Formulasi Sediaan Masker Clay Ekstrak Ubi Jalar Ungu (Ipomoea Batatas (L.) Lam) Dan Uji Efek Anti-Aging [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Universitas Sumatera Utara Repositori Institusi USU



http://repositori.usu.ac.id



Fakultas Farmasi



Skripsi Sarjana



2018



Formulasi Sediaan Masker Clay Ekstrak Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas (L.) Lam) dan Uji Efek Anti-Aging Mustanti, Lolyta Fitri Universitas Sumatera Utara http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/10677 Downloaded from Repositori Institusi USU, Univsersitas Sumatera Utara



SEMINAR FORMULASIBAHAN SEDIAAN MASKER CLAY EKSTRAK UBI JALAR UNGU (Ipomoea batatas (L.) Lam) DAN UJI EFEK ANTI-AGING



SKRIPSI



OLEH: LOLYTA FITRI MUSTANTI NIM 141501202



PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2018 Universitas Sumatera Utara



FORMULASI SEDIAAN MASKER CLAY EKSTRAK UBI JALAR UNGU (Ipomoea batatas (L.) Lam) DAN UJI EFEK ANTI-AGING



SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara



OLEH: LOLYTA FITRI MUSTANTI NIM 141501202



PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA PENGESAHAN MEDAN 2018



Universitas Sumatera Utara



Universitas Sumatera Utara



KATA PENGANTAR



Alhamdulillahirabbil‘alamin, segala puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan kasih, rahmat dan ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul “Formulasi Sediaan Masker Clay Ekstrak Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas (L.) Lam) dan Uji Efek Anti-Aging” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. Ubi jalar ungu mengandung flavonoid, polifenol, tanin dan antosianin yang berkhasiat sebagai antioksidan. Antioksidan dapat meredam radikal bebas dan mengatasi penuaan (anti-aging). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat mengetahui pengaruh konsentrasi ekstrak ubi jalar ungu dalam sediaan masker terhadap efektivitas anti-aging.Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa konsentrasi ekstrak ubi jalar ungu memberikan pengaruh terhadap efektivitas antiaging, dimana konsentrasi 5% memberikan hasil paling baik. Harapan penulis, sekiranya hasil penelitian dapat dijadikan sebagai sumber informasi, acuan, referensi dan dapat dimanfaat sebaik-baiknya Penulis menyampaikan rasa terima kasih sebesar-besarnya kepada Ibu Dra. Nazliniwaty, M.Si., Apt., selaku Dosen Pembimbing, Ibu Prof. Dr. Julia Reveny, M.Si., Apt., dan Bapak Drs. Suryanto, M.Si., Apt., selaku dosen tim penguji. Demikian juga rasa terima kasih penulis kepada Ibu Prof. Dr. Masfria, M.S., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara dan seluruh dosen serta staf pengajar Fakultas Farmasi atas segala ilmu yang telah diajarkan kepada penulis.



iv Universitas Sumatera Utara



Penulis mengucapkan terima kasih kepada orangtua tercinta, Ayahanda Arlimus, Ibunda Yani Huri Yanti, abang Novit Musdalyandi, A.Md., Dio Try Muslyandi dan adik Febri Mustofandi. Semoga Allah SWT memberikan karunia, rezeki dan balasan yang berlipat ganda atas kebaikan yang telah diberikan oleh semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Akhir kata semoga skripsi ini dapat berguna untuk semua pihak yang membutuhkan.



Medan, Penulis,



September 2018



Lolyta Fitri Mustanti NIM 141501202



v Universitas Sumatera Utara



Universitas Sumatera Utara



FORMULASI SEDIAAN MASKER CLAY EKSTRAK UBI JALAR UNGU (Ipomoea batatas (L.) Lam) DAN UJI EFEK ANTI-AGING ABSTRAK Latar Belakang: Ubi jalar ungu (Ipomoea batatas (L.) Lam) merupakan tumbuhan yang banyak tumbuh di Indonesia, mudah didapatkan dan harganya murah. Ubi jalar ungu mengandung antosianin, polifenol, flavonoid, tanin yang berkhasiat sebagai antioksidan dan dapat mencegah penuaan kulit (anti-aging). Tujuan: Membuat ekstrak ubi jalar ungu (Ipomoea batatas (L.) Lam) dan memformulasikannya dalam sediaan masker clay serta uji efektivitas anti-aging. Metode: Ekstrak ubi jalar ungu dibuat secara perkolasi dengan menggunakan pelarut etanol 96%. Simplisia dilakukan uji karakteristik dan skrinning fitokimia dilakukan pada simplisia dan ekstrak. Sediaan masker clay dibuat dalam 4 formula yang dibedakan oleh konsentrasi ekstrak ubi jalar ungu masing-masing dengan konsentrasi 1% (FI), 3% (FII), 5% (FIII) dan tanpa ekstrak ubi jalar ungu (F0/blanko). Pengujian terhadap sediaan masker meliputi evaluasi stabilitas sediaan pada penyimpanan suhu kamar (bau, warna dan konsistensi), uji homogenitas, uji pH, uji iritasi, uji lama waktu kering dan uji efektivitas antiaging menggunakan alat skin analyzer terhadap wajah sukarelawan. Parameter yang diukur meliputi kadar air, kehalusan, besar pori, jumlah noda dan banyaknya kerutan. Pengukuran anti-aging dilakukan sebelum dan sesudah pemakaian masker setiap minggu selama empat minggu perawatan. Data statistika dianalisis menggunakan program SPSS 21 dengan metode kruskal wallis, mann whitney, friedman dan wilcoxon . Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa simplisia memenuhi syarat uji karakteristik. Uji skrinning fitokimia menunjukkan simplisia dan ekstrak mengandung alkaloid, flavonoid, tanin, saponin dan steroid/triterpenoid. Sediaan masker clay ekstrak ubi jalar ungu yang dihasilkan homogen, pH 5,6-5,9, stabil dalam penyimpanan 12 minggu pada suhu kamar, tidak mengiritasi kulit wajah sukarelawan dan waktu lama mengering 11-18 menit. Uji efektivitas anti-aging menunjukkan peningkatan kadar air sebesar 22,82%, peningkatan kehalusan sebesar 49,65%, pengecilan ukuran pori sebesar 46,77%, pengurangan jumlah noda sebesar 45,57% dan pengurangan keriput sebesar 57,35% selama 4 minggu perawatan. Analisis data statistika pengukuran anti-aging menunjukan perbedaan efektivitas yang signifikan antar formula. Kesimpulan: Masker clay ekstrak ubi jalar ungu dengan konsentrasi 5% (FIII) memberikan efek anti-aging lebih baik dibandingkan formula setelah perawatan 4 minggu. Kata Kunci: anti-aging, ekstrak ubi jalar ungu, formulasi,masker clay.



vii Universitas Sumatera Utara



FORMULATION OF CLAY MASK PREPARATION PURPLE SWEET POTATO EXTRACT (Ipomoea batatas (L.) Lam) AND TEST OF ANTIAGING EFFECTIVENESS ABSTRACT Background: Purple sweet potato (Ipomoea batatas (L.) Lam) is a growing plant in Indonesia, easy to obtain and cheap. Purple sweet potato contains anthocyanin, polyphenols, flavonoids, tannins are efficacious as antioxidants and can prevent skin aging (anti-aging). Purpose: Make purple sweet potato extract (Ipomoea batatas (L.) Lam) and formulate in clay mask preparation and test anti-aging effectiveness. Method: Purple sweet potato extract made by percolation using 96% ethanol solvent. Simplicia performed characteristic test and phytochemical screening performed on simplicia and extract. Clay mask preparations prepared in 4 formulas distinguished by the concentrations of purple sweet potato extract respectively with concentrations of 1% (FI), 3% (FII), 5% (FIII) and without purple sweet potato extract (F0 / blanko). Test of mask preparations include evaluation of the stability of the preparation at room temperature storage (odor, color and consistency), homogeneity test, pH test, irritation test, dry duration test and anti-aging effectiveness test used skin analyzer on the face volunteer. Parameters measured include moisture content, smoothness, large pores, number of stains and number of wrinkles. Anti-aging measurements performed before and after weekly mask use for four weeks of treatment. Statistical data were analyzed using SPSS 21 with kruskal wallis, mann whitney, friedman and wilcoxon method.. Results: The results showed that simplicia fulfilled the characteristic test requirements. Phytochemical screening test showed simplicia and extracts contain alkaloids, flavonoids, tannins, saponins and steroids / triterpenoids. Preparation of purple sweet potato extract clay masks were homogeneous, pH was 5.6-5.9, stabled in storage 12 weeks at room temperature, did not irritate the face skin of the volunteer and long dried up 11-18 minutes. Anti-aging effectiveness test showed an increase in moisture content of 22.82%, an increase in smoothness of 49.65%, a reduction in pore size of 46.77%, a reduction in the number of stains by 45.57% and a reduction in wrinkles by 57.35% for 4 weeks treatment. Statistical data analysis of anti-aging measurements showed significant differences effectiveness between formulas. Conclusion: Clay mask of purple sweet potato extract with 5% concentration (FIII) provides a better anti-aging effect than the formula after 4 weeks treatment. Keywords: Anti-aging, purple sweet potato extract, formulation, clay mask.



viii Universitas Sumatera Utara



DAFTAR ISI Halaman LEMBAR JUDUL .....................................................................................



i



LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................



iii



KATA PENGANTAR ...............................................................................



iv



SURAT PERNYATAAN............................................................................



vi



ABSTRAK ................................................................................................. vii ABSTRACT ............................................................................................... viii DAFTAR ISI ..............................................................................................



ix



DAFTAR TABEL ...................................................................................... xiv DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xx DAFTAR LAMPIRAN............................................................................... xvi BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................



1



1.1 Latar Belakang ........................................................................



1



1.2 Perumusan Masalah ................................................................



4



1.3 Hipotesis Penelitian .................................................................



4



1.4 Tujuan Penelitian ....................................................................



5



1.5 Manfaat Penelitian ..................................................................



5



BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................



6



2.1 Kulit ..........................................................................................



6



2.1.1 Struktur anatomi kulit .....................................................



6



2.1.2 Fungsi kulit .....................................................................



9



2.1.3 Jenis-jenis kulit ............................................................... 10 2.2 Penuaan ................................................................................... 11



ix Universitas Sumatera Utara



2.2.1 Faktor penyebab penuaan ............................................... 12 2.2.2 Tanda kulit menua .......................................................... 14 2.3 Anti-aging (Anti Penuaan) ....................................................... 14 2.4 Uraian Tumbuhan ..................................................................... 15 2.4.1 Sistematika tumbuhan ubi jalar ungu .............................. 15 2.4.2 Morfologi tumbuhan ubi jalar ungu ............................... 16 2.4.3 Kandungan kimia ubi jalar ungu ................................... 16 2.5 Ekstraksi ................................................................................... 19 2.6 Skin Analyzer ............................................................................ 21 2.6.1 Pengukuran kondisi kulit dengan skin analyzer ............. 21 2.6.2 Parameter pengukuran .................................................... 22 2.7 Masker Clay ............................................................................. 22 2.8 Bahan Pembuatan Masker Clay ............................................... 23 BAB III METODE PENELITIAN ............................................................. 26 3.1 Alat dan bahan .......................................................................... 26 3.1.1 Alat ................................................................................. 26 3.1.2 Bahan .............................................................................. 26 3.2 Penyiapan Sampel .................................................................... 27 3.2.1 Pengambilan sampel ....................................................... 27 3.2.2 Identifikasi sampel ......................................................... 27 3.2.3 Pengolahan simplisia ...................................................... 27 3.3 Pembuatan Larutan Pereaksi .................................................... 27 3.3.1 Larutan asam klorida 2 N ............................................... 28 3.3.2 Pereaksi mayer ............................................................... 28



x Universitas Sumatera Utara



3.3.3 Pereaksi dragendroff ...................................................... 28 3.3.4 Pereaksi bourchardat ...................................................... 28 3.3.5 Pereaksi molish .............................................................. 28 3.3.6 Pereaksi liebermann burchard ........................................ 28 3.3.7 Larutan besi (III) klorida 1% .......................................... 29 3.3.8 Larutan timbal (II) asetat 0,4 M ..................................... 29 3.3.9 Larutan asam sulfat 2 N ................................................ 29 3.4 Pemeriksaan Karakterisasi Simplisia ....................................... 29 3.4.1 Pemeriksaan makroskopik .............................................. 29 3.4.2 Pemeriksaan mikroskopik .............................................. 29 3.4.3 Penetapan kadar air ........................................................ 29 3.4.4 Penetapan kadar sari yang larut dalam etanol ................ 30 3.4.5 Penetapan kadar sari yang larut dalam air ...................... 30 3.4.6 Penetapan kadar abu total ............................................... 31 3.4.7 Penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam ......... 31 3.5 Skrining Fitokimia Simplisia dan Ekstrak Ubi Jalar Ungu ...... 31 3.5.1 Pemeriksaan alkaloid ...................................................... 31 3.5.2 Pemeriksaan tanin .......................................................... 32 3.5.3 Pemeriksaan saponin ...................................................... 32 3.5.4 Pemeriksaan flavonoid ................................................... 32 3.5.5 Pemeriksaan steroida/triterpenoida ............................... 33 3.6 Pembuatan Ekstrak Ubi Jalar Ungu ......................................... 33 3.7 Sukarelawan ............................................................................ 34 3.8 Formula ................................................................................... 34



xi Universitas Sumatera Utara



3.8.1 Formulasi standar masker clay ....................................... 34 3.8.2 Formula orientasi basis masker clay .............................. 35 3.8.3 Formula sediaan masker clay ekstrak ubi jalar ungu ..... 35 3.9 Evaluasi Mutu Fisik Sediaan .................................................... 36 3.9.1 Pengujian homogenitas .................................................. 36 3.9.2 Pengamatan stabilitas sediaan ........................................ 37 3.9.3 Pengukuran pH sediaan .................................................. 37 3.9.4 Pengukuran lama pengeringan sediaan .......................... 37 3.9.5 Uji iritasi terhadap kulit sukarelawan ............................. 38 3.9.6 Pengujian efektivitas anti-aging ..................................... 38 3.9.7 Analisis data .................................................................. 39 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................... 40 4.1 Hasil Identifikasi Tumbuhan .................................................... 40 4.2 Karakterisasi Simplisia ............................................................. 40 4.2.1 Hasil dari pemeriksaan makroskopik dan mikroskopik . 40 4.2.2 Hasil dari pengujian karakterisasi simplisia ................... 40 4.3 Hasil Ekstraksi Simplisia ......................................................... 42 4.4 Skrining Fitokimia .................................................................... 43 4.5 Formulasi Masker .................................................................... 44 4.6 Evaluasi Mutu Fisik Sediaan Masker ...................................... 45 4.6.1 Pengujian homogenitas ................................................. 45 4.6.2 Pengamatan stabilitas sediaan masker ............................ 46 4.6.3 Pengukuran pH sediaan masker ..................................... 47 4.6.4 Pengukuran lama pengeringan masker ........................... 49



xii Universitas Sumatera Utara



4.6.5 Pengujian iritasi sediaan masker .................................... 49 4.6.6 Pengujian efektivitas anti-aging .................................... 50 4.6.6.1 Kadar air (mouisture) ......................................... 50 4.6.6.2 Kehalusan (evennes) .......................................... 53 4.6.6.3 Pori (pore) .......................................................... 56 4.6.6.4 Noda (spot ) ........................................................ 59 4.6.6.5 Keriput (wrinkle) ............................................... 63 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................... 66 5.1 Kesimpulan ............................................................................ 66 5.2 Saran ..................................................................................... 66 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 67 LAMPIRAN .............................................................................................. 70



xiii Universitas Sumatera Utara



DAFTAR TABEL Tabel



Halaman



2.1 Komposisi kimia dan fisik ubi jalar ungu.........................................



17



2.2 Kandungan antioksidan pada ubi jalar..............................................



17



2.3 Parameter hasil pengukuran dengan skin analyzer ...........................



22



3.1 Formula sediaan masker clay ekstrak ubi jalar ungu .......................



36



4.1 Hasil uji karakteristik simplisia ubi jalar ungu ................................



40



4.2 Hasil skrining fitokimia simplisia dan ekstrak ubi jalar ungu .........



43



4.3 Hasil pengamatan stabilitas sediaan pada suhu kamar .....................



47



4.4 Hasil pengukuran pH rata-rata sediaan selama 12 minggu ..............



48



4.5 Hasil pengukuran lama pengeringan ................................................



49



4.6 Hasil uji iritasi terhadap kulit sukarelawan .....................................



50



4.7 Data hasil pengukuran kadar air pada kulit wajah sukarelawan .....



51



4.8 Data hasil pengukuran kehalusan pada kulit wajah sukarelawan .....



54



4.9 Data hasil pengukuran pori pada kulit sukarelawan .........................



57



4.10 Data hasil pengukuran jumlah noda pada kulit sukarelawan............



60



4.11 Data hasil pengukuran keriput (wrinkle) pada kulit sukarelawan ...



63



xiv Universitas Sumatera Utara



DAFTAR GAMBAR Gambar



Halaman



2.1



Struktur anatomi kulit ..................................................................



6



2.2



Struktur dasar antosianin...............................................................



18



2.3



Struktur peonidin .........................................................................



19



2.4



Struktur sianidin ...........................................................................



19



4.1



Grafik pengaruh pemakaian masker clay terhadap kadar air kulit wajah sukarelawan selama 4 minggu perawatan .................



52



Grafik pengaruh pemakaian masker clay terhadap kehalusan kulit wajah sukarelawan selama 4 minggu perawatan .................



55



Grafik pengaruh pemakaian masker clay terhadap pengecilan ukuran pori kulit wajah sukarelawan selama 4 minggu perawatan



58



Grafik pengaruh pemakaian masker clay terhadap jumlah noda kulit wajah sukarelawan selama 4 minggu perawatan .................



61



Grafik pengaruh pemakaian masker clay terhadap pengecilan keriput kulit wajah sukarelawan selama 4 minggu perawatan......



64



4.2



4.3



4.4



4.5



xv Universitas Sumatera Utara



DAFTAR LAMPIRAN Lampiran



Halaman



1



Hasil identifikasi tumbuhan ubi jalar ungu ..............................



70



2



Gambar tumbuhan, simplisia dan ekstrak ubi jalar ungu .........



71



3



Hasil mikrosopik ubi jalar ungu ...............................................



72



4



Bagan pembuatan simplisia ubi jalar ungu ................................



73



5



Bagan pembuatan ekstrak ubi jalar ungu ..................................



74



6



Perhitungan rendemen ekstrak ubi jalar ungu ..........................



75



7



Perhitungan hasil karakterisasi ubi jalar ungu ...........................



76



8



Bagan pembuatan masker clay ................................................



81



9



Surat pernyataan persetujuan (Informed consent) .....................



82



10



Gambar sediaan masker clay ....................................................



83



11



Gambar uji homogenitas ............................................................



84



12



Gambar pemakaian masker pada sukarelawan ..........................



85



13



Gambar uji iritasi pada sukarelawan .........................................



86



14



Hasil uji efektivitas anti aging ...................................................



87



15



Hasil analisis data ......................................................................



89



16



Alat yang digunakan .................................................................. 109



xvi Universitas Sumatera Utara



BAB I PENDAHULUAN



1.1



Latar belakang Keberadaan kosmetika yang dibuat dari bahan baku alami, tidak dapat



dipungkiri telah diakui dan dirasakan manfaatnya bagi masyarakat. Sehingga gaya hidup kembali ke alam (back to nature) menjadi semakin populer saat ini di seluruh dunia. Kosmetika dengan memanfaatkan bahan alam telah dikembangkan lebih jauh dengan cara menganalisis secara ilmiah untuk mendapatkan bahan inti/aktif dari simplisia alam tersebut untuk dijadikan bahan baku kosmetika. Sehingga pemilihan bahan-bahan alami untuk kosmetika ini menjadi lebih tepat sasaran dalam mengatasi masalah kesehatan kulit (Wasitaatmadja, 1997). Salah satu masalah kesehatan kulit yang sering ditemukan adalah terjadinya penuaan. Proses penuaan yang dapat terlihat diantaranya timbulnya kerut atau keriput, kulit menjadi cepat kering, kasar, munculnya noda hitam dan pori-pori membesar (Tranggono dan Latifah, 2007; Noormindhawati, 2013; Wasitaatmadja, 1997). Proses menua merupakan proses alamiah dalam kehidupan manusia yang disebabkan oleh bertambahnya umur, genetik, rasial, hormonal (instrinsik) dan faktor ekstrinsik berupa lingkungan hidup, stress, rokok dan pajanan sinar matahari yang berlebihan (photoaging). Sedangkan pada faktor ekstrinsik, gambaran akan lebih terlihat jelas pada area yang banyak terpajan matahari. Kulit merupakan organ tubuh yang secara langsung terpajan sinar UV dari matahari. Radiasi UV merupakan inisiator pembentukan ROS (reactive oxygen species)



1 Universitas Sumatera Utara



pada kulit (Ardhie, 2011). Berdasarkan panjang gelombangnya, sinar UV dibedakan atas UVA (320400 nm), UVB (290-320 nm) dan UVC (200-290 nm). Sinar UV dapat mencapai bumi dan kulit hanyalah 5-10% UVB dan 90-95% UVA. Sinar UVB dapat memicu produksi anion superoksida (+O2-) melalui aktivasi nicotinamide adenin dinucleotide phospate (NADPH) oksidase dan rantai reaksi pernafasan di mitokondria. Sinar UVA dapat memicu terbentuknya 1O2, selain melalui aktivasi NADPH oksidase, 1O2 juga dibentuk melalui reaksi fotokimiawi saat UVA diabsorbsi oleh riboflavin dan porfirin. Kromofor adalah berbagai substansi pada kulit yang mampu menyerap UV. UVB diserap oleh DNA akan menyebabkan kerusakan langsung, sedangkan kromofor penyerap UVA akan menimbulkan kerusakan melalui pembentukan ROS. Oksigen tunggal merupakan ROS utama di permukaan kulit yang dapat menyerang membran sel dan selanjutnya membentuk ROS yang baru (Ardhie, 2011). Upaya yang dapat dilakukan untuk menghambat terjadinya penuaan adalah dengan melakukan perawatan kulit dengan baik, salah satunya dengan menggunakan produk kosmetika terutama pada wajah yang sering terpajan langsung oleh sinar UV matahari. Menurut BPOM (2011), kosmetika adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan pada bagian luar tubuh manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir, dan organ genital bagian luar), atau gigi, dan membran mukosa mulut, terutama untuk membersihkan, mewangikan, mengubah penampilan, dan/atau memperbaiki bau badan atau melindungi atau memelihara tubuh pada kondisi baik. Salah satu bentuk sediaan kosmetika yang dapat digunakan adalah masker



2 Universitas Sumatera Utara



wajah. Masker wajah sangat disukai dari sifatnya yang dapat mengencangkan kulit dan efek pembersih kulit. Karakteristik khusus dari sediaan masker adalah mudah digunakan dan dibersihkan, waktu untuk pengeringan yang sangat cepat. Salah satu sediaan masker wajah yang sangat populer adalah tipe wash-off dengan basis clay, yang sering disebut dengan clay facial masks (Gaffney, 1992). Penggunaan antioksidan merupakan salah satu upaya yang dilakukan dalam mencegah penuaan. Antioksidan diyakini akan meningkatkan ketahanan tubuh terhadap stress oksidatif dan khususnya dalam mencegah penuaan kulit (Ardhie, 2011). Saat ini telah dikembangkan pemanfaatan bahan-bahan alam sebagai sumber antioksidan dalam sediaan kosmetika. Salah satu bahan alam yang dapat dimanfaatkan adalah ubi jalar ungu (Ipomoea batatas L.). Ubi jalar ungu memiliki aktivitas antioksidan lebih tinggi daripada ubi jalar jingga, kuning dan putih. Ubi jalar ungu mengandung polifenol, flavonoid dan tanin yang dapat meredam radikal bebas (Fidrianny, et al., 2012). Ubi jalar ungu juga memiliki antosianin, pigmen yang menyebabkan daging umbi berwarna ungu, yang mempunyai aktivitas antioksidan. Keberadaan senyawa fenol selain antosianin juga penting karena bersinergi dengan antosianin dalam menentukan aktivitas antioksidan ubi jalar. Hasil pengujian ekstrak ubi jalar ungu menunjukkan bahwa antosianin dan senyawa fenol berkorelasi positif dengan aktivitas antioksidan (Ginting, et al., 2011). Bahan aktif yang digunakan pada penelitian ini adalah esktrak etanol yang berasal dari tanaman ubi jalar ungu (Ipomoea batatas L.). Pemilihan ubi jalar ungu dalam penelitian ini dikarenakan komoditasnya telah banyak di Indonesia sehingga mudah didapat, harganya relatif murah, tidak memberikan efek



3 Universitas Sumatera Utara



merugikan bagi kesehatan (Desriani, 2015). Ekstrak etanol ubi jalar ungu memiliki aktivitas sebagai antioksidan dengan nilai IC50 sebesar 38,25 ppm yang menunjukkan bahwa ekstrak tersebut memiliki aktivitas antioksidan yang sangat kuat (kurang dari 50 ppm) (Desniati, et al., 2015). Berdasarkan uraian di atas maka dilakukan penelitian tentang formulasi sediaan masker clay ekstrak ubi jalar ungu (Ipomoea batatas (L.) Lam) dan uji efek anti-aging.



1.2



Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam



penelitian ini adalah: a.



Apakah ekstrak ubi jalar ungu dapat diformulasikan dalam sediaan masker clay?



b.



Apakah perbedaan konsentrasi ekstrak ubi jalar ungu dalam sediaan masker clay mempengaruhi efektivitas anti-aging?



c.



Apakah penggunaan sediaan masker clay ekstrak ubi jalar ungu dapat meningkatkan kondisi kulit menjadi lebih baik selama perawatan empat minggu?



1.3



Hipotesis Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka hipotesis dari penelitian ini



adalah: a.



Ekstrak ubi jalar ungu dapat diformulasikan dalam sediaan masker clay.



b.



Perbedaan konsentrasi ekstrak ubi jalar ungu dalam sediaan masker clay



4 Universitas Sumatera Utara



mempengaruhi efektivitas anti-aging. c.



Penggunaan sediaan masker clay ekstrak ubi jalar ungu dapat meningkatkan kondisi kulit menjadi lebih baik selama perawatan empat minggu.



1.4



Tujuan Penelitian Berdasarkan hipotesis di atas tujuan penelitian ini adalah:



a.



Untuk memformulasikan sediaan masker clay ekstrak ubi jalar ungu.



b.



Untuk mengetahui pengaruh perbedaan konsentrasi ekstrak ubi jalar ungu dalam sediaan masker clay terhadap efektivitas anti-aging.



c.



Untuk mengetahui peningkatan kondisi kulit menjadi lebih baik selama empat minggu perawatan dengan masker clay ekstrak ubi jalar ungu.



1.5



Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan daya dan hasil guna



dari ubi jalar ungu (Ipomoea batatas (L.) Lam).



5 Universitas Sumatera Utara



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



2.1



Kulit Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya dari



lingkungan hidup manusia. Luas kulit orang dewasa sekitar 1,5 m2 dengan berat kira-kira 15% berat badan. Kulit merupakan organ yang esensial dan vital serta merupakan cermin kesehatan dan kehidupan. Kulit juga sangat kompleks, elastis dan sensitif, serta bervariasi pada keadaan iklim, umur, jenis kelamin, ras, dan lokasi tubuh (Wasitaatmadja, 1997). 2.1.1 Struktur anatomi kulit Kulit terdiri dari tiga lapisan, berturut-turut mulai dari yang paling luar adalah sebagai berikut: a. lapisan epidermis b. lapisan dermis c. lapisan subkutan (Wasitaatmadja, 1997).



Gambar 2.1 Struktur Anatomi Kulit 1.



Lapisan epidermis atau kutikel Lapisan epidermis kulit merupakan jaringan epitel yang berlapis pipih,



dengan sel epitel yang mempunyai lapisan tertentu. Epidermis merupakan lapisan



6 Universitas Sumatera Utara



kulit luar. Dengan tebal 0,16 mm pada pelupuk mata sampai 0,8 mm pada telapak tangan dan kaki. Ada 5 lapisan pada lapisan epidermis, antara lain: a. Stratum corneum (lapisan tanduk) Lapisan ini merupakan lapisan yang paling atas dan terdiri atas beberapa lapis sel pipih, mati, tidak memiliki inti, tidak mengalami metabolisme, tidak berwarna, dan sangat sedikit mengandung air. Lapisan ini sebagian besar terdiri atas keratin (protein yang tidak larut dalam air) dan sangat resisten terhadap bahan kimia. Secara alami, sel-sel yang mati di permukaan kulit akan melepaskan diri untuk beregenerasi. Permukaan lapisan ini dilapisi oleh lapisan pelindung lembab tipis bersifat asam disebut mantel asam kulit ( Tranggono & Latifah, 2007). b. Stratum lucidum (lapisan jernih) Lapisan ini disebut juga lapisan barrier yang letaknya tepat di bawah stratum corneum. Lapisan ini merupakan lapisan tipis, jernih, mengandung eleidin yang terdapat antara stratum lucidum dan stratum granulosum terdapat lapisan keratin tipis disebut rein’s barrier (Szakall) yang tidak dapat ditembus (impermeable). c. Stratum granulosum (lapisan berbutir-butir) Lapisan ini tersusun atas sel-sel keratinosit berbentuk poligonal, berbutir kasar, berinti mengkerut. Dalam butir keratohyalin tersebut terdapat bahan logam, khususnya tembaga, sebagai katalisator proses pertandukan kulit. d. Stratum spinosum (lapisan malphigi) Lapisan ini memiliki sel berbentuk kubus dan seperti berduri, berinti besar dan berbentuk oval. Setiap sel berisi filamen kecil terdiri atas serabut protein. Cairan limfe ditemukan mengitari sel-sel dalam lapisan ini (Tranggono & Latifah,



7 Universitas Sumatera Utara



2007). e. Stratum germinativum (lapisan basal atau membran basalis) Lapisan ini merupakan lapisan terbawah epidermis. Di dalamnya terdapat sel-sel melanosit, yaitu sel yang tidak mengalami keratinisasi dan fungsinya hanya membentuk pigmen melanin dan melalui dendrit-dendrit diberikan kepada sel-sel keratinosit. Satu sel melanin untuk sekitar 36 sel keratinosit dan disebut dengan unit melanin epidermal (Tranggono & Latifah, 2007). 2.



Lapisan dermis (korium, kutis vera, true skin) Lapisan ini jauh lebih tebal daripada epidermis, terbentuk oleh jaringan



elastik dan fibrosa padat dengan elemen selular, kelenjar, dan rambut sebagai adneksa kulit. Lapisan ini terdiri atas: a. Pars papilaris, yaitu bagian yang menonjol ke dalam epidermis, berisi ujung serabut saraf dan pembuluh darah. b. Pars retikularis, yaitu bagian bawah dermis yang berhubungan dengan subkutis, terdiri atas serabut penunjang kolagen, elastin dan retikulin. Dasar (matriks) lapisan ini terdiri atas cairan kental asam hialuronat dan kondroitin sulfat dan sel-sel fibroblas. Kolagen muda bersifat lentur namun dengan bertambahnya umur menjadi stabil dan keras. Retikulin mirip dengan kolagen muda, sedangkan elastin biasanya bergelombang, berbentuk amorf, mudah mengembang, dan elastin (Wasitaatmadja, 1997). 3.



Lapisan subkutis (hipodermis) Lapisan ini merupakan kelanjutan dermis, terdiri atas jaringan ikat longgar



berisi sel-sel lemak di dalamnya. Sel lemak merupakan sel bulat, besar, dengan inti terdesak ke pinggir karena lemak yang bertambah. Sel-sel ini membentuk



8 Universitas Sumatera Utara



kelompok yang dipisahkan satu dengan yang lainnya oleh trabekula yang fibrosa. Lapisan sel lemak disebut panikulus adiposus, berfungsi sebagai cadangan makanan. Di lapisan ini terdapat ujung-ujung saraf tepi, pembuluh darah, dan saluran getah bening. Lapis lemak ini juga berfungsi sebagai bantalan (Wasitaatmadja, 1997). Vaskulirisasi kulit terdiri atas 2 pleksus, pembuluh darah yaitu pleksus superfisialis yang terletak di bagian atas dermis, dan pleksus profunda yang terletak di subkutis. Pleksus yang terletak bagian atas mengadakan anastomosis di papila dermis. Pleksus yang disubkutis dan pars retikularis juga mengadakan anastomosis, di bagian ini pembuluh darah berukuran lebih besar. Bergandengan dengan pembuluh darah terdapat saluran getah bening (Wasitaatmadja, 1997). 2.1.2 Fungsi Kulit Kulit memiliki fungsi bagi tubuh, diantaranya adalah: 1.



Fungsi Proteksi Serabut elastisitas yang terdapat pada dermis serta jaringan lemak



subkutan berfungsi mencegah taruma mekanik langsung terhadap interior tubuh. Lapisan tanduk dan mantel lemak kulit menjaga kadar air tubuh dengan mencegah masuknya air dari luar tubuh dan mencegah penguapan air, selain itu jugaberfungsi sebagai barrier terhadap racun dari luar. Mantel asam kulit dapat mencegah pertumbuhan bakteri di kulit. 2.



Fungsi Absorbsi Beberapa bahan dapat diabsorbsi kulit masuk ke dalam tubuh melalui dua



jalur yaitu melalui epidermis dan melalui kelenjar sebasea. Material yang mudah larut dalam lemak lebih mudah diabsorbsi dibanding air dan material yang larut



9 Universitas Sumatera Utara



dalam air. 3.



Fungsi Pengaturan Suhu Tubuh (Termoregulasi) Kulit mengatur temperatur tubuh melalui mekanisme dilatasi dan



konstriksi pembuluh kapiler dan melalui perspirasi, yang keduanya dipengaruhi saraf otonom. Pada saat temperatur badan menurun terjadi vasokonstriksi, sedangkan pada saat temperatur badan meningkat terjadi vasodilatasi untuk meningkatkan pembuangan panas. 4.



Fungsi Persepsi Sensoris Kulit bertanggung jawab sebagai indera terhadap rangsangan dari luar



berupa tekanan, raba, suhu, dan nyeri melalui beberapa reseptor seperti Benda Meissner, Diskus Merkell dan Korpuskulim Golgi sebagai reseptor raba, Korpuskulum Pacini sebagai reseptor tekanan, Korpuskulum Ruffini dan Benda Krauss sebagai reseptor suhu dan Nervus End Plate sebagai reseptor nyeri. Rangsangan dari luar diterima oleh reseptor-reseptor tersebut dan diteruskan ke sistem saraf pusat dan selanjutnya diinterpretasi oleh korteks serebri. 5.



Fungsi Lain Fungsi lain dari kulit adalah kulit dapat menggambarkan status emosional



seseorang dengan memerah, memucat, maupun kontraksi otot penegak rambut (Tranggono dan Latifah, 2007). 2.1.3 Jenis-jenis kulit Ditinjau dari sudut pandang perawatan, kulit terbagi atas lima bagian: a.



Kulit normal Merupakan kulit ideal yang sehat, memiliki pH normal, kadar air dan



kadar minyak seimbang, tekstur kulit kenyal, halus dan lembut, pori-pori kulit



10 Universitas Sumatera Utara



kecil. b.



Kulit berminyak Merupakan kulit yang memiliki kadar minyak berlebihan di permukaan



kulit sehingga tampak mengkilap, memiliki pori-pori besar, mudah berjerawat. c.



Kulit kering Adalah kulit yang tampak kasar, kusam, kulit mudah bersisik, terasa kaku,



tidak elastis, dan mudah berkeriput. d.



Kulit kombinasi Merupakan jenis kulit kombinasi yaitu antara kulit wajah kering dan



berminyak. Pada area T cenderung berminyak, sedangkan pada derah pipi berkulit kering. e.



Kulit sensitif Adalah kulit yang memberikan respons secara berlebihan terhadap kondisi



tertentu, misalnya suhu, cuaca, bahan kosmetik atau bahan kimia lainnya yang menyebabkan timbulnya gangguan kulit seperti kulit mudah menjadi iritasi, kulit menjadi lebih tipis dan sangat sensitif.



2.2



Penuaan Penuaan merupakan proses alami yang tak dapat dihindari oleh semua



makhluk hidup. Penuaan adalah akibat kerusakan baik anatomi maupun fisiologi pada semua organ tubuh, mulai dari pembuluh darah dan organ tubuh lainnya sampai ke kulit (Tranggono dan Latifah, 2007). Penuaan dini adalah proses penuaan kulit yang lebih cepat dari waktunya. Bisa terjadi saat umur kita memasuki usia 20-30 tahun. Penuaan dini dapat terjadi



11 Universitas Sumatera Utara



kapan saja. Pada usia muda, regenerasi kulit terjadi setiap 28-30 hari. Regenerasi semakin melambat seiring dengan bertambahnya usia. Memasuki usia 50 tahun, regenerasi kulit terjadi setiap 37 hari (Noormindhawati, 2013). 2.2.1 Faktor penyebab penuaan Banyak faktor yang ikut berpengaruh dalam proses penuaan dini, baik faktor intrinsik (dari dalam tubuh sendiri) maupun faktor ekstrinsik (lingkungan). Beberapa faktor tersebut akan dijelaskan sebagai berikut: a.



Faktor intrinsik (intrinsic aging) Penuaan yang terjadi secara alami. Penuaan intrinsik terjadi secara lambat,



terus menerus dan degradasi jaringan yang ireversibel. Tidak banyak yang dapat dilakukan untuk mencegah penuaan secara intrinsik. Ada berbagai faktor internal yang berpengaruh pada proses penuaan kulit, yaitu: 1.



Umur



Umur adalah faktor fisiologik yang menyebabkan kulit menjadi tua. Umur bertambah setiap hari dan secara perlahan tetapi pasti proses menua akan terjadi. 2. Ras Berbagai ras manusia mempunyai perbedaan struktural dan faal tubuh dalam perannya pada lingkungan hidup sehingga mempunyai kemampuan berbeda dalam mempertahankan diri, misalnya dalam jumlah pigmen melanin pada kulit.Orang kulit putih lebih mudah terbakar sinar matahari daripada kulit berwarna sehingga pada kulit putih lebih mudah terjadi gejala penuaan dini. 3. Genetik Para ahli yakin bahwa faktor genetik juga berpengaruh terhadap proses



12 Universitas Sumatera Utara



penuaan dini. Faktor genetik menentukan kapan menurunnya proses metabolik dalam tubuh dan seberapa cepat proses menua itu berjalan. 4. Hormonal Hormon tertentu dalam tubuh manusia mempunyai peran penting dalam proses pembentukan sel baru dan proses metabolik untuk mempertahankan kehidupan sel secara baik. Pada wanita yang menopause, penurunan produksi esterogen akan menurunkan elastisitas kulit. Hormon androgen dan progesteron meningkatkan proses pembelahan sel epidermis, waktu pergantian atau regenerasi sel, produksi kelenjar sebum, dan pembentukan melanin. Berkurangnya hormon-hormon tersebut akan menunjukkan gejala penuaan dini yang lebih jelas. 5. Faktor-faktor lain Faktor-faktor lain yang dianggap dapat mempercepat proses penuaan kulit yaitu stres psikis dan penyakit-penyakit sistemik misalnya diabetes dan malnutrisi. b.



Faktor ekstrinsik (extrinsic aging) Lingkungan hidup manusia yang tidak nyaman bagi kulit dapat berupa



suhu, kelembapan, polusi, dan terutama sinar UV. Sinar matahari adalah faktor lingkungan terbesar yang dapat mempercepat proses penuaan dini karena dapat merusak serabut kolagen kulit dan matriks dermis sehingga kulit menjadi tidak elastis, kering, dan keriput atau sering disebut dengan photoaging. Kontak dengan bahan kimia tertentu dalam waktu yang cukup lama dapat mempercepat penuaan kulit, seperti pemakaian detergen dan pembersih yang mengandung alkohol berlebihan akan menghilangkan lemak permukaan kulit sehingga menyebabkan



13 Universitas Sumatera Utara



kekeringan kulit. Beberapa gaya hidup juga memicu terbentuknya kerutan pada kulit wajah, di antaranya adalah mengkonsumsi alkohol yang berlebihan dapat menyebabkan kulit terdehidrasi sehingga mempermudah munculnya kerutan pada kulit. Banyaknya frekuensi kedipan mata serta kebiasaan menyipitkan mata menyebabkan otot-otot di sekitar alis dan dahi bekerja lebih keras sehingga memperparah kerutan di area dahi (Wasitaatmadja, 1997). 2.2.2 Tanda kulit menua a. Kulit menjadi kering akibat berkurangnya aktivitas kelenjar minyak dan keringat kulit serta penurunan kemampuan kulit untuk menahan air di dalam sel kulit (sawar kulit). b. Kulit menjadi tipis akibat berkurangnya kemampuan untuk membentuk sel baru di lapisan kulit. c. Sebaliknya kulit terasa kasar, kusam, dan bersisik akibat berkurangnya kemampuan kulit untuk melepaskan sel kulit lama untuk diganti sel kulit baru. d. Kulit menjadi kendor dan tidak elastis akibat menurunnya kemampuan serat kulit terutama kolagen, sehingga menimbulkan kerut dan gelambir. e. Warna kulit berbercak-bercak akibat berkurangnya daya pigmentasi sel melanosit dan daya distribusi melanin ke seluruh lapisan kulit (Wasitaatmadja, 1997).



2.3



Anti-aging (Anti Penuaan) Produk anti-aging memiliki tujuan untuk membantu tubuh agar tetap sehat



dan awet muda bahkan bisa terlihat lebih muda dari usia sesungguhnya. Produk



14 Universitas Sumatera Utara



ini digunakan untuk menghambat proses penuaan pada kulit (degeneratif), sehingga mampu menghambat timbulnya tanda-tanda penuaan pada kulit . Antiaging dapat menyuplai antioksidan bagi jaringan kulit, menstimulasi proses regenerasi sel-sel kulit, menjaga kelembaban dan elastisitas kulit dan merangsang produksi kolagen (Muliyawan dan Suriana, 2013). Kosmetika anti-aging pada umumnya berupa bahan aktif yang mengandung antioksidan untuk melindungi kulit dari efek radikal bebas. Antioksidan adalah bahan kimia yang dapat memberikan sebutir elektron yang sangat diperlukan oleh radikal bebas agar tidak menjadi berbahaya (Putro, 1997). Antosianin merupakan antioksidan yang cukup kuat untuk menetralisir keganasan radikal bebas penyebab penuaan dini serta dapat menghaluskan kulit (Zen Li et al., 2010).



2.4



Uraian Tumbuhan Ubi jalar ungu (Ipomoea batatas L.) merupakan salah satu jenis ubi jalar



yang banyak ditemui di Indonesia selain berwarna putih, kuning dan merah. 2.4.1 Sistematika tumbuhan ubi jalar ungu Sistematika tanaman ubi jalar ungu menurut MEDA adalah sebagai berikut: Kingdom



: Plantae



Divisi



: Spermatophyta



Kelas



: Dicotyledoneae



Ordo



: Solanales



Famili



: Convolvulaceae



15 Universitas Sumatera Utara



Genus



: Ipomea



Spesies



: Ipomoea batatas (L.) Lam.



Nama Lokal



: Ubi jalar Ungu



2.4.2 Morfologi tumbuhan ubi jalar ungu Ubi jalar merupakan tanaman ubi-ubian dan tergolong tanaman semusim. Tanaman ini tumbuh menjalar pada permukaan tanah, dengan panjang tanaman yang dapat mencapai 3 meter, berbatang lunak, tidak berkayu berbentuk bulat dan bagian tengah bergabus. Batang ubi jalar beruas-ruas dengan panjang ruas sekitar 1-3 cm. Daunnya berbentuk bulat hati, bulat lonjong dan bulat runcing tergantung pada varietasnya. Daun yang berbentuk bulat lonjong atau oval memiliki tepi daun rata, berlekuk dangkal atau berlekuk dalam. Tanaman ini mempunyai bunga berbentuk terompet dengan panjang 3-5cm dan lebar bagian ujung antara 3-4cm, mahkota bunga berwarna ungu keputih-putihan dan bagian dalam mahkota bunga berwarna ungu muda (Widodo, 1986). 2.4.3 Kandungan kimia ubi jalar ungu Ubi jalar ungu mempunya kandungan antosianin yang tinggi. Antosianin merupakan sumber warna ungu sangat berguna bagi tubuh sebagai antikanker, antioksidan, antihipertensi dan lain-lain. Ubi jalar ungu memiliki beberapa kelebihan dibandingkan ubi warna lainnya, terutama dalam hal kandungan antosianin yang lebih tinggi, juga kandungan vitamin A dan E. Ubi jalar ungu memiliki kandungan serat, karbohidat komleks, vitamin B6, asam folat, dan rendah kalori (Reifa, 2005). Selain itu, ubi jalar ungu mengandung vitamin B1, B12, C, mineral (Fe, Ca, dan Na), lemak, protein, abu, kalori dan serat kasar (Jairani, 2011)



16 Universitas Sumatera Utara



Tabel 2.1 Komposisi Kimia dan Fisik Ubi Jalar Ungu Segar (%db) Sifat Kimia dan Fisik Jumlah Kadar air(%bb)



67,77



Kadar abu(%bk)



3,28



Kadar pati(%bk)



55,27



Gula reduksi(%bk)



1,79



Kadar lemak(%bk)



0,43



Kadar antosianin(mg/100g



923,65



Aktivitas antioksidan(%)



61,24



Warna (L)



37,50



Warna (a)



14,20



Warna (b)



11,50



Sumber: Widjanarko, 2008 Tabel 2.2 Kandungan antioksidan pada ubi jalar Antioksidan per Ubi jalar putih Ubi 100 gram



jalar Ubi jalar ungu



kuning



Betakaroten



260 mkg



290 mkg



990 mkg



Vitamin C



28,68 mg



29,22 mg



21,43 mg



Antosianin



0,06 mg



4,56 mg



110,51 mg



Vitamin A



770 mg



Sumber: Putri, 2013 Ubi jalar ungu mengandung polifenol, flavonoid dan tanin yang dapat meredam radikal bebas (Fidrianny, et al., 2012). Ubi jalar ungu juga memiliki antosianin, pigmen yang menyebabkan daging umbi berwarna ungu, yang mempunyai aktivitas antioksidan. Keberadaan senyawa fenol selain antosianin juga penting karena bersinergi dengan antosianin dalam menentukan aktivitas antioksidan ubi jalar. Hasil pengujian ekstrak ubi jalar ungu menunjukkan bahwa



17 Universitas Sumatera Utara



antosianin dan senyawa fenol berkorelasi positif dengan aktivitas antioksidan (Ginting., et al, 2011). Ekstrak etanol ubi jalar ungu memiliki aktivitas sebagai antioksidan dengan nilai IC50 sebesar 38,25 ppm yang menunjukkan bahwa ekstrak tersebut memiliki aktivitas antioksidan yang sangat kuat (kurang dari 50 ppm) (Desniati, et al., 2015). Kandungan dan stabilitas antosianin yang tinggi pada ubi jalar ungu dibanding antosianin yang berasal dari sumber lain, menjadikan tanaman ini sebagai pilihan yang lebih sehat dan sebagai alternatif pewarna alami (Kumalaningsih, 2006). Selain itu, antosianin juga merupakan antioksidan yang cukup kuat untuk menetralisir keganasan radikal bebas penyebab penuaan dini serta dapat menghaluskan kulit (Zen Li, et al., 2010). Senyawa ini merupakan pewarna yang paling penting dan tersebar luas dalam tumbuhan. Secara kimia antosianin merupakan turunan dari suatu struktur aromatik tunggal, yaitu sianidin. Semua antosianin terbentuk dari pigmen sianidin dengan penambahan atau pengurangan gugus hidroksil atau dengan metilasi. Terdapat enam jenis antosianidin secara umum, yaitu: sianidin, pelargonidin, peonidin, petunidin, malvidin, dan delfinidin. Pada ubi jalar ungu terdapat dua jenis antosianin yaitu peonidin dan sianidin (Zen Li, et al., 2010).



Gambar 2.2 Struktur Dasar Antosianin



18 Universitas Sumatera Utara



Gambar 2.3 Struktur Peonidin



Gambar 2.4 Struktur Sianidin



2.5



Ekstraksi Ekstraksi adalah proses penarikan zat aktif yang terdapat dalam tumbuhan



dengan pelarut yang sesuai, sedangkan ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan (Ditjen POM RI, 1995). Menurut Departemen Kesehatan RI (2000), ada beberapa cara metode ekstraksi, yaitu: a. Cara dingin 1. Maserasi Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur



19 Universitas Sumatera Utara



kamar. 2. Perkolasi Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses perkolasi terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak) terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) sebanyak 1-5 kali bahan. b. Cara Panas 1. Refluks Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relative konstan denganadanya pendingin balik. Umumnya digunakan pengulangan proses pada residu pertama samapai 3-5 kali sehingga proses ekstraksi sempurna. 2. Sokletasi Sokletasi adalah ekstraksi yang umumnya dilakukan dengan alat soxhlet sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik. 3. Digesti Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi, umumnya dilakukan pada temperatur 40-50oC. 4. Infundasi Infundasi adalah proses ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infuse tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98oC) selama waktu tertentu (15-20 menit).



20 Universitas Sumatera Utara



5. Dekoktasi Dekoktasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada temperatur 90oC selama 30 menit.



2.6



Skin Analyzer Skin analyzer merupakan perangkat yang dirancang untuk mendiagnosis



keadaan pada kulit. Skin analyzer mempunyai sistem terintegrasi untuk mendukung diagnosis dokter yang tidak hanya meliputi lapisan kulit teratas, melainkan juga memperlihatkan sisi lebih dalam lapisan kulit. Rangkaian sensor kamera menampilkan hasil dengan cepat dan akurat (Aramo, 2012). 2.6.1 Pengukuran kondisi kulit dengan skin analyzer Menurut Aramo (2012), beberapa pengukuran yang dapat dilakukan: 1. Kadar air (Moisture) Pengukuran kadar air dilakukan dengan menggunakan alat moisture cheker yang terdapat dalam skin analyzer.. 2. Kehalusan (Evenness) Pengukuran kehalusan kulit dilakukan dengan perangkat skin analyzer pada lensa perbesaran 60x dan menggunakan lampu sensor biru (normal). 3. Pori (Pore) Pengukuran besarnya pori pada kulit secara otomatis akan keluar pada saat melakukan pengukuran kehalusan pada kulit. 4. Noda (Spot) Pengukuran banyaknya noda yang dilakukan dengan menggunakan seperangkat skin analyzer pada lensa perbesaran 60x menggunakan lampu sensor



21 Universitas Sumatera Utara



jingga (terpolarisasi). 5. Keriput (Wrinkle) Pengukuran keriput dilakukan dengan seperangkat skin analyzer pada lensa perbesaran 10x dan menggunakan lampu sensor biru (normal). 2.6.2 Parameter pengukuran Parameter hasil pengukuran dapat dilihat pada Tabel 2.3. Tabel 2.3Parameter hasil pengukuran dengan Skin analyzer (Aramo,2012) Pengukuran Parameter Moisture Dehidrasi Normal Hidrasi (Kadar air) 0-29 % 30-50 % 51-100 % Evenness Halus Normal Kasar (Kehalusan) 0-31 32-51 52-100 Pore Kecil Beberapa besar Sangat besar (Pori) 0-19 20-39 40-100 Spot Sedikit Beberapa noda Banyak noda (Noda) 0-19 20-39 40-100 Wrinkle Tidak berkeriput Berkeriput Berkeriut parah (Keriput) 0-19 20-52 53-100



2.7



Masker clay Masker wajah adalah masker kecantikan yang berwujud sediaan gel, pasta



dan serbuk yang dioleskan untuk membersihkan dan mengencangkan kulit, terutama kulit wajah. Masker wajah juga berfungsi sebagai pembawa bahan aktif yang berguna bagi kesehatan kulit, seperti ekstrak tumbuhan, minyak esensial, atau bahan yang diserap oleh permukaan kulit untuk dibawa ke dalam sirkulasi darah (Novita, 2009). Masker wajah sangat disukai dari sifatnya yang dapat mengencangkan kulit dan efek pembersih kulit. Karakteristik khusus dari sediaan masker adalah mudah digunakan dan dibersihkan, waktu untuk pengeringan yang sangat cepat.



22 Universitas Sumatera Utara



Salah satu sediaan masker wajah yang sangat populer adalah tipe wash-off dengan basis clay, yang sering disebut dengan clay facial masks (Gaffney, 1992). Masker wajah dengan tipe clay telah banyak digunakan karena kemampuannya yang mampu meremajakan kulit. Perubahan kulit terasa ketika masker mulai memberikan efek yang menarik lapisan kulit ketika masker mengering. Sensasi ini menstimulasi sensasi penyegaran kulit dimana clay jenis pasta



mampu



mengangkat



kotoran dari



wajah.



Kotoran



dan



komede



terangkat ketika sediaan dicuci dari kulit wajah. Efek setelah penggunaan masker adalah kulit yang tampak cerah dan bersih (Harry, 2000). Kegunaan utama masker tipe clay ini adalah membersihkan dan melembapkan. Bahan yang digunakan adalah kaolin, bentonit dan sebagainya. Masker ini mengandung surfaktan dan air sehingga mampu melunakkan dan membersihkan sebum kulit yang telah mengeras (Mitsui, 1997).



2.8



Bahan Pembuatan Masker Clay



1.



Bentonite Bentonit merupakan lempung yang mempunyai sifat plastis dan koloidal



tinggi dengan kandungan utama mineral smektit (mon-morillonit) (Buchari dan Harsini, 1996). Bentonite adalah bahan pelembut yang dapat menyerap kotoran yang menyumbat pori-pori kulit wajah (Fauziah, 2017). 2.



Kaolin Kaolin merupakan masa batuan yang tersusun dari material lempung



dengan kandungan besi yang rendah dan umumnya berwarna putih atau agak keputihan. Kaolin merupakan bahan pengental pada sediaan masker yang



23 Universitas Sumatera Utara



berfungsi menyerap kotoran pada pori-pori, memperhalus kulit wajah, mencegah timbulnya jerawat serta memperlancar peredaran darah (Fauziah, 2017). 3.



Natrium metabisulfit Natrium metabisulfit merupakan zat yang umumnya digunakan sebagai



antioksidan pada sediaan topikal (0,01-1,0%). Natrium metabisulfit merupakan antioksidan yang larut air yang digunakan untuk mengatasi kerusakan bahan akibat adanya oksidasi (Rowe, dkk, 2009). 4.



Nipagin Nipagin berbentuk kristal tidak berwarna atau serbuk ktristal putih, tidak



berbau atau hampir tidak berbau dan berasa sedikit terbakar. Nipagin umumnya digunakan sebagai pengawet dalam kosmetik, produk makanan, dan formulasi farmasetik (Rowe, dkk., 2009). 5.



Gliserin Gliserin



tidak berwarna,



tidak berbau,



cairan kental



bersifat



higroskopis yang berasa manis (Rowe, dkk., 2009). Gliserin adalah humektan karena gliserin merupakan salah satu bahan yang dapat mengikat air pada sediaan agar tidak menguap, menstabilkan sediaan dan sebagai pelembab (Hendradi, et al., 2013). 6.



Xanthan gum Xanthan gum berupa bubuk berwarna krem yang cepat larut dalam air



panas atau dingin membentuk larutan kental. Xanthan gum adalah bahan pengental berfungsi meningkatkan viskositas sediaan (Aryani dan Widjaja, 2015). 7.



Titanium dioksida Titanium dioksida berupa kristal padat, /putih, tidak berbau, tidak berasa.



24 Universitas Sumatera Utara



Titanium dioksdia merupakan pigmen sintesis yang berwarna putih dan termasuk ke dalam zat pemburam warna kosmetik (BPOM, 2012). Pencampuran titanium dioksida dan bentonite menghasilkan sediaan berwarna putih (Wibowo, 2017). 8.



Sodium lauril sulfat Sodium lauril sulfat adalah surfaktan anionik yang digunakan dalam



sediaan farmasetik dan kosmetik yang berfungsi sebagai pembersih dan zat pembasah. Sodium Lauril Sulfat berbentuk kristal berwarna putih hingga kuning pucat (Rowe, dkk., 2009). Sodium lauril sulfat berfungsi dengan baik dan kuat dalam membersihkan kotoran dan minyak (Faisal, 2017).



25 Universitas Sumatera Utara



BAB III METODE PENELITIAN



Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental. Penelitian meliputi tahapan penyiapan sampel, identifikasi sampel, pembuatan ekstrak ubi jalar ungu, pembuatan sediaan masker clay, evaluasi terhadap mutu fisik sediaan yaitu uji homogenitas, uji stabilitas sediaan berupa perubahan warna, bau, dan konsistensi sediaan, uji pH, uji waktu sediaan mengering, uji iritasi dan uji efektivitas sediaan sebagai anti-aging terhadap perawatan kulit sukarelawan. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biologi dan Laboratorium Kosmetologi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.



3.1



Alat dan Bahan



3.1.1 Alat Alat-alat yang digunakan adalah alat-alat gelas, alu, aluminium foil, batang pengaduk, blender, cawan porselin, corong, kertas perkamen, kertas saring, kurs porselen, lemari pengering, lumpang, mikroskop, moisture checker (Aramo Huvis), neraca analitik (Boeco), penangas air, pH meter (Hanna Instrument), perkolator, pipet tetes, pot, rotary evaporator, spatula, sudip dan skin analyzer (Aroma-SG). 3.1.2 Bahan Bahan-bahan yang digunakan adalah akuades, asam asetat glasial, asam klorida 2N, asam sulfat 2N, asam sulfat pekat, etanol 96%, FeCl3 10%, gliserin, kaolin, isopropanol, kloralhidrat, kloroform, larutan dapar pH asam (4,01), larutan



26 Universitas Sumatera Utara



dapar pH netral (7,01), natrium metabisulfit, nipagin, pereaksi Bouchardat, pereaksi Dragendorff, pereaksi Meyer, pereaksi Molisch, pewangi mawar, sodium lauril sulfat, timbal (II) asetat, titanium dioksida, toluena, ubi jalar ungu (Ipomoea batatas L.) dan xanthan gum.



3.2



Penyiapan Sampel



3.3.2 Pengambilan sampel Pengumpulan bahan tumbuhan dilakukan secara purposif, yaitu tanpa membandingkan dengan daerah lain. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ubi jalar ungu yang diperoleh dari Pasar Sore Padang Bulan, Medan. 3.3.3 Identifikasi sampel Identifikasi sampel dilakukan di Laboratorium Herbarium Medanese (MEDA) Universitas Sumatera Utara, Medan. 3.3.4 Pengolahan simplisia Bahan tumbuhan yang digunakan adalah ubi jalar ungu. Kulitnya dipisahkan dari daging, kemudian dicuci hingga bersih lalu daging umbinya dirajang-rajang dan ditimbang sebagai berat basah, lalu dikeringkan dalam lemari pengering selama 4 hari dengan temperatur ±400C hingga kering yang ditandai dengan simplisia mudah dipatahkan. Simplisia tersebut ditimbang sebagai berat kering, diblender dan ditimbang sebagai berat serbuk simplisia lalu dimasukkan ke dalam kantong plastik, diberi etiket dan disimpan di tempat kering.



3.3



Pembuatan Larutan Pereaksi Pembuatan pereaksi asam klorida 2N, Mayer, Dragendorff, Bouchardat,



27 Universitas Sumatera Utara



Molish, Lieberman-Bouchardat, besi (III) klorida 1%, timbal (II) asetat 0,4 M dan asam sulfat 2N (Ditjen POM, 1995). 3.3.1 Pereaksi asam klorida 2N Sebanyak 17 ml asam klorida pekat diencerkan dengan air suling sampai 100 ml. 3.3.2 Pereaksi Mayer Sebanyak 5 g kalium iodida dalam 10 ml air suling kemudian ditambahkan larutan 1,36 g merkuri (II) klorida dalam 60 ml air suling. Larutan dikocok dan ditambahkan air suling hingga 100 ml. 3.3.3 Pereaksi Dragendorff Sebanyak 8 g bismut nitrat dilarutkan dalam asam nitrat pekat 20 ml kemudian dicampur dengan larutan kalium iodida sebanyak 27,2 g dalam 50 ml air suling. Campuran didiamkan sampai memisah sempurna. Larutan jernih diambil dan diencerkan dengan air secukupnya hingga 100 ml. 3.3.4 Pereaksi Bouchardat Sebanyak 4 g kalium iodida ditimbang, dilarutkan dalam air suling secukupnya, kemudian sebanyak 2 g iodium dilarutkan dalam larutan kalium iodida, setelah larut dicukupkan volume dengan air suling hingga 100 ml. 3.3.5 Pereaksi Molish Sebanyak 3 g α-naftol dilarutkan dalam asam nitrat 0,5 N secukupnya hingga diperoleh larutan 100 ml. 3.3.6 Pereaksi Liebermann-Burchard Campur secara perlahan 5 ml asam asetat anhidrida dengan 5 ml asam sulfat pekat tambahkan etanol hingga 50 ml.



28 Universitas Sumatera Utara



3.3.7 Pereaksi besi (III) klorida 1% Sebanyak 1 g besi (III) klorida dilarutkan dalam air suling hingga 100 ml kemudian disaring 3.3.8 Pereaksi timbal (II) asetat Sebanyak 15,17 g timbal (II) asetat ditimbang, kemudian dilarutkan dalam air suling bebas karbondioksida hingga 100 ml. 3.3.9 Pereaksi asam sulfat 2 N Sebanyak 5,5 ml asam sulfat pekat diencerkan dengan air suling hingga 100 ml.



3.4



Pemeriksaan Karakteristik Simplisia



3.4.1 Pemeriksaan makroskopik Pemeriksaan makroskopik dilakukan dengan cara mengamati bentuk, ukuran, bau, rasa dan warna dari simplisia. 3.4.2 Pemeriksaan mikroskopik Pemeriksaan mikroskopik terhadap simplisia dilakukan dengan cara menaburkan serbuk di atas kaca objek yang telah diteteskan dengan larutan kloralhidrat dan ditutup dengan kaca penutup kemudian diamati di bawah mikroskop. 3.4.3 Penetapan kadar air Penetapan kadar air dilakukan berdasarkan metode Azeotropi (destilasi toluene. Dimasukkan 200 ml toluena dan 2 ml air suling ke dalam labu alas bulat, lalu didestilasi selama 2 jam. Setelah itu, toluena dibiarkan mendingin selama 30 menit, dan dibaca volume air pada tabung penerima dengan ketelitian 0,05 ml.



29 Universitas Sumatera Utara



Kemudian ke dalam labu tersebut dimasukkan 5 g serbuk simplisia yang telah ditimbang seksama, labu dipanaskan hati-hati selama 15 menit. Setelah toluena mendidih, kecepatan tetesan diatur lebih kurang 2 tetes tiap detik sampai sebagian besar air terdestilasi, kemudian kecepatan tetesan dinaikkan hingga 4 tetes tiap detik. Setelah semua air terdestilasi, bagian dalam pendingin dibilas dengan toluen. Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, kemudian tabung penerima dibiarkan mendingin pada suhu kamar. Setelah air dan toluen memisah sempurna, volume air dibaca dengan ketelitian 0,05 ml. Selisih kedua volume air yang dibaca sesuai dengan kandungan air yang terdapat dalam bahan yang diperiksa. Kadar air dihitung dalam persen (Depkes RI, 1995). 3.4.4 Penetapan kadar sari larut dalam etanol Sebanyak 5 g serbuk yang telah dikeringkan di udara, dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml etanol 96% dalam labu bersumbat sambil dikocok sesekali selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam. Kemudian disaring cepat untuk menghindari penguapan etanol. Sejumlah 20 ml filtrat diuapkan sampai kering dalam cawan penguap yang berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara. Sisa dipanaskan pada suhu 105oC sampai bobot tetap. Kadar dalam persen sari yang larut dalam etanol 96% dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes RI, 1995). 3.4.5 Penetapan kadar sari larut dalam air Sebanyak 5 g serbuk yang telah dikeringkan di udara, dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml air-kloroform (2,5 ml kloroform dalam air suling sampai 1 liter) dalam labu bersumbat sambil dikocok sesekali selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam, lalu disaring. Sejumlah 20 ml filtrat pertama



30 Universitas Sumatera Utara



diuapkan sampai kering dalam cawan penguap yang berdasar rata yang telah ditara dan sisa dipanaskan pada suhu 105oC sampai bobot tetap. Kadar dalam persen sari yang larut dalam air dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes RI, 1995). 3.4.6 Penetapan kadar abu total Sebanyak 2 g serbuk yang telah digerus dan ditimbang seksama dimasukkan dalam krus porselin yang telah dipijar dan ditara, kemudian diratakan. Krus dipijar perlahan-lahan sampai arang habis, pijaran dilakukan pada suhu 600oC selama 3 jam kemudian didinginkan dan ditimbang sampai diperoleh bobot tetap. Kadar abu dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes RI, 1995). 3.4.7 Penetapan kadar abu tidak larut asam Abu yang diperoleh dalam penetapan kadar abu dididihkan dalam 25 ml asam klorida encer selama 5 menit, bagian yang tidak larut dalam asam dikumpulkan, disaring dengan kertas saring bebas abu, cuci dengan air panas, dipijarkan, kemudian didinginkan dan ditimbang sampai bobot tetap. Kadar abu yang tidak larut dalam asam dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes RI, 1995).



3.5



Skrining Fitokimia Simplisia dan Ekstrak Ubi Jalar Ungu



3.5.1 Pemeriksaan alkaloida Ditimbang masing masing simplisia dan ekstrak ±0,5 g lalu ditambahkan sebanyak 1 ml asam klorida 2 N dan 9 ml air suling, dipanaskan di atas penangas air selama 2 menit, didinginkan dan disaring. Filtrat yang diperoleh dipakai untuk



31 Universitas Sumatera Utara



tes alkaloid. Diambil 3 tabung reaksi, lalu ke dalamnya dimasukkan 0,5 ml filtrat. Pada masing-masing tabung reaksi: a. Ditambahkan 2 tetes pereaksi Mayer b. Ditambahkan 2 tetes pereaksi Bouchardat c. Ditambahkan 2 tetes pereaksi Dragendorff Alkaloid positif jika terjadi endapan atau kekeruhan pada dua dari tiga percobaan diatas (Depkes RI, 1995). 3.5.2 Pemeriksaan tanin Ditimbang masing masing simplisia dan ekstrak ±0,5 g, disari dengan 10 ml air suling lalu disaring, filtratnya diencerkan dengan air sampai tidak berwarna. Larutan diambil sebanyak 2 ml dan ditambahkan 1-2 tetes pereaksi besi (III) klorida 1%. Jika terjadi warna biru atau hijau kehitaman menunjukkan adanya tanin (Farnsworth, 1966). 3.5.3 Pemeriksaan saponin Ditimbang masing-masing simplisia dan ekstrak sebanyak ±0,5 g dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan 10 ml air panas, didinginkan, kemudian dikocok kuat-kuat selama 10 menit. Jika terbentuk busa setinggi 1-10 cm yang stabil tidak kurang dari 10 menit dan buih tidak hilang dengan penambahan 1 tetes asam klorida 2 N menunjukkan adanya saponin (Depkes RI, 1995). 3.5.4 Pemeriksaan flavonoid Ditimbang masing-masing simplisia dan ekstrak sebanyak ±0,5 g dan ditambahkan 20 ml air panas, dididihkan selama 10 menit dan disaring dalam keadaan panas, ke dalam 5 ml filtrat ditambahkan 0,1 g serbuk magnesium dan 1



32 Universitas Sumatera Utara



ml asam klorida pekat dan 2 ml amil alkohol, dikocok dan dibiarkan memisah. Flavonoida positif jika terjadi warna merah, kuning, jingga pada lapisan amil alkohol (Farnsworth, 1966). 3.5.5 Pemeriksaan steroida/triterpenoida Ditimbang masing-masing simplisia dan ekstrak sebanyak ±1 g, dimaserasi dengan 20 ml n-heksan selama 2 jam, disaring. Filtrat diuapkan dalam cawan penguap dan pada sisanya ditambahkan pereaksi Liebermann-Burchard melalui dinding cawan. Apabila terbentuk warna ungu atau merah yang berubah menjadi biru ungu atau biru hijau menunjukkan adanya triterpenoid/steroid (Farnsworth, 1966).



3.6



Pembuatan Ekstrak Ubi Jalar Ungu Pembuatan ekstrak ubi jalar ungu (Ipomoea batatas L.) dilakukan secara



perkolasi dengan menggunakan pelarut etanol 96%. Cara pembuatan: 10 bagian serbuk simplisia direndam dan didiamkan dengan 2,5-5 bagian etanol 96% sebanyak selama 3 jam dalam wadah tertutup. Dipindahkan massa tersebut sedikit demi sedikit ke dalam perkolator sambil tiap kali ditekan hati-hati, ditambahkan etanol secukupnya sampai simplisia terendam dan diatas simplisia masih terdapat cairan penyari diatasnya, perkolator ditutup dengan aluminium foil dan dibiarkan selama 24 jam. Kemudian kran perkolator dibuka dan dibiarkan cairan ekstrak menetes dengan kecepatan 20 tetes per menit dan ditambahkan etanol berulang-ulang secukupnya sehingga selalu terdapat cairan penyari sama dengan kecepatan tetesan perkolat. Pindahkan perkolat ke dalam tempat yang tertutup. Perkolasi dihentikan, jika 500 ml perkolat yang



33 Universitas Sumatera Utara



terakhir diuapkan, tidak meninggalkan sisa. Perkolat dipekatkan dengan rotary o



evaporator pada suhu 40-50 C sampai diperoleh ekstrak kental (Ditjen POM, 1979).



3.7



Sukarelawan Sukarelawan yang dijadikan panelis pada penelitian ini adalah sebanyak 12



orang mahasiswi Fakultas Farmasi USU dengan kriteria sebagai berikut: 1. Wanita berbadan sehat 2. Usia antara 20 – 25 3. Tidak ada riwayat penyakit yang berhubungan dengan alergi 4. Bersedia menjadi sukarelawan



3.8



Formula



3.8.1 Formula standar masker clay Formula standar yang digunakan (Harry,2000) R/



Bentonite



1 to 8%



Xanthan Gum



0,1 to 1,0%



Kaolin



5 to 40%



Gliserin



2 to 10%



Sodium Lauril Sulfat



2 to 20%



TiO2



< 1%



Nipagin



< 1%



Parfum



q.s



Aquadest



ad



100%



34 Universitas Sumatera Utara



3.8.2 Formula orientasi basis masker clay R/



Bentonite



1%



Xanthan Gum



0,8%



Kaolin



34%



Gliserin



5%



Sodium Lauril Sulfat



2%



TiO2



0,5%



Nipagin



0,1%



Na. Metabisulfit



0,2%



Parfum mawar



q.s



Aquadest



ad



100%



Cara Pembuatan untuk formula basis masker 100 g yaitu 27 ml akuades dituangkan dalam lumpang dan ditambahkan 1 g bentonit. Bentonit dibiarkan terbasahi lalu ditambahkan 0,8 g xanthan gum dan digerus cepat sampai seluruh gum melarut. Sebanyak 34 g kaolin ditambahkan sedikit demi sedikit dalam lumpang sambil digerus dan ditambahkan 0,5 g TiO2 dan 5 g gliserin dalam lumpang. Disamping itu, dilarutkan 0,2 g natrium metabisulfit dengan 0,1 g nipagin dalam 20 ml air panas (Larutan A) dan juga 2 g sodium lauril sulfat dilarutkan dalam 9,4 ml akuades (Larutan B). Larutan A dituangkan kemudian digerus pelan setelah itu tuangkan perlahan-lahan larutan B dan gerus perlahan sampai terbentuk masker clay homogen. 3.8.3 Formulasi sediaan masker clay ekstrak ubi jalar ungu Masker clay dibuat dalam 4 formula yang dibedakan oleh konsentrasi ekstrak ubi jalar ungu. Sediaan masker clay dibuat berdasarkan formula standar



35 Universitas Sumatera Utara



masker clay (Harry, 2000). Ekstrak ubi jalar ungu digunakan sebagai bahan aktif. Konsentrasi ekstrak yang digunakan untuk membuat masker clay anti aging adalah 1%, 3% dan 5% dalam komposisi basis yang sama. Sebagai blanko digunakan masker clay tanpa ekstrak ubi jalar ungu. Formula sediaan masker clay dapat dilihat pada Tabel 3.1. Tabel 3.1 Formula sediaan masker clay ubi jalar ungu Konsentrasi ( gram) FI FII 1 3 1 1 0,8 0,8 34 34 5 5 2 2 0,5 0,5 0,1 0,1 0,2 0,2 q.s q.s Ad 100 Ad 100



Bahan F0 Ekstrak Ubi Jalar Ungu 0 Bentonite 1 Xanthan gum 0,8 Kaolin 34 Gliserin 5 Sodium Lauril Sulfat 2 TiO2 0,5 Nipagin 0,1 Na. Metabisulfit 0,2 Pewangi mawar q.s Aquadest Ad 100 Keterangan : F0 : Masker clay tanpa ekstrak (blanko) FI : Masker clay dengan ekstrak ubi jalar ungu 1% FII : Masker clay dengan ekstrak ubi jalar ungu 3% FIII : Masker clay dengan ekstrak ubi jalar ungu 5%



FIII 5 1 0,8 34 5 2 0,5 0,1 0,2 q.s Ad 100



Cara pembuatan untuk formula yang mengandung ekstrak ubi jalar ungu adalah basis masker yang telah dibuat lalu ditambahkan ekstrak ubi jalar ungu sesuai dengan berat yang ditentukan dalam formula.



3.9



Evaluasi Mutu Fisik Sediaan



3.9.1 Pemeriksaan homogenitas Uji homogenitas dilakukan dengan menggunakan objek gelas. Sejumlah tertentu sediaan jika dioleskan pada sekeping kaca atau bahan transparan lain yang



36 Universitas Sumatera Utara



cocok, sediaan harus menunjukkan susunan yang homogen dan tidak terlihat adanya butiran kasar (Ditjen POM RI., 1979). 3.9.2 Pengamatan stabilitas Masing-masing formula sediaan dimasukkan ke dalam pot plastik dengan masing-masing konsentrasi seberat 50 g, disimpan pada suhu kamar dan diukur parameter-parameter kestabilan meliputi bau, warna, dan konsistensi sediaan masker clay. Pengamatan stabilitas sediaan masker clay dievaluasi setiap minggu selama penyimpanan 12 minggu (Sembiring, 2016). 3.9.3 Pengukuran pH sediaan Pengukuran pH sediaan dilakukan dengan menggunakan pH meter. Alat terlebih dahulu dikalibrasi menggunakan larutan dapar netral (pH 7,01) dan larutan dapar pH asam (pH 4,01) hingga alat menunjukkan harga pH tersebut, Kemudian elektroda dicuci dengan air suling, lalu dikeringkan dengan tisu. Sampel dibuat dalam konsentrasi 1% yaitu ditimbang 1 gram sediaan dan dilarutkan dalam 100 ml air suling. Kemudian elektroda dicelupkan dalam larutan tersebut. Dibiarkan alat menunjukkan harga pH sampai konstan. Angka yang ditunjukkan pH meter merupakan pH sediaan (Rawlins, 2002). Dilakukan pengukuran pH dengan tiga kali pengulangan setiap minggu selama dua belas minggu pada suhu kamar. 3.9.4 Pengukuran lama pengeringan masker Pengukuran lama pengeringan dilakukan pada suhu kamar dengan cara mengoleskan 0,5 gram sediaan masker pada daerah wajah yang ditandai lalu diukur waktu hingga sediaan mengering. Dilakukan tiga kali pengukuran lama pengeringan dengan sukarelawan yang berbeda-beda (Umayah, 2016).



37 Universitas Sumatera Utara



3.9.5 Uji iritasi terhadap kulit sukarelawan Uji iritasi dilakukan terhadap sediaan masker clay ekstrak ubi jalar ungu untuk mengetahui masker clay yang dibuat dapat menimbulkan iritasi pada kulit atau tidak. (Ditjen POM RI, 1985). Uji iritasi dilakukan dengan mengoleskan 0,5 gram sediaan masker clay di kulit belakang telinga dengan diameter 2,5 cm x 2,5 cm, kemudian dibiarkan selama 24 jam dan diamati reaksi yang terjadi. Reaksi iritasi positif ditandai dengan adanya kemerahan, gatal-gatal, atau bengkak pada daerah yang diberi perlakuan (Ditjen POM RI, 1985). 3.9.6 Pengujian efektivitas anti-aging Pengujian efektivitas anti-aging terhadap sukarelawan dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu : a. Kelompok I



: 3 pengujian terhadap formula masker clay F0 (blanko)



b. Kelompok II



: 3 pengujian terhadap formula masker clay FI (1 %)



c. Kelompok III



: 3 pengujian terhadap formula masker clay FII (3%)



d. Kelompok IV



: 3 pengujian terhadap formula masker clay FIII (5 %)



Semua sukarelawan diukur kondisi awal kulit pada area uji yang telah ditandai yang meliputi: kadar air (moisture), kehalusan (evenness), pori (pore), noda (spot) dan keriput (wrinkle) dengan menggunakan skin analyzer. Masker clay diaplikasikan berdasarkan kelompok yang telah ditetapkan di atas. Perubahan kondisi kulit diukur saat sebelum aplikasi masker clay dan setelah aplikasi masker clay setiap minggu selama 4 minggu dengan menggunakan alat skin analyzer. 3.9.7 Analisis data



38 Universitas Sumatera Utara



Data hasil penelitian dianalisis menggunakan program IBM SPSS (Statistical Product and Service Solution) 21. Data terlebih dahulu dianalisis kenormalannya



menggunakan



Shapiro-Wilk



Test



untuk



menentukan



normalitasnya. Selanjutnya data dianalisis menggunakan Kruskal Wallis Test untuk mengetahui adanya perbedaan efektivitas anti-aging terhadapa kondisi kulit wajah diantara semua formula. Data selanjutnya diuji menggunakan MannWhitney Test untuk mengetahui formula mana yang memiliki perbedaan efektivitas anti aging. Selanjutnya untuk menganalisis perubahan kondisi kulit selama empat minggu perawatan digunakan Friedman test. Jika terdapat nilai signifikan p