Gangguan Respirasi Inten [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

LAPORAN DISKUSI TUTORIAL BLOK 11 GANGGUAN RESPIRASI



SKENARIO 2



OLEH Intan Permatasari Putri S (61119094)



PROGAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BATAM 2020/2021 1



MODUL BLOK GANGGUAN RESPIRASI SKENARIO 2 BATUK-BATUK LAMA Nemo seorang siswa SMA berumur 17 tahun mengeluh sudah satu bulan ini menderita batukbatuk dan demam yang hilang timbul.dalam tiga hari ini keadaan nemo tambah berat,batuk-batuk dengan dahak kuning,nafas berbau,sesak dan demam tinggi.ibu nemo sangat khawatir sehingga membawa anaknya ke puskesmas.hasil pemeriksaan dokter puskesmas mendapatkannya demam hiperpireksia dan takipnea.auskultasi paru terdengar ronkhi basah halus nyaring pada lapangan tengah paru kanan. Dokter puskesmas memutuskan untuk merawat nemo,ia diberi obat antibiotik serta terapi lainnya.dari hasil pemeriksaan darah nemo didapatkan Hb 12,1 gr/dL,leukosit 15.000/mm3.dokter juga melakukan pemeriksaan BTA sputum sebanyak tiga kali serta mengirimkan sputum nemo untuk pemeriksaan kultur dan tes sensitifitas kuman banal. Dokter menjelaskan kepada ibu nemo bahwa anaknya menderita suatu penyakit infeksi pada saluran napas yang dapat disebabkan oleh berbagai kuman,virus, dan lainnya.diperlukan berbagai pemeriksaan untuk memastikan penyakit nemo,dan pemberian obat-obatan.keadaan nemo dapat bertambah parah bila tidak segera ditangani dan dokter akan segera merujuk nemo bila keadaannya tidak membaik. Bagaimana saudara menjelaskan keadaan nemo ini?



1



Terminiologi Asing 1. Hiperpireksia : Suatu keadaan demam dengan suhu >41,5°C yang dapat terjadi pada pasien dengan infeksi yang parah tetapi paling sering terjadi pada pasien dengan perdarahan sistem saraf pusat (Dinarello & Gelfand, 2005). (Intan) 2. Takipnea : Pernapasan yang sangat cepat. Dorland ed. 29 hal. 758 (Ragil) Takipnea adalah bernapas dengan cepat dimana frekuensi napas pada bayi 0 sampai 12 bulan lebih dari 60x/menit (Donna L. Wong, 2003). Keadaan ini biasanya menunjukkan adanya penurunan keteregangan paru atau rongga dada. (Intan) 3. Sputum : Bahan yang dikeluarkan lewat mulut, berasal dari trakea, bronkus, dan paru-paru. Dorland ed 29 hal 716 (Intan) 4. Auskultasi : mendengarkan suara di dalam tubuh , terutama utuk memastikan kondisi ogan dalam thorax atau abdomen serta utuk mendektesi kehamilan; dapat dilakukan dengan telinga tanpa alat bantu atau dengan stetoskop. Dorland ed. 29 hal. 85 (Arsen) 5. Ronki : Suara nafas tambahan bernada rendah bersifat sonor, terdengar tidak mengenakkan (raspy), terjadi pada saluran nafas besar seperti trakea bagian bawah dan bronkus utama. (Respirologi(respiratory medicine,2014). (Intan).



Bising terputus-putus yg terdiri dari atas serangkaian bising pendek, terdengar pada saat inhalasi (dorland ed.29 hal 646) (Ragil)



2



Rumusan Masalah 1. Mengapa dokter melakukan pemeriksaan kultur dan sensitivitas kuman banal? (Intan) 2. Mengapa Nemo batuk dengan dahak kuning, nafas bau, sesak, dan demam tinggi yang semakin parah 3 hari terakhir? (Anisyah) 3. Mengapa pemeriksaan BTA sputum dilakukan sebanyak 3 kali? (Dilla) 4. Mengapa Nemo batuk dan demam hilang timbu? (Malvin) 5. Apa hubungan penyakit Nemo dengan umur? (Intan) 6. Bagaimana hasil interpretasi pemeriksaan darah? (Intan)



3



Hipotesis 1. Untuk mendiagnosis jenis bakteri yang menginfeksi sehingga bisa diberikan terapi yang spesifik. (Nury) 2. Dahak



kuning



dan



nafas



bau



terjadi



akibat



infeksi.sesak



terjadi



akibat



penyempitan/penyumbatan saluran nafas karena penumpukan sekret akibat infeksi.demam tinggi menunjukkan infeksi yang diderita termasuk infeksi berat. (Anisyah) 3. Untuk menghindari positif palsu (Ragil) 4. Batuk adalah mekanisme defensive tubuh menghadapi benda asing, infeksi, alergi, dll. Demam adalah salah satu penanda infeksi, demam bisa terjadi hilang timbul akibat pengaruh imun, hal ini bisa menunjukkan gejala khas penyakit. (Dilla) 5. TB biasanya menyerang pada saat usia produktif, Pneumonia menyerang lanjut usia. (Intan) 6. Hb menunjukkan anemia. Leukosit menunjukkan leukositosis. (Intan)



4



Skema



Nemo (17 tahun)



Pukesmas



Pemeriksaan Fisik



Anamnesis -



Batuk- batuk dan demam



-



hilang timbul selama 3 hari -



Demam



Pemeriksaan Penunjang -



Pemeriksaan darah : Hb



hiperpireksia



12,1 g/Dl, leukosit 15.000/ mm3



Semakin parah menjadi batuk-



-



Takipnea



batuk darah dan dahak kuning



-



Auskultasi paru



Nafas bau, sesak, dan demam



terdengar ronki



tinggi



basah



-



Pemeriksaan sputum sebanyak 3x



-



Pemeriksaan kultur dan tes sensitivitas kuman banal



DIAGNOSIS Infeksi Saluran Pernapasan



Diagnosis Banding -



Tuberculosis Bronkitis Pneumonia



Penatalaksanaan -



Dirawat Pemberian antibiotik, dan terapi lainnya



5



Learning Objective 1. Menjelaskan epidemiologi Tuberkulosis 2. Menjelaskan etiologi dan faktor resiko Tuberkulosis 3. Menjelaskan patofisiologi Tuberkulosis 4. Menjelaskan manifestasi klinis Tuberkulosis 5. Menjelaskan pendekatan diagnostik Tuberkulosis 6. Menjelaskan penatalaksanaan Tuberkulosis secara histolik 7. Menjelaskan komplikasi Tuberkulosis 8. Menjelaskan progonosis Tuberkulosis 9. Menjelaskan kasus gangguan Tuberkulosis yang memelukan rujukan



6



Pembahasan 1. Epidemiologi Tuberkulosis TB sampai dengan saat ini masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat didunia walaupun upaya pengendalian dengan strategi DOTS telah diterapkan di banyak negara sejak tahun 1995. Dalam laporan WHO tahun 2013: •



• •











Diperkirakan terdapat 8,6 juta kasus TB pada tahun 2012 dimana 1,1 juta orang (13%) diantaranya adalah pasien TB dengan HIV positif. Sekitar 75% dari pasien tersebut berada di wilayah Afrika. Pada tahun 2012, diperkirakan terdapat 450.000 orang yang menderita TBMDR dan 170.000 orang diantaranya meninggal dunia. Meskipun kasus dan kematian karena TB sebagian besar terjadi pada pria tetapi angka kesakitan dan kematian wanita akibat TB juga sangat tinggi. Diperkirakan terdapat 2,9 juta kasus TB pada tahun 2012 dengan jumlah kematian karena TB mencapai 410.000 kasus termasuk di antaranya adalah 160.000 orang wanita dengan HIV positif. Separuh dari orang dengan HIV positif yang meninggal karena TB pada tahun 2012 adalah wanita. Pada tahun 2012 diperkirakan proporsi kasus TB anak diantara seluruh kasus TB secara global mencapai 6% (530.000 pasien TB anakl tahun). Sedangkan kematian anak (dengan status HIV negatif) yang menderita TB mencapai 74.000 kematian/ tahun, atau sekitar 8% dari total kematian yang disebabkan TB. Meskipun jumlah kasus TB dan jumlah kematian TB tetap tinggi untuk penyakit yang sebenamya bisa dicegah dan disembuhkan tetap fakta juga menunjukkan keberhasilan dalam pengendalian TB. Peningkatan angka insidensi TB secara global telah berhasil dihentikan dan telah menunjukkan tren penurunan (turun 2% per tahun pada tahun 2012), angka kematian juga sudah berhasil diturunkan 45% bila dibandingkan tahun 1990.



2. Etiologi dan faktor resiko Tuberkulosis Etiologi Tuberkulosis paru (TB paru) adalah bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang yang tahan asam atau sering disebut sebagai basil tahan asam, intraseluler, dan bersifat aerob. Basil ini berukuran 0,2-0,5 µm x 2-4 µm, tidak berspora, non motil, serta bersifat fakultatif. Dinding sel bakteri mengandung glikolipid rantai panjang bersifat mikolik, kaya akan asam, dan fosfolipoglikan. Kedua komponen ini memproteksi kuman terhadap serangan sel liposom tubuh dan juga dapat menahan zat pewarna fuchsin setelah pembilasan asam (pewarna tahan asam). Diketahui bahwa manusia adalah sebagai inang (host) terhadap pertumbuhan dan perkembangbiakan basil tersebut. 7



Transmisi organisme ini secara primer terjadi melalui droplet di udara yang berasal dari individu yang mengidap TB aktif, atau dalam stadium infeksius TB. Walaupun pernah pula dilaporkan penularan melalui transdermal dan gastrointestinal.



Faktor risiko penyebab TB Ada beberapa faktor yang menyebabkan orang berisiko terkena penyakit TBC.Faktor risiko penyebab tuberkulosis adalah sebagai berikut: • • • • • • • • • • •



Pengidap HIV. Menyalahgunakan obat-obatan, alkohol, dan merokok. Pengidap silikosis, yaitu peradangan dan luka di paru-paru akibat menghirup debu silikon. Diabetes melitus. Gagal ginjal kronis. Penderita leukemia, kanker di kepala, leher, atau paru-paru. Kondisi usus tertentu. Berat badan rendah. Malnutrisi. Tinggal di pemukiman padat penduduk. Mengonsumsi obat penekan imun (imunosupresan),seperti kortikosteroid atau prednisone lebih dari 15 mg/hari



Sistem imun yang lemah atau memiliki kondisi yang melemahkan imun membuat seseorang rentan terhadap TBC.Itulah mengapa TBC juga menjadi salah satu komplikasi yang banyak diidap oleh orang dengan HIV/AIDS. Bahkan, risiko infeksi bakteri penyebab TBC berkembang menjadi TBC mencapai 100 kali lebih tinggi daripada orang tanpa HIV.Berdasarkan penelitian yang terbit pada jurnal Pulmonary Medicine, orang malnutrisi juga rentan mengalami TBC, dan infeksi ini dapat makin memperparah masalah gizinya. Sebab, penyakit TBC membuat nafsu makan berkurang sehingga asupan gizi juga makin berkurang.Selain itu, ada pula faktor eksternal yang memengaruhi seseorang berisiko terpapar bakteri penyebab TBC, yaitu: • • • •



Ruangan sempit dan tertutup. Ventilasi yang tidak memadai. Sirkulasi udara buruk sehingga droplet kembali lagi ke dalam ruangan. Polusi udara di ruangan tertutup.



Berdasarkan riset pada jurnal Pulmonary Medicine, 80 persen negara berkembang masih menggunakan kayu bakar untuk memasak di dapur. Karbon monoksida yang berasal dari asap kayu bakar akan mengendap di alveolus. Alveolus pun rusak sehingga rentan terpapar bakteri penyebab tuberkulosis. 3. Patofisiologi Tuberkulosis



8



Patofisiologi Tuberkulosis paru (TB paru) melibatkan inhalasi Mycobacterium tuberculosis, suatu basil tahan asam (acid-fast bacilli). Setelah inhalasi, ada beberapa kemungkinan perkembangan penyakit yang akan terjadi, yaitu pembersihan langsung dari bakteri tuberkulosis, infeksi laten, atau infeksi aktif. Ketika seorang pengidap TB paru aktif batuk, bersin, menyanyi, atau meludah, orang ini dapat mengeluarkan titik-titik air liur kecil (droplets) ke udara bebas. Droplets yang berisi Mycobacterium tuberculosis ini, apabila terinhalasi orang lain akan masuk sampai di antara terminal alveoli paru. Organisme kemudian akan tumbuh dan berkembang biak dalam waktu 2-12 minggu sampai jumlahnya mencapai 1000-10.000. Jumlah tersebut akan cukup untuk mengeluarkan respon imun seluler yang mampu dideteksi melalui reaksi terhadap tes tuberkulin. Namun, tubuh tidak tinggal diam, dan akan mengirimkan pertahanan berupa sel-sel makrofag yang memakan kuman-kuman TB ini. Selanjutnya, kemampuan basil tahan asam ini untuk bertahan dan berproliferasi dalam sel-sel makrofag paru menjadikan organisme ini mampu untuk menginvasi parenkim, nodus-nodus limfatikus lokal, trakea, bronkus (intrapulmonary TB), dan menyebar ke luar jaringan paru (extrapulmonary TB). Organ di luar jaringan paru yang dapat diinvasi oleh Mycobacterium tuberculosis diantaranya adalah sum-sum tulang belakang, hepar, limpa, ginjal, tulang, dan otak. Penyebaran ini biasanya melalui rute hematogen. Apabila terjadi keterlibatan multi organ, maka TB paru akan memerlukan pengobatan yang lebih lama, hal ini biasanya sebagai konsekuensi terhadap ketidakpatuhan penderita terhadap tatalaksana pengobatan TB, atau keterlambatan diagnosis. 4. Manifestasi klinis Tuberkulosis Menurut Kemenkes RI (2014), Gejala utama TB Paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih.batuk biasanya diikuti gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat pada malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari 1 bulan. Keluhan yang dirasakan pasien TB Paru dapat bermacam-macam bahkan banyak pasien ditemukan TB Paru tanpa keluhan sama sekali, namun keluhan yang terbanyak adalah : •



Demam



Adanya proses peradangan akibat infeksi bakteri pada paru sehingga timbul gejala demam. Dimana ketika Mycobacterium Tuberkulosis terhirup oleh udara ke paru-paru dan menempel pada bronkus atau alveolus untuk memperbanyak diri, terjadi reaksi inflamasi(peradangan), dan metabolisme meningkat, sehingga suhu tubuh meningkat, dan terjadinya demam.



9







Batuk/batuk berdahak



Gejala ini banyak ditemukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar. Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru yakni setelah berminggu-minggu atau berbulan-bulan peradangan bermula. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi prokdutif (menghaislkan sputum). Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk drah karena terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada TB Paru terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus. •



Sesak nafas



Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak nafas. Sesak nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru. •



Nyeri dada



Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasie menarik/melepaskan nafasnya. •



Malaise



Penyakit TB Paru ini bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksia tidak nafsu makan, berat badan menurun, sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam, dll. Gejala malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur. •



Wheezing



Terjadi karena penyempitan lumen endobronkus yang disebabkan oleh bronkostenosis, keradangan, jaringan granulasi, ulserasi, dll. •



secret,



Dispneu



Merupakan late symptom dari proses lanjut TB Paru akibat adanya restriksi dan obstruksi saluran pernafasan serta loss of vascular bed/vascular thrombosis yang dapat meingkatkan gangguan difusi, hipertensi pulmonal dan korpulmona. •



Menggigil



Dapat terjadi bila panas badan naik dengan cepat, tetapi tidak diikuti pengeluaran panas dengan kecepatan yang sama atau dapat terjadi sebagai suatu reaksi umum yang lebih hebat. 10







Keringat pada malam hari



Saat akteri penyebab TB Paru masuk kedalam tubuh, tubuh akan melakukan mekanisme pertahanan untuk melawan bakteri tersebut. Salah satunya adalah dengan memperbanyak pembentukan makrofag yang berasal dari monosit. Makrofag yang berasal dari monosit. Makrofag ini merupakan salah satu jenis sel darah putih yang ketika bekerja, ia akan memproduksi suatu molekul kimiawi yang disebut TNF-alfa (Tumor Necrosis Factor- alfa). Molekul inilah yang kemudia memberikan signal pada otak untuk meningkatkan set point termoregulator di hipotalamus. Karena peningkatan set point termoregulator ini, tubuh terpicu untuk meningkatan suhu tubuh yakni dengan cara memperkecil diameter pembulu darah (vasokontriksi) untuk mencegah kehilangan panas berlebih serta mengsignalkan respon untuk mengigil. Setelah set point ini tercapai, tubuh akan berusaha mengeluarkan kelebihan panas tubuh, salah satunya adalah dengan cara berkeringat. •



Anoreksia



Anoreksia ada penurunan berat badan merupakan manifestasi toksemia yang timbul belakangan dan sering dikeluhkan bila proses progresif. 5. Pendekatan diagnostik Tuberkulosis Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan penunjang lainnya Gejala klinik Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala respiratorik (atau gejala organ yang terlibat) dan gejala sistemik. Gejala respiratorik • • • •



Batuk ≥ 3 minggu Batuk darah Sesak napas Nyeri dada



Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang penderita terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka penderita mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar. Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas & kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.



11



Gejala sistemik • Demam • Gejala sistemik lain : malaise, keringat malam,anoreksia,berat badan menurun Pemeriksaan Jasmani Pada pemeriksaan jasmani kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apex dan segmen posterior , serta daerah apex lobus inferior. Pada pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum. Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan. Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi “cold abscess”. Pemeriksaan Bakteriologik a) Bahan pemeriksasan Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH). b) Cara pengumpulan dan pengiriman bahan Cara pengambilan dahak 3 kali, setiap pagi 3 hari berturut- turut atau dengan cara: • • •



Sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan) Dahak Pagi ( keesokan harinya ) Sewaktu/spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi)



Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan dikumpulkan/ditampung dalam pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah pecah dan tidak bocor. Apabila ada fasiliti, spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus pada gelas objek (difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium. 12



Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di gelas objek atau untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat ditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml sebelum dikirim ke laboratorium. Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke dalam kotak sediaan) yang akan dikirim ke laboratorium, harus dipastikan telah tertulis identitas penderita yang sesuai dengan formulir permohonan pemeriksaan laboratorium. c) Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat dilakukan dengan cara • •



Mikroskopik Biakan



Pemeriksaan mikroskopik: Mikroskopik biasa



: Pewarnaan Ziehl-Nielsen, pewarnaan Kinyoun Gabbett



Mikroskopik fluoresens: Pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk screening) Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik, dahak dipekatkan lebih dahulu dengan cara sebagai berikut : • • • • • •



Masukkan dahak sebanyak 2 – 4 ml ke dalam tabung sentrifuge dan tambahkan sama banyaknya larutan NaOH 4% Kocoklah tabung tersebut selam 5 – 10 menit atau sampai dahak mencair sempurna Pusinglah tabung tersebut selama 15 – 30 menit pada 3000 rpm Buanglah cairan atasnya dan tambahkan 1 tetes indicator fenol-merahpada sediment yang ada dalam tabung tersebut, warnanya menjadi merah Netralkan reaksi sedimen itu dengan berhati-hati meneteskan larutan HCl 2n ke dalam tabung sampai tercapainya warna merah jambu ke kuning-kuningan Sedimen ini selanjutnya dipakai untuk membuat sediaan pulasan (boleh juga dipakai untuk biakan M.tuberculosis )



lnterpretasi hasil pemeriksaan mikroskopik dari 3 kali pemeriksaan ialah bila : 2 kali positif, 1 kali negatif → Mikroskopik positif 1 kali positif, 2 kali negatif → ulang BTA 3 kali , kemudian



13



bila 1 kali positif, 2 kali negatif → Mikroskopik positif bila 3 kali negatf → Mikroskopik negatif Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala bronkhorst atau IUATLD. Catatan : Bila terdapat fasilitas radiologik dan gambaran radiologik menunjukkan tuberkulosis aktif, maka hasil pemeriksaan dahak 1 kali positif, 2 kali negatif tidak perlu diulang. Pemeriksaan biakan kuman: Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode konvensional ialah dengan cara : • •



Egg base media (Lowenstein-Jensen, Ogawa, Kudoh) Agar base media : Middle brook



Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan dapat mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dan juga Mycobacterium other than tuberculosis (MOTT). Untuk mendeteksi MOTT dapat digunakan beberapa cara, baik dengan melihat cepatnya pertumbuhan, menggunakan uji nikotinamid, uji niasin maupun pencampuran dengan cyanogen bromide serta melihat pigmen yang timbul. Pemeriksaan Radiologik Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral. Pemeriksaan lain atas indikasi : foto apiko-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif : • • • •



Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular Bayangan bercak milier Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)



Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif • • • •



Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas Kalsifikasi atau fibrotik Kompleks ranke Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura



Luluh Paru (Destroyed Lung ) : 14











Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat, biasanya secara klinis disebut luluh paru . Gambaran radiologik luluh paru terdiri dari atelektasis, multikaviti dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk menilai aktiviti lesi atau penyakit hanya berdasarkan gambaran radiologik tersebut. Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan aktiviti proses penyakit



Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat dinyatakan sbb (terutama pada kasus BTA dahak negatif) : •







Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas tidak lebih dari volume paru yang terletak di atas chondrostemal junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5 (sela iga 2) dan tidak dijumpai kaviti Lesi luas Bila proses lebih luas dari lesi minimal.



Pemeriksaan Penunjang Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah lamanya waktu yang dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis secara konvensional. Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik baru yang dapat mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara lebih cepat. 1. Polymerase chain reaction (PCR): Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi DNA, termasuk DNA M.tuberculosis. Salah satu masalah dalam pelaksanaan teknik ini adalah kemungkinan kontaminasi. Cara pemeriksaan ini telah cukup banyak dipakai, kendati masih memerlukan ketelitian dalam pelaksanaannya. Hasil pemeriksaan PCR dapat membantu untuk menegakkan diagnosis sepanjang pemeriksaan tersebut dikerjakan dengan cara yang benar dan sesuai standar. Apabila hasil pemeriksaan PCR positif sedangkan data lain tidak ada yang menunjang kearah diagnosis TB, maka hasil tersebut tidak dapat dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis TB ? Pada pemeriksaan deteksi M.tb tersebut diatas, bahan / spesimen pemeriksaan dapat berasal dari paru maupun luar paru sesuai dengan organ yang terlibat. 2. Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda a.1:



15







Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)



Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi respon humoral berupa proses antigen-antibodi yang terjadi. Beberapa masalah dalam teknik ini antara lain adalah kemungkinan antibodi menetap dalam waktu yang cukup lama. •



Mycodot



Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh manusia. Uji ini menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM) yang direkatkan pada suatu alat yang berbentuk sisir plastik. Sisir plastik ini kemudian dicelupkan ke dalam serum penderita, dan bila di dalam serum tersebut terdapat antibodi spesifik anti LAM dalam jumlah yang memadai yang sesuai dengan aktiviti penyakit, maka akan timbul perubahan warna pada sisir yang dapat dideteksi dengan mudah. •



Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)



Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi serologi yang terjadi •



ICT



Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) adalah uji serologik untuk mendeteksi antibodi M.tuberculosis dalam serum. Uji ICT tuberculosis merupakan uji diagnostik TB yang menggunakan 5 antigen spesifik yang berasal dari membran sitoplasma M.tuberculosis, diantaranya antigen M.tb 38 kDa. Ke 5 antigen tersebut diendapkan dalam bentuk 4 garis melintang pada membran immunokromatografik (2 antigen diantaranya digabung dalam 1 garis) dismaping garis kontrol. Serum yang akan diperiksa sebanyak 30 μl diteteskan ke bantalan warna biru, kemudian serum akan berdifusi melewati garis antigen. Apabila serum mengandung antibodi IgG terhadap M.tuberculosis, maka antibodi akan berikatan dengan antigen dan membentuk garis warna merah muda. Uji dinyatakan positif bila setelah 15 menit terbentuk garis kontrol dan minimal satu dari empat garis antigen pada membran. Dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan serologi yang diperoleh, para klinisi harus hati hati karena banyak variabel yang mempengaruhi kadar antibodi yang terdeteksi. Saat ini pemeriksaan serologi belum bisa dipakai sebagai pegangan untuk diagnosis. 3. Pemeriksaan BACTEC Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode radiometrik. M tuberculosis memetabolisme asam lemak yang kemudian menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya oleh mesin ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif pemeriksaan biakan secara cepat untuk membantu menegakkan diagnosis.



16



4. Pemeriksaan Cairan Pleura Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan pada penderita efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa rendah. 5. Pemeriksaan histopatologi jaringan Bahan histopatologi jaringan dapat diperoleh melalui biopsi paru dengan trans bronchial lung biopsy (TBLB), trans thoracal biopsy (TTB), biopsi paru terbuka, biopsi pleura, biopsi kelenjar getah bening dan biopsi organ lain diluar paru. Dapat pula dilakukan biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH =biopsi jarum halus). Pemeriksaan biopsi dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis, terutama pada tuberkulosis ekstra paru. Diagnosis pasti infeksi TB didapatkan bila pemeriksaan histopatologi pada jaringan paru atau jaringan diluar paru memberikan hasil berupa granuloma dengan perkejuan. 6. Pemeriksaan darah Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama dan kedua sangat dibutuhkan. Data ini sangat penting sebagai indikator tingkat kestabilan keadaan nilai keseimbangan biologik penderita, sehingga dapat digunakan untuk salah satu respon terhadap pengobatan penderita serta kemungkinan sebagai predeteksi tingkat penyembuhan penderita. Demikian pula kadar limfosit bisa menggambarkan biologik/ daya tahan tubuh penderida , yaitu dalam keadaan supresi / tidak. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfosit pun kurang spesifik. 7. Uji tuberkulin Pemeriksaan ini sangat berarti dalam usaha mendeteksi infeksi TB di daerah dengan prevalensi tuberkulosis rendah. Di Indonesia dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi, pemeriksaan uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik kurang berarti, apalagi pada orang dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan konversi dari uji yang dilakukan satu bulan sebelumnya atau apabila kepositifan dari uji yang didapat besar sekali atau bula. Pada pleuritis tuberkulosa uji tuberkulin kadang negatif, terutama pada malnutrisi dan infeksi HIV. Jika awalnya negatif mungkin dapat menjadi positif jika diulang 1 bulan kemudian. Sebenarnya secara tidak langsung reaksi yang ditimbulkan hanya menunjukkan gambaran reaksi tubuh yang analog dengan ; a) reaksi peradangan dari lesi yang berada pada target organ yang terkena infeksi atau b) status respon imun individu yang tersedia bila menghadapi agent dari basil tahan asam yang bersangkutan (M.tuberculosis).



17



6. Penatalaksanaan Tuberkulosis secara histolik Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan tambahan. OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT) Obat yang dipakai: 1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah: • • • • •



Rifampisin INH Pirazinamid Streptomisin Etambutol



2. Kombinasi dosis tetap (Fixed dose combination) Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari : • •



Empat obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg, isoniazid 75 mg, pirazinamid 400 mg dan etambutol 275 mg dan Tiga obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg, isoniazid 75 mg dan pirazinamid. 400 mg



3. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2) • • • •



Kanamisin Kuinolon Obat lain masih dalam penelitian ; makrolid, amoksilin + asam klavulanat Derivat rifampisin dan INH



Dosis OAT •



Rifampisin . 10 mg/ kg BB, maksimal 600mg 2-3X/ minggu atau



BB > 60 kg



: 600 mg BB 40-60 kg



: 450 mg



BB < 40 kg : 300 mg Dosis intermiten 600 mg / kali • •



INH 5 mg/kg BB, maksimal 300mg, 10 mg /kg BB 3 X seminggu, 15 mg/kg BB 2 X semingggu atau 300 mg/hari untuk dewasa. lntermiten : 600 mg / kali. Pirazinamid : fase intensif 25 mg/kg BB, 35 mg/kg BB 3 X seminggu,50 mg /kg BB 2 X semingggu atau :



18



BB > 60 kg: 1500 mg BB 40-60 kg



: 1 000 mg



BB < 40 kg: 750 mg •



Etambutol : fase intensif 20mg /kg BB, fase lanjutan 15 mg /kg BB, 30mg/kg BB 3X seminggu, 45 mg/kg BB 2 X seminggu atau : BB >60kg : 1500 mg



BB 40 -60 kg



: 1000 mg



BB < 40 kg



: 750 mg



Dosis intermiten 40 mg/ kgBB/ kali •



Streptomisin:15mg/kgBB atau BB >60kg



: 1000mg



BB 40 - 60 kg : 750 mg BB < 40 kg •



: sesuai BB



Kombinasi dosis tetap



Rekomendasi WHO 1999 untuk kombinasi dosis tetap, penderita hanya minum obat 3-4 tablet sehari selama fase intensif, sedangkan fase lanjutan dapat menggunakan kombinasi dosis 2 obat antituberkulosis seperti yang selama ini telah digunakan sesuai dengan pedoman pengobatan. Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami efek samping serius harus dirujuk ke rumah sakit / fasiliti yang mampu menanganinya. Efek Samping OAT : Sebagian besar penderita TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan. Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat, bila efek samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simtomatik maka pemberian OAT dapat dilanjutkan. 4. Isoniazid (INH) Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi, kesemutan, rasa terbakar di kaki dan nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin dengan dosis 100 mg perhari atau dengan vitamin B kompleks. Pada keadaan tersebut pengobatan dapat diteruskan. Kelainan lain ialah menyerupai defisiensi piridoksin (syndrom pellagra)



19



Efek samping berat dapat berupa hepatitis yang dapat timbul pada kurang lebih 0,5% penderita. Bila terjadi hepatitis imbas obat atau ikterik, hentikan OAT dan pengobatan sesuai dengan pedoman TB pada keadaan khusus. 5. Rifampisin •



-



Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadang-kadang diare Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan •



-



-



Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan simtomatik ialah :



Efek samping yang berat tapi jarang terjadi ialah :



Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus distop dulu dan penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi walaupun gejalanya telah menghilang Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas.



Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata, air liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak berbahaya. Hal ini harus diberitahukan kepada penderita agar dimengerti dan tidak perlu khawatir. 6. Pirazinamid Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin) dan kadang- kadang dapat menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang lain. 7. Etambutol Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis yang dipakai, jarang sekali terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg BB yang diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak karena risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi



20



8. Streptomisin Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur penderita. Risiko tersebut akan meningkat pada penderita dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal. Gejala efek samping yang terlihat ialah telinga mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya dikurangi 0,25gr. Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan makin parah dan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli). Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan ringan (jarang terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yang mendenging dapat terjadi segera setelah suntikan. Bila reaksi ini mengganggu maka dosis dapat dikurangi 0,25gr. Streptomisin dapat menembus barrier plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada wanita hamil sebab dapat merusak syaraf pendengaran janin. Efek samping ringan dari OAT Efek samping Tidak nafsu makan, mual, sakit perut Nyeri sendi Kesemutan s/d rasa terbakar di kaki Warna kemerahan pada air seni



Penyebab Rifampisin



Penanganan Obat diminum malam sebelum tidur Pyrazinamid Beri aspirin /allopurinol INH Beri vitamin B6 (piridoksin) 100 mg perhari Rifampisin Beri penjelasan, tidak perlu diberi apa-apa



Efek samping berat dari OAT Efek samping Penyebab Gatal dan kemerahan Semua jenis OAT pada kulit Tuli Streptomisin Gangguan keseimbangan



Streptomisin



Ikterik



Hampir semua OAT



Penanganan Beri antihistamin & dievaluasi ketat Streptomisin dihentikan Streptomisin dihentikan Hentikan semua OAT sampai ikterik menghilang



21



Bingung dan muntah 2



Hampir semua obat



Gangguan penglihatan Ethambutol Purpura dan renjatan Rifampisin (syok)



Hentikan semua OAT & lakukan uji fungsi hati Hentikan ethambutol Hentikan Rifampisin



Penanganan efek samping obat: • • • •











Efek samping yang ringan seperti gangguan lambung yang dapat diatasi secara simptomatik Gangguan sendi karena pirazinamid dapat diatasi dengan pemberian salisilat / allopurinol Efek samping yang serius adalah hepatits imbas obat. Penanganan seperti tertulis di atas Penderita dengan reaksi hipersensitif seperti timbulnya rash pada kulit yang umumnya disebabkan oleh INH dan rifampisin, dapat dilakukan pemberian dosis rendah dan desensitsasi dengan pemberian dosis yang ditingkatkan perlahan-lahan dengan pengawasan yang ketat. Desensitisasi ini tidak bisa dilakukan terhadap obat lainnya Kelainan yang harus dihentikan pengobatannya adalah trombositopenia, syok atau gagal ginjal karena rifampisin, gangguan penglihatan karena etambutol, gangguan nervus VIll karena streptomisin dan dermatitis exfoliative dan agranulositosis karena thiacetazon Bila sesuatu obat harus diganti maka paduan obat harus diubah hingga jangka waktu pengobatan perlu dipertimbangkan kembali dengan baik.



PADUAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi: •



TB paru (kasus baru), BTA positif atau lesi luas Paduan obat yang diberikan :



2 RHZE / 4 RH Alternatif



: 2 RHZE / 4R3H3 atau (program P2TB) 2 RHZE/ 6HE



Paduan ini dianjurkan untuk a) TB paru BTA (+), kasus baru b) TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologik lesi luas (termasuk luluh paru) c) TB di luar paru kasus berat



22



Pengobatan fase lanjutan, bila diperlukan dapat diberikan selama 7 bulan, dengan paduan 2RHZE / 7 RH, dan alternatif 2RHZE/ 7R3H3, seperti pada keadaan: a) TB dengan lesi luas b) Disertai penyakit komorbid imunosupresi / kortikosteroid) c) TB kasus berat (milier, dll). • TB Paru (kasus baru), BTA negatif



(Diabetes



Paduan obat yang diberikan : 2 RHZ / 4 RH Alternatif



Melitus,



Pemakaian



obat



: 2 RHZ/ 4R3H3 atau 6 RHE



Paduan ini dianjurkan untuk :







a. TB paru BTA negatif dengan gambaran radiologik lesi minimal b. TB di luar paru kasus ringan TB paru kasus kambuh



Pada TB paru kasus kambuh minimal menggunakan 4 macam OAT pada fase intensif selama 3 bulan (bila ada hasil uji resistensi dapat diberikan obat sesuai hasil uji resistensi). Lama pengobatan fase lanjutan 6 bulan atau lebih lama dari pengobatan sebelumnya, sehingga paduan obat yang diberikan : 3 RHZE / 6 RH. Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan paduan obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 R3H3E3 (Program P2TB). •



TB Paru kasus gagal pengobatan



Pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji resistensi, dengan minimal menggunakan 4 -5 OAT dengan minimal 2 OAT yang masih sensitif ( seandainya H resisten, tetap diberikan). Dengan lama pengobatan minimal selama 1 - 2 tahun . Menunggu hasil uji resistensi dapat diberikan dahulu 2 RHZES , untuk kemudian dilanjutkan sesuai uji resistensi. •



Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan paduan obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 H3R3E3 (Program P2TB) Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang optimal Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke ahli paru. TB Paru kasus lalai berobat



Penderita TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai dengan kriteria sebagai berikut : Penderita TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai dengan kriteria sebagai berikut :



23



-



Penderita yang menghentikan pengobatannya < 2 minggu, pengobatan OAT dilanjutkan sesuai jadwal Penderita menghentikan pengobatannya ≥ 2 minggu



1. Berobat ≥ 4 bulan , BTA negatif dan klinik, radiologik negatif, pengobatan OAT STOP 2. Berobat > 4 bulan, BTA positif : pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama 3. Berobat < 4 bulan, BTA positif : pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang sama 4. Berobat < 4 bulan , berhenti berobat > 1 bulan , BTA negatif, akan tetapi klinik dan atau radiologik positif : pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang sama 5. Berobat < 4 bulan, BTA negatif, berhenti berobat 2-4 minggu pengobatan diteruskan kembali sesuai jadwal. • -



-



TB Paru kasus kronik Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi, berikan RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji resistensi (minimal terdapat 2 macam OAT yang masih sensitif dengan H tetap diberikan walaupun resisten) ditambah dengan obat lain seperti kuinolon, betalaktam, makrolid Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke ahli paru Catatan : TB diluar paru lihat TB dalam keadaan khusus.



Catatan : TB diluar paru lihat TB dalam keadaan khusus.



24



PENGOBATAN SUPORTIF / SIMPTOMATIK Pengobatan yang diberikan kepada penderita TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat, dapat rawat jalan. Selain OAT kadang perlu pengobatan tambahan atau suportif/simtomatik untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau mengatasi gejala/keluhan. 6. Penderita rawat jalan a) Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin tambahan (pada prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk penderita tuberkulosis, kecuali untuk penyakit komorbidnya). b) Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam. c) Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas atau keluhan lain. Penderita rawat inap a) Indikasi rawat inap : TB paru disertai keadaan/komplikasi sbb : -



Batuk darah (profus) Keadaan umum buruk Pneumotoraks Empiema Efusi pleura masif / bilateral Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura).



TB di luar paru yang mengancam jiwa : - TB paru milier - Meningitis TB b) Pengobatan suportif / simtomatik yang diberikan sesuai dengan keadaan klinis dan indikasi rawat. TERAPI PEMBEDAHAN lndikasi operasi a) Semua penderita yang telah mendapat OAT adekuat tetapi dahak tetap positif b) Penderita batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara konservatif c) Penderita dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara konservatif. lndikasi relatif



25



a) Penderita dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang b) Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan c) Sisa kaviti yang menetap. Tindakan Invasif (Selain Pembedahan) • • •



Bronkoskopi Punksi pleura Pemasangan WSD (Water Sealed Drainage).



Kriteria Sembuh • • •



BTA mikroskopik negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat Pada foto toraks, gambaran radiologik serial tetap sama/ perbaikan Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negative.



EVALUASI PENGOBATAN Evaluasi penderita meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, dan efek samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat. Evaluasi klinik • • •



Penderita dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan selanjutnya setiap 1 bulan Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada tidaknya komplikasi penyakit Evaluasi klinik meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisik.



Evaluasi bakteriologik (0 - 2 - 6 /9) • • •



Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik Sebelum pengobatan dimulai Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif) Pada akhir pengobatan Bila ada fasiliti biakan : pemeriksaan biakan (0 - 2 – 6/9).



Evaluasi radiologik (0 - 2 – 6/9) Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada: • • •



Sebelum pengobatan Setelah 2 bulan pengobatan Pada akhir pengobatan. 26



Evaluasi efek samping secara klinik • • • • • •



Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan darah lengkap Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan gula darah , asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek samping pengobatan Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol Penderita yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan audiometri Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal tersebut. Yang paling penting adalah evaluasi klinik kemungkinan terjadi efek samping obat. Bila pada evaluasi klinik dicurigai terdapat efek samping, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penanganan efek samping obat sesuai pedoman.



Evaluasi keteraturan berobat •







Yang tidak kalah pentingnya selain dari paduan obat yang digunakan adalah keteraturan berobat. Diminum / tidaknya obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting penyuluhan atau pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan berobat yang diberikan kepada penderita, keluarga dan lingkungan Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi.



Evaluasi penderita yang telah sembuh Penderita TB yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi minimal dalam 2 tahun pertama setelah sembuh untuk mengetahui terjadinya kekambuhan. Yang dievaluasi adalah mikroskopik BTA dahak dan foto toraks. Mikroskopik BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan setelah dinyatakan sembuh.



27



7. • • • • • •



Komplikasi Tuberkulosis Batuk darah Pneumotoraks Luluh paru Gagal napas Gagal jantung Efusi pleura



8. Progonosis Tuberkulosis Secara umum angka kesembuhan dapat mencapai 96-99%dengan pengobatan yang baik. Namun angka rekurensi tuberculosis dapat mencapai 0-14%, yang biasanya muncul 1 tahun setelah pengobatan TB selesai terutama di negara dengan insidensi TB yang rendah. Reinfeksi lebih sering terjadi pada pasien di negara dengan insidensi yang tinggi. Prognosis biasanya baik tergantung pada selesainya pengobatan. Prognosis dipengaruhi oleh penyebaran infeksi apakah telah menyebar ekstra paru immunokompeten. Usia tua serta riwayat pengobatan sebelumnya. Indeks massa tubuh yang melambangkan status gizi juga menjadi faktor yang mempengaruhi prognosis.Prognosis tuberkulosis paru (TB paru) tergantung pada diagnosis dini dan pengobatan. Tuberkulosis extra-pulmonary membawa prognosis yang lebih buruk. 9. Kasus gangguan Tuberkulosis yang memelukan rujukan Pada prinsipnya semua pasien TB ROharus mendapatkan pengobatan dengan mempertimbangkan kondisi klinis awal. Tidak ada kriteria klinis tertentu 28



yang menyebabkan pasien TB RO harus dieksklusi dari pengobatan atau tidak mendapatkan penanganan. Kondisi ini adalah kondisi khusus yang harus diperhatikan oleh semua faskes yang menangani pasien TB RO, terutama oleh TAK sebelum memulai pengobatan TB RO. Pasien TB Resistan Obat dengan kondisi khusus 1. Penyakit penyerta yang berat Kondisi



berat karena penyakit



(ginjal, hati, epilepsi



utama



dan psikosis).



pemeriksaan laboratorium.



2. Kelainan fungsi hati.



atas



dasar



riwayat



dan



Kenaikan SGOT/SGPT > 3 kali nilai normal



atau



terbukti



menderita penyakit hati kronik. 3. Kelainan fungsi ginjal.



kadar kreatinin > 2,2 mg/dl.



4. Ibu Hamil



Wanita dalam keadaan hamil.



Pada kasus seperti di atas, pasien sebaiknya dirujuk ke RS Rujukan TB MDR untuk memulai pengobatan di RS Rujukan.



29



DAFTAR PUSTAKA 1. Aditama, TY et al, 2006. Tuberkulosis, Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia p. 1,5,10, 15. 2. Alsagaff, Hood., 2009. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga University Press pp. 75,80, 82. 3. Amin, Zulkifli., 2007. ”Tuberkulosis Paru” dalam Ilmu Penyakit Dalam jilid 2. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran UI pp. 989, 990-3. 4. Price, SA en Wilson, LMC ., 2006.”Tuberkulosis Paru” dalam Patofisiologi Konsep KlinisProses-ProsesPenyakit, bagian 1, edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC pp. 852,853 5. WHO. Chronic obstructive pulmonary disease (COPD). November 2016 [Cited 2017 15 March]; available from: http://www.who.int/respiratory/copd/. 6. Halbert RJ, Natoli JL, Gano A, et al. Global Burden of COPD: Systematic Review and Meta-analysis. Eur Resoir J. 2006 Sep. 28(3):523-32. 7. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013. LITBANG DEPKES RI. Jakarta. 8. Heise, F.H., Prognosis of Pulmonary Tuberculosis. Canadian Medical Association Journal, 1921. 11(5): p. 314-318. 9. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). Pedoman Penatalaksanaan TB (Konsensus TB). http://klikpdpi.com/konsensus/Xsip/tb.pdf. January 29th, 2017. 10. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. http://klikpdpi.com/konsensus/tb/tb.html. 2006. March 19th, 2017. 11. DEPKES RI 2014. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2014. 12. Dr. R. Darmanto Djojodibroto, Sp. P, FCCP (2014). Respirologi (respiratory Medicine). Jakarta : EGC. 13. Caminero, J.A. Multidrug-resistant Tuber-culosis: Epidemiology, Risk Factors, and Case Finding. The International Journal of Tuberculosis and Lung Disease, 14(4) 382390. 2010. 14. Espinal M, Raviglione MC. From threat to reality: the real face of multidrug-resistant tuberculosis. Am J of Respir and Crit Care Med. 2008;178:216-7. 15. World Health Organization. Guidelines for the programmatic management of drugresistant tuberculosis. 2011 update. Geneva: WHO Press; 2011. 16. Menzies D, Benedetti A, Paydar A, Martin I, Royce S, Pai M, et al. Effect of duration and intermittency of rifampin on tuberculosis treatment outcomes: a systematic review and meta- analysis. PloS Medicine. 2009;6(9):e1000146. 17. Surya A, Bassri C, Kamso S, ed. Pedoman Nasional Pengendalian TB. 2 nd ed. Jakarta, Indonesia: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2011. 18. Barnard M, Albert H, Coetzee G, O’Brien R, Bosman ME,. Rapid molecular screening for multidrug-resistant tuberculosis in a high-volume public health laboratory in South Africa. Am J of Respir and Crit Care Med. 2008;177:787-92. 19. American Thoracic Society, CDC, Infectious Diseases Society of America. Treatment of tuberculosis. Morbidity and Mortality Weekly Report: Recommendations and Reports. 2003 Contract No.: RR-11.



30



20. Menzies D, Benedetti A, Paydar A, Royce S, Pai M, Burman W, et al,. Standardized treatment of active tuberculosis in patients with previous treatment and/or with monoresistance to isoniazid: a systematic review and meta-analysis. PloS Medicine. 2009;6(9):e1000150. 21. Williams G, Alarcon E, Jittimanee S, Walusimbi M, Sebek M, Berga E, et al. Care during the intensive phase: promotion of adherence. Int J of Tuberc and Lung Dis. 2008;12(6):601-5. 22. Rusen ID I-KN, Alarcon E, Billo N, Bissell K, Boillot F, et al. Cochrane systematic review of directly observed therapy for treating tuberculosis: good analysis of the wrong outcome. Int Journ of Tuberc and Lung Dis. 2007;11(2):120-1. 23. Hopewell PC PM, Maher D, Uplekar M, Raviglione MC,. International standards for tuberculosis care. Lancet Infectious Diseases. 2006;6(11):710-25.



31