Hubungan Antara Afeksi Dan Kognisi [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Hubungan Antara Afeksi dan kognisi Perasaan kita dan suasana hati memiliki pengaruh yang kuat terhadap beberapa aspek kognisi, dan kognisi juga berperan kuat pada perasaan dan suasana hati kita. Suasana hati saat ini dapat secara kuat mempengaruhi reaksi kita terhadap rangsang yang baru pertama kali kita temui. Contoh: ketika kita sedang bergembira dan berkenalan dengan orang baru, penilaian kita terhadap orang tersebut pastinya lebih baik dibanding saat kita berkenalan dengannya ketika kita bersedih. Perasaan hati (moods) kita dapat mempengaruhi apa yang kita ingat melalui dua mekanisme: 1.  Pengaruh pada ingatan, ingatan yang bergantung pada suasana hati (mooddependent memory) yaitu apa yang kita ingat saat berada dalam suasana hati tertentu, sebagian besar ditentukan oleh apa yang kita pelajari sebelumnya ketika kita berada dalam suasana hati tersebut. 2. Efek kesesuaian suasana hati (mood-congruence effects) yaitu kecenderungan untuk menyimpan atau mengingat informasi positif ketika berada dalam suasana hati positif dan informasi negattif ketika berada dalam suasana hati yang negatif. Perasaan hati kita juga berpengaruh pada aspek penting kognisi  yang lain yaitu kreativitas. Hasil dari beberapa penelitian menyebutkan bahwa berada dalam mood yang baik (happy mood) dapat meningkatkan kreativitas. Mungkin karena dengan  berada dalam mood yang baik dapat mengaktifkan jangkauan ide dan asosiasi menjadi lebih luas daripada ketika berada dalam mood yang negatif, dan kreativitas merupakan bagian dari penyatuan beberapa asosiasi ke dalam bentuk atau pola yang baru (Estrada, Isen, & Young,1995). Afeksi juga dapat mempengaruhi kognisi lewat pengaruhnya pada rencana-rencana dan tujuan kita dalam situasi sosial yang lebih luas. Temuan terbaru oleh Forgas (1998) menyebutkan bahwa negosiator yang berada dalam mood baik memiliki strategi-strategi kooperatif yang lebih banyak dan memperoleh hasil yang lebih baik daripada negosiator yang berada dalam mood buruk. Penemuan terbaru mengindikasikan bahwa informasi yang membangkitkan reaksi afeksi mungkin diproses secara berbeda daripada jenis informasi yang lain, sebagai akibatnya, informasi ini hampir tidak mungkin untuk diabaikan atau dikesampingkan (Edwards, Heindel, &Louis-Dreufus, 1996; Wegner & Gold, 1995). Mungkin fakta-fakta yang paling meyakinkan sebagai kesimpulan telah dikemukakan oleh Edward dan Bryan (1997). Peneliti-peneliti tersebut beralasan bahwa emosi-informasi yang menggemparkan mungkin menjadi penyebab yang potensial dari kontaminasi mental (mental contamination) – yaitu suatu proses judgement, emosi, atau perilaku yang dipengaruhi oleh proses mental yang tidak sadar dan tidak dapat dikontrol (Wilson & Brekke, 1984). Secara khusus, Edward dan Bryan menyarankan bahwa informasi yang membangkitkan reaksi emosional mungkin akan menimbulkan beberapa akibat karena individu-individu sering memiliki kontrol yang kurang atas reaksi emosional mereka, dan karena reaksi-reaksi tersebut menyebar secara alami.



Pengaruh kognisi terhadap afeksi Sebagian peneliti yang mempelajari hubungan antara afeksi dan kognisi telah fokus pada bagaimana perasaan mempengaruhi pikiran. Meskipun demikian, ada juga fakta yang berkebalikan, yaitu pengaruh kognisi terhadap afeksi. Satu aspek dari hubungan ini dideskripsikan dalam apa yang disebut sebagahu  the two-factor theory of emotion (Schachter, 1964). Teori tersebut mengatakan bahwa seringkali kita tidak mengetahui perasaan atau sikap kita sendiri. Sehingga, kita menyimpulkannya dari lingkungan—dari situasi di mana kita mengalami reaksi-reaksi internal ini. Contohnya: ketika kita mengalami perasaan tertentu atas kehadiran seseorang yang menarik, kita menyimpulkan bahwa kita sedang jatuh cinta. Selain itu, kognisi bisa mempengaruhi emosi melalui aktivitas skema yang di dalamnya terdapat komponen afektif yang kuat. Skema atau stereotip yang teraktivasi dengan kuat dapat sangat berpengaruh pada perasaan atau suasana hati kita saat ini. Selain itu, pikiran bisa mempengaruhi afeksi melibatkan usaha kita dalam mengatur emosi kita. Contohnya, kemarahan yang kita rasakan bisa berkurang ketika kita menerima permintaan maaf atau penjelasan mengapa orang lain berbuat sesuatu yang memicu kemarahan kita itu (Ohbuci,Kameda, & Agari, 1989). Lebih jauh lagi, kemarahan seringkali bisa dikurangi, atau bahkan dicegah dengan cara lebih memikirkan hal lain daripada memikirkan sesuatu yang membuat kita menjadi marah (Zillmann, 1993). Model Infusi Afeksi : Bagaimana Afeksi Mempengaruhi Kognisi Menurut Forgas (1995a), perasaan mempengaruhi pemikiran sosial dan pendapat sosial melalui dua mekanisme pokok : 1. Perasaan menyajikan sesuatu yang terbaik berhubungan dengan kategori kognitif. Ketika kita berada dalam mood yang baik, perasaan positif akan memberi keterangan berkaitan dengan ingatan dan asosiasi yang positif. Ketika kita berada dalam mood yang buruk, perasaan negatif cenderung untuk memberi keterangan berkaitan dengan ingatan dan asosiasi yang negatif (Bower, 1991 ; Erber, 1991). 2. Bertindak sebagai isyarat heuristik yaitu aturan sederhana untuk membuat keputusan kompleks atau untuk menarik kesimpulan secara cepat dan seakan tanpa usaha yang berarti, yang dibutuhkan ketika kita berada dalam keadaan di mana pengolahan informasi kita telah berada di luar kapasitas kemampuan yang sesungguhnya sehingga menuntut system kognitif yang lebih besar daripada yang bisa diolah. Keragaman Sosial : Sebuah Analisis Kritis Pengalaman emosional adalah suatu aspek umum dari kehidupan sosial; melalui rangkaian hari, minggu, atau bulan,  sebagian besar orang menghadapi situasi yang menyebabkan mereka memiliki pengalaman emosi seperti gembira, marah, takut, sedih, dan merasa bersalah. Namun pertanyaannya adalah : apakah faktor budaya berpengaruh terhadap reaksi-reaksi emosi tersebut? Dengan kata lain apakah orang yang hidup dalam budaya yang berbeda mengalami pengalaman emosi yang sama, ataukah berbeda? Jawaban untuk pertanyaan tsb telah dinyatakan oleh Scherer dan Walbot (1994) melalui sebuah penelitian skala besar. Dalam penelitian ini hampir tiga ribu



orang yang tinggal dalam tiga puluh tujuh negara yang berbeda diminta untuk mengingat situasi yang menyebabkan mereka mengalami tujuh macam emosi : gembira, marah, takut, sedih, jijik, malu, dan merasa bersalah. Kemudian penliti menanyakan beberapa pertanyaan tentang bagaimana mereka menghadapi situasi-situasi tersebut. Dari penelitian mereka disimpulkan bahwa 1. Kehidupan di seluruh dunia dan dalam banyak budaya yang berbeda menyumbangkan berbagai pengalaman dasar kehidupan sosial, tetapi 2). Reaksi dan interpretasi mereka terhadap banyak peristiwa begitu beragam dan dipengaruhi oleh budaya khusus dalam kehidupan mereka. Perbedaan budaya memberikan pengaruh pada penilaian seseorang terhadap pengalaman emosional. Faktor yang memainkan peran dalam perbedaan ini yaitu urbanisasi dan faktor kepercayaan/agama.



Pemahaman akan perilaku konsumen dapat diaplikasikan dalam beberapa hal, yang pertama adalah untuk merancang sebuah strategi pemasaran yang baik, misalnya menentukan kapan saat yang tepat perusahaan memberikan diskon untuk menarik pembeli.[3] Kedua, perilaku konsumen dapat membantu pembuat keputusan membuat kebijakan publik.[3] Misalnya dengan mengetahui bahwa konsumen akan banyak menggunakan transportasi saat lebaran, pembuat keputusan dapat merencanakan harga tiket transportasi di hari raya tersebut. Aplikasi ketiga adalah dalam hal pemasaran sosial (social marketing), yaitu penyebaran ide di antara konsumen.[3] Dengan memahami sikap konsumen dalam menghadapi sesuatu, seseorang dapat menyebarkan ide dengan lebih cepat dan efektif.



[sunting] Pendekatan dalam meneliti perilaku konsumen Terdapat tiga pendekatan utama dalam meneliti perilaku konsumen.[4] Pendekatan pertama adalah pendekatan interpretif.[4] Pendekatan ini menggali secara mendalam perilaku konsumsi dan hal yang mendasarinya. Studi dilakukan dengan melalui wawancara panjang dan focus group discussion untuk memahami apa makna sebuah produk dan jasa bagi konsumen dan apa yang dirasakan dan dialami konsumen ketika membeli dan menggunakannya. Pendekatan kedua adalah pendekatan tradisional yang didasari pada teori dan metode dari ilmu psikologi kognitif, sosial, dan behaviorial serta dari ilmu sosiologi.[4] Pendekatan ini bertujuan mengembangkan teori dan metode untuk menjelaskan perliku dan pembuatan keputusan konsumen. Studi dilakukan melalui eksperimen dan survey untuk menguji coba teori dan mencari pemahaman tentang bagaimana seorang konsumen memproses informasi, membuat keputusan, serta pengaruh lingkungan sosial terhadap perilaku konsumen. Pendekatan ketiga disebut sebagai sains marketing yang didasari pada teori dan metode dari ilmu ekonomi dan statistika.[4] Pendekatan ini dilakukan dengan mengembangkan dan menguji coba model matematika berdasarkan hirarki kebutuhan manusia menurut Abraham Maslow untuk memprediksi pengaruh strategi marketing terhadap pilihan dan pola konsumsi, yang dikenal dengan sebutan moving rate analysis. Ketiga pendekatan sama-sama memiliki nilai dan tinggi dan memberikan pemahaman atas perilaku konsumen dan strategi marketing dari sudut pandang dan tingkatan analisis yang



berbeda. Sebuah perusahaan dapat saja menggunakan salah satu atau seluruh pendekatan, tergantung permasalahan yang dihadapi perusahaan tersebut.[4]



[sunting] Roda analisis konsumen Roda analisis konsumen adalah kerangka kerja yang digunakan marketer untuk meneliti, menganalisis, dan memahami perilaku konsumen agar dapat menciptakan strategi pemasaran yang lebih baik.[4] Roda analisis konsumen terdiri dari tiga elemen: afeksi dan kognisi, lingkungan, dan perilaku.



[sunting] Afeksi dan kognisi



Tipe respons afektif Elemen pertama adalah afeksi dan kognisi. Afeksi merujuk pada perasaan konsumen terhadap suatu stimuli atau kejadian, misalnya apakah konsumen menyukai sebuah produk atau tidak. Kognisi mengacu pada pemikiran konsumen, misalnya apa yang dipercaya konsumen dari suatu produk. Afeksi dan kognisi berasal dari sistem yang disebut sistem afeksi dan sistem kognisi. Meskipun berbeda, namun keduanya memiliki keterkaitan yang sangat kuat dan saling memengaruhi. Manusia dapat merasakan empat tipe respons afektif: emosi, perasaan tertentu, mood, dan evaluasi. Setiap tipe tersebut dapat berupa respons positif atau negatif. Keempat tipe afeksi ini berbeda dalam hal pengaruhnya terhadap tubuh dan intensitas perasaan yang dirasakan. Semakin kuat intensitasnya, semakin besar pengaruh perasaan itu terhadap tubuh, misalnya terjadi peningkatan tekanan darah, kecepatan pernapasan, keluarnya air mata, atau rasa sakit di perut. Bila intensitasnya lemah, maka pengaruhnya pada tubuh tidak akan terasa. Sistem kognisi terdiri dari lima proses mental, yaitu: memahami, mengevaluasi, merencanakan, memilih, dan berpikir. Proses memahami adalah proses menginterpretasi atau menentukan arti dari aspek tertentu yang terdapat dalam sebuah lingkungan. mengevaluasi berarti menentukan apakah sebuah aspek dalam lingkungan tertentu itu baik atau buruk, positif atau negatif, disukai atau tidak disukai. Merencanakan berarti menentukan bagaimana memecahkan sebuah masalah untuk mencapai suatu tujuan. Memilih berarti membandingkan alternatif solusi dari sebuah masalah dan menentukan alternatif terbaik, sedangkan berpikir adalah aktifitas kognisi yang terjadi dalam ke empat proses yang disebutkan sebelumnya.



Fungsi utama dari sistem kognisi adalah untuk menginterpretasi, membuat masuk akal, dan mengerti aspek tertentu dari pengalaman yang dialami konsumen. Fungsi kedua adalah memproses interpretasi menjadi sebuah task kognitif seperti mengidentifikasi sasaran dan tujuan, mengembangkan dan mengevaluasi pilihan alternatif untuk memenuhi tujuan tersebut, memilih alternatif, dan melaksanakan alternatif itu. Besar kecilnya intensitas proses sistem kognitif berbeda-beda tergantung konsumennya, produknya, atau situasinya. Konsumen tidak selalu melakukan aktifitas kognisi secara ekstensif, dalam beberapa kasus, konsumen bahkan tidak banyak berpikir sebelum membeli sebuah produk.



[sunting] Proses pengambilan keputusan pembelian Sebelum dan sesudah melakukan pembelian, seorang konsumen akan melakukan sejumlah proses yang mendasari pengambilan keputusan, yakni:[5] 1. Pengenalan masalah (problem recognition).[1] Konsumen akan membeli suatu produk



2.



3.



4.



5.



sebagai solusi atas permasalahan yang dihadapinya. Tanpa adanya pengenalan masalah yang muncul, konsumen tidak dapat menentukan produk yang akan dibeli.[1] Pencarian informasi (information source).[1] Setelah memahami masalah yang ada, konsumen akan termotivasi untuk mencari informasi untuk menyelesaikan permasalahan yang ada melalui pencarian informasi.[1] Proses pencarian informasi dapat berasal dari dalam memori (internal) dan berdasarkan pengalaman orang lain (eksternal).[1] Mengevaluasi alternatif (alternative evaluation).[1] Setelah konsumen mendapat berbagai macam informasi, konsumen akan mengevaluasi alternatif yang ada untuk mengatasi permasalahan yang dihadapinya.[1] Keputusan pembelian (purchase decision).[1] Setelah konsumen mengevaluasi beberapa alternatif strategis yang ada, konsumen akan membuat keputusan pembelian.[1] Terkadang waktu yang dibutuhkan antara membuat keputusan pembelian dengan menciptakan pembelian yang aktual tidak sama dikarenakan adanya hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan.[1] Evaluasi pasca pembelian (post-purchase evaluation) merupakan proses evaluasi yang dilakukan konsumen tidak hanya berakhir pada tahap pembuatan keputusan pembelian.[6] Setelah membeli produk tersebut, konsumen akan melakukan evaluasi apakah produk tersebut sesuai dengan harapannya.[7] Dalam hal ini, terjadi kepuasan dan ketidakpuasan konsumen.[1] Konsumen akan puas jika produk tersebut sesuai dengan harapannya dan selanjutnya akan meningkatkan permintaan akan merek produk tersebut pada masa depan.[1] Sebaliknya, konsumen akan merasa tidak puas jika produk tersebut tidak sesuai dengan harapannya dan hal ini akan menurunkan permintaan konsumen pada masa depan.[1]



[sunting] Faktor-faktor yang memengaruhi Terdapat 5 faktor internal yang relevan terhadap proses pembuatan keputusan pembelian:[1]



1. Motivasi (motivation) merupakan suatu dorongan yang ada dalam diri manusia untuk



mencapai tujuan tertentu.[1] 2. Persepsi (perception) merupakan hasil pemaknaan seseorang terhadap stimulus atau kejadian yang diterimanya berdasarkan informasi dan pengalamannya terhadap rangsangan tersebut.[1] 3. Pembentukan sikap (attitude formation) merupakan penilaian yang ada dalam diri seseorang yang mencerminkan sikap suka/tidak suka seseorang akan suatu hal.[1] 4. Integrasi (integration) merupakan kesatuan antara sikap dan tindakan.[1] Integrasi merupakan respon atas sikap yang diambil. Perasaan suka akan mendorong seseorang untuk membeli dan perasaan tidak suka akan membulatkan tekad seseorang untuk tidak membeli produk tersebut.[1]