Hak Milik Dan Hak Guna Usaha Menurut UUPA [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Pengertian Teori Adh-Dhoru Yuzalu, Dasar Hukumnya, dan Kaidah Minor Di Dalamnya. Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah “Kaidah Fiqhiyah”



Oleh : 1. Bilqis



(C91215110)



2. Elvin Mahari



(C91215



Dosen Pengampu : H. M. Ghufron, LC., M.HI.



PRODI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA 2016



KATA PENGANTAR Alhamdulillah, berkat rahmat, hidayah dan inayah Allah kami dapat merampungkan makalah ini. Walaupun banyak hal yang harus ditempuh sebelumnya, namun hasil akhirnya sudah membanggakan kami secara pribadi. Shalawat dan salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa agama islam. Shalawat dan salam juga semoga tercurahkan kepada sahabat dan kerabat yang telah membantu perjuangan penyebaran agama islam. Pada kesempatan ini sesuai dengan tugas yang diberikan, maka kami membuat dan menyusun makalah yang berisikan tentang “HAK-HAK ATAS TANAH MENURUT UUPA (HAK MILIK DAN HAK GUNA USAHA)” Dalam proses membuat dan menyusun ada kiranya terdapat kesalahan, baik dalam teknik hal penulisan, penyampaian materi, ataupun dalam hal isi. Semuanya tak lebih dari proses belajar bersama menuju sesuatu yang baik ke depannya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan mungkin juga dapat diperbaiki oleh penyaji berikutnya.



ii



DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR...................................................................................ii DAFTAR ISI................................................................................................iii BAB I Pendahuluan......................................................................................1 A. Latar Belakang.................................................................................1 B. Rumusan Masalah.............................................................................1 C. Tujuan...............................................................................................1 BAB II Pembahasan.....................................................................................2 A. Pengertian Hak Milik dan Hak Guna Usaha....................................2 B. Subyek Hukum Hak Milik dan Hak Guna Usaha.............................8 C. Cara Memperoleh Hak Milik dan Hak Guna Usaha.......................11 D. Jangka Waktu Hak Milik dan Hak Guna Usaha.............................15 E. Hapusnya Hak Milik dan Hak Guna Usaha....................................17 BAB III Penutup.........................................................................................23 A. Kesimpulan.....................................................................................23 Daftar Pustaka............................................................................................25



iii



BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kaitanya tentang hukum tanah, merupakan keseluruhan peraturanperaturan hukum yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah yang merupakan lembaga-lembaga hukum dan hubungan- hubungan yang konkrit dengan tanah. Hukum pertanahan ini juga sering disebut dengan hukum agraria. Dan yang menjadi objek hukumnya adalah seputar hak penguasaan atas tanah yang berisi serangkaian wewenang, kewajiban atau pun larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang di haki. Dalam makalah kami ini akan dibahas terkait hak-hak atas tanah menurut UUPA yaitu hak milik dan hak guna usaha. Tentang hak atas tanah banyak sekali pembagianya dan kami akan menjelaskan tentang hak milik dan hak guna usaha saja B. Rumusan Masalah 1. Apa Pengertian Hak Milik dan Hak Guna Usaha ? 2. Apa Subyek Hukum Hak Milik dan Hak Guna Usaha ? 3. Bagaimana Cara Memperoleh Hak Milik dan Hak Guna Usaha ? 4. Bagaimana Jangka Waktu Hak Milik dan Hak Guna Usaha ? 5. Bagaimana Hapusnya Hak Milik dan Hak Guna Usaha ? C. Tujuan 1. Untuk Mengetahui Pengertian Hak Milik dan Hak Guna Usaha 2. Untuk Mengetahui Subyek Hukum Hak Milik dan Hak Guna Usaha 3. Untuk Mengetahui Cara Memperoleh Hak Milik dan Hak Guna Usaha 4. Untuk Mengetahui Jangka Waktu Hak Milik dan Hak Guna Usaha 5. Untuk Mengetahui Hapusnya Hak Milik dan Hak Guna Usaha BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Hak Milik dan Hak Guna Usaha 1. Pengertian Hak Milik. Ketentuan mengenai hak milik disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a UUPA. Secara khusus diatur dalam Pasal 20 hingga Pasal 27 UUPA. Menurut Pasal 50 ayat (1) UUPA, ketentuan lebih lanjut mengenai



1



hak



milik



diatur



dengan



undang-undang.



Undang-undang



yang



diperintahkan disini sampai sekarang belum terbentuk. Untuk itu diberlakukanlah Pasal 56 UUPA, yaitu selama undang-undang tentang hak milik belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan hukum adat setempat dan peraturan-peraturan lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan UUPA.1 Pengertian hak milik dapat diartikan hak yang dapat diwariskan secara turun temurun secara terus menerus dengan tidak harus memohon haknya kembali apabila terjadi perpindahan hak. Hak milik diartikan hak yang terkuat diantara sekian hak-hak yang ada, dalam pasal 570 KUHPerdata, hak milik ini dirumuskan bahwa hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu, dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bertentangan dengan Undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak orang lain, kesemuanya itu dengan tak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak demi kepentingan umum berdasar atas ketentuan Undang-undang dan pembayaran ganti rugi.2 Hak milik menurut Pasal 20 ayat (1) UUPA adalah hak turuntemurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6 (Semua hak atas tanah mempunyai fungsi social).3 Apa sifat khas dari Hak Milik? “ialah hak yang



turun-temurun, terkuat, dan terpenuh”. Hak yang tidak mempunyai ciri yang tiga itu sekaligus, bukanlah Hak Milik. Turun-temurun artinya hak milik atas tanah dapat berlangsung terus selama pemiliknya masih hidup dan apabila pemiliknya meninggal dunia, maka hak miliknya dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya sepanjang memenuhi syarat sebagai subjek hak milik.4 Terkuat menunjukkan: 1



Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), hal. 92 2 Sudaryo Soimin, Status Hak dan Pembebasan Tanah, (Jakarta: SinarGrafika, 1994), hal. 1 3 Urip Santoso, Op.cit. 4 Ibid



2



a. Jangka waktu hak milik tidak terbatas. Jadi, berlainan dengan hak guna usaha atau hak guna bangunan, yang jangka waktunya tertentu. b. Hak yang terdaftar dan adanya “tanda bukti hak”: hak milik juga hak yang kuat, karena terdaftar dan yang empunya diberi “tanda bukti hak”. Berarti mudah dipertahankan terhadap pihak lain. Istilah “terpenuh” dan “terkuat” itu, tidak berarti tidak terbatas, tetapi dibatasi oleh kepentingan masyarakat dan orang lain. Diluar batas batas itu, seorang pemilik mempunyai wewenang yang paling luas, ia paling bebas dalam mempergunakan tanahnya dibandingkan dengn pemegang hak-hak yang lain. Terpenuh artinya : a. Hak milik itu merupakan wewenang kepada yang empunya, yang paling luas jika dibandingkan dengan hak yang lain. b. Hak milik bisa merupakan induk daripada hak-hak lainnya. Artinya seorang pemilik tanah bisa memberikan tanah kepada pihak lain dengan hak-hak yang kurang daripada hak milik, seperti:



menyewakan,



membagihasilkan,



menggadaikan,



menyerahkan tanah itu kepada orang lain dengan hak guna bangunan atau hak pakai. c. Hak milik tidak berinduk kepada hak atas tanah lain, karena hak milik adalah hak yang paling penuh, sedangkan hak-hak lain itu kurang penuh. d. Dilihat dari “peruntukannya” hak milik juga tak terbatas. Sedangkan hak guna bangunan untuk keperluan bangunan saja, hak guna usaha terbatas hanya untuk keperluan usaha pertanian. Sedangkan hak milik bisa untuk usaha pertanian dan bisa untuk bangunan. Selama tidak ada pembatasan-pembatasan dari pihak pengusaha, maka wewenang dari seorang pemilik, tidak terbatas. Seorang pemilik bebas dalam mempergunakan tanahnya. Seperti kita ketahui, pembatasan itu ada yang secara umum yang berlaku terhadap seluruh masyarakat, diantaranya



3



dirumuskan dalam pasal 6 UUPA, yaitu “tanah mempunyai fungsi social”. Hal ini berbeda dengan pengertian hak eigendom



seperti



yang



dirumuskan



dalam



pasal



571



KUHPerdata, disebutkan bahwa hak milik atas sebidang tanah mengandung di dalamnya kemilikan atas segala apa yang ada di atasnya dan di dalam tanah. Diatas tanah bolehlah si pemilik mengusahakan segala tanaman dan mendirikan setiap bangunan yang disukai. Dibawah tanah bolehlah ia membuat dan menggali sesuka hati dan memiliki segala hasil yang diperoleh karena penggalian itu. Pembatasan itu ada juga yang khusus, yaitu terhadap pemilik tanah yang berdampingan, harus saling menghormati tidak boleh satu pihak merugikan yang lain.5 Ada beberapa ciri yang melekat pada hak milik beradasarkan pasal pasal dalam UUPA:6 a. Hak milik adalah hak yang paling kuat (Pasal 20 UUPA). b. Hak milik dapat dialihkan kepada orang lain. Pengalihan hak milik boleh dengan jual-beli, hibah, wasiat, tukar menukar, dan lain lain (Pasal 20 jo Pasal 26 UUPA). c. Hak milik dapat beralih, artinya dapat diwariskan kepada ahli warisnya (Pasal 20 UUPA). d. Hak milik dapat menjadi induk dari hak hak atas tanah yang lain, yaitu Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, dan Hak Menumpang. e. Hak milik bila diperlukan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan (hipotek atau credietverband). Hanya hak milik, hak guna bangunan, dan hak guna usaha yang dapat dijadikan jaminan utang dengan pembebanan hipotek atau credietverband itu (Pasal 25 UUPA). f. Hak milik dapat dilepaskan dengan sukarela oleh pemilik hak atas tanah. Maksud dari dilepaskan itu, ialah supaya pihak lain yang 5 6



Effendi Perangin, Hukum Agraria Di Indonesia Suatu Telaah Dari Sudut Pandang Praktisi Hukum, (Jakarta: CV Rajawali, 1991), hal. 236-238 Ridwan, Pemilikan Rakyat dan Negara Atas Tanah Menurut Hukum Pertanahan di Indonesia dalam Perspektif Hukum Islam, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2010), hal. 190



4



membutuhkan tanah itu dapat memohon hak yang sesuai baginya. Pelapasan hak dan permohonan itu ditujukan kepada pemerintah (Pasal 27 UUPA). g. Hak milik dapat diwaqafkan. Perwakafan ini diatur dalam PP No. 28/1977. Yang menyebabkan hak milik dapat diwaqafkan adalah karena jangka waktunya yang tidak terbatas (Pasal 49 ayat 3 UUPA). Adapun asas yang dianut oleh UUPA yang bertumpu pada semangat hukum Adat tidak dikenal asas pelekatan horizontal (Pasal 571 KUHPerdata), melainkan asas pemisahan horizontal. Maksudnya hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi pemilikan bangunan dan tanaman yang ada diatasnya. Dengan demikian, bisa saja pemilik hak atas tanah dengan pemilik atas bangunan yang berada diatasnya dapat berbeda. Konsepsi asas pemisahan horizontal dalam tradisi hukum adat terlihat pada adanya konsep hak numpang yang menunjukkan bahwa dalam menumpang itu orang tidak ada sangkut pautnya dengan tanah tersebut dan orang itu tinggal dalam rumah diatas tanah terlepas dari tanah, meskipun ia mempunyai rumahnya. Perbuatan hukum mengenai tanah tidak dengan sendirinya meliputi bangunan dan tanaman milik empunya yang ada diatasnya, kecuali jika dinyatakan dalam akta yang membuktikan dilakukannya perbuatan hukum yang bersangkutan.7 2. Pengertian Hak Guna Usaha. Ketentuan mengenai Hak Guna Usaha (HGU) disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b UUPA. Secara khusus diatur dalam Pasal 28 sampai dengan Pasal 34 UUPA. Menurut Pasal 50 ayat (2) UUPA, ketentuan lebih lanjut mengenai hak guna usaha diatur dengan peraturan perundangan. Peraturan yang dimaksudkan disini adalah Peraturan Pemerintah (PP) No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah, secara khusus diatur dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 18.8 Menurut Pasal 28 ayat (1) UUPA, yang dimaksud dengan Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai 7 Ibid, hal. 191 8 Urip Santoso, Op.cit, hal. 101



5



langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29, guna perusahaan, pertanian, perikanan, atau peternakan. Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1996 menambahkan guna perusahaan perkebunan. 9 Dengan kata-kata lain, Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara selama jangka waktu yang tertentu, guna perusahaan pertanian, perikanan dan peternakan. Berlainan dengan Hak Milik, tujuan penggunaan tanah yang dipunyai dengan Hak Guna Usaha itu terbatas, yaitu pada usaha pertanian, perikanan, dan peternakan. Dalam pengertian “pertanian” termasuk juga perkebunan. Hak Guna Usaha hanya dapat diberikan oleh negara (pemerintah).10 Hak guna usaha dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan (pasal 33 Undang-Undang Pokok Agraria). Maka dalam rangka jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan atas tanah dengan Hak guna usaha ini, Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 11 Tahun 1962 tentang Ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat dalam pemberian hak guna usaha kepada pengusaha-pengusaha swasta nasional, yang telah diubah dengan Peraturan Mentri Pertanian dan Agraria No. 2 Tahun 1964 dan sebagian telah dicabut dengan Peraturan Bersama Menteri Dalam Negri dan Menteri Pertanian Nomor 2/Pert/OP/8/1969- 8 Tahun 1969 sepanjang mengenai status tanah dengan hak guna usaha, selama hak tanggungan yang dimaksudkan dalam Undang-Undang Pokok Agraria belum ada peraturannya, maka hak guna usaha yang diberikan berdasarkan pada Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 11 Tahun 1962 dapat dijadikan jaminan utang dengan di bebani hipotek atau credietverband.11 Dari pasal-pasal UUPA dapat kita sebutkan ciri-ciri Hak Guna Usaha sebagai berikut:12



9 Kartini Muljadi dkk, Hak-Hak atas Tanah, (Jakarta: Kencana, 2007), hal. 149 10 Effendi Perangin, Op.cit, hal. 258 11 Sudaryo Soimin, Op.cit, hal. 25 12 Effendi Perangin, Op.cit, hal. 259-260



6



a. Hak Guna Usaha tergolong hak atas tanah yang kuat, artinya tidak mudah dihapus dan mudah dipertahankan terhadap gangguan pihak lain. Oleh karena itu, maka Hak Guna Usaha termasuk salah satu hak yang wajib didaftar (Pasal 32 UUPA jo pasal 10 PP no. 10/1961). b. Hak Guna Usaha dapat beralih yaitu diwaris oleh ahli waris yang empunya hak (Pasal 28 ayat 3). c. Hak Guna Usaha jangka waktunya terbatas, pada suatu waktu pasti berakhir (Pasal 29). d. Hak Guna Usaha dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan (hipotek atau credietverband) (Pasal 33). e. Hak Guna Usaha dapat dialihkan kepada pihak lain, yaitu dijual, diturkan dengan benda lain, dihibahkan atau diberikan dengan wasiat (dilegaatkan (Pasal 28 ayat 3). f. Hak Guna Usaha dapat juga dilepaskan oleh yang empunya, hingga tanahnya menjadi tanah negara (Pasal 34 huruf c). g. Hak Guna Usaha hanya dapat diberikan guna keperluan usaha pertanian, perikanan, dan peternakan. B. Subjek Hukum Hak Milik dan Hak Guna Usaha. 1. Subjek Hukum Hak Milik. Terdapat pada Pasal 21: (1) Hanya warga Negara Indonesia dapat mempunyai hak milik. (2) Oleh pemerintah ditetapkan badan-badan yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya. (3) Orang asing yang sudah berlakunya Undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga Negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya Undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu didalam jangka waktu satu tahun: sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu, jika sudah jangka waktu tersebut, lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada Negara dan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung.



7



(4) Selama seseorang disamping kewarganegaraan Indonesia mempunyai kewarganegaraan asing maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat (3) pasal 21 UUPA. Pada prinsipnya yang dapat mempunyai (Subjek Hukum) tanah Hak Milik menurut UUPA adalah hanya warga negara Indonesia tunggal yang dapat mempunyai Hak Milik (Pasal 21 ayat (1) jo ayat 4 UUPA). Ketentuan ini menentukan perseorangan yang hanya berkewarganegaraan Indonesia tunggal yang dapat memiliki tanah Hak Milik.13 Hak milik hanya boleh dipunyai orang, baik sendiri sendiri maupun bersama dengan orang lain. Badan hukum tidak boleh mempunyai tanah dengan Hak Milik (Pasal 21 ayat 2 UUPA), kecuali yang ditunjuk berdasarkan Peraturan Pemerintah. Badan Badan hukum yang dapat mempunyai tanah dengan Hak Milik sebagaimana dimaksudkan oleh pasal 21 ayat 2 ditentukan dalam Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 1963 ialah: a. Bank-bank yang didirikan oleh negara. b. Perkumpulan-perkumpulan Koperasi Pertanian yang didirikan berdasarkan Undang – undang No. 79 tahun 1958. c. Badan-badan keagamaan yang ditunjuk oleh Menteri Dalam Negeri setelah mendengar Menteri Agama. d. Badan-badan social yang ditunjuk oleh Menteri Dalam Negeri setelah mendengar Menteri Sosial. Bagi pemilik tanah yang tidak memenuhi syarat sebagai subjek Hak Milik atas tanah, maka dalam waktu 1 tahun harus melepaskan atau mengalihkan Hak Milik atas tanahnya kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Apabila hal ini tidak dilakukan, maka tanahnya hapus karena hukum dan tanahnya kembali menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara (Pasal 21 ayat (3) dan ayat (4) UUPA). 2. Subjek Hukum Hak Guna Usaha. Terdapat dalam Pasal 30: (1) Yang dapat mempunyai Hak Guna Usaha ialah: a. Warga Negara Indonesia, b. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. 13 Urip Santoso, Op.cit, hal. 95



8



(2) Orang atau badan hukum yang mempunyai hak guna usaha dan tidak lagi memenuhi syarat-syarat sebagai yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hal itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh Hak Guna Usaha, jika ia tidak memenuhi memenuhi syarat tersebut. Jika Hak Guna Usaha yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut hal itu hapus karena hukum, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan, menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Berlainan dengan Hak Milik, subjek hukum Hak Guna Usaha tidak harus berkewarganegaraan Indonesia tunggal. Seorang warga Negara Indonesia yang berwargakenegaraan rangkap boleh mempunyai tanah dan Hak Guna Usaha. Dengan sendirinya juga tidak diadakan perbedaan antara warga Negara asli dan keturunan asing. Badan hukum yang tidak didirikan menurut hukum Indonesia atau tidak berkedudukan di Indonesia, tidak diperbolehkan mempunyai Hak Guna Usaha, sungguhpun mempunyai perwakilan di Indonesia. Badan yang demikian hanya dapat menguasai tanah dengan Hak Pakai atau Hak Sewa (Pasal 42, 45, dan 53). Orang asing tidak diperbolehkan mempunyai tanah dengan Hak Guna Usaha, kecuali dalam keadaan yang khusus dan dengan syarat sebagai yang diatur dalam Pasal 38 ayat 2. Dalam penjelasannya dinyatakan bahwa dibukanya kemungkinan untuk memberikan tanah kepada perusahaan modal asing bukannya dengan hak pakai, tetapi juga dengan Hak Guna Bangunan dan Hak Guna Usaha, ini merupakan penegasan dari apa yang ditentukan dalam pasal 55 ayat 2 UUPA yaitu dalam rangka “pembangunan nasioanal semesta berencana”. Maksud dari perusahaan asing harus dijalankan seluruhnya atau sebagian terbesar di Indonesia sebagai kesatuan perusahaan, dan



9



berbentuk dalam hukum menurut hukum di Indonesia serta berkedudukan di Indonesia (pasal 3).14 C. Cara Memperoleh Hak Milik dan Hak Guna Usaha. 1. Cara Memperoleh Hak Milik. Hak milik atas tanah dapat terjadi melalui tiga cara sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 22 UUPA, yaitu: (1) Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah. (2) Selain menurut cara sebagai yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hak milik terjadi karena: a. penetapan Pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. b. ketentuan Undang-undang. Jadi, Hak Milik terjadi karena: a. Menurut ketentuan Hukum Adat. Hak Milik atas tanah terjadi dengan jalan pembukaan tanah (pembukaan hutan) atau terjadi karena timbulnya lidah tanah (Aanslibbing). Yang dimaksud dengan pembukaan tanah adalah pembukaan tanah (pembukaan hutan) yang dilakukan secara bersama-sama dengan masyarakat Hukum Adat yang dipimpin oleh ketua adat melalui tiga system penggarapan, yaitu matok sirah matok galeng, matok sirah gilir gelang, dan system bluburan. Yang dimaksud dengan lidah tanah (Aanslibbing) adalah pertumbuhan tanah ditepi sungai, danau atau laut, tanah yang tumbuh demikian itu dianggap menjadi kepunyaan orang yang memiliki tanah yang berbatasan, karena biasanya pertumbuhan tersebut sedikit banyak terjadi karena usahanya. Dengan sendirinya terjadi Hak Milik secara demikian itu juga melalui suatu proses pertumbuhan yang memakan waktu. Lidah tanah (Aanslibbing) adalah tanah yang timbul atau muncul karena berbeloknya arus sungai atau tanah yang timbul di pinggir pantai, dan terjadi dari lumpur, lumpur tersebut makin lama makin tinggi dan mengeras sehingga akhirnya menjadi tanah. Dalam Hukum 14 Effendi Perangin, Op.cit, hal. 263-264



10



Adat, lidah tanah yang tidak begitu luas menjadi hak bagi pemilik tanah yang berbatasan. Hak Milik atas tanah yang terjadi di sini dapat didaftarkan pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk mendapatkan Sertifikat Hak Milik atas tanah. Hak Milik atas tanah yang terjadi menurut hukum adat akan diatur dengan peraturan pemerintah. Peraturan pemerintah yang diperintahkan di sini sampai sekarang belum terbentuk.15 b. Karena penetapan pemerintah. Cara terjadinya Hak Milik yang lazim, adalah cara yang kedua ini, yaitu yang diberikan oleh Pemerintah dengan suatu penetapan. Yang boleh memberikan Hak Milik hanya pemerintah. Seorang pemegang hak atas tanah lainnya tidak boleh memberikan Hak Milik. Yang boleh dilakukannya ialah mengalihkan Hak Miliknya.16 Hak Milik atas tanah yang terjadi di sini semula berasal dari tanah negara. Hak Milik atas tanah terjadi karena permohonan pemberian Hak Milik atas tanah oleh pemohon dengan memenuhi prosedur dan persyaratan yang telah ditentukan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPNRI). Apabila semua persyaratan yang telah ditentukan dipenuhi oleh pemohon, maka BPNRI atau pejabat dari BPNRI yang diberi pelimpahan kewenangan menerbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak Milik (SKPHM). SKPHM ini wajib didaftrakan oleh pemohon kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah dan diterbitkan Sertifikat Hak Milik sebagai tanda bukti hak. Pendaftaran SKPHM menandai lahirnya Hak Milik atas tanah. Pejabat Badan Pertanahan Nasional yang berwenang menerbitkan SKPH diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 7 Permen Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara. Permen Agraria/Kepala BPN No.3 Tahun 1999 dinyatakan tidak berlaku lagi 15 Urip Santoso, Op.cit, hal. 96 16 Effendi Perangin, Op.cit, hal. 243



11



oleh Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No.1 Tahun 2011 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah dan Kegiatan Pendaftaran Tanah Tertentu. Prosedur dan persyaratan terjadinya Hak Milik atas tanah melalui pemberian hak diatur dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 16 Permen Agraria/Kepala BPN No. 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pngelolaan.17 c. Karena ketentuan undang-undang. Hak Milik atas tanah ini terjadi karena undang-undanglah yang menciptakannya, sebagaimana yang diatur dalam Pasal I, Pasal II, dan Pasal VII ayat (1) Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA. Terjadinya Hak Milik atas tanah ini atas dasar ketentuan konversi (perubahan) menurut UUPA. Sejak berlakunya UUPA pada tanggal 24 September 1960, semua hak atas tanah yang ada harus duibah menjadi salah satu ha katas tanah yang diatur dalam UUPA. Yang dimaksud dengan konversi adalah perubahan hak atas tanah sehubungan dengan berlakunya UUPA. Hak-hak atas tanah yang ada sebelumnya berlakunya UUPA diubah menjadi hak-ahak atas tanah yang ditetapkan dalam UUPA (Pasal 16 UUPA). Konversi adalah perubahan status hak atas tanah dari ha katas tanah menurut hukum yang lama sebelum berlakunya UUPA menjadi ha katas tanah menurut UUPA. Penegasan konversi yang berasal dari tanah milik adat diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria (PMPA) No. 2 Tahun 1962 tentang Penegasan dan Pendaftaran Bekas Hak-hak Indonesia Atas Tanah.18 Begitulah, maka ada hak-hak yang dikoonversi menjadi Hak Milik, yaitu yang berasal dari:19 1) Hak Eigendom kepunyaan badan-badan hukum yang memenuhi syarat,



17 Urip Santoso, Op.cit, hal. 96-97 18 Ibid, hal. 97-98 19 Effendi Perangin, Op.cit, hal. 243



12



2) Hak Eigendom yang pada tanggal 24 September 1960, dipunyai oleh WNI tunggal dan dalam waktu 6 bulan datang membuktikan kewarganegaraannya di Kantor KPT, 3) Hak Milik Indonesia dan hak-hak semacam itu, yang pada tanggal 24 September 1960, dipunyai WNI atau badan hukum yang mempunyai syarat sebagai subjek Hak Milik, 4) Hak Gogolan yang bersifat tetap. Hak Milik atas tanah juga dapat terjadi melalui du acara, yaitu:20 a. Secara Originair. Terjadinya Hak Milik Atas Tanah untuk pertama kalinya menurut hukum adat, penetapan pemerintah, dank arena undang-undang. b. Secara Derivatif. Suatu subjek hukum memperoleh tanah dari subjek hukum lain yang semula sudah berstatus tanah Hak Milik, misalnya jual beli, tukar menukar, hibah, dan pewarisan. Dengan terjadinya perbuatan hukum atau peristiwa hukum tersebut, maka Hak Milik atas tanah yang sudah ada beralih atau berpindah dari subjek hukum yang satu kepada subjek hukum yang lain. 2. Cara Memperoleh Hak Guna Usaha. Berdasarkan pasal 31 UUPA: Hak guna-usaha terjadi karena penetapan Pemerintah. Apa sebab dalam Pasal 31 diatur bahwa Hak Guna Usaha terjadi karena penetapan Pemerintah? Mengapa tidak disebut juga karena perjanjian dengan pemilik tanah? Karena Hak Guna Usaha hanya dapat diberikan atas tanah negara. Seorang pemilk tanah tidak dapat memberikan Hak Guna Usaha. Tanah yang diberikan dengan Hak Guna Usaha itu semula bisa berstatus tanah yang langsung dikuasai oleh negara. Dalam pengertian “tanah yang dikuasai langsung oleh negara” atau “tanah negara” itu termasuk tanah yang masih ada hak ulayatnya. Mengenai pemberian Hak Guna Usaha atas tanah negara yang masih ada hak ulayatnya, kepada masyarakat hukum yang bersangkutan wajib diberikan recognitie, berupa imbalan sebagai pengakuan bahwa semula ada hak ulayat diatas tanah itu.



20 Urip Santoso, Op.cit, hal. 98



13



Hak Guna Usaha diberikan sebagai perubahan Hak yang sudah dipunyai oleh pemohon, misalnya Hak Pakai. Dalam kedua hak tersebut diatas Hak Guna Usaha itu diperoleh secara originair.21 Hak Guna Usaha ini terjadi melalui permohonan pemberian Hak Guna Usaha oleh pemohon kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Apabila semua persyaratan yang ditentukan dalam permohonan tersebut dipenuhi, maka Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPNRI) atau pejabat dari BPNRI yang diberikan pelimpahan kewenangan menerbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak (SKPH).



SKPH



ini



wajib



didaftarkan



ke



Kantor



Pertanahan



Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah dan diterbitkan sertifikat sebagai tanda bukti haknya. Pendaftaran SKPH tersebut menandai lahirnya HGU (Pasal 31 UUPA jo. Pasal 6 dan Pasal 7 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996).22 D. Jangka Waktu Hak Milik dan Hak Guna Usaha. 1. Jangka Waktu Hak Milik. Didalam Hak Milik atas tanah tidak terdapat jangka waktunya. Karena sudah dijelaskan diawal pembahasan, bahwasanya Hak milik menurut pasal 20 ayat 1 UUPA adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipenuhi orang atas tanah dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6. Yang mana arti dari Turun temurun ialah hak milik atas tanah dapat berlangsung terus selama pemiliknya masih hidup dan bila pemiliknya meninggal dunia, maka hak miliknya dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya sepanjang masih memenuhi syarat sebagai subjek hak milik. Dan, Terkuat artinya hak milik atas tanah lebih kuat bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain, tidak mempunyai batas waktu tertentu, mudah dipertahankan dari pihak lain, dan tidak mudah hapus.



21 Effendi Perangin, Op.cit, hal. 268 22 Urip Santoso, Op.cit, hal 102



14



Jadi, berdasarkan pengertian Hak Milik diatas dapat disimpulkan bahwa jangka waktu Hak Milik atas tanah ada sepanjang si pemilik masih hidup sampai meninggal dunia dan tidak mempunyai batas waktu tertentu. 2. Jangka Waktu Hak Guna Usaha. Jangka waktu Hak Guna Usaha telah diatur dalam Pasal 29 UndangUndang Pokok Agraria (UUPA), menyebutkan; 23 a. Hak Guna Usaha diberikan untuk jangka waktu paling lama 25 Tahun. b. Untuk perusahaan yang memerlukan waktu lebih lama dapat diberikan hak guna usaha untuk waktu paling lama 35 Tahun. c. Atas permintaan pemegang hak dan mengingat keadaan perusahaannya jangka waktu yang dimaksud tersebut diatas dapat diperpanjang paling lama 25 tahun. Maka dengan adanya ketentuan yang termaksud dalam pasal 29 Undang-Undang Pokok Agraria, jelaslah bahwa orang atau badan hukum yang mempunyai hak atas tanah dengan hak guna usaha dengan hak yang terbatas, yang artinya hak ini dibatasi peruntukannya, lain halnya dengan hak yang mempunyai “ter” atau hak yang paling tinggi yang tidak dibatasi perolehannya seperti hak milik.



E. Hapusnya Hak Milik dan Hak Guna Usaha. 1. Hapusnya Hak Milik. Hak Milik memiliki peran yang sangat penting, karena hak milik dapat diwariskan kepada keluarga yang ditinggalkan, sebab hak milik tanpa batas waktu. Namun dalam pasal 27 UUPA tahun 1960 dinyatakan bahwa hak milik juga bisa terhapus apabila: 24 a. Tanah jatuh kepada Negara. 1) Karena pencabutan hak berdasarkan pasal 18 UUPA, 2) Karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya, 3) Karena ditelantarkan, 4) Karena ketentuan pasal 21 ayat (3) dan pasal 26 ayat (2) UUPA. b. Tanahnya telah musnah. Mengacu pada ketentuan Pasal 27 diatas, maka hak atas tanah hapus oleh pencabutan tanah. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 18 UUPA yang menyatakan bahwa: 23 Soedharyo Soimin, Status Hak dan Pembebasan Tanah, (Jakarta, Sinar Grafika: 2001), hal. 26 24 Supriadi, Hukum Agraria, (Jakarta, Sinar Grafika: 2006), hal. 37



15



“Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-Undang”. Sebab-sebab dari jatuhnya tanah Hak Milik kepada Negara yang disebutkan dalam Pasal 27 itu tidak bersifat limitative, karena kita mengetahui bahwa masih ada sebab-sebab lain. Hak Milik juga bisa hapus dan tanah pun menjadi tanah negara jika terjadi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan peraturan landreform yang mengenai pembatasan maksimum serta larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee.25 Alasan pertama hapusnya Hak Milik adalah karena adanya pencabutan hak, menurut ketentuan Pasal 18 UUPA, yang menyatakan sebagai berikut: “Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang.” Pasal ini pada satu pihak memberikan landasan hukum kepada penguasa untuk dapat memperoleh tanah yang diperlukannya guna menyelenggarakan kepentingan umum. Pada lain pihak ketentuan itu merupakan jaminan bagi rakyat mengenai hak-haknya atas tanah terhadap tindakan sewenang-wenang dari penguasa. Denga demikian, maka ketentuan pasal 18 itu pada hakikatnya merupakan pelaksanaan dari asas dalam pasal 6 UUPA. Pencabutan hak menurut UUPA adalah pengambilan tanah kepunyaan sesuatu pihak oleh negara secara paksa, yang mengakibatkan hak atas tanah itu menjadi hapus, tanpa yang bersangkutan melakukan sesuatu pelanggaran atau lalai dalam memenuhi sesuatu kewajiban hukum. Maka ada 5 syarat untuk pencabutan hak atas tanah menurut UU No. 20/1961 dan pasal 18:26



25 Effendi Perangin, Op.cit, hal. 256 26 Ibid, hal. 38-39



16



a. Dilakukan untuk kepentingan umum termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, dan kepentingan pembangunan, b. Memberi ganti rugi yang layak kepada pemegang hak, c. Dilakukan menurut cara yang diatur oleh undang-undang, d. Pemindahan hak menurut cara biasa tidak mungkin lagi dilakukan (misalnya jual beli, atau pembebasan hak), e. Tidak mungkin memperoleh tanah di tempat lain untuk keperluan tersebut. Alasan kedua hapusnya Hak Milik adalah jika tanahnya jatuh kepada negara karena diserahkan dengan sukarela oleh pemiliknya. Biasanya penyerahan tanah tersebut dilakukan dengan tujuan agar diberikan kemudian kepada suatu pihak tertentu dengan hak tanah yang baru (Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak pengelolaan atau Hak Pakai). Acara tersebut dari dikenal dari sudut pemilik sebagai “melepaskan hak” dan dari sudut yang akan menerima tanahnya “membebaskan hak”. Acara melepaskan hak atau membebaskan hak itu ditempuh jika sesuatu pihak bermaksud untuk memperoleh dan menguasai tanah tertentu yang berstatus hak milik, sedangkan ia sendiri tidak memenuhi syarat untuk mempunyai hak itu. Mengalihkan hak milik itu langsung kepadanya akan mengakibatkan berlakunya pasal 26. Oleh karena itu, hapusnya hak milik yang disebabkan karena diserahkan dengan sukarela oleh pemiliknya terjadi sejak saat yang diperjanjikan dalam akta pembebasan atau akta melepaskan haknya.27 Alasan ketiga hapusnya Hak Milik adalah karena ditelantarkan. Pengaturan mengenai tanah yang terlantar dapat ditemukan dalam Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1998 tentang penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Pasal 3 dan Pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1998 tentang penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar tersebut mengatur mengenai kriteria tanah terlantar, yang didalamnya



27 Ibid, hal. 257



17



meliputi Tanah Hak Milik. Dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan tanah yang terlantar adalah:28 a. Tanah yang tidak dimanfaatkan dana tau dipelihara dengan baik, b. Tanah yang tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan, sifat atau tujuan dari pemberian haknya tersebut. Selanjutnya atas bidang tanah yang dinyatakan terlantar tersebut, ketentuan pasal 15 Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar memberikan sanksi berupa tindakan yang dapat diambil terhadap tanah terlantar tersebut.



Pasal 15 (1) Tanah yang sudah dinyatakan sebagai tanah terlantar menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara. (2) Kepada bekas pemegang hak atau pihak yang sudah memperoleh dasar penguasaan atas tanah yang kemudian dinyatakan sebagai tanah terlantar diberikan ganti rugi sebesar harga perolehan yang berdasarkan bukti-bukti tertulis yang ada telah dibayar oleh yang bersangkutan untuk memperoleh hak atas dasar penguasaan atas tanah tersebut yang jumlahnya ditetapkan oleh Menteri. (3) Dalam hal pemegang hak atau pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan atas tanah tersebut telah mengeluarkan biaya untuk membuat prasarana fisik atau bangunan di atas tanah yang dinyatakan terlantar, maka jumlah yang telah dikeluarkan tersebut diperhatikan dalam penetapan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibebankan pada pihak yang oleh Menteri ditetapkan sebagai pemegang hak yang baru atas tanah tersebut. Alasan keempat



hapusnya Hak Milik adalah karena ketentuan



pasal 21 ayat (3) dan pasal 26 ayat (2) UUPA. Maksudnya hapusnya Hak Milik atas Tanah karena dikuasai atau dialihkan kepada subjek hukum yang tidak berhak memangku kedudukan Hak Milik atas Tanah.



28 Kartini Muljadi dkk, Op.cit, hal. 136-138



18



Alasan terakhir hapusnya Hak Milik adalah karena kemusnahan tanahnya. Jika kita kembali kepada pengertian dasar hak-hak atas tanah, dan khususnya Hak Milik atas Tanah, maka sangat jelaslah bahwa pada dasarnya hak-hak atas tanah tersebut, termasuk Hak Milik atas Tanah bersumber pada keberadaan atau eksistensi dari suatu bidang tanah tertentu. Dengan musnahnya bidang tanah yang menjadi dasar pemberian hak atas tanah oleh negara, maka demi hukum hak atas tanah tersebut, termasuk Hak Milik atas Tanah menjadi hapus.29 2. Hapusnya Hak Guna Usaha. Seperti telah disinggung di muka hapusnya Hak Guna Usaha diatur dalam ketentuan Pasal 34 UUPA yang menyatakan sebagai berikut: Pasal 34 Hak guna-usaha hapus karena: a. jangka waktunya berakhir, b. dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat c. d. e. f. g.



tidak dipenuhi, dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir, dicabut untuk kepentingan umum, diterlantarkan, tanahnya musnah, ketentuan dalam pasal 30 ayat (2). Menurut Pasal 17 PP No. 40 Tahun 1996, factor-faktor penyebab



hapusnya Hak Guna Usaha dan berakibat tanahnya kemabli menjadi tanah negara adalah:30 a. Berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangannya. b. Dibatalkan oleh pejabat yang berwenang sebelum jangka waktunya berakhir karena tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang haka tau dilanggarnya ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam keputusan pemberian hak, dan adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. c. Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir. d. Hak Guna Usahanya dicabut. e. Tanahnya ditelantarkan. 29 Ibid, hal. 139-140 30 Urip Santoso, Op.cit, hal. 107



19



f. Tanahnya musnah. g. Pemegang Hak Guna Usaha tidak memenuhi syarat sebagai pemegang Hak Guna Usaha. Ketentuan lebih lanjut mengenai hapusnya Hak Guna Usaha diatur dengan keputusan Presiden. Sampai saat ini keputusan presidennya belum dibuat. Pasal 18 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 mengatur konsekuensi hapusnya Hak Guna Usaha bagi bekas pemegang Hak Guna Usaha, yaitu:31 a. Apabila Hak Guna Usaha hapus dan tidak diperpanjang atau di perbaharui, bekas pemegang hak wajib membongkar bangunanbangunan dan benda-benda yang ada diatasnya dan menyerahkan tanah dan tanaman yang ada diatas tanah bekas Hak Guna Usaha tersebut kepada negara dalam batas waktu yang ditetapkan oleh Menteri Negara Agraria/Kepala BPN. b. Apabila bangunan, tanaman, dan benda-benda tersebut diatas diperlukan untuk melangsungkan atau memulihkan pengusahaan tanahnya, maka kepada bekas pemegang hak diberikan ganti rugi yang bentuk dan jumlahnya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden. c. Pembongkaran bangunan dan benda-benda diatas tanah Hak Guna Usaha dilaksanakan atas biaya bekas pemegang Hak Guna Usaha. d. Jika bekas pemegang Hak Guna Usaha lalai dalam memenuhi kewajiban tersebut, maka bangunan dan benda-benda yang ada di atas tanah bekas Hak Guna Usaha itu dibongkar oleh Pemerntah atas biaya bekas pemegang Hak Guna Usaha.



BAB III PENUTUP 31 Ibid, hal. 108



20



A. Kesimpulan 1. Pengertian Hak Milik dan Hak Guna Usaha. Hak Milik menurut Pasal 20 ayat (1) UUPA adalah hak turuntemurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6. Sedangkan, Menurut Pasal 28 ayat (1) UUPA, yang dimaksud dengan Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29, guna perusahaan, pertanian, perikanan, atau peternakan. 2. Subyek Hukum Hak Milik dan Hak Guna Usaha. Subjek hukum Hak Milik menurut UUPA adalah hanya warga negara Indonesia tunggal yang dapat mempunyai Hak Milik (Pasal 21 ayat (1) jo ayat 4 UUPA). Ketentuan ini menentukan perseorangan yang hanya berkewarganegaraan Indonesia tunggal yang dapat memiliki tanah Hak Milik. Badan hukum tidak boleh mempunyai tanah dengan Hak Milik (Pasal 21 ayat 2 UUPA), kecuali yang ditunjuk berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 1963. Sedangkan, Subjek hukum Hak Guna Usaha tidak harus berkewarganegaraan Indonesia tunggal. Seorang warga Negara Indonesia yang berwargakenegaraan rangkap boleh mempunyai tanah dan Hak Guna Usaha. Dan, badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia yang berkedudukan di Indonesia. 3. Cara Memperoleh Hak Milik dan Hak Guna Usaha. Memperoleh Hak Milik atas tanah dapat terjadi melalui tiga cara sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 22 UUPA, yaitu: (1) Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah. (2) Selain menurut cara sebagai yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hak milik terjadi karena: penetapan Pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Dan, ketentuan Undangundang. Sedangkan, cara memperoleh Hak Guna Usaha menurut pasal 31 UUPA terjadi karena penetapan Pemerintah. 4. Jangka Waktu Hak Milik dan Hak Guna Usaha. Hak Milik atas tanah tidak terdapat jangka waktunya. Karena menurut pasal 20 ayat 1 UUPA adalah Hak milik memiliki sifat Terkuat yang



21



artinya hak milik atas tanah lebih kuat bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain, tidak mempunyai batas waktu tertentu, mudah dipertahankan dari pihak lain, dan tidak mudah hapus. Sedangkan, jangka waktu Hak Guna Usaha telah diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA): a. Hak Guna Usaha diberikan untuk jangka waktu paling lama 25 Tahun. b. Untuk perusahaan yang memerlukan waktu lebih lama dapat diberikan hak guna usaha untuk waktu paling lama 35 Tahun. c. Atas permintaan pemegang hak dan mengingat keadaan perusahaannya jangka waktu yang dimaksud tersebut diatas dapat diperpanjang paling lama 25 tahun. 5. Hapusnya Hak Milik dan Hak Guna Usaha. Hapusnya Hak Milik tercantum dalam pasal 27 UUPA tahun 1960 dinyatakan bahwa hak milik juga bisa terhapus apabila karena pencabutan hak berdasarkan pasal 18 UUPA, karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya, karena ditelantarkan, karena ketentuan pasal 21 ayat (3) dan pasal 26 ayat (2) UUPA. Dan, tanahnya telah musnah. Sedangkan, hapusnya Hak Guna Usaha diatur dalam ketentuan Pasal 34 UUPA yaitu: karena jangka waktunya berakhir, dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi, dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir, dicabut untuk kepentingan umum, diterlantarkan, tanahnya musnah, ketentuan dalam pasal 30 ayat (2).



DAFTAR PUSTAKA Muljadi, Kartini dkk. 2007. Hak-Hak atas Tanah. Jakarta: Kencana. Perangin, Effendi. 1991. Hukum Agraria Di Indonesia Suatu Telaah Dari Sudut Pandang Praktisi Hukum. Jakarta: CV Rajawali. Ridwan. 2010. Pemilikan Rakyat dan Negara Atas Tanah Menurut Hukum Pertanahan di Indonesia dalam Perspektif Hukum Islam. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI.



22



Santoso, Urip. 2012. Hukum Agraria Kajian Komprehensif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Soimin, Soedharyo. 2001. Status Hak dan Pembebasan Tanah edisi kedua. Jakarta: Sinar Grafika. Soimin, Sudaryo. 1994. Status Hak dan Pembebasan Tanah. Jakarta: SinarGrafika. Supriadi. 2006. Hukum Agraria. Jakarta: Sinar Grafika.



23