Fraktur Elbow [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

FRAKTUR ELBOW DISTAL HUMERUS MAKALAH Untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah 3 Dosen pengampuh : Dr. Haryono S. Kep, Ns., M. Kep



Disusun Oleh : Kelompok 3 1. Lilik Andriani



(173210017)



2. Lulus Indra Susila



(173210019)



3. Moh. Singgih P



(173210021)



4. Zain Rahma Afifah



(173210040)



5. Desi Tisna D. B



(173210041)



6. Ade Gita B



(173210103)



PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN INSAN CENDEKIA MEDIKA JOMBANG 2019



KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan karunia-Nya sehingga makalah dengan judul “Fraktur Elbow Distal Humerus” ini dapat diselesaikan. Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah 3. Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dan ketidaksempurnaan dalam penyusunan makalah ini akibat keterbatasan ilmu dan pengalaman penulis. Oleh karena itu, semua saran dan kritik akan menjadi sumbangan yang sangat berarti guna menyempurnakan makalah ini. Penulis mengharapkan makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.



Jombang, 17 Oktober 2019



Penulis



i



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR ................................................................................... i DAFTAR ISI ................................................................................................. ii



BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1 1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1 1.2 Tujuan ...................................................................................................... 2 1.3 Manfaat .................................................................................................... 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................. 3 2.1 Definisi ..................................................................................................... 3 2.2 Etiologi ..................................................................................................... 3 2.3 Anatomi Humerus dan Jaringan Sekitarnya ............................................. 3 2.4 Epidemiologi ............................................................................................ 6 2.5 Klasifikasi ................................................................................................ 6 2.6 Pemeriksaan Radiologis ......................................................................... 11 2.7 Penatalaksanaan ..................................................................................... 12 2.8 Komplikasi ............................................................................................. 14 2.9 Asuhan keperawatan .............................................................................. 15 BAB III PENUTUP .................................................................................... 25 3.1 Simpulan ................................................................................................ 25 3.2 Saran ....................................................................................................... 25



DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 26



ii



iii



BAB I PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang Fraktur humerus merupakan diskontinuitas jaringan tulang humerus. Fraktur tersebut umumnya disebabkan oleh trauma. Selain dapat menimbulkan patah tulang (fraktur), trauma juga dapat mengenai jaringan lunak sekitar tulang humerus tersebut, misalnya vulnus (luka), perdarahan, memar (kontusio), regangan atau robek parsial (sprain), putus atau robek (avulsi atau ruptur), gangguan pembuluh darah, dan gangguan saraf (neuropraksia, aksonotmesis, neurolisis). Setiap fraktur dan kerusakan jaringan lunak sekitar tulang tersebut harus ditanggulangi sesuai dengan prinsip penanggulangan cedera muskuloskeletal. Prinsip tersebut meliputi rekognisi



(mengenali),



reduksi



(mengembalikan),



retaining



(mempertahankan) dan rehabilitasi. Humerus memiliki lekukan kecil tepat pada superior dari anterior kondilus, fosa radial (lateral) dan fosa koronoideus (medial) memungkinkan humerus untuk menempel dengan kepala radius dan prosesus koronoideus ulna ketika melakukan fleksi penuh. Pada bagian sentral dari humerus posterior di atas troklea dari kondilus humeri terdapat fosa olecranon, yang memungkinkan humerus untuk menempel dengan olecranon ulna ketika melakukan ekstensi. Sendi siku memiliki membran sinovial yang melapisi kapsul sendi yang berdampingan antara sendi engsel dan sendi radioulnar. Lapisan sinovial menutupi permukaan internal dari kapsul sendi fibrosa dan permukaan nonarticular dari sendi intrakapsul. Aspek superior dari kapsul sendi dimulai dari superior fossa koronoideus dan olekranon dan berlanjut ke bagian inferior, melapisi hingga proksimal artikulasi radius-ulna. Di medial, kapsul sendi menebal untuk membentuk ligamen kolateral medial atau ulnaris, yang memanjang dari epikondilus medialis humerus ke koronoid dan olekranon ulna. Ligamen kolateral ulna adalah penebalan segitiga dengan tiga pita utama.



1



1.2. Tujuan Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui tentang fraktur distal humerus. 1.3. Manfaat Manfaat penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan pemahaman mengenai fraktur humerus sehingga dapat diterapkan dalam menangani kasus-kasus fraktur humerus di klinik sesuai kompetensi.



2



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



2.1



Defenisi Fraktur humerus adalah hilangnya kontinuitas tulang , tulang rawan sendi, tulang rawan epifisial baik yang bersifat total maupun parsial pada tulang humerus.



2.2



Etiologi Kebanyakan fraktur dapat saja terjadi karena kegagalan tulang humerus menahan tekanan terutama tekanan membengkok, memutar, dan tarikan. Trauma dapat bersifat: 1. Langsung Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan terjadi fraktur pada daerah tekanan. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat kominutif dan jaringan lunak ikut mengalami kerusakan. 2. Tidak langsung Trauma tidak langsung terjadi apabila trauma dihantarkan ke daerah yang lebih jauh dari daerah fraktur. Tekanan pada tulang dapat berupa: a) Tekanan berputar yang menyebabkan fraktur bersifat oblik atau spiral. b) Tekanan membengkok yang menyebabkan fraktur transversal. c) Tekanan sepanjang aksis tulang yang dapat menyebabkan fraktur impaksi, dislokasi, atau fraktur dislokasi. d) Kompresi vertikal yang dapat menyebabkan fraktur kominutif atau memecah. e) Trauma oleh karena remuk. f) Trauma karena tarikan pada ligament atau tendon akan menarik sebagian tulang.



2.3



Anatomi Humerus dan Jaringan Sekitarnya Humerus (arm bone) merupakan tulang terpanjang dan terbesar dari ekstremitas superior. Tulang tersebut bersendi pada bagian proksimal dengan skapula dan pada bagian distal bersendi pada siku lengan dengan dua



3



tulang, ulna dan radius. Ujung proksimal humerus memiliki bentuk kepala bulat (caput humeri) yang bersendi dengan kavitas glenoidalis dari scapula untuk membentuk articulatio gleno-humeri. Pada bagian distal dari caput humeri terdapat collum anatomicum yang terlihat sebagai sebuah lekukan oblik. Tuberculum majus merupakan sebuah proyeksi lateral pada bagian distal dari collum anatomicum. Tuberculum majus merupakan penanda tulang bagian paling lateral yang teraba pada regio bahu. Antara tuberculum majus dan tuberculum minus terdapat sebuah lekukan yang disebut sebagai sulcus intertubercularis. Collum chirurgicum merupakan suatu penyempitan humerus pada bagian distal dari kedua tuberculum, dimana caput humeri perlahan berubah menjadi corpus humeri. Bagian tersebut dinamakan collum chirurgicum karena fraktur sering terjadi pada bagian ini. Corpus humeri merupakan bagian humerus yang berbentuk seperti silinder pada ujung proksimalnya, tetapi berubah secara perlahan menjadi berbentuk segitiga hingga akhirnya menipis dan melebar pada ujung distalnya. Pada bagian lateralnya, yakni di pertengahan corpus humeri, terdapat daerah berbentuk huruf V dan kasar yang disebut sebagai tuberositas deltoidea. Daerah ini berperan sebagai titik perlekatan tendon musculus deltoideus. Beberapa bagian yang khas merupakan penanda yang terletak pada bagian distal dari humerus. Capitulum humeri merupakan suatu struktur seperti tombol bundar pada sisi lateral humerus, yang bersendi dengan caput radii. Fossa radialis merupakan suatu depresi anterior di atas capitulum humeri, yang bersendi dengan caput radii ketika lengan difleksikan. Trochlea humeri, yang berada pada sisi medial dari capitulum humeri, bersendi dengan ulna. Fossa coronoidea merupakan suatu depresi anterior yang menerima processus coronoideus ulna ketika lengan difleksikan. Fossa olecrani merupakan suatu depresi posterior yang besar yang menerima olecranon ulna ketika lengan diekstensikan. Epicondylus medialis dan epicondylus lateralis merupakan suatu proyeksi kasar pada sisi medial dan lateral dari ujung distal humerus, tempat kebanyakan tendon otot-otot lengan menempel. Nervus ulnaris, suatu saraf yang dapat membuat seseorang merasa sangat nyeri ketika siku lengannya terbentur, dapat



4



dipalpasi menggunakan jari tangan pada permukaan kulit di atas area posterior dari epicondylus medialis. Di bagian posterior tengah humerus, melintas nervus radialis yang melingkari periosteum diafisis humerus dari proksimal ke distal dan mudah mengalami cedera akibat patah tulang humerus bagian tengah. Secara klinis, pada cedera nervus radialis didapati ketidakmampuan melakukan ekstensi pergelangan tangan sehingga pasien tidak mampu melakukan fleksi jari secara efektif dan tidak dapat menggenggam.



Gambar 2.1. Nervus Radialis dan Otot-Otot yang Disarafinya.



5



2.4



Epidemiologi Di Amerika Serikat, fraktur diafisis humerus terjadi sebanyak 1,2% kasus dari seluruh kejadian fraktur, dan fraktur proksimal humerus terjadi sebanyak 5,7% kasus dari seluruh fraktur. Sedangkan kejadian fraktur distal humerus terjadi sebanyak 0,0057% kasus dari seluruh fraktur. Walaupun berdasarkan data tersebut fraktur distal humerus merupakan yang paling jarang terjadi, tetapi telah terjadi peningkatan jumlah kasus, terutama pada wanitu tua dengan osteoporosis. Fraktur proksimal humerus sering terjadi pada usia dewasa tua dengan umur rata-rata 64,5 tahun. Sedangkan fraktur proksimal humerus merupakan fraktur ketiga yang paling sering terjadi setelah fraktur pelvis dan fraktur distal radius. Fraktur diafisis humerus lebih sering pada usia yang sedikit lebih muda yaitu pada usia rata-rata 54,8 tahun.



2.5



Klasifikasi Fraktur humerus dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Fraktur Proximal Humerus 2. Fraktur Shaft Humerus 3. Fraktur Distal Humerus 2.5.1 Fraktur Proksimal Humerus Pada fraktur jenis ini, insidensinya meningkat pada usia yg lebih tua yang terkait dengan osteoporosis. Perbandingan wanita dan pria adalah 2:1. Mekanisme trauma pada orang dewasa tua biasa dihubungkan dengan kerapuhan tulang (osteoporosis). Pada pasien dewasa muda, fraktur ini dapat terjadi karena high-energy trauma, contohnya kecelakaan lalu lintas sepeda motor. Mekanisme yang jarang terjadi antara lain peningkatan abduksi bahu, trauma langsung, kejang, proses patologis: malignansi. Gejala klinis pada fraktur ini adalah nyeri, bengkak, nyeri tekan, nyeri pada saat digerakkan, dan dapat teraba krepitasi. Ekimosis dapat terlihat dinding dada dan pinggang setelah terjadi cedera. Hal ini harus dibedakan dengan cedera toraks.



6



2.5.2 Fraktur Shaft Humerus Fraktur ini adalah fraktur yang sering terjadi. 60% kasus adalah fraktur sepertiga tengah diafisis, 30% fraktur sepertiga proximal diafisis dan 10% sepertiga distal diafisis. Mekanisme terjadinya trauma dapat secara langsung maupun tidak langsung. Gejala klinis pada jenis fraktur ini adalah nyeri, bengkak, deformitas, dan dapat terjadi pemendekan tulang pada tangan yang fraktur.



Pemeriksaan



neurovaskuler



adalah



penting



dengan



memperhatikan fungsi nervus radialis. Pada kasus yang sangat bengkak, pemeriksaan neurovaskuler serial diindikasikan untuk mengenali tandatanda dari sindroma kompartemen. Pada pemeriksaan fisik terdapat krepitasi pada manipulasi lembut. Deskripsi klasifikasi fraktur shaft humerus : a. Fraktur terbuka atau tertutup b. Lokasi : sepertiga proksimal, sepertiga tengah, sepertiga distal c. Derajat : dengan pergeseran atau tanpa pergeseran d. Karakter : transversal, oblique, spiral, segmental, komunitif e. Kondisi intrinsik dari tulang f. Ekstensi articular 2.5.3 Fraktur Distal Humerus Fraktur ini jarang terjadi pada dewasa. Kejadiannya hanya sekitar 2% untuk semua kejadian fraktur dan hanya sepertiga bagian dari seluruh kejadian fraktur humerus. Mekanisme cedera untuk fraktur ini dapat terjadi karena trauma langsung atau trauma tidak langsung. Trauma langsung contohnya adalah apabila terjatuh atau terpeleset dengan posisi siku tangan menopang tubuh atau bisa juga karena siku tangan terbentur atau dipukul benda tumpul. Trauma tidak langsung apabila jatuh dalam posisi tangan menopang tubuh namun posisi siku dalam posisi tetap lurus. Hal ini biasa terjadi pada orang dewasa usia pertengahan atau wanita usia tua. Gejala klinis dari fraktur ini antara lain pada daerah siku dapat terlihat bengkak, kemerahan, nyeri, kaku sendi dan biasanya pasien



7



akan mengeluhkan siku lengannya seperti akan lepas. Kemudian dari perabaan (palpasi) terdapat nyeri tekan, krepitasi, dan neurovaskuler dalam batas normal. 1.



Suprakondiler Fraktur Fraktur suprakondilus merupakan salah satu jenis fraktur yang mengenai daerah siku, dan sering ditemukan pada anak-anak. Fraktur suprakondilus adalah fraktur yang mengenai humerus bagian distal di atas kedua kondilus. Pada fraktur jenis ini dapat dibedakan menjadi fraktur supracondilus extension type (pergeseran posterior) dan flexion type (pergeseran anterior) berdasarkan pada bergesernya fragmen distal dari humerus. Jenis fleksi adalah jenis yang jarang terjadi. Jenis ekstensi terjadi karena trauma langsung pada humerus distal melalui benturan pada siku dan lengan bawah dalam posisi supinasi dan dengan siku dalam posisi ekstensi dengan tangan yang terfiksasi. Fragmen distal humerus akan terdislokasi ke arah posterior terhadap humerus. Fraktur humerus suprakondiler jenis fleksi pada anak biasanya terjadi akibat jatuh pada telapak tangan dan lengan bawah dalam posisi pronasi dan siku dalam posisi sedikit fleksi. Pada pemeriksaan klinis didapati siku yang bengkak dengan sudut jinjing yang berubah. Didapati tanda fraktur dan pada foto rontgen didapati fraktur humerus suprakondiler dengan fragmen distal yang terdislokasi ke posterior. Gambaran klinis, setelah jatuh anak merasa nyeri dan siku mengalami pembengkakan, deformitas pada siku biasanya jelas serta kontur tulang abnormal. Nadi perlu diraba dan sirkulasi perlu diperiksa, serta tangan harus diperiksa untuk mencari ada tidaknya bukti cedera saraf dan gangguan vaskularisasi, sehingga bila tidak diterapi secara cepat dapat terjadi: "acute volksman ischaemic" dengan tanda-tanda: pulseless; pale; pain; paresa; paralysis. Pada lesi saraf radialis didapati ketidakmampuan untuk ekstensi ibu jari dan ekstensi jari lain pada sendi metacarpofalangeal. Juga didapati gangguan sensorik pada bagian dorsal



serta



metacarpal



I.



Pada



lesi



saraf



ulnaris



didapati



ketidakmampuan untuk melakukan gerakan abduksi dan adduksi jari.



8



Gangguan sensorik didapati pada bagian volar jari V. Pada lesi saraf medianus didapati ketidakmampuan untuk gerakan oposisi ibu jari dengan jari lain. Sering didapati lesi pada sebagian saraf medianus, yaitu lesi pada cabangnya yang disebut saraf interoseus anterior. Di sini didapati ketidakmampuan jari I dan II untuk melakukan fleksi. a. Pada Dewasa 1) Fraktur suprakondilus extension type Menunjukkan cedera yang luas, dan biasanya akibat jatuh pada tangan yang terekstensi. Humerus patah tepat di atas condilus. Fragmen distal terdesak ke belakang lengan bawah (biasanya dalam posisi pronasi) terpuntir ke dalam. Ujung fragmen proksimal yang bergerigi mengenai jaringan lunak bagian anterior, kadang mengenai arteri brachialis atau n. medianus. Periosteum posterior utuh,sedangkan periosteum anterior ruptur; terjadi hematom fossa cubiti dalam jumlah yang signifikan. 2) Fraktur suprakondilus flexion type Tipe fleksi terjadi bila penderita jatuh dan terjadi trauma langsung pada sendi siku pada distal humeri. b. Pada Anak Angka kejadiannya pada anak sekitar 55% sampai 75% dari semua fraktur siku. Insidensi puncaknya adalah pada anak berusia 58 tahun. 98% dari fraktur suprakondiler pada anak adalah fraktur suprakondiler tipe ekstensi. Gejala klinisnya adalah bengkak, nyeri pada daerah siku pada saat digerakkan. Dapat ditemukan Pucker Sign, cekungan dari kulit pada bagian anterior akibat penetrasi dari fragmen proximal ke muskulus brakhialis. Pada anak, fraktur suprakondiler dapat diklasifikasikan menurut Gartland. Klasifikasi Gartland Tipe I : tidak ada pergeseran. Tipe II : ada pergeseran dengan korteks posterior intak, dapat disertai angulasi atau rotasi. Tipe III: pergeseran komplit; posteromedial atau posterolateral.



9



2. Transkondiler Fraktur Biasanya terjadi pada pasien usia tua dengan tulang osteopenik. 3. Interkondiler Fraktur Pada dewasa, jenis fraktur ini adalah tipe paling sering diantara tipe fraktur humerus distal yang lain. Klasifikasi menurut Riseborough and Radin: Tipe I: fraktur tanpa adanya pergeseran dan hanya ada berupa garis fraktur. Tipe II : terjadi sedikit pergeseran dengan tidak ada rotasi antara fragmen kondilus. Tipe III : pergeseran dengan rotasi. Tipe IV : fraktur komunitif berat dari permukaan articular. 4. Kondiler Fraktur a. Pada Dewasa Dapat dibagi menjadi fraktur kondilus medial dan fraktur kondilus lateral. Klasifikasi menurut Milch : Tipe I : penonjolan lateral troklea utuh,tidak terjadi dislokasi radius dan ulna. Tipe II : terjadi dislokasi radius ulna, kerusakan kapsuloligamen. b. Pada Anak 1) Lateral Condyler Physeal Fracturer Pada anak, kejadian fraktur jenis ini adalah sebanyak 17% dari seluruh fraktur distal humerus. Usia puncaknya adalah pada saat anak berusia 6 tahun. Klasifikasi Milch : Tipe I : garis fraktur membelah dari lateral ke troklea melalui celah kapitulotroklear. Hal ini timbul pada fraktur salter-harris tipe IV. Siku stabil dikarenakan troklea intak. Tipe II: garis fraktur meluas sampai apeks dari troklea. Ini timbul pada fraktur salter-harris tipe II. Siku tidak stabil oleh karena ada kerusakan pada troklea.



10



Klasifikasi Jacob: Stage I



:



fraktur tanpa pergeseran dengan permukaan artikuler Intak



Stage II



:



fraktur dengan pergeseran sedang



Stage III



:



pergeseran dan dislokasi komplit dan instabilitas siku



2) Medial Condyler Physeal Fractures Fraktur jenis ini biasanya terjadi pada umur 8 sampai 14 tahun. Klasifikasi Milch: Tipe I : garis fraktur melewati sepanjang apex dari troklea. Hal ini timbul pada fraktur salter-harris tipe II. Tipe II : garis fraktur melewati celah capitulotroklear. Ini timbul pada fraktur salter-harris tipe VI. Klasifikasi kilfoyle : Stage I : tidak ada pergeseran, permukaan artikular intak. Stage II : garis fraktur komplit dengan pergeseran yang minimal. Stage III : pergeseran komplit dengan rotasi fragmen dari penarikan otot fleksor. 2.6



Pemeriksaan Radiologis Dengan pemeriksaan klinik kita sudah dapat mencurigai adanya fraktur. Walaupun demikian pemeriksaan radiologis diperlukan untuk menentukan keadaan, lokasi serta ekstensi fraktur. Untuk menghindarkan nyeri serta kerusakan jaringan lunak selanjutnya, maka sebaiknya kita mempergunakan bidai yang bersifat radiolusen untuk imobilisasi sementara sebelum dilakukan pemeriksaan radiologis. Pemeriksaan radiologis dilakukan dengan beberapa prinsip dua: 1.



Dua posisi proyeksi; dilakukan sekurang-kurangnya yaitu pada anteroposterior dan lateral



2.



Dua sendi pada anggota gerak dan tungkai harus difoto, di proximal dan distal sendi yang mengalami fraktur



3.



Dua anggota gerak. Pada anak-anak sebaiknya dilakukan foto pada kedua anggota gerak terutama pada fraktur epifisis



11



4.



Dua trauma, pada trauma yang hebat sering menyebabkan fraktur pada dua daerah tulang. Misalnya pada fraktur kalkaneus atau femur, maka perlu dilakukan foto pada panggul dan tulang belakang



5.



Dua kali dilakukan foto. Pada fraktur tertentu misalnya fraktur tulang skafoid foto pertama biasanya tidak jelas sehingga biasanya diperlukan foto berikutnya 10-14 hari kemudian. Umumnya dengan foto polos kita dapat mendiagnosis fraktur, tetapi perlu dinyatakan apakah fraktur terbuka/tertutup, tulang mana yang terkena dan lokalisasinya, apakah sendi juga mengalami fraktur serta bentuk fraktur itu sendiri.



2.7



Penatalaksanaan Penatalaksanaan secara umum: 1. Bila terjadi trauma, dilakukan primary survey terlebih dahulu. 2. Sebelum penderita diangkut, pasang bidai untuk mengurangi nyeri, mencegah (bertambahnya) kerusakan jaringan lunak dan makin buruknya kedudukan fraktur. Bila tidak terdapat bahan untuk bidai, maka bila lesi di anggota gerak bagian atas untuk sementara anggota yang sakit dibebatkan ke badan penderita Pilihan adalah terapi konservatif atau operatif. Pilihan harus mengingat tujuan pengobatan fraktur yaitu mengembalikan fungsi tulang yang patah dalam jangka waktu sesingkat mungkin. 1.



Fraktur proksimal humeri Pada fraktur impaksi tidak diperlukan tindakan reposisi. Lengan yang cedera diistirahatkan dengan memakai gendongan (sling) selama 6 minggu. Selama waktu itu penderita dilatih untuk menggerakkan sendi bahu berputar sambil membongkokkan badan meniru gerakan bandul (pendulum exercise). Hal ini dimaksudkan untuk mencegah kekakuan sendi. Pada penderita dewasa bila terjadi dislokasi abduksi dilakukan reposisi dan dimobilisasi dengan gips spica, posisi lengan dalam abduksi (shoulder spica).



12



2. Fraktur shaft humeri Pada fraktur humerus dengan garis patah transversal, apabila terjadi dislokasi kedua fragmennya dapat dilakukan reposisi tertutup dalam narkose. Bila kedudukan sudah cukup baik, dilakukan imobilisasi dengan gips berupa U slab (sugar tong splint). Imobilisasi dipertahankan selama 6 minggu. Teknik pemasangan gips yang lain yaitu dengan hanging cast. hanging cast terutama dipakai pada pnderita yang dapat berjalan dengan posisi fragmen distal dan proksimal terjadi contractionum (pemendekan). Apabila pada fraktur humerus ini disertai komplikasi cedera n.Radialis, harus dilakukan open reduksi dan internal fiksasi dengan plate-screw untuk humerus disertai eksplorasi n. Radialis. Bila ditemukan n. Radialis putus (neurotmesis) dilakukan penyambungan kembali dengan teknik bedah mikro. Kalau ditemukan hanya neuropraksia atau aksonotmesis cukup dengan konservatif akan baik kembali dalam waktu beberapa minggu hingga 3 bulan. 3. Fraktur suprakondiler humeri Kalau pembengkakan tak hebat dapat dilakukan reposisi dalam narkose umum. Setelah tereposisi, posisi siku dibuat fleksi diteruskan sampai a.Radialis mulai tak teraba. Kemudian diekstensi siku sedikit untuk memastikan a.Radialis teraba lagi. Dalam posisi fleksi maksimal ini dilakukan imobilisasi dengan gips spal. Posisi fleksi maksimal dipindahkan karena penting untuk menegangkan otot trisep yang berfungsi sebagai internal splint. Kalau dalam pengontrolan dengan radiologi hasilnya sangat baik gips dapat dipertahankan dalam waktu 36 minggu. Kalau dalam pengontrolan pasca reposisi ditemukan tanda Volkmann’s iskaemik secepatnya posisi siku diletakkan dalam ekstensi, untuk immobilisasinya diganti dengan skin traksi dengan sistem Dunlop. Pada penderita dewasa kebanyakan patah di daerah suprakondiler garis patahnya berbentuk T atau Y, yang membelah sendi untuk menanggulangi hal ini lebih baik dilakukan tindakan operasi dengan pemasangan internal fiksasi.



13



4. Fraktur transkondiler humeri Terapi konservatif diindikasikan pada fraktur dengan dislokasi minimal atau tanpa dislokasi. Tindakan yang paling baik dengan melakukan operasi reposisi terbuka dan dipasang fiksasi interna dengan platescrew. 5.



Fraktur interkondiler humeri Bila



dilakukan



tindakan



konservatif



berupa



reposisi



dengan



immobilisasi dengan gips sirkuler akan timbul komplikasi berupa kekakuan sendi (ankilosis). Untuk mengatasi hal tersebut dilakukan tindakan operasi reduksi dengan pemasangan internal fiksasi dengan plate-screw. 6.



Fraktur kondilus lateral & medial humeri Kalau frakturnya tertutup dapat dicoba dulu dengan melakukan reposisi tertutup, kemudian dilakukan imbolisasi dengan gips sirkular. Bila hasilnya kurang baik, perlu dilakukan tindakan operasi reposisi terbuka dan dipasang fiksasi interna dengan plate-screw. Kalau lukanya terbuka dilakukan debridement dan dilakukan fiksasi luar.



2.8



Komplikasi Adapun komplikasi yang dapat terjadi: 1.



Kekakuan sendi bahu (ankilosis). Lesi pada n.Sirkumfleksi aksilaris menyebabkan paralisis m.Deltoid.



2.



Apabila pada fraktur medial humerus disertai komplikasi cidera n.Radialis, harus dilakukan operasi reduksi dan internal fiksasi dengan plate screw untuk humerus disertai eksplorasi n.Radialis.



3.



Sindroma kompartemen yang biasa disebut dalam 5 P (Pain, Pallor, Pulselesness, Paraesthesia, Paralysis), terjepitnya a. Brakhialis yang akan menyebabkan nekrosis otot-otot dan saraf.



4.



Mal union cubiti varus (carrying angle berubah) dimana siku berbentuk O, secara fungis baik, tapi kosmetik kurang baik. Perlu dilakukan koreksi dengan operasi meluruskan siku dengan teknik French osteotomy.



14



2.9



Asuhan keperawatan 1. Pengkajian Pengkajian adalah pemeriksaan dasar dari proses keperawatan yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi atau data tentang klien, agar dapat mengidentifikasi, mengenali masalah-masalah, kebutuhan kesehatan keperawatan klien baik fisik, mental, social, dan lingkungan (Effendy, 1995). 1. Identitas Klien Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis. 2. Keluhan Utama Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri.Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. 3. Riwayat Penyakit Sekarang Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien.Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena.Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan: a.



Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor presipitasi nyeri.



b.



Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.



c.



Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.



d.



Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang



15



dirasakan klien, bisa berdasarkan menerangkan



seberapa



jauh



rasa



skala nyeri atau klien sakit



mempengaruhi



kemampuan fungsinya. e.



Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.



4. Riwayat Penyakit Dahulu Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang 5. Riwayat Penyakit Keluarga Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik (Ignatavicius, Donna D, 1995). 6. Riwayat Psikososial Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peranklien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat (Ignatavicius, Donna D, 1995). 7. Pola-Pola Fungsi Kesehatan a.



Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat Pada kasus fraktur akan timbul ketakutan akan terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu



16



keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak.(Ignatavicius, Donna D,1995). b.



Pola Nutrisi dan Metabolisme Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab



masalah



muskuloskeletal



dan



mengantisipasi



komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia.Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien. c.



Pola Eliminasi Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi.Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak.



d.



Pola Tidur dan Istirahat Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ni dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur (Doengos. Marilynn E, 2002).



e.



Pola Aktivitas Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada



17



beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).



b.



Pola Hubungan dan Peran Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat.



Karena



klien



harus



menjalani



rawat



inap



(Ignatavicius, Donna D, 1995). c.



Pola Persepsi dan Konsep Diri Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan



kecacatan



akibat



frakturnya,



rasa



cemas,



rasa



ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image) (Ignatavicius, Donna D, 1995). d.



Pola Sensori dan Kognitif Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur (Ignatavicius, Donna D, 1995).



e.



Pola Reproduksi Seksual Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien.Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya (Ignatavicius, Donna D, 1995).



b.



Pola Penanggulangan Stress Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya.Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.



18



c.



Pola Tata Nilai dan Keyakinan Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien



8. Pemeriksaan Fisik Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam. a.



Gambaran Umum Perlu menyebutkan: 1) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatatadalah tanda-tanda, seperti: a) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan klien. b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus fraktur biasanya akut. c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk.



b.



Secara sistemik dari kepala sampai kelamin 1) Kepala Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala. 2) Leher Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada. 3) Muka Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.



19



4) Mata Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi perdarahan) 5) Telinga Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan. 6) Hidung Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung. 7) Mulut dan Faring Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat. 8) Thoraks Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris. 9) Paru a) Inspeksi Pernafasan



meningkat,



reguler



atau



tidaknya



tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru. b)



Palpasi Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.



c)



Perkusi Suara ketok sonor, tak ada redup atau suara tambahan lainnya.



d) Auskultasi Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi. 10) Jantung a) Inspeksi Tidak tampak iktus jantung. b) Palpasi Nadi meningkat, iktus tidak teraba.



20



c) Auskultasi Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur. 11) Abdomen a)



Inspeksi Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.



b)



Palpasi Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.



c)



Perkusi Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.



d)



Auskultasi Peristaltik usus normal  20 kali/menit.



12) Inguinal-Genetalia-Anus Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.. c.



Keadaan Lokal Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama



mengenai



status



neurovaskuler



(untuk



status



neurovaskuler  5 P yaitu Pain, Palor, Parestesia, Pulse, Pergerakan). Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah: 1) Look (inspeksi) Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain: a)



Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas operasi).



b)



Fistulae.



c)



Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.



d)



Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa (abnormal).



e)



Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)



21



2) Feel (palpasi) Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien.Yang perlu dicatat adalah: a)



Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit. Capillary refill time Normal 3 –5“



b)



Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi



atau



oedema



terutama



disekitar



persendian. c)



Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal, tengah, atau distal).



Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan,



maka



sifat



benjolan



perlu



dideskripsikan



permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya. 3) Move (pergerakan terutama lingkup gerak) Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral)



atau



dalam



ukuran



metrik.Pemeriksaan



ini



menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.



22



2. Diagnosa Keperawatan Adapun diagnosa keperawatan yang lazim dijumpai pada klien fraktur adalah sebagai berikut: a. Gangguan rasa nyaman : Nyeri



b/d terputusnya kontinuitas



jaringan tulang b. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada c. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah (cedera vaskuler, edema, pembentukan trombus) d. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan buffer pertahanan tubuh (kerusakan kulit, taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang)



23



3. Intervensi keperawatan No



Diagnosa keperawatan



NOC



1.



Gangguan rasa nyaman: Label NOC : tingkat nyeri



NIC Label NIC : manajemen nyeri



Nyeri b/d terputusnya Setelah dilakukan tindakan



1. observasi adanya petunjuk



kontinuitas



non verbal mengenai



tulang



jaringan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan pasien dapat:



ketidaknyamanan



Indicator



2. pastikan perawatan analgesik



1. panjangnya episode nyeri (3)



bagi pasien dilakukan dengan



2. mengerang dan menangis (4)



pemantauan yang ketat



3. mengerinyit (4)



3. evaluasi bersama pasien dan



4. berkeringat berlebihan (4)



tim kesehatan yang lainnya, mengenai efektifitas tindakan pengontrolan nyeri yang pernah digunakna sebelumnya 4. berikan informasi mengenai nyeri, seperti penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan dirasakan, dan antisipasi dari ketidaknyamanan akibat prosedur 5. kendalikan factor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon pasien terhadap ketidaknyamanan 6. pilih dan implementasikan tindakan yang beragam untuk memfasilitasi penurunan nyeri, sesuai kebutuhan 7. evaluasi keefektifan dari tindakan pengontrol nyeri yang dipakai selama pengkajian nyeri dilakukan



24



BAB III KESIMPULAN



3.1



Simpulan Fraktur humerus adalah hilangnya kontinuitas tulang , tulang rawan sendi, tulang rawan epifisial baik yang bersifat total maupun parsial pada tulang humerus. Etiologi fraktur humerus umumnya merupakan akibat trauma. Selain dapat menimbulkan patah tulang (fraktur), trauma juga dapat mengenai jaringan lunak sekitar tulang tersebut. Mekanisme trauma sangat penting dalam mengetahui luas dan tingkat kerusakan jaringan tulang serta jaringan lunak sekitarnya. Diagnosis fraktur humerus dapat dibuat berdasarkan anamnesis yang baik, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan radiologis. Penatalaksanaan penderita fraktur humerus harus dilakukan secara cepat dan tepat untuk mencegah komplikasi segera, dini, dan lambat.



3.2



Saran Setiap fraktur dan kerusakan jaringan lunak sekitar tulang tersebut harus ditanggulangi sesuai dengan prinsip penanggulangan cedera muskuloskeletal. Prinsip tersebut meliputi rekognisi (mengenali), reduksi (mengembalikan), retaining (mempertahankan) dan rehabilitasi. Agar penanganannya baik, perlu diketahui kerusakan apa saja yang terjadi, baik pada tulang maupun jaringan lunaknya. Mekanisme trauma juga sangat penting untuk diketahui.



25



DAFTAR PUSTAKA



Rasjad, C., dkk. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: EGC, 2010, Bab 42; Sistem Muskuloskeletal. Rasjad, C. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta: PT. Yarsif Watampone, 2007, Bab. 14; Trauma. Tortora G.J. & Derrickson B. Principles of Anatomy and Physiology 12 th Edition. New Jersey: John Wiley & Sons, 2009, Chapter 8; The Skeletal System: The Appendicular Skeleton. Tortora G.J. & Derrickson B. Principles of Anatomy and Physiology 12th Edition. New Jersey: John Wiley & Sons, 2009, Chapter 11; The Muscular System. Standring, S. Gray’s Anatomy 39th Edition. USA: Elsevier, 2008, Chapter 48; General Organization and Surface Anatomy of The Upper Limb. Wang, E.D. & Hurst, L.C. Netter’s Orthopaedics 1st Edition. Philadelphia: Elsevier, 2006, Chapter 15; Elbow and Forearm. Aaron N., Michael D.M., et.al., 2011. Distal Humeral Fractures in Adults. Accessed:



2nd



February



2012.



Available



from



:http://www.jbjs.org/article.aspx?articleid=35415 Egol, K.A., Koval, K.J., Zuckerman, J. D. Handbook Of Fractures. Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins. 2010:p. 193-229;604-614 Reksoprodjo, S. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta: Binarupa Aksara Publisher, 2009, Bab 9; Orthopaedi. Purwadianto A, Budi S. Kedaruratan Medik. Jakarta: Binarupa Aksara, 2000, Bab 7; Kedaruratan Sistim Muskuloskeletal.



26