Hubungan Hyperbaric Oxygen Therapy Dengan Tuli Sensorineural Mendadak Dan Tinnitus [PDF]

  • Author / Uploaded
  • Resty
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN



REFERAT



UNIVERSITAS PATTIMURA



MEI 2016



HUBUNGAN HYPERBARIC OXYGEN THERAPY DENGAN TULI SENSORINEURAL MENDADAK DAN TINITUS



Disusun oleh: Maynel Christianti Palyama (2009-83-001) Irma Gabrelliana Siahainenia (2009-83-010) Chelsy Simatauw (2009-83-032) Fahrianis Laitupa (2009-83-027)



DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PATTIMURA PIRU 2016



HUBUNGAN HYPERBARIC OXYGEN THERAPY DENGAN TULI SENSORINEURAL MENDADAK DAN TINITUS



I.



TULI SENSORINEURAL MENDADAK (SUDDEN SENSORINEURAL HEARING LOSS/SSNHL)



A.



DEFINISI Tuli



mendadak



atau



sudden



sensorineural



hearing



loss



(SSNHL)



didefinisikan sebagai bentuk sensasi subjektif kehilangan pendengaran sensorineural pada satu atau kedua telinga yang berlangsung secara cepat dalam periode 72 jam, dengan kriteria audiometri berupa penurunan pendengaran ≥30 dB sekurangkurangnya pada 3 frekuensi berturut-turut, yang menunjukkan adanya abnormalitas pada koklea, saraf auditorik, atau pusat persepsi dan pengolahan impuls pada korteks auditorik di otak. Jika penyebab tuli mendadak tidak dapat diidentifikasi setelah pemeriksaan yang adekuat, disebut idiopathic sudden sensorineural hearing loss (ISSNHL).1 Keparahan tuli mendadak berdasarkan derajat penurunan pendengaran, menurut WHO, terbagi atas beberapa tingkatan sebagaimana tersaji dalam tabel berikut.



1



Tabel 1 Derajat penurunan pendengaran menurut klasifikasi WHO2



B.



EPIDEMIOLOGI Kasus baru tuli mendadak atau sudden sensorineural hearing loss (SSNHL)



dilaporkan sebanyak 15,000 diseluruh dunia terhitung sekitar 1% dari semua kasus sensorineural hearing loss.3 Meskipun semua usia dapat dipengaruhi, insiden puncak tuli sensorineural mendadak antara dekade kelima dan keenam. Kejadiannya sama antara perempuan dan laki-laki.4 Kehilangan pendengaran sebagian besar biasanya unilateral (kurang dari 2% yang memiliki keterlibatan bilateral). Gejala yang muncul antara lain tinnitus (41%90%), pusing (29%-56%) atau atau sensasi ringan disorientasi spasial muncul pada 50% dari kasus. Tinnitus digambarkan sebagai perasaan suara terus-menerus atau intermiten), dan telinga terasa penuh. Banyak pasien melaporkan pertama kali kehilangan pendengaran ketika bangun tidur. Kehilangan pendengaran bisa saja ringan dan terbatas dalam frequency range atau dapat total.3,4



2



C.



ETIOLOGI DAN PATOGENESIS Penyebab tuli mendadak masih belum diketahui secara jelas; banyak teori



dugaan penyebab yang dikemukakan oleh para ahli. Sebuah data memperkirakan 1% kasus tuli mendadak disebabkan oleh kelainan retrokoklea yang berhubungan dengan vestibular schwannoma, penyakit demielinisasi, atau stroke, 10-15% kasus lainnya disebabkan oleh penyakit Meniere, trauma, penyakit autoimun, sifilis, penyakit Lyme, atau fistula perilimfe. Dalam praktik, 85-90% kasus tuli mendadak bersifat idiopatik yang etiopatogenesisnya tidak diketahui pasti.1,5,6 Dalam sebuah systematic review, diuraikan beberapa kemungkinan penyebab tuli mendadak, yaitu idiopatik (71%), penyakit infeksi (12,8%), penyakit telinga (4,7%), trauma (4,2%), vaskular dan hematologik (2,8%), neoplasma (2,3%), serta penyebab lainnya (2,2%).7 Ada empat teori utama yang mencoba menjelaskan penyebab tuli mendadak, yakni infeksi virus, kelainan vaskular, kerusakan membran intrakoklea, dan kelainan imunologi.8 



Infeksi virus Meskipun sampai saat ini masih belum ditemukan bukti kuat, infeksi virus



dianggap sebagai salah satu penyebab tuli mendadak. Sebuah studi oleh Wilson (1986) menunjukkan adanya hubungan antara infeksi virus dengan kejadian tuli mendadak. Dalam studi ini, ditemukan tingkat serokonversi untuk virus herpes secara signifikan lebih tinggi pada populasi pasien tuli mendadak. Pada studi lain, dilakukan pemeriksaan histopatologi tulang temporal dan ditemukan kerusakan pada koklea yang konsisten dengan infeksi virus. Terdapat pula temuan lain, seperti hilangnya sel



3



rambut dan sel penyokong, atrofi membran tektoria, atrofi stria vaskularis, dan hilangnya sel neuron, yang berhubungan dengan mumps virus, maternal rubella, dan virus campak.9,10 



Kelainan vaskular Iskemia koklea merupakan penyebab utama tuli mendadak. Koklea



memperoleh asupan darah dari arteri labirintin atau arteri auditiva interna. Pembuluh darah ini merupakan end artery yang tidak memiliki vaskularisasi kolateral, sehingga jika terganggu dapat mengakibatkan kerusakan koklea. Kelainan yang menyebabkan iskemia koklea atau oklusi pembuluh darah—seperti trombosis atau embolus, vasopasme, atau berkurangnya aliran darah—dapat mengakibatkan degenerasi luas sel ganglion stria vaskularis dan ligament spiralis yang diikuti pembentukan jaringan ikat dan penulangan. 9,10 



Kerusakan membran intrakoklea Terdapat membran tipis yang memisahkan telinga dalam dari telinga tengah



dan ada membran halus yang memisahkan ruang perilimfe dengan endolimfe dalam koklea. Robekan salah satu atau kedua membran tersebut secara teoretis dapat menyebabkan tuli sensorineural. Kebocoran cairan perilimfe ke dalam telinga tengah melalui tingkap bundar dan tingkap lonjong didalilkan sebagai penyebab ketulian dengan membentuk hidrops endolimfe relatif atau menyebabkan robeknya membran intrakoklea. Robekan membran intrakoklea memungkinkan terjadinya percampuran perilimfe dan endolimfe sehingga mengubah potensial endokoklea. Teori ini diakui



4



oleh Simmons, Goodhill, dan Harris, dengan pembuktian histologi yang didokumentasikan oleh Gussen.9 



Kelainan imunologi Tuli sensorineural yang disebabkan oleh proses autoimun diperkenalkan oleh



McCabe pada tahun 1979.3 Pada kondisi ini, ditemukan adanya kehilangan pendengaran progresif. Adanya aktivitas imun pada koklea mendukung konsep teori ini. Gangguan pendengaran pada sindrom Cogan, SLE, dan kelainan reumatik autoimun lainnya telah lama diketahui. Sebagai pendukung lain teori ini, terdapat sebuah studi prospektif pada 51 pasien tuli mendadak dan ditemukan beberapa kelainan



yang



berkaitan



dengan



sistem



imun



(multiple



immune-mediated



disorders).9,11



D.



GEJALA KLINIS Keluhan pasien pada umumnya berupa hilangnya pendengaran pada satu sisi



telinga saat bangun tidur.12 Sebagian besar kasus bersifat unilateral, hanya 1-2% kasus bilateral.9 Kejadian hilangnya pendengaran dapat bersifat tiba-tiba, berangsurangsur hilang secara stabil atau terjadi secara cepat dan progresif. Kehilangan pendengaran bisa bersifat fluktuatif, tetapi sebagian besar bersifat stabil. Tuli mendadak ini sering disertai dengan keluhan sensasi penuh pada telinga dengan atau tanpa tinitus; terkadang didahului oleh timbulnya tinitus.12 Selain itu, pada 28-57% pasien dapat ditemukan gangguan vestibular, seperti vertigo atau disequilibrium.13



5



E.



DIAGNOSIS Menurut AAO-HNS (American Academy of Otolaryngology-Head and Neck



Surgery) guideline, langkah pertama diagnosis tuli mendadak adalah membedakan tuli sensorineural dan tuli konduktif melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, tes penala, pemeriksaan audiometri, dan pemeriksaan penunjang lainnya. Ketulian atau hearing loss diklasifikasikan menjadi tuli konduktif, tuli sensorineural, atau campuran. Tuli konduktif disebabkan oleh abnormalitas telinga luar, membran timpani, rongga udara telinga tengah, atau tulang pendengaran, struktur yang menghantarkan gelombang suara ke koklea. Sementara itu, tuli sensorineural disebabkan oleh adanya abnormalitas koklea, saraf auditorik, dan struktur lain yang mengolah impuls neural ke korteks auditorik di otak. Tuli konduktif dan tuli sensorineural memerlukan penanganan yang sangat berbeda. Sebagai contoh, tuli konduktif yang terjadi akibat impaksi serumen dapat ditangani dengan evakuasi serumen, lain halnya dengan penanganan pada tuli sensorineural yang lebih kompleks karena penyebabnya sering tidak diketahui.1,10 Pada anamnesis ditanyakan onset dan proses terjadinya ketulian (berlangsung tiba-tiba, progresif cepat atau lambat, fluktuatif, atau stabil), persepsi subjektif pasien mengenai derajat ketulian, serta sifat ketulian (unilateral atau bilateral). Selain itu, ditanyakan juga gejala yang menyertai seperti sensasi penuh pada telinga, tinitus, vertigo, disequilibrium, otalgia, otorea, nyeri kepala, keluhan neurologis, dan keluhan sistemik lainnya. Riwayat trauma, konsumsi obat-obat ototoksik, operasi dan 6



penyakit sebelumnya, pekerjaan dan pajanan terhadap kebisingan, serta faktor predisposisi lain yang penting juga perlu ditanyakan.1,10,12 Pada pemeriksaan fisik, dilakukan inspeksi saluran telinga dan membran timpani untuk membedakan tuli konduktif dan tuli sensorineural. Penyebab tuli konduktif berupa impaksi serumen, otitis media, benda asing, perforasi membran timpani, otitis eksterna yang menyebabkan edema saluran telinga, otosklerosis, trauma, dan kolesteatoma. Sebagian besar kondisi ini dapat didiagnosis dengan pemeriksaan otoskopi. Di lain pihak, pemeriksaan otoskopi pada pasien tuli sensorineural hampir selalu mendapatkan hasil normal. Pemeriksaan fisik umum dan pemeriksaan neurologis juga dilakukan, terutama pada pasien dengan tuli mendadak bilateral, tuli mendadak dengan episode rekuren, dan tuli mendadak dengan defisit neurologis fokal, untuk mencari kelainan serta penyakit penyerta lainnya.1,6,13 Selain itu, dapat dilakukan pemeriksaan hum test dan tes penala untuk membantu klinisi membedakan tuli konduktif dan tuli sensorineural sebelum dilakukan pemeriksaan audiometri. Pada hum test, pasien diminta bersenandung dan kemudian memberitahu apakah suara didengar lebih keras di satu telinga atau sama di keduanya. Pada tuli konduktif, suara akan terdengar lebih keras pada telinga yang sakit, sebaliknya pada tuli sensorineural suara akan terdengar lebih keras pada telinga yang sehat. Menurut AAO-HNS guideline, tes penala dapat digunakan untuk konfirmasi temuan audiometri. Tes penala berupa tes Weber dan tes Rinne dilakukan dengan alat bantu garpu tala 256 Hz atau 512Hz juga melihat ada tidaknya lateralisasi ke salah satu sisi telinga.1,13 7



Gambar 1 Tes Weber dan tes Rinne1,13



Pemeriksaan



audiometri



lengkap,



termasuk



audiometri



nada



murni,



audiometri tutur (speech audiometry) dan audiometri impedans (timpanometri dan pemeriksaan refl eks akustik), merupakan pemeriksaan yang wajib dilakukan dalam mendiagnosis tuli mendadak.1,6,13 Hal ini sesuai dengan salah satu kriteria definisi tuli mendadak menurut NIDCD 2003, yakni terdapat penurunan pendengaran ≥30 dB sekurang-kurangnya pada 3 frekuensi berturut-turut pada pemeriksaan audiometri.1,14 Pemeriksaan audiometri diperlukan untuk membuktikan ketulian dan menentukan derajat penurunan pendengaran. Hantaran tulang dan hantaran udara dalam audiometri nada murni membantu menentukan jenis ketulian, baik tuli 8



konduktif, tuli sensorineural, maupun tuli campuran (Gambar 2). Audiometri tutur dapat digunakan untuk memverifikasi hasil audiometri nada murni. Timpanometri dan pemeriksaan refleks akustik juga dapat membedakan tuli konduktif dan tuli sensorineural serta memberikan petunjuk tambahan untuk etiologi. Timpanometri dapat membantu dalam mengeksklusi kemungkinan adanya komponen konduktif pada pasien dengan penurunan pendengaran sangat berat.12



Gambar 2 Audiogram standar yang memperlihatkan tuli sensorineural telinga kiri.13



Pemeriksaan laboratorium dilakukan berdasarkan keluhan dan riwayat pasien serta kemungkinan etiologi. Pemeriksaan laboratorium rutin tidak spesifik tidak



9



direkomendasikan sebab jarang terbukti membantu menentukan etiologi tuli mendadak (Tabel 2).1,9,12 Tabel 2 Pemeriksaan laboratorium pada tuli mendadak.9



Pemeriksaan auditory brainstem response (ABR) dapat memberikan informasi tambahan mengenai sistem auditorik. Pemeriksaan ABR ini berguna mengevaluasi kemungkinan etiologi retrokoklea dan dapat digunakan untuk menetapkan ambang batas pendengaran pada pasien yang sulit diperiksa, seperti anak-anak, orang tua, dan malingerers. Pemeriksaan ABR memiliki sensitivitas tinggi dalam mendeteksi lesi retrokoklea, tetapi terbatas hanya untuk mendeteksi vestibular schwannoma yang berukuran lebih dari 1 cm. Sensitivitas ABR untuk mendeteksi vestibular schwannoma ukuran kecil sekitar 8-42%; saat ini menurun bila dibandingkan dengan akurasi diagnostic pencitraan resonansi magnetik (MRI). 1,9,12 Pemeriksaan MRI merupakan baku emas diagnosis vestibular schwannoma. Pemeriksaan MRI dengan Gadolinium dinilai memiliki sensitivitas tinggi dan digunakan untuk menyingkirkan kemungkinan abnormalitas retrokoklea, seperti neoplasma, stroke, atau penyakit demielinisasi. Pada pasien dengan alat pacu jantung, implant logam, dan klaustrofobia, yang menjadi kontraindikasi pemeriksaan MRI,



10



dapat dilakukan alternatif lain berupa pemeriksaan tomografi komputer (CT Scan), pemeriksaan ABR, atau keduanya; kedua pemeriksaan ini memiliki sensitivitas lebih rendah dibandingkan MRI dalam mendeteksi kelainan retrokoklea.13



F.



DIAGNOSIS BANDING Tabel 3. Diagnosis banding tuli mendadak.9,12



11



E.



TATA LAKSANA



Gambar 3 Penanganan tuli mendadak.13



Kortikosteroid sistemik Berbagai penelitian penggunaan kortikosteroid pada pasien tuli mendadak telah dipublikasikan. Terdapat bukti laboratorium yang menunjukkan adanya cascade inflamasi kematian sel pada pasien tuli mendadak, yang dimodifikasi oleh terapi steroid. Kortikosteroid yang diberikan adalah glukokortikoid sintetik oral, intravena, dan/atau intratimpani, meliputi prednison, metilprednisolon, dan deksametason.



12



Kortikosteroid diperkirakan memiliki efek antiinflamasi dan kemampuan dalam meningkatkan aliran darah koklea.1,8 Dewasa ini, standar pengobatan tuli mendadak adalah dengan tapering off kortikosteroid oral. Sebuah studi RCT (randomized controlled trial) membandingkan terapi steroid oral dengan plasebo pada 67 pasien, menunjukkan hasil perbaikan lebih signifikan pada kelompok pasien dengan terapi steroid oral dibandingkan kelompok pasien dengan plasebo (61% vs.32%, p 10 dB diperoleh 86% pasien, dan 14% hanya terjadi perbaikan minimal (