Hakikat Kebenaran, Sarana Berpikir Ilmiah Dan Logika Berpikir (Disha Hikarahmi Ramfineli 18129007) [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

RESUME PENELITIAN PENDIDIKAN I HAKEKAT KEBENARAN DAN SARANA BERFIKIR ILMIAH, LOGIKA BERFIKIR DAN PENALARAN Dosen Pengampu : Dr. Desyandri, S.Pd., M.Pd



Oleh DISHA HIKARAHMI RAMFINELI 18129007 18 AT 01



JURUSAN PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI PADANG 2020 A. Hakekat Kebenaran



Menurut



Vardiansyah



(2018)



kebenaran



adalah



persesuaian



antara



pengetahuan dan objek. Menurut Hamami (1980) Kata “kebenaran” dapat digunakan sebagai suatu kata benda yang kongrit maupun abstrak. Menurut Prasetiya (2000) kebenaran adalah kenyataan adanya (being) yang menampakkan diri sampai masuk akal. Pengalaman tentang kebenaran itu dialami akal si pengenal dalam kesamaannya dengan kenyataan adanya yang menampakkan diri padanya. Menurut



Sukmadinata



(2004)



kebenaran



adalah



persesuaian



antara



pengetahuan dan objek bisa juga diartikan suatu pendapat atau perbuatan seseorang yang sesai dengan orang lain dan tidak merugikan diri sendiri. Menurut Suparlan (2009) kebenaran adalah lawan dari kekeliruan yang merupakan objek dan pengetahuan tidak sesuai. Macam - macam kebenaran adalah sebagai berikut : 1) Kebenaran Ilmiah Kebenaran yang diperoleh secara mendalam berdasarkan proses penelitian dan penalaran logika ilmiah. Kebenaran ilmiah ini dapat ditemukan dan diuji dengan pendekatan pragmatis, koresponden, koheren. 2) Kebenaran Non-Ilmiah Berbeda dengan kebenaran ilmiah yang diperoleh berdasarkan penalaran logika ilmiah, ada juga kebenaran karena faktor-faktor non-ilmiah. Beberapa diantaranya adalah : a. Kebenaran karena kebetulan b. Kebenaran karena akal sehat c. Kebenaran agama dan wahyu d. Kebenaran intuitif e. Kebenaran karena trial dan error f. Kebenaran spekulasi g. Kebenaran karena kewibawaan 3) Kebenaran Filsafat Kebenaran yang diperoleh dengan cara merenungkan atau memikirkan sesuatu sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya, baik sesuatu itu ada atau mungkin ada. Kebenaran filsafat ini memiliki proses penemuan dan pengujian kebenaran yang unik dan dibagi dalam beberapa kelompok (madzab). Jadi, kebenaran adalah lawan dari kekeliruan yang mana persesuaian antara pengetahuan dan objek yang telah sesuai dan jelas kebenarannya.



B. Saran Berfikir Ilmiah (Bahasa, Matematika, dan Statistik) Menurut Suriasumantri (2003 : 165) sarana ilmiah pada dasarnya merupakan alat yang membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuh. Sarana ilmiah merupakan suatu alat, dengan alat ini manusia melaksanakan kegiatan tersebut. manusia



kegiatan



ilmiah



diperlukan



Manusia berpikir



ilmiah. mampu



mengikuti



Pada



alat



saat



berpikir



manusia yang



mengembangkan kerangka



berpikir



melakukan



sesuai



tahapan



dengan



tahapan



pengetahuannya



karena



ilmiah



dan



menggunakan



alat-alat berpikir yang benar. Untuk mendapatkan ilmu diperlukan sarana berpikir ilmiah. Sarana berpikir diperlukan untuk melakukan kegiatan ilmiah secara baik dan teratur. Sarana berpikir ilmiah ada empat, yaitu : bahasa, logika, matematika dan statistika berpikir ilmiah berupa bahasa sebagai alat komunikasi verbal untuk menyampaikan jalan pikiran kepada orang lain, logika sebagai alat berpikir agar sesuai dengan aturan berpikir sehingga dapat diterima kebenarannya oleh orang lain, matematika berperan dalam pola berpikir deduktif sehingga orang lain dapat mengikuti dan melacak kembali proses berpikir untuk menemukan kebenarannya, dan statistika berperan dalam pola berpikir induktif untuk mencari kebenaran secara umum. Tujuan mempelajari sarana ilmiah adalah agar dapat melakukan kegiatan penelaahan ilmiah. Untuk memaksimalkan kemampuan manusia dalam berpikir menurut kerangka berpikir yang benar maka diperlukan pengetahuan tentang sarana berpikir ilmiah dengan baik pula. Manusia mempelajari ilmu agar dapat menyelesaikan permasalahan - permasalahan yang terjadi dalam kehidupannya. Dengan ilmu yang telah dipelajarinya manusia dapat meningkatkan kemakmuran hidupnya. Adapaun fungsi sarana ilimiah menurut Suriasumantri (2003 : 167), membantu proses metode ilmiah, dan bukan merupakan ilmu itu sendiri. Sarana ilmiah mempunyai fungsi - fungsi yang khas dalam kegiatan ilmiah secara menyeluruh dalam mencapai suatu tujuan tertentu. Keseluruhan tahapan kegiatan ilmiah membutuhkan alat bantu yang berupa sarana berpikir ilmiah. Sarana berpikir ilmiah hanyalah alat bantu bagi manusia untuk berpikir ilmiah agar memperoleh ilmu. Sarana berpikir ilmiah bukanlah suatu ilmu yang diperoleh melalui proses kegiatan ilmiah.



Dalam epistemology atau perkembangan untuk mendapatkan ilmu, diperluka adanya sarana berfikir ilmiah. Sarana berfikir ilmiah ini adalah alat bagi metode ilmiah dalam melakukan fungsinya secara baik. Jadi fungsi sarana berfikir ilmiah adalah membantu proses metode ilmiah dalam mendapat ilmu atau teori yang lain. Hah-hal yang perlu diperhatikan dari sarana berfikir ilmiah adalah : a. Sarana berfikir ilmiah bukanlah ilmu, melainkan kumpulan pengetahuan yang didapatkan berdasarkan metode ilmiah. b. Tujuan mempelajari metode ilmiah adalah untuk memungkinkan kita melakukan penelaahan ilmiah secara baik. Manusia disebut sebagai homo faber yaitu makhluk yang membuat alat; dan kemampuan membuat alat dimungkinkan oleh pengetahuan. Berkembangnya pengetahuan juga memerlukan alat-alat. Sarana merupakan alat yang membantu kita dalam mencapai suatu tujuan tertentu, sedangkan sarana berpikir ilmiah merupakan alat bagi metode ilmiah dalam melakukan fungsinya secara baik, dengan demikian fungsi sarana ilmiah adalah membantu proses metode ilmiah, bukan merupakan ilmu itu sendiri. 1. Bahasa sebagai Sarana Berpikir Ilmiah Salah satu perbedaan manusia dengan makhluk lainnya adalah kemampuan manusia berbahasa. Bahasa memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia, termasuk di dalamnya adalah kegiatan ilmiah. Kegiatan ilmiah sangat berkaitan erat dengan bahasa. Menggunakan bahasa yang baik dalam berpikir membantu untuk mengkomunikasikan jalan pikiran kepada orang lain. Berpikir sebagai hasil kegiatan otak manusia tidak akan ada artinya apabila tidak diketahui oleh orang lain. Cara untuk mengkomunikasikannya kepada orang lain adalah menggunakan sarana bahasa. Bahasa merupakan lambang serangkaian bunyi yang membentuk suatu arti tertentu (Suriasumantri, 2003 :175). Unsur unsur yang terdapat dalam bahasa menurut Bakhtiar (2004 : 177 - 179) adalah: a. Simbol - simbol b. Simbol - simbol vocal c. Simbol - simbol vokal arbitrer d. Suatu sistem yang terstruktur dari simbol-simbol yang arbitrer



e. Dipergunakan oleh para anggota suatu kelompok sosial sebagai alat bergaul satu sama lain.



Bahasa mengandung unsur simbol, sesuatu yang diucapkan oleh manusia merupakan kegiatan memberi simbol terhadap suatu obyek nyata dalam dunia praktis. Agar simbol tersebut dapat memenuhi tujuan pembicara maka simbol tersebut harus diucapkan dengan bunyi tertentu yang dapat didengar oleh orang yang dituju sehingga memudahkan pendengar untuk mengetahui dengan jelas obyek yang dimaksud oleh pembicara. Bunyi simbol suatu obyek tidak harus sama antara ucapan dan makna yang dikandungnya, artinya makna suatu obyek dapat diucapkan dengan kata yang berbeda untuk daerah atau komunitas yang berbeda. Manusia dapat menyampaikan sesuatu yang dipikirkan kepada orang lain menggunakan bahasa. Dengan bahasa, orang lain dapat mengetahui dan mempelajari sesuatu yang sedang dipikirkan. Dengan bahasa, manusia juga dapat mengekspresikan sesuatu yang dirasakannya kepada orang lain. Orang lain dapat mengetahui seseorang sedang sedih atau senang melalui bahasa yang disimbolkan. Karya



ilmiah



pada



dasarnya



merupakan



kumpulan



pernyataan



yang



mengemukakan informasi tentang pengetahuan maupun jalan pemikiran dalam mendapatkan pengetahuan tersebut. Untuk mampu mengkomunikasikan suatu pernyataan dengan jelas maka seseorang harus menguasai bahasa yang baik (Suriasumantri, 2003 : 175). Menurut Sumarna (2008 : 134), melalui bahasa manusia dengan sesama manusia lainnya dapat saling menambah dan berbagi pengetahuan yang dimilikinya. Bahasa menjadi sarana untuk berbagi dengan sesame manusia. Seseorang dapat memberitahukan sesuatu yang diketahuinya kepada orang lain dengan menggunakan bahasa. Dalam proses berbagi tersebut manusia mengalami penambahan pengetahuan, menjadi mengetahui sesuatu yang semula belum diketahui. Bahasa sebagai sarana ilmiah mempunyai kelemahan. Kelemahan tersebut menurut Suriasumantri (2003 : 182 - 187) antara lain : 1) Bahasa bersifat multifungsi. 2) Bahasa memiliki arti yang tidak jelas dan eksak yang dikandung oleh katakata yang membangun bahasa. 3) Bahasa mempunyai beberapa kata yang memberikan arti yang sama.



4) Konotasi bahasa yang bersifat emosional. Keberadaan bahasa sebagai sarana berpikir ilmiah ternyata memiliki kelemahan-kelemahan yang melekat pada bahasa tersebut. Bahasa sulit dilepaskan dari emosi dan sikap seseorang, sedangkan bahasa sebagai sarana ilmiah dituntut



untuk obyektif agar informasi yang dikomunikasikan dapat diterima dengan baik oleh orang lain. Kelemahan berikutnya adalah sulit untuk mendefinisikan suatu obyek dengan sejelasjelasnya, terkadang karena keinginan untuk memberikan penjelasan yang detil tentang suatu obyek, yang terjadi justru komunikasi yang dilakukan terkesan bertele-tele dan menjadi tidak jelas. Kelemahan bahasa juga dapat dilihat dari keberadaan beberapa kata yang yang memiliki arti sama atau sebaliknya beberapa arti cukup menggunakan satu kata saja. Selain itu, ada kelemahan bahasa lain yaitu bahasa sulit dilepaskan dari emosional seseorang. Ada makna - makna tertentu yang dapat ditambahkan pada makna sebenarnya sebagai akibat emosional seseorang. Menurut Rijal (2017:181) untuk menelaah bahasa ilmiah perlu dijelaskan tentang penggolongan bahasa. Ada dua penggolongan bahasa yang umumnya dibedakan yaitu : a. Bahasa alamiah yaitu bahasa sehari-hari yang digunakan untuk menyatakan sesuatu, yang tumbuh atas pengaruh alam sekelilingnya. Bahasa alamiah dibedakan menjadi dua bagian yaitu; bahasa Isyarat, bahasa ini dapat berlaku umum dan dapat berlaku khusus dan bahasa biasa, bahasa yang digunakan dalam pergaulan sehari-hari. b. Bahasa buatan adalah bahasa yang disusun sedemikian rupa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan akar pikiran untuk maksud tertentu. Bahasa buatan dibedakan menjadi 2 bagian yaitu: bahasa istilah, bahasa ini rumusanya diambil dari bahasa biasa yang diberi arti tertentu, misal demokrasi (demos dan kratien) dan bahasa artifisial, murni bahasa buatan, atau sering juga disebut dengan bahasa simbolik, bahasa berupa simbol-simbol sebagaimana yang digunakan dalam logika dan matematika. Dalam bahasa ini tidak ada bentuk kiasan yang mengaburkan. Misalnya (a = b) ^ (b = d) atau (a = c). Bahasa artifisial mempunyai dua macam ciri-ciri yaitu pertama tidak berfungsi sendiri, dan kosong dari arti, oleh karena itu dapat dimasuki arti apapun juga. 2. Matematika sebagai Sarana Berpikir Ilmiah Bahasa sebagai alat komunikasi verbal mempunyai banyak kelemahan, karena tidak semua pernyataan dapat dilambangkan dengan bahasa. Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan bahasa tersebut maka digunakanlah sarana matematika.



Menurut Suriasumantri (2003 : 191), matematika adalah bahasa yang berusaha untuk menghilangkan sifat kubur (pen: kabur), majemuk dan emosional dari bahasa verbal. Matematika sebagai sarana berpikir deduktif menggunakan Bahasa artifisial, yakni murni bahasa buatan manusia. Keistimewaan bahasa ini adalah terbebas dari aspek emotif dan efektif serta jelas terlihat bentuk hubungannya. Matematika lebih mementingkan kelogisan pernyataan - pernyataannya yang mempunyai sifat yang jelas (Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 2010 : 107). Dengan matematika, sifat kabur, majemuk dan emosional dari bahasa dapat dihilangkan. Lambang yang digunakan dalam matematika lebih eksak dan jelas, lambang-lambang tersebut tidak bisa dicampuri oleh emosional seseorang, suatu lambang dalam matematika jelas hanya mengandung satu arti sehingga orang lain tidak dapat memberikan penafsiran selain dari maksud pemberi informasi. Misalnya, seseorang yang mengatakan: ”Saya punya satu orang adik perempuan”, orang lain dapat menerima bahwa orang itu mempunyai satu adik, tidak mungkin orang lain akan mempunyai penafsiran bahwa orang itu mempunyai duaatau tiga orang adik. Matematika mengembangkan bahasa numerik yang memungkinkan kita untuk melakukan pengukuran secara kuantitatif (Suriasumantri, 2003 : 193). Matematika biasanya menggunakan bahasa numeric yang menafikan unsur emosi, kabur dan majemuk seperti yang terdapat dalam bahasa biasa. Melalui unsur ini, manusia dapat melakukan pengukuran secara kuantitatif yang tidak diperoleh dalam bahasa yang selalu memberi kemungkinan menggunakan perasaan yang bersifat kualitatif (Sumarna, 2008 : 143). Matematika memungkinkan untuk melakukan pengukuran yang jelas. Untuk membandingkan tinggi dua buah obyek yang berbeda, misal pohon jagung dan pohon mangga. Dengan bahasa hanya dapat dikatakan bahwa pohon mangga lebih tinggi dari pohon jagung, tetapi tidak tahu dengan jelas berapa perbedaan tinggi kedua pohon tersebut. Dengan matematika maka perbedaan tinggi kedua pohon tersebut dapat diketahui dengan jelas dan tepat. Misal, setelah diukur ternyata tinggi pohon jagung 100 cm dan tinggi pohon mangga 250 meter, maka dapat dikatakan bahwa pohon mangga lebih tinggi 150 cm dari pohon jagung. Matematika memberikan jawaban yang lebih eksak dan menjadikan manusia dapat menyelesaikan masalah sehari-harinya dengan lebih tepat dan teliti. Matematika sebagai sarana berpikir deduktif, memungkinkan manusia untuk



mengembangkan pengetahuannya berdasarkan teori-teori yang telah ada. Misal, jumlah sudut sebuah lingkaran adalah 3600. Dari pengetahuan ini dapat dikembangkan, seperti besar sudut keliling lingkaran sama dengan setengah besar sudut pusat jika menghadap busur yang sama. 3. Statistika sebagai Sarana Berpikir Ilmiah Menurut Suriasumantri (2003:225), statistika harus mendapat tempat yang sejajar dengan matematika agar keseimbangan berpikir deduktif dan induktif yang merupakan ciri dari berpikir ilmiah dapat dilakukan dengan baik. Orang yang ingin mampu melaksanakan kegiatan ilmiah dengan baik tidak boleh memandang sebelah mata terhadap statistika. Penguasaan statistika sangat diperlukan bagi orang-orang yang akan menarik kesimpulan dengan sah. Statistika harus dipandang sejajar dengan matematika. Kalau matematika merupakan sarana berpikir deduktif maka orang dapat menggunakan statistika untuk berpikir induktif. Matematika dan statistika sama-sama diperlukan untuk menunjang kegiatan ilmiah yang benar sehingga akan menghasilkan suatu pengetahuan yang benar pula. Statistika merupakan sarana berpikir yang diperlukan untuk memproses pengetahuan secara ilmiah. Sebagai bagian dari perangkat metode ilmiah maka statistika membantu kita untuk melakukan generalisasi dan menyimpulkan karakteristik suatu kejadian secara lebih pasti dan bukan terjadai secara kebetulan. Statistika sebagai sarana berpikir ilmiah tidak memberikan kepastian namun memberi tingkat peluang bahwa untuk premis-premis tertentu dapat ditarik suatu kesimpulan,



dan



kesimpulannya



mungkin



benar



mungkin



juga



salah



(Suriasumantri, 2003 : 225). Langkah yang ditempuh dalam logika induktif menggunakan statistika adalah : a. Observasi dan eksperimen. b. Memunculkan hipotesis ilmiah. c. Verifikasi dan pengukuran. d. Sebuah teori dan hukum ilmiah (Sumarna, 2008 : 146). Untuk mengetahui keadaan suatu obyek, seseorang tidak harus melakukan pengukuran satu persatu terhadap semua obyek yang sama, tetapi cukup dengan melakukan pengukuran terhadap sebagian obyek yang dijadikan sampel. Walaupun pengukuran terhadap sampel tidak akan seteliti jika pengukuran



dilakukan terhadap populasinya, namun hasil dari pengukuran sampel dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Setelah melakukan observasi dan eksperimen kemudian merumuskan suatu hipotesis untuk dilakukan verifikasi dan uji coba terhadap data dan keadaan yang sebenarnya di lapangan. Berdasarkan pengkajian-pengkajian terhadap data dan keadaan di lapangan tersebut dapat dirumuskan suatu kesimpulan yang nantinya menjadi sebuah teori atau hukum ilmiah. Artinya, kesimpulan yang ditarik bukanlah sesuatu yang kebetulan terjadi, tetapi telah melalui tahap-tahap berpikir tertentu dengan melibatkan data dan fakta yang terjadi di lapangan. C. Logika Berfikir dan Penalaran (Induktif dan Deduktif) Penalaran adalah kemampuan manusia untuk melihat dan memberikan tanggapan tentang apa yang dia lihat. Karena manusia adalah makhluk yang mengembangkan



pengetahuan



dengan



cara



bersungguh-sungguh,



dengan



pengetahuan ini dia mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Penalaran juga merupakan kemampuan berfikir cepat, tepat dan mantap. Selain itu penalaran merupakan proses berfikir dan menarik kesimpulan berupa pengetahuan.



Manusia adalah satu-satunya makhluk yang mengembangkan



pengetahuan secara bersungguh-sungguh. Namun bukan hanya manusia yang mempunyai pengetahuan binatang juga mempunyai pengetahuan. Perbedaan pengetahuan manusia dan hewan adalah hewan hanya diajarkan hal-hal yang menyangkut kelangsungan hidupnya (survival) contohnya apabila ada bencana mereka akan cepat bersembunyi atau mencari tempat yang aman sedangkan manusia dengan cara mengembangkan pengetahuannya dia akan berusaha menghindari dan mencari penyebab terjadinya bencana sampai bagaimana mengatasinya. Manusia dalam kehidupannya dia akan selalu berusaha memenuhi kebutuhan kelangsungan hidupnya, contohnya manusia akan selalu memikirkan hal yang baru, mengembangkan budaya dan memberikan makna dalam kehidupan. Sebagai suatu kegiatan berfikir maka penalaran mempunyai ciri – ciri, antara lain : 1) Adanya suatu pola pikir yang secara luas dapat disebut logika. Dalam hal ini maka dapat dikatakan bahwa tiap bentuk penalaran mempunyai logikanya sendiri. Atau dapat juga disimpulkan bahwa kegiatan penalaran merupakan suatu proses berfikir logis, di mana berfikir logis disini harus diartikan sebagai kegiatan berfikir menurut suatu pola tertentu.



2) Bersifat analitik dari proses berfikirnya. Penalaran merupakan suatu kegiatan berfikir yang menyandarkan diri kepada suatu analisis dan kerangka berpikir yang dipergunakan untuk analisis tersebut adalah logika penalaran yang bersangkutan. Artinya penalaran ilmiah merupakan suatu kegiatan analisis yang mempergunakan logika ilmiah, dan demikian juga penalaran lainnya yang mempergunakan logikanya tersendiri pula. Sifat analitik ini merupakan konsekuensi dari adanya suatu pola berpikir tertentu. Tanpa adanya pola berpikir tersebut maka tidak akan ada kegiatan analisis. Berdasarkan kriteria penalaran dikatakan bahwa tidak semua kegiatan berfikir bersifat logis dan analitis. Jadi cara berpikir yang tidak termasuk ke dalam penalaran bersifat tidak logis dan analitik. Dengan demikian maka dapat dibedakan secara garis besar ciri-ciri berpikir menurut penalaran dan berpikir yang bukan berdasarkan penalaran. Prinsip dasar pernyataan hanya ada tiga prinsip, yang mengemukakan pertama kali adalah Aristoteles, yaitu sebagai berikut : 1) Prinsip Identitas Prinsip ini dalam istilah latin ialah principium indentitas. prinsip identitas berbunyi: ’’sesuatu hal adalah sama dengan halnya sendiri’’. Dengan kata lain, “sesuatu yang disebut p maka sama dengan p yang dinyatakan itu sendiri bukan yang lain”. 2) Prinsip Kontradiksi (Principium Contradictionis) Prinsip kontradiksi berbunyi: “sesuatu tidak dapat sekaligus merupakan hal itu dan bukan hal hal itu pada waktu yang bersamaan”, atau “sesuatu pernyataan tidak mungkin mempunyai nilai benar dan tidak benar pada saat yang sama”. Dengan kata lain, “sesuatu tidaklah mungkin secara bersamaan merupakan p dan non p”. 3) Prinsip Eksklusi (Principium Exclusi Tertii) Prinsip eksklusi tertii, yakni prinsip penyisihan jalan tengah atau prinsip tidak adanya kemungkinan ketiga. Prinsip ekslusi tertii berbunyi “sesuatu jika dinyatakan sebagai hal tertentu atau bukan hal tertentu maka tidak ada kemungkinan ketiga yang merupakan jalan tengah. Dengan kata lain, “sesuatu x mestilah p atau non p tidak ada kemungkinan ketiga”. Arti dari prinsip ini ialah bahwa dua sifat yang berlawanan penuh (secara



mutlak) tidak mungkin kedua-duanya dimiliki oleh suatu benda, mestilah hanya salah satu yang dapat dimilikinya. Disamping ketiga prinsip yang dikemukakan Aristoteles diatas, seorang filusuf Jerman Leibniz menambah satu prinsip yang merupakan pelengkap atau tambahan bagi prinsip identitas, yaitu prinsip cukup alasan (principium rationis sufficientis), yang berbunyi. “suatu perubahan yang terjadi pada sesuatu hal tertentu haruslah berdasarkan alasan yang cukup, tidak mungkin tiba-tiba berubah tanpa sebab-sebab yang mencukupi”. Dengan kata lain, “adanya sesuatu itu mestilah mempunyai alasan yang cukup, demikian pula jika ada perubahan pada keadaan sesuatu”. Penalaran merupakan cara berpikir tertentu oleh karena itu untuk melakukan kegiatan analisis maka kegiatan penalaran tersebut harus diisi dengan materi pengetahuan yang berasal dari suatu sumber kebenaran. Pengetahuan yang dipergunakan dalam penalaran pada dasarnya bersumber pada rasio atau fakta. Mereka yang berpendapat bahwa rasio adalah sumber kebenaran mengembangkan paham yang kemudian disebut sebagai rasionalisme. Sedangkan mereka yang menyatakan bahwa fakta yang tertangkap lewat pengalaman manusia merupakan sumber kebenaran mengembangkan paham empirisme. 1. Logika Induktif Merupakan cara berpikir menarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual (seperti kesimpulan peneliti humoris). Misalnya, kita punya fakta bahwa kambing punya mata, kucing punya mata, demikian juga anjing dan berbagai binatang lainnya. Dari kenyataan-kenyataan ini dapat kita tarik kesimpulan umum bahwa semua binatang mempunyai mata. Dua keuntungan dari logika induktif : a. Ekonomis Karena dengan penalaran induktif kehidupan yang beraneka ragam dengan berbagai corak dan segi dapat direduksi/dikurangi menjadi beberapa pernyataan. Pengetahuan yang dikumpulkan manusia bukan merupakan koleksi/ kumpulan dari berbagai fakta melainkan esensi dari fakta-fakta tersebut. Demikian juga pengetahuan tidak bermaksud membuat reproduksi dari obyek tertentu, melainkan menekankan pada struktur dasar yang mendasari ujud fakta tersebut. Pernyataan yang bagaimanapun lengkap dan cermatnya tidak dapat mereproduksi betapa manisnya secangkir kopi atau betapa pahitnya pil kina. Jadi pengetahuan cukup puas dengan pernyataan



elementer yang bersifat kategoris bahwa kopi itu manis dan pil kina itu pahit. Pernyataan seperti ini sudah cukup bagi manusia untuk bersifat fungsional dalam kehidupan praktis dan berpikir teoritis. b. Penalaran Lanjut Secara induktif dari berbagai pernyataan yang bersifat umum dapat disimpulkan pernyataan yang bersifat lebih umum lagi. Melanjutkan contoh tentang kesimpulan bahwa semua binatang mempunyai mata (induksi binatang), dan semua manusia mempunyai mata (induksi manusia) maka dapat ditarik kesimpulan bahwa semua makluk mempunyai mata. Penalaran seperti ini memungkinkan disusunnya pengetahuan secara sistematis yang mengarah kepada pernyataan-pernyataan yang makin lama makin bersifat fundamental. 2. Logika Deduktif Adalah kegiatan berpikir yang sebaliknya dari penalaran induktif. Deduksi adalah cara berpikir dimana dari pernyataan bersifat umum ditarik kesimpulan bersifat khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya menggunakan pola berpikir silogismus. Silogismus, disusun dari dua buah pernyataan dan sebuah kesimpulan. Pernyataan yang mendukung silogismus ini disebut premis yang kemudian dapat dibedakan sebagai premis mayor dan premis minor. Pengetahuan yang didapat dari penalaran deduktif adalah hasil kesimpulan berdasarkan kedua premis tersebut. Ketepatan penarikan kesimpulan dalam penalaran deduktif bergantung dari tiga hal, yakni kebenaran premis mayor, kebenaran premis minor, dan keabsahan pengambilan kesimpulan. Jika salah satu dari ketiga unsur tersebut persyaratannya tidak terpenuhi maka kesimpulan yang ditariknya akan salah. Matematika adalah pengetahuan yang disusun secara deduktif. Misalnya, A = B dan bila B = C maka A = C. Kesimpulan A sama dengan C pada hakekatnya bukan merupakan pengetahuan baru dalam arti yang sebenarnya, melainkan sekedar konsekwensi dari dua pengetahuan yang telah kita ketahui sebelumnya.



DAFTAR PUSTAKA Bakhtiar, Amsal.2004. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali Pers Prasetiya. 2000. Filsafat Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia Sukmadinata. 2004, Belajar dan pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Sumarna, Cecep. 2008. Filsafat Ilmu. Bandung: Mulia Press Suparlan,Suria. 2009. Dasar- dasar Filsafat.Yogyakarta :Ar-Ruzz Media Suriasumantri, Jujun. S. 2003. Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan Susanto, A. 2011. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT. Bumi Aksara Tim Dosen Ilmu Filsafat UGM. 2010. Filsafat Ilmu sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Liberty Vardiansyah, Dani. 2008.Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Jakarta: Indeks