. c.    Forum publik yang ketiga dengan para pihak yang terkait atau yang terkena impact langsung kebijakan, disebut juga benificiaries. d.    Forum publik yang keempat adalah dengan seluruh pihak terkait secara luas, menghadirkan tokoh masyarakat, termasuk didalamnnya lembaga swadaya masyarakat yang mengurusi isu terkait. Hasil diskusi publik kemudian dijadikan materi penyusunan pasal-pasal kebijakan yang akan dikerjakan oleh tim perumus. Draf ini disebut Draf 1. Draf 1 didiskusikan dan diverifikasi dalam focused group discussion yang melibatkan dinas/instansi terkait, pakar kebijakan, dan pakar dari permasalahan yang akan diatur. Tim perumus merumuskan Draf 2, yang merupakan Draf Final dari kebijakan. Draf final kemudian disahkan oleh pejabat berwenang, untuk kebijakan UU, dibawa ke proses legislasi yang secara perundang-undangan telah diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011. Apabila dirunut, teori Rasionalitas merupakan teori ideal dalam formulasi kebijakan, dalam arti mencapai tingkat efisiensi dan efektivitas kebijakan.[21] Cara-cara formulasi kebijakan menurut Teori ini antara lain: [22] 1.    Mengetahui preferensi publik dan kecenderungannya 2.    Menemukan pilihan-pilihan 3.    Menilai konsekuensi masing-masing pilihan 4.    Menilai rasio nilai sosial yang dikorbankan 5.    Memilih alternatif yang paling efisien. Anderson, dalam Winarno  mengemukakan bahwa nilai-nilai (ukuran) yang mempengaruhi tindakan para pembuat keputusan dalam proses formulasi kebijakan dapat dibagi dalam beberapa kategori, yakni :[23] 1.    Nilai-nilai politik, dimana keputusan dibuat atas dasar kepentingan politik dari partai politik atau kelompok kepentingan tertentu. 2.    Nilai-nilai organisasi, dalam hal ini keputusan-keputusan dibuat atas dasar nilai-nilai yang dianut organisasi, seperti balas jasa (rewards) dan sanksi (sanction) yang dapat mempengaruhi anggota organisasi untuk menerima dan melaksanakannya.  3.    Nilai-nilai pribadi, dimana seringkali keputusan dibuat atas dasar nilai-nilai pribadi yang dianut oleh pribadi pembuat keputusan untuk mempertahankan status quo, reputasi, kekayaan dan sebagainya. 4.    Nilai-nilai kebijakan, dalam hal ini keputusan dibuat atas dasar persepsi pembuat kebijakan tentang kepentingan publik atau pembuatan kebijakan yang secara moral dan dapat dipertanggungjawabkan. 5.    Nilai-nilai ideologi, dimana nilai ideologi seperti misalnya nasionalisme dapat menjadi landasan pembuatan kebijakan, baik kebijakan dalam negeri maupun luar negeri. Sedangkan menurut Nigro, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses formulasi kebijakan adalah : 1.    Adanya pengaruh tekanan-tekanan dari luar. Formulasi kebijakan itu tidak dapat dipisahkan dari dunia nyata, sehingga adanya tekanan dari luar ikut berpengaruh terhadap proses formulasi kebijakan.  



2.    Adanya pengaruh kebiasaan lama. Kebiasaan lama organisasi seperti kebiasaan investasi modal, sumber-sumber dan waktu terhadap kegiatan program tertentu cenderung akan diikuti, meskipun keputusan tersebut telah dikritik sebagai sesuatu yang salah sehingga perlu dirubah.   3.    Adanya pengaruh sifat-sifat pribadi. Berbagai macam keputusan yang dibuat oleh pembuat keputusan banyak dipengaruhi oleh sifat-sifat pribadinya, seperti dalam proses pengangkatan pegawai baru. 4.    Adanya pengaruh dari kelompok luar. Lingkungan sosial dari para pembuat keputusan juga sangat berpengaruh, bahkan sering pula pembuatan keputusan dilakukan dengan mempertimbangkan pengalaman dari orang lain yang sebelumnya berada diluar proses formulasi kebijakan. 5.    Adanya pengaruh keadaan masa lalu. Pengalaman latihan dan pengalaman pekerjaan yang terdahulu berpengaruh pada pembuatan keputusan  atau bahkan orang-orang yang bekerja di kantor pusat sering membuat keputusan yang tidak sesuai dengan keadaan dilapangan, hal ini disebabkan karena adanya kekhawatiran bahwa delegasi wewenang dan tanggung jawab kepada orang lain akan disalahgunakan.[24] Meskipun birokrasi seringkali merasa sebagai pekerjaan yang bersifat rutin, namun proses formulasi kebijakan juga menuntut kreativitas dan kepekaan politik (political sensitivity) untuk menghasilkan formulasi kebijakan yang berkualitas. Problem yang dimiliki pemerintah dalam setiap pemecahan masalah adalah kurangnya informasi yang dimiliki oleh pemerintah tentang masalah; dan kurangnya informasi yang dimiliki pemerintah tentang hubungan sebab akibat timbulnya masalah. Alat bantu untuk membantu menganalisis masalah dan mencari pemecahan masalah dalam proses formulasi adalah: 1.    Social cost benefit analysis, digunakan untuk menekan biaya yang harus dikeluarkan pemerintah dan memaksimalkan manfaat yang dapat diperoleh. Dalam analisis ini juga menggunakan perhitungan social cost dan efek perluasan manfaat (externalities). 2.    Decision analysis, dengan asumsi bahwa suatu akibat tertentu akan terjadi bila decision maker  mengambil keputusan yang tertentu pula, seperti dalam pohon pembuatan keputusan.[25] Untuk menghasilkan formulasi kebijakan pendidikan yang baik, kriteria yang perlu diperhatikan, yaitu: (1) Formulasi kebijakan pendidikan tidak mendiktekan keputusan spesifik atau hanya menciptakan lingkungan tertentu, (2) Formulasi kebijakan dapat dipergunakan menghadapi masalah atau situasi yang timbul secara berulang. Hal ini berarti bahwa waktu, biaya, dan tenaga yang telah banyak dihabiskan, tidak sekedar dipergunakan memecahkan satu macam masalah. [26]



IV.          KESIMPULAN Formulasi kebijakan merupakan cara untuk memecahkan suatu masalah yang di bentuk oleh para aktor pembuat kebijakan dalam menyelesaikan masalah yang ada dan dari sekian banyak alternatif pemecahan yang ada maka dipilih alternatif kebijakan yang terbaik. Kebijakan dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, sesuai sasaran atau objek apa yang mendasari lahirnya sebuah kebijakan tersebut. Anderson membagi kebijakan publik dalam 12 jenis: Substansive Policies, Procedural Policies, Distributive Policies, Redistributive Policies, Regulatory Policies, Self Regulatory Policies, Material Policies, Symbolic Policies, Collectve Good Policies, Private Good Policies, Liberal Policies, Conservative Policies. Dilihat dari



perspektif pengambilan kebijakan, kebijakan memiliki tingkatan yang dapat dibagi menjadi empat tingkat kebijakan, yaitu: tingkat kebijakan nasional, tingkat kebijakan umum, tingkat kebijakan khusus, dan tingkat kebijakan teknis. Nugroho mengemukakan Model Proses Ideal Perumusan Kebijakan yang diambil dari Pedoman Umum Kebijakan Publik sebagai berikut: (1) Munculnya isu kebijakan, (2) Setelah pemerintah menangkap isu tersebut, perlu dibentuk tim perumus kebijakan. (3) Setelah terbentuk, rumusan draf nol kebijakan didiskusikan bersama forum publik. Banyak faktor yang berpengaruh dalam proses formulasi kebijakan, namun u ntuk menghasilkan formulasi kebijakan pendidikan yang baik, kriteria yang perlu diperhatikan, yaitu: (1) Formulasi kebijakan pendidikan tidak mendiktekan keputusan spesifik atau hanya menciptakan lingkungan tertentu, (2) Formulasi kebijakan dapat dipergunakan menghadapi masalah atau situasi yang timbul secara berulang.   V.          PENUTUP Demikianlah makalah yang penulis susun. Apabila terdapat kekurangan dan kesalahan dalam penyusunan maupun penjelasan pada makalah ini penulis mohon maaf  serta mengharapkan saran dan kritik yang konstruktif, dan semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amin. DAFTAR PUSTAKA Abidin, Kebijakan Publik, Jakarta:Yayasan Pancur Siwah, 2000 Bardach, Eugene, A practical guide for policy analysis : the eightfold path to more effective problem solving , Los Angeles: Sage, 2012



Basyarahil, Abubakar, “Kebijakan Publik dalam Perspektif Teori Siklus Kebijakan”, Jurnal Ilmiah Administrasi Negara , Tahun II, Nomor 2, 2011 Budi, Winarno, Kebijakan Publik: Teori dan Proses, Yogyakarta: Media Pressindo, 2007 Dunn, William N., Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Terj. Samodra dkk, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2003 Edi, Suharto, Kebijakan Sosial sebagai Kebijakan Publik, Bandung: Alfabeta, 2008 Hasbullah, H. M., Kebijakan Pendidikan,  Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2015 Nawawi, Ismail, Public Policy (Analisis, Strategi Advokasi Teori dan Praktek), Surabaya,: PMN, 2009 Nugroho, Riant, Public Policy, Jakarta: Elex Media Komputindo, 2011 Sutapa, Mada, “Analisis Kebijakan Pendidikan”, Buku Pegangan Kuliah, Yogyakarta: Jurusan Administrasi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta, 2005 Syamsuri, Formulasi Kebijakan,  Juni 2012  dalam http://kebijakanpublik12.blogspot.co.id/2012/06/formulasi-kebijakan.html, diakses tanggal 2 Juni 2016 Tilaar, H.A.R. & Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009 Zakaria, Yahya dan Paulus Israwan Setyoko, “Pelibatan Masyarakat Sebagai Etika Dalam Formulasi Kebijakan Publik Guna Mencegah Praktik Korupsi”,  Jurnal Ilmu Administrasi Unsoed,  Magister Ilmu Administrasi Universitas Jenderal Soedirman, 2012



[1] Yahya Zakaria dan Paulus Israwan Setyoko, “Pelibatan Masyarakat Sebagai Etika Dalam Formulasi Kebijakan Publik Guna Mencegah Praktik Korupsi”,  Jurnal Ilmu Administrasi Unsoed, (Magister Ilmu Administrasi Universitas Jenderal Soedirman, 2012), hlm. 11 [2] H.A.R. Tilaar & Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 186 [3] William N. Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Terj. Samodra dkk, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2003), hlm. 132 [4] Eugene Bardach, A practical guide for policy analysis : the eightfold path to more effective problem solving, (Los Angeles: Sage, 2012), hlm. 32 [5] Mada Sutapa, “Analisis Kebijakan Pendidikan (Suatu Pengantar)”, Buku Pegangan Kuliah, (Yogyakarta: Jurusan Administrasi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta, 2005), hlm. 19 [6] H. M. Hasbullah. Kebijakan Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2015), hlm. 64 [7] William N. Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan Publik..., hlm. 26-27 [8] Ismail Nawawi, Public PMN, 2009), hlm. 79



Policy



(Analisis,



Strategi



Advokasi



Teori



dan



Praktek, (Surabaya,:



[9] H. M. Hasbullah, Kebijakan Pendidikan..., hlm. 89 [10] H.A.R. Tilaar & Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan..., hlm. 195  [11] Abubakar Basyarahil , “Kebijakan Publik dalam Perspektif Teori Siklus Kebijakan”, Jurnal Ilmiah Administrasi Negara , (Tahun II, Nomor 2, 2011), hlm. 7 [12] Mada Sutapa, “Analisis Kebijakan Pendidikan (Suatu Pengantar)”..., hlm. 19 [13] H. M. Hasbullah, Kebijakan Pendidikan..., hlm. 52 [14] H. M. Hasbullah, Kebijakan Pendidikan..., hlm. 52-55 [15] H. M. Hasbullah, Kebijakan Pendidikan..., hlm. 48-50 [16] H. M. Hasbullah, Kebijakan Pendidikan..., hlm. 47-48 [17] Suharto Edi, Kebijakan Sosial sebagai Kebijakan Publik, (Bandung: Alfabeta, 2008), hlm. 23 [18] Abidin, Kebijakan Publik. (Jakarta:Yayasan Pancur Siwah, 2000), hlm. 123 [19] Yahya Zakaria dan Paulus Israwan Setyoko, “Pelibatan Masyarakat Sebagai Etika Dalam Formulasi Kebijakan Publik Guna Mencegah Praktik Korupsi”..., hlm. 13 [20] Riant Nugroho, Public Policy, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2011), hlm. 551 [21] H.A.R. Tilaar & Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan..., hlm. 196 [22] H.A.R. Tilaar & Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan..., hlm. 195  [23] Winarno Budi, Kebijakan Publik: Teori dan Proses, (Yogyakarta: Media Pressindo, 2007), hlm. 16 [24] Syamsuri, Formulasi Kebijakan, Juni 2012  dalam http://kebijakanpublik12.blogspot.co.id/2012/06/formulasi-kebijakan.html, diakses tanggal 2 Juni 2016 [25] Mada Sutapa, “Analisis Kebijakan Pendidikan (Suatu Pengantar)” ..., hlm. 20 [26] H. M. Hasbullah, Kebijakan Pendidikan..., hlm. 81