Fraktur Supracondylar Humerus [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

FRAKTUR SUPRACONDYLAR HUMERUS PADA ANAK PENDAHULUAN Fraktur supracondylar adalah cedera siku umum pada anak-anak tercatat sebanyak 16% dari semua fraktur anak dan dua-pertiga dari semua cedera siku anak. Cidera ini sering dengan patah tulang yang signifikan yang mungkin terkait dengan morbiditas karena malunion, komplikasi neurovascular, dan sindrom kompartemen. Secara historis, mayoritas patah tulang ini diobati dengan reduksi tertutup dan casting dengan siku dalam posisi fleksi. Posisi flexi ini membantu menjaga displacement fraktur, tetapi menyebabkan masalah pembuluh darah dan kontraktur Volkman. Setelah reduksi tertutup, Pin mempertahankan displacement fraktur tanpa perlu immobilisasi siku secara signifikan. ANATOMY Sendi siku adalah kompleks artikulasio yang terdiri dari tiga tulang yang memungkinkan pergerakan dalam tiga bidang berbeda. Distal humerus ini merupakan sendi articular yang unik dengan berhubngan dengan radius dan ulna yang memungkinkan pergarakan ini. Radial-humeral memungkinkan pergerakan pronasi dan supinasi dari lengan atas, dimana ulnohumeral bergerak fleksi dan ekstensi dari sendi siku. Dengan adanya sendi ini menjadikan sendi siku memungkinkan pergerakan normal fleksi 0-140º, ekstensi 0-10º, pronasi sebesar 80-85º.



Gambar 1. Sendi siku dalam posisi ektensi



Gambar 2. Sendi siku dalam posisi flexi 90º Sendi siku ini tempat berjalannya pembuluh darah dan saraf, yang menuju hingga ke ujung jari. Karena itu beberapa fraktur pada sendi siku bisa menyebabkan robekan dari pembuluh darah dan saraf, yang akan menyebabkan aliran darah dan persarafan di distal. FRAKTUR SUPRACONDYLER HUMERUS Fraktur supracondylar humerus merupakan kasus tersering fraktur daerah sendi siku pada anak, frekuensi mencapai hingga 60 % dari seluruh fraktur daerah siku. Terbanyak pada usia 3-10 tahun dengan puncak insidensi 5-8 tahun. Fraktur berlokasi pada metafisis humerus. Pada daerah ini humerus membentuk condyle medial dan lateral. Humerus cenderung lebih tipis pada daerah olecranon dan fossa coronoid, terutama pada anak dengan trabekula yang lebih sedikit dibandingkan dengan dewasa. Hal ini menyebabkan fraktur supracondyler memiliki frekuensi tersering pada fraktur daerah siku. Mekanisme tersering diakibatkan jatuh dengan lengan terlentang dan hiperekstensi (95%) , sehingga bagian ulna proksimal akan membentur bagian humerus distal. Olecranon akan terdorong ke fossa olecranon yang menyebabkan regangan korteks bagian anterior, jika energi diteruskan maka regangan diteruskan juga pada korteks posterior



Gambar 3. Mekanisme fraktur (Ekstensi). Saat pasien terjatuh dengan menumpukan beban pada tangan, sehingga siku menjadi hiperekstensi, menjadikan proximal ulna menekan humerus ke arah anterior menekan fossa olecranon. Mekanisme lain penyebab fraktur supracondyler humerus yaitu tipe fleksi (5%), hal ini diakibatkan benturan langsung pada olecranon pada siku dalam posisi fleksi.



Gambar 3. Mekanisme fraktur (Fleksi). Mekanisme ini terjadi akibat tumpuan langsung ke sendi siku (saat fleksi) saat terjatuh. Klasifikasi fraktur supracondyler fraktur menggunakan klasifikasi oleh Gartland, terdapat 3 tipe, yaitu : I. Minimal displacement II. Displaced distal fragment (korteks posterior utuh) III. Complete displacement (posteromedial 75% / posterolateral 25%) Diagnosa fraktur pada siku patut dicurigai jika anak mengeluhkan sendi siku yang sakit atau anak tersebut tidak bisa menggunakan ekstrimitas atas dengan baik setelah anak itu cedera. Keluhan tersebut harus diimbangi dengan sebuah anamnesis yang adekuat untuk menyingkirkan sebuah penyakit lain seperti infeksi sendi siku, namun jika anamnesis



yang didapatkan tidak adekuat maka kita harus



mempertimbangkan melakukan pemeriksaan radiografi. Pemeriksaan lain yang tidak kalah penting adalah pemeriksaan fisik, untuk menentukan seberapa parah cedera atau fraktur yang terjadi, seperti pemeriksaan motorik, sensorik dan vaskularisasi yang



terhubung dengan keadaan pasien. Dari pemeriksaan fisik, kita bisa melihat secara langsung bentuk ekstrimitas secara keseluruhan, apakah terdapat deformitas deformitas.



Gambar 4. Deformitas bentuk S yang terjadi karena tonjolan frakmen proksimal dan ekstensi dari frakmen distal (atas). Pucker sign terlihat saat penetrasi frakmen proksimal ke jaringan subkutan (bawah).



Pemeriksaan penunjang dengan radiografi, adanya fat pad sign memungkinkan adanya fraktur dengan minimal displacement pada Gartland tipe 1.



Gambar 5. Fat pad sign. Terlihat fat pad sign pada sekitaran sendi siku saat keadaan akut.



Gambar 6. Evaluasi Radiologi pada sendi siku. Pada sendi siku terdapat garis yang berkaitan dengan evaluasi radiologi, sebagai standar yang digunakan adalah X-Ray tampak Anteroposterior (AP) dan tampak lateral. Anterior humeral line dapat digunakan sebagai petunjuk, garis yang melewati bagian anterior capitelum terdapat pada sekitar 94% kasus fraktur supracondyler. Baumann angel, adalah sudut yang terbentuk antara garis perpendikular dari axis shaft humerus dan garis physeal dari kondilus lateral, nilai norma adalah 15-20º dan dibandingkan dengan sendi siku yang normal. HumeralUlnar angle, adalah sudut yang terbentuk dari titik pertemuan antara axis humerus dan



axis dari ulna, nilai normal 5-15º dan dibandingkan dengan sendi siku yang normal. Metaphyseal-diaphyseal angle, sudut yang terbentuk dari garis shaft humerus dan metafisis dari distal humerus, sudut normal 90º, jika lebih dari 90º mengindikasikan deformitas varus, dan jika kurang dari 90º mengindikasikan deformitas valgus. Penatalaksanaan ditentukan berdasarkan klasifikasi. Gartland tipe I dapat diterapi dengan reduksi tertutup dan posterior splint. Posisi splint dengan siku fleksi kurang 60-90°, posisi fleksi lebih dari 100º harus dihindari karena dapat mengganggu vaskularisasi distal yang dapat meningkatkan resiko kompartemen sindrom. Gartland II membutuhkan reduksi tertutup dan percutaneous pinning bila reduksi gagal dipertahankan oleh casting saja. Imobilisasi dengan cast dapat dipertahankan hingga 3 minggu. Gartland III membutuhkan teknik reduksi tertutup dan fiksasi dengan crosspinning. Pada pemasangan cross-pinning terdapat resiko cedera pada saraf ulnaris, maka sebagian ahli menyarankan insisi kecil pada saat insersi K-wire untuk menghindari terkenanya saraf ulna. Open reduksi kadang dibutuhkan pada sebagian kasus yang jarang, dengan insisi anteromedial berbentuk ”hockey-stick”. Fiksasi dilakukan secara percutaneous. Komplikasi fraktur supracondyler humerus yang tersering yaitu Cubitus varus dan cedera vascular. Walaupun cedera vaskular merupakankomplikasi yang lebih jarang namun memiliki tingkat morbidias yang tinggi. Cubitus varus terjadi akibat kegagalan pada saat melakukan reduksi. Perlu dilakukan foto perbandingan pada sisi yang sehat untuk mengetahui sudut koreksi yang perlu dicapai. Dalam hal ini perlu dilakukan pengukuran Sudut Baumann.



Cedera vaskular merupakan komplikasi yang cukup serius, akibat adanya posterior displacement pada fragmen distal maka beresiko untuk mencederai arteri brachialis. Cedera saraf juga dapat terjadi pada fraktur supracondyler, sekitar 5% dari seluruh kasus. Cedera biasanya mengenai saraf ulnaris yang terjadi akibat benturan langsung pada cedera dengan mekanisme fleksi.