Hsi Si 06-Ushul Sittah [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Halaqah 01 | Pengantar Ushulu AsSittah Kita akan bersama-sama mempelajari sebuah kitāb yang dikarang oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahāb bin Sulaimān At Tamimi rahimahullāh yaitu kitāb yang berjudul Al-Ushūlul As-Sittah. • Al-Ushūlul As-Sittah atau enam kaidah Kitāb ini termasuk karangan beliau yang sangat bermanfaat, kitāb ini ringkas akan tetapi mengandung banyak faedah. Dan hendaknya seorang muslim mengetahui faedah-faedah ini. Didalam kitāb ini, beliau menyebutkan enam perkara yang sangat penting. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahāb bin Sulaimān At Tamimi adalah seorang ulamā yang lahir pada tahun 1115 Hijriyyah. Beliau menimba ilmu agama semenjak kecil dan diantara gurunya adalah bapak beliau sendiri, demikian pula ulamā-ulamā besar yang lain di zaman beliau, seperti Syaikh Muhammad Al Hayah, As Sindi, dan juga yang lain. Dan didalam mencari ilmu, beliau telah pergi ke beberapa daerah diantaranya ke Bashrah, demikian pula ke daerah-daerah di Hijaz seperti Mekkah dan juga Madīnah dan menimba ilmu dari para ulamā yang tinggal disana. Dan hampir-hampir beliau menuju ke kota Syām (daerah Syām) untuk menimba ilmu, hanya karena ada rintangan dan halangan tertentu akhirnya beliau mengurungkan niatnya. Dan beliau termasuk ulamā yang gigih didalam menghidupkan Al Qurān, As Sunnah, mengajak manusia kembali kepada Allāh, bertauhīd kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Beliau (rahimahullāh) meninggal pada tahun 1206 Hijriyyah. Dan telah meninggalkan banyak karangan (yang sangat bermanfaat). Diantaranya adalah: √ Al Ushūluts Tsalātsah √ Al Qawā’idul Arba’ √ Ushūlul Imān √ Kasyfusy Syubuhāt √ Kitābut Tauhīd Dan diantaranya kitāb yang in syā Allāh akan kita pelajari yaitu Al-Ushūlu As-Sittah (enam kaidah). Beliau berkata: ‫بِس ِْم هللاِ الرَّحْ َم ِن ال َّر ِحي ِْم‬ Memulai kitābnya dengan basmallāh. Meniru dan mengikuti apa yang Allāh lakukan didalam Al Qurānul Karīm, karena Allāh Subhānahu wa Ta’āla memulai kitābnya dengan basmallāh. Demikian pula mengikuti apa yang dilakukan oleh Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam, ketika beliau menulis surat yang isinya adalah dakwah kepada raja-raja yang ada di zaman beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam) beliau memulai kitābnya dengan basmallāh. Oleh karena itu disini pengarang memulai kitāb nya dengan basmallāh ‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬



Dan ba (‫ )ب‬disini adalah (‫ )ب‬al isti’ānah yaitu (‫ )ب‬yang fungsinya adalah memohon pertolongan. Orang yang mengatakan (‫ ) بسم هّللا الرحمن الرحيم‬pada hakikatnya dia telah memohon pertolongan kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla • Ismillāh dengan nama Allāh. Kalimat mufrad yang tunggal yaitu ism dan dia disandarkan pada kalimat lafdzu jalālah dan maknanya adalah mencakup seluruh nama Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Orang yang mengatakan ‫ بسم هللا الرحمن الرحيم‬berarti dia telah beristi’ānah (memohon) pertolongan dengan seluruh nama Allāh Subhānahu wa Ta’āla. • Allāh (lafdzu jalālah). Allāh (lafdzu jalālah) adalah nama Allāh yang paling a’dham (paling besar) yang disandarkan kepadanya nama-nama Allāh yang lain. Oleh karena itu setelahnya disebutkan Ar-rahmān Ar-rahīm dan Ar-rahmān Ar-rahīm adalah nama diantara nama-nama Allāh. Diambil dari Ar-rahmāh yang artinya kasih sayang. • Perbedaan Ar-rahmān dan Ar-rahīm Perbedaan antara Ar-rahmān dengan Ar-rahīm disebutkan oleh para ulamā diantaranya, √ Ar-rahmān adalah kasih sayang Allāh yang lebih umum mencakup orang yang beriman dan mencakup orang yang kāfir kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla. ⇒ Orang kāfir juga mendapatkan bagian dari kasih sayang dari Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Allāh memberikan rejeki kepada mereka, memberikan makan kepada mereka, memberikan minum kepada mereka, memberikan kesehatan kepada mereka, memberikan anak, memberikan istri, memberikan harta, dan ini semua adalah termasuk kasih sayang Allāh Subhānahu wa Ta’āla. √ Ar-rahīm, maka mengandung rahmat mengandung kasih sayang yang lebih khusus yaitu kasih sayang yang Allāh berikan kepada orang-orang yang beriman. ⇒ Berupa hidayah kepada jalan yang lurus, berupa keimanan, berupa rasa tenang ketika dzikrullāh. Ini semua adalah kasih sayang Allāh Subhānahu wa Ta’āla akan tetapi dikhususkan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla kepada orang-orang yang beriman dengan Allāh Subhānahu wa Ta’āla.



Halaqah 02 | Penjelasan Pokok Pertama Bagian 01 Halaqah yang kedua dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan Kitāb Al-Ushūlul As-Sittah (6 Kaidah), sebuah kitāb yang dikarang oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahāb bin Sulaimān At Tamimi rahimahullāh. Kemudian beliau rahimahullāh mengatakan: >ِ ‫ب ْالع َُجا‬ َ‫ق َما يَظُ ُّن الظَّانُّوْ ن‬ َ ْ‫ضحًا لِ ْل َع َوا ِّم فَو‬ ِ ‫ب ِستَّةُ أُصُوْ ٍل بَيَّنَهَا هللاُ تَ َعالَى بَيَانًا َوا‬ ِ ‫ك ْال َغاَّل‬ ِ ِ‫ت ال َّدالَ ِة َعلَى قُ ْد َر ِة ْال َمل‬ ِ ‫ َوأَ ْكبَ ِر اآليَا‬، ‫ب‬ ِ ‫ِم ْن أَ ْع َج‬ “Termasuk sesuatu yang paling mengherankan (yang paling menakjubkan) dan termasuk tandatanda kekuasaan Allāh yang paling besar yang menunjukkan tentang kekuasaan Allāh Dzat yang Maha Menguasai. Perkara-perkara atau pokok-pokok yang di jelaskan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla dengan penjelasan yang sangat jelas bagi orang-orang awam di atas apa yang disangka oleh orang-orang yang menyangka” Beliau (rahimahullāh) mengatakan: Termasuk sesuatu yang mengherankan dan menakjubkan dan menunjukkan kekuasaan Allāh Subhānahu wa Ta’āla adalah perkara-perkara pokok yang dijelaskan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla didalam Al Qurān dengan penjelasan yang sangat jelas bahkan dipahami oleh orang-orang awam (orang-orang yang biasa didalam kecerdasannya) diatas dari apa yang disangka oleh orang-orang yang menyangka. ‫ثُ َّم بَ ْع َد هَ َذا َغلِطَ كثير من أَ ْذ ِكيَا ُء ْال َعالَ ِم‬ “Kemudian setelah itu salahlah kebanyakan dari orang-orang yang cerdas diantara manusia ini” ‫َو ُعقَاَل ُء بَنِ ْي آ َد َم‬ “Dan orang-orang yang berakal dari anak-anak Ādam” ‫إِاَّل أَقَ َّل ْالقَلِ ْي ِل‬ “Kecuali sedikit saja diantara mereka” Maksud dari ucapan beliau rahimahullāh didalam muqaddimah kitāb beliau ini, adalah, “Bahwasanya disana ada perkara-perkara (enam perkara) yang telah Allāh jelaskan didalam Al Qurānul Karīm dengan penjelasan yang sangat jelas (saking jelasnya) perkara-perkara ini dipahami oleh orang-orang yang awam atau kasarannya orang yang bodoh orang yang Jāhil. Tetapi banyak diantara orang-orang cerdas salah didalam memahami perkara ini.” ⇒ Dipahami oleh sebagian orang (bahkan orang yang awam) akan tetapi disana ada orang cerdas (bahkan di anggap pintar dan ulamā oleh sebagian manusia) dia salah didalam memahami enam perkara ini. (Ini adalah maksud dari ucapan beliau rahimahullāh didalam muqaddimah kitāb ini) Sebelum beliau menyebutkan enam perkara ini, beliau ingin menyampaikan kepada kita, (mengingatkan kepada kita) bahwasanya perkara-perkara yang akan beliau sebutkan dipahami oleh orang awam akan tetapi banyak orang yang cerdas dan mengaku dia adalah pengemban ilmu agama ternyata dia salah didalam memahami perkara tersebut. Dan ini menunjukkan bahwasanya,



“Hidayah dan taufīq adalah ditangan Allāh Subhānahu wa Ta’āla, tidak berkaitan dengan kecerdasan seseorang” Terkadang Allāh Subhānahu wa Ta’āla menunjukkan al haq (kebenaran) kepada seorang (yang mungkin) diantara manusia sebagai orang yang awam. Namun Allāh mengharamkan kebenaran ini dari sebagian orang yang dianggap sebagai orang yang cerdas. Dan ini menunjukkan bahwasanya hidayah dan taufīq (petunjuk) adalah ditangan Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman: ‫ضلُّ َمن يَشَٓا ُء َويَ ْه ِدى َمن يَشَٓاء‬ ِ ُ‫ي‬ “Allāh Subhānahu wa Ta’āla menyesatkan siapa yang dikehendaki, dan memberikan hidayah kepada siapa yang dikehendaki” (QS. An Nahl: 93/QS. Fāthir: 8) √ Allāh Subhānahu wa Ta’āla menyesatkan siapa yang dikehendaki. Meskipun dia orang yang cerdas, orang yang pintar, orang yang genius, dan memberikan hidayah kepada siapa yang dikehendaki. √ Allāh Subhānahu wa Ta’āla memberikan hidayah kepada siapa yang dikehendaki. Meskipun dia orang yang awam (dianggap terbelakang) oleh sebagian orang, tetapi kalau Allāh Subhānahu wa Ta’āla berkehendak untuk memberikan hidayah kepadanya niscaya dia termasuk orang yang mendapatkan petunjuk. Dan ini menjadikan kita untuk senantiasa merendahkan diri kita dihadapan Allāh Subhānahu wa Ta’āla, meminta hidayah kepada-Nya. √ Kita jangan bertawakal dengan ilmu yang kita miliki. √ Kita jangan bertawakal dengan kecerdasan yang kita miliki. Kita harus meminta petunjuk kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla, supaya Allāh menunjukkan kepada kita kebenaran dan menjauhkan kita dari syubhat dan juga kebathilan.



Halaqah 03 | Penjelasan Pokok Pertama Bagian 02 Halaqah yang ketiga dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan Kitāb Al-Ushūlul As-Sittah (6 Kaidah), sebuah kitāb yang dikarang oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahāb bin Sulaimān At Tamimi rahimahullāh. Kemudian beliau rahimahullāh menyebutkan perkara yang pertama yang dipahami oleh orang-orang awam dikalangan kaum muslimin akal tetapi banyak orang-orang cerdas yang tidak memahami perkara ini. Beliau mengatakan: ُ ْ‫ض ِّد ِه ال ِذيْ هُ َو ال ِّشر‬ َ ‫َر ْي‬ ِ‫ك بِاهلل‬ ِ ُ‫ َوبَيَان‬، ُ‫ك له‬ ِ ‫ إِ ْخاَل صُ ال ِّد ْي ِن هلِل ِ تَ َعالَى َوحْ َدهُ اَل ش‬: ‫اَأْل َصْ ُل اأْل َ َّو ُل‬ • Perkara yang pertama | Mengikhlāskan agama untuk Allāh Subhānahu wa Ta’āla (tidak ada sekutu baginya) dan menjelaskan lawan dari keikhlāsan ini adalah syirik kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Diantara perkara yang sudah Allāh jelaskan didalam Al Qurān dengan penjelasan yang gamblang (penjelasan sangat jelas) adalah, ‫إِ ْخاَل صُ ال ِّد ْي ِن هلِل ِ تَ َعالَى‬ Mengikhlāskan agama ini hanya untuk Allāh (tidak ada sekutu bagi Allāh Subhānahu wa Ta’āla) juga menjelasan tentang bahaya syirik kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Ini semua Allāh sebutkan dengan jelas didalam Al Qurān. ‫ان هَ َذا اأْل َصْ ِل ِم ْن ُوجُوْ ٍه َشتَّى بِكَاَل ٍم يَ ْفهَ ُمهُ أَ ْبلَ ُد ْال َعا َّم ِة‬ ِ َ‫َو َكوْ نُ أَ ْكثَ ِر ْالقُرْ آ ِن فِي بَي‬ Kata beliau: Dan bahwasanya sebagian besar ayat-ayat Al Qurān adalah untuk menjelaskan perkara ini. Menjelaskan tentang; ⑴ Ikhlās kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla didalam ibadah. ⑵ Menjelaskan tentang bahayanya kesyirikan di dalam beribadah kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla. ‫ِم ْن ُوجُوْ ٍه َشتَّى‬ “Dalam bentuk-bentuk yang sangat berbeda dan cara yang berbeda” (Artinya) Allāh Subhānahu wa Ta’āla didalam Al Qurān menjelaskan tentang perkara ini dalam berbagai cara dan berbagai penjelasan. ‫بِكَاَل ٍم يَ ْفهَ ُمهُ أَ ْبلَ ُد ْال َعا َّم ِة‬ “Dengan ucapan yang dipahami (bahkan orang yang paling bodoh diantara orang-orang awam)” ⇒ Menunjukkan tentang bagaimana Allāh Subhānahu wa Ta’āla (sangat) menjelaskan perkara ini didalam Al Qurān, sampai orang yang paling bodohpun kata beliau juga memahami ucapan ini. Yaitu tentang masalah,



√ Tauhīd √ Bahayanya kesyirikan Sebagian ulamā mengatakan semua isi Al Qurān adalah tentang tauhīd (dari awal sampai akhir). Diantara buktinya adalah surat yang pertama (Al Fātihah) demikian pula surat yang terakhir (An Nās) isinya tentang masalah tauhīd. Al Fātihah isinya penuh dengan makna tauhīd. ُ‫ك ن َۡعبُ ُد َوإِیَّاكَ ن َۡست َِعین‬ َ ‫ك یَ ۡو ِم ٱلدِّی ِن ۞ إِیَّا‬ ِ ِ‫ۡٱل َحمۡ ُد هَّلِل ِ َربِّ ۡٱل َع ٰـلَ ِمینَ ۞ ٱلر َّۡح َم ٰـ ِن ٱل َّر ِح ِیم ۞ َم ٰـل‬ Didalamnya ada: √ Tauhīd Asmā’ wa Shifat √ Tauhīd rubūbiyah √ Tauhīd al ulūhiyyah. ُ‫ك ن َۡستَ ِعین‬ َ ‫إِیَّاكَ ن َۡعبُ ُد َوإِیَّا‬ “Hanya kepada Mu lah Yā Allāh, kami menyembah dan hanya kepada-Mulah (Yā Allāh) kami memohon pertolongan.” Demikian pula surat yang terakhir An Nās, ‫اس‬ ِ ِ‫اس ۞ َمل‬ ِ َّ‫ك ٱلن‬ ِ َّ‫قُ ۡل أَعُو ُذ بِ َربِّ ٱلن‬ Ini semua adalah tauhīd kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla (meminta perlindungan kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla) Raja manusia sesembahan manusia. ⇒ Semua surat didalam Al Qurān isinya adalah tentang tauhīd. √ Penjelasan tentang bagaimana keutamaan tauhīd. √ Penjelasan bagaimana cara bertauhīd. √ Penjelasan tentang bahaya kesyirikan (apa bentuk kesyirikan). √ Penjelasan tentang akibat dan pahala bagi orang yang bertauhīd dan adzab bagi orang yang berbuat syirik. Bahkan kisah-kisah yang ada didalam Al Qurān banyak diantaranya yang berkaitan dengan masalah tauhīd. Bagaimana kisah nabi Nūh alayhissallām? Kisahnya adalah bagaimana beliau berdakwah dan mendakwahi umatnya kepada tauhīd. Demikian pula kisah nabi Shālih, nabi Hūd, nabi Syuaib dan juga nabi-nabi yang lain. Kalau kita tadabburi ternyata Al Qurān semua adalah masalah tauhīd (mengikhlāskan ibadah untuk Allāh Subhānahu wa Ta’āla) dan tentang bahaya kesyirikan. Namun ternyata banyak diantara manusia yang tidak memahami tentang perkara ini. Bahkan kata beliau disini, termasuk orang yang cerdas diantara mereka. Kenapa demikian?



Diantara sebabnya adalah: ⑴ Al ‘irab (seseorang berpaling dari agama Allāh Subhānahu wa Ta’āla). Tidak mau mempelajari agama Allāh, sibuk dengan yang lain (sibuk dengan dunianya, sibuk dengan hobbynya). Dan dia berpaling tidak mau menekuni dan tidak mau mempelajari agama Allāh Subhānahu wa Ta’āla. ⑵ Al Kibr (sombong). Dia mengetahui kebenaran akan tetapi dia tidak mau mengamalkan dan menerima kebenaran tersebut. Sebagaimana dilakukan oleh Iblīs ketika diperintahkan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla untuk melakukan sujud (penghormatan) kepada nabi Ādam alayhissallām akan tetapi iblīs sombong, dan Iblīs termasuk orang-orang yang kāfir. Diantara sebabnya adalah dua perkara ini, ⑴ Berpaling dari mempelajari agama Allāh ⑵ Al Kibr (sombong dan tidak mau mengamalkan kebenaran). Al Qurān diturunkan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla tujuan utamanya adalah untuk di amalkan, ditadabburi, dipahami (bukan sekedar dibaca atau diperbaiki tajwidnya atau diambil berkahnya ketika membacanya). Semua itu adalah termasuk kebaikan akan tetapi bukan tujuan utama diturunkannya Al Qurān. Tujuan utama diturunkannya Al Qurān adalah untuk ditadabburi kemudian diamalkan didalam kehidupan kita sehari-hari. Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman: ۟ ُ‫ك لِّيَ َّدبَّر ُٓو ۟ا َءايَ ٰـتِ ِهۦ َولِيَتَ َذ َّك َر أُ ۟ول‬ ٌ ۭ ‫ك ُمبَ ٰـ َر‬ ‫ب‬ َ ‫ِكتَ ٰـبٌ أَن َز ْلنَ ٰـهُ إِلَ ْي‬ ِ ‫وا ٱأْل َ ْلبَ ٰـ‬ “Kitāb (Al Qur’ān) yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” (QS. Sad: 29)



Halaqah 04 | Penjelasan Pokok Pertama Bagian 03 Kita akan bersama-sama mempelajari sebuah kitāb yang dikarang oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahāb bin Sulaimān At Tamimi rahimahullāh yaitu kitāb yang berjudul Al-Ushūlul AsSittah. Kemudian beliau (rahimahullāh) mengatakan: َّ ‫ َأظْ َهرَ لَ ُه ُم ال‬. َ‫ثُ َّم لَمَّا صَ ارَ عَ لَى َأ ْكثَ ِر اأْل ُ َّم ِة مَا صَ ار‬ ‫ وَ َأظْ َهرَ َل ُه ُم‬،‫ُّص الصَّ ا ِل ِحيْنَ وَ التَّ ْقصِ ي ِْر فِي ُحقُوْ ق ِِه ْم‬ ِ ‫ش ْيطَانُ اإْل ِخْ اَل صَ فِي صُ وْ رَ ِة تَنَق‬ ّ ِ ‫ال‬ ‫هلل فِي صُ وْ رَ ِة مَحَ بَّ ِة الصَّ ا ِل ِحيْنَ وَ ا ِتّبَاعِ ِه ْم‬ ِ ‫شرْ كَ ِبا‬ “Kemudian ketika menimpa umat ini berupa kejahilan dan lain-lain, maka syaithān menampakkan kepada mereka, bahwasanya keikhlāsan dan tauhīd ini adalah sebagai bentuk penghinaan dan peremehan terhadap orang-orang shālih. Ketika menimpa umat ini kebodohan, mereka jauh dari ilmu agama, mereka jauh dari bimbingan para ulamā, mereka jauh dari petunjuk Al Qurān dan hadīts. Maka syaithān menampakkan kepada mereka, bahwasanya tauhīd (meng Esa kan Allāh Subhānahu wa Ta’āla) artinya adalah, √ Meremehkan orang-orang yang shālih. √ Meremehkan hak-hak meraka. Ini adalah salah satu bentuk talbis dari syaithān dalam usaha menyesatkan manusia. Syaithān menampakkan dimata manusia bahwasanya, √ Orang yang bertauhīd berarti dia tidak menghormati orang yang shālih. √ Orang yang bertauhīd berarti dia tidak menghormati nabi. √ Orang yang bertauhīd berarti dia tidak menghormati wali. Dan untuk memperjelas perkara ini kita terangkan kembali, bagaimana kisah nabi Nūh alayhissallām bersama kaumnya. Dan bagaimana awal terjadinya kesyirikan dipermukaan bumi ini. Dizaman nabi Nūh alayhissallām ada lima orang shālih yang dikenal oleh kaumnya dengan ibadah, amalan, dan keshālihannya. Ketika mereka (lima orang shālih) meninggal dunia datanglah syaithān dan mewahyukan kepada mereka (kaum nabi Nūh alayhissallām) supaya mereka membuat patung-patung, kemudian patung-patung itu diberi nama dengan nama orang-orang shālih tersebut.



Tujuannya apa? Tujuannya adalah ketika mereka malas beribadah, kemudian mereka melihat patung-patung orang shālih tersebut berada dihadapan mereka (di majelis mereka) diharapkan mereka bisa bersemangat dan mengingat kembali keshālihan mereka (patung-patung tersebut) sehingga mereka (kaum nabi Nūh alayhissallām) bisa bersemangat didalam beribadah kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Ketika generasi ini meninggal dunia, syaithān datang kembali dan mengatakan kepada mereka, “bahwasanya bapak-bapak kalian dahulu membuat patung-patung ini, tujuannya adalah untuk diibadahi dan disembah” Dan telah dilupakan ilmu, akhirnya mereka menyembah orang-orang shālih tersebut yang mereka buat simbolnya berupa patung-patung. Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman: ۟ ُ‫وَ َقال‬ َ ‫وا اَل َت َذرُ نَّ ءَا ِل َهتَ ُك ْم وَ اَل تَ َذرُ نَّ وَ ۭ ًّدا وَ اَل سُوَ اعًۭ ا وَ اَل يَغ‬ ‫ُوث وَ يَ ُعوقَ وَ نَس ْۭرً ا‬ Dan mereka berkata: “Janganlah kalian tinggalkan sesembahan-sesembahan kalian, dan janganlah kalian tinggalkan Waddan, Suwā’an, Yaghūts dan Ya’ūq dan juga Nasr” (QS. Nūh: 23) Mereka ini adalah lima nama orang shālih (Waddan, Suwā’an, Yaghūts, Ya’ūq dan Nasr) setelah mereka meninggal dunia, kemudian mereka disembah oleh kaumnya nabi Nūh alayhissallām. Ketika terjadi kesyirikan pertama kali dipermukaan bumi yang dilakukan oleh kaum nabi Nūh alayhissallām, Allāh Subhānahu wa Ta’āla mengutus nabi Nūh yang merupakan rasūl yang pertama. Allāh mengutus nabi Nūh alayhissallām kepada mereka (kaumnya) untuk mengajak mereka (kaumnya) kembali kepada tauhīd dan menjauhkan kesyirikan. Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman: ‫ٱعبُدُو ْا ٱللَّ َه مَا َل ُكم ّم ِۡن ِإ ٰلَ ٍه َغيۡ رُ ُه‬ ۡ ‫ُوحا ِإلَىٰ َق ۡو ِم ِهۦ َفقَا َل ٰيَق َۡو ِم‬ ً ‫وَ لَ َقدۡ َأ ۡرس َۡلنَا ن‬ Dan sungguh, Kami telah mengutus Nūh kepada kaumnya, lalu dia berkata, “Wahai kaumku! Sembahlah Allāh, (karena) tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) bagimu selain Dia.” (QS. Al Mu’minun: 23)



Beliau (nabi Nūh) mengajak mereka untuk kembali kepada Allāh, mengingatkan umatnya siang dan malam dalam keadaan rahasia maupun terang-terangan selama bertahun-tahun (950 tahun), mengajak mereka untuk bertauhīd dan meng Esakan ibadah ini hanya untuk Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Mengingatkan mereka bahwasanya ini termasuk perbuatan syirik yang tidak diridhāi oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla (meskipun yang mereka sembah adalah orang-orang shālih) Namun ternyata yang mengikuti dakwah dan ajakan beliau sedikit, karena mereka menganggap apabila mereka hanya menyembah Allāh Subhānahu wa Ta’āla, seakan-akan mereka telah meremehkan orang-orang yang shālih, menghinakan kedudukan mereka dan telah merendahkan mereka. (Ini adalah termasuk talbis dari iblīs laknatullāh). Mengangap (menunjukkan) dimata manusia bahwasanya ikhlās kepada Allāh berarti harus meremehkan dan merendahkan kedudukan orang-orang yang shālih. Oleh karena itu banyak diantara mereka yang menolak dakwah nabi Nūh alayhissallām seperti yang tadi disebutkan. Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman: ‫……وَ َقالُو ْا اَل تَ َذرُنَّ ءَا ِل َهتَ ُك ۡم‬.. Dan mereka berkata, “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kalian”. (QS. Nūh: 23) Mereka saling berwasiat diantara mereka, √ Kita harus menghormati orang yang shālih √ Kita harus menjunjung tinggi kedudukan mereka. Apabila diminta dan diseru hanya menyembah kepada Allāh, hati mereka resah, hati mereka gelisah. Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman: َ‫وَ ِإ َذا ُذكِرَ ٱللَّ ُه وَ ۡح َد ُه ٱشۡ م ََأزَّ ۡت ُقلُوبُ ٱلَّذِينَ اَل ي ُۡؤ ِمنُونَ ِبٱأۡل ٓخِرَ ۖ ِة وَ ِإ َذا ُذكِرَ ٱلَّذِينَ مِن دُو ِن ِٓۦه ِإ َذا ه ُۡم يَسۡ تَبۡ شِ رُ ون‬ “Dan apabila yang disebut hanya nama Allāh kesal sekali hati orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat. Namun apabila nama-nama sembahan selain Allāh yang disebut, tiba-tiba mereka menjadi bergembira”



(QS. Az-Zumar: 45) Apabila hanya disebutkan Allāh saja, ketika diminta hanya bertauhīd kepada Allāh, hati orangorang yang tidak beriman kepada akhirat menjadi resah, menjadi gelisah, menjadi tidak tenang. Ketika diminta dan didakwahi hanya menyembah Allāh semata (beribadah kepada Allāh semata) dan tidak menyekutukan Allāh dengan sesuatu apapun hatinya menjadi gundah tidak tenang. Tapi ketika disebutkan bersama Allāh yang lain, tiba-tiba hatinya mereka menjadi sangat gembira, bahagia. Oleh karena itu disini beliau (rahimahullāh) mengatakan: “Syaithān menampakkan kepada mereka, bahwasanya ikhlās dan tauhīd berarti kita harus meremehkan orang-orang yang shālih” Dan ini termasuk talbis syaithān, syaithān telah berjanji dari awal dihadapan Allāh Subhānahu wa Ta’āla untuk menyesatkan manusia (menyesatkan anak-anak nabi Ādam) dengan berbagai cara, dan menghias-hiasi diantara mereka yang bathil menjadi benar, yang benar menjadi bathil. Darimana bisa digoda, maka mereka akan menggodanya. Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman: ‫۞ َقا َل َف ِبمَٓا َأ ۡغوَ يۡ َتنِي أَل َ ۡق ُعدَنَّ لَ ُه ۡم صِ ٰرَ طَكَ ۡٱلمُسۡ تَقِي َم‬ َ َ ٰ ‫شمَٓا ِئل ِِه ۡۖم وَ اَل تَ ِج ُد َأ ۡكثَرَ ه ُۡم‬ َ ‫ِيه ۡم وَ م ِۡن خَ ۡلف ِِه ۡم وَ عَ ۡن َأيۡ ٰ َمن ِِه ۡم وَ عَ ن‬ َ‫شك ِِرين‬ ِ ‫۞ ثُ َّم أَل ٓ ِتيَنَّ ُهم ّم ِۢن بَيۡ ِن أيۡ د‬ (Iblīs ) menjawab, “Karena Engkau telah menyesatkan aku, pasti aku akan selalu menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus. Kemudian pasti aku akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” (QS. Al A’rāf: 16-17) Iblīs berjanji untuk menyesatkan mereka dari shirāthal mustaqīm, dan akan didatangi anak-anak Ādam baik dari kanannya dari kirinya dari atasnya dari bawahnya sehingga mereka menjadi orang-orang yang tidak bersyukur kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Diantaranya adalah seperti yang disebutkan oleh Syaikh disini menghias-hiasi dimata manusia bahwasanya orang yang bertauhīd berarti dia meremehkan orang-orang yang shālih.



Halaqah 05 | Penjelasan Pokok Pertama Bagian 03 Halaqah yang kelima dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan Kitāb Al-Ushūlul As-Sittah (6 Kaidah), sebuah kitāb yang dikarang oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahāb bin Sulaimān At Tamimi rahimahullāh. Kemudian beliau (rahimahullāh) mengatakan: ْ َ‫َوأ‬ ‫اع ِه ْم‬ َ ْ‫ظهَ َر لَهُ ُم ال ِّشر‬ ِ َ‫ك ِباهللِ فِي صُوْ َر ِة َم َحبَّ ِة الصَّالِ ِح ْينَ َواتِّب‬ Dan mereka (syaithān) menjerumuskan manusia kedalam kesyirikan kepada Allāh. Dengan cara apa? Dengan dipoles dan dihiasi, seakan-akan itu termasuk mahabatusshālihin (menyintai orang-orang yang shālih) dan mengikuti mereka. Dan ini adalah termasuk makar dan tipu daya syaithān. Tidak langsung mengatakan aSyrikbillāh (hendaklah engkau menyekutukan Allāh), tidak! Tapi menjerumuskan manusia kedalam kesyirikan dan dipoles dengan mengatakan, “Ini termasuk mencintai orang yang shālih, menjunjung kedudukan mereka, menghormati hak-hak mereka”. Semoga Allāh Subhānahu wa Ta’āla memudahkan kita memahami agama ini, dan menampakkan kebenaran itu benar dan yang bathil adalah bathil. Didalam agama Islām tidak ada pertentangan antara tauhīd dan mencintai orang yang shālih, kita diperintahkan untuk mentauhīdkan Allāh Subhānahu wa Ta’āla dan mencintai orang-orang yang shālih. Siapakah orang-orang yang shālih? √ Orang shālih yang ikhlās kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla. √ Orang yang sesuai amalannya dengan Al Qur’ān dan juga hadīts-hadīts Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam. √ Orang yang shālih dhahir maupun bathinnya. Mereka adalah orang-orang memiliki kedudukan disisi Allāh Subhānahu wa Ta’āla, dengan ketaqwaan mereka. Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman: ‫إِ َّن أَ ْك َر َم ُك ْم ِعن َد ٱهَّلل ِ أَ ْتقَ ٰى ُك ْم‬ “Sesungguhnya orang yang paling mulia disisi Allāh Subhānahu wa Ta’āla diantara kalian adalah orang-orang yang paling bertaqwa diantara kalian”. (QS. Al Hujurāt: 13) Orang-orang shālih mereka bertingkat-tingkat ketaqwaannya, mereka adalah orang-orang yang mulia disisi Allāh Subhānahu wa Ta’āla dan kita diperintahkan untuk menghormati mereka. Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman: ‫إِنَّ َما يَ ْخشَى ٱهَّلل َ ِم ْن ِعبَا ِد ِه ْٱل ُعلَ َم ٰـٓؤ ُ۟ا‬ “Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Allāh diantara hamba-hambanya adalah para ulamā”



(QS. Fāthir: 28) Dan Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda: ‫إِ َّن ال ُعلَ َما َء َو َرثَةُ األَ ْنبِيَا ِء‬ “Para ulamā adalah pewaris para nabi” Mewarisi ilmu mereka, mengajak manusia untuk berpegang teguh dengan warisan para nabi, para ulamā jelas memiliki keutamaan yang tinggi disisi Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Kita diperintahkan untuk mencintai mereka mengikuti mereka didalam keshālihan ini, meneladani mereka didalam keshālihan ini. Ini adalah cara untuk mencintai orang-orang yang shālih (yaitu) dengan mencintai mereka dengan hati kita sesuai dengan kadar keimanan mereka, mengikuti mereka, dan meneladani mereka didalam ibadah mereka kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Menghormati orang yang shālih dan mencintai mereka diperintahkan namun penghormatan ini memiliki batasan-batasan yang telah ditentukan syar’iat. Ada batasan yang telah ditentukan oleh Allāh dan Rasūl Nya dan tidak boleh penghormatan kita kepada orang-orang shālih (para ulamā, orang-orang yang zuhud, orang-orang yang mulia) melebihi dari batasan-batasan ini. Kalau sampai melebihi maka masuk al ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap orang-orang shālih. Dan ghuluw fi shālihin (ghuluw terhadap orang-orang shālih) adalah sebab terjadinya kesyirikan pertama kali dipermukaan bumi ini seperti yang terjadi pada kaumnya nabi Nūh alayhissallām. Jadi kita diperintahkan menghormati orang yang shālih mencintai mereka dengan cara meneladani mereka, mengikuti mereka didalam amal shālihnya akan tetapi kecintaan ini memiliki batasanbatasan. Oleh karena itu Allāh Subhānahu wa Ta’āla mencela ahlul kitāb karena mereka berlebih-lebihan terhadap nabi Īsā alayhissallām. Nabi Īsā adalah seorang rasūl, seorang hamba, tetapi mereka ghuluw (berlebih-lebihan), mengatakan bahwasanya nabi Īsā alayhissallām adalah anak Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman: ۟ ُ‫وا فِى ِدينِ ُك ْم َواَل تَقُول‬ ۟ ُ‫ب اَل تَ ْغل‬ َّ ‫وا َعلَى ٱهَّلل ِ إِاَّل ْٱل َح‬ ‫ق إِنَّ َما ْٱل َم ِسي ُح ِعي َسى ٱبْنُ َمرْ يَ َم َرسُو ُل ٱهَّلل ِ َو َكلِ َمتُ ٓۥهُ أَ ْلقَ ٰىهَٓا إِلَ ٰى َمرْ يَ َم َورُو ۭ ٌح ِّم ْن‬ ِ ‫يَ ٰـٓأ َ ْه َل ْٱل ِكتَ ٰـ‬ ۟ ‫هُفَٔـََٔ>ا ِمنُوا بِٱهَّلل ِ َو ُر ُسلِ ِه‬ “Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allāh kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, Īsā putera Maryam itu, adalah utusan Allāh dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. Maka berimanlah kamu kepada Allāh dan rasūl-rasūl Nya” (QS. An Nissā’: 171) Wahai ahlul kitāb, janganlah kalian ghuluw didalam agama kalian dan janganlah kalian mengatakan atas nama Allāh, kecuali yang hak kecuali yang memang ada dalīlnya sementara ucapan mereka Īsā adalah anak Allāh adalah sesuatu yang tanpa burhan tanpa ada dalīl dari Allāh.



Sesungguhnya Īsā bin Maryam adalah seorang Rasūlullāh bukan seorang anak Allāh, dan kalimat Allāh Subhānahu wa Ta’āla, yang Allāh tiupkan pada Maryam yaitu dengan ucapan Allāh (kun fayakun). Allāh Subhānahu wa Ta’āla mencela orang-orang ahlul kitāb, orang-orang Nashrāni karena mereka ghuluw terhadap orang yang shālih, para nabi adalah pemukanya orang-orang shālih. Demikian pula Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam dan beliau adalah sebaik-baik rasūl (syayidul waladi Ādam) namun beliau mencela umatnya untuk ghuluw terhadap beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam dan melarang mereka untuk ghuluw kepada beliau. Beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengatakan: ْ َ‫طرُونِي َك َما أ‬ ْ ُ‫اَل ت‬ ‫ى ِعي َسى ا ْبنَ َمرْ يَ َم‬ َ َّ‫ت الن‬ ِ ‫ط َر‬ ِ ‫صا َر‬ “Janganlah kalian berlebih-lebihan terhadapku sebagaimana orang-orang Nashrāni berlebih-lebihan terhadap Īsā ibnu Maryam” Larangan dari beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam kepada kita semua meskipun kita mencintai beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam. Dan tidak akan dinamakan seseorang beriman sampai mencintai beliau lebih dari anaknya lebih dari orang tuanya, lebih dari semua manusia. Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda: َ‫اس أَجْ َم ِعين‬ ِ َّ‫ال ي ُْؤ ِمنُ أَ َح ُد ُك ْم َحتَّى أَ ُكونَ أَ َحبَّ إِلَ ْي ِه ِم ْن َولَ ِد ِه َو َوالِ ِد ِه َوالن‬ Akan tetapi beliau melarang kita berlebih-lebihan terhadap beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam) Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda: ‫إنما أنا عبد فقولوا عبدهللا ورسوله‬ “Sesungguhnya aku adalah seorang hamba bukan sesembahan bukan seorang Tuhan, tapi aku adalah seorang hamba yang menyembah kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla” Maka katakanlah oleh kalian bahwasanya aku adalah seorang hamba Allāh dan juga seorang rasūl. Maka didalam syahadat ‫ واشهد ان محمدا عبده ورسوله‬dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba Allāh dan juga rasūl Nya. √ Pertama kita bersaksi bahwasanya beliau adalah seorang hamba artinya tidak disembah √ Kedua kita bersaksi bahwasanya beliau adalah seorang rasūl artinya harus dibenarkan dan diikuti syar’iatnya. Jadi beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam) sendiri melarang kita untuk ghuluw dan berlebih-lebihan terhadap beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam). Kalau kita dilarang untuk berlebih-lebihan kepada beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam) tentunya kepada yang lain lebih dilarang. Tidak ada yang lebih mulia kedudukannya disisi Allāh Subhānahu wa Ta’āla kecuali beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam). Dan diantara bentuk ghuluw terhadap orang-orang shālih di zaman sekarang diantaranya,



√ Berdo’a kepada orang-orang yang shālih yang sudah meninggal atau dinamakan dengan tawasul √ Demikian pula membangun kuburan mereka, menghias-hiasin kuburan mereka. √ Demikian pula ber’itikaf berdiam diri dikuburan mereka. Ini semua termasuk bentuk ghuluw terhadap orang-orang shālih. Berdo’a adalah termasuk ibadah yang tidak boleh diserahkan kecuali kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla.



Halaqah 06 | Penjelasan Pokok Kedua Bagian 01 Halaqah yang keenam dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan Kitāb Al-Ushūlul As-Sittah (6 Kaidah), sebuah kitāb yang dikarang oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahāb bin Sulaimān At Tamimi rahimahullāh. Kemudian beliau (rahimahullāh) mengatakan: ‫ أأْل َصْ ُل الثَّانِ ْي‬: ‫ فَبَيَّنَ هللاُ هَ َذا بَيَانًا شَافِيًا> تَ ْفهَ ُمهُ ْال َع َوا ُّم‬،‫ق‬ ِ ُّ‫اع فِي ال ِّد ْي ِن َونَهَى َع ِن التَّفَر‬ ِ ‫أَ َم َر هللاُ بِاالجْ تِ َم‬ • Pokok yang kedua: Bahwasanya Allāh Subhānahu wa Ta’āla telah memerintahkan kita untuk bersatu berkumpul didalam agama dan melarang kita untuk saling berpecah belah. Dan Allāh Subhānahu wa Ta’āla telah menjelaskan perkara ini (yaitu) perintah untuk bersatu, berkumpul dan larangan berpecah belah didalam Al Qurān dengan penjelasan yang sangat jelas dipahami oleh orang awam sekalipun. Artinya apa yang Allāh perintahkan tersebut bukanlah sesuatu yang sulit untuk dipahami. Ayat-ayat yang menjelaskan perintah untuk bersatu adalah ayat-ayat yang jelas dipahami oleh orang yang awam maupun orang yang cerdas (semuanya bisa memahami tentang perintah Allāh Subhānahu wa Ta’āla ini). Dalīl perintah Allāh didalam Al Qur’ān, diantaranya: ⑴ Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman: ْ ُ‫وا ٱتَّق‬ ْ ُ‫ٰيَٓأَيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمن‬ َّ ‫وا ٱهَّلل َ َح‬ َ‫ق تُقَاتِ ِهۦ َواَل تَ ُموتُ َّن إِاَّل َوأَنتُم ُّم ۡسلِ ُمون‬ “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim.” (QS. Āli Imrān: 102) ⑵ Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman: ْ ۚ ُ‫وا بِ َح ۡب ِل ٱهَّلل ِ َج ِميعٗ ا َواَل تَفَ َّرق‬ ْ ‫ص ُم‬ ۡ ‫……و‬ ‫وا‬ ِ َ‫ٱعت‬ َ “Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allāh, dan janganlah kamu bercerai berai.” (QS. Āli Imrān: 103) ⇒ Hablullāh artinya dengan Al Qur’ān



Semuanya diperintahkan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla untuk berpegang teguh dengan Al Qur’ān dan janganlah kalian saling berpecah belah. Jelas ayat ini menunjukkan kepada kita tentang perintah dari Allāh Subhānahu wa Ta’āla supaya kita bersatu, berpegang teguh dengan Al Qur’ān, As Sunnah dan dengan agama ini. Dan jelas menunjukkan tentang larangan berpecah belah didalam agama karena Allāh berfirman, ۟ ُ‫َواَل تَفَ َّرق‬ ‫وا‬ “Dan janganlah kalian saling berpecah belah.” ⇒ Orang awampun memahami tentang firman Allāh Subhānahu wa Ta’āla ini. ⑶ Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman: ۟ ُ‫ٱختَلَف‬ ۟ ُ‫وا كَٱلَّ ِذينَ تَفَ َّرق‬ ۟ ُ‫َواَل تَ ُكون‬ ْ ‫وا َو‬ ُ ‫وا ِم ۢن بَ ْع ِد َما َجٓا َءهُ ُم ْٱلبَيِّنَ ٰـ‬ ‫َظي ۭ ٌم‬ َ ِ‫ت ۚ َوأُ ۟ولَ ٰـٓئ‬ ِ ‫ك لَهُ ْم َع َذابٌ ع‬ “Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang saling berpecah belah (bercerai berai) dan berselisih setelah datang kepada mereka al bayyinat (keterangan yang jelas, dalīl yang jelas). Dan merekalah orang-orang yang mendapat adzab yang pedih. (QS. Āli Imrān: 105) Allāh mengatakan, “Janganlah kalian seperti orang-orang yang berpecah belah dan berikhtilaf setelah datang kepadanya al bayyinat keterangan yang jelas (dalīl yang jelas).” Dan orang yang berpecah belah dan berselisih, padahal sudah mengetahui dalīlnya maka ini mendapatkan ancaman adzab dari Allāh Subhānahu wa Ta’āla. ⑷ Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman: ْ ُ‫وا ٱل ِّدينَ َواَل تَتَفَ َّرق‬ ْ ‫ي أَ ۡو َح ۡينَٓا إِلَ ۡيكَ َو َما َوص َّۡينَا بِ ِٓۦه إِ ۡب ٰ َر ِهي َم َو ُمو َس ٰى َو ِعي َس ٰۖ ٓى أَ ۡن أَقِي ُم‬ ٗ ُ‫ِّين َما َوص َّٰى بِ ِهۦ ن‬ ‫وا فِي ۚ ِه‬ ٓ ‫وحا َوٱلَّ ِذ‬ ِ ‫َش َر َع لَ ُكم ِّمنَ ٱلد‬ “Allāh telah mensyari’atkan kepadamu agama yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nūh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrāhīm, Mūsā dan Īsā yaitu tegakkanlah agama (keimanan dan ketakwaan) dan janganlah kamu berpecah belah di dalamnya.” (QS. Asy Syūrā: 13) Perintah dari Allāh Subhānahu wa Ta’āla dan ini (diwahyukan oleh Allāh) kepada Nūh, kepada Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam kepada Ibrāhīm, Mūsā dan Īsā supaya kita menjalankan agama ini dan supaya kita tidak saling berselisih dan berpecah belah diantara kita. ⑸ Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman: ْ ُ‫وا ِدينَهُمۡ َوكَان‬ ْ ُ‫إِ َّن ٱلَّ ِذينَ فَ َّرق‬ ِ ‫وا ِشيَعٗ ا لَّ ۡستَ ِم ۡنهُمۡ فِي ش َۡي ۚ ٍء إِنَّ َمٓا أَمۡ ُرهُمۡ إِلَى ٱهَّلل‬ “Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka menjadi (terpecah) dalam golongan-golongan, sedikit pun bukan tanggung jawabmu (Muhammad) atas mereka. Sesungguhnya urusan mereka (terserah) kepada Allāh.” (QS. Al An’ām: 159) Banyak ayat didalam Al Qur’ān yang menunjukkan tentang perintah Allāh Subhānahu wa Ta’āla kepada kita agar bersatu didalam agama Allāh, bersatu didalam hak, bersatu didalam berpegang



teguh dengan Al Qur’ān dan Sunnah Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam dan larangan untuk berpecah belah didalam agama ini. ⇒ Orang yang awam sekalipun mereka memahami tentang perkara ini. Oleh karena itu beliau (rahimahullāh) mengatakan: “Ayat-ayat ini dipahami oleh orang-orang awam sekalipun apalagi oleh para ulamā dan para penuntut ilmu.” Kemudian beliau (rahimahullāh) mengatakan: ْ ‫َونَهَانَا أَ ْن نَ ُكوْ نَ كَال ِذ ْينَ تَفَ َّرقُوْ ا َو‬ ‫اختَلَفُوْ ا قَ ْبلَنَا فَهَلَ ُكوْ ا‬ Dan Allāh Subhānahu wa Ta’āla telah melarang kita, menjadi orang-orang yang berselisih (berpecah belah) seperti orang-orang sebelum kita. Mereka (orang-orang Yahūdi dan Nashrāni) berselisih (berpecah belah) didalam agama mereka, sehingga akhirnya mereka hancur dan dihancurkan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla karena sebab perselisihan mereka. Dan didalam hadīts Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam menerangkan bahwasanya, “Orang-orang Yahūdi telah berselisih dan berpecah belah menjadi 71 golongan, orang-orang Nashrāni 72 golongan, dan umatku kata beliau akan berpecah belah menjadi 73 golongan.” ⇒ Dan kita dilarang untuk mengikuti jalan orang-orang Yahūdi dan Nashrāni. Tidaklah beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam menerangkan dan mengabarkan kepada kita tentang perpecahan orang-orang Yahūdi dan Nashrāni kecuali diantaranya adalah untuk mengingatkan kita, jangan sampai kita terpelosok didalam apa yang mereka sesat didalamnya. Orang-orang Yahūdi dan Nashrāni berpecah belah didalam agamanya dan kita dilarang untuk mengikuti kesesatan mereka didalam berpecah belah ini.



Halaqah 07 | Penjelasan Pokok Kedua Bagian 02 Halaqah yang ketujuh dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan Kitāb Al-Ushūlul As-Sittah (6 Kaidah), sebuah kitāb yang dikarang oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahāb bin Sulaimān At Tamimi rahimahullāh. Kemudian beliau (rahimahullāh) mengatakan: ‫ق فِ ْي ِه‬ ِ ُّ‫اع فِي ال ِّد ْي ِن َونَهَاهُ ْم ع َِن التَّفَر‬ ِ ‫َو َذك ََر أَنَّهُ أَ َم َر ْال ُم ْسلِ ِم ْينَ بِاالجْ تِ َم‬ Dan Allāh menyebutkan bahwasanya Allāh memerintahkan orang-orang muslimin untuk bersatu didalam agama dan melarang mereka untuk berpecah belah didalamnya. ْ ‫َويَ ِز ْي ُدهُ ُوضُوْ حًا َما َو َرد‬ ‫ك‬ َ ِ‫ب فِي َذل‬ ِ ‫ب ْالع َُجا‬ ِ ‫َت بِ ِه ال ُّسنَّةُ ِمنَ ْال َع َج‬ Dan lebih jelasnya atau kejelasan ini menjadi lebih jelas dengan apa yang ada dan datang didalam sunnah Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam, yang semakin menambah keheranan kita kepada orang-orang yang berpecah belah didalam agamanya. Didalam As sunnah didalam hadīts-hadīts yang shahīh Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam menerangkan juga tentang perintah bersatu didalam agama dan larangan untuk berpecah belah didalam agama. Sebagaimana sabda beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam:



ُ ‫َاصحُوا َم ْن َوالَّهُ هَّللا‬ َ ‫َص ُموا بِ َح ْب ِل هَّللا ِ َج ِميعًا َواَل تَفَ َّرقُوا َوأَ ْن تَن‬ َ ْ‫ضى لَ ُك ْم ثَاَل ثًا يَر‬ َ ْ‫إِ َّن هللا يَر‬ ِ ‫ َوأَ ْن تَ ْعت‬،‫ضى لَ ُك ْم أَ ْن تَ ْعبُدُوهُ َواَل تُ ْش ِر ُكوا ِب ِه َش ْيئًا‬ ‫أَ ْم َر ُك ْم‬ “Sesungguhnya telah Allāh meridhāi untuk kalian tiga perkara, Allāh meridhāi untuk kalian agar kalian menyembah Allāh semata dan tidak menyekutukan Allāh dengan apapun. ‫ص ُموا بِ َحب ِْل هَّللا ِ َج ِميعًا َواَل تَفَ َّرقُوا‬ ِ َ‫َوأَ ْن تَ ْعت‬ “Berpegang teguh dengan tali Allāh dengan Al Qurān dan supaya kalian jangan berpecah belah” Allāh Subhānahu wa Ta’āla ridhā apabila kita saling bersatu diatas hak (diatas Al Qur’ān). Dan didalam hadīts yang lain didalam hadīts qudsi disebutkan bahwasanya Allāh mengatakan: ‫ َو ُكونُوا ِعبَا َد هَّللا ِ إِ ْخ َوانًا‬،‫ َواَل تَبَا َغضُوا َوالَ تَدَابَرُوا‬،‫الَ ت ََحا َسدُوا‬ “Janganlah kalian saling berhasad, janganlah kalian saling memutus, janganlah kalian saling membelakangi dan jadilah kalian sebagai hamba-hamba Allāh yang saling bersaudara.” Jelas, dijelaskan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla didalam perintah untuk menjadi hamba-hamba Allāh yang bersaudara tidak saling hasad tidak saling memutus. Dan beliau mengatakan: ُ‫ َوال يَ ْخ ُذلُه‬،ُ‫ َوال يَحْ قِ ُره‬،‫ ال يَظلِ ُمه‬:‫ال ُم ْسلِ ُم أَ ُخو ْال ُم ْسلِم‬ “Seorang muslim adalah saudara muslim yang lain, tidak menzhāliminya, tidak menghinanya tidak meninggalkanya ketika dia butuh pertolongan.” Ini adalah perintah-perintah dari nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam supaya kita saling bersatu dan tidak berpecah belah. Oleh karena itu didalam Islām, Allāh Subhānahu wa Ta’āla melarang perkara-perkara yang kira-kira menjadikan permusuhan diantara kita. Kita dilarang ghibah (membicarakan kejelekan orang) dilarang mengadu domba, bahkan dilarang minum minuman keras demikian pula perjudian, diantara hikmahnya adalah untuk ini. Karena dua perkara ini menjadi wasīlah (perantara) bagi syaithān untuk memecah belah diantara kaum muslimin dengan sebab khamr dan perjudian. Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman: ‫ص َّد ُك ْم‬ ُ َ‫ضٓا َء فِى ْٱل َخ ْم ِر َو ْٱل َمي ِْس ِر َوي‬ َ ‫……إِنَّ َما ي ُِري ُد ٱل َّش ْيطَ ٰـنُ أَن يُوقِ َع بَ ْينَ ُك ُم ْٱل َع ٰ َد َوةَ َو ْٱلبَ ْغ‬ “Sesungguhnya syaithān bermaksud untuk menimbulkan permusuhan diantara kalian didalam al khamr (minuman keras) dan juga al maiysir (perjudian).” (QS. Al Māidah: 91) Ini adalah dalīl-dalīl dari As sunnah yang semakin memperjelas bagi kita tentang pentingnya bersatu didalam agama dan juga larangan didalam berpecah belah. Yang dimaksud dengan bersatu disini adalah bersatu diatas hak (bersatu diatas kebenaran) dan larangan berpecah belah. Yang dimaksud bersatu diatas kebenaran bukan berarti seseorang dilarang untuk beramar ma’ruf nahi mungkar (memerintahkan jelas yang ma’ruf dan melarang dari kemungkaran).



Bersatu bukan berarti kita tidak beramar ma’ruf nahi munkar, kita diperintahkan untuk bersatu, satu didalam ‘aqidah satu didalam ibadah, satu didalam bermuamalah dan dilarang kita saling berpecah belah akan tetapi kita juga diperintahkan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla untuk saling beramar ma’ruf nahi munkar. Jadi bersatu bukan berarti tidak boleh saling menasehati antara satu dengan yang lain, bukan berarti tidak boleh kita saling beramar ma’ruf nahi munkar. Bahkan persatuan umat Islām diantara wasīlahnya adalah dengan ber’amar ma’ruf nahi munkar. Oleh karena itu ketika Allāh Subhānahu wa Ta’āla didalam ayat tadi menyebutkan tentang perintah bersatu, ْ ۚ ُ‫وا بِ َح ۡب ِل ٱهَّلل ِ َج ِميعٗ ا َواَل تَفَ َّرق‬ ْ ‫ص ُم‬ ۡ ‫َو‬ ‫وا‬ ِ َ‫ٱعت‬ “Hendaklah kalian berpegang teguh dengan hablullāh (Al Qur’ān) dan jangan saling berpecah belah.” (QS. Āli Imrān: 103) Didalam ayat setelahnya Allāh Subhānahu wa Ta’āla memerintahkan kita untuk beramar ma’ruf nahi mungkar. Kemudian pada ayat setelahnya Allāh mengatakan: َ‫َر ۚ َوأُ ۟ولَ ٰـٓئِكَ هُ ُم ْٱل ُم ْفلِحُون‬ ِ ‫َو ْلتَ ُكن ِّمن ُك ْم أُ َّم ۭةٌ يَ ْد ُعونَ إِلَى ْٱل َخي ِْر َويَأْ ُمرُونَ بِ ْٱل َم ْعر‬ ِ ‫ُوف َويَ ْنهَوْ نَ َع ِن ْٱل ُمنك‬ “Dan hendaklah ada diantara kalian golongan yang dia mengajak kepada kebaikan dan beramar ma’ruf nahi munkar, dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Āli Imrān: 104)



Halaqah 08 | Penjelasan Pokok Kedua Bagian 03 Halaqah yang kedelapan dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan Kitāb Al-Ushūlul As-Sittah (6 Kaidah), sebuah kitāb yang dikarang oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahāb bin Sulaimān At Tamimi rahimahullāh. Bersatu bukan berarti kita meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar, beramar ma’ruf nahi munkar adalah sifat orang yang beriman. Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman: ۡ َ ُ ‫ت بَ ۡع‬ ُ َ‫َو ۡٱل ُم ۡؤ ِمنُونَ َو ۡٱل ُم ۡؤ ِم ٰن‬ ‫َر‬ ِ ‫ض يَ ۡأ ُمرُونَ بِ ۡٱل َم ۡعر‬ ِ ‫ُوف َويَ ۡنهَ ۡونَ َع ِن ٱل ُمنك‬ ٖ ۚ ‫ضهُمۡ أ ۡولِيَٓا ُء بَ ۡع‬ “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar.” (QS. At Tawbah: 71) Dan orang-orang yang beriman yang laki-laki dan wanita sebagian mereka adalah wali bagi sebagian yang lain. Apa sifat mereka? Mereka saling beramar ma’ruf nahi munkar ⇒ menunjukkan bahwasanya diantara sifat orang yang beriman adalah beramar ma’ruf nahi munkar.



Dan bahwasanya amar ma’ruf nahi munkar bukan berarti kita berpecah belah didalam agama. Tentunya yang dimaksud dengan amar ma’ruf nahi munkar disini adalah amar ma’ruf nahi munkar yang mengikuti batasan-batasan syar’iat yang mengikuti adab-adab yang telah ditentukan oleh syar’iat. Bukan hanya sekedar amar ma’ruf nahi munkar yang didasari oleh semangat, akan tetapi tidak beraturan. Jadi amar ma’ruf nahi munkar adalah perintah Allāh Subhānahu wa Ta’āla dan rasūl Nya. Caranya, adab-adabnya dan hukum-hukumnya telah ditentukan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla dan Rasūl Nya. Diantaranya adalah tidak ada pengingkaran didalam masalah ijtihādiyyah (yaitu) masalah yang masih menerima ijtihād didalamnya karena tidak ada naskh didalam perkara tersebut. Sebagian ulamā (sebagian imām yang empat) mengatakan demikian, sebagian imām yang lain mengatakan demikian, maka didalam perkara ini tidak ada pengingkaran. Seperti (misalnya): √ Sebagian menganggap bahwasanya menyentuh lawan jenis adalah membatalkan wudhū’, sebagian yang lain mengatakan tidak membatalkan wudhū’. √ Dalam masalah yang lain, makan daging unta membatalkan wudhū’, sebagian yang lain mengatakan tidak membatalkan wudhū’ Maka ini adalah termasuk masa’il (masalah-masalah) ijtihādiyyah yang menerima ijtihādiyyah didalamnya, karena tidak ada naskh yang shārih. Dalam masalah seperti ini tidak ada pengingkaran. Namun didalam perkara yang jelas disana ada naskh yang shārih, dan perkara ini tidak ada diantara shahābat yang berselisih didalamnya maka tidak sepantasnya seorang muslim dan muslimah berselisih didalam perkara tersebut. Seperti misalnya: √ Ada orang yang meyakini adanya nabi setelah nabi Muhammad shallallāhu ‘alayhi wa sallam. √ Ada sebagian yang mengatakan tidak ada nabi setelah nabi Muhammad shallallāhu ‘alayhi wa sallam. Didalam perkara seperti ini, tidak boleh diantara kita saling berselisih karena jelas didalam Al Qur’ān Allāh Subhānahu wa Ta’āla mengabarkan bahwasanya nabi Muhammad shallallāhu ‘alayhi wa sallam adalah penutup para nabi (‫)خاتم النبين‬ Demikian pula didalam hadīts, Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam: ‫ي بَ ْع ِدي‬ َّ ِ‫ اَل نَب‬، َ‫وأَنَا خَاتَ ُم النَّبِيِّين‬ “Dan aku adalah penutup para nabi dan tidak ada nabi setelahku” Dan tidak ada diantara shahābat radhiyallāhu ta’āla ‘anhum, para tābi’in, para tabiut tābi’in yang mereka meyakini ada nabi setelah nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.



Setiap orang yang mengaku menjadi nabi setelah itu, maka dia adalah seorang pendusta yang harus diperangi. Tidak boleh ada diantara orang Islām yang meyakini bahwasanya ada nabi setelah Muhammad shallallāhu ‘alayhi wa sallam. Perkara seperti ini harus diingkari dan ini bukan termasuk perkara ijtihādiyyah. Demikian pula adanya Al Qur’ān ini telah di tambah atau telah dikurang, atau orang-orang yang mencela para shahābat Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam maka ini adalah perpecahan yang tercela. Tidak boleh seorang muslim mengatakan bahwasanya Al Qur’ān telah dirubah, telah ditambah telah dikurangi, dan tidak boleh mengatakan bahwa para shahābat adalah orang yang tercela atau orangorang yang murtad. Karena Allāh Subhānahu wa Ta’āla telah menjelaskan didalam Al Qur’ān bahwasanya Allāh telah menjaga Al Qur’ān. Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman: َ‫إِنَّا نَحْ نُ نَ َّز ْلنَا ٱل ِّذ ْك َر َوإِنَّا لَهۥُ لَ َح ٰـفِظُون‬ “Sesungguhnya kami telah menurunkan Al Qur’ān dan sesungguhnya kami akan menjaganya.” (QS. Al Hijr: 9) Menjaga Al Qur’ān baik dari lafadznya maupun dari maknanya. Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman: ‫اَّل يَأْتِي ِه ْٱلبَ ٰـ ِط ُل ِم ۢن بَ ْي ِن يَ َد ْي ِه َواَل ِم ْن َخ ْلفِ ِه‬ “Tidak akan datang kedalam Al Qur’ān sebuah kebathilan baik dari depannya maupun dari belakannya.” (QS. Fussillat: 42) Allāh Subhānahu wa Ta’āla telah berjanji untuk menjaga Al Qur’ān tidak boleh ada seorang yang mengaku dirinya muslim mengatakan bahwasanya Al Qur’ān telah ditambah atau di kurang. Seandainya ada seseorang diatas gunung dan dia di dalam gua berusaha untuk menambah satu hurufpun didalam Al Qur’ān niscaya Allāh Subhānahu wa Ta’āla akan menampakan itu ditengahtengah manusia. Tidak boleh ada seorang yang mengaku dirinya muslimin mencela para shahābat radhiyallāhu ta’āla ‘anhum, mencela mereka atau bahkan mengkāfirkan mereka karena didalam Al Qur’ān Allāh Subhānahu wa Ta’āla jelas-jelas memuji para shahābat radhiyallāhu ta’āla ‘anhum. Dalam ayat yang banyak. Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman: ‫ار ُر َح َمٓا ُء بَ ْينَهُ ْم ۖ ت ََر ٰىهُ ْم ُر َّك ۭ ًعا ُس َّج ۭ ًدا‬ ِ َّ‫ُّم َح َّم ۭ ٌد َّرسُو ُل ٱهَّلل ِ ۚ َوٱلَّ ِذينَ َم َع ٓۥهُ أَ ِش َّدٓا ُء َعلَى ْٱل ُكف‬ “Muhammad adalah utusan Allāh dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kāfir tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allāh dan keridhāan-Nya”



(QS. Al Fath: 29) Didalam ayat yang lain, Allāh berfirman: ْ ‫ض َي ٱهَّلل ُ ع َۡنهُمۡ َو َرض‬ ُ‫ُوا ع َۡنه‬ َ ‫َوٱل ٰ َّسبِقُونَ ٱأۡل َ َّولُونَ ِمنَ ۡٱل ُم ٰهَ ِج ِرينَ َوٱأۡل َن‬ ِ ‫ار َوٱلَّ ِذينَ ٱتَّبَعُوهُم بِإِ ۡح ٰ َس ٖن َّر‬ ِ ‫ص‬ “Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islām) di antara orang-orang Muhājirīn dan Anshār dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allāh ridhā kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allāh” (QS. At Tawbah: 100) Allāh meridhāi para shahābat radhiyallāhu ta’āla ‘anhu, bagaimana seseorang mengatakan bahwasanya para shahābat kāfir padahal Allāh Subhānahu wa Ta’āla telah meridhāi mereka dan mereka pun ridhā kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Perbedaan pendapat seperti ini adalah perbedaan pendapat yang tercela dan harus diingkari dan dijelaskan kepada umat. Adapun perselisihan pendapat yang berdasarkan dalīl, sebagian Imām mengatakan pendapat A dan Imām yang lain mengatakan pendapat B, dan masing-masing memiliki dalīl dan berusaha untuk mengikuti Al Qur’ān berusaha untuk mengikuti sunnah, berusaha untuk mengikuti ijmā’ akan tetapi akhirnya memiliki pendapat yang berbeda padahal sudah berusaha untuk mengikuti Al Qur’ān dan Sunnah maka perselisihan pendapat yang seperti ini diperbolehkan. Dan sikap seorang muslim, masing-masing berusaha untuk mencari kebenaran dengan melihat dalīl dan apabila dia sudah menguatkan sebuah pendapat maka hendaklah dia bertoleransi didalam masalah ini dan tidak memaksakan kehendaknya kepada yang lain. Dan ini yang dilakukan oleh para Imām yang empat (Imām Abū Hanīfah, Imām Mālik, Imām Syāfi’i, dan Imām Ahmad bin Hambal) mereka adalah imam-imam ahlus sunnah wa al jamā’ah. Saling berguru antara satu dengan yang lain. √ Imām Ahmad bin Hambal berguru kepada Imām Syāfi’i. √ Imām Syāfi’i berguru kepada Imām Mālik bin Annas. Akan tetapi tidak pernah terdengar bahwasanya mereka saling mencela satu dengan yang lain, bahkan sebagian berimam kepada yang lain (menjadi makmum kepada yang lain). Karena mereka memiliki manhaj yang satu jalan yang satu yaitu berusaha didalam ibadahnya sesuai dengan Al Qur’ān sesuai dengan sunnah Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam dengan pemahaman para shahābat radhiyallāhu ta’āla ‘anhu. Apabila setelah itu terjadi perselisihan maka sebagaimana sabda Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam. ‫ وإذا اجتهد فاخطأ فله أجر واحد‬،‫إذا اجتهد الحاكم فأصاب فله أجران‬ “Apabila seorang hākim, seorang ulamā berijtihād kemudian dia benar maka dia mendapatkan dua pahala.” Dua pahala, yaitu: ⑴ Pahala berijtihād bersungguh-sungguh dengan melihat dalīl ⑵ Pahala ishābatul haq yaitu bisa mendapatkan kebenaran tersebut.



Akan tetapi apabila dia berijtihād kemudian dia salah didalam ijtihād nya maka dia mendapatkan satu pahala (yaitu) pahala berijtihād, pahala bersungguh-sungguh didalam mencari kebenaran. Ini didalam masā’ilu al ijtihādiyyah.



Halaqah 09 | Penjelasan Pokok Kedua Bagian 04 Halaqah yang kesembilan dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan Kitāb Al-Ushūlul As-Sittah (6 Kaidah), sebuah kitāb yang dikarang oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahāb bin Sulaimān At Tamimi rahimahullāh. Kemudian beliau (rahimahullāh) mengatakan: ‫ق فِي أُصُوْ ِل ال ِّد ْي ِن َوفُرُوْ ِع ِه هُ َو ْال ِع ْل ُم َو ْالفِ ْقهُ فِي ال ِّد ْي ِن‬ َ ‫صا َر اأْل َ ْم ُر إِلَى أَ َّن اال ْفتِ َرا‬ َ ‫ثُ َّم‬ Kemudian setelah itu dizaman beliau dizaman sekarang jadilah bahwasanya berpecah belah didalam agama, baik didalam ushūl agama (pokok-pokok) agama maupun didalam cabang-cabangnya dinamakan dengan ilmu dan fiqih didalam agama. Dizaman sekarang kata beliau: Sebagian mengatakan bahwasanya berpecah belah didalam agama adalah termasuk pemahaman (fiqih) Artinya orang yang mengatakan, “Boleh kita berpecah belah, kita memiliki kebebasan untuk beraqidah, kebebasan untuk beribadah, kebebasan untuk menganut kepercayaannya masingmasing”. Dianggap ucapan ini sebagai bentuk pemahaman terhadap agama. Orang yang paham terhadap agama, maka dia akan membebaskan manusia untuk ber’aqidah untuk memiliki kepercayaan masing-masing. Kemudian beliau (rahimahullāh) mengatakan: ٌ ‫اع فٍي دين اَل يَقُوْ لُهُ إِاَّل ِز ْن ِد ْي‬ ‫ق أَوْ َمجْ نُوْ ٌن‬ َ ‫َو‬ ِ ‫صا َر اأْل َ ْم ُر بِاالجْ تِ َم‬ Kemudian perintah untuk berkumpul dan bersatu didalam agama, sebagian mengatakan bahwasanya ini adalah tidak diucapkan kecuali oleh seorang yang zindīq, seorang pendusta atau orang yang gila. Jadi orang yang mengajak manusia untuk bersatu padu didalam hak didalam kebenaran dianggap orang yang zindīq atau orang yang gila. Tidak mungkin kita semua bersatu, tidak boleh kita mengajak orang lain untuk mengikuti kebenaran. Mereka berkata, “Biarkan masing-masing memiliki kepercayaan masing-masing”, tidak boleh saling menganggu satu dengan yang lain. Apabila ada sebagian yang mengajak untuk bersatu didalam kebenaran, meninggalkan ‘aqidah yang bathil, meninggalkan kepercayaan yang tidak benar, dianggapnya orang yang seperti ini adalah orang gila atau orang zindīq. Dan ini yang terjadi dizaman beliau demikian pula dizaman kita. Orang yang beramar ma’ruf nahi munkar, mengajak orang lain untuk memiliki aqidah yang benar, memiliki tauhīd yang benar, melarang mereka untuk memiliki ‘aqidah yang salah, kepercayaan yang salah, dianggapnya ini adalah orang yang majnun (orang gila) atau orang yang zindīq.



Adapun orang yang membiarkan kepercayaan-kepercayaan tersebut, membiarkan ‘aqidah-aqidah tersebut tersebar diantara masyarakat maka ini dianggap sebagai orang yang paham tentang agamanya. Dan ini tentunya kebalikan dari apa yang sudah Allāh jelaskan didalam Al Qur’ān dan dijelaskan oleh Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam didalam hadīts-hadīts yang shahīh. Ini adalah pokok yang kedua yang ingin dijelaskan oleh pengarang didalam kitāb ini. Kesimpulannya: √ Perintah dari Allāh Subhānahu wa Ta’āla pada kita semua kaum muslimin untuk saling bersatu didalam al haq, bersatu didalam kebenaran √ Larangan bagi kita untuk saling berpecah belah didalam agama kita. Apabila terjadi perselisihan diantara kita, diantara kaum muslimin baik dalam masalah aqidah, baik dalam masalah ibadah, baik masalah haram dan halal maka Allāh dan Rasūl nya telah memberikan jalan keluar. Didalam Al Qur’ān, Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman: ْ ‫ُوا ٱهَّلل َ َوأَ ِطيع‬ ْ ‫ٰيَٓأَيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُ ٓو ْا أَ ِطيع‬ َ ‫ُوا ٱل َّرس‬ ِ ‫ُول َوأُوْ لِي ٱأۡل َمۡ ِر ِمن ُكمۡۖ فَإِن تَ ٰنَ َز ۡعتُمۡ فِي ش َۡي ٖء فَ ُر ُّدوهُ إِلَى ٱهَّلل ِ َوٱل َّرسُو ِل إِن ُكنتُمۡ تُ ۡؤ ِمنُونَ بِٱهَّلل‬ ۡ ‫……وٱليَ ۡو ِم ٱأۡل ٓ ِخ ۚ ِر‬ َ “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allāh dan taatilah Rasūl (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allāh (Al Qur’ān) dan Rasūl (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allāh dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nissā’: 59) Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian taat kepada Allāh, taat kepada rasūl dan juga pemerintah kalian (penguasa kalian), apabila kalian saling berselisih didalam satu perkara, baik dalam masalah aqidah, masalah ibadah, masalah yang lain, maka hendaklah kalian kembalikan kepada Allāh juga kepada rasūl Nya. √ Dikembalikan kepada Allāh. √ Dikembalikan kepada Al Qur’ān. Dilihat apakah sesuai tidak dengan Al Qur’ān pendapat kita. √ Kembalikan kepada rasūl. √ Kembalikan kepada hadīts nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam. Apakah pendapat kita sesuai dengan hadīts Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam atau tidak? Kalau sesuai, maka kita amalkan dan kalau tidak sesuai maka harus kita tinggalkan. Dan ini kata Allāh: ‫اخ ِر‬ ِ >ََٔ‫ۚ إِن ُكنتُ ْم تُ ْؤ ِمنُونَ بِٱهَّلل ِ َو ْٱليَوْ ِم ْٱلٔـ‬ “Apabila kalian benar-benar beriman kepada Allāh dan beriman kepada hari akhir hendaklah kalian mengembalikan perselisihan kita kepada Allāh dan juga rasūl Nya.”



Apabila diantara dua orang saling berselisih dan satunya mengatakan sunnah, satunya mengatakan tidak disunnahkan maka masing-masing harus mengembalikan kepada Allāh dan rasūl Nya. Kalau Allāh dan rasūl nya mengatakan sunnah maka semuanya harus sami’nā wa atha’nā (mendengar dan taat) tidak boleh ada diantara kita yang memiliki pilihan yang lain didalam perpecahan ini. Apabila Allāh mengatakan A, dan rasūl nya mengatakan A, maka semuanya harus mengatakan A tersebut. Didalam hadīts Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengatakan: ْ ‫فَإِنَّهُ َم ْن يَ ِعشْ ِم ْن ُك ْم فَ َسيَ َرى‬ َ‫ فَ َعلَ ْي ُك ْم بِ ُسنَّتِي َو ُسنَّ ِة ْال ُخلَفَا ِء الرَّا ِش ِد ْين‬،‫اختِالَ فًا َكثِ ْيرًا‬ “Sesungguhnya barangsiapa yang hidup diantara kalian setelahku maka dia akan melihat perselisihan yang banyak, maka hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para khulafā’ur rāsyidīn.” (Hadīts riwayat Abū Dāwūd dan At Tirmidzī) Ketika melihat perpecahan yang banyak diantara umat (perselisihan yang banyak) maka petunjuk beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam supaya kita kembali kepada sunnah beliau dan sunnah para khulafā’ur rāsyidīn. Ini adalah petunjuk Allāh dan rasūl Nya ketika terjadi perselisihan.



Halaqah 10 | Penjelasan Pokok Ke Tiga Bagian 01 Halaqah yang ke-10 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Penjelasan Kitāb Al-Ushūlul As-Sittah (6 Kaidah), sebuah kitāb yang dikarang oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahāb bin Sulaimān At Tamimi rahimahullāh. Beliau (rahimahullāh) mengatakan: ُ ِ‫ اَأْل َصْ ُل الثَّال‬: ‫ث‬ ‫اع ال َّس ْم َع َوالطَّا َعةَ لِ َم ْن تَأ َ َّم َر َعلَ ْينَا َولَوْ َكانَ َع ْبدًا َحبَ ِشيًّا‬ ِ ‫أَ َّن ِم ْن تَ َم ِام االجْ تِ َم‬ • Pokok yang ketiga : Sesungguhnya termasuk kesempurnaan bersatu adalah mendengar dan taat kepada orang yang telah berkuasa atas kita (pemerintah atau para penguasa kita). Beliau mengatakan ini adalah termasuk kesempurnaan persatuan, setelah kemarin beliau membahas tentang masalah bersatu diatas hak (diatas Al Qur’ān diatas hadīts) dengan pemahaman para shahābat radhiyallāhu ta’āla ‘anhum, maka beliau menyebutkan pada perkara yang ketiga ini bahwa diantara yang menyempurnakan persatuan diantara kaum muslimin adalah apabila mereka mau mendengar dan taat kepada penguasanya. Dan ucapan ini adalah ucapan yang hak dan in syā Allāh akan kita sebutkan dalīl-dalīl dari Al Qur’ān maupun hadīts-hadīts Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam yang isinya adalah kewajiban mendengar dan taat kepada pemerintah dan juga penguasa kita. Beliau (rahimahullāh) mengatakan: “Ini adalah kesempurnaan dari makna persatuan”



Tidak mungkin seseorang atau kaum muslimin bisa bersatu, kecuali apabila disana ada penguasa, ada pemerintah yang dia akan memberikan hak kepada yang berhak, melindungi orang yang terzhālimi, beramar ma’ruf nahi munkar, menegakkan syar’iat dan melakukan perkara-perkara yang lain, baik yang berhubungan dengan dunia maupun yang berhubungan dengan ibadah yang tidak mungkin dilakukan kecuali apabila disana ada penguasa. Termasuk kesempurnaan persatuan bagi umat Islām adalah mendengar dan taat kepada penguasa. Dan tidak bermanfaat adanya seorang penguasa dan pemerintah kecuali apabila rakyatnya, mereka mau mendengar dan taat kepada penguasa. Seandainya disana ada seorang penguasa (memerintah disebuah negara) akan tetapi rakyatnya tidak mau mendengar dan tidak mau mentaati apa yang datang darinya, baik berupa perintah maupun larangan, maka keberadaan penguasa tersebut sama dengan tidak adanya. Oleh karena itu, ini pentingnya kita mendengar dan taat kepada pemerintah, tidak akan bersatu umat Islām kecuali dengan adanya penguasa baik penguasa tersebut adalah penguasa yang shālih maupun penguasa yang tidak shālih. Dan tidak bermanfaat yang dinamakan dengan penguasa atau memerintah kecuali kita mau mendengar dan taat kepada pemerintah tersebut. Oleh karena itu Umar bin Khaththāb radhiyallāhu ta’āla ‘anhu (diriwayatkan dari beliau). Beliau mengatakan: ‫ارةَ إِاَّل بِطَا َع ٍة‬ َ ‫ َواَل إِ َم‬، ‫ار ٍة‬ َ ‫ َواَل َج َما َعةَ ِإاَّل بِإِ َم‬، ‫ال ِإسْاَل َم ِإاَّل ِب َج َما َع ٍة‬ “Tidak ada Islām kecuali dengan berjamā’ah, kecuali dengan bersatu, dan tidak ada persatuan kecuali apabila disana ada penguasa, dan tidak ada kekuasaan kecuali dengan ketaatan” Islām tidak akan tegak kecuali dengan adanya persatuan diantara kaum muslimin, karena banyak ibadah atau syar’iat didalam agama Islām yang tidak mungkin ditegakkan kecuali dengan persatuan diantara kaum muslimin (persatuan antara rakyat dengan pemerintah dan diantara kaum muslimin). Tidak mungkin kaum muslimin bersatu kecuali disana ada pemimpinnya. Karena apabila sebuah kelompok, sekecil apapun seandainya tidak ada pemimpin maka masingmasing merasa tidak dikuasai oleh orang lain. Sehingga melakukan apa yang dia ingin kan. Tidak ada yang berhak untuk memerintah dia, tidak ada yang berhak untuk melarang dia, membuat peraturan sendiri, tidak mungkin sebuah kelompok sekecil apapun bisa bersatu kecuali apabila disana ada pemimpinnya. Oleh karena itu didalam Islām, ketika seseorang safar bersama yang lain, maka diperintahkan untuk mengangkat seorang pemimpin. (Ketika dalam bepergian apalagi didalam keadaan seseorang dalam keadaan muqim) Tidak mungkin kelompok apapun, sekecil apapun bisa bersatu kecuali apabila memiliki pemimpin. Oleh karena itu beliau mengatakan (radhiyallāhu ta’āla ‘anhu), “Tidak ada persatuan kecuali apabila disana ada imārah ada kekuasaan. Dan tidak ada kekuasaan kecuali dengan ketaatan”



Tidak bermanfaat (tidak berfaedah) yang dinamakan dengan kekuasaan kecuali apabila anggotanya, rakyatnya mentaati penguasa tersebut. Disini kita memahami hubungan yang erat antara Islām dan ketaatan kepada pemerintah. Beliau (radhiyallāhu ta’āla ‘anhu) mengatakan: ‫ارةَ إِاَّل بِطَا َع ٍة‬ َ ‫ َواَل إِ َم‬، ‫ار ٍة‬ َ ‫ َواَل َج َما َعةَ إِاَّل بِإِ َم‬، ‫ال ِإسْاَل َم إِاَّل بِ َج َما َع ٍة‬ Hubungan antara Islām dengan ketaatan kepada pemerintah sangat erat, dan ini diucapkan oleh seorang khulafā’ur rāsyidīn yang kita diperintahkan untuk mengikuti sunnahnya. َ‫َعلَ ْي ُك ْم بِ ُسنَّتِي َو ُسنَّ ِة ْال ُخلَفَا ِء الرَّا ِش ِدينَ ْال َم ْه ِديِّين‬ Menunjukkan tentang pentingnya didalam Islām, taat kepada penguasa dan juga pemerintah kita. Oleh karena itu beliau (rahimahullāh) mengatakan, ‫اع ال َّس ْم َع َوالطَّا َعةَ لِ َم ْن تَأ َ َّم َر َعلَ ْينَا‬ ِ ‫أَ َّن ِم ْن تَ َم ِام االجْ تِ َم‬ Bagi orang yang telah Allāh taqdirkan untuk menjadi penguasa bagi kita, baik dia adalah orang yang shālih, baik dia adalah seorang yang fajir (yang bermaksiat) apabila Allāh telah menjadikan dia sebagai seorang penguasa, maka kewajiban kita adalah mendengar dan taat. Kemudian beliau (rahimahullāh) mengatakan: ‫َولَوْ َكانَ َع ْبدًا َحبَ ِشيًّا‬ “Meskipun yang berkuasa tersebut adalah seorang budak dari Habasyah” Seorang budak, seandainya dia menjadi seorang penguasa maka kewajiban kita adalah mendengar dan taat. Padahal yang namanya penguasa kebanyakan adalah orang yang merdeka, dan seandainya (qadarullāh) yang terjadi penguasa tersebut adalah seorang budak (bukan seorang yang merdeka) maka kita tetap diwajibkan mendengar dan taat kepada pemerintah tersebut. Habasyian (budak dari Habasyah) dan budak dari Habasyah dikenal oleh orang-orang Arab sebagai budak yang dimata manusia adalah seorang yang rendah (kedudukannya hina), akan tetapi apabila dia menjadi seorang penguasa maka kewajiban kita, meskipun kita adalah seorang yang merdeka bukan seorang budak maka kita harus mendengar dan taat penguasa tersebut. Dan ucapan beliau ini diambil dari hadīts Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam, ketika beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam) memberikan nasehat kepada para shahābat diakhir hayat beliau. Suatu hari setelah shubuh beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam) memberikan nasehat kepada para shahābat dengan nasehat yang sangat dalam. Kemudian salah seorang shahābat berkata kepada Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam, ‫ِّع‬ َ ‫يَا َرس‬ ٍ ‫ُول هَّللا ِ! كَأَنَّهَا َموْ ِعظَةُ ُم َود‬ “Yā Rasūlullāh, seakan-akan ini adalah nasehat orang yang akan berpisah. (Nasehat yang sangat dalam yang penuh dengan makna yang membuat gemetar hati para shahābat dan membuat mata mereka menangis). Maka hendaklah engkau memberikan wasiat kepada kami.”



Nasehat orang yang berpisah, tentunya orang yang berpisah tersebut akan memilih nasehat yang luas maknanya, yang sangat penting bagi orang yang akan ditinggalkan. Apa yang beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam) katakan? ِ ‫وصي ُك ْم بِتَ ْق َوى هَّللا‬ ِ ُ‫أ‬ “Aku wasiat kan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allāh” Nasehat pertama yang beliau ucapkan kepada para shahābat adalah nasehat untuk bertaqwa kepada Allāh. Kemudian apa yang beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam katakan? ‫صي ُك ْم بِتَ ْق َوى هَّللا ِ َوال َّس ْم ِع َوالطَّا َع ِة َوإِ ْن َع ْبدًا َحبَ ِشيًّا‬ ِ ‫أُو‬ “Dan hendaklah kalian mendengar dan taat kepada orang yang telah menjadikan amir (penguasa) bagi kalian meskipun dia adalah seorang budak dari Habasyah” Nasehat Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam kepada para shahābat, adalah: ⑴ Bertaqwa kepada Allāh. ⑵ Taat kepada pemerintah kita (penguasa kita) meskipun dia adalah seorang budak dari Habasyah. Dan ini menunjukkan pentingnya mendengar dan taat bahkan beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam) menjadikan mendengar dan taat kepada pemerintah nomor dua setelah beliau berwasiat dengan ketaqwaan kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla.



Halaqah 12 | Penjelasan Pokok Ke Tiga Bagian 03 Para ulamā menjelaskan apabila memang terjadi kekufuran yang sangat jelas dari seorang penguasa (dari seorang pemerintah), maka di sana ada syarat-syarat yang lain yang harus dipenuhi dan ini sebutkan oleh para ulamā. Apabila tidak terjadi di sana kerusakan yang lebih besar. Apabila di sana justru terjadi kerusakan yang lebih besar, apabila seseorang memberontak karena pemerintahnya melakukan kekufuran, melakukan kekāfiran yang jelas, apabila di sana justru terjadi kerusakan yang lebih besar maka diharamkan seseorang untuk memberontak. Ini disebutkan oleh para ulamā di dalam kitāb-kitābnya. Dan kaum muslimin memiliki ganti yang lebih baik. Kalau misalnya bisa memberontak tetapi tidak memiliki ganti yang lebih baik, maka tidak diperbolehkan untuk melakukan pemberontakan. Dan juga syarat-syarat yang lain. Para ulamā telah ketat di dalam masalah ini dan perkara seperti ini dikembalikan kepada para ulamā yang besar, para pembesar ulamā, bukan hanya kepada seorang da’i, seorang ustadz, tetapi dikembalikan kepada ulamā-ulamā besar yang mereka mengetahui maslahat dan juga mudharat, mana yang baik dan mana yang buruk bagi kaum muslimin. Dan dalīl yang lain yang menunjukkan tentang wajibnya mendengar dan taat kepada pemerintah adalah sabda Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam, ” Bahwanya kita diperintahkan untuk mendengar dan taat kecuali apabila dia diperintahkan untuk kemaksiatan, apabila diperintahkan untuk berbuat maksiat maka tidak ada mendengar dan tidak ada ketaatan” َ‫صيَ ٍة فَالَ َس ْم َع َوالَ طَا َعة‬ ِ ‫صيَ ٍة فَإِ ْن أُ ِم َر بِ َم ْع‬ ِ ‫إِالَّ أَ ْن ي ُْؤ َم َر بِ َم ْع‬ “Kecuali apabila dia diperintahkan untuk kemaksiatan, apabila diperintahkan untuk berbuat maksiat maka tidak ada mendengar dan tidak ada ketaatan.” (HR Muslim 3423/1839) ‫ا ْس َمعُوا َوأَ ِطيعُوا‬ Mendengarlah kalian dan taatlah kalian, َ‫صيَ ٍة فَالَ َس ْم َع َوالَ طَا َعة‬ ِ ‫فَإِ ْن أُ ِم َر بِ َم ْع‬ Namun apabila diperintahkan untuk berbuat maksiat maka tidak ada mendengar dan tidak ada ketaatan. Artinya di dalam perintah tersebut, pemerintah dan juga penguasa memiliki peraturan-peraturan, di antara peraturan tersebut ada yang sesuai dengan syar’iat Allāh dan rasūl Nya dan ada di antara peraturan tersebut yang tidak sesuai. Yang sesuai dengan syar’iat Allāh dan rasūl Nya, maka kita diwajibkan untuk mendengar dan juga taat. Disebutkan oleh para ulamā contohnya (misalnya) peraturan lalu lintas.



Kita diharuskan memiliki SIM, kita diharuskan untuk mengikuti rambu-rambu lalu lintas, dilarang parkir di sebuah tempat, apabila lampu berwarna merah maka harus berhenti, maka ini adalah peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah untuk kemaslahatan bersama. Pada asalnya ini adalah kewajiban kita sebagai rakyat untuk mendengar dan taat kepada penguasa tersebut di dalam peraturan-peraturan ini, karena peraturan-peraturan ini tidak bertentangan dengan syar’iat Allāh dan juga rasūl Nya. Namun ketika membuat peraturan yang di situ ada kemaksiatan kepada Allāh dan Rasūl Nya maka tidak boleh seseorang untuk mendengar dan taat di dalam peraturan tersebut dan dia masih diwajibkan untuk mendengar dan taat didalam peraturan-peraturan tersebut sesuai dengan Al Qurān dan hadīts Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam. Kemudian beliau mengatakan ‫وقَ َدرًا‬, َ demikian pula dari segi taqdir, Allāh Subhānahu wa Ta’āla telah menjelaskan baik dengan syar’iat maupun dengan taqdir. Maksudnya dengan taqdir adalah dengan apa yang kita lihat, disekitar kita, kita bisa bedakan antara sebuah negara yang rakyatnya di situ mendengar dan taat kepada penguasanya, dengan sebuah negara yang rakyatnya tidak mendengar dan juga tidak taat kepada pemerintahnya. Beda antara dua negara ini, negara yang rakyatnya melakukan ketaatan dan mendengar apa yang diperintahkan oleh pemerintah, maka kita dapatkan keamanan di dalam negara tersebut, ketenangan, nyaman rakyatnya di dalam melakukan berbagai kegiatan, baik kegiatan agama maupun kegiatan dunia, dengan leluasa mereka beribadah, melakukan haji setiap tahun, melakukan shalāt lima waktu secara berjama’ah, mendirikan shalāt hari raya, juga syar’iat-syar’iat yang lain. Dan dengan leluasa mereka melakukan kegiatan dunia, berdagang, bepergian, karena rakyatnya mendengar dan taat kepada pemerintahnya. Lain dengan sebuah negara yang di situ rakyatnya tidak mendengar dan tidak taat kepada pemerintah, keamanan tidak stabil, rakyatnya di dalam berbagai kegiatan mereka merasa tidak aman, baik ketika beribadah maupun dalam melakukan kegiatan-kegiatan dunia, banyak di antara mereka yang tidak bisa melaksanakan haji, takut untuk shalāt berjama’ah, wanita yang muslimah takut untuk menggunakan jilbab dan juga perkara-perkara yang lain. Beda antara sebuah negara yang rakyatnya taat kepada penguasa dengan sebuah negara yang rakyatnya tidak taat kepada penguasa. Oleh itu beliau mengatakan: ‫شَرْ عًا َوقَ َدرًا‬. “Baik secara syar’iat maupun taqdir”, taat kepada pemerintah adalah sesuatu yang sangat penting bagi seorang muslim.



Halaqah 15 | Penjelasan Pokok Ke Empat Bagian 02 Demikian pula sabda Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam: ‫َم ْن ي ُِر ِد هللاُ بِ ِه َخيْـرًا يُـفَـقِـ ْههُ فِي ال ِّد ْي ِن‬ “Barangsiapa yang Allāh kehendaki kebaikan, maka Allāh Subhānahu wa Ta’āla akan menjadikannya dirinya faqīh (memahami) agamanya.” Barangsiapa yang Allāh kehendaki kebaikan kepada dirinya diinginkan oleh Allāh menjadi orang yang beruntung. Ciri-cirinya apa?



⇒ Allāh akan menjadikan dirinya memahami agamanya. Yang dimaksud dengan fiqih disini adalah ilmu agama dan ini menunjukkan tentang keutamaan menuntut ilmu agama. Dijadikan dia semangat menuntut ilmu, dijadikan dia mudah untuk memahami agamanya, inilah orang yang dikehendaki kebaikan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Dan sebaliknya orang yang tidak Allāh kehendaki kebaikan maka dijadikan dia tidak memahami agamanya. Dan dalīl-dalīl yang lain apabila kita menemukan lafadz ilmu didalam Al Qur’ān maupun hadīts-hadīts Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam maka ketahuilah bahwasanya ilmu tersebut maksudnya adalah ilmu agama (bukan ilmu yang lain). Karena sebagian, apalagi dizaman sekarang menganggap semua pengetahuan dinamakan dengan ilmu, sehingga ilmu-ilmu duniapun dianggap itu ilmu yang dimaksud didalam Al Qur’ān dan juga hadīts-hadīts Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam. Padahal para ulamā telah menjelaskan bahwasanya ilmu agama itulah yang dimaksud didalam Al Qur’ān dan juga hadīts, adapun ilmu-ilmu dunia meskipun dinamakan ilmu oleh sebagian manusia maka itu bukan yang dimaksud didalam Al Qur’ān dan juga hadīts. Ilmu dunia apabila digunakan untuk kebaikan, manfaat bagi manusia maka seseorang diharapkan mendapatkan pahala, namun apabila ilmu dunia digunakan untuk mudharat (merusak) maka tentunya orang yang menyebarkannya (mengajarkannya) bukan mendapatkan pahala akan tetapi justru mendapatkan dosa. Ini perbedaan antara ilmu agama yang dimaksud didalam Al Qur’ān dan juga hadīts dengan ilmuilmu dunia. Dan yang dimaksud dengan ulamā adalah orang yang berpegang teguh dengan Al Qur’ān dan juga sunnah Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam dan mengilmui keduanya. Setelah kita mengetahui apa itu ilmu berarti kita mengetahui siapa itu ulamā (yaitu) orang yang membawa Al Qur’ān dan juga hadīts-hadīts Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam. Merekalah para ulamā dan merakalah yang telah dipuji oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla didalam Al Qur’ān, bahwasanya mereka adalah orang-orang yang takut kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Karena ilmu yang dia miliki, ilmu yang ada didalam Al Qur’ān dan juga hadīts-hadīts Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam. √ Merekalah yang paling mengetahui dan mengenal Allāh Subhānahu wa Ta’āla. √ Merekalah yang paling takut dengan Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Oleh karena itu Allāh berfirman: ‫إِنَّ َما يَ ْخشَى ٱهَّلل َ ِم ْن ِعبَا ِد ِه ْٱل ُعلَ َم ٰـٓؤ ُ۟ا‬ “Sesungguhnya orang yang takut kepada Allāh diantara hamba-hambanya adalah para ulamā.” (QS. Fāthir: 28) Kenapa demikian? √ Karena mereka paling mengenal apa yang ada didalam Al Qur’ān dan juga hadīts-hadīts Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam,



√ Karena mereka mengenal siapa Allāh dan apa hak nya. √ Karena mereka mengenal siapa Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam dan apa hak nya. √ Karena mereka mengenal tentang agama Islām ini. √ Karena mereka mengenal pondasi agama ini dan apa cabangnya, sehingga merekalah yang disifati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla sebagai hamba-hamba Nya yang sangat takut dengan Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Dan didalam hadīts Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengatakan: ‫ْال ُعلُ َما ُء َو َرثَةُ ْاألَ ْنبِيَا ِء‬ “Para ulamā adalah pewaris para nabi” (Hadīts shahīh riwayat At Tirmidzī) Ini menunjukkan bahwasanya ulamā adalah orang yang mengetahui apa yang datang dari para nabi. Apa yang datang dari mereka? Yang datang dari mereka adalah apa yang dikatakan oleh Allāh dan apa yang dikatakan oleh rasūl Nya. Dan tugas mereka (para ulamā) adalah mewarisi apa yang datang dari para nabi, (artinya) mewarisi (mengambil dari mereka) apa adanya dan menyampaikan kepada yang setelahnya. Jadi tugas ulamā bukan menambah apa yang datang dari para nabi dan bukan mengurangi apa yang datang dari nabi atau merubah-rubah maknanya. Tugas mereka (para ulamā) adalah mewarisi para nabi. Inilah yang dinamakan dengan ulamā yang datang didalam Al Qur’ān dan juga hadīts-hadīts Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam. Dan ini terkadang samar bagi sebagian orang, sehingga mereka tidak bisa membedakan siapa ulamā dan siapa yang bukan ulamā. Karena berlalunya masa, berlalunya waktu banyaknya fitnah, banyaknya subhat sehingga sebagian saudara kita tidak bisa membedakan mana yang disebut dengan ulamā dan mana yang bukan ulamā.