HIV Pada Anak [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFERAT INFEKSI HIV PADA BAYI DAN ANAK



DISUSUN OLEH : Elsya Melinda 1810221016



PEMBIMBING : dr. Endang Prasetyowati, Sp.A



KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “VETERAN” JAKARTA RSUD AMBARAWA 2019



PENGESAHAN



Referat diajukan oleh Nama



: Elsya Melinda



NRP



: 1810221016



Program studi : Kedokteran umum Judul



: Infeksi HIV pada Bayi dan Anak



Telah berhasil dipertahankan di hadapan pembimbing dan diterima sebagai syarat yang diperlukan untuk ujian kepaniteraan klinik anak Program Studi Profesi Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta.



Pembimbing



dr. Endang Prasetyowati, Sp.A



Ditetapkan di : Ambarawa Tanggal:



Mei 2019



BAB I PENDAHULUAN



Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah RNA retrovirus yang menyebabkan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS), di mana terjadi kegagalan sistem imun progresif.1 Penyebab terbanyak adalah HIV-1. Virus ini ditransmisikan melalui hubungan seksual, darah, produk yang terkontaminasi darah dan transmisi dari ibu ke bayi baik intrapartum, perinatal, atau ASI.2 Infeksi Human immunodeficiency virus (HIV) pertama kali ditemukan pada anak tahun 1983 di Amerika Serikat, yang mempunyai beberapa perbedaan dengan infeksi HIV pada orang dewasa dalam berbagai hal seperti cara penularan, pola serokonversi, riwayat perjalanan dan penyebaran penyakit, faktor resiko, metode diagnosis, dan manifestasi oral.1 Kasus pertama AIDS di Indonesia ditemukan pada bulan Desember 1985 yang secara klinis sangat sesuai dengan diagnosis AIDS dan hasil tes Elisa 3 (tiga) kali diulang, menyatakan positif, namun hasil Western Blot yang dilakukan di Amerika Serikat ialah negatif sehingga tidak dilaporkan sebagai kasus AIDS. Penyebaran HIV di Indonesia meningkat setelah tahun 1995.3 Transmisi HIV secara vertikal dari ibu kepada anaknya merupakan jalur tersering infeksi pada masa kanak-kanak, dan angka terjadinya infeksi perinatal diperkirakan sebesar 83% antara tahu 1992 sampai 2001. Infeksi HIV pada anak merupakan masalah kesehatan yang sangat besar di dunia, dan berkembang dengan kecepatan yang sangat berbahaya. Pada 2006, ada kurang lebih 2,3 juta anak terinfeksi HIV di seluruh dunia. Jumlah ini diduga tetap akan meningkat dalam waktu dekat karena beberapa alasan4. Di Amerika Serikat, infeksi HIV perinatal terjadi pada hampir 80% dari seluruh infeksi HIV pediatri. Infeksi perinatal sendiri dapat terjadi in-utero, selama periode peripartum, ataupun dari pemberian ASI, sedangkan transmisi virus melalui rute lain, seperti dari transfusi darah atau komponen darah



relatif lebih jarang ditemukan. Selain itu, sexual abuse yang terjadi pada anak juga dapat menjadi penyebab terjadinya infeksi HIV, di mana hal ini lebih sering ditemukan pada masa remaja.1 Berbagai gejala dan tanda yang bervariasi dapat bermanifestasi dan ditemukan pada anak-anak yang sebelumnya tidak diperkirakan mengidap infeksi HIV harus menjadi suatu tanda peringatan bagi para petugas kesehatan, terutama para dokter untuk memikirkan kemungkinan terjadinya infeksi HIV. Gejala dan tanda-tanda yang mungkin terjadi meliputi infeksi bakteri yang berulang, demam yang sukar sembuh, diare yang sukar sembuh, sariawan yang sukar sembuh, parotitis kronis, pneumonia berulang, lymphadenopati generalisata, gangguan perkembangan yang disertai failure to thrive, dan kelainan kulit kronis-berulang.1



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



II.1 Definisi Infeksi HIV adalah penyakit yang diakibatkan oleh virus HIV (Human Deficiency Virus).1 AIDS (Aquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan tahap akhir dari infeksi HIV yang berupa kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus).4 II.2 Epidemiologi Infeksi virus penyebab defisiensi imun (HIV-1) pada anak dapat terjadi melalui transfuse darah atau komponen yang tercemar. Menurut CDC Amerika, 13% kasus AIDS pada anak adalah penerima transfuse darah atau komponennya, 5% diantaranya ternyata terinfeksi dalam pengobatan hemophilia atau gangguan pembekuan darah yang lain. Dengan diterapkan sistem uji tapis yang lebih ketat terhadap donor darah, penularan melalui transfusi ini telah berkurang, sehingga penularan pada umumnya lebih sering terjadi akibat infeksi perinatal (vertical), yaitu sekitar 50-80% baik intra uterin, melalui plasenta, selama persalinan melalui pemaparan dengan darah atau sekreta jalan lahir, maupun yang terjadi setelah lahir (pasca natal) yaitu melalui air susu ibu (ASI).1 Laporan Kasus HIV dan AIDS Kementerian Kesehatan RI tahun 2011 menunjukkan cara penularan tertinggi terjadi akibat hubungan seksual beresiko, diikuti penggunaan jarum suntik tidak steril; dengan jumlah pengidap AIDS terbanyak pada kategori pekerjaan ibu rumah tangga. Hal ini juga terlihat dari proporsi jumlah kasus HIV pada perempuan meningkat dari 34% (2008) menjadi 44% (2011).5 Cara paling efisien dan efektif untuk menanggulangi infeksi HIV pada anak secara universal adalah dengan mengurangi penularan dari ibu ke anaknya (mother-



to-child transmission (MTCT). Namun demikian setiap hari terjadi 1800 infeksi baru pada anak umur kurang dari 15 tahun, 90% nya di Negara berkembang atau terbelakang dan melalui penularan dari ibu ke anaknya. Upaya pencegahan transmisi HIV pada anak menurut WHO dilakukan melalui 4 strategi, yaitu mencegah penularan HIV pada wanita usia subur, mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada wanita HIV, mencegah penularan HIV dari ibu HIV hamil ke anak yang akan dilahirkannya dan memberikan dukungan, layanan dan perawatan berkesinambungan bagi pengidap HIV. Pemberian obat Anti Retroviral (ARV) untuk anak dan bayi yang terinfeks karenanya menjadi satu jalan untuk menanggulangi pandemic HIV pada anak di samping upaya untuk mencegah penularan infeksi HIV pada anak dan bayi.1 II.3 Etiologi Virus HIV termasuk kedalam famili Retrovirus sub famili Lentivirinae. Virus famili ini mempunyai enzim yang disebut reverse transcriptase. Enzim ini menyebabkan retrovirus mempunyai kemampuan menggunakan RNA-nya dan DNA pejamu untuk membentuk virus DNA. Jadi setiap kali sel yang dimasuki retrovirus membelah diri, informasi genetik virus juga ikut diturunkan.4 Terdapat dua serotype HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2 yang juga disebut lymphadenopathy associated virus type-2 (LAV-2). HIV-1 sebagai penyebab sindrom defisiensi imun (AIDS) tersering sebab bermutasi lebih cepat karena replikasi nya lebih cepat.6 HIV mempunyai inti (nukleoid) berbentuk silindris dan eksentrik, mengandung 2 rangkaian genom RNA diploid, dengan masing-masing rangkaian memiliki enzim transkripatse reverse (RT), dan integrase. Selain itu di dalam inti juga terdapat enzim protease yang tidak melekat pada rangkaian RNA. Partikel yang membentuk inti silindris ini adalah protein kapsid (p24); yang menutupi komponen nukleoid tersebut sehingga membentuk struktur ukleokapsid. Protein matriks p17 merupakan bagian dalam sampul virus HIV. Bagan paling luar adalah lapisan membran fosfolipid yang berasal dari membran plasma sel pejamu. Pada membran permukaan virion terdapat tonjolan yang terdiri atas molekul glikoprotein (gp120)



dengan bagian transmembran yang merupakan gp41 yang keduanya dibentuk oleh virus.1



Gambar 1 Anatomi HIV II.4 Siklus Hidup Siklus hidup HIV dimulai ketika virion HIV melekatkan diri pada sel pejamu. Perlekatan ini dimulai dari interaksi antara kompleks env yang terdiri dari 3 pasang molekul gp120 dan molekul transmembran gp 41 yang merupakan molekul trimerik membran virion dengan membran sel target. Pertama-tama terbentuk ikatan antara satu subunit gp 120 dengan molekul CD4 sel pejamu. Perlekatan ini menginduksi perubahan konformasional (membran virion melekuk agar gp120 kedua dapat ikut melekat) yang memicu perlekatan gp120 kedua pada koreseptor kemokin (CXCR4, CCR5). Ikatan dengan koreseptor ini selanjutnya menginduksi perubahan konformasional pada gp41 (semula berada di lapisan lebih dalam membran virion) untuk mengekspos komponen hidrofobiknya sampai ke lapisan membran pejamu, (karena mampu bergerak seperti ini maka gp41 dinamakan peptida fusi) dan kemudian menyisipkan diri ke membran sel pejamu dan memudahkan terjadinya fusi membran sel HIV dengan membran sel pejamu dan sel inti HIV dapat masuk ke dalam sitoplasma sel pejamu.1             Di dalam sel pejamu bagian inti nukleoprotein keluar, enzim di dalam kompleks nukeoprotein ini menjadi aktif. Genom RNA HIV ditranskripsi menjadi



DNA oleh enzim transkriptase reversi (RT= Reverse Transcriptase). DNA HIV yang terbentuk kemudian masuk ke nukleus sel pejamu melalui bantuan enzim integrase. Integrasi diperkuat bila pada saat yang sama DNA pejamu bereplikasi karena terstimulasi oleh antigen atau bakteri superantigen. DNA virus HIV yang sudah berintegrasi ke dalam DNA sel pejamu dinamakan DNA provirus. DNA provirus ini dapat dormant, atau tidak aktif mentranskripsi sampai berbulan-bulan atau bertahuntahun tanpa adanya protein baru atau virion.1 Transkripsi gen proviral DNA yang sudah terintegrasi diatur oleh: a. LTR , bergerak ke arah hulu dari gen struktur virus b. Sitokin/stimulus fisiologis terhadap sel T dan makrofag lain untuk memperkuat transkripsi. LTR mengandung urutan sinyal poliadenilasi berupa promotor berturutan dalam bentuk kotak TATA dan tempat ikatan/binding untuk 2 faktor transkripsi pejamu (NF-kB dan SP1). Awal  transkripsi gen HIV dalam sel T terkait dengan pengaktivan sel T secara fisiologis oleh antigen atau sitokin lain. Sebagai contoh, aktivator poliklonal sel T seperti fitohemaglutinin, IL-2, TNF dan limfotoksin akan menstimulasi ekspresi gen HIV dalam sel T yang terinfeksi. Selain itu IL-1, IL-3, IL6, TNF, limfotoksin, IFN-γ dan GM-CSF merangsang ekspresi gen HIV dan replikasi virus dalam sel monosit dan makrofag yang terinfeksi. Fenomena ini menunjukkan bahwa sel T yang terinfeksi HIV secara laten dapat tetap memberi respons normal terhadap mikroba lain. Replikasi sel T mungkin menjadi pemicu berakhirnya infeksi laten dan dimulainya produksi virus. Infeksi multipel yang dialami penderita HIV akan menstimulasi produksi HIV untuk selanjutnya menginfeksi sel lainnya. Meskipun tampaknya replikasi virus HIV mudah dan terdapat sinyal optimal untuk memulai transkripsi, hanya sedikit saja molekul mRNA HIV yang benar-benar disintesis. Hal itu terjadi karena transkripsi gen HIV oleh enzim polimerase RNA mamalia tidak efisien dan kompleks polimer biasanya berhenti ditranskripsi sebelum mRNA lengkap.



Protein Tat terikat pada mRNA yang baru mulai dibentuk, bukan pada DNA virus. Keterikatan ini meningkatkan proses polimerase RNA hingga beberapa ratus kali lipat, dan mendorong diselesaikannya transkripsi dengan hasil akhir RNA messenger(mRNA) HIV yang fungsional. mRNA yang mengkode aneka protein HIV berasal dari transkrip helai tunggal genom lengkap yang telah melalui proses penyambungan yang berbeda-beda. Ekspresi gen HIV dapat dibagi ke dalam stadium awal saat gen regulator dibentuk dan stadium akhir dimana gen struktur diekspresikan dan helai tunggal genom lengkap dibuat. Protein Rev, Tat, Nev adalah produk awal gen  yang dicetak oleh mRNA yang tersambung sempurna dan dikeluarkan dari nukleus dan diterjemahkan menjadi protein di sitoplasma segera sesudah infeksi satu sel. Produk akhir gen termasuk env, gag, dan pol yang mengkode komponen struktur virus dan diterjemahkan dari RNA tunggal  yang sudah maupun belum tersambung. Protein Rev memulai penukaran dari ekspresi awal menjadi gen akhir dengan cara mempromosikan ekspor RNA ke luar inti sel. RNA ini  yang belum tersambung sempurna akan dikeluarkan dari inti. Produk gen pol adalah protein prekursor yang dipotong secara berurutan untuk membentuk enzim transkriptase riversi, protease, ribonuklease dan integrase. Gen gag mengkode protein berukuran 55-D. Protein ini selanjutnya dipotong oleh enzim proteolitik menjadi polipeptida p24, p17, dan p15. Ketiga polipeptida ini adalah protein inti yang diperlukan untuk membentuk partikel infeksius virus. Gen env memproduksi terutama glikoprotein 160-kD yang selanjutnya dipotong oleh protease sel di retikulum endoplasma menjadi protein gp 120 dan gp 41 yang diperlukan untuk menempelnya HIV pada sel. Sesudah transkripsi oleh berbagai gen virus, protein virus dibentuk di sitoplasma pejamu. Seluruh partikel infeksius kemudian disusun dalam satu kompleks nukleoprotein, termasuk gag dan pol yang diperlukan untuk integrase siklus berikutnya. Kompleks nukleoprotein ini kemudian dibungkus dengan 1 membran pembungkus dan dilepaskan dari sel pejamu melalui proses ”budding” dari membran



plasma. Kecepatan produksi virus dapat sangat tinggi dan menyebabkan kematian sel pejamu.1 II.5 Patogenesis Untuk dapat terjadi infeksi HIV diperlukan reseptor spesifik pada sel pejamu yaitu molekul CD4. Molekul CD4 ini mempunyai afinitas yang sangat besar terhadap HIV, terutama terhadap molekul glikoprotein (gp120) dari selubung virus. Di antara sel tubuh yang memiliki molekul CD4, sel limfosit-T memiliki molekul CD4 paling banyak. Oleh karena itu, infeksi HIV dimula dengan penempelan virus pada limfositT. HIV masuk kedalam tubuh manusia. RNA virus berubah menjadi DNA intermediet/DNA pro virus dengan bantuan enzim transkriptase, dan kemudian bergabung dengan DNA sel yang diserang. Virus HIV akan menyerang Limfosit T yang mempunyai marker permukaan seperti sel CD4+, yaitu sel yang membantu mengaktivasi sel B, killer cell, dan makrofag saat terdapat antigen target khusus. Sel CD4+ adalah reseptor pada limfosit T yang menjadi target utama HIV. HIV menyerang CD4+ baik secara langsung maupun tidak langsung. HIV yang mempunyai efek toksik akan menghambat fungsi sel T. Lapisan luar protein HIV yang disebut sampul gp120 dan anti gp41 berinteraksi dengan CD4+ yang akan menghambat aktivasi sel dan mempresentasikan.7 Setelah HIV mengifeksi seseorang, kemudian terjadi sindrom retroviral akut semacam flu disertai viremia hebat dan akan hilang sendiri setelah 1-3 minggu. Serokonversi (perubahan antibodi negatif menjadi positif) terjadi 1-3 bulan setelah infeksi. Pada masa ini, tidak dijumpai tanda-tanda khusus, penderita HIV tampak sehat dan test HIV belum bisa mendeteksi keberadaan virus ini, tahap ini disebut juga periode jendela (window periode). Kemudian dimulailah infeksi HIV asimptomatik yaitu masa tanpa gejala. Dalam masa ini terjadi penurunan CD4+ secara bertahap. Mula-mula penurunan jumlah CD4+ sekitar 30-60 sel/tahun, tetapi pada 2 tahun berikutnya penurunan menjadi cepat, 50-100 sel/tahun, sehingga tanpa pengobatan, rata-rata masa dari infeksi HIV menjadi AIDS adalah 8-10 tahun, dimana jumlah CD4+ akan mencapai 80%) AIDS pada anak akibat transmisi vertikal dari ibu ke anak. Lima puluh persen kasus AIDS anak berumur < l tahun dan 82% berumur 1 bulan) a Kandidosis oral persisten (di luar saat 6- 8 minggu pertama kehidupan) Oral hairy leukoplakia Periodontitis/ginggivitis ulseratif nekrotikans akut TB kelenjar TB Paru Pneumonia bakterial yang berat dan berulang Pneumonistis interstitial limfoid simtomatik Penyakit paru-berhubungan dengan HIV yang kronik termasuk bronkiektasis Anemia yang tidak dapat dijelaskan ( 18 bulan A(IV) Untuk mengidentifikasi infeksi HIV pada umur < 18 bulan dengan kemungkinan besar HIV positif*



* Anak kurang dari 18 bulan dengan hasil uji antibodi positif termasuk di antaranya adalah anak yang benar-benar terinfeksi, dan anak yang tidak terinfeksi tetapi masih membawa antibodi maternal.



Gambar 2. Skenario pemeriksaan HIV



II.13 Pencegahan Penularan HIV dari ibu hamil dengan HIV ke bayi yang di kandungnya Strategi pencegahan penularan HIV pada ibu hamil yang telah terinfeksi HIV ini merupakan inti dari kegiatan Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak. Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak yang komprehensif mencakup kegiatan sebagai berikut: 13



1. Layanan ANC terpadu termasuk penawaran dan tes HIV; 2. Diagnosis HIV 3. Pemberian terapi antiretroviral; 4. Persalinan yang aman; 5. Tatalaksana pemberian makanan bagi bayi dan anak; 6. Menunda dan mengatur kehamilan; 7. Pemberian profilaksis ARV dan kotrimoksazol pada anak; 8. Pemeriksaan diagnostik HIV pada anak. Semua jenis kegiatan di atas akan mencapai hasil yang efektif jika dijalankan secara berkesinambungan. Kombinasi kegiatan tersebut merupakan strategi yang paling efektif untuk mengidentifikasi perempuan yang terinfeksi HIV serta mengurangi risiko penularan HIV dari ibu ke anak pada periode kehamilan, persalinan dan pasca kelahiran. Pelayanan KIA yang komprehensif meliputi pelayanan pra-, persalinan dan pascapersalinan, serta layanan kesehatan anak. Pelayanan KIA bisa menjadi pintu masuk upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak bagi seorang ibu hamil. Pemberian informasi pada ibu hamil dan suaminya ketika datang ke klinik KIA akan meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan mereka tentang kemungkinan adanya risiko penularan HIV di antara mereka, termasuk risiko lanjutan berupa penularan HIV dari ibu ke anak. Tes HIV atas inisiatif petugas serta skrining IMS harus ditawarkan kepada semua ibu hamil sesuai kebijakan program. Harapannya, dengan kesadaran sendiri ibu mau dites dengan sukarela. Konseling dan tes HIV dalam PPIA komprehensif dilakukan melalui pendekatan Konseling dan Tes atas Inisiasi Petugas Kesehatan (KTIP), yang merupakan komponen penting dalam upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak. Tujuan utama kegiatan ini adalah untuk membuat keputusan klinis dan/atau menentukan pelayanan medis khusus yang tidak mungkin dilaksanakan tanpa mengetahui status HIV seseorang, seperti pada saat pemberian ARV.Apabila seseorang yang datang ke layanan kesehatan dan menunjukan adanya gejala yang



mengarah ke HIV, tanggung jawab dasar dari petugas kesehatan adalah menawarkan tes dan konseling HIV kepada pasien tersebut sebagai bagian dari tatalaksana klinis. Berbagai bentuk layanan di klinik KIA, seperti imunisasi untuk ibu, pemeriksaan IMS terutama sifilis, pemberian suplemen zat besi dapat meningkatkan status kesehatan semua ibu hamil, termasuk ibu hamil dengan HIV. Hendaknya klinik KIA juga menjangkau dan melayani suami atau pasangannya, sehingga timbul keterlibatan aktif para suami/ pasangannya dalam upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak. Upaya pencegahan IMS, termasuk penggunaan kondom, merupakan bagian pelayanan IMS dan HIV serta diintegrasikan dalam pelayanan KIA. 1. Layanan ANC terpadu termasuk penawaran dan tes HIV Pelayanan tes HIV merupakan upaya membuka akses bagi ibu hamil untuk mengetahui status HIV, sehingga dapat melakukan upaya untuk mencegah penularan HIV ke bayinya,memperoleh pengobatan ARV sedini mungkin, dukungan psikologis, informasi dan pengetahuan tentang HIV-AIDS. 2. Diagnosis HIV Pemeriksaan diagnostik infeksi HIV dapat dilakukan secara virologis (mendeteksi antigen DNA atau RNA) dan serologis (mendeteksi antibodi HIV) pada spesimen darah. Pemeriksaan diagnostik infeksi HIV yang dilakukan di Indonesia umumnya adalah pemeriksaan serologis menggunakan tes cepat (Rapid Test HIV) atau ELISA. Pemeriksaan diagnostik tersebut dilakukan secara serial dengan menggunakan tiga reagen HIV yang berbeda dalam hal preparasi antigen, prinsip tes, dan jenis antigen, yang memenuhi kriteria sensitivitas dan spesifitas. Hasil pemeriksaan dinyatakanreaktif jika hasil tes dengan reagen 1 (A1), reagen 2 (A2), dan reagen 3 (A3)ketiganya positif (Strategi 3). Pemilihan jenis reagen yang digunakan berdasarkansensitivitas dan spesifisitas, merujuk pada Standar Pelayanan Laboratorium Kesehatan Pemeriksa HIV dan Infeksi Oportunistik, Kementerian Kesehatan (SK Menkes No. 241 tahun 2006).



Untuk ibu hamil dengan faktor risiko yang hasil tesnya indeterminate, tes diagnostic HIV dapat diulang dengan bahan baru yang diambil minimal 14 hari setelah yang pertama dan setidaknya tes ulang menjelang persalinan (32-36 minggu). 3. Pemberian Terapi Antiretroviral Sampai sekarang belum ada obat yang dapat menyembuhkan HIV-AIDS, namun dengan terapi antiretroviral, jumlah virus di dalam tubuh dapat ditekan sangat rendah, sehingga ODHA dapat tetap hidup layaknya orang sehat. Pemberian terapi antiretroviral (ART) untuk ibu hamil dengan HIV mengikuti Pedoman Tatalaksana Klinis dan Terapi Antiretroviral pada Orang Dewasa, Kementerian Kesehatan (2011). Penentuan saat yang tepat untuk memulai terapi obat antiretroviral (ARV) pada ODHA dewasa didasarkan pada kondisi klinis pasien (stadium klinis WHO) atau hasil pemeriksaan CD4. Namun pada ibu hamil, pasien TB dan penderita Hepatitis B kronik aktif yang terinfeksi HIV, pengobatan ARV dapat dimulai pada stadium klinis apapun atau tanpa menunggu hasil pemeriksaan CD4. Pemeriksaan CD4 tetap diperlukan untuk pemantauan pengobatan. Pemberian ARV pada ibu hamil dengan HIV selain dapat mengurangi risiko penularan HIV dari ibu ke anak, adalah untuk mengoptimalkan kondisi kesehatan ibu dengan cara menurunkan kadar HIV serendah mungkin.Pilihan terapi yang direkomendasikan untuk ibu hamil dengan HIV adalah terapi menggunakan kombinasi tiga obat (2 NRTI + 1 NNRTI). Seminimal mungkin hindari triple nuke (3 NRTI). Regimen yang direkomendasikan dapat dilihat pada Tabel



Data yang tersedia menunjukkan bahwa pemberian ARV kepada ibu selama hamil dan dilanjutkan selama menyusui adalah intervensi PPIA yang paling efektif untuk kesehatan ibu dan juga mampu mengurangi risiko penularan HIV dan kematian bayi. Pemberian ARV untuk ibu hamil dengan HIV mengikuti Pedoman Tatalaksana Klinis dan Terapi Antiretroviral pada Orang Dewasa, Kementerian Kesehatan (2011).Pemberian ARV disesuaikan dengan kondisi klinis ibu (lihat Tabel 5) dan mengikuti ketentuan sebagai berikut: • Ibu hamil merupakan indikasi pemberian ARV. • Untuk perempuan yang status HIV-nya diketahui sebelum hamilan, dan pasien sudah mendapatkan ART , maka saat hamil ART tetap diteruskan dengan regimen yang sama seperti saat sebelum hamil. • Untuk ibu hamil yang status HIV-nya diketahui sebelum umur kehamilannya 14 minggu, jika ada indikasi dapat diberikan ART. Namun jika tidak ada indikasi, pemberian ART ditunggu hingga umur kehamilannya 14 minggu. Regimen ART yang diberikan sesuai dengan kondisi klinis ibu. • Untuk ibu hamil yang status HIV-nya diketahui pada umur kehamilan ≥ 14 minggu, segera diberikan ART berapapun nilai CD4 dan stadium klinisnya. Regimen ART yang diberikan sesuai dengan kondisi klinis ibu. • Untuk ibu hamil yang status HIV-nya diketahui sesaat menjelang persalinan, segera diberikan ART sesuai kondisi klinis ibu. Pilihan kombinasi regimen ART sama dengan ibu hamil yang lain.



4. Persalinan aman Pemilihan persalinan yang aman diputuskan oleh ibu setelah mendapatkan konseling lengkap tentang pilihan persalinan, risiko penularan, dan berdasarkan penilaian dari tenaga kesehatan. Pilihan persalinan meliputi persalinan per vaginam dan per abdominam (bedah sesar atau seksio sesarea). Dalam konseling perlu disampaikan mengenai manfaat terapi ARV sebagai cara terbaik mencegah penularan HIV dari ibu ke anak. Dengan terapi ARV yang sekurangnya dimulai pada minggu ke-14 kehamilan, persalinan per vaginam merupakan persalinan yang aman. Apabila



tersedia fasilitas pemeriksaan viral load, dengan viral load < 1.000 kopi/μL, persalinan per vaginam aman untuk dilakukan. Persalinan bedah sesar hanya boleh didasarkan atas indikasi obstetrik atau jika pemberian ARV baru dimulai pada saat usia kehamilan 36 minggu atau lebih, sehingga diperkirakan viral load > 1.000 kopi/μL. Untuk memberikan layanan persalinan yang optimal kepada ibu hamil dengan HIV direkomendasikan kondisi-kondisi berikut ini: • Pelaksanaan persalinan, baik secara bedah sesar maupun normal, harus memperhatikan kondisi fisik dan indikasi obstetri ibu berdasarkan penilaian dari tenaga kesehatan. Infeksi HIV bukan merupakan indikasi untuk bedah sesar. • Ibu hamil harus mendapatkan konseling sehubungan dengan keputusannya untuk menjalani persalinan per vaginam atau pun per abdominam (bedah sesar). • Tindakan menolong persalinan ibu hamil, baik secara persalinan per vaginam maupun bedah sesar harus selalu menerapkan kewaspadaan standar, yang berlaku untuk semua jenis persalinan dan tindakan medis.



5. Tatalaksana pemberian makanan bagi bayi/anak Pemilihan makanan bayi harus didahului dengan konseling tentang risiko penularan HIV melalui ASI. Konseling diberikan sejak perawatan antenatal atau sebelum persalinan. Pengambilan keputusan oleh ibu dilakukan setelah mendapat informasi secara lengkap. Pilihan apapun yang diambil oleh ibu harus didukung. Ibu dengan HIV yang sudah dalam terapi ARV memiliki kadar HIV sangat rendah, sehingga aman untuk menyusui bayinya. Dalam Pedoman HIV dan Infant Feeding (2010), World Health Organization (WHO) merekomendasikan pemberian



ASI eksklusif selama 6 bulan untuk bayi lahir dari ibu yang HIV dan sudah dalam terapi ARV untuk kelangsungan hidup anak (HIV-free and child survival). Eksklusif artinya hanya diberikan ASI saja, tidak boleh dicampur dengan susu lain (mixed feeding). Setelah bayi berusia 6 bulan pemberian ASI dapat diteruskan hingga bayi berusia 12 bulan, disertai dengan pemberian makanan padat. Bila ibu tidak dapat memberikan ASI eksklusif, maka ASI harus dihentikan dan digantikan dengan susu formula untuk menghindari mixed feeding (Tabel 7).



6. Mengatur kehamilan dan Keluarga Berencana Kontrasepsi pada ibu/perempuan HIV positif: • Ibu yang ingin menunda atau mengatur kehamilan, dapat menggunakan kontrasepsi jangka panjang. • Ibu yang memutuskan tidak punya anak lagi, dapat memilih kontrasepsi mantap. 7. Pemberian profilaksis ARV dan kotrimoksazol pada anak Pemberian profilaksis ARV dimulai hari pertama setelah lahir selama 6 minggu. Obat ARV yang diberikan adalah zidovudine (AZT atau ZDV) 4 mg/kgBB diberikan 2 kali sehari. Selanjutnya anak dapat diberikan kotrimoksazol profilaksis mulai usia 6 minggu dengan dosis4-6 mg/kgbb, satu kali sehari, setiap hari sampai usia 1 tahun atau sampai diagnosis HIV ditegakkan. 8. Pemeriksaan diagnostik HIV pada bayi yang lahir dari ibu dengan HIV Penularan HIV pada anak dapat terjadi selama masa kehamilan, saat persalinan, dan menyusui. Antibodi HIV dari ibu dapat berpindah ke bayi melalui plasenta selama kehamilan berada pada darah bayi/anak hingga usia 18 bulan. Penentuan status HIV pada bayi/anak (usia