GB 31 Misteri Anjing Hantu [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

R. L. Stine: Misteri Anjing Hantu (Goosebumps # 31)



ANJING-ANJING HANTU ITU SUDAH MENUNGGUNYA SELAMA BERABAD-ABAD! Pada bayanganmu sendiri saja takut, itulah yang selalu dikatakan orang-orang pada Cooper Holmes, Tapi, ketika keluarga Holmes pindah ke rumah mereka yang baru, terpencil di tengah hutan, hal-hal yang mengerikan memang benar-benar terjadi. Susahnya, tak seorang pun mau mempercayai Cooper yang penakut ini. Padahal Cooper benar-benar mendengar lolongan anjing di halaman mereka di tengah malam... Dan juga melihat dua Labrador hitam menerjang menembus dinding dapur rumah mereka. Goosebumps Ya! Dijamin kalian pasti ber-goosebumps-ria alias merinding ketakutan kalau membaca seri ini. Soalnya, seri goosebumps memang menyajikan kisah-kisah horor yang super seram dan mengerikan! Tidak percaya? Baca saja sendiri... kalau berani!!!



Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jl. Palmerah Selatan 24-26 Lt. 6 Jakarta 10270 Ebook PDF: eomer eadig Http://ebukulawas.blogspot.com Convert & Re edited by: Farid ZE blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu



1 UNTUK kesekian kalinya malam itu kusingkirkan selimutku lalu duduk tegak di tempat tidur. Kali ini aku yakin aku mendengar sesuatu. Dan yang jelas, bukan suara angin. Aku selalu mendengar bunyi-bunyi aneh. Tapi apa pun yang kudengar, Mom selalu mengatakan, "Itu cuma suara angin, Cooper. Bukan suara apa-apa." Tapi suara angin kan tidak seperti suara langkah di atas daun-daun kering. Dan itulah yang kudengar kali ini. Sungguh. Aku berjalan ke jendela kamarku dan berhenti di sampingnya. Kemudian aku membungkuk dan mengintip ke luar. Suasananya memang menyeramkan. Kupicingkan mataku agar dapat melihat lebih jelas dalam kegelapan. Jangan membungkuk terlalu jauh, aku mengingatkan diriku. Jangan sampai terlihat oleh siapa pun atau apa pun yang ada di luar sana. Pandanganku menyapu seluruh pekarangan belakang. Aku mengangkat kepalaku sedikit—dan melihatnya. Berjarak beberapa meter saja dariku. Lengan-lengan yang besar, hitam, dan mengerikan. Menggapai-gapai untuk menjangkauku. Siap menyambarku. Oh, bukan. Ternyata cuma dahan-dahan pohon ek tua di pekarangan: Hei, jangan tertawa dong! Aku kan sudah bilang kalau di luar gelap. Aku kembali memantau pekarangan belakang. Suara itu. Oh, itu dia! Serta-merta aku merunduk. Kurasakan kakiku gemetar ketika berjongkok di samping jendela. Keringat dingin mengucur di tubuhku. Kresek. Kresek. Lebih keras dari sebelumnya. Aku menelan ludah. Sekali lagi aku mengintip ke luar. Ada sesuatu yang bergerak dalam kegelapan. Di bawah pohon ek. Aku menahan napas. Kresek. Kresek, kresek. Dahan-dahan bergoyang-goyang karena tiupan angin. Kresek, kresek, kresek. Bunyi menakutkan itu semakin keras. Dan semakin mendekati rumah. Dengan waswas aku mengintip ke luar. Tiba-tiba kulihat sepasang mata dalam kegelapan. Tenggorokanku tersekat. Aku tak sanggup bersuara. Mata itu menyala-nyala. Kali ini lebih dekat lagi. Persis di depan jendelaku. Menatapku. Menghampiriku. Sosok gelap tersebut mulai terlihat lebih jelas. Makhluk yang mendekatiku itu



ternyata seekor kelinci?? Aku mengembuskan napas. Ini malam pertama di rumah kami yang baru dan aku sudah ketakutan setengah mati. Aku pergi ke kamar mandi untuk mengambil handuk. Sambil menyeka keringat di keningku, kuamati bayanganku di cermin lemari obat. Setiap kali aku ketakutan, bintik-bintik di wajahku selalu kelihatan jelas sekali. Seperti sekarang. Ada jutaan bintik memenuhi wajahku. Kuusap rambutku dengan sebelah tangan. Rambutku sengaja kubiarkan tumbuh panjang. Untuk menutupi telingaku yang besar dan menggantung. Dari kecil, telingaku sudah besar. Mom selalu mengatakan aku tidak perlu khawatir. Katanya lagi, kalau aku sudah tambah besar telingaku bakal berukuran normal. Tapi umurku sudah dua belas sekarang, dan belum ada perubahan apa-apa. Telingaku tetap saja besar. Besar dan menggantung. Untuk membantu menyembunyikan telingaku, aku hampir selalu memakai topi. Topi favoritku yang bertuliskan tim baseball favoritku—Red Sox. Jadi aku tidak keberatan memakainya. Seekor kelinci, aku bergumam sambil menatap bayanganku di cermin. Aku ketakutan gara-gara seekor kelinci. Aku berhasil melewati satu hari tanpa merasa ketakutan. Bagiku, itu prestasi yang patut dibanggakan. Di tempat tinggalku sebelum ini—di Boston, Massachusetts—aku punya dua sahabat karib, Gary dan Todd, dan mereka selalu menertawakan aku. "Cooper," mereka sering bilang, "kau bisa mati kaku karena bayanganmu sendiri pada saat Halloween." Mereka benar. Aku memang penakut. Ada orang yang lebih gampang takut ketimbang orang lain. Dan aku termasuk kelompok ini. Contohnya waktu aku pergi berkemah musim panas yang lalu. Aku kesasar di hutan waktu menuju ke kamar mandi umum. Apa yang kulakukan? Aku tidak melakukan apa-apa. Aku cuma berdiri seperti patung. Waktu aku akhirnya ditemukan oleh anak-anak yang satu pondok denganku, seluruh badanku gemetar. Aku sudah hampir menangis. Padahal, selama itu aku ternyata cuma beberapa kaki dari ruang makan. Oke. Kuakui terus terang. Dalam hal keberanian, aku bukan tandingan Indiana Jones! Waktu aku diberitahu orangtuaku bahwa kami akan pindah dari kota ke sebuah rumah di tengah hutan, perasaanku langsung agak tegang. Mungkin malah bisa dibilang ngeri. Aku ngeri meninggalkan apartemen tempat aku tinggal dari kecil. Aku ngeri membayangkan bahwa aku akan tinggal di tengah hutan.



Dan kemudian aku diberitahu bahwa rumah kami lerpencil, di daerah Maine. Jaraknya bermil-mil dari kota terdekat. Seumur hidup aku baru dua kali membaca buku seram. Kedua-duanya berkisah tentang peristiwa yang terjadi di Maine. Di tengah hutan. Tapi aku tidak punya pilihan. Kami pasti akan pindah. Mom dapat pekerjaan baru di Maine, dan aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku keluar dari kamar mandi, kembali ke tempat tidur. Papan-papan lantai berderit-derit setiap kali aku melangkah. Agak sulit bagiku untuk membiasakan diri dengan bunyi itu. Aku juga sulit membiasakan diri dengan bunyi-bunyi aneh lainnya di rumah tua ini. Pipa-pipa yang berkertak-kertak. Daun jendela yang bergesek-gesek. Belum lagi bunyi berdebum yang terdengar setiap jam. Pada waktu makan malam, Mom cuma bilang bahwa rumah kita sedang "turun". Entah apa artinya. Masih untung dia tidak bilang, "Itu cuma suara angin, Cooper." Aku naik ke tempat tidur dan langsung kutarik selimutku sampai ke dagu. Setelah itu kutepuk-tepuk bantalku dua atau tiga kali untuk membuatnya lebih nyaman. Aku merasa lebih aman di tempat tidur. Aku mencintai tempat tidurku. Sebenarnya Mom sudah mau membuangnya waktu kami pindah. Dia bilang aku butuh tempat tidur baru. Tapi kubilang "jangan". Aku menghabiskan waktu bertahun-tahun sampai tempat tidurku betul-betul pas untukku, tidak terlalu empuk dan tidak terlalu keras. Aku memandang berkeliling di kamarku yang baru. Rasanya aneh sekali melihat barang-barangku di tempat yang asing. Ketika para tukang angkut membawa masuk perabotku tadi pagi, kusuruh mereka mengaturnya persis seperti di kamarku yang lama. Di seberang tempat tidurku ada rak yang dibuatkan Daddy. Rak itu dilengkapi lampu dan aku memakainya untuk menyimpan koleksi snow dome—kubah kecil dari kaca yang kalau dibalik bisa meniru hujan salju di dalamnya. Aku sudah tidak sabar untuk membongkar koleksiku dari kardus. Aku punya 77 biji dari seluruh dunia—bahkan dari Australia dan Hong Kong. Nah, aku sudah mulai rileks sambil membayangkan koleksi—ketika tiba-tiba terdengar bunyi lain. Bukan bunyi kresek berulang-ulang seperti tadi tapi bunyi kresek yang panjang sekali. Aku langsung tegak di tempat tidur. Kali ini aku yakin sekali. Seratus persen. Seseorang—atau sesuatu—sedang mengendap-endap. Persis di depan jendelaku! Serta-merta kusingkirkan selimut. Kemudian aku turun ke lantai dan merangkak ke jendela. Pelan-pelan sekali. Dengan hati-hati aku berdiri dan mengintip ke luar.



Apa itu? Seekor ular? Kubuka jendela. Kuraih bola softball dari lantai, lalu kutimpuk ular itu. Kemudian aku segera kembali berlutut dan pasang telinga. Hening. Tak ada suara lagi. Lemparanku kena telak. Bagus! Aku bangkit dan mencondongkan badan ke luar jendela. Aku merasa bangga sekali. Bagaimanapun juga, aku baru saja menyelamatkan keluargaku dari ancaman maut. Aku baru saja membantai—slang air! Aku menghela napas dan menggelengkan kepala. Dasar penakut, aku berkata dalam hati. Seandainya Gary dan Todd ada di sini, mereka pasti tertawa terpingkal-pingkal sambil mengejekku. "Hebat juga, Coop!" Gary pasti berkata. "Kau telah menyelamatkan keluargamu dari slang air beracun!" Dan Todd akan menimpali, "Yeah. Super Cooper beraksi lagi!" Aku kembali ke tempat tidur. Sekali lagi kutepuk-tepuk bantalku. Kemudian aku memejamkan mata serapat mungkin. Cukup, aku berkata dalam hati. Aku tidak mau bangun lagi. Aku tak peduli lagi pada suara apa pun yang kudengar. Aku tidak mau bangun lagi. Apapun yang terjadi. Dan seketika aku mendengar suara lain. Suara yang berbeda. Suara yang membuat jantungku berdegup-degup di dalam dada. Suara tarikan napas. Suara tarikan napas yang mendesis-desis. Di kamarku. Di bawah tempat tidur!



2 AKU berbaring tanpa bergerak. Aku tidak bisa bergerak. Aku berbaring sambil menatap langit-langit dan mendengarkan suara napas di bawah tempat tidur. Oke, Cooper, aku berkata dalam hati. Tenang saja. Kau cuma mengkhayal. Kamu tertipu oleh khayalanmu sendiri.



Suara tarikan napas itu bertambah keras. Bertambah mengerikan. Aku menutup telinga dan memejamkan mata. Tidak ada apa-apa. Tidak ada apa-apa. Pasti tidak ada apa-apa sama sekali. Ini kan rumah tua, pikirku, masih sambil menutup telinga. Rumah tua juga perlu bernapas—ya, kan? Atau, apa kata Mom tadi? Turun? Yeah, itu dia. Rumah ini sedang turun. Atau mungkin pipanya yang berbunyi. Di apartemen kami yang lama di Boston juga ada pipa-pipa yang selalu bersuara aneh. Pasti itu deh pipanya. Aku menurunkan tangan. Hening. Tak ada apa-apa. Tak ada pipa. Tak ada suara napas. Jangan-jangan aku sudah mulai tidak waras. Kalau kejadian ini kuceritakan kepada Gary dan Todd, mereka bisa tertawa sampai sakit perut. Dan kemudian suara napas itu terdengar lagi. Kali ini bunyinya parau dan berat. Seperti tarikan napas binatang yang sedang sakit. Aku tidak bisa diam saja. Aku harus tahu berasal dari mana suara itu. Kuayunkan kaki dari tempat tidur. Lalu kutarik napas dalam-dalam. Perlahan-lahan aku berdiri. Dengan hati-hati kuangkat selimut. Kemudian, dengan hati berdebar-debar, aku membungkuk dan mengintip ke kolong tempat tidur. Saat itulah sepasang tangan melesat ke luar dan mencengkeramku. Sepasang tangan yang kuat dan dingin. Sepasang tangan yang mencekik leherku— semakin lama semakin keras.



3 AKU menjerit. Saking kerasnya, aku sendiri sampai kaget. Penyerangku rupanya kaget juga. Dia segera melepaskan tangannya. Aku memijat-mijat leher dan menarik napas sambil megap-megap. "Jangan ribut, Cooper," sebuah suara berbisik. "Nanti Mom dan Daddy bangun!" Hah? Oh, dasar. Ternyata Mickey. Kakakku yang berengsek. "Mickey!" aku memekik. "Aduh, kau



membuatku ketakutan setengah mati!" Mickey merangkak keluar dari kolong tempat tidur dan menepis debu yang menempel pada piamanya. "Itu sih gampang," dia bergumam. "Diam kau," aku membentaknya sambil mengusap-usap lebar. Aku menoleh ke cermin. Bekas tangan Mickey menampakkan garis-garis merah yang mengelilingi leherku. "Lihat nih! Lihat!" aku berseru. "Kau kan tahu aku gampang memar!" "Ah, jangan cengeng! Ini kan cuma main-main," sahutnya sambil nyengir. Dengan geram kutatap kakakku yang brengsek itu. Rasanya aku ingin sekali menghapus senyumnya yang menyebalkan, tanpa ada masalah baru. "Dasar brengsek!" aku menggerutu. Cuma itu yang terpikir olehku. "Dasar bayi!" balasnya. Dia menuju ke pintu, lalu menoleh lagi. "Barangkali Cooper kecil perlu lampu malam di samping tempat tidurnya?" dia bertanya sambil mengecilkan suaranya. Habis sudah kesabaranku. Aku melompat ke punggungnya dan memukul-mukul kepalanya dengan tangan terkepal. "Hei!" dia berteriak sambil berusaha membebaskan diri. "Apa-apaan ini? Ayo, turun!" Kaki Mickey menekuk karena tak sanggup menahan berat badanku, dan dia jatuh ke lantai. Aku tetap bertengger di punggungnya dan memukul-mukul kepalanya. Mickey tiga tahun lebih tua dariku, dan dia jauh lebih besar. Tapi kali ini aku di atas angin, dan kesempatan itu tentu saja tidak kusia-siakan. Berkali-kali pukulanku mendarat dengan telak. Kemudian dia bergeser ke kanan. Dan mulai membalas pukulanku. Untung saja dia baru sempat memukul satu kali sebelum Mom dan Dad masuk dan memisahkan kami. "Cooper! Mickey! Ada apa ini?" "Dia yang mulai!" seruku sambil mengelak dari pukulan kakakku. Daddy membungkuk dan menarik Mickey. "Aku tidak mau tahu siapa yang mulai!" katanya dengan gusar. "Ini malam pertama di rumah kita yang baru. Tidak seharusnya kalian bertingkah begini. Mickey, kembali ke kamarmu!" "Tapi, Dad, dia—" "Tidak penting siapa yang mulai. Tingkah laku seperti ini harus berhenti— sekarang! Kalau terulang kalian berdua akan menyambut tahun ajaran baru dengan hukuman tidak boleh keluar rumah!" Mickey meninggalkan kamarku sambil menggerutu. Tapi sebelumnya dia masih sempat menjulurkan lidah kepadaku. Nah, sekarang sudah jelas, kan? Yang bersikap seperti bayi itu Mickey. Bukan aku. "Sungguh, Dad, Mickey yang mulai," aku berkata setelah kakakku pergi.



"Dan kau cuma korban keisengan kakakmu, ya?" Ayahku menanggapinya seakanakan yakin bahwa aku ikut bersalah. "Ya!" aku berkeras. Daddy geleng-geleng kepala. "Sudahlah, tidur aja, Cooper." Setelah orangtuaku kembali ke kamar mereka, aku berjalan mondar-mandir sambil menggosok-gosok tengkuk. Aku kesal sekali! Ini bukan pertama kali aku dikerjai Mickey seperti ini. Sepanjang yang aku ingat, Mickey selalu mencoba menakut-nakutiku. Dan biasanya memang berhasil. Suatu kali, waktu Mom dan Dad pergi selama akhir pekan, dia menaruh tape recorder di kamarku. Dan sepanjang malam aku terpaksa mendengarkan jeritanjeritan yang mengerikan. Pernah juga dia tidak menjemputku sehabis latihan softball. Dia membiarkan aku berdiri di lapangan, seorang diri, sementara dia bersembunyi dan menonton aku panik. Tapi, bersembunyi di bawah tempat tidur seperti malam ini, benar-benar keterlaluan. Dia memang termasuk orang paling berengsek di seluruh dunia. Aku kembali naik ke tempat tidur dan menatap langit-langit. Aku harus menemukan cara untuk membalas dendam. Apa yang bisa kulakukan? Bersembunyi di bawah jendela Mickey dan menjerit? Melompat dari balik tirai shower waktu dia sedang gosok gigi? Jangan. Terlalu konyol. Aku harus memikirkan sesuatu yang lebih seru. Sesuatu yang begitu seram sampai aku sendiri merasa takut. Biarpun aku sendiri yang melakukannya. Kuperhatikan bayang-bayang yang bergerak-gerak di dinding dan langit-langit. Kuperhatikan suara-suara seram yang terdengar di rumah kami yang baru—suarasuara yang terpaksa kudengar seumur hidup. Pipa-pipa yang berkertak-kertak. Anjing-anjing yang menyalak. Tunggu dulu. Anjing? Aku langsung tegak di tempat tidurku. Kami tidak punya anjing. Dan dalam jarak bermil-mil tidak ada rumah selain rumah kami. Tapi aku yakin aku mendengar gonggongan anjing. Aku pasang telinga. Tuh, anjingnya menyalak. Lalu dia mulai melolong. Sambil mendesah kusingkirkan selimutku. Aku sudah hendak turun dari tempat tidur, tapi mendadak aku sadar. Mickey! Ini pasti ulah kakakku yang konyol. Dia memang pintar meniru suara anjing. Dia selalu berlatih.



Aku tersenyum dan kembali berbaring. Aku tidak ingin tertipu. Aku tidak akan menghampiri jendela. Kali ini dia takkan berhasil. Sorry saja. Aku berbaring sambil mendengarkan Mickey beraksi. Dia melolong dan menyalak bagaikan anjing besar. Dasar konyol. Lalu, tiba-tiba, aku menegakkan tubuh lagi. Hei. sekarang ada dua anjing yang melolong. Mickey memang jago, tapi dia pasti tak sanggup berbuat begini. Lolongan itu berubah menjadi rintihan yang menyayat. Begitu dekat. Persis di depan jendelaku. Tadi aku sudah bilang, aku cukup bangga karena berhasil melewati satu hari tanpa merasa takut. Tapi, wah, malam ini aku benar-benar menebus utang! Untuk keseribu tiga kali aku mengendap-endap ke jendela. Suara itu terdengar jelas sekali. Dua ekor anjing. Melolong dan merintih. Untuk keseribu tiga kalinya aku memandang ke luar. Tapi untuk pertama kali aku tidak percaya pada apa yang kulihat.



4 AKU tidak melihat apa-apa. Sama sekali tidak ada apa-apa. Tidak ada anjing. Tidak ada orang. Aku memicingkan mata, mengamati seluruh pekarangan. Kosong. Bagaimana mungkin mereka menghilang begitu saja? Aku berdiri di jendela beberapa detik lagi, tapi tak satu anjing pun muncul. Aku merinding. Kurasa aku takkan pernah bisa lidur lagi, pikirku, selama aku masih tinggal di rumah ini. Aku kembali ke tempat tidur. Kutarik selimutku ke dagu. Lalu mulai menghitung babi-babi kecil berwarna hijau dan biru pada wallpaper di dekat kepalaku. Lama-lama aku rupanya ketiduran juga. Ketika aku membuka mata, matahari sudah bersinar cerah di luar. Sambil menguap aku melirik weker. Pukul enam tiga puluh. Aku biasa bangun pagi. Aku selalu ingin memulai hariku sepagi mungkin.



Aku melompat dari tempat tidur dan bergegas ke jendela untuk mengamati pekarangan. Dalam keadaan terang, kesannya sama sekali tidak menyeramkan. Aku tersenyum ketika melihat panjat-panjatan di pojok. Pemilik rumah sebelum kami yang membangunnya. Di situ ada luncuran dan batang-batang besi untuk bergelantungan. Dan kemarin Daddy memasang tali dan ban, sehingga sekarang kami juga punya ayunan. Panjat-panjatan itu langsung berbatasan dengan hutan. Hutan dengan macammacam pohon, semak, dan ilalang yang tumbuh subur. Rumah kami dikelilingi hutan di tiga sisi. Dan hutannya membentang sampai entah ke mana. Cepat-cepat aku ganti baju, memakai jeans dan T-shirt Red Sox. Setelah menyambar topi baseball, aku bergegas ke pintu dan berlari ke luar. Cuacanya bagus sekali! Langitnya cerah, udaranya hangat. Seandainya aku masih di Boston, aku pasti segera mengambil sepeda, lalu segera pergi ke rumah Gary atau rumah Todd. Setelah itu biasanya kami akan ke lapangan untuk bermain softball. Atau sekadar berjalan-jalan naik sepeda. Tapi aku sudah tidak di Boston. Sebaiknya aku segera membiasakan diri, aku berkata dalam hati. Mudah-mudahan saja ada anak-anak yang enak diajak berteman di sini. Tapi aku tidak melihat satu rumah pun ketika kami datang naik mobil kemarin. Kelihatannya aku terpaksa menghabiskan beberapa hari mendatang seorang diri— sampai sekolah dimulai minggu depan. Aku menuju ke panjat-panjatan di pojok pekarangan. Mula-mula aku bermain ayunan. Maju-mundur. Maju-mundur. Sambil menatap jendela kamarku dari luar. Maju-mundur. Maju-mundur. Sambil mengingat-ingat kejadian semalam. Mengingat-ingat betapa beraninya Super Cooper. Huh! Maju-mundur. Maju-mundur. Mengingat-ingat anjing-anjing itu. Hei. Ini aneh, pikirku. Seharusnya ada jejak-jejak anjing-anjing yang kudengar semalam. Tapi aku tidak melihat satu pun. Aku turun dari ayunan dan mulai mencari di sekeliling rumah. Tak ada satu jejak pun. Aneh. Aku yakin semalam ada anjing di sini. Aku menoleh ke tepi hutan. Barangkali anjing-anjing itu tersesat, aku berkata dalam hati. Barangkali semalam mereka datang ke sini untuk mencari pertolongan. Barangkali aku perlu melacak mereka. Aku menggigit bibir. Bisa-bisa malah aku yang tersesat di hutan—untuk selamalamanya, pikirku dengan gelisah. Hah, masa bodoh, aku memutuskan. Hari ini adalah hari pertamaku sebagai aku yang baru. Super Cooper yang sesungguhnya. Aku bertekad menemukan anjinganjing itu, untuk membuktikan kepada diriku sendiri bahwa aku belum gila.



Siapa tahu? Kalau aku berhasil menemukan anjing-anjing itu, barangkali aku boleh memelihara satu. Pasti asyik kalau punya anjing. Sebenarnya sudah lama aku kepingin punya anjing. Tapi Mommy mengatakan bulu anjing membuatnya bersin-bersin. Mungkin saja dia kini akan berubah pikiran. Kutarik napas dalam-dalam. Kemudian aku masuk ke hutan. Aku melihat pohonpohon yang mencengangkan. Pohon-pohon birch yang menjulang tinggi, dengan batang berkulit putih bersih. Selain itu juga ada pohon sassafras dan maple, dengan batangnya yang besar dan meliuk-liuk. Umur pohon-pohon itu mungkin lebih dari seratus tahun, pikirku. Wow. Barangkali Daddy bisa membuatkan rumah pohon di pekarangan belakang, aku mulai berangan-angan. Itu baru asyik. Aku bisa nongkrong di situ bersama Gary dan Todd kalau mereka mengunjungiku ke sini. Aku berjalan dengan pandangan terus tertuju ke bawah. Tapi aku tidak menemukan tanda-tanda apa pun. Tidak ada jejak kaki maupun dahan patah. Aneh sekali. Padahal aku yakin aku mendengar anjing menyalak semalam. Tapi mungkin juga aku cuma menyangka aku mendengar suara anjing. Waktu itu memang sudah larut malam, dan aku memang sudah mengantuk sekali. Barangkali aku cuma berkhayal. Atau tertipu lagi oleh ulah Mickey. Bisa jadi dia merekam suara anjing lain, lalu ikut menggonggong. Aku takkan heran kalau dia berbuat begitu. Dia memang licik sekali. Tak ada jalan lain. Aku harus membuat perhitungan dengannya. Aku harus melakukan sesuatu yang bakal membuatnya ketakutan setengah mati. Barangkali aku bisa menyiapkan jebakan di hutan ini. Aku berjalan di antara pohon-pohon besar dan menerobos ilalang-ilalang tinggi. Sepanjang jalan aku terus memikirkan cara untuk menakut-nakuti Mickey. Tiba-tiba aku sadar bahwa aku tidak memperhatikan ke mana aku berjalan. Aku langsung terbalik dan memandang ke belakang. Rumahku! Rumahku tidak kelihatan! Oke, Cooper, tenang saja. Kau baru berjalan beberapa menit. Kau pasti belum jauh dari rumah, aku berkata kepada diriku sendiri. Tapi telapak tanganku mulai berkeringat. Aku menelan ludah, lalu berusaha mengingat-ingat dari mana aku tadi mulai berjalan. Dari kiri. Tapi—tunggu dulu. Mungkin juga dari kanan. Aku menundukkan kepala dan mengerang. Percuma saja, pikirku.



Aku tersesat. Tersesat di tengah hutan.



5 AKU memaksakan diri untuk tidak menangis. Jangan sampai Mickey melihat mataku merah dan basah. Aku bakal terus diejeknya sampai tua. Lagi pula, ini hari pertamaku sebagai aku yang baru. Super Cooper yang baru. Aku menarik napas dalam-dalam. Kuputuskan untuk berjalan ke sebelah kanan. Kalau rumahku belum kelihatan juga, aku akan berbalik dan kembali ke sebelah kiri. Tak ada salahnya dicoba. Aku toh sudah tersesat. Aku menuju ke sebelah kanan. Aku berusaha menempuh jalur selurus mungkin. Bunyi ranting patah di belakangku membuatku berbalik lagi. Tak ada siapa-siapa. Cuma tupai atau sebangsanya, kataku dalam hati. Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Aku kembali berjalan lurus. Tapi, baru selangkah aku sudah mendengar bunyi daun-daun berdesir. Aku tidak menoleh. Kupercepat langkahku. Dan kudengar sekali lagi. Bunyi ranting patah. Daun-daun berdesir. Tenggorokanku mendadak kering-kerontang. Jangan panik. Jangan panik. "Si-siapa itu?" seruku dengan suara parau. Tak ada jawaban. Aku kembali menghadap ke depan. Oh! Ke arah mana aku jalan tadi? Kepalaku terasa berputar-putar. Tiba-tiba aku merasa pusing. Terlalu pusing untuk mengingat arah yang kutempuh tadi. Tek. Krak. Kresek. "Siapa itu?" aku memanggil sekali lagi. Suaraku bergetar—sama sekali tidak cocok untuk Super Cooper. "Kau ya, Mickey? Ini tidak lucu! Mickey?"



Kemudian aku merasakan sesuatu menggores. Sesuatu yang dingin. Dan tajam. Aku tak tahan lagi. Serta-merta aku mulai menjerit.



6 SEHELAI daun. Sehelai daun biasa. Ayo, Cooper! Jangan panik! Sejenak aku duduk di tanah. Kulirik jam tanganku. Sudah hampir pukul delapan. Sebentar lagi Dad akan keluar ke pekarangan. Pagi ini dia mau memasang tempat panggangan barbecue. Aku tinggal menunggu sampai ia mulai mengetuk-ngetuk pakai palu, lalu berjalan ke arah bunyi itu. Aku tinggal duduk di sini. Dan menunggu. Menunggu bunyi palu. Ide bagus, pikirku. Tapi kemudian aku mendengar sesuatu bergerak-gerak di belakangku. Cuma daun-daun yang tertiup angin, aku berkata dalam hati. Cuma daun. Kuamati pohon-pohon di sekelilingku. Saat kepalaku mendongak—tiba-tiba lenganku dicengkeram dari belakang. Aku tersentak kaget. Seketika aku berdiri dan kabur. Dan tersandung kakiku sendiri. Cepat-cepat aku berdiri lagi—dan berseru tertahan. Anak cewek. Dia kira-kira seumurku. Rambutnya yang merah dan panjang sekali tampak acakacakan. Matanya besar dan hijau. Dia mengenakan T-shirt dan celana pendek yang sama-sama berwarna merah. Dia mengingatkanku pada boneka yang selalu dibawa adik perempuan Todd. "Kau tidak apa-apa?" tanyanya sambil bertolak pinggang. "Yeah, aku tidak apa-apa," sahutku. "Aku tak bermaksud menakut-nakutimu," katanya. "Aku tak takut," aku berbohong. "Sungguh," ujarnya. "Aku sih pasti takut kalau ada orang yang menarik tanganku seperti itu. Aku tidak bermaksud apa-apa." "Aku sudah bilang," balasku ketus. "Aku tidak takut." "Oke. Sori." "Sori kenapa?" tanyaku. Ini benar-benar cewek aneh yang pernah kutemui. "Entah," jawabnya sambil angkat bahu. "Sudahlah, tak perlu minta maaf terus," kataku. Kutepis tanah yang menempel di



pakaianku, lalu kupungut topi baseball-ku yang tergeletak di tanah. Langsung saja kupasang lagi. Untuk menutupi telingaku. Cewek itu terus menatapku. Dia cuma berdiri dan menatapku. Tanpa berkata apaapa. Jangan-jangan dia heran melihat telingaku. "Siapa kau?" aku akhirnya bertanya. "Margaret Ferguson," dia menjawab. "Tapi orang-orang memanggilku Fergie. Seperti si putri." Aku tidak tahu putri mana yang dimaksudnya. Tapi aku mengangguk-angguk dan berlagak mengerti. "Aku tinggal di sebelah sana, di balik hutan," dia berkata sambil menunjuk ke belakang. "Kupikir di sini tidak ada siapa-siapa," ujarku. "Yeah. Memang cuma sedikit sekali rumah di sini, Cooper," sahutnya. "Dan semuanya terpencar." "Hei! Dari mana kau tahu namaku?" tanyaku curiga. Muka Margaret, atau Fergie, atau siapa pun namanya, langsung merah padam. "Aku, ehm, aku menonton kalian pindah kemarin," dia mengakui. "Aku tidak melihatmu," ujarku. "Soalnya aku bersembunyi di hutan," katanya. "Aku dengar kau dipanggil Cooper oleh ayahmu. Dan aku juga tahu nama belakangmu. Nama belakangmu Holmes, kan? Aku melihatnya tertulis di peti-peti di atas truk. Dan aku tahu kau punya kakak bernama Mickey," dia menambahkan. "Dia brengsek." Aku tertawa. "Soal itu aku setuju!" seruku. "Ehm, sudah berapa lama kau tinggal di sini?" Dia tidak menjawab, dan malah menundukkan kepala. "Aku tanya sudah berapa lama..." sekonyong-konyong dia menoleh dan menatap mataku. "A-ada apa?" aku bertanya ketika melihat tampangnya yang ketakutan. Roman mukanya mengencang, seolah-olah dia sedang kesakitan. Bibirnya gemetaran. "Margaret!" seruku. "Ada apa? Ada apa?" Dia membuka mulut, tapi tak ada suara yang keluar. Dia menarik napas sambil megap-megap. Akhirnya dia meraih pundakku dan merapatkan wajahnya ke wajahku. "Anjing," bisiknya. Kemudian dia melepaskanku dan langsung kabur. Sejenak aku berdiri seperti patung. Lalu aku mulai mengejarnya. Dia hampir sampai ke tunggul besar sebelum aku berhasil menyusulnya. Kuraih punggung T-shirt-nya dan kutarik dia sampai membalik. "Margaret, apa maksudmu 'anjing'?" tanyaku. "Jangan! Jangan!" pekiknya. "Lepaskan aku! Lepaskan aku!"



Bajunya kucengkeram erat-erat. "Margaret, apa maksudmu tadi?" aku mendesak. "Aku perlu tahu. Kenapa kau bilang 'anjing'?" "Anjing?" Dia membelalakkan mata. "Aku tidak ingat bilang begitu." Aku terbengong-bengong. "Ya, kau bilang begitu!" aku berkeras. "Kau menatapku dan bilang, 'Anjing!' jelas-jelas kau bilang begitu." Dia menggeleng. "Ta-tapi aku tidak ingat," ujarnya sambil mengerutkan kening. Hmm, aku sudah sering ketemu orang aneh, tapi belum pernah ada yang seaneh Margaret. Dibanding dia, Mickey bisa dibilang normal. Atau, hampir normal. "Oke," aku berkata sambil berusaha tenang, "kejadiannya begini. Kau mendadak ketakutan. Lalu kau pegang bahuku. Terus kau bilang, 'Anjing.' Dan habis itu kau kabur." "Aku tidak ingat sama sekali," sahutnya pelan-pelan sambil menggeleng. "Untuk apa aku bilang begitu?" "Mana kutahu?!" seruku, Kesabaranku mulai menipis. "Bukan aku yang bilang begitu!" Dia memandang berkeliling, lalu menatapku dengan mata hijaunya. "Dengar aku, Cooper," dia berbisik dengan gaya misterius. "Pergilah dari sini." "Hah?" "Aku memperingatkanmu, Cooper! Beritahu orangtuamu, mereka harus segera pergi!" Dengan gelisah dia menoleh ke belakang, lalu kembali berpaling padaku. "Aku mohon—dengarkan aku. Pergilah dari sini! Secepat mungkin!"



7 FERGIE melepaskan pundakku dan langsung lari. Mula-mula aku cuma menatapnya sambil melongo, karena terlalu kaget untuk bergerak. Tapi kemudian kupikir sebaiknya dia jangan dibiarkan kabur. “Fergie!" panggilku. "Tunggu!" Untuk ukuran cewek, Fergie berlari kencang sekali. Tapi sebenarnya, hampir semua cewek yang kukenal bisa berlari kencang. Siapa sih yang bilang cewek lebih pelan daripada cowok? Itu tidak benar. Sebagian



besar cewek di kelasku tahun lalu bisa mengalahkan cowok mana pun kalau adu lari. Nah, kebetulan aku juga bisa berlari kencang. Kalau kita takut pada segala sesuatu, lari kencang adalah keharusan. "Fergie!" aku memanggil sekali lagi. "Tunggu! Aku ingin tahu ada apa sebenarnya!" Tapi aku tak sanggup mengejarnya. Lalu, di luar dugaanku, dia berhenti dan berpaling kepadaku. "Begini, Cooper," katanya, lebih tenang daripada sebelumnya. "Hutan ini ada hantunya. Dan sepertinya rumahmu juga. Pulanglah. Pulanglah dan beritahu orangtuamu agar kembali ke tempat kalian yang dulu." "Tapi... tapi... tapi...," aku tergagap-gagap. "Di sini terlalu berbahaya," Fergie mewanti-wanti. "Pergilah, Cooper. Lebih cepat lebih baik." Kemudian dia berbalik dan berjalan ke arah rumahnya. Kali ini aku tidak mengikutinya. Padahal justru itu yang seharusnya kulakukan. Aku lupa sama sekali bahwa aku tersesat. Aku pun berbalik. Rumahku pasti ke arah yang berlawanan, kataku dalam hati. Dia menghilang di balik pepohonan. Masa bodoh, pikirku geram. Kalaupun aku takkan pernah lagi melihat dia, aku toh tidak rugi apa-apa. Tapi kenapa dia cerita macam-macam kepadaku? Kenapa dia bilang hutan ini ada hantunya? Apakah karena memang benar? Aduh, bagaimana kalau orangtuaku memang membeli rumah berhantu di hutan berhantu? Aku terus berjalan. Aku tak sanggup mengusir perasaan tidak enak yang mencekam diriku. Rasanya ada ratusan mata yang mengawasiku dari segala arah. Aku menyesal karena telah mendengar cerita Fergie. Semakin lama aku berjalan, semakin ngeri pula perasaanku. Aku benar-benar yakin hutan ini ada hantunya. Dan mereka mengawasi setiap langkahku. Lalu, dari kejauhan aku mendengar bunyi ketukan. Mula-mula aku sempat kaget. Tapi kemudian aku sadar bunyi itu berasal dari palu Dad yang sedang memasang panggangan. Aku langsung bersorak gembira. "Yeah! Aku sudah hampir sampai di rumah!" Rencanaku ternyata berhasil. Aku berjalan menuju sumber bunyi itu. Bunyi berdesir di atasku membuatku tersentak. Aku mendongak. Cuma seekor burung. Gara-gara berjalan sambil menoleh ke atas, aku nyaris tercebur ke kali kecil. Airnya mengalir tenang dan aku bisa melihat bayangan langit biru pada permukaannya.



Aneh, pikirku. Rasanya tadi aku tidak melihat kali ini. Aku membungkuk dan menciduk airnya dengan sebelah tangan. Oh, dingin sekali. Wah, ini baru asyik, aku berkata dalam hati. Ternyata ada sungai di sini. Kemudian aku teringat bahwa kami takkan lama di sini. Begitu aku melaporkan cerita Fergie tadi kepada orangtuaku, kami pasti akan langsung berkemas dan kembali ke Boston. Kusekakan tangan pada bajuku. Sekonyong-kunyong aku merinding lagi. Rasanya ada sesuatu yang mengawasiku. Aku menoleh, dan memekik tertahan. Ternyata memang ada yang mengawasiku. Dua pasang mata gelap menatapku dari seberang sungai. Aku melihat sepasang anjing labrador hitam yang besar sekali. Yang satu terengah-engah sambil menjulurkan lidah. Yang satu lagi menyeringai. Giginya kuning dan mengerikan. Kedua-duanya menggeram-geram. Sikap mereka tidak bersahabat. Sama sekali tak bersahabat. Lari! kataku dalam hati. Lari! Tapi kakiku tak mau bergerak. Kedua anjing itu menatapku seakan-akan kelaparan. Sesaat kemudian mereka menyerang.



8 BUNYI kaki kedua anjing itu berdebam-debam ketika mereka berlari menghampiriku. Mata keduanya tampak menyala-nyala. Kepala mereka bergerak naik-turun. Aku memekik ketakutan. Seketika aku berbalik, mengambil langkah seribu. Seandainya saja aku bisa terbang! "Tolooong!" Betulkah aku yang menjerit itu? Tiba-tiba aku melihat pantulan cahaya di antara pohon-pohon. Pantulan sinar matahari pada panjat-panjatan di pekarangan belakang. Yes! Aku sudah hampir sampai! Kedua anjing itu berlari dengan kencang. Aku bisa merasakan napas mereka yang



panas di betisku. Aku merasakan sepasang gigi tajam menggores mata kakiku. Dengan mengerahkan segenap tenaga aku melompat dan menghambur keluar dari hutan. "Dad!" teriakku sambil berlari ke arah dia. “Tolong!" aku memekik sambil kalang kabut. "Anjingnya! Anjingnya!" Langsung saja kurangkul ayahku erat-erat. "Tenang dulu, Cooper. Ada apa sih?" Daddy bertanya sambil menggenggam pundakku. "Anjingnya!" aku meratap. Aku tidak mau melepaskan dia. "Cooper, anjing apa?" tanya Daddy. Aku menatapnya dengan bingung. Masa dia tidak mendengar kedua anjing itu? Masa dia tidak melihat mereka? Aku melepaskan tangan dan menunjuk ke hutan. "Anjing liar. Dua ekor. Anjing labrador, kalau tidak salah. Mereka mengejarku, dan—" Aku memandang berkeliling. Ternyata cuma ada Daddy dan aku di pekarangan belakang. Tak ada yang menyalak. Tak ada yang menggeram. Cahaya matahari memantul pada luncuran. Ban dan talinya berayun pelan. Kedua anjing itu telah lenyap.



9 "COOPER—ini lelucon, ya?" tanya Daddy sambil geleng-geleng kepala. "Hah? Bukan!" seruku. "Aku dikejar-kejar mereka tadi. Aku nyaris digigit, dan—" "Dan setelah itu mereka lenyap begitu saja!" Daddy menyambung. "Coba Daddy ikut ke hutan," aku memohon. "Mereka pasti masih ada di situ." Aku berlari ke tepi hutan sambil mencari-cari kedua anjing itu. Daddy mengikutiku. mereka tidak kelihatan. Aku berbalik. Dengan lesu aku kembali ke rumah. Ayahku tidak mengatakan sepatah kata pun .Kami tiba kembali di pekarangan belakang. Dia duduk di luncuran dan menatapku sambil mengerutkan kening. "Cooper, coba bilang ada apa sebenarnya," ujar Daddy pelan-pelan. Aku langsung tahu dia menyangka aku cuma mengada-ada.



"Aku kan sudah bilang, Dad. Aku dikejar-kejar Anjing di hutan. Hampir saja kakiku digigit!" Ayahku terus menatapku. Roman mukanya tampak serius. "Percayalah, Dad," aku berkata. "Kita harus pindah. Kita tidak bisa tinggal di sini!" Daddy berdiri. "Apa maksudmu, Cooper?" "Kita harus balik ke Boston," aku berkeras. "Kita tidak bisa tinggal di sini!" "Kenapa tidak?" tanya Daddy. "Karena rumah ini!" aku berseru dengan suara parau. "Rumah ini ada hantunya!" "Cooper—" "Dad! Percayalah," aku memohon. "Hutan ini…. Rumah ini….semua ada hantunya. Semua orang disini sudah tahu! Seharusnya kita tidak pindah kemari!" "Cooper, kau ini bicara apa sih?" ujar Daddy. Dia berusaha supaya suaranya tetap tenang. "Jalan, jalan di hutan, apalagi kalau sendirian, memang jadi menyeramkan. Sebaiknya kau masuk saja, biar kau tenang dulu. Mom sudah menyiapkan sarapan. Kau bisa makan roti panggang. Kalau perutmu sudah terisi kau pasti akan merasa lebih enak." Dia merangkul pundakku. Aku bertambah kalut. Ayahku sendiri tidak percaya kepadaku. "Tapi, Dad, ini memang benar!" aku ngotot. "Hutan ini berhantu. Aku juga ketemu anak cewek yang aneh tadi, dan dia bilang kita harus segera pindah! Dia—" "Cooper, aku tahu kau keberatan pindah kemari," ujar ayahku. "Tapi ceritamu takkan mengubah apa pun. Di sinilah tempat tinggal kita sekarang." “Tapi—" "Kalau sekolah sudah mulai, kau akan mendapat teman baru, dan semuanya,bakal beres. Ayo, masuklah, kau sarapan dulu. Kau akan merasa enak." Dad menggiringku ke dalam. Sebelum masuk, aku masih sempat menoleh dan memandang ke arah hutan. Kedua anjing hitam besar tadi menatapku dari antara pohon-pohon.



10 AKU mengedipkan mata—dan tahu-tahu kedua anjing itu lenyap. Sambil menggelengkan kepala aku menuju ke dapur. Mickey sudah hampir selesai sarapan ketika ayahku dan aku masuk. Dia duduk menghadapi semangkuk sereal, dan begitu melihatku, dia langsung



terkekeh-kekeh. Aku tidak menggubrisnya. "Cooper, aku sudah membuatkan roti panggang untukmu," ujar ibuku. Aku duduk di seberang Mickey, berusaha untuk tidak menghiraukan wajahnya yang konyol. Aku masih kesal sekali pada kakakku itu. "Mom, tahu enggak siapa tetangga kita?" aku bertanya sambil mengoleskan madu pada rotiku. "Tentu," sahut ibuku. "Daddy dan aku sempat bertemu mereka beberapa minggu yang lalu, waktu kami pertama kali kemari untuk melihat rumah ini." "Mom dan Dad sempat ketemu keluarga Ferguson waktu itu?" tanyaku. Mom berpikir sambil memicingkan mata. Kemudian dia menggeleng. "Tidak, rasanya kami belum bertemu mereka. Tapi kami sempat bertemu keluarga Martell. Joel dan Shirley. Mereka ramah sekali." Lalu Ibuku bertanya kepadaku, "Siapa keluarga Ferguson itu?" Aku tidak menjawab, dan malah bertanya balik. "Apakah Mom diberitahu bahwa rumah kita ini ada hantunya?" Ibuku tertawa. "Tidak, Cooper. Mereka tidak bilang apa-apa soal itu. Barangkali mereka lupa," "Ha-ha. Ini tidak lucu," aku menggerutu. "Rumah kita memang ada hantunya. Dan begitu juga hutan disini.” "Cooper, apa maksudmu sebenarnya?" tanya ibuku " Sudah, Cooper," Daddy memperingatkanku. “Cepat, habiskan sarapanmu." "Yeah," Mickey berkata sambil mendengus. "Habiskan sarapanmu, Coober." Mukaku langsung panas. Aku paling benci dipanggil Coober oleh Mickey. Soalnya Coo-ber adalah singkatan dari kuping besar. “Diam kau, Sickey," aku membalas. “Cukup!" Daddy berkata dengan ketus. "Tak ada yang bertengkar di meja makan." Kutusuk sepotong roti dengan garpu. Kenapa mereka tidak mau percaya? aku mengeluh dalam hati. Masa sih mereka pikir aku cuma mengada-ada? Kumasukkan roti itu ke dalam mulut. "Aghhh!" Seketika aku terbatuk-batuk. Rotiku segera kusemburkan ke piringku. "Idih!" Mickey berseru sambil nyengir. "Joroknya minta ampun! Bagaimana aku bisa makan kalau begini?" Mataku berair, dan aku batuk beberapa kali lagi. "Kau tidak apa-apa, Cooper?" tanya ibuku. "Ada yang menaruh garam di roti panggangku!" aku berseru dengan gusar. Mickey mulai ketawa. Dasar brengsek. Daddy berdiri, lalu meninggalkan dapur tanpa berkata apa-apa. Memang begitulah ayahku kalau dia lagi marah. Dia selalu pergi begitu saja, tanpa



berkomentar apa pun. Hukumannya bakal menyusul. Aku minum segelas susu untuk menghilangkan rasa asin di mulutku. Ibuku kembali ke panggangan roti untuk membuatkan roti lagi. "Mickey," ibuku berkata sambil menghela napas, "kau tahu itu tidak lucu. Sekarang kau harus minta maaf kepada adikmu." "Minta maaf? Aku kan cuma bercanda!" Mickey mengomel. "Hahaha, lucu sekali," aku bergumam dengan getir. "Kau benar-benar lucu sekali." "Cepat, minta maaf!" Mom berkata tegas. Mickey menundukkan kepala, menatap lantai. Aku menyilangkan tangan. "Ayo, minta maaf," aku menuntut dengan gembira. Mickey langsung meringis. Tapi waktu ibuku menoleh lagi, dia cepat-cepat pasang tampang tak berdosa. "Aku minta maaf, Cooper," kata Mickey. "Aku takkan mengulanginya lagi." Mom kembali berpaling ke alat panggangan. Seketika Mickey menarik telinganya untuk meniru bentuk telingaku. Aku sudah capek menghadapi Mickey. Kudorong kursiku menjauhi meja dan bergegas meninggalkan dapur. Aku sedang tidak berminat bertengkar dengan kakakku yang konyol itu. Ada urusan lebih penting yang perlu kupikirkan. Aku harus bicara dengan Daddy soal anjing-anjing itu. Aku harus meyakinkan ayahku bahwa aku tak mengada-ada. Daddy duduk di kursi favoritnya, yang sebenarnya kurang cocok dengan ruang keluarga kami yang baru. Dan tampaknya Daddy pun menyadarinya. Dia terus bergeser-geser, seakan-akan merasa tidak nyaman. "Mungkin sudah waktunya beli kursi baru," gumamnya. Dad, punya waktu sebentar?" tanyaku. "Ada yang, perlu kubicarakan." "Ada apa, Cooper?" tanyanya sambil menggeser lampu peninggalan neneknya ke dekat kursi. "Soal anjing-anjing tadi," ujarku. Daddy menghela napas. "Aduh, Cooper. Kenapa sih kau begitu ngotot tentang ini? Oke, mungkin kau memang melihat anjing di hutan. Lalu kenapa? Kita tidak tahu siapa pemilik anjing-anjing itu!" "Tapi aku dikejar-kejar!" sahutku. "Dan habis itu mereka lenyap begitu saja! Dan setelah aku diberitahu cewek itu bahwa hutan ini ada hantunya—" "Cewek yang mana?" tanya Daddy. "Dia bilang namanya Margaret Ferguson," aku menjelaskan. "Dia bilang rumahnya bersebelahan dengan rumah kita." Ayahku mengusap-usap dagu. "Aneh," katanya. "Broker real-estate yang menjual rumah ini sama sekali tidak menyinggung keluarga Ferguson." "Pokoknya, tadi pagi aku ketemu cewek itu, dan dia bilang semua orang sudah tahu



bahwa rumah kita ada hantunya!" "Mungkin itu sebabnya rumah ini dijual begitu murah," Daddy bergumam sambil ketawa sendiri. Aku tidak tahu apa yang dianggapnya lucu. Daddy berhenti tertawa. Dia menatapku dengan serius. "Lupakan dulu anjinganjing itu, Cooper. Kita bicarakan soal ini kalau kau melihat mereka lagi. Sementara itu, aku akan mencari informasi di kota. Barangkali ada yang tahu siapa pemilik anjing-anjing itu. Oke?" "Tapi bagaimana dengan rumah ini?" tanyaku. "Margaret bilang kita harus pindah secepat mungkin." "Roti panggangmu sudah siap!" ibuku memanggil dari dapur. "Ayo, cepat dimakan, Cooper. Nanti keburu dingin." "Makan dulu deh," ujar Daddy. "Dan, aku tidak mau dengar lagi bahwa rumah kita ada hantunya. Juga soal anjing-anjing itu." Aku menarik napas panjang, kembali ke dapur. Begitu aku hendak melewati pintu, Mickey mendadak melompat ke hadapanku sambil berteriak keras-keras. Tentu saja aku kaget setengah mati. "Mom!" aku merengek. "Mickey, sudah!" seru ibuku dengan gusar. "Jangan ganggu Cooper. Dia agak sulit menyesuaikan diri dengan rumah kita yang baru." "Itu tidak benar!" balasku. Kenapa tidak ada yang mau percaya? "Rumah ini ada hantunya. Kalian akan menyesal karena tidak mendengarkan aku. Kalian akan menyesal!" Aku berbalik, bergegas ke kamarku. Kujatuhkan diriku ke tempat tidur, lalu memandang berkeliling. Barang-barang di sekelilingku masih barang-barang yang lama, tapi kamar itu tetap terasa asing. Sepanjang hari aku mendekam di kamar. Aku tidak mau ketemu Mickey. Aku tidak mau ketemu ayah dan ibuku. Dan aku juga tidak mau ketemu dengan anjinganjing itu. Menjelang makan malam, aku sudah hampir membongkar barang-barangku. Suasana di kamarku sudah mendingan. Hampir seperti kamarku yang lama di Boston. Sehabis makan malam, kubawa ketujuh puluh tujuh kubah saljuku ke kamar mandi, lalu satu per satu kucuci. Orang-orang biasanya tidak sadar bahwa kubah salju perlu dibersihkan dan diisi lagi kalau airnya sudah mau habis. Setelah bersih bersinar, kuatur semuanya di rak buku yang baru. Wow, keren sekali. Mula-mula aku ingin menyusun kubah-kubah itu berdasarkan besar-kecilnya, tapi ternyata tidak bisa. Akhirnya aku membuat urut-urutan berdasarkan abjad—dari



Annapolis sampai Washington, D.C. Kubah favoritku—kubah Red Sox dari Boston—tentu saja kutaruh paling depan dan di tengah. Aku selesai sekitar pukul sebelas, lalu bersiap-siap untuk tidur. Membongkar barang-barang dari kardus ternyata cukup melelahkan. Aku memejamkan mata dan baru saja mau ketiduran waktu aku mendengar suara itu. Jelas dan nyaring. Suara anjing menyalak. Dan menggeram. Di depan jendelaku. Aku terduduk di tempat tidurku. Aku menunggu. Aku yakin orangtuaku dan Mickey akan segera muncul di kamarku. Kali ini mereka pasti juga mendengar anjing-anjing itu. Aku menunggu. Dan menunggu. Anjing-anjing itu menggonggong semakin keras. Tapi sepertinya tak ada yang ambil pusing. Kuturunkan sebelah kakiku ke lantai. Sesaat kemudian kaki yang satu lagi. Aku berdiri dan pasang telinga. Aku mendengarkan kedua anjing menyalak-nyalak. Dan tiba-tiba sadar bahwa suara itu tidak berasal dari depan jendelaku. Kali ini sumber suara itu ada di dalam rumah!



11 DENGAN kalang kabut aku mencari-cari senjata. Sesuatu yang bisa melindungiku dari anjing-anjing itu. Akhirnya kutemukan tongkat baseball-ku di dalam lemari. Tongkat yang terbuat dari aluminium itu kugenggam erat-erat, lalu aku mengendap-endap melintasi kamar ke arah pintu. Aku membukanya sedikit. Dan pasang telinga. Ya. Gonggongan itu memang berasal dari dalam rumah. Rasanya dari ruang keluarga. Aku menarik napas dalam-dalam dan keluar ke koridor. Di mana orangtuaku? Kamar mereka di lantai dua, persis di atas ruang keluarga. Tidak mungkin mereka



tidak mendengar hiruk-piruk ini. Kenapa mereka belum keluar juga? Kamar Mickey bersebelahan dengan kamarku. Aku menoleh ke sana dan melihat pintu tertutup rapat. Jangan-jangan dia mendadak tuli, aku berkata dalam hati. Kenapa tidak ada yang bereaksi? Perlahan-lahan kususuri koridor, menuju ke ruang keluarga. Jelas-jelas aku mendengar suara anjing di situ. Aku menahan napas ketika ada sesuatu yang tertabrak dan jatuh. Sesuatu membentur lantai. Lampu peninggalkan nenek buyut, pikirku. Aku memandang ke langit-langit—ke arah kamar orang tuaku. Jangan-jangan mereka juga mendadak tuli! Dengan tongkat siap mengayun, aku menyerbu ke ruang keluarga dan menyalakan lampu. Anjingnya... Anjingnya... TIDAK ADA! Ruangan itu kosong. "Hah?" Aku mengedipkan mata beberapa kali karena silau, lalu memandang berkeliling. Tak ada anjing. Tak ada yang menggeram. Tak ada yang menyalak. Tapi tunggu! Lampu peninggalan nenek buyutku tergeletak di lantai. Aku maju selangkah ke arah sofa. Sesuatu berkersak-kersak di bawah kakiku. Keripik kentang? Ya. Keripik kentang. Berserakan di mana-mana. Lalu aku melihat kantong keripik yang sudah terkoyak-koyak. Jantungku berdegup keras sekali, sampai-sampai aku takut dadaku bakal meledak. Kupungut kantong itu, dan tiba-tiba sebuah bayangan menimpaku. Aku mendengar napasnya yang terengah-engah. Dan kemudian aku merasakan napas panas dan bau yang menerpa tengkukku.



12 “Hei, Coober, sedang apa kau di sini?" Aku menegakkan badan dan berbalik.



" Mickey!" "Memang itu namaku. Tapi jangan kau sebut dengan sia-sia," sahutnya. "Mickey! Kau dengar mereka? Kau dengar mereka kan?" Mickey memandang berkeliling. "Dengar siapa?" dia bertanya. Lalu, sebelum aku sempat menjawab, dia berseru tertahan, "Ya ampun, Cooper, kenapa kau buangbuang keripik kentang itu?" "Anjing-anjing itu!" seruku. "Anjing-anjing itu yang melakukannya! Kau dengar mereka?" Mickey menggelengkan kepala. "Tidak. Aku tidak dengar apa pun." Aku bengong. "Kau tidak mendengar anjing-aniing liar yang berlarian di sini beberapa menit yang lalu?" Mickey geleng-geleng kepala. "Kau sudah mulai gila Cooper. Mendengar anjing yang tidak ada sudah cukup aneh. Tapi memberi mereka makan keripik kentang? Wah, otakmu sudah benar-benar kacau." "Bukan aku yang melakukan ini," ujarku dengan geram. "Aku kan sudah bilang, anjing-anjing itu yang melakukannya." Mickey kembali menggelengkan kepala. "Ada satu permintaanku," katanya serius. "Apa itu?" tanyaku. "Kalau kita mulai sekolah minggu depan, jangan beritahu siapa pun bahwa kau saudaraku." Rasanya aku ingin menimpuk dia dengan sesuatu. Seandainya saja saat itu sedang menggenggam lampu peninggalan nenek buyut.... Akhirnya kutimpuk dia dengan apa yang lagi kupegang—kantong keripik yang sudah kosong. Kantong itu melayang kira-kira tiga inci, lalu jatuh di depan kakiku. Mickey langsung menertawakan aku. Setelah kembali tenang, dia berkata, "Aku tahu kenapa kau lakukan ini. Kau ingin meyakinkan Mom dan Dad bahwa rumah ini ada hantunya. Supaya kita kembali ke Boston dan kau bisa berkumpul lagi dengan teman-temanmu yang konyol, Gary dan Todd." Dia menatapku sambil meringis. "Konyol, Coober. Betul-betul konyol." Kemudian dia pergi sambil geleng-geleng kepala. Tunggu saja, Mickey, pikirku. Aku bakal membuat perhitungan denganmu. Tunggu saja. Dan aku bakal membuat semuanya percaya soal anjing itu. Aku bakal membuat semuanya percaya bahwa aku tidak mengada-ada. Tapi bagaimana caranya? aku bertanya-tanya sambil memandang ruang keluarga yang kosong dan sepi. Bagaimana caranva?



13 SEPERTI biasa pada hari Minggu aku juga bangun pagi-pagi. Tinggal beberapa barang lagi yang harus kubongkar, dan aku yakin aku bisa menyelesaikannya sebelum sarapan. Pertama-tama kurentangkan poster Red Sox-ku dan kutempel di dinding, di atas tempat tidur. Persis seperti waktu di Boston. Lalu kugeledah sebuah kardus untuk mencari kaus kaki merah keberuntunganku. Aku sedang memasang kaus kaki itu ketika bel pintu berdering. "Cooper!" Mom memanggilku beberapa detik kemudian. "Ada yang mau ketemu!" Siapa, ya? Aku belum kenal siapa-siapa di sini. Tiba-tiba sebuah pikiran menyenangkan melintas dalam benakku. Barangkali Gary telah membujuk ayahnya untuk mengantarkan dia dan Todd ke Maine, memberi kejutan bagiku! Wow! Kututup kardus yang baru kubongkar lalu bergegas keluar kamar. Dengan langkah panjang aku menyusuri koridor, Menuju ke pintu depan. Aku gembira sekali! Tapi ternyata yang datang bukan Gary dan Todd. Fergie yang berdiri di pintu depan memandangku. Dia kelihatan gugup dan terus bergeser dari kiri ke kanan. Dia juga memilin-milin rambutnya yang merah dengan jarinya. "Oh, hai," aku bergumam tanpa sanggup menyembunyikan kekecewaanku. "Aku perlu bicara kepadamu," ujar Fergie. "Sekarang juga." “Oke, boleh saja," sahutku. "Jangan di sini," katanya. Dia menoleh ke ruang duduk, ayah dan ibuku sedang baca koran. Aku mendesah. "Oke, tunggu sebentar." Aku kembali ke kamar memakai sepatu ketsku. "Kita ke belakang saja," aku mengusulkan. Fergie cuma mengangguk lalu mengikutiku. Aku duduk di ban dan berayun-ayun sambil mendengarkan Fergie. "Semua ini ide kakakmu!" dia berkata. "Apa?" seruku. "Aku juga tidak tahu kenapa aku mau saja diajak, tapi ini semua ide kakakmu.



Semuanya." "Apa maksudmu?" aku bertanya. "Semua yang kuceritakan kepadamu kemarin. Soal rumahmu. Dan hutan ini." "Maksudmu,di sini tidak ada hantu?" aku bertanya dengan bingung. Fergie menggelengkan kepala. "Tentu saja tidak." “Tapi kenapa kau bilang begitu kemarin?" aku mendesaknya. "Aku kan sudah bilang, ini idenya Mickey. Aku ketemu dia waktu kalian pindah," Fergie menjelaskan. "Aku diajaknya mempermainkan kau." "Hah?" aku berseru. "Dia bilang kalian selalu saling iseng," sahut Fergie. "Dia bilang kau pasti ketawa." "Semuanya cuma lelucon?" tanyaku. "Semua ini cuma akal-akalan Mickey?" Fergie mengangguk sambil menggigit bibir, "Mickey minta supaya aku beritahu kau kalau hutan ini ada hantunya. Juga rumah kalian." Fergie menghela napas. "Jadi itulah yang kulakukan. Tapi waktu aku lihat betapa takutnya kau, aku langsung menyesal. Aku menyesal karena mau dibujuk kakakmu," Mickey. Dasar brengsek dia. "Tapi dari mana kau tahu soal anjing-anjing itu?” tanyaku. Fergie menatapku dengan kening berkerut "Anjing? Anjing apa?" "Itu yang kaubisikkan kemarin," ujarku. "Anjing." Fergie mengerutkan kening. "Hmm, aku tidak ingat aku bilang begitu. Kau yakin aku bilang 'anjing'?" Aku mengangguk. "Seratus persen. Cuma itu yang kau bilang. Anjing. Dan habis itu, habis kau kabur, aku dikejar-kejar dua anjing labrador hitam yang galak sekali." "Masa sih?" Aku mengangguk. "Aku dikejar sampai ke rumah. Lalu mereka lenyap begitu saja." “Aneh”. Fergie bergumam. “Ya, aneh sekali." "Dimana kau pertama kali melihat anjing-anjing itu?" tanya Fergie. Aku menunjuk ke hutan. "Di belakang sana. Di dekat sungai." “Sungai itu menuju ke rumah keluarga Martell," kata Fergie "Mereka teman orangtuaku. Tapi mereka tidak punya anjing, Cooper." Aku angkat bahu, lalu mengusir lalat yang terbang, di dekat telingaku. "Hmm, berarti di sini ada yang punya anjing." ''Aku takut anjing," Fergie mengakui. "Untung saja bukan aku yang dikejar-kejar kemarin." "Anjing-anjing itu galak sekali," aku bergumam. “Kau pasti takkan suka mereka." “Hei kau lihat batu besar yang mirip ujung panah waktu kau di dekat sungai?"



tanya Fergie. Aku menggelengkan kepala. "Tidak." ''Tempatnya asyik sekali," katanya. "Kapan-kapan kau ke sana deh. Aku sering ke sana. Batunya cocok untuk latihan memanjat." "Kenapa tidak sekarang saja?" tanyaku. Hutan di sekeliling rumah kami tetap berkesan menyeramkan—dengan atau tanpa hantu. Tapi aku lagi malas mendekam di rumah. Aku turun dari ayunan, lalu berjalan mengikuti Fergie ke hutan. Aku melihat tongkat panjang tergeletak di tanah, dan segera memungutnya. "Siapa tahu anjing-anjing itu muncul lagi," aku berkata kepada Fergie. Beberapa saat kemudian kami tiba di sungai. Fergie mencari-cari tempat batunya. "Batunya ada di sekitar sini," ujarnya sambil berpaling kepadaku. "Tapi aku selalu—" Dia terdiam ketika matanya bertemu mataku. "Cooper!" bisiknya. "Ada apa?" Aku mundur selangkah. Tanganku gemetar ketika aku menunjuk pohon-pohon di belakang Fergie. "Mar-Margaret!" aku berbisik dengan ngeri. "Anjingnya! Awas! Mereka datang! Mereka menyerang kita!"



14 Fergie langsung berbalik. Dia memekik ketakutan. “Awas! Mereka datang!" teriakku. Fergie berdiri seperti patung. "Aduh! Aduh! Cooper! Aku takut anjing!" “Lari,” seruku. "Lari!" Serta-merta Fergie melesat melewatiku. Belum pernah aku melihat orang berlari sekencang itu. Dia berlari kira-kira sepuluh langkah. Kemudian tangannya bergerak ke atas karena kakinya tersandung batu. Dia memekik lalu jatuh terjerembap. Mau tidak mau aku ketawa. "Kena kau!" seruku dengan puas. “Hah?" Fergie menoleh ke arahku. "Kau sudah pernah menipuku. Sekarang giliranku," aku menegaskan.



Perlahan-lahan wajah Fergie kembali normal. "Kau bikin aku ketakutan setengah mati," gumamnya. "Tega-teganya kau mempermainkan aku seperti itu?” "Gampang saja," sahutku, masih sambil nyengir. Fergie merengut. "Aku kan sudah bilang, bukan aku saja yang salah. Kakakmu bilang kalian selalu, saling menjaili." Kemudian dia bangkit dan menggelengkan kepala. "Kau keterlaluan, Cooper. Keterlaluan sekali." Aku cuma angkat bahu. "Yeah Aku tahu. Tapi sekarang kita impas." Fergie menepis-nepis tanah yang menempel di jeansnya, lalu memeriksa sikunya yang lecet. "Seharusnya kita cari akal untuk membuat perhitungan, dengan Mickey," katanya. "Soal itu sudah kupikirkan dari tadi pagi," aku memberitahunya. "Dan kemarin juga. Mickey terus menjaili aku sejak kami pindah kemari. Dan aku harus membalas dendam. Tapi caranya harus benar-benar jitu." Kami berjalan menyusuri sungai sambil mencari cari akal untuk membalas perbuatan Mickey. Akhirnya Fergie menemukan batu yang dimaksudnya. Dia naik lebih dulu. Aku menyusul. Batunya memang besar, penuh celah dan retakan—cocok sekali untuk dipanjat. Kami duduk-duduk di atas batu sambil menyusun rencana. Fergie hendak membawa Mickey ke tengah hutan dengan mata tertutup, lalu meninggalkannya di situ. Tapi aku bilang Mickey takkan takut sedikit pun. Aku melompat turun dari batu dan mulai berjalan mengelilinginya. Kadang-kadang otakku lebih encer kalau aku berjalan kaki. Ketika berkeliling untuk ketiga kalinya, kakiku tersangkut tumbuhan berdaun lebat. Aku memandang ke bawah—dan berseru dengan kesal. “Oh sial! Aku menginjak tumbuhan yang bikin gatal." Fergie ketawa. "Tenang," dia berkata kepadaku. “Bentuknya memang mirip, tapi guru IPA-ku bilang ini cuma sejenis rumput liar. Dia sempat memeriksanya tahun lalu." Aku langsung tersenyum simpul. "Aku punya ide bagus. Bagaimana kalau kita cabut beberapa batang, lalu kita taruh di tempat tidur Mickey? Dia pasti langsung kalang kabut." “Boleh juga," ujar Fergie, sambil cengar-cengir. Kami mencabut beberapa batang rumput liar yang tumbuh di sepanjang sungai. Kemudian kembali ke rumahku. Tidaak jauh dari sungai, Fergie menunjukkan sebuah lapangan terbuka yang tidak kuperhatikan sebelumnya. Lapangan itu penuh dengan bunga liar. Mom pasti senang sekali melihat bunga-bunga itu. Dulu waktu kami masih di Boston, dia selalu membeli bunga di pasar Faneuil Hall. Jadi, aku mulai memetikmetik bunga untuknya. Aku baru saja membungkuk untuk memetik bunga cantik berwarna ungu dan



kuning, ketika aku melihat sesuatu bergerak-gerak di antara pohon-pohon. Aku menoleh dan melihat sosok yang muncul terhuyung-huyung. Fergie dan aku memekik bersamaan ketika kami melihatnya. Baju Mickey terkoyak-koyak. Wajah dan lengannya penuh goresan. Dan darah mengalir di lehernya. "Cooper," dia berkata dengan suara parau. Sepertinya dia sudah tak sanggup bicara. "Cooper anjing-anjing itu—" Itulah ucapannya yang terakhir sebelum dia roboh ke tanah.



15 “MICKEY" aku menjerit. Kulepaskan bunga dan rumput liar di tanganku, lalu segera berlari menghampiri dia. Fergie dan aku berlutut di sisinya. "Dia tidak apa-apa?" Fergie berbisik. Aku inembungkuk dan menarik baju Mickey dengan kedua tanganku. Tapi aku tidak berhasil mengangkatnya. Setiap kali tubuhnya yang lemas kembali merosot ke tanah. "Mickey! Mickey!" seruku berulang-ulang. "Kau tidak apa-apa? Anjing-anjing itu? Mereka—?" Ketika untuk kesekian kalinya aku berusaha mengangkatnya, tangan Mickey tibatiba melesat ke atas lalu mencengkeram leherku. Dia menarikku sampai jatuh, lalu cepat-cepat berdiri dan mendudukiku. Dia tertawa cekikikan sambil menepuk-nepuk paha. “ Mickey! Mickey!" dia berseru dengan nada melengking. "Mickey! Kau tidak apa-apa?" Aku membuka mulut, namun tidak sanggup berkata apa-apa. "Dasar bloon!" Mickey mengejekku. "Sudah berkali-kali aku pakai darah palsu ini, tapi kau masih juga ketipu!" Dia kemball tertawa cekikikan. Aku memejamkan mata. Aku ingin sekali bisa lenyap begitu saja. Rupanya untuk kesekian kalinya aku dikelabui oleh kakakku. Di depan Fergie lagi. Mukaku terasa panas. "Awas, kau akan kuhajar!" seruku sambil berusaha mendorong Mickey. "Ohhh! Aku jadi ngeri," Mickey mendengus.



"Kenapa sih kau selalu berusaha menakut-nakuti aku!" teriakku. "Berusaha? Siapa yang berusaha?" Mickey menyahut sambil nyengir. Fergie berdiri di hadapan kami. Dia menyilangkan tangan. "Kau bersekongkol dengannya, ya?" aku bertanya dengan gusar. "Tidak!" Fergie berseru. "Aku tidak tahu apa-apa tentang ini!" Mickey menekan lenganku dengan lututnya. "Ayo, minta ampun, bodoh." Seumur hidup aku belum pernah merasa malu seperti sekarang. Belum pernah. Termasuk waktu aku dikunci di luar rumah oleh Mickey, padahal aku cuma pakai pakaian dalam. "Kali ini kau takkan bisa lolos!" aku membentaknya. "Memangnya kau mau apa, Coober? Memukulku dengan bunga-bunga yang kau petik?" Dia mendongakkan kepala dan tertawa terbahak . Tapi tanpa sadar, dia telah memberi kesempatan kepadaku untuk menggigit lengannya. "Aduh! Brengsek! Lihat nih! Tanganku berdarah!" Mickey langsung berdiri dan memeriksa luka di lengannya. Kemudian dia memelototi aku, berbalik, dan pergi begitu saja. Aku hendak mengejarnya. Tapi Margaret menahanku. "Biarkan saja," katanya sambil menarik bajuku. “Dia memang brengsek." Sambil mengomel aku menepis-nepis kotoran yang melekat pada pakaianku. Kemudian kupungut bunga-bunga yang kuambil untuk ibuku. Aku tak berani menatap Fergie. "Kau mau pulang?" tanyanya. "Heeh,” aku menggerung. "Kita bertemu di sekolah besok?" Aku mengangkat bahu. Kenapa sih dia terus menggangguku? Aku ingin sendirian. Aku kembali menggerung. Dan sepertinya dia menangkap maksudku. "Hmmm, kalau begitu aku juga pulang deh. Jangan khawatir Cooper," katanya mulai berjalan ke arah rumahnya. "Kita pasti akan menemukan cara untuk membalas dia. Aku janji." Aku tidak menyahut. “Sampai besok!" Fergie berseru sambil melambaikan tangan. Aku diam saja, dan memperhatikannya pergi. Kemudian aku menuju ke sungai untuk minum seteguk air dingin. Kerongkonganku jadi kering gara-gara melihat Mickey berdarah-darah tadi. Dan juga gara-gara menjerit-jerit. Aku membungkuk di atas permukaan air yang berkilauan. Lalu kuciduk airnya yang dingin dengan sebelah tangan dan minum seteguk. Tapi ketika kulihat bayanganku di sungai, aku langsung terbatuk-batuk.



Yang terlihat bukan wajahku. Bayangan yang membalas tatapanku adalah bayangan seekor anjing hitam! Aku segera menegakkan badan. Ternyata tak ada anjing di tepi sungai. Tak satu anjing pun terlihat di sekitarku. "Hei!" aku berseru dengan bingung. Aku membungkuk lagi dan kembali memandang ke air. Anjing itu menatapku dari bawah permukaan air. Aku kembali tegak. Tetap tak ada anjing. Jadi mana mungkin aku melihat bayangan anjing di permukaan sungai? Sekali lagi aku menatap air sungai yang bening. Bayangan anjing itu tampak bergerak-gerak bersama riak-riak di permukaan air. Dan kemudian dia menyeringai dan memperlihatkan giginya yang kuning dan mengerikan.



16



AKU berlari tunggang-langgang menuju ke rumah tanpa satu kali pun menoleh ke belakang. Aku bergegas masuk lewat pintu depan, langsung menuju ke kamar mandi. Aku harus melihat bayanganku di cermin. Aku sendiri tidak tahu kenapa aku begitu penasaran. Memangnya apa yang bakal kulihat? Bayangan muka anjing? Aku pun tahu bahwa itu tak masuk akal. Tapi aku tidak bisa menjelaskan bayangan anjing yang kulihat di permukaan sungai tadi. Seharusnya aku melihat wajahku—bukan bayangan anjing labrador hitam yang sedang menggeram. Aku masuk ke kamar mandi. Perlahan-lahan aku menghampiri cermin. Aku mengintip. Dan melihat—wajahku yang penuh bintik-bintik. Apakah aku merasa lega? Tidak juga. Sepanjang sore itu aku tidak banyak bicara. Dan pada waktu makan malam, aku



juga cuma makan sedikit, lalu bertanya apakah aku boleh berdiri duluan. "Kau tidak apa-apa, Cooper?" Mom bertanya sambil mengerutkan kening. "Ati dan bawang kan makanan kegemaranmu. Aku belum pernah melihatmu menyisakan ati dan bawang di piringmu.” Mom menghampiriku dan menempelkan tangan di keningku. Itulah yang selalu dikerjakannya kala aku bersikap agak aneh. Menempelkan tangan ke keningku. "Aku tidak apa-apa, Mom," sahutku. "Aku cuma lagi tidak lapar. Itu saja." "Cooper mungkin gugup. Besok hari pertama di sekolahnya yang baru," kata ayahku. Kemudian dia berpaling kepadaku. "Betul, tidak?" "Yeah, betul," ujarku. Percuma saja aku menyinggung soal anjing lagi. Takkan ada yang percaya. "Oh, kasihan si Coober. Dia takut karena sekolahnya yang baru," Mickey mengejek. Ayah-ibuku langsung menatap tajam kepadanya. "Mickey—jangan malam ini," Daddy bergumam. Kakakku yang konyol itu tak kugubris sama sekali. Aku berdiri, dan langsung menuju ke kamar. Malam itu aku tidak bisa tidur. Setiap kali aku memejamkan mata, aku melihat bayangan anjing hitam di sungai tadi. Aku baru tertidur setelah lewat tengah malam. Aku terbangun karena mendengar ibuku memangil-manggilku. "Cooper. Cooper. Kau sudah waktunya bangun!" Astaga! Seumur hidup aku belum pernah kesiangan. Aku selalu bangun pagi-pagi sekali. Hari pertama di sekolah baru, dan aku bakal terlambat pikirku dengan muram. Dan ini semua gara-gara anjing-anjing sialan itu. Cepat-cepat kukenakan T-shirt dan celana jeans. Kemudian aku bergegas ke dapur. Tak ada waktu sarapan sambil bersantai. Terburu-buru kureguk segelas susu. Lalu kubuka lemari es untuk mengambil selai kacang. Aku sedang mengoleskan selai kacang ke seoptong roti, ketika kudengar suara merintih di belakangku. "Jangan macam-macam, Mickey," ujarku tanpa membalik. Rintihan itu bertambah keras. “Mickey! Sudah! Aku tidak mau—" Mereka muncul begitu saja. Anjing-anjing itu. Mereka ada di tengah-tengah dapur!



17 MULUT kedua anjing itu menganga lebar. Air liur mereka menetes-netes. Lututku langsung lemas. Aku berpegangan pada meja agar tidak terjatuh. Bulu mereka yang gelap tampak berkilau-kilau terkena sinar lampu dapur yang terang. Sambil menggeram, mereka maju berdampingan. Aku mundur selangkah. Kedua anjing itu mengawasi setiap gerakanku. Satu langkah lagi. Pelan-pelan sekali. Lalu satu langkah lagi. Pandangan mereka terus mengikutiku. Beberapa inci lagi aku akan sampai di pintu belakang. Kalau aku meraih ke belakang, gagang pintunya sudah bisa kupegang. Aku meraih ke belakang. Pelan-pelan. Pelan-pelan sekali. Tanganku menggapai-gapai. Kemudian aku menemukannya. Pegangan bulat yang kecil.... Terlambat! Mereka menerjang. Aku menjerit ketika dua bayangan gelap melesat ke arahku. Aku memejamkan mata. Aku mendengar mereka mengertakkan gigi. Aku membuka mata dan melihat salah satu anjing menyambar rotiku dari atas meja. Kemudian mereka menghilang. Menembus pintu. Keduanya menerobos daun pintu yang terbuat dari kayu. Sambil terengah-engah aku duduk di kursi dapur. Kepalaku kupegang dengan kedua tangan. Aku berusaha keras untuk menenangkan diri. Aku baru saja melihat dua anjing berlari menerobos pintu tertutup. Bagaimana mungkin? Mom muncul di dapur. Daddy segera menyusul. "Ada apa, Cooper?" seru ibuku dengan panik. "Kenapa kau menjerit-jerit?" Aku terpaksa menceritakan apa yang terjadi. Aku tak punya pilihan lain. Kejadian ini terlalu aneh. Terlalu aneh dan menakutkan. Jadi kuceritakan semuanya. "Dua anjing hitam—mereka menembus dinding. Masuk ke dapur. Salah satunya menyambar rotiku. Lalu mereka kabur dengan menerobos pintu belakang." Kesalahan besar.



Ayah dan ibuku langsung berceramah mengenai stres akibat pindah rumah. Kalau tidak salah, mereka juga menyinggung soal psikiater. Mereka sama sekali tidak percaya. Aku tak sanggup berdebat. Aku keluar lewat pintu belakang, langsung menuju ke sekolah. Aku tidak bisa melupakan anjing-anjing itu. Anjing-anjing yang tak terlihat oleh siapa pun selain aku. Anjing-anjing yang menyambar roti di atas meja. Anjinganjing yang bisa menerobos daun pintu. Selama seminggu mereka tidak muncul lagi. Tapi setiap pagi aku mendengar mereka menyalak di sekitar rumah. Selain aku, tak ada yang mendengar mereka. Hari Jumat aku ketemu Fergie seusai sekolah, dan kami pulang bersama-sama. Dia terus bercerita tentang guru matematika kami, tapi aku tidak memperhatikannya. Aku terlalu sibuk memikirkan anjing-anjing itu. "Apa?" aku bertanya kepada Fergie. Dia baru saja menanyakan sesuatu mengenai PR matematika kami. "Aku bilang," katanya dengan gusar, "bahwa PR matematika bisa kita kerjakan bersama-sama pada akhir pekan ini." Aku angkat bahu. "Boleh saja." Fergie akan menginap di rumah hari Sabtu. Orangtuanya harus pergi ke Vermont selama akhir pekan. Dalam minggu terakhir aku telah menjadi akrab dengan dia. Begitu juga orangtua kami. Ayah dan ibuku mengundang keluarga Ferguson untuk makan malam pada hari Selasa, dan mereka mengundang kami pada hari Rabu. Barangkali asyik juga kalau Fergie menginap di rumah, pikirku. Asal aku bisa melupakan anjing-anjing itu. "Kita masih harus bikin rencana untuk membalas Mickey," Fergie mengingatkanku. "Kurasa—" "Begini, Fergie," aku memotongnya. "Ada sesuatu yang sudah lama ingin kuceritakan." Dia menunggu penjelasan selanjutnya. Aku menarik napas dalam-dalam. Kemudian semuanya meluncur begitu saja. Aku bercerita mengenai bayangan anjing di sungai. Dan mengenai anjing-anjing di dapur. "Aku sudah mendengar mereka sejak kami pindah," ujarku. "Kadang-kadang di luar rumah, kadang-kadang di dalam. Ini seperti mimpi buruk." Fergie terbengong-bengong. "Kenapa baru sekarang kau cerita?" dia bertanya. Aku menghela napas. "Soalnya tak seorang pun di keluargaku yang mau percaya," sahutku. "Kupikir kau pasti begitu juga." "Aku percaya, Cooper," katanya dengan sungguh-sungguh. Aku tersenyum. "Terima kasih, Fergie. Ini sangat berarti bagiku."



Roman muka Fergie tampak serius. "Hmm, barangkali kita berdua akan mendengar mereka malam Minggu besok. Orangtuamu pasti percaya kalau kita berdua mendengar anjing-anjing itu." Aku mengangguk. Fergie benar. Mom dan Dad tidak mungkin menuduh bahwa kami berdua perlu berkonsultasi dengan ahli jiwa. Perasaanku mulai lebih enak. "Sekarang kembali ke soal balas dendam kepada Mickey," ujar Fergie. "Aku punya ide bagus." Aku mendengarkan rencana Fergie—rencana itu menyangkut tikus dan tali—tapi aku tidak bisa memusatkan pikiran pada apa yang dikatakannya. Pikiranku terus tertuju pada anjing-anjing itu. Mungkinkah mereka akan muncul lagi pada akhir pekan ini?



18 DENGAN tegang aku memperhatikan gerakan maju menit wekerku. Akhirnya—tengah malam. Waktu untuk beraksi telah tiba. Sambil mengendap-endap aku menyusuri koridor ke kamar tamu di mana Fergie tidur. Aku mengetuk pintu. “Fergie," bisikku. "Fergie, bangun!" Dalam sekejap dia membuka pintu. Dia sudah berpakaian lengkap. "Anjingnya? Anjingnya datang lagi?" tanyanya. Matanya terbelalak lebar karena ngeri. Sepertinya dia benar-benar ketakutan. "Bukan, bodoh," aku berbisik. "Sudah waktunya untuk menakut-nakuti Mickey." Fergie menggosok-gosok mata. "Oh, yeah, benar." Tanpa berkata apa-apa lagi dia masuk ke kolong tempat tidur dan mengeluarkan kotak sepatu dan seutas tali. “Coba kulihat sekali lagi," ujarku penuh semangat. Fergie tersenyum, lalu membuka kotak itu. Di dalamnya ada tikus hitam yang besar dan berbulu panjang. Kesannya betul-betul menjijikkan. Tikus-tikusan, tentu saja. Tapi persis tikus benaran. Kuambil tikus itu dan kulambai-lambaikan di depan hidung Fergie. Dia langsung mundur sambil memekik tertahan, padahal dia tahu tikus itu terbuat dari semacam karet.



Leher tikus itu kuikat dengan tali, lalu aku memberi isyarat kepada Fergie untuk mengikutiku. Tanpa bersuara kami keluar ke koridor, menuju ke kamar Mickey. Ini bakal seru! Aku sudah tak sabar melihat tampang Mickey waktu tikus berbulu panjang itu melintas di tempat tidurnya. Kami berhenti di depan kamar Mickey. Pintunya tidak tertutup rapat. Aku menyembulkan kepala dan memeriksa keadaan. Semuanya aman-aman saja. Mickey sudah terlelap, seluruh badannya terbungkus selimut. Dia tidak pernah memakai bantal kalau tidur. Bantalnya selalu dilemparkannya ke lantai sebelum naik ke tempat tidur. Ah, itu dia, di sebelah sepatunya. Aku mundur sedikit dan menarik Fergie ke samping. "Oke, rencananya begini," aku berbisik. "Setelah masuk ke kamarnya, kau langsung ke kiri. Di situ lemari pakaiannya. Aku ke tempat tidurnya dulu untuk menaruh tikus ini. Habis itu aku menyusul ke lemari." "Beres," sahut Fergie. "Dan jangan lupa," aku mewanti-wanti, "jangan bersuara!" "Beres," Fergie berkata sekali lagi. Aku masuk sambil memegang tikus dengan sebuah tangan. Fergie langsung menuju ke lemari pakaian. Aku membelok ke kanan. Aku sudah hampir sampai di tempat tidur Mickey ketika terdengar bunyi krak yang keras sekali. Jantungku langsung berdegup-degup. Serta-merta aku berpaling. Dengan mata terbelalak aku memandang ke arah Fergie. Seketika aku tahu apa yang terjadi. Rupanya dia menginjak skateboard Mickey. Kami sama-sama berpaling ke arah tempat tidur. Mickey tidak bergerak sedikit pun. Dia tidak mendengar suara itu. Aku menarik napas lega, lalu memberi isyarat peringatan kepada Fergie. Dia mengangguk dengan gugup. Aku memperhatikan Fergie membuka pintu lemari pakaian lalu menyelinap ke dalamnya. Aku kembali menuju ke tempat tidur Mickey sambil membawa tikus. Tanganku gemetaran, tapi makhluk berbulu itu kugenggam erat-erat. Aku menatap Mickey yang tertutup selimut. Dia masih tidur nyenyak. Aku mendekat lagi. Perlahan-lahan kutaruh tikusku, mestinya di sekitar perut Mickey. Lalu aku mengendap-endap ke arah lemari. Setelah masuk, aku berlutut di samping Fergie dan mengacungkan jempol. Operasi "balas dendam" sudah berjalan. Dan aku bersemangat sekali.



Sudah sepantasnya dia dapat ganjaran seperti ini. Perlahan-lahan kutarik pintu lemari sampai hampir tertutup rapat. Ujung tali kupegang erat-erat. "Siap?" aku berbisik. "Siap," sahut Fergie. "Oke," kataku. "Aku hitung sampai tiga. Satu... dua... aduh, Fergie, jangan tendang-tendang dong." "Aku tidak menendang," bisiknya dengan ketus. "Ya! Sudahlah, jangan macam-macam, oke?" "Macam-macam bagaimana? Kakiku ada di sebelah sini," Fergie memprotes. "Aduh! Tuh, aku kena tendang lagi!" aku ber bisik. Suara Fergie meninggi. "Bukan aku!" Aku segera membekap mulutnya. Kami sama-sama tidak bergerak. Aku mendengar suara napas. Suara napas yang berat. Bukan napasku. Bukan napas Fergie. Aku menelan ludah. "F-Fergie," aku tergagap-gagap. "Rasanya kita tidak sendirian di sini!"



19 SEBUAH geraman membuktikan bahwa aku benar. Seseorang—atau sesuatu— ikut bersembunyi di dalam lemari bersama kami. Sejenak kami terbengong-bengong mendengar suara itu. Lalu kami menghambur keluar dari lemari sambil menjerit ketakutan. Aku cuma sempat lari beberapa langkah saja. Kemudian kakiku tersangkut pada skateboard. Aku terjerembap. Mukaku menghantam lantai. Saat aku berusaha bangkit, aku melihat sosok gelap yang keluar dari lemari. "Kau!" aku berteriak dengan suara parau. Mickey nyengir lebar sambil menatap Fergie dan aku. "O0000hhh! O0000hhhh! Lihat aku!" dia berseru. "Aku anjing pembunuh!" Fergie dan aku memandangnya seakan-akan tidak percaya. Rupanya dari pertama dia sudah ada di dalam lemari.



Aku bergegas ke tempat tidur dan menarik selimutnya. "Oh!" seruku melihat setumpuk seprai dan handuk. "Dari mana kau tahu?" Fergie bertanya kepada kakakku. "Dari mana kau tahu bahwa kami bakal kemari?" Mickey tersenyum mengejek. "Waktu kalian datang tadi pagi sambil membawa kotak itu, terus kau berbisik-bisik dengan Cooper, aku langsung tahu kalian punya maksud tertentu. Sudah dari pagi aku memata-matai kalian berdua." "Dasar licik!" seruku. "Licik? Aku?" Mickey menyahut seolah-olah tidak berdosa. "Sebenarnya siapa yang licik? Kan kalian yang menyusup ke kamarku dan bersembunyi di lemari pakaianku!" Aku benar-benar kesal. Juga kecewa. Rencana balas dendam kami yang hebat ternyata gagal total. Aku menarik lengan Fergie. "Ayo. Kita keluar saja." "Yeah!" Mickey berkata sambil bertolak pinggang. "Pergi sana. Dan jangan kembali lagi." Lalu dia menggeram lagi dan menggonggong. Dasar! Fergie dan aku duduk di koridor di depan kamarku. Tadinya kami bertekad untuk menakut-nakuti Mickey. Biar dia tahu rasa. Tapi ternyata kami gagal. Gagal total. "Lain kali pasti berhasil," ujar Fergie. "Kita bikin rencana yang lebih bagus lagi. Barangkali dengan pisau dan darah palsu seperti yang dia pakai." Aku angkat bahu. Aku tidak mau menunggu. Aku ingin membuat Mickey ketakutan setengah mati— malam ini juga! Tapi rasanya itu tidak mungkin. Fergie dan aku menguap berbarengan. Lalu kami berdiri. "Lebih baik kita tidur saja. Barangkali—" "Eh, kau dengar itu?" aku bertanya tiba-tiba. Dia mengangguk. "Yeah. Aku dengar. Ada yang menyalak." "Itu bukan kakakku," aku berbisik. "Anjingnya datang lagi."



20 "WAH, bagaimana ini?" seru Fergie dengan suara bergetar. "Mana orangtuamu? Mana Mickey?" Aku mengajaknya menyusuri koridor, mendekati sumber gonggongan itu. "Aku kan sudah bilang," bisikku. "Mereka tidak bisa mendengar anjing-anjing itu. Aku juga tidak tahu kenapa. Tak ada yang bisa mendengar mereka menggonggong selain kita." Kami masuk ke ruang keluarga dan menahan napas. Dua pasang mata merah tampak menyala-nyala dalam gelap. Aku bermaksud meraih lampu peninggalan nenek buyut, tapi lalu aku malah menjatuhkannya sehingga menimbulkan bunyi berdebam. Kedua anjing itu kembali menggonggong. Fergie berpegangan pada pundakku. Tangannya gemetaran. "Nyalakan lampu! Ayo, cepat!" dia merengek. Namun sebelum aku sempat meraih sakelar, lampunya sudah menyala lebih dulu. Kami langsung berbalik—dan melihat ibuku berdiri di ambang pintu. Dia menatap kami sambil mendelik. "Cooper! Margaret! Sedang apa kalian di sini?" "Anjing-anjing ini, Mom!" aku berseru. "Tuh, mereka lagi—" "Anjing apa?" tanya ibuku. Aku membalikkan tubuh. Tak ada mata merah yang menyala-nyala. Tak ada anjing. Selain Fergie dan aku, ruang tamunya kosong. *** "Wah, ibumu marah sekali, ya," bisik Fergie ketika kami menyusuri koridor untuk kembali ke kamar masing-masing. "Tapi sekarang kau percaya, kan, Fergie?" tanyaku. "Kau juga dengar anjinganjing itu, kan?" Fergie mengangguk. "Yeah. Tadi memang ada anjing di situ." "Ayo, tidur!" ibuku berseru dengan tegas. "Jangan mengobrol." "Oke, Mom!" sahutku. Aku berpaling kepada Fergie. "Besok pagi kita cari anjinganjing itu di hutan," ujarku. "Mereka pasti ada di sekitar sini." "Ide bagus," kata Fergie. "Sampai besok pagi." Aku kembali ke kamarku, tapi tidak bisa tidur. Aku duduk di tempat tidur dan melempar-lempar baseball ke udara sambil memperhatikan gerakan jarum menit pada wekerku. Aku memikirkan anjing-anjing itu. Mereka memang ada di dalam rumah tadi.



Fergie juga mendengar mereka. Tapi bagaimana mereka bisa keluar-masuk sesuka hati mereka? aku bertanyatanya. Dan kenapa mereka selalu mengganggu aku? Kenapa? Kutaruh baseball-ku dan mengendap-endap ke koridor. Pelan-pelan kuketuk pintu kamar Fergie. "Ini aku. Aku boleh masuk?" "Ada apa?" bisiknya sambil membuka pintu. "Begini," ujarku. "Rasanya aku tidak bisa menunggu sampai besok. Bagaimana kalau kita mulai mencari sekarang saja?" Fergie memicingkan mata. "Ta-tapi ini mungkin berbahaya," katanya tergagapgagap. "Aku tidak peduli," sahutku. "Ayo kita berangkat."



21 BEBERAPA menit kemudian Fergie dan aku sudah berada di pekarangan belakang. Kami sama-sama memegang senter. Bulan bersembunyi di balik awan. Begitu pula bintang-bintang. Kabut tampak mengambang disana-sini. Fergie dan aku merinding. Kuarahkan cahaya senterku ke bawah dan mulai mencari jejak kaki anjing. Tapi tak ada apa-apa. Seperti biasanya. "Kenapa tak pernah ada jejaknya'?" aku bergumam sendiri. Fergie angkat bahu, tidak menjawab. Aku tahu dia sama takutnya seperti aku. Dia tidak beranjak dari sisiku. Sorot senterku menerpa panjat-panjatan di pojok pekarangan. Aku sedang mengamati tanah di hadapanku ketika mata kakiku mendadak ditarik. "Hei!" seruku sambil jatuh. Aku meronta-ronta dan menggeliat-geliut untuk membebaskan diri. "Tolong!" Fergie bergegas untuk membantuku. Tapi kenapa dia tertawa? "Dasar konyol! Kamu tersangkut slang air!" katanya.



"Ini tidak lucu!" ujarku dengan gusar. Dalam hati aku bersyukur bahwa suasananya begitu gelap, sehingga dia tidak bisa melihat mukaku menjadi merah. "Bagaimana kalau aku sampai patah kaki?" Fergie membungkuk untuk menolongku. Tapi tiba-tiba dia berhenti. "Kau dengar itu?" dia bertanya. "Dengar apa?" "Itu!" Sambil membisu kami menunggu dalam gelap. Kami hampir tidak berani bernapas. Kemudian aku juga mendengarnya. Bunyi berderit yang rasanya berasal dari rumah. Kedengarannya seperti pintu tua yang membuka lalu menutup lagi. Dengan hati-hati kami menghampiri sumber bunyi itu. Aku sempat terbengongbengong ketika kami menemukan jendela kecil yang hampir sejajar dengan tanah. Jendela itu belum pernah kulihat. Jendelanya terbuka dan berayun maju-mundur sambil berderit-derit. "Rupanya ini jendela ruang bawah," ujarku setelah menyembulkan kepala ke dalam. "Barangkali anjing-anjing itu keluar-masuk lewat sini." Fergie tidak menyahut. "Fergie?" aku memanggil. Tak ada jawaban. Aku langsung merinding. Seketika aku membalikkan tubuh. Aku masih sempat melihat sosok hitam yang menerjang ke arahku. Aku kaget sekali, dan terhuyung-huyung mundur. Bagian belakang kepalaku membentur tembok rumah. Sosok gelap itu melompat, lalu menindihku. Bau masam menusuk-nusuk hidungku ketika aku mencoba berdiri. Tapi aku tidak bisa bergerak. Makhluk itu tersengal-sengal. Mulutnya menganga lebar. Air liurnya yang panas menetes-netes ke wajahku. Anjing besar itu menahanku di tanah. Aduh, hendak diapakan aku ini?



22 "TURUN! Ayo, turun!" aku berkata dengan susah payah. Kuangkat kedua tanganku—kudorong anjing itu dengan sekuat tenaga. Di luar dugaanku, anjing besar itu berhasil kusingkirkan. Aku langsung bangkit. Jantungku berdegup-degup. Aku berpaling dan melihat Fergie. Dia terperangkap. Dia merapatkan punggungnya ke dinding, sementara anjing yang satu lagi berdiri persis di hadapannya. "Pergi!" Fergie berusaha mengusirnya. Suaranya gemetar. "Pergi, sana!" Anjing itu tidak beranjak sedikit pun. Aku mengambil tongkat. Kuayun-ayunkan tongkat itu agar kedua anjing tetap menjaga jarak. Aku berjalan mendekat. Fergie melambai-lambaikan tangan. Kedua anjing itu merunduk dan menggeram pelan. Kemudian salah satu dari mereka berlari ke arahku. Sepertinya dia sama sekali tidak takut pada tongkat di tanganku. Aku kehilangan keseimbangan dan menabrak Fergie. Kedua anjing itu menyeringai, memamerkan gigi mereka. Lututku gemetaran keras sekali, sampai aku nyaris tak sanggup berdiri tegak. Sambil menggeram-geram, kedua anjing itu memaksa Fergie dan aku mundur sampai ke dinding rumah. "Se-sekarang bagaimana?" Fergie berpegangan pada lenganku. "Pe-pertanyaan bagus, aku tergagap-gagap, ketika melihat anjinganjing itu mendekat terus.



23 AKU memejamkan mata. Kupikir kalau aku tidak bisa melihat mereka, maka mereka juga tidak bisa melihatku. Tapi coba tebak! Ternyata aku keliru. Tiba-tiba aku merasakan embusan napas anjing yang panas dan masam pada wajahku.



Kemudian aku merasakan celanaku ditarik-tarik. Aku membuka mata. Anjing itu memang menarik-narik celanaku. Dia tidak menggigit. Cuma menarik. Fergie kelihatannya tak kalah bingung. Anjing yang satu lagi menarik-narik Tshirt-nya. "M-mau apa mereka?" bisik Fergie. "A... a... aku tidak tahu," sahutku. "Mereka-mereka tidak menggigit atau menyerang." "Cooper, aku rasa mereka ingin agar kita ikut mereka," ujar Fergie. "Tapi itu tidak masuk akal!" seruku. Celanaku ditarik semakin keras. "Itu cuma ada di acara TV!" "Aku yakin aku benar," kata Fergie. "Coba lihat nih." Dia maju pelan-pelan, dan seketika anjing di hadapannya mulai mengibas-ngibaskan ekor. "Betul, kan? Mereka ingin agar kita ikut mereka!" Aku masih ragu. Ini benar-benar tidak masuk akal. Tapi waktu aku maju selangkah, anjing yang menarik-narik celanaku juga mengibas-ngibaskan ekor. "Nah, apa kubilang?" bisik Fergie. Sori, tapi aku tetap tidak percaya. Serta-merta aku berbalik dan mulai lari. "Cooper, jangan!" teriak Fergie. Terlambat. Anjing besar itu segera mengejarku. Dia melompat tinggi. Dan menabrakku sampai jatuh. Waktu aku berdiri kembali, anjing itu mulai menarik-narik lagi. "Ayo. Kita lihat dulu mereka mau apa," Fergie berusaha membujukku. "Kita toh tidak punya pilihan lain. Mereka tak bakal membiarkan kita pergi." Kami mengikuti anjing-anjing itu menembus hutan. Mereka berjalan beberapa meter di depan, tapi sebentar-sebentar menoleh ke belakang. Kuarahkan senterku ke jalan setapak yang kami lewati. Cahayanya yang redup tidak banyak membantu. Aku sama sekali tidak tahu kami menuju ke mana. Aku cuma tahu bahwa keadaannya gelap sekali—dan bahwa semakin lama kami semakin jauh masuk ke dalam hutan. "Mudah-mudahan kita bisa menemukan jalan pulang nanti," aku bergumam. Lalu, tanpa memberi tanda sebelumnya, kedua anjing itu menambah kecepatan. Kaki mereka berdebam-debam di tanah yang gembur. Beberapa detik kemudian mereka mulai menyalak dan mengais-ngais sesuatu di antara pohon-pohon. Kuangkat senterku, kuarahkan ke mereka. Aku melihat lapangan kecil yang dikelilingi pepohonan. Di tengah-tengah lapangan itu ada sebuah gubuk kayu. Kedua anjing itu sedang mencakar-cakar



pintunya. Setelah terbuka, mereka kembali menghampiri kami. Fergie dan aku ditarik-tarik ke arah gubuk itu. "T-tempat apa ini?" aku berseru. "Di mana kita?" "Aku tidak tahu," bisik Fergie. "Aku belum pernah melihat gubuk ini." Anjing-anjing itu semakin keras menarik kami. Sepertinya mereka ingin agar kami masuk ke gubuk itu. "Kira-kira apa ya, yang ada di dalam situ?" aku berbisik kepada Fergie. Fergie menelan ludah. "Entahlah," sahutnya, juga sambil berbisik. "Tapi rasanya kita akan segera tahu!"



24 " FERGIE, aku tidak suka ini," bisikku. "Ayo, kita kabur saja—mumpung belum terlambat!" Rahang anjing yang menggiringku langsung menjepit mata kakiku makin keras. Mungkinkah dia mengerti apa yang kukatakan? "Mereka takkan membiarkan kita pergi," ujar Fergie. Kedua anjing itu mulai menggeram sambil memamerkan gigi. Fergie dan aku terdesak mundur sampai ke pintu gubuk. "Hei!" seruku, ketika kedua anjing itu menerjang dinding gubuk. "Oh, mana mungkin?" Fergie memekik. Anjing-anjing itu menerobos dinding kayu dan menghilang di dalam. "Ini mustahil!" seru Fergie. "Buktinya mereka bisa, aku bergumam. Aku memang sudah pernah menyaksikan kejadian serupa—di dapurku sendiri. "Mereka hantu atau sebangsanya!" Fergie berseru. Aku langsung meraih lengannya. "Ayo, kita kabur saja! Apa pun yang terjadi... kita jangan masuk gubuk itu." Kami baru berjalan beberapa langkah ketika anjing-anjing itu kembali menerobos dinding gubuk—kali ini dari dalam ke luar. Mereka langsung mengejar, lalu memaksa kami kembali merapat ke gubuk. Sebelum kami sempat memberontak atau berusaha lari, anjing-anjing itu sudah berdiri di atas kaki belakang.



Dalam keadaan tegak, mereka lebih tinggi dari Fergie dan aku! Kami langsung berpandangan dengan ngeri. Kedua anjing itu melangkah maju. Kaki depan mereka menempel ke dada kami. Dan kemudian kami didorong mundur ke dalam gubuk. Fergie dan aku sama-sama menjerit ketika kami mulai jatuh. Gubuk itu ternyata tak berlantai. Kami seperti melayang-layang. Turun, turun, turun. Ke dalam lubang yang dalam dan hitam. Lubang yang seakan-akan tidak mempunyai dasar.



25 AKU mendarat dalam posisi berdiri, pelan-pelan sekali. Aku bahkan tidak sadar bahwa aku sudah menginjak dasar yang keras. Apakah kami jatuh ke semacam sumur? Atau ke terowongan yang digali jauh di bawah gubuk? Aku tidak bisa memastikannya. Kutarik napas panjang, lalu memandang berkeliling dalam kegelapan yang pekat. Fergie—kau tidak apa-apa?" aku memanggil. Suaraku terdengar kecil dan melengking. "Ra-rasanya sih begitu," dia menjawab setelah beberapa detik. "Cooper—lihat!" Aku baru mau menyahut bahwa keadaannya terlalu gelap untuk melihat apa pun, tapi tiba-tiba aku melihat dua pasang mata merah yang menyala-nyala. Aku menahan napas. "Jangan bergerak!" ujar sebuah suara yang parau. "Siapa kalian?" aku nekat bertanya, meskipun dengan suara gemetar. "Dan mau apa kalian?" "Kenapa kalian membawa kami kemari?" tanya Fergie. "Kenapa kalian bisa bicara? Kalian kan anjing." "Kami bukan anjing," suara itu menggeram. "Kami manusia." "Tapi—tapi—" aku tergagap-gagap. "Diam!" perintah suara itu. "Jangan bicara di Ruang Ganti."



"Ruang apa?" seruku. Mata merah itu bersinar-sinar. "Berabad-abad yang lalu, aku dan temanku ini terkena kutukan," suara itu melanjutkan, tanpa menggubris pertanyaanku. "Akibat kutukan tersebut, kami terpaksa menjelajahi hutan ini sebagai anjing. Anjing hantu." "Sayang sekali," aku bergumam. "Tapi apa hubungannya dengan kami?" Kedua anjing itu terkekeh-kekeh. Bunyinya lebih mirip suara batuk daripada tawa. "Kalian berada di Ruang Ganti," mereka memberitahu Fergie dan aku. "Sudah hampir seratus tahun kami berusaha membawa dua orang ke sini. Sekarang kami berhasil." "Terus —?" tanyaku. "Kami akan bertukar tempat dengan kalian," suara itu menyahut dengan santai. "Hah?" teriak Fergie. "Kalian mau apa?" "Mengambil tempat kalian," suara itu mengulangi. "Dan kalian akan menggantikan tempat kami. Kalian bakal menggantikan kami sebagai anjing hantu. Dan kalian akan menjelajahi hutan ini seperti kami—selama-lamanya!" "Tidak bisa!" seruku. Rasanya aku ingin kabur saja. Tapi kabur ke mana? Aku dikelilingi kegelapan yang hitam pekat. "Fergie—," aku mulai berkata. Aku mendengarnya menahan napas. Dan kemudian aku mulai merasa hangat. Seakan-akan tubuhku mendadak terbungkus selimut tebal. Rasa hangat itu menjalar ke seluruh tubuhku. Aku mulai kepanasan. Seolah-olah berada di dalam oven. Panas. Semakin panas. Sampai wajahku bermandikan keringat dan aku terengahengah. Aku tidak tahan lagi! pikirku. Sebentar lagi aku bakal meleleh! Aku membuka mulut untuk menjerit. Tapi suara yang keluar dari tenggorokanku bukan suaraku. Suara itu bahkan bukan suara manusia.



26 AKU membuka mata, disambut cahaya matahari yang terang benderang. Hutan di sekelilingku tampak buram. Aku berusaha keras untuk memfokuskan pandangan. Aku menguap. Lalu aku meregangkan semua otot dan menggerak-gerakkan badan sampai terbangun betul. Ah! Nikmat sekali rasanya. Aku mengendus-endus dan kembali bergoyang-goyang. Wow! Ada bau enak sekali! Perutku keroncongan. Tiba-tiba aku sadar aku kelaparan. Pandanganku belum sepenuhnya jelas ketika aku berjalan dua langkah dan jatuh berdebam. Sekali lagi aku bangkit. Rasanya aku kurang seimbang. Ada apa ini? aku bertanyatanya. Aku memandang berkeliling. Hei, kenapa pohon-pohon jadi hitam-putih semuanya? Dan kenapa langitnya kelihatan kelabu? Dan rumputnya juga? Ke mana semua warna-warni? Jangan-jangan aku sedang bermimpi. Tiba-tiba aku mendengar suara di belakangku. Seseorang sedang berdehem. Aku menoleh—dan melihat seekor labrador hitam. Aku hendak memekik—tapi yang keluar dari tenggorokanku malah suara gonggongan. Aku kaget sekali. Kemudian kuamati tubuhku. Tubuhku yang tertutup bulu. "Ohhh!" Seketika aku bergoyang-goyang dengan keras untuk membebaskan diriku dari tubuh anjing ini. Nanti, kalau sudah terlepas, pikirku, tubuhku yang asli bakal kelihatan lagi. Tubuh Cooper. Sambil bergoyang, aku menoleh ke belakang. Dan melihat buntut yang panjang dan hitam! Buntutku sendiri! Aku langsung menyalak. Ya ampun, aku jadi anjing! Kedua hantu di Ruang Ganti ternyata tidak main-main. Mereka telah bertukar tempat dengan kami. Fergie dan aku benar-benar jadi anjing sekarang. Fergie merintih. Kami mulai berjalan. Seluruh tubuh kami gemetar. Buntut kami tergantung lemas. Rintihan Fergie berubah menjadi lolongan yang memilukan. Hei, apa itu? Wah, aneh! Rasanya aku mendengar Fergie mengatakan sesuatu. "Aku memang mengatakan sesuatu," dia menegaskan. "Ehm, sebenarnya, aku memikirkan sesuatu. Kelihatannya kita bisa saling membaca pikiran, Cooper." Oke, Fergie. Kalau begitu, apa yang sedang kupikirkan sekarang? "Kau sedang memikirkan sisa ati goreng semalam yang disimpan oleh ibumu di



lemari es," kata pikiran Fergie. Betul! Ternyata kita bisa saling membaca pikiran! Keren! Berkali-kali aku menjilat bibir sambil memikirkan ati goreng itu. Aku senang sekali makan ati goreng, ibuku menghidangkannya sekali seminggu. Wah, aku benar-benar ingin mencicipinya sekarang! "Fergie, kita harus bagaimana nih? Kita berubah jadi anjing!" "Aku tahu, Cooper," sahutnya sambil mengusir lalat yang hinggap di belakang telinganya yang hitam dan panjang. "Kita harus melakukan sesuatu!" seruku. "Kita tidak bisa begini terus. Hantu-hantu itu mencuri tubuh kita! Sekarang ini mereka pasti sedang mengelabui orangtuaku!" Fergie diam saja. Dia malah berputar-putar sambil mengejar buntutnya sendiri. "Hei! Asyik juga!" "Fergie! Jangan bercanda saja! Ini masalah serius!" "Oke, oke! Sori! Aku juga tidak senang jadi begini!" Dia berbaring di tanah, dan menaruh moncongnya di antara kedua kaki depan. Sepertinya dia berpikir keras. "Eh, kau tahu, tidak, Cooper?" "Apa?" tanyaku sambil berjalan mondar-mandir. Aku ingin secepatnya menemukan jalan keluar dari masalah ini. "Kupingmu yang besar malah pantas sekarang setelah kau jadi anjing." "Aduh, Fergie! Serius sedikit dong!" aku menggeram. Lalu aku dapat ide. "Aku tahu!" seruku. "Aku tahu apa yang harus kita lakukan. Hantu-hantu itu harus kita bawa ke gubuk, supaya kita bisa bertukar tempat lagi dengan mereka!" "Oh, tentu, Cooper. Gampang kok," ujar Fergie. "Dan bagaimana caranya? Apa kita datangi mereka terus kita bilang, 'Ehm, maaf, kalian bisa ikut ke gubuk dengan kami? Sebentar saja.'" Aku menatap Fergie. Dia memang sudah jadi anjing. Tapi wataknya sama sekali tidak berubah. "Hei, aku tahu apa yang kau pikirkan!" gumamnya. Aku menghela napas. Hmm, memangnya kau punya rencana yang lebih bagus?" aku bertanya sambil menggaruk-garuk leherku. "Sabar dong. Aku juga sedang berpikir nih," balas Fergie sambil menguap. "Tapi... uuh, aku capek sekali. Barangkali kalau kita tidur dulu—" "Jangan! Jangan tidur! Kita harus melakukan sesuatu—sekarang juga! Dengarkan aku. Kita harus minta bantuan orangtuaku. Kita cuma perlu meyakinkan mereka bahwa kita Cooper dan Margaret yang asli, dan bahwa anak-anak di rumah itu sebenarnya hantu." "Dan bagaimana caranya?" Fergie bertanya dengan nada menantang. Pertanyaan bagus. Pertanyaan yang bagus sekali.



27 FERGIE dan aku berjalan menembus hutan. Aku mengendus-endus tanpa henti. Mencium tanah. Mencium rumput. Ternyata ada banyak sekali bau-bauan yang memikat! Kami berhenti di tepi hutan di belakang rumahku. Aku mendengar suara tawa dan orang berteriak-teriak. Lalu aku melihat orangtuaku. Di pekarangan belakang. Mereka sedang bermain frisbee dengan Fergie dan Cooper! Dasar hantu kurang ajar! Aku menggeram dengan kesal. Aku memperlihatkan gigi. Siap menyerang. "Hei!" seru Fergie. "Tunggu, Cooper! Kau tidak bisa main serbu begitu saja!" Fergie benar. Itu takkan memecahkan persoalan. Aku memperhatikan Dad melempar frisbee. Benda itu terbang melintasi pekarangan. Rasanya aku ingin melompat dan menangkapnya. Tapi aku menahan diri. Sekarang bukan waktunya untuk bermain-main. Kemudian aku dapat ide. Ide yang hebat sekali. Ide yang datang hanya sekali seumur hidup. "Ayo!" aku mengajak Fergie. Aku mulai berlari ke sisi samping rumah. "Cooper, mau ke mana kau?" Fergie memanggil. Aku tidak menyahut. Aku berhenti di depan dinding kamar Mickey. "Siap?" aku bertanya kepada Fergie. Dia langsung membaca pikiranku. Dia langsung tahu apa yang hendak kulakukan. Sambil berdampingan kami melompat dan menerobos dinding rumah. Dan masuk ke kamar kakakku. Mickey cuma mengenakan pakaian dalam. Dia sedang berdiri di depan lemari sambil merapikan tumpukan T-shirt. Dia langsung berpaling dan berseru kaget ketika Fergie dan aku mulai menggeram. Kakakku memekik tertahan. Matanya terbelalak lebar karena ketakutan. Perlahan-



lahan dia mundur. Fergie dan aku menyalak dan berdiri tegak. "Ba-bagaimana kalian bisa—?" Mickey tergagap-gagap. Hanya itu yang sempat diucapkannya. Kemudian dia memekik lagi, melesat melewati kami, menghambur keluar dari kamarnya. "Mom! Dad! Tolong!" aku mendengarnya menjerit-jerit. "Mom! Dad!" Fergie dan aku tidak mau kehilangan kesempatan untuk melihat dia berlari melintasi pekarangan—hanya dengan pakaian dalam. Kami kembali menembus dinding dan menunggu sampai dia menghilang di balik garasi. "Kau lihat tidak tampangnya tadi?" aku berseru dengan gembira. "Wah, ini benar-benar asyik." "Yeah, biar dia tahu rasa!" Fergie ikut berseru. "Hei!" sebuah suara berteriak dengan tegas. Aku berbalik. Daddy! "Bagaimana anjing-anjing ini bisa masuk ke pekarangan kita?" Daddy bertanya dengan ketus. "Ayo. Pergi! Pergi!" "Tapi, Dad! Ini aku, Cooper!" maksudku berteriak begitu. Namun yang terdengar cuma Guk! Guk! Guk!. "Pergi! Ayo, pergi!" Daddy mengulangi dengan nada jengkel. "Dad! Ini aku! Aku!" "Guk! Guk! Guk! Guk! Guk! Guk! Guk! Guk!" Dad mengambil sapu dan mengayun-ayunkannya di depan hidung Fergie dan aku. "Pergi, sana!" serunya. "Ada apa?" Mom bertanya dari pintu. "Mom! Ini aku. Cooper!" aku menyalak sejadi-jadinya. "Oh, Sam. Tolong usir binatang-binatang ini! Kau tahu aku alergi terhadap anjing." "Tapi, Mom!" aku berseru. "Masa Mom tidak tahu kalau ini aku?" Guk, guk! Guk, guk, guk. guk, guk! "Sam, lebih baik telepon tempat penitipan hewan saja. Anjing-anjing ini kelihatannya berbahaya. Mungkin mereka harus disuntik mati. Telepon saja ke sana. Petugasnya pasti tahu harus bagaimana." Dengan kalang-kabut aku menyaksikan Daddy mengangkat gagang dan memutar sebuah nomor.



28 FERGIE dan aku langsung kabur ke hutan. Kami berlari sekencang mungkin. Dalam wujud anjing pun, dia berlari lebih kencang dari aku. Kami bersembunyi di antara pohon-pohon dan mengamati orangtuaku bermain frisbee di pekarangan belakang bersama Cooper dan Fergie yang palsu. Petugas tempat penitipan binatang ternyata tidak muncul. Tapi situasinya tetap gawat. Orangtuaku menyangka kami cuma anjing liar. Dan aku tidak bisa memberitahu mereka siapa aku sesungguhnya. Aku cuma bisa menyalak. Tapi, hei... tunggu dulu. Barangkali ada lagi yang bisa kulakukan. "Fergie, aku dapat ide lagi!" ujarku sambil mengibas-ngibaskan ekor. "Ikut aku!" Fergie dan aku mengendap-endap ke sisi samping rumah, lalu menerobos dinding dan masuk ke ruang keluarga. Aku mengendus-endus untuk mencari bolpoin dan kertas. "Akan kutulis pesan untuk mereka," aku menjelaskan kepada Fergie. "Mom pasti mengenali tulisan tanganku." Kutemukan bolpoin di atas meja, di samping notes. Aku langsung mencoba mengangkatnya. Tapi bolpoin itu jatuh lagi. Aku tidak bisa menggenggamnya dengan cakarku. Fergie berusaha membantu. Dia mendorong-dorong bolpoin itu dengan moncongnya, tapi aku tetap tidak bisa mengangkatnya. Memang tidak mungkin. Mana ada anjing yang bisa memegang bolpoin. Aku kecewa sekali. Kusingkirkan bolpoin itu. Dan kertasnya kurobek-robek. Pas saat itulah Daddy masuk. "Hei! Kok kalian masih ada di sini?!" dia berseru dengan gusar. Mom dan kedua "penipu" menyusul. Aku mulai menyalak untuk berkomunikasi dengan Daddy. Tapi itu malah membuatnya semakin naik pitam. "Coba berdiri tegak!" aku menyuruh Fergie. "Mudah-mudahan dia mengerti bahwa kita mau memberitahukan sesuatu!" Aku mencoba berdiri tegak di atas kaki belakang. Tapi aku kurang terampil. Habis, aku baru beberapa jam jadi anjing. Aku kehilangan keseimbangan dan jatuh berdebam. Penampilanku pasti konyol sekali. Dan benar saja—semuanya langsung ketawa ketika melihat tingkahku. "Anjing aneh," ujar Cooper palsu. Berulang-ulang Fergie dan aku mencoba berdiri tegak. Tapi tak ada yang mengerti apa maksud kami sebenarnya. Dan setelah beberapa waktu, mreeka akhirnya bosan



menonton kami. Daddy kembali meraih sapu. Sebenarnya aku bisa saja merebut sapu itu dari tangan Daddy, lalu menabraknya sampai jatuh. Tapi apa gunanya? Daddy mengusir aku dan Fergie lewat pintu belakang, dan kami langsung kabur ke hutan. "Kau benar," aku berkata kepada Fergie, ketika kami sudah berada di tempat aman di antara pohon-pohon. "Kita tetap jadi anjing seumur hidup. Bukan anjing sungguhan lagi. Anjing hantu." "Jangan kuatir," sahut Fergie, yang langsung membaca pikiranku. "Kita akan meyakinkan mereka. Pasti ada satu cara untuk memberitahu mereka siapa kita sesungguhnya." Aku mendesah, lalu berbaring di tanah. Kalau saja Gary dan Todd ada di sini, mereka pasti tahu apa yang harus kulakukan. Aku berguling-guling. Dan tiba-tiba punggungku terasa panas. Panas seperti terbakar. Seketika aku bangun. "Ada apa?" seru Fergie. "Kenapa kau?" Aku menggoyang-goyangkan badan dari kepala sampai ekor. Gerakanku tak terkendali. Sesuatu telah mengambil alih kendali atas tubuhku.



29 "KUTU!" aku memekik. Sepertinya ada ribuan kutu yang menempel di badanku. Dan tak satu pun bisa kujangkau. "Punggungku!" aku berteriak tanpa dapat berbuat apa-apa. "Punggungku!" Fergie mengangkat kaki depannya dan menggaruk bagian punggung yang tak terjangkau olehku. "Naik lagi," aku memohon. "Naik lagi. Aaaaahhhhh, itu dia." Kedua telingaku menggelantung lemas, dan aku mendesah dengan lega. Fergie menemukan tempat yang nyaman di bawah pohon birch yang tinggi. Aku langsung merebahkan diri dan menaruh moncong pada kaki depanku. Fergie meringkuk di dekat batang pohon itu. Sudah waktunya untuk menyusun rencana



baru. Dan juga waktunya untuk tidur. Aku sendiri baru sadar betapa capeknya aku. Waktu berjalan lambat. Rasanya kami sama-sama ketiduran satu atau dua kali. Sekitar waktu makan siang, kami berlari ke sungai di tengah hutan. Beberapa kutu masih menempel di kulitku. Kupikir, berendam di air mungkin bisa membantu. Lalu kami kembali ke bawah pohon birch. Kami berdua sudah kelaparan. "Barangkali kita bisa cari sisa makanan di rumahku—di tong sampah," aku mengusulkan. "Idih! Aku tidak bakal mau makan sampah," Fergie merengek. "Pokoknya, aku tidak mau." Tapi dia tahu kami tidak punya pilihan lain. Kami kembali ke rumahku dan mengendap-endap ke pintu samping, tempat Dad menaruh tong sampah. Ketika kami sedang mengendus-endus untuk mencari makanan, Mickey dan orangtuaku membuka pintu belakang dan keluar ke pekarangan. "Aku tidak mengada-ada, Mom!" seru Mickey. "Anjing-anjing itu anjing hantu! Mereka menembus dinding kamarku tadi! Mereka bukan anjing biasa!" "Kalau mau bermain-main seperti itu, ajak Cooper saja," Daddy menyahut dengan ketus. "Hei, Fergie, barangkali Mickey bisa membantu kita," aku berkata sambil memperhatikan kakakku. "Dia satu-satunya yang percaya bahwa kita bukan anjing biasa. Barangkali kita bisa mencari jalan untuk memberitahu dia siapa kita sebenarnya." Fergie menghela napas. "Yeah, bisa saja," ujarnya dengan sinis. "Coba bayangkan tampang orangtuamu kalau Mickey bilang bahwa kedua anjing yang berkeliaran di sekitar rumah sebenarnya Cooper dan Margaret Ferguson." Aku menundukkan kepala. Fergie benar. Ayah dan ibuku takkan percaya. "Tapi kita tidak bisa diam saja!" aku berseru sambil menggaruk-garuk belakang telingaku. "Aduh, kutu-kutu ini bikin aku gila! Aku tidak bisa hidup seperti ini!" "Mungkin kau bisa pakai obat kutu," Fergie mengusulkan. "Oh, ya. Aku tinggal pergi ke toko di pusat kota, menaruh lima dolar di meja layan, dan minta obat kutu. Dan takkan ada yang menganggapnya aneh." Aku memutarmutar bola mata. "Hei, sori, Cooper," Fergie langsung membela diri. "Maksudku kan baik!" Fergie dan aku menghabiskan sisa hari itu dengan saling membuat jengkel. Menjelang waktu makan malam, perutku sudah benar-benar keroncongan. Lalu aku mencium bau yang benar-benar membangkitkan selera. Aku mendongakkan kepala dan mengendus-endus penuh semangat. Bau itu langsung kukenali.



Ati goreng! Ati goreng sisa kemarin malam! "Ayo," aku menyalak kepada Fergie. "Aku harus dapat bagianku." Kami menuju ke pintu belakang dan mengintip ke dalam. Seluruh keluargaku sudah berkumpul di meja makan. "Ih, air liurmu menetes-netes, tuh," ujar Fergie. "Idih, jorok." Aku tidak ambil pusing. Aku tidak sanggup mengalihkan pandangan dari piring berisi ati goreng yang dibawa Mom ke meja makan. Tanpa berkedip aku memperhatikan Mom menaruh sepotong di piring Daddy. Kemudian giliran Mickey. Kakakku itu tampak tegang dan gelisah. Mudah-mudahan dia masih senewen gara-gara kejadian tadi pagi. Lalu ibuku menaruh sepotong ati goreng di piring Cooper palsu. Penipu itu langsung tersentak. "Idih!" serunya. "Aku benci ati goreng." Ibuku terbengong-bengong. "Cooper! Kenapa sih? Ati goreng kan makanan kesukaanmu!" Cooper palsu itu mulai tergagap-gagap. "Oh, ehm, aku bilang aku benci ati goreng, ya? Oh, bukan. Aku, ehm, aku cuma bercanda, Mom. Aku paling suka ati goreng. Semua orang juga tahu itu." Mom menatapnya dengan curiga. "Cooper, kau aneh hari ini." Aku membelalakkan mata. Inilah kesempatan yang kutunggu-tunggu! Sekaranglah waktu yang tepat untuk memberitahu bahwa dia bukan Cooper yang asli! Bahwa dia cuma penipu! "Aku mau masuk!" ujarku kepada Fergie. Aku menerobos pintu dapur dan langsung menuju ke piring berisi ati. Akan kutunjukkan kepada ibuku siapa Cooper yang sesungguhnya, pikirku dengan gembira. Cooper yang suka makan ati goreng. Mom pasti langsung mengenaliku! Cara ini pasti berhasil! Aku tahu ini kesempatan kami yang terakhir. Kesempatan satu-satunya.



30 SAMBIL terengah-engah aku menyerbu ke dapur lalu melompat ke meja makan. Mom menjerit dan melepaskan piring berisi ati goreng. Piringnya langsung jatuh ke lantai. Seketika aku membungkuk dan mulai makan. Hmm, rasanya lezat sekali! "Lihat, Mom! Lihat, nih! Ini aku! Anakmu, Cooper!" aku berseru sambil mengunyah. "Sam! Lakukan sesuatu! Binatang itu menghabiskan makan malam kita!" Hah? Binatang? "Bukan, Mom! Ini aku! Anakmu! Lihat, aku senang makan ati goreng!" Tapi percuma saja. Mom cuma mendengar, "Guk, guk! Guk, guk! Guk, guk! Guk, guk, guk, guk!" Daddy mendorong kursinya menjauhi meja dan meraih koran di atas meja racik. Koran itu digulungnya, lalu dipakai untuk memukul moncongku. "Aduh!" Sakit sekali! "Mudah-mudahan orang di tempat penitipan hewan sudah selesai bicara," ujar Mom sambil mengangkat gagang telepon. "Coba giring anjing-anjing itu ke dapur dan kunci pintu. Kita sekap mereka di situ sampai para petugas datang." Cooper dan Margaret palsu membantu ayahku menggiring kami ke dapur. "Anjing nakal! Anjing nakal!" seru Margaret palsu. "Dad, apakah para petugas bakal membawa pistol suntik?" tanya Cooper yang palsu. "Mungkin," sahut ayahku. Aku melirik ke arah Fergie. Pistol suntik? Wah, kalau begitu aku menyerah saja. Seumur hidup belum pernah aku berlari sekencang ini. Bahkan lebih kencang dari Fergie. "Ada ide gemilang lagi?" tanya Fergie setelah kami berada di hutan. Aku cuma menggeram dan berpaling ke arah lain. Matahari sudah mulai menghilang di balik pepohonan. Udara terasa sejuk. Sebentar lagi hari akan gelap. "Dan kenapa kau tidak menyisakan ati goreng untukku?" ujar Fergie dengan ketus. "Aku juga lapar, tahu?!" Aku tidak menggubrisnya. Pandanganku tertuju ke rumahku. Aku melihat ayah dan ibuku mencuci piring di dapur. Perasaanku kacau-balau. Tanpa sadar aku mulai merintih-rintih. Seandainya saja aku berada di dalam rumah yang hangat dan nyaman. Sebentar lagi sudah gelap. Dan aku tidak berminat tidur di tengah hutan. Berpikirlah, Cooper! Pakai otakmu! aku berkata dalam hati. Pasti ada jalan agar



kami bisa kembali menjadi manusia. "Hei!" seruku. "Aku baru teringat sesuatu!" seruku. Fergie membuka mata dan menguap lebar. Rupanya dia sempat ketiduran tadi. "Ada apa lagi nih?" tanyanya terkantuk-kantuk. "Kita ini anjing, bukan?" "Betul." "Jadi kita harus bersikap seperti anjing!" Fergie memicingkan mata. "Cooper, apa sih maksudmu?" Aku menarik napas panjang. "Oke, coba dengarkan," aku mulai menjelaskan. Kau masih ingat bagaimana kedua anjing hantu mengajak kita ke gubuk itu?" Fergie mengangguk. "Itulah yang harus kita lakukan! Kita tarik anak-anak itu ke sana, persis seperti mereka menarik kita! Itulah yang akan dilakukan anjing! Fergie mengangkat kepala. Kupingnya berdiri tegak. "Wah, boleh juga." "Kita anjing," aku melanjutkan. "Kita bergigi tajam, bukan? Tajam sekali, malah. Kita seret mereka ke hutan, ke Ruang Ganti—dan dalam sekejap kita sudah jadi Cooper dan Fergie lagi!" Fergie berdiri dan mengibas-ngibaskan ekor. "Yeah!" serunya dengan gembira. "Oke, begini rencanaku." Dengan kaki depan aku membuat diagram di tanah. "Penipu-penipu itu ada di sini, di ruang duduk. Kita terobos dinding dan kita seret mereka keluar lewat pintu dapur. Biarkan saja seandainya Mom dan Dad mengejar. Kita bisa lari lebih kencang dari mereka." "Aku siap. Ayo, tunggu apa lagi?" seru Fergie Kami menuju ke rumah lalu menerobos dinding, persis seperti yang kami rencanakan. Cooper dan Margaret palsu sedang asyik menonton MTV di ruang duduk. Mereka kaget sekali ketika kami tiba-tiba muncul dari dinding. "Mom!" Cooper palsu berteriak dengan sekuat tenaga. "Dad! Tolong! Anjinganjing itu datang lagi!" Fergie dan aku segera menghampiri mereka sambil menggeram dan memperlihatkan gigi Aku mencengkeram mata kaki Cooper palsu, dan secara bersamaan orangtuaku dan Mickey muncul di pintu. Langsung saja aku memberi isyarat kepada Fergie agar jangan membuang-buang waktu. Dia pun segera melompat maju dan mencengkeram pergelangan tangan Margaret palsu dengan giginya. Lalu kami mulai menarik. "Mom! Dad! Tolong!" teriak Cooper palsu. "Mr. Holmes!" Fergie palsu memekik-mekik. "Tolong! Kami diserang!" Mom segera berbalik untuk mengambil sapu



Tapi sebelum ayahku sempat bertindak, Fergie dan aku sudah menyeret kedua penipu itu sampai ke dapur. Aku melirik ke arah Mickey. Dia meringkuk di pojok, seluruh badannya gemetar. Sayang sekali aku tidak punya waktu untuk menikmati adegan itu. Kami sudah keluar dari dapur sekarang. Semuanya berjalan sesuai rencana. Sebentar lagi Fergie dan aku sudah kembali ke wujud kami yang asli. Kedua penipu itu pun sudah tahu mereka hendak dibawa ke mana. Tapi tak ada yang bisa mereka lakukan. Fergie dan aku terlalu kuat, terlalu menakutkan. "Dad! Tolong!" Cooper palsu berseru sekali lagi. "Tenang saja!" sahut ayahku. Sepertinya anjing-anjing itu tidak bermaksud menyakiti kalian! Kelihatannya mereka cuma ingin agar kita mengikuti mereka!" Nah, begitu dong! Tidak lama kemudian aku sudah melihat lapangan tempat gubuk tua itu berdiri. Sebentar lagi, pikirku dengan gembira. Dalam beberapa menit saja Fergie dan aku sudah bisa berjalan pulang bersama orangtuaku. Dengan dua kaki. Kami takkan diganggu kutu lagi. Dan kami tak perlu mencari makan di tong sampah. Aku sudah tidak sabar! Kami sampai terengah-engah ketika kedua penipu yang meronta-ronta itu berusaha membebaskan diri. Namun cengkeraman Fergie dan aku tidak mengendur sedikit pun. Mereka kami tarik dan seret dengan sekuat tenaga. Lalu, akhirnya, kami sampai di gubuk tua. Kedua penipu itu kami paksa mundur sampai merapat ke pintu. Sejenak aku melepaskan Cooper palsu dari cengkeramanku. Aku tidak punya pilihan. Aku digigit kutu dan gatalnya minta ampun. Si penipu berusaha kabur. "Cooper! Dia mau kabur!" Fergie menyalak. "Jangan kuatir!" sahutku, juga sambil menyalak. Cepat-cepat kukejar penipu itu dan kugigit bajunya. Lalu kutarik dia kembali ke gubuk. Fergie yang palsu menjerit-jerit. "Jangan! Jangan! Aku tidak mau masuk ke situ lagi!" Aku menatapnya sambil melotot. "Tenang, Margaret, tenang!" aku mendengar Mom berseru. "Jangan takut. Kita lihat saja apa yang hendak ditunjukkan anjing-anjing itu." Sudah waktunya untuk bertukar tempat lagi. "Sekarang!" aku memekik. Fergie dan aku menerjang kedua penipu. Sambil terhuyung-huyung mereka terdorong masuk. Kami segera menyusul. Sekali lagi kami berempat melayang-layang, dan menghilang dalam kegelapan



yang pekat. Sekali lagi aku merasa pusing. Dan hangat. Hangat. Semakin hangat. Seakan-akan diselubungi selimut tebal. Aku merasakan sesuatu terjadi pada diriku. Dan kemudian aku berubah di tengah kegelapan, di tengah hawa panas yang nyaris tak tertahankan. Aku menoleh ke atas. Sebuah bayangan membara tampak melayang di atasku. Sebuah bayangan dengan mata merah yang kecil sekali. Seluruh tubuhku terguncang. Aku mulai gemetaran. Aku langsung tahu ada yang tak beres. "Fergie!" seruku dengan suara parau. "Ada yang tidak beres nih!"



31 "COOPER!" Mom berseru dengan lega. Dia berlari menghampiriku sambil merentangkan tangan. "Kau tidak apa-apa?" "Margaret, apa yang terjadi di dalam situ?" tanya Daddy. "Ke mana anjing-anjing itu?" "Kami tidak apa-apa," Margaret bergumam. "Ini cuma gubuk kosong." "Begitu kita sampai di rumah, aku akan menelepon tempat penitipan hewan," ujar Mom. "Anjing-anjing itu tidak boleh dibiarkan berkeliaran. Mereka berbahaya!" "Ayo! Kita pergi saja dari sini," kata Cooper. Fergie mengangguk-angguk. "Kami tidak apa-apa kok. Kami cuma ingin pulang." "Wah, petualangan yang menegangkan," Mom berkomentar sambil menghela napas. "Paling tidak, rumah kita yang baru jadi tidak membosankan," Daddy menimpali. "Yeah, betul sekali," kata Cooper. "Apa yang terjadi?" tanyaku sambil menggosok-gosok mataku memperhatikan orangtuaku berjalan menjauhi gubuk sambil merangkul dua anak. "Hei! Anak-anak itu!" aku berseru. "Itu bukan kita!" Pintu gubuk terbuka, dan dua anjing labrador hitam sempoyongan keluar. Mereka berpandangan sejenak, lalu langsung kabur sambil menggonggong. Ada apa dengan mereka? aku bertanya-tanya. Aku memperhatikan kedua anjing itu



menghilang di balik pepohonan. Ada apa ini? aku bertanya dalam hati. Aku benar-benar bingung. Aku bukan manusia—tapi aku juga bukan anjing! "Hei, Fergie! Fergie?" Di mana dia? Waktu dia muncul di sampingku, kami sama-sama memekik tertahan. "0h, aduh! Aduh! Aduuuhhh!" dia meratap. Dia memalingkan wajahnya, dan hidungnya yang kecil dan berwarna cokelat tampak berkerut-kerut. "Oh, ini tidak mungkin!" seruku. "Aku pasti salah lihat! Fergie —katakan aku salah lihat..." "Kau tidak salah lihat!" Fergie menyahut dengan suaranya yang kecil sekali. "Kita... kita berubah jadi tupai!" Kami sama-sama mencicit. Fergie mengamati tubuhnya yang mungil dan tertutup bulu. "Bagaimana ini bisa terjadi, Cooper? Bagaimana ini bisa terjadi?" "Di hutan ini memang banyak tupai," jawabku sambil menghela napas. "Rupanya ada dua tupai yang masuk Ruang Ganti. Dan kita—" "Kita bertukar tempat dengan tupai—bukan dengan anak-anak itu!" seru Fergie. Buntutnya yang tebal memukul-mukul tanah Kuamati tanganku yang hitam. Kugerak-gerakkan jari-jemariku yang mungil. Kukerut-kerutkan hidungku yang kecil. Aku begitu lucu. "Sekarang bagaimana?" Fergie meratap. "Apa yang harus kita lakukan sekarang?" "Ehm... cari biji-bijian?" aku mengusulkan. Fergie menatapku dengan heran. "Apa?" "Ayo, kita cari biji-bijian!" sahutku. "Aku lapar sekali!” END



Ebook PDF: eomer eadig Http://ebukulawas.blogspot.com Convert & Re edited by: Farid ZE blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu