Herpes Simpleks [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

HERPES SIMPLEKS



KARYA TULIS ILMIAH SARJANA PERIODE 2016/2017



Oleh : ASMANDA NUR AGUNG 0120840033



FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS CENDERAWASIH JAYAPURA



2016/2017



HERPES SIMPLEKS



KARYA TULIS ILMIAH SARJANA PERIODE 2016/2017



Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Mencapai Gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked)



Oleh : ASMANDA NUR AGUNG 0120840033



Dosen Pembimbing: Pembimbing I : dr. Mario Simamora, Sp. An Pembimbing II : dr. Desy K. Balalimbong



FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS CENDERAWASIH JAYAPURA 2016/2017



i



HALAMAN PENGESAHAN



Telah di setujui, diperiksa dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih Jayapura, Untuk memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked)



Pada Hari



:



Tanggal



: Mengesahkan Panitia Ujian Karya Tulis Ilmiah Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih



Ketua



Sekretaris



dr. Ferdinant M. Djawa, Sp.PA NIP. 19661030 200501 1 001



Venthy Angelika, S.Psi., M.A NIP. 19870926 201504 2 003



ii



HALAMAN PERSEMBAHAN



Saya persembahkan ucapan syukur bagi Allah SWT tuhan pencipta alam semesta beserta isinya yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya.



Untuk keluargaku tersayang: Bapak Sukatemin, Mamak Nyarini, Nada, dan Zamzam.



Terima



mendoakan ku



iii



kasih



telah



mencintai



dan



KATA PENGANTAR Segala Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas karunia dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah yang berjudul “Herpes Simpleks” tepat pada waktunya. Karya tulis ilmiah ini diajukan untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar sarjana Kedokteran (S.Ked) Bersamaan dengan ini penulis mengucapkan terima kasih sebesar – besarnya kepada : 1.



Dr. Onesimus Sahuleka, S.H., M Hum sebagai Rektor Universitas Cenderawasih atas kesempatan dan fasilitas yang telah diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan karya tulis ini.



2.



dr. Trajanus L. Jembise, Sp.B sebagai Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih atas waktu, petunjuk dan bimbingannya.



3.



dr. Mario Simamora, Sp.An sebagai dosen pembimbing I atas waktu, petunjuk, bimbingan, dan saran kepada penulis.



4.



dr. Desy K. Balalimbong sebagai dosen pembimbing II atas waktu, petunjuk, bimbingan serta saran kepada penulis.



5.



dr. Astrina R. I. Sidabutar sebagai Dosen Wali, atas segala bimbingan, saran dan petunjuk selama penulis berada di bangku kuliah.



6.



Kedua orang tua dan adik-adikku tercinta yang selalu memberikan dukungan, doa dan kasih sayang.



7.



Seluruh dosen FK maupun dari Fakultas lain di Lingkungan UNCEN yang telah membekali saya dengan ilmu-ilmu mereka selama ini



8.



Ucapan



terimakasih



untuk



Irwan



Romadhoniansyah,



Achmad



Nur



Affendick, Rachmawan Wijaya, Yogi Haryanto, Eres Triasyah, Irwansyah Abdullah Senoaji, Galuh Decca Sari Setyowati Wahyudi dan Aprilliyanti



iv



Beni Abdullah, yang telah ikut berperan dalam membantu penyusunan KTI ini. 9.



Teruntuk Sri Irianti, terimakasih atas sumbangan semangat dan masukan komentarnya dan juga untuk Ibu Asbah Bahar yang juga turut memberi semangat dan dukungan.



10.



Teman-teman FK angkatan 11 (Tahun 2012) yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, terima kasih atas doa, dukungan, dan kebersamaan kita selama masa-masa kuliah.



11.



Semua pihak yang turut membantu dalam penyusunan KTI ini yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Penulis juga menyadari bahwa penulisan karya tulis ilmiah ini masih jauh dari



sempurna, oleh karena itu penulis sangat pengharapkan segala masukan serta kritik dan saran yang membangun demi sempurnanya tulisan ini. Penulis berharap semoga karya tulis ilmiah ini bermanfaat bagi pihak – pihak yang terkait.



Jayapura, 14 Juli 2017



Penulis



v



DAFTAR ISI



HALAMAN JUDUL .................................................................................... i HALAMAN PENGESAHAN....................................................................... ii HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................... iii KATA PENGANTAR ................................................................................. iv DAFTAR ISI .............................................................................................. vi DAFTAR GAMBAR ................................................................................... viii DAFTAR SINGKATAN .............................................................................. ix BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ................................................................. 1 1.2 Rumusan Masalah ............................................................ 2 1.3 Tujuan Penulisan .............................................................. 3 1.3.1 Tujuan Umum .......................................................... 3 1.3.2 Tujuan Khusus ......................................................... 3 1.4 Manfaat Penulisan ............................................................ 4 BAB II ISI 2.1 Definisi .............................................................................. 5 2.2 Epidemiologi ..................................................................... 9 2.3 Etiologi .............................................................................. 11 2.3.1



Patogenesis ........................................................... 12



2.3.2



Patofisiologi ........................................................... 15



2.4 Gejala Klinis...................................................................... 15 2.5 Penegakan Diagnosis ....................................................... 17 2.5.1 Anamnesa ............................................................. 18 2.5.2 Pemeriksaan Fisik ................................................. 19 2.5.3 Pemeriksaan Penunjang ....................................... 19 2.6 Diagnosis Banding ............................................................ 21 2.7 Komplikasi ........................................................................ 23 2.8 Penatalaksanaan .............................................................. 24



vi



2.8.1 Non Farmakoterapi ................................................. 25 2.8.2 Farmakoterapi ......................................................... 25 2.9 Prognosis ......................................................................... 29 2.10 Edukasi ......................................................................... 29 2.11 Pencegahan ................................................................... 29 BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan ....................................................................... 31 3.2 Saran ................................................................................ 33 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 35



vii



DAFTAR GAMBAR



Gambar 1. infeksi herpes simpleks tipe 1 pada bibir bagian bawah ................. 7 Gambar 2. Infeksi virus herpes simpleks pada organ genital pria .................... 7 Gambar 3. Infeksi virus herpes simpleks pada organ genital wanita ................ 8 Gambar 4. Struktur mikroskopik virus herpes simpleks .................................... 11 Gambar 5. Struktur mikroskopik virus herpes simpleks .................................... 13 Gambar 6. Vesiko bulosa, timbul vesikel dan bula berisi cairan kekuningan .... 21 Gambar 7. Infeksi ulkus mole pada daerah genital pria....................... ............. 22



viii



DAFTAR SINGKATAN



HSV



:



Herpes Simplex Virus



HSV-1



:



Herpes Simplex Virus Type 1



HSV-2



:



Herpes Simplex Virus Type 2



DNA



:



Deoxyribo Nucleic Acid



gB



:



Glycoprotein Type B



gC



:



Glycoprotein Type C



gD



:



Glycoprotein Type D



gE



:



Glycoprotein Type E



gG



:



Glycoprotein Type G



gH



:



Glycoprotein Type H



gI



:



Glycoprotein Type I



gT



:



Glycoprotein Type T



gK



:



Glycoprotein Type K



gM



:



Glycoprotein Type M



gN



:



Glycoprotein Type N



G-1



:



Glycoprotein Type 1



ix



G-2



:



Glycoprotein Type 2



PMS



:



Penyakit Menular Seksual



PCR



:



Polymerase Chain Reaction



SSP



:



Sistem Saraf Pusat



x



BAB I PENDAHULUAN



1.1



Latar Belakang Penyakit



herpes



simpleks



merupakan



penyakit



menular



yang



disebabkan oleh virus herpes simpleks (HSV). Hingga kini herpes simpleks menjadi salah satu penyakit menular yang sering di jumpai di masyarakat dan bersifat sangat infeksius. Penyembuhan herpes simpleks belum bisa secara tuntas, karena dapat kambuh ketika sistem kekebalan tubuh seseorang



yang



terinfeksi



immunocompromised. Penyakit beberapa faktor



diantaranya



menurun



atau



dalam



keadaan



ini semakin meningkat dipicu oleh oleh karena rendahnya



pengetahuan



masyarakat mengenai penyakit herpes simpleks itu sendiri dan juga karena perilaku seks yang menyimpang (Fatmuji, 2012:12). Terdapat dua tipe virus herpes simpleks, yaitu herpes simpleks virus tipe 1 (herpes labial) atau yang di singkat HSV-1 dan herpes simpleks virus tipe 2 (herpes genital) atau biasa di singkat HSV-2 (Hadisaputro, 2014:739). Prevalensi penyakit ini lebih tinggi pada wanita dibandingkan pada pria dan umumnya lebih tinggi di negara berkembang daripada di negara maju. Di Indonesia diperoleh prevalensi penderita herpes simpleks khususnya di rumah sakit umum daerah Tangerang periode tanggal 1 januari 2010 hingga 31 desember 2011 adalah 6,22%. Distribusi penderita berjenis kelamin laki-laki (48,6%) dan perempuan (51,4%). Distribusi penderita herpes simpleks terbanyak terdapat pada kelompok usia 23-27 tahun (31,4%), lulusan SMA (38,6%), dan tidak bekerja (35,7%) (Fatmuji, 2012:vii). Pada neonatal, infeksi dapat berbahaya, karena mengakibatkan mortalitas sekitar 54% (Hadisaputro, 2014:739). Dari segi ekonomi, infeksi



1



2



herpes neonatal dikatakan sebagai kondisi yang mahal karena biasanya melibatkan perawatan di rumah sakit, pemantauan intensif, terapi obat intravena, pengujian laboratorium yang luas, dan sering mengakibatkan biaya jangka panjang yang berhubungan dengan cacat akibat gejala sisa neurologis yang cukup parah (Looker, et al, 2017:300). Penyakit yang disebabkan oleh virus herpes simpleks ini termasuk kategori infeksi akut. Kesadaran masyarakat akan infeksi virus ini masih sangatlah rendah sehingga pentingnya pencegahan dan juga edukasi dari petugas kesehatan, terutama seorang dokter, sangatlah penting. Karena penyakit herpes simpleks tidak dapat disembuhkan dan bersifat kambuhan, maka terapi sekarang difokuskan untuk menurunkan gejala yang ada (Panduan Praktis Klinis Bagi Dokter, 2014:431). Herpes simpleks dalam Standar Kompetensi Dokter Indonesia masuk dalam tingkat kemampuan 4A yaitu tentang infeksi virus, yang artinya bahwa lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas. Penulis melakukan literatur review dari text book dan jurnal tentang penyakit infeksi dari herpes simpleks virus agar dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi para mahasiswa kedokteran yang menjalani studi tahap profesi, menambah wawasan bagi masyarakat dan juga sebagai tambahan literatur bagi teman-teman yang membutuhkan informasi mengenai penyakit yang di sebabkan oleh virus herpes simpleks. Herpes simpleks merupakan salah satu penyakit tropis, sehingga penulisan karya tulis ilmiah ini berguna untuk dapat menunjang visi dari Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih yaitu menjadi Fakultas Kedokteran yang berakreditas A dan unggul dalam bidang tropis.



3



1.2



Rumusan Masalah 1.



Apakah definisi dari herpes simpleks?



2.



Bagaimanakah epidemiologi dari herpes simpleks?



3.



Apakah etiologi dari herpes simpleks?



4.



Apakah gejala klinis dari herpes simpleks?



5.



Bagaimanakah diagnosis dari herpes simpleks?



6.



Apakah diagnosis banding dari herpes simpleks?



7.



Apakah komplikasi dari herpes simpleks?



8.



Bagaimanakah penatalaksanaan dari herpes simpleks?



9.



Bagaimanakah prognosis dari herpes simpleks?



10. Bagaimanakah edukasi untuk penderita herpes simpleks? 11. Bagaimanakah cara pencegahan dari herpes simpleks?



1.3



Tujuan Penulisan



1.3.1 Tujuan Umum Karya tulis ilmiah (KTI) ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana kedokteran (S.Ked). 1.3.2 Tujuan Khusus 1.



Untuk mengetahui dan memahami definisi herpes simpleks.



2.



Untuk



mengetahui



dan



memahami



epidemiologi



herpes



simpleks. 3.



Untuk mengetahui dan memahami etiologi herpes simpleks.



4.



Untuk mengetahui dan memahami gejala klinis virus herpes simpleks.



4



5.



Untuk mengetahui dan memahami penegakan diagnosis dari herpes simpleks.



6.



Untuk mengetahui dan memahami diagnosis banding herpes simpleks.



7.



Untuk mengetahui dan memahami komplikasi yang terjadi pada penderita infeksi herpes simpleks



8.



Untuk mengetahui dan memahami penatalaksanaan pada herpes simpleks.



9.



Untuk mengetahui dan memahami prognosis herpes simpleks.



10. Untuk mengetahui dan memahami cara memberi edukasi kepada pasien. 11. Untuk mengetahui dan memahami cara pencegahan dari infeksi herpes simpleks 1.4



Manfaat Penulisan 1.



Merupakan pengalaman berharga bagi penulis dalam memperluas wawasan dan pengetahuan tentang herpes simpleks.



2.



Hasil penulisan ini diharapkan dapat memperkaya informasi bagi masyarakat mengenai herpes simpleks.



3.



Dapat menjadi bahan masukan dan tambahan bagi mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih yang membutuhkan literatur tentang herpes simpleks.



Sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah dan lembaga kesehatan untuk solusi dari permasalahan herpes simpleks.



BAB II ISI 2.1



Definisi Nama Herpesviruses berasal dari bahasa Yunani dari kata herpein yang berarti kain sutera tipis, merupakan golongan famili Herpesviridae. Lebih dari 100 virus herpes telah diisolasi dari berbagai macam hospes (host), diantaranya host mamalia, burung, ikan, reptil, binatang amfibi dan moluska. Delapan virus diantaranya terjadi pada manusia yang disebut Human Herpesviruses. Jenis virus yang dimaksud adalah virus herpes simpleks-1, virus herpes simpleks-2, virus varicella-zoster, virus EpsteinBahr, human cytomegalovirus, human herpesvirus 6, human herpes virus 7, dan Kaposi’s Sarcoma Associated Herpesvirus (Hadisaputro, 2014:739). Virus herpes simpleks atau yang disingkat dengan HSV, merupakan virus dengan ukuran yang sangat besar dengan diameter sekitar 120-200 nanomikron, dimana genomnya mengkode sedikitnya 80 jenis protein. Genom HSV juga mengkode beberapa jenis enzim, DNA-dependent, DNA polymerase, timidin kinase (berfungsi untuk fosforilasi timidin dan nukleosida



lainnya),



ribonukleotida



reduktase



(untuk



mengubah



ribonukleotida menjadi deoksiribonukleotida) dan serin protease (Radji, 2015:263). Asam deoksiribonukleat HSV-1 dan HSV-2 umumnya kolinear dan genom kedua virus ini adalah homolog, sehingga dapat terjadi reaksi silang antara glikoprotein VHS tipe 1 dan 2, meskipun masing-masing virus memiliki antigen tersendiri. Glikoprotein pada permukaan HSV sebagai perantara melekatnya HSV dan penetrasinya ke dalam sel pejamu sehingga merangsang respon imun (Yuliantini, 2013:169).



5



6



Virus masuk melalui permukaan mukosa kulit, sistem saraf pusat, dan mungkin terjadi pada organ viseral, selanjutnya dapat berkembang menjadi infeksi laten pada ujung saraf dorsal dan ganglia trigeminal. Infeksi virus tersebut menimbulkan sindroma klinik yang bervariasi, pada umumnya menginfeksi seorang anak dan dewasa sehat, tetapi dapat juga menginfeksi seseorang yang dalam keadaan immunocompromised, yang mengakibatkan keadaan penyakit menjadi berat (Hadisaputro, 2014:739). Virus herpes simpleks terdiri dari dua jenis virus, yaitu herpes simpleks tipe 1 (HSV-1) dan herpes simpleks tipe 2 (HSV-2). Virus herpes simpleks 1 dan 2 pertama kali menginfeksi sel epitel mukosa rongga mulut, genital dan kulit. Herpes simpleks virus dapat menyebabkan infeksi yang bersifat laten, dimana infeksi dan reaktivasi virus akan timbul saat sistem imun dalam tubuh



hospes



mengalami



penurunan,



atau



dalam



keadaan



immunocompromised, keadaan stres juga dapat menimbulkan kekambuhan dan dalam keadaan infeksi yang berat, komplikasi serius seperti ensefalitis dapat terjadi. Herpes simpleks tipe 1 ditularkan melalui oral terutama akibat kontak oral yang kemudian menyebabkan infeksi pada atau di sekitar mulut (herpes mulut). Kebanyakan infeksi HSV-1 diperoleh selama masa kanakkanak, dan merupakan infeksi seumur hidup. Infeksi HSV-1 disebut juga sebagai infeksi orolabial (oral-labial atau oral-wajah herpes), tetapi sebagian dari infeksi HSV-1 dapat ditularkan ke alat kelamin yang kemudian menjadi herpes genital (infeksi pada kelamin atau daerah anal). Tercatat bahwa HSV-1 merupakan penyebab herpes genital, terutama di negara berkembang akibat adanya perilaku seksual yang menyimpang. Herpes simpleks tipe 2 adalah penyebab infeksi menular seksual yang dapat menyebabkan infeksi di daerah kelamin atau dubur (herpes genital). Di berbagai negara penyebab paling umum dari ulkus genital adalah HSV-



7



2, yang diperkirakan infeksi terjadi di kalangan orang dewasa dan remaja berusia 15-49 tahun dengan tingkat tertinggi di antara kelompok usia yang lebih muda. Herpes simpleks tipe 2 juga merupakan infeksi seumur hidup. Kedua infeksi dari HSV-1 dan HSV-2 sebagian besar memiliki gejala yang asimtomatik, tetapi dapat juga menimbulkan gejala yang ringan atau lepuh pada kulit dan mukosa kulit yang terasa menyakitkan, juga berupa borok pada tempat terjadinya infeksi (World Health Organization, 2017:1).



Gambar 1. Infeksi herpes simpleks tipe 1 pada bibir bagian bawah (Dikutip dari: Radji, 2015:266).



Gambar 2. Infeksi virus herpes simpleks pada organ genital pria (Dikutip dari: Menaldi, 2015:533).



8



Gambar 3. Infeksi virus herpes simpleks pada organ genital wanita (Dikutip dari: Fatmuji, 2012:11).



Virus herpes simpleks (HSV) menghasilkan beberapa glikoprotein dalam sel yang terinfeksi. Sebelas glikoprotein telah diidentifikasi (gB, gC, gD, gE, gG, gH, gI, gJ, gK, gL, and gM), dan diduga gN sebagai yang ke-duabelas. Spesifisitas antigen virus yang ditentukan oleh gG yang menentukan perbedaan respon antibodi terhadap infeksi VHS tipe 1 dan 2 dimana glikoprotein tersebut berperan dalam fase penempelan virus pada reseptor sel hospes (Tri, 2012:169). Meskipun memiliki susunan genom yang sama, serta menunjukkan kesesuaian urutan substansi, tetapi secara serologi keduanya memiliki reaksi silang yang berbeda, juga adanya perbedaan glikoprotein yang spesifik dari HSV-2 (gG-2) dan glikoprotein spesifik untuk HSV-1 (gG-1) sehingga keduanya dapat diidentifikasi. Tes serologi untuk HSV yang secara akurat dapat membedakan antara HSV-1 dan HSV-2 sekarang telah tersedia secara luas. Tes ini dapat mendeteksi antibodi terhadap HSV glikoprotein G-1 dan G-2, yang mampu membangkitkan jenis respon antibodi spesifik. Teknologi yang semakin berkembang telah menghasilkan berbagai tes laboratorium terhadap HSV (Francis, 2015:3).



9



2.2



Epidemiologi Penyakit ini tersebar kosmopolit dan menyerang baik pria maupun wanita dengan frekuensi yang tidak berbeda. Prevalensi antibodi dari HSV1 pada sebuah populasi bergantung pada faktor-faktor seperti negara, kelas sosial ekonomi dan usia. HSV-1 umumnya ditemukan pada daerah oral pada usia anak-anak, terlebih pada kondisi sosial ekonomi terbelakang.



Adanya



kebiasaan,



orientasi



seksual



dan



gender



mempengaruhi HSV-1 untuk menginfeksi daerah genital dan berubah menjadi HSV-2 (Fatmuji, 2012:5). HSV tersebar dengan baik diseluruh dunia, dengan lebih dari 23 juta kasus baru per tahun. Data peningkatan seroprevalensi antibodi terhadap HSV-2 telah terkumpul di seluruh dunia (termasuk Amerika Serikat) selama 20 tahun terakhir. HSV adalah penyebab paling umum ulkus yang ditemukan pada kelamin baik pria maupun wanita di Amerika Serikat. HSV1 sering ditemukan pada masa kanak-kanak akibat kontak dengan sekret oral yang mengandung virus. Adanya HSV-2 diakibatkan karena tindakan yang berhubungan langsung dengan aktivitas seksual (Ayoade, 2017:1). Secara epidemiologi HSV-1 dan HSV-2 dapat menyebabkan infeksi mukosa oral dan genital, dimana penularannya tergantung pada cara kontak yang terjadi. Virus HSV dapat ditularkan melalui tangan dengan sentuhan



langsung



ke



organ



lainnya



termasuk



mata



dan organ



anogenitalia. HSV-2 biasanya ditularkan melalui hubungan seksual dan ditemukan pada anus, rektum, dan pada daerah genital. Bayi yang terinfeksi pada saat dilahirkan oleh ibu yang mengidap HSV-2, dapat berakibat fatal dan dapat menyebabkan kematian, karena sistem imun bayi belum berkembang dengan baik (Radji, 2015:267).



10



Penularan infeksi HSV terjadi tidak tergantung musim atau cuaca, dimana virus ini dapat bertahan dalam fase laten dalam tubuh hospes dan kemungkinan adanya infeksi ulangan. Ekskresi virus tertinggi pada pasien dengan lesi aktif, tetapi ekskresi virus juga dapat terjadi pada 15% pasien yang asimtomatik atau tanpa gejala. Reaktivasi infeksi genital HSV-2 lebih banyak



dibandingkan



HSV-1,



dan



umumnya



karena



rekurensi



(kekambuhan) herpes genital. Diperkirakan 30% pasien mengalami kekambuhan lebih dari 8-9 kali tiap tahun. Herpes neonatal terjadi sekitar 1 dalam 5.000 kelahiran di Amerika, pada beberapa daerah lain bahkan lebih tinggi. Sebagian besar anak (75%) terinfeksi dalam proses persalinan selama melewati traktus genitalis (Hadisaputro, 2014:740). Studi pada tahun 1990 menunjukkan bahwa HSV-1 lebih sering berhubungan dengan kelainan oral dan HSV-2 berhubungan dengan kelainan genital, atau dikatakan HSV-1 menyebabkan kelainan di atas pinggang dan HSV-2 menyebabkan kelainan di bawah pinggang. Tetapi didapatkan juga jumlah signifikan genital herpes 20-40% disebabkan HSV1. HSV-2 juga biasanya dapat menyebabkan kelainan oral, diduga karena meningkatnya kasus hubungan seks oral. Jarang didapatkan kelainan oral karena HSV-2 tanpa infeksi genital. Di Indonesia, sampai saat ini belum ada angka yang pasti, akan tetapi dari 13 rumah sakit pendidikan, herpes genitalis merupakan Penyakit Menular Seksual (PMS) dengan gejala ulkus genital yang paling sering dijumpai (Fatmuji, 2012:6). Pada neonatal, infeksi dapat berbahaya yang mengakibatkan mortalitas sekitar 54% (Hadisaputro, 2014:739). Dari segi ekonomi, infeksi herpes neonatal dikatakan sebagai kondisi yang mahal karena biasanya melibatkan perawatan di rumah sakit, pemantauan intensif, terapi obat



11



intravena,



dan



pengujian



laboratorium



yang



luas,



dan



sering



mengakibatkan biaya jangka panjang yang berhubungan dengan cacat akibat gejala sisa neurologis yang cukup parah (Looker, et al, 2017:300).



2.3



Etiologi Virus



herpes



simpleks merupakan golongan



Alphaherpesvirinae,



sebagai subfamily dari human herpesviruses bersama dengan virus varicella-zoster.



Semua



virus



herpes



pada



manusia



mempunyai



karakteristik enveloped double-stranded DNA viruses. HSV merupakan virus bentuk besar dengan inti berisi double-stranded DNA yang dilapisi oleh icosahedron dengan 162 capsomeres. Partikel lengkap diameternya sekitar 120-200 nanomikron. Virus masuk ke sel melalui fusi membran sel setelah menempel pada reseptor spesifik yaitu pembungkus glikoprotein. (Hadisaputro, 2014:740).



Gambar 4. Struktur mikroskopik virus herpes simpleks (Dikutip dari: Kukhanova 2014:1637).



12



Pada molekul HSV terdapat senyawa glikoprotein yang menonjol, strukturnya menyerupai paku, terdapat pada setiap virion dan melingkar penuh pada seluruh molekulnya. Nukleokapsid menempati posisi eksentrik (pada satu sisi virion) dan dekat dengan amplop, jaraknya 30-35 nm dari inti. Tegument adalah lapisan amorf dengan beberapa daerah terstruktur yang mengandung filamen berukuran 7 nm yang mengelilingi membran virus. Inti berisi double-stranded DNA yang dibungkus sebagai toroida (membentuk lingkaran). Tegument terdiri dari 26 protein, beberapa di antaranya berperan dalam transportasi kapsid ke nukleus dan organel lainnya, masuknya DNA virus ke dalam nukleus, pengaktifan transkripsi gen awal, penekanan biosintesis protein seluler, dan degradasi mRNA. Amplop luar virion terdiri dari lipid bilayer dan 11 glikoprotein (gB, gC, gD, gE, gG, gH, gI, gJ, gK). Fungsi glikoprotein dalam masuknya virus ke dalam sel sekarang dipelajari secara ekstensif (Kukhanova 2014:1637). 2.3.1



Patogenesis Infeksi tergantung pada paparan kontak pribadi dari individu seronegative



terhadap



individu



seropositive



yang



rentan



menularkan virus herpes simpleks. Untuk terjadinya penularan virus yaitu melalui sentuhan langsung pada permukaan mukosa atau kulit yang terkelupas kemudian virus akan melakukan replikasi di dalam tubuh hospes. Siklus hidup virus dapat dibagi menjadi beberapa langkah utama berikut: masuk ke sel inang, ekspresi gen virus, replikasi, perakitan virion, dan jalan keluar dari partikel virus generasi baru. Siklus ini membutuhkan waktu sekitar 18-20 jam. Sampai saat ini, telah diidentifikasi bagaimana cara masuk virus, yaitu dengan dua jalur masuk. Mekanisme jalur



13



utama yaitu dengan adanya interaksi antara amplop virus dengan membran plasma dan kemudian terjadinya pengangkutan kapsid virus ke inti. Tahap inti dari proses ini adalah interaksi antara glikoprotein pada permukaan virus dengan reseptor permukaan sel tertentu. Jalur tambahan dimana virus memasuki sel adalah endositosis dari virion yang diikuti oleh peleburan amplop dengan vesikula intraselular. Keterikatan virion ke permukaan sel di mediasi oleh glikoprotein virus C (gC) dan B (gB), yang berinteraksi dengan glikosaminoglikan permukaan sel. Interaksi antara empat glikoprotein, gD, gB, dan heterodimer gH / gL, diperlukan virus untuk masuk ke sel inang dengan peleburan amplop



luar



virus



dengan membran



plasma.



2014:1638).



Gambar 5. Daur hidup virus herpes simpleks (Dikutip dari: Kukhanova 2014:1638).



(Kukhanova



14



Setelah replikasi virus di lokasi infeksi primer, baik sebagai virion atau lebih sederhana, kapsid virus diangkut oleh neuron menuju ganglia dorsal akar. Setelah virus bereplikasi, infeksi laten dimulai. Semakin parah infeksi primer yang tergambar dari ukuran, jumlah, dan luasnya lesi, semakin besar kemungkinan untuk kambuh. Meskipun replikasi kadang-kadang asimtomatik, namun respon hospes terhadap virus dapat menyebabkan infeksi laten yang lebih mendominasi. Setelah infeksi laten terjadi, adanya stimulus yang tepat dapat menyebabkan virus aktif, kemudian dapat menjadi infeksi primer di mucocutaneous, yang muncul sebagai vesikel kulit atau luka mukosa (Arvin, 2007:32). Infeksi herpes simpleks biasanya diperoleh dari keadaan subklinik, walaupun infeksi yang menimbulkan gejala klinik sangat berhubungan dengan adanya replikasi virus yang memungkinkan masuk kedalam ujung saraf sensorik ataupun otonom. Pada awal masuknya virus kedalam sel saraf, dimana terjadinya replikasi di ganglia dan jaringan saraf yang berdekatan, yang kemudian menyebar ke permukaan kulit lainnya, dan ke mukosa melalui migrasi virion yang infeksius. Cara penyebaran ini membantu menjelaskan luasnya daerah permukaan yang ikut terkena dan banyaknya lesi baru yang jauh dari infeksi primer berupa vesikel infeksi herpes simpleks di daerah genital maupun daerah bibir dan mulut, termasuk menjelaskan terjadinya penyembuhan pada daerah yang jauh dari pintu masuknya virus. Kedua antibodi yaitu mediated dan reaksi cell-mediated memiliki arti penting secara



15



klinis. Pada pasien immunocompromised dengan defek kekebalan cell-mediated ablasi limfosit yang terkena infeksi akan menjadi berat dan luas, dibandingkan infeksi pada pasien dengan defisit imunitas



humoral,



seperti



agammaglobulinemia.



Berbagai



manifestasi klinis penyakit herpes simpleks tampaknya sangat berkaitan



dengan



respon



kekebalan



hospes



(Hadisaputro,



2014:740). 2.3.2



Patofisiologi Virus herpes simpleks menginvasi dan bereplikasi di dalam neuron serta epidermal dan dermal sel. Virion berjalan dari tempat awal infeksi pada kulit atau mukosa menuju ke sensorik ganglion akar dorsal, di mana infeksi laten dimulai. Replikasi virus dalam ganglia sensoris menyebabkan kekambuhan. Kekambuhan ini dapat disebabkan oleh berbagai rangsangan, seperti trauma, radiasi ultraviolet, suhu ekstrem, stres, imunosupresi, atau fluktuasi hormonal. Pelepasan virus yang menyebabkan penularan mungkin terjadi selama infeksi primer, selama kekambuhan berikutnya dan selama periode pelepasan virus yang asimtomatik. Reaktivasi virus herpes simpleks tipe 1 paling efisien pada ganglia trigeminal (mempengaruhi wajah dan orofaringeal dan mukosa mata), sedangkan virus herpes simpleks tipe 2 memiliki reaktivasi yang lebih efisien pada ganglia lumbosakral (mempengaruhi pinggul, bokong, genitalia, dan ekstremitas bawah). Adanya perbedaan klinis yang spesifik dalam reaktivasi virus antara herpes simpleks tipe 1 dan herpes simpleks tipe 2, karena dalam



16



setiap populasi virus memiliki infeksi laten yang berbeda pada neuron ganglionik (Eastern, 2016:1).



2.4



Gejala Klinis Infeksi virus herpes simpleks ini berlangsung dalam 3 tingkatan, dimana pada setiap tingkatan infeksi memiliki tahap infeksi, tempat predileksi, dan gejala yang berbeda-beda pada setiap tingkatannya. Tahap Infeksinya yaitu berupa infeksi primer, infeksi laten, dan infeksi rekuren. 2.4.1



Infeksi Primer Tempat predileksi HSV-1 di daerah pinggang ke atas terutama di daerah mulut dan hidung, biasanya dimulai pada usia anakanak. Inokulasi dapat terjadi secara kebetulan, misalnya kontak kulit pada perawat, dokter gigi, atau pada orang yang sering menggigit jari. Virus ini juga sebagai penyebab herpes ensefalitis. Infeksi primer oleh HSV-2 mempunyai tempat predileksi di daerah pinggang ke bawah, terutama di daerah genital, juga dapat menyebabkan herpes meningitis dan infeksi neonatal. Infeksi primer berlangsung lebih lama dan lebih berat, kira-kira 3 minggu dan sering disertai gejala sistemis, misalnya demam, melase, dan anoreksia, dapat juga ditemukan pembengkakan kelenjar getah bening regional. Pada perabaan tidak terdapat indurasi, kadangkadang



dapat



timbul



infeksi



sekunder



sehingga



memberi



gambaran yang tidak jelas. Umumnya didapati pada orang yang kekurangan antibodi untuk virus herpes simpleks (Wresti, 2015:478).



17



2.4.2



Infeksi laten



Dalam fase ini berarti pada penderita tidak ditemukan gejala klinis, partikel HSV dapat menginfeksi sel neuron dan bersifat laten tanpa menimbulkan efek sitopatogenik. Infeksi laten ini dapat menjadi aktif kembali setelah virus berada di sel saraf perifer, sehingga menimbulkan infeksi kembali pada daerah dimana infeksi pertama kali terjadi. Reaktivasi HSV dapat terjadi karena berbagai hal, antara lain dapat disebabkan karena stres, terpapar panas matahari, demam dan faktor immunocompromised. Hal ini dapat menyebabkan proliferasi HSV pada sel saraf (Radji, 2015:265).



2.4.3



Infeksi rekurens



Infeksi ini berarti virus herpes simpleks pada ganglion dorsalis yang dalam keadaan tidak aktif dengan suatu pemicu dapat menjadi aktif dan mencapai kulit sehingga menimbulkan gejala klinis. Pemicu timbulnya infeksi dapat berupa trauma fisik (demam, infeksi, kurang tidur, dan hubungan seksual), trauma psikis (gangguan emosional, menstruasi), dan dapat pula timbul akibat jenis makanan dan minuman yang dapat merangsang. Gejala klinis yang timbul lebih ringan daripada infeksi primer, dan berlangsung kira-kira 7-10 hari. Sering ditemukan gejala awal lokal, sebelum timbul vesikel berupa rasa panas, gatal, dan nyeri. Infeksi rekuren ini dapat timbul pada tempat yang sama atau tempat lain/tempat di sekitarnya (Wresti, 2015:479).



18



2.5



Penegakan Diagnosis Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis berdasarkan keluhan, pemeriksaan fisik berdasarkan gejala klinik yang timbul di bagian tubuh tertentu dan khas untuk infeksi herpes simpleks, untuk memperkuat diagnosis



dapat



dilakukan



pemeriksaan



penunjang



(pemeriksaan



laboratorium) yaitu dengan melakukan pembiakan virus, pemeriksaan darah melihat peningkatan kadar antibodi, dan jika memungkinkan dapat dilakukan biopsi. Pada fase dini diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan PCR (polymerase Chain Reaction). Kriteria klinis dibuat secara akurat, yaitu adanya karakteristik lesi vesikular pada bagian tubuh yang terkena (Hadisaputro, 2014:742). 2.5.1



Anamnesis Hasil anamnesis biasanya berdasarkan keluhan yang timbul. Untuk infeksi HSV-1 yang kebanyakan kasus terjadi pada anak dan sub klinis pada 90% kasus biasanya ditemukan perioral. Pada 10% sisanya, dapat terjadi gingivostomatitis akut (Panduan praktik klinis bagi dokter, 2014:431). Dalam beberapa kasus yang ditemukan pada masa neonatal, infeksi sering di tularkan dari ibu ke janin, pada kasus ini sering di jumpai banyak ibu hamil yang terinfeksi herpes simpleks. Faktor resiko herpes neonatal, infeksi sering terjadi dari ibu ke janin pada episode pertama trimester ketiga, persalinan yang kurang dari 38 minggu, usia ibu kurang dari 23 minggu (Krehbiel:1). Sedangkan pada infeksi HSV-2 lebih sering terjadi setelah kontak seksual pada remaja dan dewasa, yang kemudian sering



19



menyebabkan vulvovaginitis akut dan atau pada kebanyakan kasus sering



menyebabkan



peradangan



pada



kulit



batang



penis.



Anamnesis juga dapat ditegakkan berdasarkan pada infeksi primer yang biasanya timbul disertai dengan gejala sistemik seperti demam, malaise, mialgia, nyeri kepala, dan adenopati regional (Panduan praktik klinis bagi dokter, 2014:431). Factor resiko pada HSV-2 yang paling utama adalah seropositive seseorang terhadap HSV-2, jenis kelamin, ras, riwayat infeksi menular seksual, jumlah pasangan seksual, kontak seksual dengan pekerja seks komersial (Wald:1). 2.5.2



Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik dapat menjelaskan dengan temuan lesi yang berhubungan dengan lesi primer dan infeksi HSV yang berulang pada bagian kulit atau mukosa. Hal ini dapat berhubungan dengan infeksi pada ekstremitas atas terutama yang tersering adalah bagian bibir, maupun ekstremitas bawah pada daerah genital. Adanya lesi yang menonjol dan sering muncul pada permukaan mukosa dari daerah mulut atau alat kelamin, serta pada kulit di sekitarnya. Timbulnya gejala konstitusional (demam, malaise, mialgia, dan anoreksia) sering menonjol. Tidak jarang diikuti dengan penurunan berat badan. Vesikel pada individu yang timbul pada permukaan mukosa dapat pecah dengan segera, membentuk ulkus dangkal yang terasa menyakitkan (biasanya