Hakikat Manusia Dengan Pendidikan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Sasaran pendidikan adalah manusia. Pendidikan bermaksud membantu peserta didik untuk



menumbuhkembangkan



potensi-potensi



kemanusiaanya.



Potensi



kemanusiaan



merupakan benih kemungkinan untuk menjadi manusia. Manusia memiliki kedudukan yang paling tinggi diantara ciptaan Tuhan lainnya. Dengan kekuatan dan keterbatasannya, manusia dapat berbuat apa saja atas dirinya sendiri maupun lingkungannya. Potensi manusia seperti itu secara mendasar telah dimiliki manusia sejak dari awal penciptaannya. Dalam kondisi keberadaan manusia yang dilandasi oleh tujuan penciptaannya, manusia berkembang dan memperkembangkan diri mengukir budaya yang semakin tinggi dan modern, serta mengejar kebahagiaan yang dicitakannya. Manusia memiliki sifat hakikat yang merupakan karakteristik manusia yang membedakan dengan mahluk lainnya. Sifat hakikat inilah merupakan landasan dan arah dalam merancang dan melaksanakan komunikasi transaksional di dalam interaksi edukatif. Oleh karena itu sasaran pendidikan adalah manusia dimana pendidikan bertujuan menumbuh kembangkan potensi kemanusiannya. Agar pendidikan dapat dilakukan dengan tepat dan benar, pendidikan harus memiliki gambaran yang jelas siapa manusia sebenarnya. Manusia adalah mahluk Tuhan yang paling sempurna yang memiliki ciri khas yang secara prinsipil berbeda dari hewan. Ciri khas manusia yang membedakan dengan hewan ialah hakikat manusia. Disebut hakikat manusia karena secara hakiki sifat tersebut hanya dimiliki manusia dan tidak dimiliki hewan. Dengan pemahaman yang jelas tentang hakikat manusia maka seorang pendidik diharapan dapat membuat peta karakteristik manusia, sebagai acuan baginya dalam bersikap, menyusun strategi, metode, dan teknik.



1



B. Rumusan masalah 1. Apa yang dimaksud dengan manusia yang mencakup hakikat, kodrat, struktur fisik, dan karakteristiknya? 2. Bagaimana hubungan hakikat manusia denga pendidikan? 3. Bagaimana hubungan hakikat manusia dan hak asasi manusia dengan harkat dan martabat? 4. Apa sajakah sosok karakteristik manusia Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945? C. Tujuan penulisan 1. Untuk mengetahui lebih spesifik apa itu Manusia yang mencakup tentang hakikat, kodrat, struktur fisik, dan karakteristiknya; 2. Untuk memahami hubungan hakikat manusia dengan pendidikan; 3. Untuk memahami hubungan hakikat manusia dan asasi manusia dengan harkat dan martabat manusia; 4. Untuk mengetahui sosok karakteristik manusia Indonesia berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945. D. Manfaat penulisan Manfaat yang kita peroleh dari pembuatan makalah ini yaitu kita dapat menegetahui serta memahami hakikat manusia dan hubungannya dengan pendidikan.



2



BAB II KERANGKA BERPIKIR DALAM PENULISAN A. Metode Penulisan Metode yang digunakan adalah metode pustaka yaitu metode yang dilakukan dengan mempelajari dan mengumpulkan data dari pustaka yang berhubungan dengan alat baik berupa buku maupun informasi dari internet B. Ruang Lingkup Kajian dan Pembahasan Makalah ini membahas tentang “ HAKIKAT MANUSIA DAN HUBUNGANNYA DENGAN PENDIDIKAN “ yang mencakup manusia (hakikat, kodrat, struktur fisik dan karakteristiknya), hubungan hakikat manusia dengan pendidikan, hubungan hakikat dan hak asasi manusia dengan harkat dan martabat manusia, dan sosok karakteristik manusia Indonesia berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945. C. Sumber Data dan Informasi Sumber data dan informasi untuk penyusunan makalah ini menggunakan buku-buku referensi yang sesuai dengan topik dan kajian materi serta beberapa sumber dari internet baik jurnal ataupun sejenisnya. D. Teknik Pengumpulan dan Penyajian Data dan Informasi Teknik pengumpulan dan penyajian data dan informasi menggunakan data dari internet dan buku referensi dan disajikan dalam bentuk makalah dan power point.



3



E. Peta Konsep Kajian dan Pembahasan Hakikat manusia dan hubungannya dengan pendidikan



Manusia (hakikat, kodrat, struktur fisik, dan karakteristiknya)



Hubungan hakikat manusia dan pendidikan



Hubungan hakikat manusia dan hak asai manusia dengan harkat dan martabat manusia



Sosok karakteristik manusia Indonesia berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945



4



BAB III KAJIAN DAN PEMBAHASAN A. Manusia



1. Hakikat Manusia Secara bahasa manusia berasal dari kata “manu” (Sansekerta), “mens” (Latin), yang berarti berpikir, berakal budi. Manusia dapat diartikan sebagai makhluk yang berakal budi (mampu menguasai makhluk lain). Secara istilah manusia dapat diartikan sebuah konsep atau sebuah fakta, sebuah gagasan atau realitas, sebuah kelompok (genus) atau seorang individu. Manusia memiliki ciri khas yang prinsipil dengan makhluk ciptaan tuhan lainnya. Misalnya ciri khas manusia dari hewan, terbentuk dari kumpulan terpadu dari apa yang disebut dengan sifat hakikat manusia. Disebut sifat hakikat manusia karena secara hakikat sifat tersebut hanya dimiliki oleh manusia dan tidak terdapat pada hewan. Pembahasan tentang hakikat manusia ditempatkan pada bagian pertama dari seluruh pengkajian tentang pendidikan. Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Bukti paling kongkrit yaitu manusia memiliki kemampuan intelegesi dan daya nalar sehingga manusia mampu berifikir, berbuat, dan bertindak untuk membuat perubahan dengan maksud pengembangan sebagai manusia yang utuh. Kemampuan seperti itulah yang tidak dimiliki oleh makhluk Tuhan lainnya. Dalam kaitannya dengan perkembangan individu, manusia dapat tumbuh dan berkembang melalui suatu proses alami menuju kedewasaan baik itu bersifat jasmani maupun bersifat rohani. Oleh sebab itu manusia memerlukan pendidikan demi mendapatkan perkembangan yang optimal sebagai manusia.



2. Kodrat Manusia Salah satu kodrat manusia adalah keinginannya untuk senantiasa berhubungan dengan manusia lain. Pangkal tolak ini sangat penting, karena manusia hanya dapat hidup dengan sebaik-baiknya dan hanya memiliki arti serta makna yang mendalam apabila manusia hidup bersama manusia lainnya dan saling berkontribusi dalam suatu tatanan kemasyarakatan. Tidak dapat dibayangkan manusia yang hidup menyendiri dalam suasana keterasingan tanpa berhubungan dan bergaul dengan manusia lainnya. Apabila manusia terpaksa harus hidup menyendiri, sifat kesendirian itu tidaklah mutlak dan langgeng, tetapi cenderung lebih bersifat sementara atau temporal saja.



5



Manusia dilahirkan dengan susunan tubuh yang tidak begitu saja dapat melakukan fungsinya. Perkembangan manusia melalui suatu proses yang kompleks, baik perkembangan fisik maupun proses atau perkembangan kejiwaan. Agar manusia dapat hidup secara wajar, maka ia dituntut untuk memanfaatkan daya pikirannya dan berbuat sesuatu untuk kehidupannya yang lebih baik. Atau paling tidak ia harus bisa melakukan penyesuaian dengan lingkungan alam sekitar. Misalnya, susunan tubuh manusia tidak begitu saja dapat bertahan di daerah dingin bersalju. Apabila ia ingin bertahan hidup, maka ia harus mampu membuat pakaian yang tebal dan hangat yang dapat melindungi dirinya dari cuaca dingin yang menusuk badan. Sejak manusia lahir sampai akhirnya meninggal dunia, manusia memerlukan kerja sama dengan orang lain. Dalam zaman dan peradaban manusia yang semakin maju dan modern secara langsung ataupun tak langsung, manusia memerlukan hasil karya atau jasa manusia lainnya untuk memenuhi hajat hidupnya secara lebih baik. Malahan dalam kondisi masyarakat yang semakin maju, kecenderungan saling membutuhkan atau ketergantungan satu sama lain (interdependency) sangat terasa. Dalam kondisi seperti itulah manusia memerlukan bantuan dan jasa orang lain demi kelangsungan hidup secara layak dan lebih baik. Misalnya, pada zaman modern manusia memerlukan pakaian yang tak mungkin dibuat sendiri semisal membuat pakaian dari kulit bintang atau kulit pohon. Ia pasti memerlukan orang lain, dari mulai kebutuhan bahan kain sampai kepada jasa penjahit pakaian. Tidak hanya terbatas pada segi badan saja manusia memerlukan kerja sama dan jasa orang lain, tetapi manusia juga sebagai makhluk yang berperasaan, manusia memerlukan tanggapan emosinal dari orang lain. Manusia sangat memerlukan pengertian, kasih sayang, harga diri, pengakuan, rasa mencinta dan dicinta, ataupun bentuk tanggapan emosional lainnya. Tanggapan emosional tersebut hanya dapat diperoleh manakala manusia berhubungan dan berinteraksi dengan orang lain dalam suatu tatanan kehidupan bermasyakat. Inilah kodrat manusia sebagai makhluk Tuhan, makhluk pribadi ataupun makhluk sebagai makhluk sosial. Bertitik tolak dari hakikat manusia dan kodrat manusia sebagai makhluk individu dan sekaligus juga makhluk sosial, sosok manusia merupakan suatu kesatuan yang bulat serta harus dikembangkan secara selaras, serasi, dan seimbang. Oleh sebab itu, harus hidup bersama orang lain dalam suatu tatanan kemasyarakatan. Tidak mungkin manusia hidup terus-menerus dalam kesendirian dan keterasingan disisilain, dalam upaya untuk meningkatkan kualitas hidup manusia, terkadang ditemukan kendala dan permasalahan yang harus dihadapi oleh manusia itu sendiri. Untuk memecahkan masalah tersebut, kemampuan dan keterampilan manusia patut dibina ataupun dikembangkan, baik 6



pengalaman ataupun kemampuan yang bersifat pengetahuan, keterampilan, ataupun sikap. Di sinilah tampak ada garis merah yang menghubungkan antara hakikat manusia dalam kaitannya dengan interaksi sosial dan hubungannya dengan garapan pendidikan guna lebih memanusiakan manusia.



3. Struktur Fisik Manusia Manusia merupakan makhluk ciptaan tuhan yang paling sempurna. Dibandingkan dengan makhluk ciptaan tuhan yang lainnya seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan, manusia memiliki ciri yang khas yang bisa membedakan dirinya dengan hewan. Perbedaan tersebut antara lain: 1. Manusia bisa berjalan tegak; 2. Manusia memiliki otak yang lebih tinggi perkembangannya dibandingkan dengan otak hewan manapun; 3. Manusia memiliki ibu jari yang dapat diletakkan secara bertentangan, hal ini memungkinkan manusia menggunakan alat-alat aau piranti guna menghasilkan atau menciptakan sesuatu dan selanjutnya menggunakan hasil tadi; 4. Manusia umumnya dilengkapi dengan organ vokal yang memungkinkan bisa berbicara dengan nyaring dan memiliki artikulasi yang jelas; 5. Manusia pada saat bayi relatif lama tak berdaya, yaitu mereka pada waktu lahir tidak mempunyai kemampuan reflektif atau naluriah, akan tetapi mereka memiliki potensi yangt bisa dikembangkan lebih jauh.



4. Karakteristik Manusia Pada bagian ini akan dipaparkan wujud dari karakteristik hakikat manusia (yang tidak dimiliki hewan) yang dikemukakan oleh paham eksistensialisme, dengan maksud menjadi masukan dalam membenahi konsep pendidikan, yaiutu : a. Kemampuan menyadari diri; b. Kemampuan bereksistensi; c. Pemilikan kata hati; d. Moral; e. Kemampuan bertanggung jawab; f. Rasa kebebasan (kemerdekaan);



7



g. Kesediaan melaksanakan kewajiban dan menyadari hak; h. Kemampuan menghayati kebahagiaan.



a. Kemampuan menyadari diri Kaum rasioanalis menunjuk kunci perbedaan manusia dengan hewan pada adanya kemampuan menyadari diri yang dimiliki oleh manusia. Berkat adanya kemampuan menyadari diri yang dimiliki oleh manusia, maka manusia menyadari bahwa dirinya (akunya) memiliki ciri khas atau karakteristik diri. Hal ini menyebabkan manusia dapat membedakan dirinya dengan aku aku yang lain (ia, mereka) dan dengan non-aku (linkungan fisik) di sekitarnya. Bahkan bukan hanya membedakan, lebih dari itu manusia dapat membuat jarak (distansi) dengan lingkungannya, baik yang berupa pribadi maupun non pribadi/benda. Orang lain merupakan pribadi-pribadidi sekitar, adapun pohon, batu, cuaca dan sebagainya merupakan lingkungan non pribadi. Kemampuan membuat jarak dengan lingkungannya berarah ganda, yaitu arah keluar dan kedalam. Dengan arah keluar, aku memandang dan menjadikan lingkungan sebagai objek, selanjutnya aku memanipulasi ke dalam lingkungan untuk memenuhi kebutuhannya. Puncak aktivitas yang mengarah keluar ini dapat dipandang sebagai egoisme. Dengan arah ke dalam, aku memberi status kepada lingkungan (dalam hal kamu, dia, mereka) sebagai subjek yang berhadapan dengan aku sebagai objek, yang isinya adalah pengabdian, pengorbanan, tenggang rasa, dan sebagainya. Dengan kata lain aku keluar dari dirinya dan menempatkan aku pada diri orang lain. Gejala ini lazimnya dipandang oleh masyarakat sebagai sesuatu yang terpuji. Di dalam proses pendidikan, kecenderungan dua arah tersebut perlu dikembangkan secara berimbang. Penegembangan arah keluar merupakan pembinaan aspek sosialitas, sedangkan pengembangan arah ke dalam berarti pembinaan aspek individualitas manusia. Yang lebih istimewah ialah bahwa manusia dikarunia kemampuan untuk membuat jarak (distansi) diri dengan akunya sendiri. Sungguh merupakan suatu anugerah yang luar biasa, yang mendapatkan posisi manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi untuk menyempurnakan diri. Aku seolah-olah keluar dari dirinya dengan berperan sebagai subjek kemudian memandang dirinya sendiri sebagai objek untuk melihat kelebihan-kelebihan yang dimiliki serta kekurangan8



kekurangan yang terdapat pada dirinya. Pada saat demikian seorang aku dapat berperan ganda (sebagai subjek dan sekaligus sebagai objek), suatu aktivitas yang tidak mudah untuk dilakukan. Bukankah pada suatu ketika manusia dapat berperan sebagai polisi, hakim, atau pendidik atas dirinya, sebagai pesakitan, terdakwa, atau si terdidik. Lazim dikatakan bahwa peran paling besar ialah menghadapi musuhyang ada di dalam diri sendiri. Inilah manifestasi dari puncak karakteristik manusia yang menjadikannya lebih unggul dari hewan. Drijarkara (Drijakara: 138) menyebut kemampuan dengan istilah “meng-aku”, yaitu kemampuan mengeksplorasi potensi-potensi yang ada pada aku, dan memahami potensi-potensi tersebut sebagai kekuatan yang dapat dikembangkan sehingga aku dapat berkembang ke arah kesempurnaan diri. Kenyataan seperti ini mempunyai implikasi pedagogis, yaitu keharusan pendidik untuk menumbuh kembangkan kemampuan meng-Aku pada peserta didik. Dengan kata lain pendidik diri sendiri yang oleh Langeveld disebut self forming perlu mendapat perhatian secara serius dari semua pendidik.



b. Kemampuan bereksistensi Dengan keluar dari dirinya, dan dengan membuat jarak antara aku dengan dirinya sebagai objek, lalu melihat objek itu sebagai sesuatu, berarti manusia itu dapat menembus atau menerobos dan mengatasi batas-batas yang membelenggu dirinya. Kemampuan menerobos ini bukan saja dalam kaitannya dengan soal ruang, melainkan juga dengan waktu. Dengan demikian manusia tidak terbelenggu oleh tempat atau ruang ini (di sini) dan waktu ini (sekarang), tapi dapat menembus ke “sana” dan ke “masa depan” ataupun “masa lampau”. Kemampuan menempatkan diri dan menerobos inilah yang disebut kemampuan bereksistensi. Justru, karean manusia memiliki kemampuan bereksistensi inilah maka pada manusia terdapat unsur kebebasan. Dengan kata lain, aanya manusia bukan “ber-ada” seperti hewan di dalam kandang dan tumnuh-tumbuhan di dalam kebun, melainkan “meng-ada” di muka bumi (Drijarkara, 1962: 61-63). Jika seandainya pada diri manusia tidak terdapat kebebasan atau kemampuan bereksistensi, maka manusia itu tidak lebih dari hanya sekadar “esensi” belaka, artinya ada hanya sekadar “ber-ada” dan tidak pernah “meng-ada” atau “ bereksistensi”. Adanya kemampuan bereksistensi inilah pula yang membedakan manusia sebagai makhluk human dari hewan selaku makhluk infra human, di 9



mana hewan menjadi onderil dari lingkungan, sedangkan manusia menjadi manajer terhadap lingkungannya.



c. Kata hati Kata hati atau conscience of man juga sering disebut dengan istilah hati nurani, lubuk hati, suara hati, pelita hati, dan sebagainya. Conscience ialah “pengertian yang ikut serta” atau “pengertian yang mengikut perbuatan”. Manusia memiliki pengertian yang menyertai tentang apa yang akan, yang sedang, dan yang telah dibuatnya, bahkan mengerti juga akibatnya (baik atau buruk) bagi manusia sebagai manusia. Denga sebutan “pelita hati” atau “hati nurani” menunjukkan bahwa kata hati itu adalah kemampuan pada diri manusia yang memberi penerangan tentang baik buruknya perbuatanya sebagai manusia. Orang yang tidak memiliki pertimbangan untuk mengambil keputusan tentang yang baik/benar dan yang buruk/salah ataupun kemampuan dalam mengambil keputusan tersebut hanya dari sudut pandang tertentu (misalnya sudut kepentingan diri), dikatakan bahwa kata htinya tidak cukup tajam. Jadi, kriteria baik/benar dan buruk/salah harus dikaitkan dengan baik/benar dan buruk/salah bagi manusia sebagai manusia. Drijakara menyebutnya dengan baik yang integral. Sering dalam mengambil keputusan orang yang mengalami lesulitan terutama jika harus mengambil keputusan antara yang baik dengan yang kurang baik, atau antara yang buruk dengan yang lebih buruk. Sulitnya, karena orang dihadapkan kepada sejumlah pilihan, untuk dapatmemilih alternatif mana yang terbaik harus berhadapan dengan kriteria serta kemampuan analisi yang perlu didukung oleh kecerdasan akal budi. Orang yang memiliki kecerdasan akal budi sehingga mampu menganalisis dan mampu membedakan yang baik/benar dengan yang buruk/salah bagi manusia sebagai manusia disebut tajam kata hatinya. Dapat disimpulkan bahwa kata hati itu adalah kemampuan membuat keputusan tentang yang baik/benar dan yang buruk/salah bagi manusia sebagai manusia. Dalam kaitan dengan moral (perbuatan), kata hati merupakan “petunjuk bagi moral/perbuatan’. Usaha untuk mengubah kata hati yang tumpul manjadi kata hati yang tajam disebut pendidikan kata hati (gewetan forming). Realisasi dapat ditempuh dengan melatih akal kecerdasan dan kepekaan emosi. Tujuannya 10



agar orang yang memiliki keberanian moral (berbuat) yang di dasari oleh kata hati yang tajam.



d. Moral Jika kata hati diartikan sebagai bentuk pengertian yang menyertai perbuatan, maka yang dimaksud dengan moral (yang sering juga disebut etika) adalah perbuatan itu sendiri. Di sini tampak bahwa masih ada jarak antara kata hati dengan moral. Artinya seseorang yang telah memiliki kata hati yang tajam belum otomatis perbuatannya merupakan realisasi dari kata hatinya itu. Untuk menjembatani jarak yang mengantarai keduanya masih ada aspek yang diperlukan yaitu kemauan. Bukankah banyak orang yang memiliki kecerdasan akal akan tetapi tidak cukup memiliki moral (keberanian berbuat). Itulah sebabnya maka pendidikan moral juga sering disebut pendidikan kemauan, yang oleh M.J. Langeveld dinamakan De opvoedeling omzichzelfswil. Tentu saja yang dimaksud adalah kemauan yang sesuai dengan tuntunan kodrat manusia. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa moral yang sinkron dengan kata hati yang tajam yaitu yang benar-benar baik bagi manusia sebagai manusia merupakan moral yang baik atau moral yang tinggi (luhur). Sebaliknya perbuatan yang tidak sinkron dengan kata hati yang tumpul disebut moral yang buruk atau moral yang rendah (asor) atau lazim dikatakan tidak bermoral. Seseorang dikatakan bermoral tinggi karena ia menyatukan diri dengan nilai-nilai yang tinggi, serta segenap perbuatannya merupakan peragaan dari nilai-nilai yang tinggi tersebut. Etika biasanya dibedakan dari etiket. Jika moral (etika) menunjuk kepada perbuatan yang baik/benar ataukah yang salah, yang berperikemanusian atau yang jahat, maka etiket hanya berhubungan dengan soal sopan satun. Karena moral bertalian erat dengan keputusan kata hati, yang dalam hal ini berarti bertalian erat dengan nilai-nilai, maka sesungguhnya moral itu adalah nilai-nilai kemanusiaan. Dalam hal itu perlu diwaspadai karena banyak orang yang etiketnya tinggi (bersopan santun) padahal moralnya rendah, lihat penipu ulung. Pendidikan bermaksud menumbuh kembangkan etiket (kesopansantuanan) dan etika (keberanian/kemauan bertindak) yang baik dan harus pada peserta didik. 11



e. Tanggung jawab Kesediaan untuk menanggung segenap akibat dari perbuatan yang menuntut jawab, merupakan pertanda dari sifat orang yang bertanggung jawab. Wujud bertanggung jawab bermacam-macam. Ada tanggung jawab kepada diri sendiri, tanggung jawab kepada masyarakat, dan tanggung jawab kepada Tuhan. Tanggung jawab kepada diri sendiri berarti menanggung tuntutan kata hati, misalnya dalam bentuk penyesalan yang mendalam. Bertanggung jawab kepada masyarakat berarti menanggung tuntutan norma-norma sosial. Bentuk tuntutannya berupa saksi-saksi sosial seperti cemoohan masyarakat, hukuman penjara, dan lain-lain. Bertanggung jawab kapada Tuhan berarti menanggung tuntunan normanorma agama, misalnya perasaan berdosa, dan terkutuk. Di sini nampak betapa eratnya hubungan antara kata hati, moral, dan tanggung jawab. Kata hati memberi pedoman, moral melakukan, dan tanggung jawab merupakan kesediaan menerima konsekuensi dari perbuatan. Eratnya hubungan antara ketiganya itu juga terlihat dalam hal bahwa kadar kesediaan bertanggung jawab itu tinggi apabila perbuatan sinkron dengan kata hati (yang dimaksud kata hati yang tajam). Itulah sebabnya orang yang melakukan sesuatu karena paksaan (bertentangan dengan kata lain) sering tidak bersedia untuk memikul tanggung jawab atas akibat dari apa yang telah dilakukannya. Dengan demikian, tanggung jawab dapat diartikan sebagai keberanian untuk menentukan bahwa sesuatu perbuatan sesuai dengan tuntutan kodrat manusian, dan bahwa hanya karena itu perbuatan tersebut dilakukan, sehingga sanksi apapun yang dituntutkan (oleh kata hati, oleh masyarakat, oleh normanorma agama), diterima dengan penuh kesadaran dan kerelaan. Dari uraian ini menjadi jelas betapa pentingnya pendidikan moral bagi peserta didik baik sebagai pribadi maipun sebagai anggota masyarakat.



f. Rasa kebebasan Merdeka adalah rasa bebas (tidak merasa terikat oleh sesuatu), tetapi sesuai dengan tuntutan kodrat manusia. Dalam pernyataan ini ada dua hal yang kelihatannya saling bertentangan yaitu “rasa bebas” dan “sesuai dengan tuntutan kodrat manusia” yang berarti ada ikatan. Kemerdekaan dalam arti yang sebenarnya memang berlangsung dalam keterikatan. Artinya, bebas berbuat sepanjang tidak bertentangan dengan tuntutan 12



kodrat manusia. Orang hanya mungkin merasakan adanya kebebasan batin apabila ikatan-ikatan yang ada telah menyatu dengan dirinya, dan menjiwai segenap perbuatannya. Dengan kata lain, ikatan luar (yang membelenggu) telah berubah menjadi ikatan dalam (yang menggerakan). Pernyataan tersebut menunjukan bahwa merdeka tidak sama dengan berbuat bebas tanpa ikatan. Perbuatan bebas membabi buta tanpa memperhatikan petunjuk kata hati, sebenarnya hanya merupakan kebebasan semu. Sebab hanya kelihatannya saja bebas, tetapi sebenarnya justru tidak bebas, karena perbuatan seperti itu segera disusul dengan sanksi-sanksinya. Dengan kata lain kebebasan demikian itu segera akan diburu oleh ikatan-ikatan yang berupa sanksi-sanksi yang justru mengungdang kegelisahan. Itulah sebabnya seoarang pembunuh yangn habis membunuh (perbuatan bebas tanpa ikatan) biasanya berupaya mati-matian menyembunyikan diri (rasa tidak merdeka). Di sini terlihat bahwa kemerdekaan berkaitan erat dengan kata hati dan moral. Seseorang mengalami rasa merdeka apabila segenap perbuatannya (moralnya) sesuai dengan apa yang dikatakan oleh kata hatinya, yaitu kata hati yang sesuai dengan tuntutan kodrat manusia, karena perbuatan seperti itu tidak sulit atau sup sedia untuk dipertanggungjawabkan dan tidak akan sedikitpun menimbulkan kekhawatiran (rasa ketidakmerdekaan). Implikasi pedagogisnya adalah sama dengan pendidikan moral yaitu mengusahakan agar peserta didik dibiasakan berinternalisasikan nilai-nilai, aturan-aturan kedalam dirinya, sehingga dirasakan sebagai miliknya. Dengan demikian aturan-aturan itu tidak lagi dirasakan sebagai sesuatu yang merintangi gerak hidupnya.



g. kewajiban dan hak Kewajiban dan hak adalah dua macam gejala yang timbul sebagai manifestasi dari manusia sebagai makhluk sosial. Yang ada hanya oleh karena adanya yang lain. Tak ada hak tanpa kewajiban. Jika seseorang mempunyai hak untuk menuntut sesuatu maka tentu ada pihak lain yang berkewajiban untuk memenuhi hak tersebut (yang pada saat itu belum dipenuhi). Sebaliknya kewajiban ada poleh karena ada pihak lain yang harus dipenuhi haknya. Pada dasarnya, hak itu adalah sesuatu yang masih kosong. Artinya meskipun hak tentang sesuatu itu ada, belum tentu seseorang mengetahuinya (misalnya hak memperoleh perlindungan hukum). Dan meskipun sudah diketahui, belum tentu orang mau mempergunakannya ( misalnya hak cuti tahunan). Namun terlepas dari 13



persoalan apakah hak itu diketahui atau tidak, digunakan atau tidak, dibalik itu tetap ada pihak yang berkewajiban untuk bersiap sedia memenuhinya. Dalam realitas hidup sehari-hari, umumnya hak diasosiasikan dengan sesuatu yang menyenangkan, sedangkan kewajiban dipandang sebagai sesuatu beban. Benarkah kewajiban menjadi beban manusia? ternyata bukan beban melainkan suatu keniscayaan (Drijakara,1978:24-27). Artinya, selama seseorang menyebut dirinya manusia dan mau dipandang sebagai manusia, maka kewajiban itu menjadi keniscayaan baginya. Sebab jika mengelakkannya maka ia berarti mengingkari kemanusiaannya (yaitu sebagai kenyataan makhluk sosial). Karena itu seseorang yang semakin tinggi di mata masyarakat. Dengan kata lain, melakasanakan “kewajiban” itu adalah suatu keluhuran. Alangkah luhur nya seorang guru yang melaksanakan kewajiban sebaik-baiknya sebagai guru (tanpa pamrih). Seorang prajurit yang melaksanakan tugas (kewajiban) sepenuhnya di medan perang adalah suatu perbuatan yang luhur. Adanya keluruhan dan melaksanakan kewajiban itu menjadi lebih jelas lagi apabila di pertentangan dengan situasi yang sebaliknya, yaitu mengingkari janji, melalaikan tugas, mengambil hak orang lain, dan sejenisnya. Melaksanakan kewajiban berarti terikat pada kewajiban, tetapi anehnya yang sesungguhnya bukan keanehan manusia memilihnya. Mengapa? Sebabnya adalah karena melaksanakan kewajiban berarti meluhurkan diri sebagai manusia. Atau merasa baru manusia bila menaati kewajiban. Dengan demikian baru merasa lega, bebas atau merdeka. Dilihat dari segi ini, wajib bukanlah “ikatan”, melainkan suatu keniscayaan. Karena wajib adalah keniscayaan, maka terhadap apa yang diwajibkan manusia menjadi tidak merdeka. Mau atau tidak harus menerimanya. Tetapi terhadap keniscayaan itu sendiri manusia bisa taat dan bisa juga melanggar. Ia merdeka untuk memilihnya dengan konsekuensi jika taat akan meningkat martabatnya sebagai manusia, dan jika melanggar akan merosot martabatnya sebagai manusia. Sudah barang tentu realisasi hak dan kewajiban dalam prakteknya bersifat relatif, disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Sebab tak ada kewajiban untuk melaksanakan hal yang mustahil (yang berada diluar sikon dan kemampuan). Kita sama mengetahui, misalnya bagaimana realisai hak asasi manusia atas pendidikan dan wajib belajar di negara-negara yang sedang berkembang pada pada umumnya. 14



Jadi, mekipun setiap warga punya hak untuk menikmati pendidikan, tetapi jika fasilitasnya pendidikan tidak tersedia maka orang harus menerima keadaan realisasinya sesuai dengan sikon. Hak yang secara asasi dimiliki oleh setiap insan serta sesuai dengan tuntunan kodrat manusia disebut hak asasi manusia. Pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban bertalian erat dengan soal keadilan. Dalam hubungan ini mungkin dapat dikatakan bahwa keadilan terwujud bila hak sejalan dengan kewajiban. Karena pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban dibatasi oleh situasi dan kondisi,yang berarti tidak seluruh hak dapat terpenuhi dan tidak segenap kewajiban dapat sepenuhnya dilakukan, makan hak asasi manusia harus diartikan sebagai cita-cita, aspirasi-aspirasi atau harapanharapan yang berfungsi untuk memberi arah pada segenap usaha menciptakan keadilan. Kemampuan menghayati kewajiban sebagai keniscayaan tidaklah lahir dengan sendirinya, tetapi bertumbuh melalui suatu proses. Usaha menumbuh kembangkan rasa wajib sehingga dihayati sebagai suatu keniscayaan dapat di tempuh melalui pendidikan disiplin. Jika ada orang tua yang beranggapan bahwa pendidikan disiplin dan bertanggung jawab belum sepantasnya diberikan kepada anak-anak sejak masih balita adalah keliru. Benih-benih kedisiplinan dan rasa dan tanggung jawab seharusnya sudah mulai ditumbuh kembangkan sejak dini, bahkan sejak anak masih dalam keranjang ayunan, melalui latihan kebiasaan khususnya mengenai hal-hal yang nantinya bersifat rutin dan dbutuhkan dalam kehidupan. Displin diri menurut Selo Soemardjan (wawancara TVRI, Desember 1990)meliputi empat aspek, yaitu: a. Disiplin rasional, yang bila terjadi pelanggaran menimbulkan rasa salah. b. Disiplin sosial, jika dilanggar menimbulkan rasa malu. c. Disiplin afektif, jika dilanggar menimbulkan rasa gelisah. d. Disiplin agama, jika terjadi pelanggaran menimbulkan rasa berdosa Keempat macam disiplin tersebut perlu ditanamkan pada peserta didik dengan disiplin agama sebagaiu titik tumpu.



15



h. Kemampuan menghayati kebahagiaan Kebahagiaan adalah suatu istilah yang lahir dari kehidupan manusia. Penghayatan hidup yang disebut “kebahagiaan” ini meskipun tidak mudah untuk dijabarkan tetapi tidak sulit untuk dirasakan. Dapat diduga, bahwa arti istilah kebahagiaan sehingga cukup jelas dipahami serta memuaskan semua pihak sesungguhnya tidak mudah. Ambillah misal tentang sebutan : senang, gembira, bahagia, dan sejumlah istilah lain yang mirip dengan itu. Sebagian orang mungkin menganggap bahwa seseorang yang sedang mengalami rasa senang atau gembira itulah sedang mengalami kebahagiaan. Sebagian lagi menganggap bahwa rasa senang hanya merupakan aspek kebahagiaan, sebab kebahagiaan sifatnya lebih permanen daripada perasaan senang yang sifatnya lebih temporer. Dengan kata lain, kebahagiaan lebih merupakan integrasi atau rentetan dari sejumlah kesenangan. Malah mungkin ada yang lebih jauh lagi berpenapat bahwa kebahagiaan tidak cukup di gambarkan hanya sebagai himpunan pengalaman-pengalam yang menyenangkan saja, tetapi lebih dari itu, yaitu merupakan integrasi dari segenap kesenangan, kegembiraan, kepuasaan, dan sejenisnya dengan pengalaman-pengalaman pahit dan penderitaan. Proses integrasi dari kesemuanya itu ( yang menyenangkan maupun yang pahit) menghasilkan suatu bentuk penghayatan hidup yang disebut “bahagia”.



B. Hubungan Hakikat Manusia Dengan Pendidikan



Ada ahli yang mengatakan bahwa manusia sebagai animal educable. Artinya, pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang dapat dididik. Disamping itu, menurut Langeveld, manusia juga di sebut animal educandung yang artinya manusia pada hakikatnya adalah makhluk yang harus di didik, dan homo educandus yang bermakna bahwa manusia merupakan makhluk yang bukan hanya harus dan dapat di didik tetapi harus dan dapat di didik. Deskripsi diatas mengungkapkan secara jelas bahwa ada mata rantai yang erat antara hakikat manusia dengan garapan pendidikan sebagai salah satu usaha sadar untuk lebih memanusiakan manusia. Garapan pendidikan merupakan keharusan mutlak bagi manusia. Malahan pendidikan malah dianggap sebagai salah satu hak asasi manusia yang harus dipenuhi. Persoalannya adalah mengapa gerapan pendidikan merupakan suatu keharusan bagi manusia, mengapa manusia harus di didik dan harus mendidik.



16



Hal tersebut harus ditinjau dari berbagai segi, antara lain : 1. Hakikat anak sebagai manusia Manusia yang baru lahir dalam keadaan yang serba lemah. Ia belum dapat berdiri sendiri, belum bisa mencari makan sendiri. Semuanya dalam keadaan yang serba bergantung pada orang lain. Walaupun demikian, ia tetap menunjukkan keunikannya kendati dalam takaran yang sederhana. Pada saat ia lahir dalam kandungan ibunya ia telah mengekspresikan dirinya dalam bentuk tangis atau gerakan gerakan tertentu. Tangis atau gerakan yang tanpa latihan itu menggambarkan bahwa anak sejak lahir memiliki potensi untuk berkembang. Paling tidak ada empat pandangan yang bisa mempengaruhi perkembangan anak, yaitu: 1. pandangan nativisme, yang berpendapat bahwa perkembangan individu sematamata di tentukan oleh faktor yang di bawa sejak lahir. Menurut pandangan ini, hasil pendidikan di tentukan oleh anak itu sendiri, apakah itu pembawaan baik atau jelek. Dengan demikian, lingkungan kurang memberikan pengaruh yang besar, karena semuanya sudah di tentukan oleh pembawaan anak semenjak lahir. Teori ini, awalnya di perkenalkan oleh seorang filsuf



Jerman Schopenhauer



(1788-1880) 2. pandangan naturalisme, yang berpendapat bahwa semua anak lahir dengan pembawaan baik dan tidak ada seorang anakpun yang memiliki pembawaan jelek. Malah sebaliknya, anak yang memiliki pembawaan baik menjadi rusak karena pengaruh lingkungannya. Pandangan ini kurang memandan penting artinya pendidikan bagi perkembangan anak.



Dalam perkembangan selajutnya



pandangan ini banyak ditinggalkan orang, sebab pada kenyataanya pendidikan justru memberikan konstribusi pokok bagi pendewasaan manusia. Tokoh pandangan ini adalah J.J.Rousseau,filsuf prancis yang hidup tahun 1712-1778 3.



pandangan Environtalisme, berpendapat bahwa perkembangan anak sangat bergantung dengan lingkungannya. Orang pertama yang mengemukakan pendapat ini adalah John Locke, seorang filsuf Inggris yang hidup tahun 1632-1704. Pandangan ini memberikan penekanan bahwa lingkungan menberikan konstribusi bagi pembentukan pribadi anak. Anak ibarat kertas putih yang bisa ditulis dengan berbagai warna. Oleh karena itu, hasil pendidikan dianggap sebagai campur tangan lingkungan terhadapnya.



17



4. Pandangan Konvergensi, yang berpendapat bahwa dalam proses perkembangan anak, faktor bawahan atau faktor lingkungan memberikan faktor



sepadan.



Pandangan ini awalnya dikembangkan oleh William Sterm seorang ahli pendidikan Jerman yang hidup tahun 1871-1939. Pendapat pandangan ini tidak memisahkan secara berkotak-kotak antara faktor bawahan dan faktor lingkungan. Faktor bawahan, misalnya bakat seseorang, bisa tidak akan berkembang manakala tidak ada lingkungan yang mendukungnya. Sebaliknya lingkungan yang baik akan kurang bermakna apa-apa manakala anak sendiri tidak menunjukkan bakat atau kemampuannya untuk menggembangkan diri. Ini mengandung maksud bahwa anak dengan segala potensi yang dimilikinya adalah makhluk yang memerlukan bantuan untuk berkembang kearah ke dewasaan. Oleh karena itu, dalam tahapan selanjutnya ia perlu di bimbing dan diberi pendidikan ke arah kedewasaan dirinya. Pandangan ini menyakinkan bahwa perkembangan anak adalah hasil panduan antara pembawaan dan lingkungan. Aliran ini mengakui akan kodrat manusia yang memiliki potensi sejak lahir, namun potensi ini akan berkembang menjadi baik manakala mendapat sentuhan pengaruh lingkungan yang menopak perkembangan dirinya.



2. Manusia Dengan Sifat Kemanusiaannya Kegiatan mendidik adalah sifat yang khas yang dimiliki manusia. Imanuel Kant mengatakan, “manusia hanya dapat menjadi manusia karena pendidikannya”. Jika manusia tidak didik maka ia tidak akan menjad manusia dalam artian sebenarnya. Hal ini telah kenal luas dan dibenarkan



oleh hasil



penelitian terhadap nak terlantar



yang dalam



perkembangannya menjadi anak liar. Misalnya, dilukiskan dalam cerita anak liar di India yang dalam sejarah pendidikan terkenal dengan nama Ramu dan diasuh seorang dokter bernama Shorma. Konsepti tersebut memberi penekanan bahwa lingkungan pendidikan memberikan konstribusi bagi pembentukan pribadi anak. Anak mempunyai potensi untuk menjadi dewasa, baik secara fisik maupun psikis. Sebagai contoh, pada dasarnya setiap individu mempunyai potensi untuk agresif. Bagi bangsa yang haus akan kekuasaan, seperti dilukiskan dalam perkembangan bangsa Sparta pada zaman Yunani kuno, maka setiap individu di gembleng agar tumbuh dan berkembang menjadi seorang agresor sejati. Lain halnya dengan bangsa yang senantiasa mencintai kedamaian dan kerukunan, maka sifat agresif manusia tadi di 18



arahkan untuk tumbuh dan berkembang menjadi individu yang cinta damai dalam suasana kehidupan yang aman dan harmonis. Konsepsi hakikat anak sebagai manusia, juga merefleksikan setiap individu memilik berbagai kemungkina dalam perkembangannya. Seorang individu dapat berkembang menjadi warga yang baik atau mungkin dalam perkembangannya menjadi warga yang tidak baik. Atau seorang anak dalam perkembangannya dalam dua puluh tahun kemudian, bisa ia menjadi seorang dokter atau berprofesi sebagai insinyur, atau muncul menjadi sosok pengusaha tangguh yang cemerlang. Itulah potensi-potensi manusia yang dalam perkembangannya bisa positif ataupun malah sebaliknya menjadi negatif. Tugas dan garapan pendidikan adalah antara lain untuk mendidik setiap individu untuk mengembangkan potensinya secara optimal sesuai dengan kemampuan dan potensi yang di milikinya. 3. Manusia Sebagai Makhluk Budaya



Manusia dengan budi, rasa, dan karsanya menciptakan kebudayaan. Agar manusia dapat hidup dan menghayati dunia kebudayaan tadi, manusia patut dilengkapi dengan nilainilai atau moral kebudayaan yang sepatutnya di sampaikan dalam garapan pendidikan. Dengan demikian pendidikan pada hakikatnya adalah proses kebudayaan yaitu suatu proses yang berkesinambungan yang mengangkat harkat dan martabat manusia dari dunia alam (the world of nature ) menuju kehidupan yang bercirikan dunia kebudayaan (the world of culture). Aliran kebudayaan dalam pendidikan ini di pelopori oleh Spranger, yang mengutamakan masalah penyampaian norma, nilai kebudayaan dan peradaban manusia yaitu dalam bentuk nilai politik, sosial, ekonomi, keagamaan, ilmu pengetahuan, serta kesenian. Hal ini senada dikemukakan Kluckhom seperti dikutip Nana Sudjana (1989:12-13) yang membagi tujuh kategori produk kebudayaan secara umum yaitu : (a) bahasa, (b) sistem ilmu pengetahuan, (c) organisasi sosial, (d) sistem peralatan dan teknologi, (e) sistem mata pencaharian (f) sistem religi,dan (g) kesenian. Berdasarkan konsep yang di kemukakan diatas, pendidikan sebagai proses budaya guna meningkatkan harkat dan martabat manusia, merupakan proses yang panjang dan berlangsung sepanjang hayat. Pendidikan terjadi melalui interaksi insani dan tanpa batas ruang dan waktu. Pendidikan tidak hanya dimulai dan di akhiri di sekolah. Pendidikan dimulai dari lingkungan keluarga, dilanjutkan dan di tempa di lingkungan sekolah. Kemudian proses pendidikan itu di perkaya dalam lingkungan masyarakat dan hasil-hasilnya dapat di



19



gunakan dalam membangun kehidupan pribadi, agama, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara untuk meningkatkan derajat peradaban umat manusia.



C. Hubungan hakikat manusia dan hak asasi manusia dengan harkat dan martabat manusia



1. Pengertian hak asasi Hak asasi adalah hak yang harus dimiliki oleh setiap manusia yang diberikan Tuhan. Hak asasi manusia meliputi: a. Hak untuk hidup b. Hak kemerdekaan c. Hak memiliki sesuatu Hak asasi manusia meliputi berbagai bidang yaitu: 1. Hak asasi pribadi,meliputi hak kemerdekaan,hak memeluk agama,dan beribadah sesuai dengan keyakinan, hak mengemukakan pendapat,dan hak kebebasan berorganisasi; 2. Hak asasi ekonomi,meliputi hak memiliki sesuatu, hak membeli dan menjual sesuatu, mengadakan sesuatu perjanjian atau kontrak dan hak memilih pekerjaan; 3. Hak asasi mendapatkan pengayoman dan perlakuan sama dalam keadilan dan pemerintah atau sering disebut hak persamaan hukum; 4. Hak asasi politik,meliputi hak untuk diakui sebagai warga Negara yang sederajat.oleh karena itu, setiap warga Negara wajar mendapatkan hak itu dalam mengolah dan menata serta dalam menentukan warna politik dan kemajuan Negara; 5. Hak asasi sosial dan kebudayaan meliputi hak kebebasan mendapatkan pengajaran atau hak kebebasan mendapatkan pengajaran atau hak pendidikan serta hak pengembangan kebudayaan; 6. Hak asasi perlakuan yang sama dalam tata cara peradilan dan prlindungan hokum meliputi hak perlakuan yang wajar dan adil dalam penggeladahan.



20



Di Negara kita, hak asasi manusia telah mendapat tempat yang sangat terhormat,yaitu antara lain terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945 ini dapat ditemukan dalam pembukaan dan batang tubuhnya. 1. Pembukaan UUD 1945,alinea keempat”melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,mencerdaskan kehidupan bangsa,dan ikut melaksanakan ketertiban dunia



yang berdasarkan kemerdekaan,perdamaian



abadi,dan keadilan sosial…”Adanya pernyataan ini,menunjukan bahwa pemerintah menjamin secara penuhhak asasi manusia warganya,meningkatkan martabat bangsanya 2. Pasal 27,Ayat (2), menyatakan,”tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi manusia.ini merupakan pengakuan dan jaminan peningkatan martabat manusia.Oleh sebab itu,warga Negara berhak mendapat pekerjaan untuk mencapai penghidupan yang layak 3. pasal 29 Ayat (2), menyatakan ”Negara menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu. Pasal ini merupakan pengakuan hak asasi yang bersifat pribadi dalam memilih dan memeluk atau menerima suatu agama, serta kebebasan baik secara pribadi maupun bersama-sama anggota masyarakat lingkungannya serta menyatakan agama melalui ibadah, ketaatan tindakkan, dan ajaran masing-masing.



Dengan mengakui bahwa setiap manusia mempunyai hak asasi yang kodrati, terkandung nilai luhur yang bisa meningkatkan martabat dan harkat manusia, yaitu: 1. Manusia dengan sendirinya diakui keberadaanya, serta hak dan kewajibannya, dilindungi secara hukum; 2. Manusia tidak akan memperlakukan manusia lainnya secara sewenang-wenang; 3. pemerintah atau pihak lain, tidak akan melakukan kegiatan yang merugikan pihak lain, misalnya melaksanakan homo homini lupus(penindasan oleh manusia atas manusia lainnya).



2. Fungsi Dan Peran Lembaga Pendidikan a. fungsi pendidikan Ada 2, yaitu:  mikro,yaitu perkembangan rohani dan jasmani peserta didik.  makro,yaitu pengembangan pribadi,warga Negara,kebudayaan dan bahasa. 21



b. Prinsip mendidik  memberi tuntunan  memberi bantuan c. Perbedaan pergaulan dan pendidikan pendidikan adalah suatu proses belajar untuk mendapatkan ilmu.sedangkan pergaulan yaitu hubungan manusia dengan manusia lainnnya.



d. Ciri-ciri pergaulan dalam pendidikan  Dalam pergaulan orang berusaha mempengaruhi (dalam hal yang baik)  Dengan cara membaca buku, dengan adanya peraturan seseorang yang ingin mempengaruhi orang lain (yang belum dewasa) belum bisa disebut seorang pendidik



3. Fungsi Dan Peran Pendidikan 1. Lembaga pendidikan berkeluarga  Keluarga adalah yang berperan utama kepada anak  Keluarga yang paling utama dalam pendidikan,sangat penting dalam mengembangkan pola pendidikan anak  Pendidikan keluarga memberikan pendidikan, nilai norma, agama serta keluarga atau lembaga yang kodrat 2. Fungsi lembaga pendidikan keluarga  Merupakan Pengalaman pertama bagi anak-anak  Pendidikan keluarga dapat menjamin kehidupan emosional anak  Dalam keluarga akan terbentuk moral anak, keteladanan orang tua dalam bertutur kata akan menjadi wahana pengajaran bagi anak-anak  Akan tumbuh tolong menolong, tenggang rasa, sehingga tercipta keluarga yang hidup damai dan sejahtera  Merupakan lembaga yang meletakkan dasar-dasar pendidikan agama  Keluarga adalah sebagai pendorong dan pemberi semangat kepada anak 3. Hambatan-hambatan yang terjadi kepada anak  Figur orang tua yang tidak mampu memberikan teladan atau contoh kepada anak  Kurangnya kasih sayang dari orang tua  Ekonomi keluarga yang kurang/lebih 22



 Kasih sayang orang tua yang berlebihan sehingga anak menjadi manja  Orang tua yang tidak bisa memberi rasa aman kepada anak atau tuntunan orang tua yang berlebihan  Orang tua tidak bisa memberikan kepercayaan kepada anak  Orang tua tidak bisa membangkitkan inisiatif dan kreatif kepada anak.



D. Sosok Karakteristik Manusia Indonesia Berdasarkan Pancasila dan UndangUndang 1945



Sejak tahun 1989, dengan berlakunya undang-undang nomor 2 tahun 1989 tentang sistim pendidikan nasional, tujuan pendidikan nasional (TPN) dirumuskan sebagai berikut: pendidikan nasional bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, memiliki pengtahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. (bab II pasal 4). Sedangkan dalam GBHN 1993, ditetapkan tujuan pendidikan nasional yang lebih rinci sebagai berikut: pendidikan nasional bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas, kreatif,terampi, berdisiplin, beretos kerja, profesional, bertanggung jawab, dan produktif serta sehat jasmani dan rohani, menumbuhkan jiwa patriotik, dan mempertebal rasa cinta tanah air, meningkatkan semangat kebangsaan, dan kesetiakawanan sosial serta kesadaran pada sejarah bangsa dan sikap menghargai jasa para pahlawan, serta berorientasi ke masa depan......(TAP MPR Nomor II/MPR/1993). Deskripsi di atas, secara yuridis formal mengilustrasikan ke arah mana sosok masyarakat Indonesia seutuhnya yang akan dibentuk sebagai sumber daya manusia Indonesia yang siap untuk dipartisipasikan dalam pembangunan bangsa. Secara lebih rinci, bila dirujuk dari GBHN 1993 dan UUSPN NO 2 Tahun 1989, karakteristik manusia indonesia seutuhnya, berdasarkan pandangan hidup pancasila terdiri dari: 1.



Karakteristik manusia berkualitas, yang bercirikan antara lain : beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, memiliki ilmu pengetahuan, maju, tangguh dan cerdas.



23



2.



Karakteristik manusia yang kompetitif, yang bercirikan antara lain beretos kerja, profesional, bertanggung jawab, produktif, sehat jasmani dan sehat rohani, berjiwa patriotik, meningkatkan kebangsaan dan kesetiakawanan sosial serta beriorientasi kemasa depan.



Pancasila sebagai kepribadian bangsa Indoonesia merupakan kerangka acuan mendasar dalam menetapkan tujuan pendidik



an nasional. Mengkaji konsep pancasila



sebagai dasar negara serta rumusan TPN, secara tersirat ada tiga hal yang cukup mendasar sebagai ciri sosok manusia Indonesia yaitu berkaitan dengan tiga hal: moral, ilmu, dan amal. Sosok manusia Indonesia sepatutnya memiliki moral dan berbudi pekerti luhur, memiliki ilmu pengetahuan yang memadai sesuai dengan tuntutan kebutuhan terutama menghadapi abad XXI yang penuh persaingan ini. Kemudian dari moral yang luhur dan ilmu yang memadai tersebut, sosok manusia Indonesia harus mampu mengamalkan ilmu dan mendarma baktikan segala kemampuannya untuk kesejahteraan nusa, bangsa, dan negara. Ilmu bukan hanya untuk kepentingan subjektif, tetapi harus diamalkan untuk pembangunan bangsa. Oleh sebab itu pancasila sebagai falsafa bangsa yang mewarnai garapan pendidikan nasional dan dasar bagi pembentukan manusia Indonesia seutuhnya, sepatutnya dilihat dari empat dimensi, yaitu dimensi intelektual, sosial, personal, dan produktivitas. (nana sudjana, 1989:67).



Rincian keempat dimensi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. 1.



Dimensi intelektual, yaitu sosok manusia indonesia yang memiliki pandangan, wawasan ilmu pengetahuan, terampil dalam mengomunikasikan pengetahuan dan kemampuan memecahkan masalah yang dihadapi, serta tidak apriori terhadap pengetahuan orang lain.



2.



Dimensi sosial, yaitu sosok manusia Indonesia yang memiliki hubungan antar manusia, hubungan manusia dengan lingkungannya, tahu hak dan kewajiban sebagai warga negara, kesetiaan kepada negara, serta keanggotaan dalam organisasi yang produktif.



3.



Dimensi



personal,



yaitu sosok



manusia



Indonesia



yang memiliki



pertumbuhan fisik dan kesehatan (kualitas fisik), stabilitas emosional, kesehatan mental, mempunyai nilai-nilai moral religius, mempunyai nilai dan rasa estetis, adanya kemampuan untuk mengembangkan diri. 4.



Dimensi produktivitas, yaitu sosok manusia Indonesia yang memiliki kesanggupan memilih keahlian atau pekerjaan yang sesuai dengan 24



kemampuannya, kemampuan untuk mempertinggi keterampilan, keserasian hidup berkeluarga, mampu menempatkan diri sebagai konsumen dan produsen yang baik, kreatif, dan berkarya.



25



BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Dari uraian diatas,kita dapat menarik kesimpulan antara lain: 



Pendidikan merupakan proses panjang yang dalam pelaksanaannya banyak ditemui berbagai macam masalah terutama pada zaman yang semakin canggih ini, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi membuat ilmu pengetahuan kita semakin sempit sehingga membawa pengaruh yang sangat besar bagi masyrakat.







Tujuan



pendidikan



adalah



untuk



mengatasi



kebodohan



dan



keterbelakangan yang sudah terbukti merupakan sasaran utama bagi munculnya



penjajahan,



penindasan,



dan



perilaku



yang



tidak



berprikemanusian, Oleh karena itu, masyarakat Indonesia harus lebih meningkatkan mutu pendidikan yang berkualitas. 



Pendidikan juga berpengaruh dalam kehidupan, dengan pendidikan seseorang dapat mengetahui mana yang baik dan yang buruk.



B. Saran 1. Kepada semua pihak yang berkepentingan dunia pendidikan wajib berpegang teguh kepada nilai-nilai kependidikan dalam mengembangkan tugas dan tanggung jawab kesehariannya;



2.



Penerapan paradigma baru dalam pendidikan disosialisasikan lebih luas.



26



DAFTAR PUSTAKA Wahyudin, H.Dinn.2006.pengantar pendidikan.Jakarta:Universitas Terbuka Tritarahardja, Umar, La Selo.2008.Pengantar Pendidikan.Jakarta:PT RINEKA CIPTA http://misa-azilcia.blogspot.co.id/2012/03/hakikat-manusia-kodrat-manusia.html



https://muhayatun.wordpress.com/2009/10/18/pengantar-pendidikan/ http://natalialolopatandean.blogspot.co.id/2015/03/hubungan-hakekat-manusia-danpendidikan.html



27