Geologi Regional Sumsel [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Geologi Regional Cekungan Sumatera Selatan 2.1.1. Fisiografi Regional Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Shell Mijnbouw (1978) dan Gafoer dkk. (1993) keadaan geologi Cekungan Sumatera Selatan yang secara umum tersusun oleh batuan sedimen Tersier yang diendapkan di atas batuan Pra-Tersier. Kerangka tektonik cekungan Sumatera Selatan terdiri dari Paparan Sunda di sebelah timur dan jalur tektonik Bukit Barisan di sebelah Barat. Daerah cekungan ini dibatasi dari Cekungan Jawa Barat oleh daerah tinggian Lampung. Daerah cekungan terdapat daerah peninggian batuan dasar Pra-Tersier dan berbagai depresi. Perbedaan relief dalam batuan dasar ini diperkirakan karena adanya pematahan dasar dalam bongkahbongkah (graben-graben). Hal ini sangat ditunjukkan oleh depresi Lematang di cekungan yang jelas dan dibatasi oleh jalur patahan Lematang dari Pendopo Antiklinorium serta oleh patahan Lahat di sebelah barat laut dari paparan Kikim.Gerakan diferensial dari blok patahan (graben) ini mengendalikan sedimentasi, fasies serta pelipatan pada lapisan Tersier di atasnya. Pada umumnya daerah Cekungan Sumatera Selatan ini dapat dibagi menjadi 3 sub cekungan : 1. Cekungan Jambi atau Palembang Utara yang menjorok kearah selatan. 2. Cekungan Palembang Tengah. 3. Cekungan Palembang Selatan atau juga disebut Kompleks Palembang Selatan. 2.1.2. Stratigrafi Regional Stratigrafi Cekungan Sumatera Selatan dibagi menjadi tiga kelompok yaitu kelompok batuan PraTersier, kelompok batuan Tersier serta kelompok batuan Kuarter. 1. Batuan Pra-Tersier Batuan Pra-Tersier Cekungan Sumatera Selatan merupakan dasar cekungan sedimen Tersier. Batuan ini diketemukan sebagai batuan beku, batuan metamorf dan batuan sedimen (De Coster, 1974), Westerveld (1941) membagi batuan berumur Paleozoikum (Permokarbon) berupa slate dan yang berumur Mesozoikum (Yurakapur) berupa seri fasies vulkanik dan seri fasies laut dalam. Batuan Pra-Tersier ini diperkirakan telah mengalami perlipatan dan patahan yang intensif pada zaman Kapur Tengah sampai zaman Kapur Akhir dan diintrusi oleh batuan beku sejak orogenesa Mesozoikum Tengah. 2. Batuan Tersier Berdasarkan penelitian terdahulu urutan sedimentasi Tersier di Cekungan Sumatera Selatan dibagi menjadi dua tahap pengendapan, yaitu tahap genang laut dan tahap susut laut. Sedimen-sedimen yang terbentuk pada tahap genang laut disebut Kelompok Telisa (De Coster, 1974, Spruyt, 1956), dari umur Eosen Awal hingga Miosen Tengah terdiri atas Formasi Lahat (LAF), Formasi Talang Akar (TAF), Formasi Baturaja (BRF), dan Formasi Gumai (GUF). Sedangkan yang terbentuk pada tahap susut laut disebut Kelompok Palembang (Spruyt, 1956) dari umur Miosen Tengah – Pliosen terdiri atas Formasi Air Benakat (ABF), Formasi Muara Enim (MEF), dan Formsi Kasai (KAF). a. Formasi Lahat (LAF) Formasi Lahat diendapkan secara tidak selaras di atas batuan dasar, merupakan lapisan dengan tebal 200 m – 3350 m yang terdiri dari konglemerat, tufa, breksi vulkanik andesitik, endapan lahar, aliran lava dan batupasir kuarsa. Formasi Lahat berumur Paleosen hingga Oligosen Awal. Formasi ini memiliki 3 anggota, yaitu :  Anggota Tuf Kikim Bawah, terdiri dari tuf andesitik, breksi dan lapisan lava. Ketebalan anggota ini bervariasi, antara 0 – 800 m.  Anggota Batupasir Kuarsa, diendapkan secara selaras di atas anggota pertama. Terdiri dari konglomerat dan batupasir berstruktur crossbedding. Butiran didominasi oleh kuarsa.  Anggota Tuf Kikim Atas, diendapkan secara selaras dan bergradual di atas Anggota Batupasir Kuarsa. Terdiri dari tuf dan batulempung tufan berselingan dengan endapan mirip lahar. b. Formasi Talang Akar (TAF) Formasi talang akar pada Sub Cekungan Jambi terdiri dari batulanau, batupasir dan sisipan batubara yang diendapkan pada lingkungan laut dangkal hingga transisi. Menurut Pulunggono, 1976, Formasi Talang Akar berumur Oligosen Akhir hingga Miosen Awal dan diendapkan secara selaras di atas Formasi Lahat.



Bagian bawah formasi ini terdiri dari batupasir kasar, serpih dan sisipan batubara. Sedangkan di bagian atasnya berupa perselingan antara batupasir dan serpih. Ketebalan Formasi Talang Akar berkisar antara 400 m – 850 m. c. Formasi Baturaja (BRF) Penamaan Formasi Baturaja pertama kali dikemukakan oleh Van Bemmelen (1932) sebagai “Baturaja Stage”, Lokasi tipe Formasi Baturaja adalah di pabrik semen Baturaja (Van Bemelen, 1932). Formasi ini diendapkan secara selaras di atas Formasi Talang Akar. Talang Akar dengan ketebalan antara 200 sampai 250 m. Litologi terdiri dari batugamping, batugamping terumbu, batugamping pasiran, batugamping serpihan, serpih gampingan dan napal kaya foraminifera, moluska dan koral. Formasi ini diendapkan pada lingkungan litoral-neritik dan berumur Miosen Awal. d. Formasi Gumai (GUF) Formasi Gumai diendapkan secara selaras di atas Formasi Baturaja dimana formasi ini menandai terjadinya transgresi maksimum di Cekungan Sumatera Selatan. Bagian bawah formasi ini terdiri dari serpih gampingan dengan sisipan batugamping, napal dan batulanau. Sedangkan di bagian atasnya berupa perselingan antara batupasir dan serpih. Ketebalan formasi ini secara umum bervariasi antara 150-2200 m dan diendapkan pada lingkungan laut dalam. Formasi Gumai berumur Miosen Awal-Miosen Tengah. e. Formasi Air Benakat (ABF) Formasi Air Benakat diendapkan secara selaras di atas Formasi Gumai dan merupakan awal terjadinya fase regresi. Formasi ini terdiri dari batulempung putih kelabu dengan sisipan batupasir halus, batupasir abu-abu hitam kebiruan, glaukonitan setempat mengan dung lignit dan di bagian atas mengandung tufaan sedangkan bagian tengah kaya akan fosil foraminifera. Ketebalan Formasi Air Benakat bervariasi antara 100-1300 m dan berumur Miosen Tengah-Miosen Akhir. Formasi ini diendapkan pada lingkungan laut dangkal. f.



Formasi Muara Enim (MEF) Formasi Muara Enim mewakili tahap akhir dari fase regresi tersier. Formasi ini diendapkan secara selaras di atas Formasi Air Benakat pada lingkungan laut dangkal, paludal, dataran delta dan non marin. Ketebalan formasi ini 500 – 1000m, terdiri dari batupasir, batulempung , batulanau dan batubara. Batupasir pada formasi ini dapat mengandung glaukonit dan debris volkanik. Pada formasi ini terdapat oksida besi berupa konkresi-konkresi dan silisified wood. Sedangkan batubara yang terdapat pada formasi ini umumnya berupa lignit. Formasi Muara Enim berumur Miaosen Akhir – Pliosen Awal. Lokasi tipenya terletak di Muara Enim, Kampong Minyak, Lembar Lahat. g. Formasi Kasai (KAF) Formasi Kasai diendapkan secara selaras di atas Formasi Muara Enim dengan ketebalan 850 – 1200 m. Formasi ini terdiri dari batupasir tufan dan tefra riolitik di bagian bawah. Bagian atas terdiri dari tuf pumice kaya kuarsa, batupasir, konglomerat, tuf pasiran dengan lensa rudit mengandung pumice dan tuf berwarna abu-abu kekuningan, banyak dijumpai sisa tumbuhan dan lapisan tipis lignit serta kayu yang terkersikkan. Fasies pengendapannya adalah fluvial dan alluvial fan. Formasi Kasai berumur Pliosen Akhir-Plistosen Awal. 3. Kelompok Batuan Kuarter Satuan ini merupakan Litologi termuda yang tidak terpengaruh oleh orogenesa Plio-Plistosen. Golongan ini diendapkan secara tidak selaras di atas formasi yang lebih tua yang teridi dari batupasir, fragmen-fragmen konglemerat berukuran kerikil hingga bongkah, hadir batuan volkanik andesitik-basaltik berwarna gelap. Satuan ini berumur resen (gambar 2.1).



Gambar 2.1. Stratigrafi dan sejarah tektonik cekungan sumatera selatan (Medco E&P Indonesia) 2.1.3. Tatanan Tektonik Regional Peristiwa Tektonik yang berperan dalam perkembangan Pulau Sumatera dan Cekungan Sumatera Selatan adalah: 1. Fase kompresi yang berlangsung dari Jurasik awal sampai Kapur. Tektonik ini menghasilkan sesar geser dekstral WNW – ESE seperti Sesar Lematang, Kepayang, Saka, Pantai Selatan Lampung, Musi Lineament dan N – S trend. Terjadi wrench movement dan intrusi granit berumur Jurasik – Kapur. 2. Fase tensional pada Kapur Akhir sampai Tersier Awal yang menghasilkan sesar normal dan sesar tumbuh berarah N – S dan WNW – ESE. Sedimentasi mengisi cekungan atau terban di atas batuan dasar bersamaan dengan kegiatan gunung api. Terjadi pengisian awal dari cekungan yaitu Formasi Lahat. 3. Fase ketiga yaitu adanya aktivitas tektonik Miosen atau Intra Miosen menyebabkan pengangkatan tepi-tepi cekungan dan diikuti pengendapan bahan-bahan klastika. Yaitu terendapkannya Formasi Talang Akar, Formasi Baturaja, Formasi Gumai, Formasi Air Benakat, dan Formasi Muara Enim. 4. Fase keempat berupa gerak kompresional pada Plio-Plistosen menyebabkan sebagian Formasi Air Benakat dan Formasi Muara Enim telah menjadi tinggian tererosi, sedangkan pada daerah yang relatif turun diendapkan Formasi Kasai. Selanjutnya, terjadi pengangkatan dan perlipatan berarah barat laut di seluruh daerah cekungan yang mengakhiri pengendapan Tersier di Cekungan Sumatera Selatan. Selain itu terjadi aktivitas volkanisme pada cekungan belakang busur. 2.1.4. Struktur Geologi Regional Struktur Geologi Cekungan Sumatera Selatan adalah suatu hasil kegiatan tektonik yang berkaitan erat dengan penunjaman Lempeng Indo-Australia, yang bergerak ke arah utara hingga timurlaut terhadap Lempeng Eurasia yang relatif diam. Cekungan Sumatera Selatan terbentuk dari hasil penurunan (depression) yang dikelilingi oleh tinggian-tinggian batuan Pratersier. Pengangkatan Pegunungan Barisan terjadi di akhir Kapur disertai terjadinya sesar-sesar bongkah (block faulting). Selain Pegunungan Barisan sebagai pegunungan bongkah (block mountain) beberapa tinggian batuan tua yang masih tersingkap di permukaan adalah di Pegunungan Tigapuluh, Pegunungan Duabelas, Pulau Lingga dan Pulau Bangka yang merupakan sisa-sisa tinggian “Sunda Landmass”, yang sekarang berupa Paparan Sunda. Cekungan Sumatera Selatan telah mengalami tiga kali proses orogenesis, yaitu yang pertama adalah pada Mesozoikum Tengah, kedua pada Kapur Akhir sampai Tersier Awal dan yang ketiga pada Plio-Plistosen. Orogenesis Plio-Plistosen menghasilkan kondisi struktur geologi seperti terlihat pada saat ini. Tektonik dan struktur geologi daerah Cekungan Sumatera Selatan dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu, Zone Sesar Semangko, zone perlipatan yang berarah baratlaut-tenggara dan zona sesar-sesar yang berhubungan erat dengan perlipatan serta sesar-sesar Pratersier yang mengalami peremajaan. Di Sumatra selatan ada tiga



pola sesar utama yang sebagian besar direkam dari dalam geofisik (seismic dan gaya berat) dan dari hasil korelasi pemboran. Arah-arah tersebut adalah: utara-selatan, timur laut-barat daya, dan barat laut-tenggara.



2.2. Geologi Regional Sub-cekungan Ombilin 2.2.1. Fisiografi Regional Secara fisiografis, cekungan Ombilin termasuk ke dalam Zona Pegunungan Barisan bagian muka dengan massa yang naik (van Bemmelen, 1949). Morfologi cekungan Ombilin terdiri dari perbukitan sedang dengan lembah-lembah sempit yang dibentuk oleh sedimen Tersier sedangkan batuan Pra-Tersier membentuk perbukitan terjal dengan bukit yang curam dan lembah yang sempit. Perlapisan batuan mengontrol pada beberapa tempat di daerah ini sehingga membentuk topografi kuesta dan batugamping Pra-Tersier (gambar 2.2).



Gambar 2.2. Fisiografi Sumatera Tengah (van Bemmelen, 1949) 2.2.2. Stratigrafi Regional Cekungan Ombilin merupakan suatu cekungan antar pegunungan yang terbentuk karena terjadinya patahan-patahan blok batuan dasar yang sangat kompleks pada akhir Pra-Tersier. Terban yang terbentuk dihasilkan oleh gerak aktif mendatar dari sesar Silungkang berarah barat laut-tenggara, sejajar dengan sistem sesar Sumatera. Gerak-gerak aktif mendatar itu kemudian menjadi tempat pengendapan dari sedimen-sedimen Tersier berlingkungan darat (gambar 2.3).



Gambar 2.3. Tatanan stratigrafi cekungan Ombilin (Koesoemadinata dan Matasak, 1981). Cekungan yang didasari oleh batuan Pra-Tersier tersebut diisi oleh endapan berumur Tersier dengan ketebalan kurang lebih 4600 meter dengan luas kurang lebih 1500 km2. Tatanan Tersier ini secara resmi dibagi menjadi lima formasi, yaitu : 1. Formasi Brani Terdiri dari konglomerat berwarna cokelat keunguan, berukuran kerikil sampai kerakal, dengan aneka fragmen berupa andesit, batugamping, batusabak dan argilit, granit, kuarsit, kadang-kadang “arkosic gritsand” yang berbutir kasar, terpilah buruk, menyudut-membundar tanggung, padat, keras sampai dapat diremas, umumnya tidak berlapis. Tebalnya mencapai lebih dari 646 meter. Umur formasi ini diperkirakan sama dengan Formasi Sangkarewang dengan hubungan antar formasi berupa hubungan menjemari, dengan umur yaitu Paleosen hingga Eosen. Formasi Brani dapat dibagi menjadi 2 anggota, yang dibedakan berdasarkan lithofasiesnya, yaitu Anggota Selo dan Kulampi. 2. Formasi Sangkarewang Formasi ini dikenal karena ditemukannya fosil ikan air tawar yang berumur tersier awal. Formasi ini terdiri dari serpih berlapis tipis berwarna kelabu gelap kecoklatan sampai hitam plastis gampingan mengandung materail karbon, mika, pirit, dan sisa tumbuhan. Formasi ini memiliki sisipan berupa lapisanlapisan batupasir dengan tebal yang umumnya kurang dari 1 m, terdapat fragmen kuarsa dan feldspar, gampingan berwarna abu-abu sampai hitam matriks lempung terpilah buruk mengandung mika dan material karbon, dan terdapatnya struktur nendatan (slump). Sisipan batupasir ini menunjukan pola menghalus ke atas. Hubungan antara Formasi Sangkarewang yang menjemari dengan endapan kipas aluvial dengan Formasi Brani, terdapatnya struktur sedimen laminasi halus dan hadirnya fosil ikan air tawar menunjukan lingkungan pengendapan danau. Sisipan lapisan batupasir merupakan endapan turbidit yang diendapkan di danau dan struktur slump menunjukan lereng yang curam di tepi danau. 3. Formasi Sawahlunto Formasi ini terdiri dari sekuen serpih berwarna abu kecoklatan, serpih lanauan dan batulanau dengan sisipan batupasir kuarsa, coklat padat dan dicirikan dengan hadirnya batubara. Serpih biasanya



karbonan atau batubaraan. Batupasir berciri sekuen menghalus ke atas, berlapis silang siur dan khususnya berlaminasi dengan dasar erosi yang tegas menunjukkan suatu sekuen point bar. Batubara kadang-kadang disisipi batulanau berwarna kelabu. Batupasirnya membentuk lenticular, sedang batubara sering menyebar dan membaji . Di daerah Parambahan dekat tinggian Tungkar, batubara dan batupasir lebih banyak jumlahnya. Formasi Sawahlunto terletak selaras di atas Formasi Brani dan setempat-setempat juga terletak selaras dengan Formasi Sangkarewang, namun seringkali terinterupsi oleh lidah dari Formasi Brani, juga diperkirakan menjemari dengan Formasi Sangkarewang. Formasi Sawahtambang menindih selaras di atas Formasi Sawahlunto. Hubungan menjemari dengan Formasi Sawahtambang diperkirakan mengarah ke timur dimana Formasi Sawahtambang secara langsung menindih Formasi Brani dengan kontak selaras, dan lensa-lensa dari Formasi Sawahlunto terjadi di antara kedua formasi tersebut. Tebal Formasi Sawahlunto kurang dari 500 meter. Formasi ini tidak mengandung fosil kecuali sisa tumbuhan dan spora. 4.



Formasi Sawahtambang Formasi ini dicirikan oleh sekuen masif yang tebal dari batupasir berstruktur silang siur. Serpih dan batulanau berkembang setempat-setempat. Batupasir berwarna abu-abu terang sampai coklat, berbutir halus sampai sangat kasar, sebagian besar konglomeratan berupa fragmen kuarsa berukuran kerikil, terpilah sangat buruk, menyudut tanggung, keras, masif. Setempat-setempat pada bagian bawah, terdapat sisipan lapisan-lapisan batulempung atau serpih lanauan yang membentuk unit tersendiri yaitu sebagai anggota Rasau. Pada bagian atas juga dengan sisipan lapisan-lapisan batulempung dengan kandungan “coal stringer” yang terjadi setempat-setempat, membentuk Anggota Poro. Ciri sekuen Formasi Sawahtambang terdiri dari siklus-siklus dimana setiap siklus dibatasi oleh bidang erosi pada bagian dasarnya dan diikuti oleh kerikil yang berimbrikasi, bersilang siur dan laminasi paralel dengan sekuen yang menghalus ke atas, dengan batupasir konglomeratan, serta lensa-lensa batupasir yang bersilang-siur berskala besar yang membentuk mangkok. Fosil tidak diketemukan, kecuali sisa-sisa tumbuhan. Analisis palinologi dari perconto batuan teras inti menunjukkan kemungkinan umur Eosen sampai Oligosen. Berdasarkan posisi stratigrafinya yang berada di bawah Formasi Ombilin yang berumur Miosen Awal dan terletak di atas Formasi Sawahlunto, kemungkinan Formasi ini diperkirakan berumur Oligosen. 5. Formasi Ombilin Formasi Ombilin terdiri dari serpih atau napal berwarna kelabu gelap, karbonan dan karbonatan, bila lapuk menjadi berwarna kelabu terang dan umumnya berlapis baik. Termasuk ke dalam sekuen ini adalah lapisan-lapisan batupasir mengandung glaukonit, berbutir halus, berwarna kelabu kehijauan, biasanya terdapat sisa-sisa tumbuhan dan fosil moluska. Pada bagian bawah umumnya terdapat nodul-nodul batugamping dan lensa batugamping foraminifera-koral, sedang di bagian atas sisipan lapisan batu pasirnya tufaan, diselingi oleh batulanau karbonan yang mengandung glaukonit dan fosil moluska. Napalnya mengandung Globigerina yang merupakan ciri endapan laut. Formasi Ombilin mengandung fosil laut, seperti fosil moluska. Dari analisis mikropaleontologi, dijumpai fosil Globigerinoides primordius dan G. trilobus, sehingga formasi ini diinterpretasikan berumur Miosen Awal (Zona Blow, N4-N5). Hadirnya glaukonit merupakan petunjuk lingkungan laut. Berdasarkan kandungan fosil bentoniknya, maka formasi ini diperkirakan diendapkan pada lingkungan neritik luar sampai batial atas. 6.



Formasi Ranau Pada beberapa lokasi di Cekungan Ombilin, didapatkan formasi berupa tufa (van Bemmelen, 1949) yang disebut sebagai Tuff Ranau. Berkedudukan mendatar, menutupi formasi-formasi di bawahnya dengan kontak ketidakselarasan menyudut. Tuff ini dianggap menjadi deposit volkanik berumur Pleistosen. 2.2.3. Tatanan Tektonik dan Struktur Geologi Regional Keseluruhan geometri Cekungan Ombilin memanjang dengan arah umum barat laut-tenggara, dibatasi oleh sesar baratlaut-tenggara Sitangkai di utara dan Sesar Silungkang di selatan yang keduanya kurang lebih paralel terhadap Sistem Sesar Sumatra. Peta gravitasi terbaru menunjukkan bahwa cekungan ombilin membentuk sinklin yang menunjam ke arah baratlaut, dengan bagian terdalam adalah daerah dekat dengan Sesar Silungkang dan Sitangkai (Situmorang dkk., 1991) Secara umum, Cekungan Ombilin dibentuk oleh dua terban berumur Paleogen dan Neogen, dibatasi oleh Sesar Tanjungampalu berarah utara-selatan. Pada arah baratlaut terdapat subcekungan Payakumbuh yang terpisah dari Cekungan Ombilin dengan batas jalur vulkanik berarah utara-selatan. Subcekungan Payakumbuh diinterpretasikan sebagai bagian terban berumur Paleogen dari Cekungan Ombilin (gambar 2.4).



Gambar 2.4. Peta Struktur Cekungan Ombilin, Sumatra Barat (Situmorang dkk., 1991 Secara lokal ada tiga bagian struktur yang bisa dikenal pada cekungan Ombilin, yaitu: 1.



2.



3.



4.



Sesar dengan jurus berarah baratlaut-tenggara yang membentuk bagian dari sistem sesar Sumatera. Bagian utara dari cekungan dibatasi oleh sesar Sitangkai dan sesar Tigojangko. Sesar Tigojangko memanjang ke arah tenggara menjadi sesar Tangkung. Bagian selatan dari cekungan dibatasi oleh sesar Silungkang. Sistem sesar dengan arah umum utara-selatan dengan jelas terlihat pada timurlaut dari cekungan. Ini membentuk ruang seperti sesar, dari utara ke selatan: Sesar Kolok, Sesar Tigotumpuk, dan Sesar Tanjungampalu. Perkembangan dari sesar ini berhubungan dengan fase tensional selama tahap awal dari formasi cekungan, dan terlihat memiliki peranan utama dalam evolusi cekungan. Pola struktur keseluruhan dari cekungan Ombilin menunjukkan sistem transtensional duplex atau pullapart duplex yang terbentuk di antara offset lepasan dari sesar Sitangkai dan sesar Silungkang. Geometri penunjaman ke arah dalam dari sesar di bawah pull-apart menunjukkan bahwa duplex dapat bertumbukan menjadi zona shear tunggal pada kedalaman. Lebih jauh lagi, pada penampang vertikal menunjukkan negative flower structure. Pada kasus ini sistem sesar yang berarah utara-selatan dapat berbaur dengan sistem sesar Sitangkai yang berarah baratlaut-tenggara. Pada batas tenggara terdapat sistem sesar transgressional yang disebut sistem sesar Takung yang terletak pada lengkungan restraining dari sesar Tigojangko. Jurus sesar dengan arah timur-barat membentuk sesar anthitetic mengiri dengan komponen dominan dip-slip. Pada area Kolok, sesar ini dideteksi sebagai sesar anjak. Cekungan ini mengalami pergantian fasa extensional pada satu sisi yang dibarengi oleh pemendekkan pada sisi yang lain.



2.3. Geologi Regional Cekungan Sumatera Tengah 2.3.1. Fisografi regional Cekungan Sumatera Tengah merupakan cekungan busur belakang (back arc basin) yang berkembang di sepanjang pantai barat dan selatan Paparan Sunda di barat daya Asia Tenggara. Cekungan ini terbentuk akibat penunjaman Lempeng Samudera Hindia yang bergerak relatif ke arah utara dan menyusup ke bawah Lempeng Benua Asia. Cekungan Sumatera Tengah terbentuk pada awal Tersier (Eosen-Oligosen) merupakan seri dari struktur half graben dan berbentuk asimetris berarah barat laut - tenggara. Bagian yang terdalam terletak pada bagian barat daya dan melandai ke arah timur laut. Pada beberapa half graben ini diisi oleh sedimen Klastik non-marine dan sedimen danau (Eubank & Makki, 1981). Pada bagian barat daya cekungan ini dibatasi oleh Uplift Bukit Barisan, bagian barat laut dibatasi oleh Busur Asahan, sebelah tenggara dibatasi oleh Tinggian Tigapuluh dan di sebelah timur laut dibatasi oleh Kraton Sunda (Mertosono & Nayoan, 1974) 2.3.2. Stratigrafi Regional Proses sedimentasi di Cekungan Sumatera Tengah dimulai pada awal Tersier, mengikuti proses pembentukan cekungan half graben yang sudah berlangsung sejak zaman Kapur hingga awal Tersier. Konfigurasi batuan dasar cekungan tersusun oleh batuan – batuan metasedimen berupa graywacke, kuarsit, agilit. Batuan dasar ini diperkirakan berumur Mesozoik. Pada beberapa tempat, batuan metasedimen ini



terintrusi oleh granit (Koning & Darmono, 1984 dalam Wibowo, 1995). Menurut Eubank dan Makki (1981) dalam Heidrick dan Aulia (1993), stratigrafi regional pada Cekungan Sumatera Tengah dibagi menjadi lima unit stratigrafi, yaitu : 1. Batuan Dasar (Basement) Batuan dasar berumur pra – Tersier ini ini terbagi menjadi empat satuan litologi (Eubank dan Makki, 1981 dalam Heidrick dan Aulia, 1993), yaitu : a. Mallaca Terrane atau kelompok kuarsit, yang terdiri dari kuarsit, argilit, batugamping kristalin, pluton – pluton granit dan granodiorit yang berumur Jura dan dapat ditemui di bagian coastal plain di timurlaut. b. Mutus Assemblages, zona sutura yang memisahkan antara Mallaca Terrane Mergui Terrane . Kumpula Mutus terletak di sebelah baratdaya coastal plain dan terdiri dari baturijang radiolarian, meta-argilit, serpih merah, lapisan tipis batugamping, dan batuan beku basalat. c. Mergui Terrane, terletak pada bagian barat dan baratdaya dari Kelompok Mutus. Kelompok ini tersusun atas graywacke, pubbly-mudstone yang berasal dari Formasi Bahorok, serta kuarsit. Selain itu, terdapat juga argilot, filit, batugamping, dan Tuff dari Formasi Kluet, serta sandstone-shale dan juga terdapat Batugamping Alas. d. Kualu Terrane, terletak di bagian baratlaut Kelompok Mergui yang berumur Perm-Karbon. Kelompok ini tersusun atas filit, batusabak, tuff, dan batugamping.



Gambar 2.5 Sebaran Batuan Dasar di Cekungan Sumatera Tengah (Pertamin BPPKA, 1996) 2.



Kelompok Pematang Kelompok Pematang diendapkan secara tidak selaras di atas batuan dasar, kelompok ini berumur Eosen – Oligosen. Distribusi sedimen diperkirakan berasal dari blok yang mengalami pengangkatan pada lingkungan fluviatil dan blok lain turun menjadi danau. Sedimen kelompok ini umumnya diendapkan pada lingkungan danau, sungai, dan delta. William dan Kelley (1985) membagi Kelompok Pematang dalam lima formasi, yaitu: a.



Formasi Lower Red Beds Tersusun oleh batulempung berwarna merah – hijau, batulanau, batupasir kerikilan dan sedikit konglomerat serta breksi yang tersusun oleh pebble kuarsit dan filit. Kondisi lingkungan pengendapan diinterpretasikan berupa alluvial braid-plain dilihat dari banyaknya muddy matrix di dalam konglomerat dan breksi. b.



Formasi Brown Shale Formasi ini cukup banyak mengandung material organik, dicirikan oleh warna yang coklat tua sampai hitam. Tersusun oleh serpih dengan sisipan batulanau, di beberapa tempat terdapat selingan batupasir, konglomerat dan paleosol. Ketebalan formasi ini mencapai lebih dari 530 m di bagian depocenter. Formasi ini diinterpretasikan diendapkan di lingkungan danau dalam dengan kondisi anoxic dilihat dari tidak adanya bukti bioturbasi. Interkalasi batupasir batupasir–konglomerat diendapkan oleh proses fluvial channel fill. Menyelingi bagian tengah formasi ini, terdapat beberapa horison paleosol yang dimungkinkan terbentuk pada bagian



pinggiran/batas danau yang muncul ke permukaan (lokal horst), diperlihatkan oleh rekaman inti batuan di komplek Bukit Susah. Secara tektonik, formasi ini diendapkan pada kondisi penurunan cekungan yang cepat sehingga aktivitas fluvial tidak begitu dominan. c.



Formasi Coal Zone Secara lateral, formasi ini dibeberapa tempat equivalen dengan Formasi Brown Shale. Formasi ini tersusun oleh perselingan serpih dengan batubara dan sedikit batupasir. Lingkungan pengendapan dari formasi ini diinterpretasikan berupa danau dangkal dengan kontrol proses fluvial yang tidak dominan. Ditinjau dari konfigurasi cekungannya, formasi ini diendapkan di daerah dangkal pada bagian aktif graben menjauhi depocenter. d.



Formasi Lake Fill Tersusun oleh batupasir, konglomerat dan serpih. Komposisi batuan terutama berupa klastika batuan filit yang dominan, secara vertikal terjadi penambahan kandungan litoklas kuarsa dan kuarsit. Struktur sedimen gradasi normal dengan beberapa gradasi terbalik mengindikasikan lingkungan pengendapan fluvialdeltaic. Formasi ini diendapkan secara progradasi pada lingkungan fluvial menuju delta pada lingkungan danau. Selama pengendapan formasi ini, kondisi tektonik mulai tenang dengan penurunan cekungan yang mulai melambat (late rifting stage). Ketebalan formasi mencapai 600 m. e.



Formasi Fanglomerate Diendapkan disepanjang bagian turun dari sesar sebagai seri dari endapan aluvial. Tersusun oleh batupasir, konglomerat, sedikit batulempung berwarna hijau sampai merah. Baik secara vertikal maupun lateral, formasi ini dapat bertransisi menjadi formasi Lower Red Bed, Brown Shale, Coal Zone dan Lake Fill



Gambar 2.6 Skema Cekungan Sumatera Pematang (William dkk, 1985)



Evolusi Pembentukan Tengah Kelompok



Keterangan (gambar 2.6): A: Eosen Awal, pembentukan awal cekungan dan pengendapan Lower Red Beds; B: Eosen Tengah, penurunan cekungan secara cepat sehingga menghasilkan lingkungan danau anoxic dengan pengendapan Formasi Brown Shale yang lambat; C: Oligosen, adanya gaya kompresi dari strike slip system mengakibatkan terjadinya pengangkatan dan erosi pada batas cekungan; D: Oligosen Akhir – Miosen Awal, erosi yang cepat oleh lapisan yang terangkay dan mengisi cekungan yang ada. 3.



Kelompok Sihapas Kelompok Sihapas yang terbentuk pada awal episode transgresi terdiri dari Formasi Menggala, Formasi Bangko, Formasi Bekasap dan Formasi Duri. Kelompok ini tersusun oleh batuan klastika lingkungan



fluvial-deltaic sampai laut dangkal. Pengendapan kelompok ini berlangsung pada Miosen awal – Miosen tengah. a.



Formasi Menggala Tersusun oleh batupasir konglomeratan dengan ukuran butir kasar berkisar dari gravel hingga ukuran butir sedang. Secara lateral, batupasir ini bergradasi menjadi batupasir sedang hingga halus. Komposisi utama batuan berupa kuarsa yang dominan, dengan struktur sedimen trough cross-bedding dan erosional basal scour. Berdasarkan litologi penyusunnya diperkirakan diendapkan pada fluvial-channel lingkungan braided stream. Formasi ini dibedakan dengan Lake Fill Formation dari kelompok Pematang bagian atas berdasarkan tidak adanya lempung merah terigen pada matrik (Wain et al., 1995). Ketebalan formasi ini mencapai 250 m, diperkirakan berumur awal Miosen bawah. b.



Formasi Bangko Formasi ini tersusun oleh serpih karbonan dengan perselingan batupasir halus-sedang. Diendapkan pada lingkungan paparan laut terbuka. Dari fosil foraminifera planktonik didapatkan umur N5 (Blow, 1963). Ketebalan maksimum formasi kurang lebih 100 m. c.



Formasi Bekasap Formasi ini tersusun oleh batupasir masif berukuran sedang-kasar dengan sedikit interkalasi serpih, batubara dan batugamping. Berdasarkan ciri litologi dan fosilnya, formasi ini diendapkan pada lingkungan air payau dan laut terbuka. Fosil pada serpih menunjukkan umur N6 – N7. Ketebalan seluruh formasi ini mencapai 400 m. d.



Formasi Duri Di bagian atas pada beberapa tempat, formasi ini equivalen dengan formasi Bekasap. Tersusun oleh batupasir halus-sedang dan serpih. Ketebalan maksimum mencapai 300 m. Formasi ini berumur N6 – N8. e.



Formasi Telisa Formasi Telisa yang mewakili episode sedimentasi pada puncak transgresi tersusun oleh serpih dengan sedikit interkalasi batupasir halus pada bagian bawahnya. Di beberapa tempat terdapat lensa-lensa batugamping pada bagian bawah formasi. Ke arah atas, litologi berubah menjadi serpih mencirikan kondisi lingkungan yang lebih dalam. Diinterpretasikan lingkungan pengendapan formasi ini berupa lingkungan Neritik – Bathyal. Secara regional, serpih marine dari formasi ini memiliki umur yang sama dengan Kelompok Sihapas, sehingga kontak Formasi Telisa dengan dibawahnya adalah transisi fasies litologi yang berbeda dalam posisi stratigrafi dan tempatnya. Ketebalan formasi ini mencapai 550 m, dari hasil analisis fosil didapatkan umur formasi ini berkisar dari N6 – N11. 4.



Kelompok Petani Kelompok Petani diendapkan secara tidak selaras di atas Kelompok Sihapas. Kelompok Petani terdiri dari Lower Petani yang merupakan endapan laut (marine) dan Upper Petani yang merupakan endapan laut sampai delta. Formasi ini diendapkan mulai dari lingkungan laut dangkal, pantai, dan ke atas sampai lingkungan delta yang menunjukkan penurunan muka air laut. Kelompok ini terdiri atas batupasir, batulempung, batupasir gloukonitan, dan batugamping yang dapat ditemui di bagian bawah seri sedimen tersebut, sementara itu batubara dapat ditemukan di bagian atas dan terjadi saat pengaruh laut semakin berkurang. Secara keseluruhan Kelompok Petani memiliki tebal 6000 kaki dan berumur Miosen Atas – Pliosen Bawah. Penentuan umur bagian atas Kelompok Petani terkadang membingungkan karena tidak adanya fosil laut. Hidrokarbon yang berada pada batupasir kelompok ini dianggap tidak komersial dikarenakan di bagian bawahnya terdapat batulempung Formasi Telisa yang tebal. Gas biogenik terdapat dalam jumlah yang besar dan telah dijadikan target eksplorasi terutama di Lapangan Seng dan Segat. a.



Formasi Minas Formasi Minas merupakan endapan Kuarter yang terdapat secara tidak selaras di atas Kelompok Petani. Tersusun atas pasir dan kerikil, pasir kuarsa lepas berukuran halus sampai sedang serta limonit berwarna kuning yang diendapkan pada lingkungan fluvial sampai darat. Proses pengendapan Formasi Minas masih berlangsung sampai saat ini dan menghasilkan endapan aluvial berupa campuran kerikil, pasir, dan lempung. 2.3.3. Tatanan Tektonik Regional Cekungan Sumatra Tengah merupakan cekungan sedimen tersier penghasil hidrokarbon terbesar di Indonesia, dengan ketebalan rata – rata sedimen-nya mencapai dua (2) kilometer. Cekungan ini berisi enam (6) lapangan minyak raksasa, yang masing – masing memiliki cadangan terbukti lebih dari 500 juta barel



minyak. Lapangan – lapangan minyak tersebut antara lain, adalah Bangko, Minas, Bekasap, Duri, Pematang, dan Petani. Secara fisiografis, cekungan ini terletak di antara Cekungan Sumatera Utara dan Cekungan Sumatera Selatan. Cekungan Sumatera Tengah ini relatif memanjang baratlaut – tenggara. Cekungan Sumatera Tengah sendiri terbentuk akibat penujaman lempeng Hindia yang bergerak ke arah utara terhadap lempeng Eurasia pada umur Miosen. Ditinjau dari posisi tektoniknya cekungan ini merupakan tipe cekungan belakang busur (back-arc basin). Cekungan ini dibatasi oleh Dataran Tinggi Asahan di sebelah baratlaut, Pegunungan Bukit Barisan (yang disusun oleh batuan pre-tersier) di sebelah baratdaya, Pegunungan Tigapuluh di sebelah tenggara (yang merupakan pemisah antara Cekungan Sumatera Tengah dan Cekungan Sumatera Selatan), dan Paparan Sunda di sebelah timurlaut.



Gambar 2.7 Elemen Tektonik yang Mempengaruhi Cekungan Sumatera Tengah (Heidrick dan Aulia, 1993 Proses subduksi lempeng Hindia – Australia menghasilkan peregangkan kerak di bagian bawah cekungan dan mengakibatkan munculnya aliran panas (secara konveksi) ke atas dengan produk magma yang dihasilkan terutama bersifat asam dan hipabisal. Selain itu, terjadi juga aliran panas dari mantel ke arah atas melewati jalur – jalur sesar. Secara keseluruhan, hal – hal tersebutlah yang mengakibatkan tingginya aliran panas (heat flow) di daerah Cekungan Sumatera Tengah (Eubank et al., 1981 dalam Wibowo, 1995). Faktor pengontrol utama struktur geologi regional di Cekungan Sumatera Tengah adalah kehadiran Sesar Sumatera yang terbentuk pada zaman Kapur. Subduksi lempeng yang miring dari arah baratdaya Pulau Sumatera mengakibatkan terjadinya strong dextral wrenching stress di Cekungan Sumatera Tengah (Wibowo, 1995). Hal ini terbukti oleh bidang sesar yang curam yang berubah sepanjang jurus perlapisan batuan dan struktur sesar naik. Selain itu, terbentuknya sumbu perlipatan yang searah jurus sesar dengan penebalan sedimen terjadi pada bagian yang naik (inverted) (Shaw et al., 1999). Heidrick dan Aulia (1993) membagi perkembangan struktur Cekungan Sumatera Tengah menjadi beberapa fase pembentukan, yakni :



Gambar 2.8 Tektonostratigrafi Cekungan Sumatera Tengah (Heidrick dan Aulia, 1993 1.



Episode Tektonik Tersier (F0) Fase ini merupakan fase deformasi pada zaman Eosen (sekitar 345-65 juta tahun lalu). Merupakan fase pembentukan batuan dasar yang berarah utara – selatan, baratlaut – tenggara, dan timurlaut – baratdaya (Heidrick & Aulia, 1993). Pembentukan tersebut terjadi ketika lempeng benua Sunda terbentuk dari lempeng – lempeng kecil Mergui, Malaka, dan Mutus.



Gambar 2.9 Peta Pola Struktur Utama Batuan Dasar di Cekungan Sumatera Tengah (Heidrick dan Aulia, 1993 2.



Episode Tektonik Eosen-Oligosen (F1) Fase ini merupakan fase rifting yang terjadi pada zaman Eosen – Oligosen (sekitar 50 – 26 juta tahun lalu). Fase ini terjadi diakibatkan oleh tumbukan lempeng Hindia - Australia terhadap lempeng Eurasia sehingga membentuk sistem rekahan transtensional yang memanjang ke arah selatan, mulai dari China



bagian selatan ke Thailand, Malaysia, Sumatera hingga ke Kalimantan Selatan (Heidrick & Aulia, 1993). Proses ini menghasilkan serangkaian struktur half graben di Cekungan Sumatera Tengah yang kemudian menjadi tempat diendapkannya Kelompok Pematang. Pada tahap akhir fase ini, terjadi pembalikan struktur yang lemah dan pembentukan peneplain (morfologi yang hampir rata), hasil dari erosi berupa paleosol. Kelompok Pematang merupakan sedimen tertua yang diendapkan di Cekungan Sumatera Tengah dan berumur Eosen – Oligosen, endapan ini yang mengisi half graben, pull-apart rift, dan graben yang terbentuk pada fase ini.



Gambar 2.10 Fase Tektonik di Cekungan Sumatera Tengah (Heidrick dan Aulia, 1993) 3.



Episode Tektonik Miosen Bawah – Miosen Atas (F2) Fase ini merupakan fase sagging dan transtensi pada zaman Miosen Bawah – Miosen Tengah (sekitar 26 – 13 juta tahun lalu). Fase ini terbagi menjadi dua, yakni fase awal berupa fase sagging dan fase akhir berupa fase transtensi. Pada fase awal proses tektonik yang terjadi berupa fase sag basin, ketika terjadi penurunan cekungan regional yang memperbesar highstand dan transgresi yang dimulai dengan pengendapan Kelompok Sihapas, kemudian terbentuk sesar – sesar normal minor yang berhubungan dengan tahap akhir rifting yang memotong Formasi Menggala dan Formasi Bekasap. Pada fase akhir terbentuk sesar mendatar dextral berarah utara – selatan yang merupakan reaktivasi sesar pembentuk graben, dan juga terbentuk sesar baru sepanjang batas batuan dasar yang berarah utara – selatan. Struktur – struktur yang berkembang di sepanjang sesar mendatar ini merupakan sesar tumbuh dan kombinasi pull apart graben, halfgraben, lipatan, flower structure (positif dan negatif), sesar listrik, dan sesar normal – domino. Lipatan – lipatan yang terbentuk di sepanjang sesar utara – selatan ini mempunyai klosur yang lebih kecil berarah baratlaut – tenggara dan tersusun membentuk en-echelon (Heidrick & Aulia, 1993). Formasi yang termasuk dalam Kelompok Sihapas adalah Formasi Menggala, Formasi Bangko, Formasi Bekasap dan Formasi Duri, pengendapan kelompok ini berakhir pada masa Miosen Tengah dengan pengendapan transgressive marine shale dari Formasi Telisa



4.



Episode Tektonik Miosen Atas – Sekarang (F3) Fase ini merupakan fase kompresi, terjadi dari zaman Miosen Akhir sampai sekarang (sekitar 13 juta tahun lalu – sekarang). Fase ketiga (F2) berakhir ditandai dengan berakhirnya proses pengendapan Formasi



Telisa dan mulai teredapkannya Formasi Petani (Miosen Tengah – Plistosen). Pengendapan Formasi Petani merupakan akhir dari fase transgresi yang panjang dan awal dari fase regresi di Cekungan Sumatera Tengah. Selanjutnya Formasi Minas diendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Petani, berlangsung sampai sekarang. 2.3.4. Struktur Geologi Regional Pola struktur di Cekungan Sumatera Tengah dicirikan oleh blok-blok patahan dan transcurent faulting. Sistem blok-blok patahan mempunyai orientasi sejajar dengan arah utara – selatan membentuk rangkaian horst dan graben. Pola struktur yang ada saat ini di Cekungan Sumatera Tengah merupakan hasil sekurangkurangnya 3 (tiga) fase tektonik utama yang terpisah, yaitu Orogenesa Mesozoikum Tengah, Tektonik Kapur Akhir – Tersier Awal, dan Orogenesa Plio- Plistosen (De Coster, 1974). Orogenesa Mesozoikum Tengah menyebabkan termalihkannya batuan-batuan Paleozoikum dan Mesozoikum. Batuan-batuan tersebut kemudian terlipatkan dan terpatahkan menjadi blok-blok struktural berukuran besar yang diterobos oleh intrusi granit. Lajur-lajur batuan metamorf ini tersusun oleh strata litologi yang berbeda, baik tingkat metamorfismenya maupun intensitas deformasinya 2.3.5. Petroleum System 1.



Batuan Sumber (Source Rock) Sumber utama akumulasi minyak di cekungan Sumatera Tengah adalah serpihan lakustrin dari Kelompok Pematang. Unit – unit sumber ini merupakan lapisan tertekan terhadap sebuah rangkaian graben rift berumur paleogen. Penyebaran lapisan batuan sumber sampai graben ini sangat dipengaruhi oleh morfologi struktur, gelombang sedimen, posisi graben dan lakustrin yang terhubung dengan variasi fasies. 2.



Reservoir Dalam Cekungan Sumatera Tengah, reservoir terdapat pada batuan Kelompok Sihapas dan Pematang. Di bagian atas ataupun bawah Formasi Sihapas, batupasir merupakan penghasil minyak pada daerah Lalang dan Mengkapan, namun hanya batupasir bagian bawah Formasi Sihapas yang memiliki ketebalan yang cukup tebal dan menyediakan aspek komersial yang sangat penting. Reservoir Sihapas bagian bawah umumnya bersih, batupasir berkuarsa, mengandung sedikit glaukonit, lempung detrital, feldspar dan fragmen batuan. Porositas secara umum baik dengan rata – rata 25% pada daerah Lalang dan agak sedikit di daerah Mengkapan bagian dalam. 3.



Seal Secara regional, serpih di atas Formasi Telisa menyediakan penutup atas untuk akumulasi minyak sampai pasri Kelompok Sihapas. Hasil dari sumur Lalang adalah serpih pada kelompok Sihapas biasanya tidak efektif sebagai penutup intraformasi. 4.



Migrasi Migrasi terjadi sepanjang retakan, sesar dan ketidakselarasan. Susunan keseluruhan struktur graben telah ditunjukkan oleh arah migrasi, baik primer maupun sekunder. Migrasi yang terjadi adalah hidrokarbon keluar dari sumber ke arah flexural hinge graben sepanjang garis tepi batas sesar. 2.3.6. Potensi Hidrokarbon Cekungan Sumatera Tengah merupakan cekungan sedimen penghasil hidrokarbon terbesar di Indonesia. Hal ini terbukti dengan banyaknya lapangan – lapangan penghasil minyakbumi yang terdapat di cekungan ini, contohnya Lapangan Minas, Lapangan Duri, Lapangan Bekasap, dll. Lapangan Duri sendiri di tahun 1994 telah mencapai produksi puncak nya yakni 300.000 barel per hari. Secara kumulatif di tahun 2006, Lapangan Duri telah mencapai angka produksi sebanyak 2 Milyar barel. Lapangan Minas merupakan lapangan minyakbumi terbesar di Asia Tenggara, Lapangan Minas tercatat telah mencapai produksi kumulatif sebanyak 4 Milyar barel pada tahun 1997.