Herpes Simpleks [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

HERPES SIMPLEKS GENITALIS DAN FLOUR ALBUS Andi Suci Kumala Sari, Nelly Herfina Dahlan, Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Universitas Halu Oleo/RSUD. Abunawas, Kota Kendari A. PENDAHULUAN Herpes genitalis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus herpes simpleks tipe 2 atau kadang-kadang tipe 1 dan bersifat sering rekuren. Infeksi akibat kedua tipe virus herpes simpleks ini dapat bersifat seumur hidup, dimana virus berdiam di jaringan saraf, pada ganglia dorsalis.1 Infeksi HSV tipe 2 yang sering menyebabkan herpes genitalis, biasanya dihubungkan dengan aktivitas seksual yang sering berganti-ganti pasangan, sehingga infeksi HSV tipe 2 ini akan banyak terjadi pada golongan umur yang tinggi aktivitas seksual, yaitu pada golongan umur 20-30 tahun. Di Amerika Serikat, satu dari empat sampai 5 pasien dewasa memberi hasil pemeriksaan serologi HSV-2 yang positif atau sekitar 21-25%. Sedangkan pada usia remaja, prevalensi HSV tipe 2 adalah 12-15%. Secara global, infeksi HSV-2 ditemukan pada 13-40% pasien. Sebagian besar pasien dengan serologi positif tidak memberikan tanda maupun gejala apapun, tetapi mampu menyebarkan infeksi kepada orang lain.2,3 Penyakit ini tersebar kosmopolit dan menyerang baik pria maupun wanita dengan frekuensi yang tidak begitu berbeda. Sekitar 50 juta penduduk di Amerika Serikat menderita infeksi HSV pada usia 12 tahun atau lebih. Infeksi primer oleh virus herpes simpleks (HSV) tipe I biasanya dimulai pada usia anak-anak, sedangkan infeksi HSV tipe II biasanya terjadi pada dekade II atau III, dan berhubungan dengan peningkatan aktifitas seksual. Penyebab utama dari infeksi herpes pada genitalia adalah herpes simpleks virus tipe 2 (HSV-2), tetapi 10% dari kasus juga ditemukan infeksi HSV-1 yang disebabkan oleh hubungan seksual secara orogenital.1-2



1



Virus herpes simpleks merupakan virus herpes hominis yang merupakan virus DNA. Pembagian tipe 1 dan 2 berdasarkan karakteristik pertumbuhan pada media kultur, antigenic marker, dan lokasi klinis (predileksi). HSV tipe 1 biasanya menjadi penyebab herpes labialis yang menyerang daerah pinggang ke atas, terutama daerah mulut dan hidung, sedangkan HSV tipe 2 biasanya menjadi penyebab herpes genitalis yang menyerang daerah pinggang ke bawah, terutama daerah genital.2 Masa inkubasi herpes genitalis adalah 2-20 hari. Infeksi primernya dapat bersifat asimptomatik. Gejala prodormalnya berupa rasa panas (terbakar) atau gatal. Lesinya berupa vesikel, erosi, ulkus dangkal berkelompok, dengan dasar eritematous. Dapat disertai dengan adanya disuria, duh vagina atau uretra, atau pembesaran kelenjar limfe regional. Pasien lebih sering datang dalam keadaan lesi berupa ulkus atau berkrusta. Pembentukan lesi baru masih berlangsung selama 10 hari dan berakhir dalam waktu 12-21 hari. Dapat juga disertai dengan keluhan sistemik seperti demam, nyeri kepala, malaise, dan mialgia.4,6 Infeksi HSV berlangsung dalam 3 tingkat, yaitu infeksi primer, fase laten, dan infeksi rekurens. Infeksi primer memiliki empat predileksi HSV tipe I di daerah pinggang ke atas terutama di daerah mulut dan hidung, biasanya dimulai pada usia anak-anak. Inokulasi dapat terjadi secara kebetulan, misalnya kontak kulit pada perawat, dokter gigi, atau pada orang yang sering menggigit jari (herpetic Whitlow). Virus ini juga sebagai penyebab herpes ensefalitis. Infeksi primer oleh HSV tipe II mempunyai tempat predileksi di daerah pinggang ke bawah, terutama di daerah genital, juga dapat menyebabkan herpes meningitis dan infeksi neonatus.2 Daerah predileksi ini sering kacau karena adanya cara hubungan seksual seperti orogenital, sehingga herpes yang terdapat di daerah genital kadang-kadang disebabkan oleh HSV tipe I sedangkan di daerah mulut dan rongga mulut dapat disebabkan HSV tipe II.1,3



2



Infeksi primer berlangsung lebih lama dan lebih berat, kira-kira 3 minggu dan sering disertai gejala sistemik, misalnya demam, malaise, dan anoreksia, dan dapat ditemukan pembengkakan kelenjar getah bening regional.2 Kelainan klinis yang dijumpai berupa vesikel yang berkelompok di atas kulit yang sembab dan eritematosa, berisi cairan jernih dan kemudian menjadi seropurulen, dapat menjadi krusta dan kadang-kadang mengalami ulserasi yang dangkal, biasanya sembuh tanpa sikatriks. Pada perabaan tidak terdapat indurasi. Kadang-kadang dapat timbul infeksi sekunder sehingga memberi gambaran yang tidak jelas. Umumnya didapati pada orang yang kekurangan antibodi virus herpes simpleks. Pada wanita ada laporan yang mengatakan bahwa 80% infeksi VHS pada genitalia eksterna disertai infeksi pada serviks.2 Fase laten, fase ini berarti pada penderita tidak ditemukan gejala klinis, tetapi HSV dapat ditemukan dalam keadaan tidak aktif pada ganglion dorsalis.2 Infeksi rekuren, infeksi ini berarti HSV pada ganglion dorsalis yang dalam keadaan tidak aktif, dengan mekanisme pacu menjadi aktif dan mencapai kulit sehingga menmbulkan gejala klinis. Mekanisme pacu itu dapat berupa trauma fisik (demam, infeksi, kurang tidur, hubungan seksual, dan sebagainya), trauma psikis (gangguan emosional, menstruasi), dan dapat pula timbul akibat jenis makanan dan minuman yang merangsang.2 Gejala klinis yang timbul lebih ringan daripada infeksi primer dan berlangsung kirakira 7-10 hari. Sering ditemukan gejala prodromal lokal sebelum timbul vesikel berupa rasa panas, gatal, dan nyeri. Infeksi rekurens ini dapat timbul pada tempat yang sama (loco) atau tempat lain/tempat di sekitarnya (non loco).1-3 Infeksi HSV tipe 2, yang sering menyebabkan herpes genitalis, biasanya dihubungkan dengan aktivitas seksual yang sering berganti-ganti pasangan, sehingga infeksi HSV tipe 2 ini



3



akan banyak terjadi pada golongan umur yang tinggi aktivitas seksual, yaitu pada golongan umur 20-30 tahun. Di Amerika Serikat, satu dari 4-5 pasien dewasa memberi hasil pemeriksaan serologi HSV-2 yang positif atau sekitar 21-25%. Sedangkan pada usia remaja, prevalensi HSV tipe 2 adalah 12-15%. Secara global, infeksi HSV-2 ditemukan pada 13-40% pasien. Sebagian besar pasien dengan serologi positif tidak memberikan tanda maupun gejala apapun, tetapi mampu menyebarkan infeksi kepada orang lain. Dari skrining yang di lakukan pada perempuan yang datang di klinik-klinik KIA, obstetrik dan ginekologi serta penyakit menular seksual. Faktor-faktor yang secara independen berhubungan adalah pemakaian kontrasepsi apa saja, ulkus genital, dan mulai melakukan hubungan seksual pada usia muda2,3, Penularan herpes genitalis terjadi melalui kontak langsung dengan sumber infeksi. Penularan hampir selalu melalui hubungan seksual baik genitogenital, anogenital maupun orogenital. Setelah virus masuk ke dalam tubuh hospes, virus akan memperbanyak diri (replikasi) dan menimbulkan kelainan pada kulit. Pada infeksi primer pada hospes belum terbentuk antibodi spesifik. Keadaan ini dapat mengakibatkan timbulnya lesi pada daerah yang luas dengan gejala yang berat. Selanjutnya melalui serabut saraf sensorik, virus menuju ganglion saraf sakralis, berdiam diri di sana dan bersifat laten. Bila ada faktor pencetus (trigger factor) virus akan mengalami reaktivasi dan bermultiplikasi kembali sehingga terjadi infeksi rekuren. Faktor pencetusnya antara lain adalah trauma atau koitus berlebihan, demam, stres fisik atau emosi, gangguan pencernaan, alergi makanan dan obat-obatan dan beberapa kasus tidak diketahui dengan jelas penyebabnya.4,5 Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan tes Tzank. Pada tes Tzank dengan pengecatan giemsa atau wright akan terlihat sel raksasa berinti banyak. Pada keadaan tidak ada lesi dapat dilakukan pemeriksaan serologik antibodi yaitu IgM dan IgG terhadap HSV-1 dan HSV-2.1,3



4



Komplikasi yang timbul pada penyakit herpes genitalis antara lain neuralgia, retensi urin, meningitis dan infeksi anal. Sedangkan komplikasi pada kehamilan dapat menyebabkan abortus pada kehamilan trimester pertama, partus prematur dan pertumbuhan janin terhambat pada trimester kedua kehamilan dan pada neonatus dapat terjadi lesi kulit, ensefalitis, makrosefali dan keratokonjungtivitis.6 Sampai saat ini belum ada pengobatan yang dapat mencegah episode rekuren secara tuntas. Pada lesi yang dini dapat digunakan obat topikal berupa salap/krim yang mengandung preparat idosuridin (stoxil, viruguent, virunguent-P) dengan cara aplikasi, yang sering dengan interval beberapa jam. Preaparat asiklovir (zovirax) yang di pakai secara topical tampaknya memberikan masa depan yang lebih cerah. Asiklovir ini cara kerjanya menghambat replikasi DNA virus. Klinis hanya bermanfaat bila penyakit sedang aktif. Jika timbul ulserasi dapat dilakukan kompres. Pengobatan oral berupa preparat asiklovir tampaknya memberikan hasil yang lebih baik, penyakit berlangsung lebih singkat dan masa rekurensnya lebih panjang. Dosisnya 5x200 mg sehari selama 5 hari. Pengobatan paraenteral dengan asiklovir terutama ditujukan kepada penyakit yang lebih berat atau jika timbul komplikasi apada alat dalam. Begitu pula dengan preparat adenine arabinosid (vitarabin). Interferon sebuah preparat glikoprotein yang dapat menghambat reproduksi virus juga dapat dipakai secara paraentera. Untuk mencegah rekurens macam-macam usaha yang dilakukan dengan tujuan meningkatkan imunitas seluler, misalnya pemberian preparat lupidon H (untuk VHS tipe I) dan lupidon G (untuk VHS tipe II) dalam satu seri pengobatan. Pemberian levamisol dan isoprinosin atau asiklovir secara berkala menurut beberapa penyelidik memberikan hasil yang baik. Efek levamisol dan isoprinosin ialah sebagai imunostimulator. Pemberian vaksin cacar sekarang tidak dianut lagi 1,4,6



5



Bila pada kehamilan timbul herpes genitalis, perlu mendapat perhatian yang serius, karena melalui plasenta virus dapat sampai ke sirkulasi fetal serta dapat menimbulkan kerusakan atau kematian pada anin. Infeksi neonatal mempunyai angka mortalitas 60%, separuh dari yang hidup, menderita cacat neurologic atau kelainan pada mata. Kelainan yang timbul pada bayi dapat beerupa ensefalitis, keratokonjungtivitis, atau hepatitis; di samping itu dapat juga timbul lesi pada kulit. Beberapa ahli kandungan mengambil sikap partus secara seksio caesaria, bila pada saat melahirkan sang ibu menderita infeksi ini. Tindakan ini sebaiknya dilakukan sebelum ketuban pecah atau paling lambat enam jam setelah ketuban pecah.3 Kematian oleh infeksi HSV jarang terjadi. Infeksi inisial dini yang segera diobati mempunyai prognosis baik, sedangkan infeksi rekuren hanya dapat dibatasi frekuensi kambuhnya. Prognosis juga sangat bergantung pada imunitas pasien. Pada orang dengan gangguan imunitas, infeksi ini dapat menyebabkan komplikasi yang berat. 6



B. LAPORAN KASUS 1. Identitas  Nama  Usia  Jenis Kelamin  Suku Bangsa  Status Pernikahan  Pekerjaan  Alamat  Tgl.Pemeriksaan



: Ny. R : 21 tahun : Perempuan : Rahaa : Menikah : Mahasiswi : Gunung Jati : 14 april 2014



2. Anamnesis



6



Keluhan utama: Gatal dan nyeri pada daerah kemaluan yang di rasakan sejak 4 hari sebelum berobat ke poli penyakit kulit dan kelamin RSUD Abunawas Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien datang dengan keluhan gatal, nyeri, panas seperti terbakar di daerah kemaluan sejak 1 minggu yang lalu dan memberat sekitar 4 hari belakangan ini, Awalnya pasien merasa panas seperti terbakar, gatal dan nyeri pada kemaluannya, lalu muncul bintil-bintil kecil seperti jerawat, lunak dan berisi cairan jernih pada permukaan yang kemerahan. Pasien juga mengeluh demam sekitar 6 hari sebelumnya. Pasien pernah mengalami gejala yang sama sekitar 5 bulan yang lalu dan sembuh sendiri tanpa diobati. Pasien mengakui akhir-akhir ini banyak pikiran dan kurang istirahat, selain itu pasien juga mengeluhkan sering keputihan yang berwarna kekuningan dengan bau yang menyengat. Riwayat nyeri saat kencing (+), nyeri saat berhubungan seksual (+) sejak 4 hari yang lalu. Riwayat keluar nanah dari kelamin (-). Riwayat kontak : pasien menyangkal kebiasaan bergonta-ganti pasangan dan suami pasien tidak mengalami hal yang sama. Riwayat penyakit sebelumnya : pasien pernah mengalami gejala yang sama 5 bulan yang lalu, tetapi membaik tanpa diobati. Riwayat keluarga : Tidak ada keluarga dengan keluhan yang sama



3. Pemeriksaan Fisik a. Status Dermatologis  Regio Genital  Pada tanggal 14 april 2014 Efloresensi : tampak vesikula berkelompok dengan dasar eritematous, berbatas tidak tegas, vesikula berisi cairan jernih, kulit diantara lesi tampak 



normal (Gambar A). Pada tanggal 20 april 2014 7



Efloresensi : tampak macula dengan dasar yang eritematous (Gambar B)



Gambar A. Hari pertama pada saat pasien berobat



Gambar B. Hari ketujuh setelah pengobatan



4. 5. 6. 7.



b. Status Generalis Keadaan Umum : Sakit Ringan, Compos Mentis Tanda Vital : tidak di lakukan pemeriksaan Kepala – Leher : anemis -|-, ikterik -|- , pembesaran kelenjar leher (-) Thoraks : tidak dilakukan pemeriksaan Abdomen : tidak dilakukan pemeriksaan Ekstremitas : edema (-) Diagnosis Kerja Herpes simpleks genitalis + Flour Albus Diagnosis Banding a. Ulkus molle b. Folikulitis Pemeriksaan Penunjang Tidak di lakukan pemeriksaan Terapi - Valasiklovir 8



- Methyl Prednisolon - Anti Oksidan 8. Saran a. Pasien dianjurkan untuk tidak melakukan hubungan seks sejak mulai timbul keluhan sampai sembuh b. Tidak berganti-ganti pasangan c. Menggunakan pengaman saat berhubungan seksual d. Mengendalikan stress dan istirahat yang teratur



C. DISKUSI 1. Resume Ny. R/21thn/kendari datang dengan keluhan gatal dan nyeri pada daerah kemaluan yang di rasakan sejak 4 hari. Sebelumnya di awali dengan rasa sakit seperti terbakar, gatal dan nyeri pada kemaluannya, lalu muncul bintil-bintil kecil seperti jerawat, lunak dan berisi cairan jernih dipermukaan kulit yang kemerahan, ada riwayat demam 6 hari yang lalu, pasien pernah mengalami gejala sama sekitar 5 bulan yang lalu yang sembuh sendiri tanpa diobati, akhir-akhir ini pasien merasa banyak pikiran dan kurang istirahat, juga disertai riwayat keputihan yang berwarna kekuningan dengan bau yang menyengat, riwayat nyeri saat kencing (+), nyeri saat berhubungan seksual (+) sejak 4 hari yang lalu. Dari pemeriksaan fisik, pada Regio Genital di dapatkan vesikula berkelompok dengan dasar eritematous, berbatas tidak tegas, vesikula berisi cairan jernih, kulit diantara lesi tampak normal 2. Pembahasan Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pasien ini didiagnosa herpes simpleks genitalis. Pasien ini memenuhi kriteria dari herpes herpes genitalis rekuren, lesinya lebih sedikit dan lebih ringan, bersifat lokal, unilateral, dan berlangsung lebih singkat. Gejala yang biasanya muncul adalah rasa gatal, rasa terbakar, adanya fisura, kemerahan dan iritasi sebelum munculnya vesikel. 9



Pada sebagian besar individu dengan herpes genitalis rekuren, tidak ditemukan lesi klasik herpes (vesikel yang menggerombol).3 Pada pasien ini juga di dapatkan keputihan (Flour Albus) yang patologik hal ini erat kaitanya dengan infeksi herpes simpleks genitalis yang di derita pasien. Pada keadaan normal lingkungan vagina ditandai adanya suatu hubungan yang dinamis antara Lactobacillus acidophilus dengan flora endogen lain, estrogen, glikogen, pH vagina dan hasil metabolit lain. Lactobacillus acidophilus menghasilkan endogen peroksida yang toksik terhadap bakteri pathogen. Karena aksi dari estrogen pada epitel vagina, produksi glikogen, lactobacillus (Doderlein) dan produksi asam laktat yang menghasilkan pH vagina yang rendah sampai 3,8-4,5 dan pada level ini dapat menghambat pertumbuhan bakteri lain, tetapi pada keadaan infeksi herpes simpleks genitalis keseimbangan ini mulai berkurang di akibatkan oleh aktivitas virus sehingga rentan terjadi keputihan.4 Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah tes tzank dengan memeriksa cairan dari dalam vesikel. Pada tes Tzank dengan pengecatan giemsa atau wright akan terlihat sel raksasa berinti banyak (sel Datia). Pada keadaan tidak ada lesi dapat dilakukan pemeriksaan serologik antibodi yaitu IgM dan IgG terhadap HSV-1 dan HSV-2. Pada kasus ini tidak di lakukan tes tzank di karenakan fasilitas yang kurang memadai. Ulkus pada herpes simplek dibedakan dengan ulkus molle dan folikulitis. Pada ulkus molle ulkus memiliki ciri-ciri : kecil, lunak pada perabaan, tidak terdapat indurasi, berbentuk cawan, pinggir tidak rata, sering bergaung dan dikelilingi halo yang eritrmatosa. Ulkus sering tertutup jaringan nekrotik, dasar ulkus berupa jaringan granulasi yang mudah berdarah, dan pada perabaan terasa nyeri. Sedangkan pada



10



folikulitis kelainan berupa papul atau pustul yang eritematosa dan di tengahnya terdapat rambut biasanya multiple. Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang disimpulkan



diagnosis



pasien ini adalah herpes simpleks genitalis. Terapi yang diberikan untuk pasien adalah valacyclovir, methyl prednisolone dan anti oksidan. Alasan pemberian valacyclovir adalah valacyclovir merupakan L-valil ester dari asiklovir, valasiklovir cepat di ubah menjadi asiklovir setelah pemberian oral melalui saluran cerna dan metabolisme lintas pertama di hati sehingga kadarnya dalam serum lebih besar tiga hingga lima kali daripada kadar yang di capai dengan asiklovir oral dan hampir menyamai kadar serum pada pemberian asiklovir intravena.7 Cara kerja valasiklovir sama dengan asiklovir yakni melalu tiga tahap fosforilasi agar menjadi aktif. Asiklovir di ubah pertama kali menjadi turunan monofosfat oleh timidin kinase yang spesifik untuk virus, dan kemudian menjadi senyawa di- dan trifosfat oleh enzim sel pejamu. Karena membutuhkan kinase virus untuk memulai fosforilasi awalnya, asiklovir diaktifkan secara selektif sehingga metabolit aktifnya hanya berkumpul dalam sel yang terinfeksi. Asiklovir trifosfat menghambat sintesis DNA virus melalui dua mekanisme: kompetisi dengan deoksiGTP untuk mendapatkan DNA polymerase virus sehingga berikatan dengan cetakan DNA sebagai suatu kompleks yang irreversible; dan terrminasi rantai setelah bergabung dengan DNA virus.7 Terapi kedua pada pasien ini di berikan metil prednisolon. Metil prednisolon adalah suatu glukokortikoid sintetik dan diabsorpsi secara cepat melalui saluran pencernaan. Methil prednisolon bekerja dengan menduduki reseptor spesifik dalam sitoplasma sel yang responsif. Ikatan steroid-reseptor ini lalu berikatan dengan DNA yang kemudian mempengaruhi sintesis berbagai protein. Beberapa efek penting yang 11



timbul akibat ini yaitu berkurangnya produksi prostaglandin dan leukotrien, berkurangnya degranulasi mast cell, berkurangnya sintesis kolagen dan lain-lain.7 Terapi yang terakhir adalah pemberian anti oksidan, Antioksidan merupakan zat yang mampu memperlambat atau mencegah proses oksidasi. Antioksidan juga didefinisikan sebagai senyawa-senyawa yang melindungi sel dari efek berbahaya radikal bebas oksigen reaktif jika berkaitan dengan penyakit, radikal bebas ini dapat berasal dari metabolisme tubuh maupun faktor eksternal lainnya. Radikal bebas adalah spesies yang tidak stabil karena memiliki elektron yang tidak berpasangan dan mencari pasangan elektron dalam makromolekul biologi. Protein lipid dan DNA dari sel manusia yang sehat merupakan sumber pasangan elektron yang baik. Kondisi oksidasi dapat menyebabkan kerusakan protein dan DNA, kanker, penuaan, dan penyakit lainnya.



Selama ini pencegahan rekurens masih merupakan problem, hal tersebut secara psikologik akan memberatkan penderita. Pengobatan secara dini dan tepat akan memberi prognosis yang lebih baik, yakni masa penyakit berlangsung lebih singkat dan rekurensi lebih jarang.1 Pada orang dengan gangguan imunitas, misalnya pada penyakit-penyakit dengan tumor di sistem retikuloendotelial, pengobatan dengan imunosupresan yang lama atau fisik yang sangat lemah, menyebabkan infeksi ini dapat menyebar ke alatalat dalam dan dapat fatal. Prognosis akan lebih baik seiring dengan meningkatnya usia seperti pada orang dewasa.1



12



Daftar Pustaka 1. Adi, Sudigdo.,dkk. 2004. Standar Pelayanan Medik Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FKUI/RSCM. 2. Handoko RP. Herpes Simpleks. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Ke-5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008. Hal. 381-3. 3. Hidayah, Gita Nurul. 2010. Tatalaksana Herpes Simpleks Genitalis pada Kehamilan.



Artikel Konsep Edisi No 06 Vol XXXVI. Online (www.jurnalmedika.com. Diakses tanggal 15 Apri 2014) 4. Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T, et al. Herpes Genitalis. Dalam: Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T, et al. Ilmu Kandungan. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2008. Hal 273-4. 5. Murtiastutik, Dwi., dkk. 2005. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Surabaya : Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. 6. Fitzpatrick TB, Johnson RA, Wolff K, et al. Herpes Simplex. In: Fitzpatrick TB, Johnson RA, Wolff K, et al. Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology. Third Edition. USA: McGraw Hill Companies Inc.: 1997.



13



7. Katzung, Bertram G. 2002. Basic and Clinical Farmacology ed. 3. Penerjemah: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Penerbit Salemba Medika



14