Hubungan Kondisi Fisik Lingkungan Rumah Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Teupin Raya Kabupaten Pidie TAHUN 2018 [PDF]

  • Author / Uploaded
  • Rhaa
  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

HUBUNGAN KONDISI FISIK LINGKUNGAN RUMAH DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TEUPIN RAYA KABUPATEN PIDIE TAHUN 2018



SKRIPSI



Oleh :



MEUTIA ANDINI NIM: 131021029



PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2018



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



HUBUNGAN KONDISI FISIK LINGKUNGAN RUMAH DENGAN KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TEUPIN RAYA KABUPATEN PIDIE TAHUN 2018



SKRIPSI



Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara



Oleh :



MEUTIA ANDINI NIM: 131021029



PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2018



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Pernyataan Keaslian Skripsi Saya menyatakan dengan ini bahwa skripsi saya yang berjudul „Hubungan Kondisi Fisik Lingkungan Rumah Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Teupin Raya Kabupaten Pidie Tahun 2018‟ berserta seluruh isinya adalah benar karya saya sendiri dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara – cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku dalam keilmuan kecuali yang secara tertulis diacu dalam nasaah ini dan disebut dalam daftar pustaka. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung resiko atau sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini, atau klaim dari pihak lain terhadap keaslian karya saya ini.



Medan, Oktober 2018



Meutia Andini



i



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



ii



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Telah diuji dan dipertahankan Pada Tanggal : 01 November 2018



TIM PENGUJI SKRIPSI Ketua



: Dr.dr.Taufik Ashar, M.K.M



Anggota



: 1. Ir. Indra Chahaya S, M.Si. 2. Dr. Devi Nuraini Santi, M.Kes



iii



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Abstrak Tuberkulosis paru (TB Paru) adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang penyakit parenkim paru. Banyak faktor yang berhubungan dengan kejadian TB paru diantaranya adalah kondisi lingkungan fisik rumah seperti jenis lantai, kepadatan hunian, ventilasi, pencahayaan dan kelembaban. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kondisi fisik lingkungan rumah dengan kejadian TB Paru. Jenis penelitian adalah analitik observasional dengan rancangan penelitian case control. Sampel penelitian sebanyak 62 orang terdiri dari kelompok kasus (penderita TB Paru) sebanyak 31 kasus dan kelompok kontrol sebanyak 31 orang. Instrumen pengumpulan data menggunakan data observasi dan analisis data dilakukan dengan analisi univariat, bivariat dan multivariat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel jenis lantai tidak memiliki hubungan bermakna dengan kejadian TB (p=0,420). Variabel bebas yang memiliki hubungan signifikan dengan kejadian TB paru adalah kepadatan hunian (p=0,036), ventilasi (p=0,012), pencahayaan (p=0,033), kelembaban (p=0,038). Variabel paling dominan berhubungan signifikan dengan kejadian TB Paru adalah variabel ventilasi dengan nilai Exp(B)=79,073. Dinas Kesehatan Kabupaten Pidie disarankan untuk lebih meningkatkan promosi kesehatan terutama tentang faktor faktor yang berhubungan dengan kejadian TB Paru. Kata kunci : Tuberkulosis, kepadatan, ventilasi, pencahayaan, kelembaban



iv



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Abstract Pulmonary tuberculosis is an infectious disease, which primarily attacks pulmonary parenchymal disease. Many factors related to the incidence of pulmonary tuberculosis including physical condition of the house such as type of floor, density, ventilation, lighting and humidity. It is an observational analytic with case control research design aimed at determining the relationship of physical conditions of the home environment with the incidence of pulmonary tuberculosis. Total samples are 62 subjects, consists of the case group (patients with pulmonary tuberculosis) are 31 subjects and the control group are 31 subjects. The collection of data used an observation method and the collected data were then analyzed by univariate, bivariate and multivariate analysis. The results of the study shown that type of floor did not have a significant relationship with the incidence of pulmonary tuberculosis (p=0,420). The independent variables that have a significant relationship with the incidence of pulmonary tuberculosis and its risk factor are habitat density (p=0,036), ventilation (p=0,012), lighting (p=0,033), humidity (p=0,038). The most dominant influence on the incidence of pulmonary tuberculosis was the ventilation variable with Exp (B) = 79,073. It is suggested to The Regencial Health Department of Pidie to further improve health promotion, especially regarding factors that have a significant relationship with the incidence of pulmonary tuberculosis.



Keywords: Tuberculosis, occupancy, ventilation, lighting, humidity



v



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Kata Pengantar



Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat Rahmat dan KaruniaNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Hubungan Kondisi Lingkungan Fisik Rumah Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Teupin Raya Kabupaten Pidie Tahun 2018”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat yang harus dibuat untuk dapat menyelesaikan pendidikan Strata I pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan dan masih sangat jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan dari berbagai hal. Untuk itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik dari berbagai pihak yang bersifat membangun demi kebaikan isi skripsi ini. Selama proses pendidikan dan penyusunan skripsi ini, penulis telah banyak mendapat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada: 1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Rektor Universitas Sumatera Utara 2. Prof. Dr. Dra. Ida Yustiana, M.Si selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. 3. Dr. dr. Taufik Ashar, M.K.M selaku Ketua Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas dan Dosen Pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengarahan pada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.



vi



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



4. Drs. Jemadi, M.Kes selaku Dosen Pembimbing Akademik penulis di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. 5. Ayahanda Hermanto Nasution dan Ibunda Asmah Abdullah yang menjadi dua orang paling berharga dalam hidupku, mendoakan, memberi dukungan, menyumbangkan segala materi , serta membesarkan dan menyayangi selama hidupku. 6. Kepala Puskesmas, Staf, dan Karyawan Puskesmas Teupin Raya Kabupaten Pidie yang telah banyak membantu penulis dalam memberikan data dan informasi yang diperlukan dalam penyelesaian skripsi ini. 7. Para Responden di Wilayah Kerja Puskesmas Teupin Raya Kabupaten Pidie yang telah banyak membantu penulis dalam memberian data dan informasi yang diperlukan dalam penyelesaian skripsi ini. 8. Para Sahabat sejati terbaikku yang selalu memberi semangat, motivasi, dan bantuan dalam pengerjaan skripsi ini. 9. Pihak-pihak lain yang belum tersebutkan namanya dan telah memberikan bantuan demi terselesaikannya skripsi ini. Penulis pun menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, Penulis pun bersedia dalam menerima segala kritikan dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan penulisan



vii



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Daftar Isi



Halaman Halaman Pernyataan Keaslian Skripsi Halaman Pengesahan Abstrak Abstract Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar Daftar Lampiran Riwayat Hidup



i iii iv v vi viii xi xiii viii xv



Pendahuluan Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Tujuan umum Tujuan khusus Manfaat Penelitian



1 1 4 4 4 5 5



Tinjauan Pustaka Tuberkulosis Paru (TB Paru) Definisi Etiologi Diagnosis Gejala Tanda Pemeriksaan dahak mikroskopis Pencegahan dan penanggulangan TB paru Pengobatan TB paru Lingkungan Fisik Rumah Definisi Kriteria rumah sehat Kondisi fisik lingkungan rumah Kepadatan hunian Ventilasi Kelembapan Pencahayaan Jenis lantai Landasan Teori Kerangka Konsep



viii



7 7 7 7 8 8 8 9 9 10 11 11 11 15 15 17 18 19 20 20 21



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Metode Penelitian Jenis Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian Populasi dan Sampel Variabel dan Definisi Operasional Metode Pengumpulan Data Metode Pengukuran Data Metode Analisa Data



23 23 23 23 26 28 28 30



Hasil Penelitian Gambaran Lokasi Penelitian Gambaran umum Puskesmas Teupin Raya Analisis Univariat Karakteristik responden Kondisi fisik lingkungan Jenis lantai Kepadatan hunian Ventilasi Pencahayaan Kelembaban Kejadian TB paru Analisis Bivariat Hubungan jenis lantai dengan kejadian TB paru Hubungan kepadatan hunian dengan kejadian TB paru Hubungan ventilasi dengan kejadian TB paru Hubungan pencahayaan dengan kejadian TB paru Hubungan kelembapan dengan kejadian TB paru Hasil Uji Regresi Logistik Hasil uji tahap awal Variabel paling dominan berhubungan



31 31 31 32 32 33 33 34 34 34 34 34 35 35 36 36 37 38 39 39 40



Pembahasan 42 Hubungan Kondisi Fisik Lingkungan Rumah Dengan Kejadian TB 42 Hubungan jenis lantai dengan kejadian TB paru 42 Hubungan kepadatan hunian dengan kejadian TB paru 43 Hubungan ventilasi dengan kejadian TB paru 45 Hubungan pencahayaan dengan kejadian TB paru 47 Hubungan kelembapan dengan kejadian TB paru 48



Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Saran



50 50 51



ix



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Daftar Pustaka Lampiran



53



x



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Daftar Tabel No 1



Judul



Halaman



Jumlah Penghuni yang sesuai dengan Jumlah Kamar Tidur



16



2



Jumlah Penghuni yang Sesuai dengan Luas Lantai



16



3



Karakteristik Sampel Penelitian Berdasarkan Umur



26



4



Distribusi Frekuensi Umur, Jenis Kelamin, Pendidikan dan Pekerjaan di Wilayah Kerja Puskesmas Teupin Raya Tahun 2018



32



Distribusi Frekuensi Kondisi Fisik Lingkungan di Wilayah Kerja Puskesmas Teupin Raya Tahun 2018



33



Kategori Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Teupin Raya Tahun 2018



35



Tabulasi Silang Antara Jenis Lantai dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Teupin Raya Tahun 2018



35



Tabulasi Silang Antara Kepadatan Huni dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Teupin Raya Tahun 2018



36



Tabulasi Silang Antara Ventilasi dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Teupin Raya Tahun 2018



37



Tabulasi Silang Antara Pencahayaan dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Teupin Raya Tahun 2018



37



Tabulasi Silang Antara Pencahayaan dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Teupin Raya Tahun 2018



38



Kandidat Uji Multivariat Berdasarkan Hasil Uji Chi-square di Wilayah Kerja Puskesmas Teupin Raya Tahun 2018



39



5



6



7



8



9



10



11



12



xi



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



13



14



Hasil Pengaruh Regresi Logistik Tahap Awal di Wilayah Kerja Puskesmas Teupin Raya Tahun 2018



40



Variabel Paling Dominan Berhubungan dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Teupin Raya Tahun 2018



41



xii



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Daftar Gambar



No



Judul



Halaman



1



Kerangka Teori



21



2



Kerangka Konsep



21



2



Proses Pengukuran Cahaya Menggunakan Luxmeter



76



3



Wawancara Dengan Responden



76



4



Ventilasi Rumah Responden



77



5



Salah Satu Rumah Responden



77



xiii



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Daftar Lampiran



Lampiran



Judul



Halaman



1



Surat Kesediaan Menjadi Responden



56



2



Lembar Kuesioner



57



3



Master Data



61



4



Hasil Pengolahan Data



62



4



Surat Izin Penelitian



74



5



Surat Keterangan Selesai Penelitian



75



6



Dokumentasi



76



xiv



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Riwayat Hidup Penulis bernama Meutia Andini yang dilahirkan pada tanggal 18 September 1991 di Kabanjahe. Penulis Beragama Islam, anak pertama dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Hermanto Nasution dan Asma Abdullah. Pendidikan formal dimulai di Taman Kanak-Kanak Uswatun Hasanah pada tahun 1997-1998, Sekolah Dasar Negri 02 Lawe Sigala-gala tahun 19982003, Sekolah Menengah Pertama di SMPS Al-Azhar Medan tahun 2003-2006, Sekolah Menengah Atas di SMAN 01 Lawe Sigala-gala pada tahun 2006-2009, Diploma di Akademi Analis Kesehatan Pemda Aceh pada tahun 2009-2012 selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan di Program Studi S1 Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.



Medan, Oktober 2018



Meutia Andini



xv



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Pendahuluan



Latar Belakang Tuberkulosis (TB) Paru merupakan salah satu penyebab kematian utama yang diakibatkan oleh infeksi. Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh bakteri berbentuk batang (basil) yang dikenal dengan nama Mycobacterium tuberculosis, yang sebagian besar (80%) menyerang paru-paru. World Health Organization (WHO) melaporkan 8,6 juta kasus TB Paru pada tahun 2012, 450.000 orang menderita Multi Drug Resistance TB Paru (MDR TB Paru) dan 170.000 diantaranya meninggal dunia (Kemenkes, 2015). Asia Tenggara merupakan daerah dengan kasus TB Paru terbanyak di tahun 2013, sebanyak 56 % dari total kasus baru TB Paru pada tahun tersebut berasal dari daerah ini. Indonesia sendiri termasuk dalam 22 negara yang disebut dengan HBCs (High Burden Countries) yaitu 22 negara penyumbang kasus TB Paru paling banyak di seluruh dunia. Data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan prevalensi TB paru yang terdiagnosis oleh tenaga kesehatan di Indonesia adalah sebesar 0,4 % (Kemenkes, 2014). Prevalensi TB Paru di Indonesia mengalami fluktuasi yaitu pada tahun 2009 sebanyak 294.731 kasus, pada tahun 2010 sebanyak 302.861 kasus, pada tahun 2011 sebanyak 321.308 kasus, pada tahun 2012 sebanyak 331.441 kasus, pada tahun 2013 sebanyak 327.103 kasus, pada tahun 2014 sebesar 324.539 kasus (Kemenkes RI, 2016). Kejadian TB paru di Propinsi Aceh tahun 2015 sebesar 80 per 100.000 penduduk sedangkan angka notifikasi dari seluruh kasus TB paru mencapai 119 per 100.000 penduduk dan prevalensi kejadian TB Paru di



1



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



2



Kabupaten Pidie termasuk lima tertinggi dari seluruh Kabupaten di Provinsi Aceh (Balitbangkes, 2016). Kecenderungan kejadian kasus TB paru baru tahun 2015 di propinsi Aceh mencapai 4.023 kasus dan jumlah kasus tertinggi yang dilaporkan terdapat di Kota Subulussalam dan Kabupaten Pidie. Berdasarkan data Profil Kesehatan Republik Indonesia tahun 2016 dari 188.300 jumlah kasus TB Paru di Indonesia, 1,7% merupakan kasus TB Paru di Propinsi Aceh sebanyak 3210 dengan jumlah penderita berjenis kelamin laki-laki sebanyak 2052 dan perempuan sebanyak 1158 penderita. Dari jumlah penderita TB paru tersebut angka kesembuhan hanya sebesar 71,1%. Lima Kabupaten/Kota dengan angka kejadian TB Paru tertinggi di Provinsi Aceh adalah Subulussalam (3,7%), Aceh Selatan (3,6%), Aceh Tenggara (2,2%), Aceh Barat Daya dan Pidie masing-masing sebesar 2,1% (Kemenkes, 2017). Faktor risiko yang berhubungan dengan TB Paru terbagi atas faktor intrinsik dan ekstrinsik. Lingkungan fisik rumah sebagai faktor ekstrinsik sangat erat kaitannya dengan angka kesakitan TB Paru. Lingkungan perumahan sangat berpengaruh pada terjadinya TB Paru. Rumah dengan jendela kurang proporsional ukurannya, menyebabkan pertukaran udara yang tidak dapat berlangsung dengan baik, akibatnya Mycobacterium tuberculosis berkembang dengan baik. Rumah yang lembab dan basah karena banyak air yang terserap di dinding tembok dan matahari pagi sukar masuk dalam rumah juga memudahkan agen berkembang dengan baik (Helper, 2010).



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



3



Lingkungan dan kondisi rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan merupakan faktor risiko penularan TB Paru. Kasus TB Paru erat hubungannya dengan faktor lingkungan tempat tinggal yang kumuh, sanitasi yang buruk, kepadatan hunian rumah, pencahayaan, jenis lantai, jenis dinding, ventilasi, dan kelembaban ruangan berpengaruh signifikan pada kejadian TB Paru (Heriyani, 2013). Hasil pengamatan pada saat melakukan survei pendahuluan di rumah penderita TB Paru, terdapat rumah dengan jendela kurang proporsional ukurannya dan jarang dibuka, rumah yang lembab dan basah karena air yang terserap di dinding rumah dan sinar matahari pagi yang tidak masuk ke dalam rumah sehingga menyebabkan pertukaran udara yang tidak dapat berlangsung dengan baik, jenis lantai umumnya semen namun sangat jarang dibersihkan sehingga kotor dan lembab. Kondisi lingkungan fisik tersebut berakibat Mycobacterium tuberculosis berkembang dengan baik di dalam rumah. Penduduk di wilayah kerja Puskesmas Teupin Raya Kabupaten Pidie umumnya adalah petani dengan waktu kerja pagi hari hingga petang hari sehingga rumah kerap kosong pada siang hari sehingga rumah tertutup dan tidak dapat dijangkau sinar matahari. Berdasarkan data di Puskesmas Teupin Raya Kabupaten Pidie kejadian TB Paru 3 tahun terakhir mengalami fluktuasi yaitu pada tahun 2015 sebanyak 11 kasus dan 110 suspek TB Paru (insidens rate 0,06%), tahun 2016 sebanyak 9 kasus dan 128 suspek TB Paru (insidens rate 0,07%), tahun 2017 sebanyak 32 kasus dan 188 suspek TB Paru (insidens rate 0,3%). Pada tahun 2017 yang menderita TB Paru pada trimester pertama sebanyak 11 (35%) orang. Pada



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



4



trimester kedua sebanyak 7 (21%) orang dan pada trimester ketiga sebanyak 14 orang (44%) (Profil Puskemas Teupin Raya, 2017). Dari 23 Kecamatan yang ada di Kabupaten Pidie, Kecamatan Teupin Raya merupakan salah satu kecamatan dengan angka kejadian TB paru tertinggi pada tahun 2017 yaitu pada peringkat delapan (Dinkes Kabupaten Pidie, 2017). Berdasarkan uraian di atas, peneliti menganggap penting untuk mengetahui hubungan antara kondisi kondisi fisik rumah dengan angka kejadian TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Teupin Raya Kabupaten Pidie. Wilayah kerja Puskesmas Teupin Raya Kabupaten Pidie dipilih sebagai tempat penelitian berdasarkan tingginya angka kejadian TB Paru. Kondisi perumahan masyarakat yang padat dan lembab akibat sering dilanda banjir meningkatkan ketertarikan untuk mengetahui hubungan kondisi fisik rumah dengan tingginya angka kejadian TB Paru di daerah tersebut. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka hal yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini ialah bagaimanakah hubungan kondisi fisik lingkungan rumah dengan kejadian Tuberkulosis Paru di wilayah kerja Puskesmas Teupin Raya Kabupaten Pidie tahun 2018. Tujuan Penelitian Tujuan umum. Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan kondisi fisik lingkungan rumah dengan kejadian tuberkulosis paru di wilayah kerja Puskesmas Teupin Raya Kabupaten Pidie tahun 2018.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



5



Tujuan khusus. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah 1



Mengetahui karakteristik responden berdasarkan usia, jenis kelamin, pendidikan, dan pekerjaan di wilayah kerja Puskesmas Teupin Raya Kabupaten Pidie tahun 2018.



2



Menganalisis hubungan kondisi fisik lingkungan rumah dengan kejadian Tuberkulosis Paru di wilayah kerja Puskesmas Teupin Raya Tahun 2018.



3



Menganalisis hubungan jenis lantai dengan kejadian Tuberkulosis Paru di wilayah kerja Puskesmas Teupin Raya Kabupaten Pidie tahun 2018.



4



Menganalisis hubungan kepadatan hunian dengan kejadian Tuberkulosis Paru di wilayah kerja Puskesmas Teupin Raya Kabupaten Pidie tahun 2018.



5



Menganalisis hubungan ventilasi rumah dengan kejadian Tuberkulosis Paru di wilayah kerja Puskesmas Teupin Raya Kabupaten Pidie tahun 2018.



6



Menganalisis hubungan kelembaban dengan kejadian Tuberkulosis Paru di wilayah kerja Puskesmas Teupin Raya Kabupaten Pidie tahun 2018.



7



Menganalisis hubungan pencahayaan dengan kejadian Tuberkulosis Paru di wilayah kerja Puskesmas Teupin Raya Kabupaten Pidie tahun 2018



Manfaat Penelitian 1. Hasil penelitan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan informasi dalam pencegahan Tuberkulosis Paru. 2. Sebagai bahan masukan dan evaluasi yang diperlukan dalam pelaksanaan pencegahan dan penanggulangan Tuberkulosis Paru.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



6



3. Sebagai bahan masukan dalam kegiatan proses belajar mengajar tentang pencegahan Tuberkulosis Paru yang dapat digunakan sebagai acuan bagi mahasiswa kesehatan masyarakat. 4. Sebagai sarana dan alat dalam memperoleh pengetahuan dan pengalaman khususnya dalam pencegahan dan penanggulangan Tuberkulosis Paru. 5. Sebagai sarana untuk memperoleh pengetahuan tentang pencegahan dan penanggulangan Tuberkulosis Paru



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Tinjauan Pustaka



Tuberkulosis Paru (TB Paru) Definisi tuberkulosis paru. Tuberkulosis paru (TB paru) adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang penyakit parenkim paru. Nama Tuberkulosis berasal dari tuberkel yang berarti tonjolan kecil dan keras yang terbentuk waktu sistem kekebalan membangun tembok mengelilingi bakteri dalam paru. Tuberkulosis paru ini bersifat menahun dan secara khas ditandai oleh pembentukan granuloma dan menimbulkan nekrosis jaringan, TB paru dapat menular melalui udara, waktu seseorang dengan TB aktif pada paru batuk, bersin atau bicara (Alimul, 2013). Etiologi. Penyakit TB paru adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan asam sehingga dikenal juga sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA). Sumber penularan adalah penderita Tuberkulosis BTA positif pada waktu batuk atau bersin. Penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan. Setelah kuman Tuberkulosis masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan, melalui sistem peredaran darah, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya. Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan



7 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



8



dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Seseorang terinfeksi tuberkulosis ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Suryani, 2010). Diagnosis. Diagnosis TB paru ditegakkan melalui pemeriksaan gejala klinis, mikrobiologi, radiologi, dan patologi klinik. Pada program tuberkulosis nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti radiologi, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis tuberkulosis hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis. Gejala. Gejala sistemik/umum meliputi Penurunan nafsu makan dan berat badan, Perasaan tidak enak (malaise), lemah, Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam hari disertai keringat malam, dan Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul. Gejala khusus Bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara "mengi", suara nafas melemah yang disertai sesak. Jika ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan keluhan sakit dada. Tanda. Tanda-tanda yang ditemukan pada pemeriksaan fisik tergantung luas dan kelainan struktural paru. Pada lesi minimal, pemeriksaan fisik dapat normal atau dapat ditemukan tanda konsolidasi paru utamanya apeks paru. Tanda pemeriksaan



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



9



fisik paru tersebut dapat berupa: fokal fremitus meningkat, perkusi redup, bunyi napas bronkovesikuler atau adanya ronkhi terutama di apeks paru. Pada lesi luas dapat pula ditemukan tanda-tanda seperti : deviasi trakea ke sisi paru yang terinfeksi, tanda konsolidasi, suara napas amporik pada cavitas atau tanda adanya penebalan pleura. Pemeriksaan dahak mikroskopis. Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan sewaktu-pagi sewaktu (SPS). Pencegahan dan penanggulangan TB paru. Penyelenggaraan Program Pencegahan Penyakit TB paru dititikberatkan pada penemuan dan pengobatan penderita sedini mungkin dengan melibatkan peran serta aktif masyarakat terutama keluarga sebagai Pengawas Makan Obat (PMO) dengan dukungan pelayanan kesehatan dan rujukan secara terpadu di sarana kesehatan yang terkait. Pencegahan tingkat pertama (primary prevention). Intervensi yang ditujukan bagi pencegahan faktor risiko dapat dianggap sebagai strategi untuk mengurangi kesakitan (insiden) TB paru. Termasuk disini ialah: 1. Penyuluhan dilakukan oleh tenaga kesehatan dimana kegiatan ini diharapkan dapat mengubah sikap dan perilaku masyarakat terhadap hal-hal yang dapat meningkatkan faktor resiko penyakit TB paru. Kegiatan penyuluhan ini dapat



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



10



berupa penyuluhan penyakit TB paru, penyuluhan imunisasi, penyuluhan gizi seimbang, dan penyuluhan kesehatan lingkungan rumah. 2. Imunisasi, yang merupakan strategi spesifik untuk dapat mengurangi angka kesakitan (insiden) TB paru. 3. Usaha di bidang gizi yaitu untuk mengurangi malnutrisi, defisiensi vitamin A. 4. Program Penyehatan Lingkungan Pemukiman (PLP) yang menangani masalah penyebaran penyakit menular di dalam maupun di luar rumah (Depkes RI, 2008).



Pencegahan tingkat kedua (secondary prevention). Upaya penanggulangan TB paru dilakukan dengan upaya pengobatan sedini mungkin. Upaya pengobatan yang dilakukan dibedakan atas klasifikasi TB paru. Pencegahan tingkat ketiga (tertiary prevention). Tingkat pencegahan ini ditujukan kepada penderita TB paru agar tidak bertambah parah dan mengakibatkan kematian. Pengobatan TB paru. Pengobatan TB paru bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Mycoobacterium tuberculosis merupakan kuman tahan asam yang sifatnya berbeda dengan kuman lain karena tumbuhnya sangat lambat dan cepat sekali timbul resistensi bila terpajan dengan satu obat. Umumnya antibiotika bekerja lebih aktif terhadap kuman yang cepat membelah dibandingkan dengan kuman yang lambat membelah. Sifat lambat membelah yang dimiliki mikobakteri merupakan salah satu



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



11



faktor yang menyebabkan perkembangan penemuan obat antimikobakteri baru jauh lebih sulit dan lambat dibandingkan anti bakteri lain. Jenis obat utama yang digunakan adalah: INH, Rifampisin, Streptomisin, Etambutol. Jenis obat tambahan lainnya : Kanamisin, Amikasin, Kuinolon. Lingkungan Fisik Rumah Definisi. Rumah adalah struktur fisik atau bangunan sebagai tempat berlindung, dimana lingkungan dari struktur tersebut berguna untuk kesehatan jasmani dan rohani serta keadaan sosialnya baik untuk kesehatan keluarga dan individu (Arya, 2005). Rumah harus dapat mewadahi kegiatan penghuninya dan cukup luas bagi seluruh pemakainya, sehingga kebutuhan ruang dan aktivitas setiap penghuninya dapat berjalan dengan baik. Lingkungan rumah juga sebaiknya terhindar dari faktor-faktor yang dapat merugikan kesehatan (Hindarto, 2007). Pengertian perumahan (housing) menurut World Health Organization (2004) adalah suatu struktur fisik dimana orang menggunakannya untuk tempat berlindung, lingkungan dari struktur tersebut termasuk juga semua fasilitas dan pelayanan yang diperlukan untuk kesehatan jasmani dan rohani, dan keadaan sosialnya yang baik untuk keluarga dan individu. Sehingga untuk mewujudkan rumah yang memenuhi fungsi di atas, rumah tidak harus mewah atau besar tetapi rumah yang sederhanapun dapat dibentuk menjadi rumah yang layak huni. Kriteria rumah sehat. Kriteria rumah sehat menurut Winslow antara lain (Entjang, 2000) : 1. Harus dapat memenuhi kebutuhan fisiologis



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



12



2. Harus dapat memenuhi kebutuhan psikologis 3. Harus dapat menghindarkan terjadinya kecelakaan 4. Harus dapat menghindarkan terjadinya penularan penyakit Hal ini sejalan dengan kriteria rumah sehat menurut American Public Health Asociation (APHA) yang dikutip oleh Alimul (2009), yaitu: 1. Memenuhi kebutuhan dasar fisik. Sebuah rumah harus dapat memenuhi kebutuhan dasar fisik, seperti: a. Rumah tersebut harus dibangun sedemikian rupa sehingga dapat dipelihara atau dipertahankan temperatur Iingkungan yang penting untuk mencegah bertambahnya panas atau kehilangan panas secara berlebihan. Sebaiknya temperatur udara dalam ruangan harus lebih rendah paling sedikit 4°C dari temperatur udara luar untuk daerah tropis. b. Rumah tersebut harus terjamin pencahayaannya yang dibedakan atas cahaya matahari (penerangan alamiah) serta penerangan dari nyala api lainnya (penerangan buatan). Semua penerangan ini harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak terlalu gelap atau tidak menimbulkan rasa silau. c. Rumah tersebut harus mempunyai ventilasi yang sempurna sehingga aliran udara segar dapat terpelihara. Luas lubang ventilasi tetap, minimum 5% dari luas lantai ruangan, sedangkan luas lubang ventilasi insidentil (dapat dibuka dan ditutup) minimum 5% luas lantai sehingga jumlah keduanya menjadi 10% dari luas lantai ruangan. Ini diatur sedemikian rupa agar udara yang masuk tidak terlalu deras dan tidak terlalu sedikit.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



13



d. Rumah tersebut harus dapat melindungi penghuni dari gangguan bising yang berlebihan karena dapat menyebabkan gangguan kesehatan baik langsung maupun dalam jangka waktu yang relatif lama. Gangguan yang dapat muncul antara lain gangguan fisik seperti kerusakan alat pendengaran dan gangguan mental seperti mudah marah dan apatis. e. Rumah tersebut harus memiliki luas yang cukup untuk aktivitas dan untuk anakanak dapat bermain. Hal ini penting agar anak mempunyai kesempatan bergerak, bermain dengan leluasa di rumah agar pertumbuhan badannya akan lebih baik, juga agar anak tidak bermain di rumah tetangganya, di jalan atau tempat lain yang membahayakan. 2. Memenuhi kebutuhan dasar psikologis Rumah harus dibangun sedemikian rupa sehingga dapat terpenuhi kebutuhan dasar psikologis penghuninya, seperti : a. Cukup aman dan nyaman bagi masing-masing penghuni Adanya ruangan khusus untuk istirahat bagi masing-masing penghuni, seperti kamar tidur untuk ayah dan ibu. Anak-anak berumur dibawah 2 tahun masih diperbolehkan satu kamar tidur dengan ayah dan ibu. Anak-anak diatas 10 tahun laki-laki dan perempuan tidak boleh dalam satu kamar tidur. Anak-anak diatas 17 tahun mempunyai kamar tidur sendiri. b. Ruang duduk dapat dipakai sekaligus sebagai ruang makan keluarga, dimana anak-anak sambil makan dapat berdialog langsung dengan orang tuanya. c. Dalam memilih letak tempat tinggal, sebaiknya di sekitar tetangga yang memiliki



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



14



tingkat ekonomi yang relatif sama, sebab bila bertetangga dengan orang yang lebih kaya atau lebih miskin akan menimbulkan tekanan batin (Alimul, 2009). d. Dalam meletakkan kursi dan meja di ruangan jangan sampai menghalangi lalu lintas dalam ruangan e. Water closet (W.C). kamar mandi harus ada dalam suatu rumah dan terpelihara kebersihannya. Biasanya orang tidak senang atau gelisah bila terasa ingin buang air besar tapi tidak mempunyai W.C. sendiri karena harus antri di W.C. orang lain atau harus buang air besar di tempat terbuka seperti sungai atau kebun. f. Untuk memperindah pemandangan, perlu ditanami tanaman hias, tanaman bunga yang kesemuanya diatur, ditata, dan dipelihara secara rapi dan bersih, sehingga menyenangkan bila dipandang. 3. Melindungi dari penyakit Rumah tersebut harus dibangun sedemikian rupa sehingga dapat melindungi penghuninya dari kemungkinan penularan penyakit atau zat-zat yang membahayakan kesehatan. Dari segi ini, maka rumah yang sehat adalah rumah yang di dalamnya tersedia air bersih yang cukup dengan sistem perpipaan seperti sambungan atau pipa dijaga jangan sampai sampai bocor sehingga tidak tercemar oleh air dari tempat lain. Rumah juga harus terbebas dari kehidupan serangga dan tikus, memiliki tempat pembuangan sampah, pembuangan air limbah serta pembuangan tinja yang memenuhi syarat kesehatan.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



15



4. Melindungi dari kemungkinan kecelakaan Rumah harus dibangun sedemikian rupa sehingga dapat melindungi penghuni dari kemungkinan terjadinya bahaya atau kecelakaan. Termasuk dalam persyaratan ini antara lain bangunan yang kokoh, tangga yang tidak terlalu curam dan licin, terhindar dari bahaya kebakaran, alat-alat listrik yang terlindung, tidak menyebabkan keracunan gas bagi penghuni, terlindung dari kecelakaan lalu lintas, dan lain sebagainya (Alimul, 2009).



Kondisi lingkungan fisik rumah. Lingkungan dan kondisi rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan merupakan faktor risiko penularan TB Paru, adapun faktor lingkungan fisik rumah yang termasuk adalah kepadatan hunian rumah, ventilasi, kelembapan, pencahayaan, jenis lantai. Kepadatan hunian rumah (over crowding). Kepadatan penghuni (over crowding) adalah perbandingan antara luas lantai rumah dengan jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tinggal. Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh perumahan biasa dinyatakan dalam m2 per orang, luas minimum per orang sangat relatif, tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk perumahan sederhana, minimum 8 m2/orang. Untuk kamar tidur sebaiknya tidak dihuni > 2 orang, kecuali untuk suami istri dan anak dibawah 2 tahun (Lubis, 2000). Ada dua cara untuk menilai kepadatan hunian didalam rumah yaitu: 1. Membandingkan jumlah penghuni dengan jumlah kamar tidur



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



16



Tabel 1 Jumlah Penghuni yang sesuai dengan Jumlah Kamar Tidur Jumlah Kamar Tidur Jumlah Penghuni Satu 2 Orang Dua 3 Orang Tiga 5 Orang Empat 7 Orang Lima atau lebih 10 Orang Sumber : Lubis, P. Perumahan Sehat, 2000 2. Membandingkan jumlah penghuni dengan luas lantai Tabel 2 Jumlah Penghuni yang Sesuai dengan Luas Lantai Luas Lantai Jumlah Penghuni Maksimal 2 4,64 m 0 4,64 – 6,54 m2 0,5 6,5 – 8 m2 1 8 – 10 m2 1,5 Lebih dari 10 m2 2 Sumber : Lubis, P. Perumahan Sehat, 2000 Dengan ketentuan anak dibawah umur satu tahun tidak diperhatikan, umur 1 – 10 dihitung setengah. Kepadatan hunian ditentukan dengan jumlah kamar tidur dibagi dengan jumlah penghuni, dinyatakan (Lubis, 2000) : 1. Baik



: bila kepadatan lebih atau sama dengan 0,7.



2. Cukup



: bila kepadatan antara 0,5 – 0,7.



3. Kurang



: bila kepadatan kurang 0,5



Kepadatan penghuni rumah (over crowding) menimbulkan efek-efek yang negatif terhadap kesehatan fisik, mental, moral dan penyebaran penyakit menular. Rumah tinggal dikatakan over crowding bila orang-orang yang tinggal di rumah tersebut menunjukkan hal-hal sebagai berikut :



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



17



1. Dua individu atau lebih dari jenis kelamin yang berbeda dan berumur di atas 10 tahun dan bukan berstatus suami istri tidur dalam satu kamar. 2. Jumlah orang didalam rumah dibandingkan dengan luas lantai melebihi ketentuan yang telah ditetapkan, yaitu ruang tidur minimal adalah 8 m 2 dan tidak dianjurkan lebih dari 2 orang dalam satu ruang kecuali anak di bawah 5 tahun. Kepadatan hunian dalam rumah menurut Kementerian Kesehatan No 829/MENKES/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan rumah, satu orang minimal menempati luas rumah 4 m². Dengan kriteria tersebut diharapkan dapat mencegah penularan penyakit dan melancarkan aktivitas. Keadaan tempat tinggal yang padat dapat meningkatkan faktor polusi dalam rumah yang telah ada. Penelitian menunjukkan ada hubungan bermakna antara kepadatan dan kejadian TB paru serta penularannya pada anggota keluarga. Ventilasi. Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi yang pertama adalah menjaga agar aliran udara dalam rumah tetap segar sehingga keseimbangan O2 tetap terjaga, karena kurangnya ventilasi menyebabkan kurangnya O 2 yang berarti kadar CO2 menjadi racun. Fungsi kedua adalah untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri, terutama bakteri patogen dan menjaga agar rumah selalu tetap dalam kelembaban yang optimum (Notoatmodjo, 2010). Menurut Notoatmodjo (2010), ventilasi adalah tempat proses masuknya udara segar ke dalam dan mengeluarkan udara kotor dari suatu ruangan tertutup secara alamiah maupun buatan. Berdasarkan kejadiannya ventilasi dibagi menjadi dua yaitu :



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



18



1. Ventilasi alamiah berguna untuk mengalirkan udara di dalam ruangan yang terjadi secara alamiah melalui jendela, pintu dan lubang angin. Selain itu ventilasi alamiah juga menggerakkan udara sebagai hasil poros dinding ruangan, atap dan lantai. Aliran udara diusahakan cross ventilation dengan menempatkan lubang ventilasi berhadapan antar dua dinding. Aliran udara ini jangan sampai terhalang oleh barang-barang besar misalnya lemari, dinding, sekat, dan lain-lain. 2. Ventilasi buatan dapat dilakukan dengan menggunakan alat mekanis maupun elektrik. Alat-alat tersebut di antaranya adalah kipas angin, exhauster dan AC. Ketentuan persyaratan kesehatan rumah secara umum penilaian ventilasi rumah dapat dilakukan dengan cara melihat indikator penghawaan rumah, luas ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan adalah lebih dari sama dengan 10% dari luas lantai rumah dan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah kurang dari 10% dari luas lantai rumah (Notoatmodjo, 2010). Kelembaban. Kelembaban udara adalah persentase jumlah kandungan air dalam udara. Lingkungan yang tidak memiliki kelembaban yang memenuhi syarat kesehatan akan membawa pengaruh bagi kesehatan. Kelembaban udara dapat diukur dengan alat hygrometer yang memenuhi syarat kesehatan 40-60% dan kelembaban udara yang tidak memenuhi syarat kesehatan < 40% -> 60%. Sedangkan Mycobacterium tuberkulosis akan tumbuh subur pada kelembaban lingkungan 70% (Launita, 2000). Kelembaban udara yang tidak sesuai akan menimbulkan berbagai macam penyakit. Pada lingkungan yang dingin dan lembab merupakan media yang baik bagi



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



19



pertumbuhan mikroorganisme TB paru. Mikroorganisme tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui udara (Hari, 2013). Kelembaban rumah yang tinggi dapat memengaruhi penurunan daya tahan tubuh seseorang dan meningkatkan kerentanan tubuh terhadap penyakit terutama penyakit infeksi. Kelembaban juga dapat meningkatkan daya tahan hidup bakteri. Kelembaban berkaitan erat dengan ventilasi karena sirkulasi udara yang tidak lancar akan memengaruhi suhu udara dalam rumah menjadi rendah sehingga kelembaban udaranya tinggi. Sebuah rumah yang memiliki kelembaban udara tinggi memungkinkan adanya bakteri dan jamur yang semuanya memiliki peran besar dalam pathogenesis penyakit Tuberkulosis paru. Menurut Kemenkes No. 829/Menkes/SK/VII/1999 kelembaban dianggap baik jika memenuhi 40-70% dan buruk jika kurang dari 40% atau lebih dari 70%. Pencahayaan. Menurut Azwar (1990), salah satu syarat rumah sehat ialah tersedianya cahaya yang cukup. Suatu rumah atau ruangan yang tidak mempunyai cahaya dapat menimbulkan perasaan kurang nyaman dan dapat mendatangkan penyakit. Cahaya alami menggunakan sumber cahaya yang terdapat di alam,biasanya berupa matahari, bintang dan lain-lainnya. Cahaya alami dipengaruhi oleh keadaan alam itu sendiri. Jika awan menutupi matahari, maka jumlah cahaya yang masuk ke ruangan tentu akan berkurang. Cahaya matahari memegang peranan penting karena dapat membunuh bakteri di dalam rumah, misalnya bakteri penyebab penyakit TB paru. Oleh karena itu, rumah yang sehat harus memiliki jalan masuk cahaya yang cukup. Jalan masuk cahaya (jendela) luasnya sekurang kurangnya 15% sampai 20% dari luas lantai yang terdapat di dalam ruangan rumah (Azwar, 2000).



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



20



Pencahayaan alami menurut Kemenkes No.829/Menkes/SK/VII/1999 dianggap baik jika besarnya antara 60-120 Lux dan buruk jika kurang dari 60 Lux atau lebih dari 120 Lux. Hal ini yang perlu diperhatikan dalam membuat jendela, perlu diusahakan agar matahari dapat langsung masuk ke dalam ruangan, dan tidak terhalang oleh bangunan lain. Fungsi jendela yang dimaksud sebagai ventilasi dan juga sebagai jalan masuk cahaya. Lokasi jendela harus diperhatikan agar sinar matahari lebih lama menyinari lantai (bukan dinding), maka sebaiknya jendela harus berada ditengah-tengah tinggi dinding (tembok). Jenis lantai. Lantai rumah dapat memengaruhi terjadinya penyakit TB paru karena lantai yang tidak memenuhi standar merupakan media yang baik untuk perkembangbiakan bakteri penyebab TB paru. Lantai yang baik adalah lantai yang dalam keadaan kering dan tidak lembab. Bahan lantai harus kedap air dan mudah dibersihkan, keadaan lantai perlu diplester dan akan lebih baik apabila dilapisi ubin atau keramik yang mudah dibersihkan (Kemenkes No. 829/Menkes/SK/VII/1999). Landasan Teori Penelitian ini merujuk pada teori Blum dan Model Determinant of Health dari Evan dan Stodar (1990). Teori ini mengatakan bahwa lingkungan fisik merupakan faktor yang berkaitan dengan kejadian penyakit disamping faktor perilaku, genetik dan pelayanan kesehatan. Lingkungan fisik rumah dapat menentukan baik tidaknya mikroorganisme penyebab penyakit berkembang atau tidak dalam rumah. sehingga dibuat kerangka teori sebagai berikut:



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



21



Kondisi Lingkungan Fisik Rumah : a. Jenis Lantai b. Kepadatan Hunian c. Ventilasi d. Kelembaban e. Pencahayaan



Pertumbuhan Kuman



Jumlah Kuman



Infeksi Mikroorganisme



Kejadian TB Paru



Gambar 1. Kerangka teori penelitian berdasarkan teori Blum



Kerangka Konsep Kondisi Fisik Rumah a. Jenis lantai b. Kepadatan hunian c. Ventilasi d. Kelembaban e. Pencahayaan



Kejadian TB Paru



Karakteristik responden a, Usia b. Jenis kelamin c. Pendidikan d. Pekerjaan



Gambar 2. Kerangka konsep penelitian



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



22



Hipotesis 1. Ada hubungan jenis lantai dengan kejadian TB paru di Wilayah Kerja Puskesmas Teupin Raya Kabupaten Pidie tahun 2018 2. Ada hubungan kepadatan hunian dengan kejadian TB paru di Wilayah Kerja Puskesmas Teupin Raya Kabupaten Pidie tahun 2018 3. Ada hubungan ventilasi rumah dengan kejadian TB paru di Wilayah Kerja Puskesmas Teupin Raya Kabupaten Pidie tahun 2018 4. Ada hubungan kelembaban dengan kejadian TB paru di Wilayah Kerja Puskesmas Teupin Raya Kabupaten Pidie tahun 2018 5. Ada hubungan pencahayaan dengan kejadian TB paru di Wilayah Kerja Puskesmas Teupin Raya Kabupaten Pidie tahun 2018



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Metode Penelitian



Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah analitik observasional dengan rancangan penelitian case control yang bertujuan untuk mengetahui hubungan kondisi fisik lingkungan rumah dengan kejadian tuberkulosis paru di wilayah kerja Puskesmas Teupin Raya Kabupaten Pidie tahun 2018. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian. Penelitian dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Teupin Raya Kabupaten Pidie dengan pertimbangan tingginya jumlah penderita TB paru yang diperoleh dari data sistem pencatatan dan pelaporan terpadu Puskesmas Teupin Raya Kabupaten Pidie. Di samping itu, angka kejadian TB paru menunjukkan data peningkatan pada tahun 2017 yaitu sebanyak 32 penderita dan 188 suspek TB paru. Kemudian di Puskesmas Teupin Raya Kabupaten Pidie belum pernah dilakukan penelitian tentang tuberkulosis paru. Waktu penelitian. Penelitian ini dimulai pada tanggal 24 September 2018 sampai dengan 01 Oktober 2018. Populasi dan Sampel Populasi kasus. Populasi kasus adalah seluruh penderita TB paru di wilayah kerja Puskesmas Teupin Raya Kabupaten Pidie dan yang dirawat jalan di Puskesmas Teupin Raya Kabupaten Pidie sampai dengan Bulan September tahun 2018 sebanyak 32 kasus.



23 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



24



Populasi kontrol. Populasi kontrol adalah seluruh kepala keluarga yang merupakan tetangga penderita TB paru di wilayah kerja Puskesmas Puskesmas Teupin Raya Kabupaten Pidie namun tidak menderita TB paru sebanyak 32 orang. Sampel kasus. Sampel kasus adalah seluruh penderita TB paru di wilayah kerja Puskesmas Teupin Raya Kabupaten Pidie dan yang dirawat jalan di Puskesmas Teupin Raya Kabupaten Pidie sampai dengan Bulan Maret tahun 2018 sebanyak 31 kasus. Kriteria inklusi Kasus dalam penelitian ini adalah : 1. Warga kecamatan Kecamatan Teupin Raya Kabupaten Pidie yang telah terdaftar sebagai pasien TB paru di Puskesmas Teupin Raya Kabupaten Pidie pada saat penelitian. 2. Bersedia menjadi responden. 3. Dapat berkomunikasi dengan baik. 4. Alamat jelas dan dapat ditemukan Kriteria eksklusi: 1. Pasien-pasien TB paru yang tinggal dalam satu rumah 2. Tidak berada di tempat saat pengambilan data atau studi setelah tiga kali berturutturut Sampel kontrol. Sampel kontrol adalah kepala keluarga yang merupakan tetangga penderita TB paru di wilayah kerja Puskesmas Teupin Raya Kabupaten Pidie namun tidak menderita TB paru sebanyak 31 orang dengan karakteristik usia, jenis kelamin, dan sosial ekonomi yang sama dengan sampel kasus.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



25



Kriteria inklusi kelompok kontrol: 1. Bukan penderita TB paru 2. Berjarak Maksimum 10 rumah dari penderita TB paru (Kasus) 3. Dapat berkomunikasi dengan baik 4. Bersedia menjadi responden Sampel dihitung dengan rumus sebagai berikut :



N Z1-/2 Z1- P1* P2*



= besar sampel minimum = nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada  tertentu = nilai distribusi normal baku (tabel Z) pada  tertentu = perkiraan probabilitas paparan pada populasi 1 (outcome +) = perkiraan probabilitas paparan pada populasi 2 (outcome -) Maka,











(0,6-0,3)2



n = 31 (sampel kasus : 31 orang dan sampel kontrol : 31 orang). Penentuan besar sampel berdasarkan OR=4 dan P1=0,59 diambil dari penelitian terdahulu, sehingga didapat P2 :



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



26



4P2 = 2,36 P2 + 0,59 - 0,59 P2 2,23P2 = 0,59, P2



= 0,26 Karakteristik Sampel berdasarkan umur adalah sebagai berikut :



Tabel 3 Karakteristik Sampel Penelitian Berdasarkan Umur Umur Jumlah < 20 Tahun 3 20 – 24 Tahun 3 25 – 29 Tahun 5 30 – 34 Tahun 4 35 – 39 Tahun 6 40 – 44 Tahun 3 ≥ 45 Tahun 7



Variabel dan Definisi Operasional Variabel. Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel independen yaitu lingkungan fisik rumah meliputi jenis lantai, kepadatan penghuni rumah, ventilasi, pencahayaan, dan kelembaban. Variabel dependen yaitu kejadian TB paru di wilayah kerja Puskesmas Teupin Raya Kabupaten Pidie. Definisi operasional 1.



Jenis Lantai adalah material lantai rumah tempat tinggal sehari-hari responden secara menetap di wilayah kerja Puskesmas Teupin Raya Kabupaten Pidie.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



27



2.



Kepadatan penghuni kamar adalah perbandingan antara luas kamar responden dengan jumlah penghuni kamar di wilayah kerja Puskesmas Teupin Raya Kabupaten Pidie.



3.



Ventilasi adalah luas lubang ventilasi rumah dibandingkan dengan luas lantai rumah responden di wilayah kerja Puskesmas Teupin Raya Kabupaten Pidie.



4.



Pencahayaan adalah besarnya intesitas cahaya baik alamiah atau buatan pada rumah responden di wilayah kerja Puskesmas Teupin Raya Kabupaten Pidie.



5.



Kelembaban adalah besarnya kadar uap air di dalam rumah responden di wilayah kerja Puskesmas Teupin Raya Kabupaten Pidie.



6.



Kejadian TB paru adalah Jumlah Penderita kasus TB Paru positif pada kurun waktu satu tahun di Wilayah Kerja Puskesmas Teupin Raya Kabupaten Pidie.



7.



Usia adalah lama hidup responden dalam tahun dihitung sejak lahir di wilayah kerja Puskesmas Teupin Raya Kabupaten Pidie.



8.



Jenis Kelamin adalah pembagian jenis seksual yang ditentukan secara biologis dan anatomis yang dinyatakan dalam jenis kelamin laki-laki dan jenis kelamin perempuan di wilayah kerja Puskesmas Teupin Raya Kabupaten Pidie.



9.



Pendidikan adalah jenjang pendidikan terakhir yang ditempuh oleh responden di wilayah kerja Puskesmas Teupin Raya Kabupaten Pidie.



10. Pekerjaan adalah kegiatan yang dilakukan setiap hari oleh responden dan mendapat upah dari pekerjaan di wilayah kerja Puskesmas Teupin Raya Kabupaten Pidie.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



28



Metode Pengumpulan Data Data primer. Data primer diperoleh secara langsung dari sumber asli atau pihak pertama. Data primer pada penelitian terdiri dari: jenis lantai, kepadatan hunian, ventilasi rumah, kelembaban rumah, dan pencahayaan rumah yang dikumpulkan oleh peneliti melalui lembar observasi yang telah disiapkan. Data sekunder. Data sekunder merupakan sumber data yang diperoleh peneliti secara tidak langsung melalui media perantara. Data sekunder pada umumnya berupa bukti, catatan, atau laporan yang telah tersusun dalam arsip, baik yang dipublikasikan dan yang tidak dipublikasikan. Data sekunder yang diperlukan pada penelitian adalah data jumlah penderita TB paru yang diperoleh dari sistem pencatatan dan pelaporan terpadu Puskesmas Teupin Raya Kabupaten Pidie. Metode Pengukuran Data Jenis lantai. Penilaian lingkungan fisik rumah responden berdasarkan jenis lantai, menggunakan lembar observasi, Penilaian jenis lantai dibagi menjadi 2 katagori yaitu sehat dan tidak sehat. 1. Memenuhi syarat apabila bahan lantai dilapisi ubin atau keramik dalam keadaan kering, tidak lembab serta kedap air. 2. Tidak memenuhi syarat apabila bahan lantai tidak dilapisi ubin atau keramik dalam keadaan tidak lembab serta kedap air. Kepadatan penghuni kamar . Pengukuran terhadap kepadatan penghuni kamar dilakukan dengan membandingkan luas kamar dengan jumlah penghuni kamar. Luas kamar diukur dengan meteran bangunan dan jumlah penghuni kamar



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



29



ditanyakan oleh responden. Skala pengukuran adalah skala ordinal dibagi dalam 2 kategori, yaitu: 1. Tidak memenuhi syarat, apabila < 4 meter persegi/ penghuni 2. Memenuhi syarat, apabila ≥ 4 meter persegi/ penghuni (Kepmenkes RI/No.829/Menkes/SK/VII/1999). Ventilasi. Pengukuran luas ventilasi dilakukan dengan pengukuran luas lubang udara di rumah dibandingkan dengan luas lantai rumah diukur dengan menggunakan meteran. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal dibagi dalam 2 kategori yaitu: 1. Tidak memenuhi syarat, apabila ventilasi < 10% luas lantai 2. Memenuhi syarat, apabila ventilasi ≥ 10% luas lantai (Kepmenkes RI/No.829/Menkes/SK/VII/1999). Pencahayaan. Pengukuran terhadap pencahayaan dilakukan dengan pengukuran intensitas cahaya di rumah responden dengan menggunakan luxmeter. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal dibagi dalam 2 kategori yaitu: 1. Tidak memenuhi syarat, apabila intensitas cahaya < 60 Lux 2. Memenuhi syarat, apabila intensitas cahaya ≥ 60 Lux (Kepmenkes RI/No.829/Menkes/SK/VII/1999). Kelembaban. Pengukuran terhadap kelembaban dilakukan dengan pengukuran kelembaban udara di rumah responden dengan menggunakan hygrometer. Skala pengukuran yang digunakan adalah skala ordinal dibagi dalam 2 kategori yaitu: 1. Tidak memenuhi syarat, apabila kelembaban < 40% atau > 70 %



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



30



2. Memenuhi syarat, apabila kelembaban 40%-70 % (Kepmenkes RI/No.829/Menkes/SK/VII/1999). Variabel dependen (kejadian TB paru). Kejadian TB paru dikategorikan menjadi 2 yaitu kasus dan kontro. Kasus adalah kelompok penderita TB paru di wilayah kerja Puskesmas Teupin Raya Kabupaten Pidie dan kelompok kontrol adalah kelompok pembanding yaitu kepala keluarga yang merupakan tetangga kelompok kasus. Metode Analisis Data Analisis univariat. Analisis univariat adalah analisis variabel independen dan dependen dalam bentuk distribusi frekuensi dan dihitung persentasenya dan disajikan dalam tabel distribusi frekuensi. Data pada penelitian ini yang akan diuji secara univariat adalah data jenis lantai, kepadatan hunian, ventilasi rumah, pencahayaan rumah, dan kelembaban rumah. Analisis bivariat. Analisis bivariat adalah analisis untuk menganalisis hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen dengan menggunakan uji chi-square pada tingkat derajat kepercayaan 95% (α = 0,05). Bila nilai p ≤ 0,05 maka hipotesis pada penelitian ini diterima yang berarti ada hubungan dari masing-masing variabel independen dengan variabel dependen.



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



Hasil Penelitian



Gambaran Lokasi Penelitian Gambaran umum Puskesmas Teupin Raya Kabupaten Pidie. Puskesmas Teupin Raya merupakan salah satu dari dua Puskesmas yang terdapat di wilayah Kecamatan Glumpang Tiga. Luas wilayah kerja Puskesmas Teupin Raya adalah 25,671 Km2 atau 43% dari total keseluruhan wilayah Kecamatan Glumpang Tiga. Wilayah kerja Puskesmas Teupin Raya mencakup 20 desa. Sesuai dengan hasil sensus penduduk, jumlah penduduk kecamatan Teupin Raya pada tahun 2016 yaitu 11.014 jiwa. Desa yang memiliki kepadatan penduduk tertinggi adalah Desa Sukon Mesjid, yaitu sebesar 1.185 jiwa dan Desa dengan kepadatan penduduk terendah adalah Desa Krueng Nyong, yaitu 201 jiwa. Adapun batas-batas dari wilayah kerja Puskesmas Teupin Raya adalah 1. Sebelah utara berbatasan dengan Desa Glumpang Baro Kecamatan Pidie Jaya. 2. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Glumpang Tiga Kecamatan Glumpang Tiga wilayah kerja Puskesmas Glumpang Minyak 3. Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Pidie Jaya. 4. Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Mutiara Timur Berdasarkan Profil Puskesmas Teupin Raya Tahun 2016, Komposisi penduduk Wilayah kerja Puskesmas Teupin Raya menurut kelompok umur, menunjukkan bahwa penduduk yang berusia muda (0-14 tahun) sebesar 32,32 %, yang berusia produktif (15-64 tahun) sebesar 81,92 %, dan yang berusia tua (> 65 tahun) sebesar 19,64 %. Jumlah penduduk laki-laki relatif seimbang dibandingkan



31 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



32



penduduk perempuan, yaitu masing-masing sebesar 5.264 jiwa penduduk laki-laki dan 5.750 jiwa penduduk perempuan.



Analisis Univariat Karakteristik responden . Karakteristik ke-62 responden dalam penelitian ini terdiri dari umur, jenis kelamin, pendidikan dan pekerjaan disajikan pada tabel 4 berikut : Tabel 4 Distribusi Frekuensi Umur, Jenis Kelamin, Pendidikan dan Pekerjaan di Wilayah Kerja Puskesmas Teupin Raya Tahun 2018 Variabel Frekuensi Persentase Usia (tahun) 44 tahun 14 22,6 Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki



13 49



21,0 79,0



Pendidikan SD SMP SMA D3 S1



8 7 39 3 5



12,9 11,3 62,9 4,80 8,10



Pekerjaan PNS Petani Wiraswasta Pedagang



3 7 20 32



4,80 11,3 32,3 51,6



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



33



Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa variabel usia dari 62 responden penelitian, didominasi oleh umur lebih dari 44 tahun sebanyak 14 orang (22,6%). Variabel jenis kelamin, mayoritas responden adalah laki-laki yakni sebanyak 49 orang (79%). Variabel pendidikan mayoritas responden berpendidikan SMA yakni sebanyak 39 orang (62,9%). Variabel pekerjaan mayoritas responden bekerja sebagai pedagang yakni sebanyak 32 orang (51,6%). Kondisi fisik lingkungan. Variabel yang dimasukkan dalam penelitian ini jenis lantai, kepadatan hunian, ventilasi, pencahayaan, kelembaban disajikan pada tabel 5 dibawah ini Tabel 5 Distribusi Frekuensi Kondisi Fisik Lingkungan di Wilayah Kerja Puskesmas Teupin Raya Tahun 2018 Kategori Frekuensi Persentase (%) Jenis lantai Memenuhi syarat 44 71 Tidak memenuhi syarat 18 29 Kepadatan hunian Memenuhi syarat Tidak memenuhi syarat



26 36



41,9 58,1



Ventilasi Memenuhi syarat Tidak memenuhi syarat



29 33



46,8 53,2



Pencahayaan Memenuhi syarat Tidak memenuhi syarat



27 35



43,5 56,5



Kelembaban Memenuhi syarat Tidak memenuhi syarat



28 34



45,2 54,8



Jenis lantai. Berdasarkan tabel 5 variabel jenis lantai diketahui bahwa dari 62 responden, mayoritas responden memiliki jenis lantai yang memenuhi syarat



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



34



kesehatan yakni sebanyak 44 orang (71%) dan 18 orang (29%) tidak memenuhi syarat kesehatan. Kepadatan hunian. Berdasarkan tabel 5 diketahui bahwa dari 62 responden, mayoritas responden memiliki kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat kesehatan yakni sebanyak 36 orang (58,1%) dan memenuhi syarat kesehatan sebanyak 26 orang (41,9%). Ventilasi. Berdasarkan tabel 5 diketahui bahwa dari 62 responden, mayoritas responden memiliki ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan yakni sebanyak 33 orang (53,2%) dan memenuhi syarat kesehatan sebanyak 29 orang (46,8%). Pencahayaan. Berdasarkan tabel 5 diketahui bahwa dari 62 responden, mayoritas responden memiliki pencahayaan yang tidak memenuhi syarat kesehatan yakni sebanyak 35 orang (56,5%) dan memenuhi syarat kesehatan sebanyak 27 orang (43,5%). Kelembaban. Berdasarkan tabel 5 diketahui bahwa dari 62 responden, %) mayoritas responden memiliki kelembaban yang tidak memenuhi syarat kesehatan yakni sebanyak 34 orang (54,8%) dan memenuhi syarat kesehatan sebanyak 28 orang (45,2%). Kejadian TB paru. Kejadian TB paru dalam penelitian ini dikelompokkan kedalam 2 kategori yakni menderita TB paru dan tidak menderita TB paru dengan distribusi frekuensi sebagai berikut:



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



35



Tabel 6 Kategori Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Teupin Raya Tahun 2018 Kategori Kejadian TB Paru Frekuensi (n) Persentase (%) Menderita TB Paru 31 50 Tidak menderita TB Paru 31 50 Berdasarkan tabel 6 menunjukkan bahwa dari 62 responden, 31 orang (50%) menderita TB Paru dan 31 orang (50.0%) tidak menderita TB paru. Analisis bivariat Analisis bivariate dilakukan untuk mengidentifikasi hubungan variabel independen (jenis lantai, kepadatan huni, ventilasi, pencahayaan dan kelembaban) dengan variabel dependen (Kejadian TB Paru). Hubungan jenis lantai dengan kejadian TB paru. Hubungan antara jenis lantai dengan Kejadian TB Paru dilakukan dengan uji chi-square pada tingkat kepercayaan 95% (p ≤ 0,05) memperlihatkan hasil sebagai berikut : Tabel 7 Tabulasi Silang Antara Jenis Lantai dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Teupin Raya Tahun 2018 Kejadian TB Paru Jenis Lantai Tidak memenuhi syarat Memenuhi syarat



Menderita TB Paru n



Tidak TB Paru N



Total



15 (83,3%)



3 (16,7%)



18 (100%)



16 (36,4%)



28 (63,6%)



p



RP 95% IK



0,002



2.29 (1,473-3,566)



N



44 (100%)



Hasil tabulasi silang pada tabel 7 memperlihatkan bahwa mayoritas responden yang tidak TB Paru yang jenis lantainya memenuhi syarat sebanyak 28 orang (63,6%) dan mayoritas responden yang menderita TB Paru dengan jenis lantai yang tidak memenuhi syarat sebanyak 15 orang (83,3%). Hasil uji chisquare memperlihatkan bahwa nilai p = 0,002 < 0,05, dapat disimpulkan bahwa



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



36



jenis lantai memiliki hubungan signifikan dengan kejadian TB paru dan variabel jenis lantai disertakan kedalam uji regresi logistik karena memenuhi syarat uji regresi logistik yaitu nilai p = 0,002 < 0,25. Hubungan kepadatan hunian dengan kejadian TB paru. Hubungan antara kepadatan hunian dengan Kejadian TB paru dilakukan dengan uji chisquare pada tingkat kepercayaan 95% (p ≤ 0,05) memperlihatkan hasil sebagai berikut : Tabel 8 Tabulasi Silang Antara Kepadatan Hunian dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Teupin Raya Tahun 2018 Kejadian TB Paru Kepadatan Hunian Tidak memenuhi syarat Memenuhi syarat



Menderita TB Paru n 28(77,8%) 3(11,5%)



Tidak TB Paru n 8(22,2%) 23(88,5%)



Total p



RP 95% IK



0,001



6.741 (2,292-19,820)



N 36 (100%) 26 (100%)



Berdasarkan tabel 8 menunjukkan bahwa mayoritas responden yang tidak TB Paru dengan kepadatan huni yang memenuhi syarat yakni sebanyak 23 orang (88,5%) dan mayoritas responden yang menderita TB paru dengan kepadatan huni yang tidak memenuhi syarat yakni sebanyak 28 orang (77,8%). Hasil uji chisquare memperlihatkan bahwa nilai p = 0,001 < 0,05, dapat disimpulkan bahwa kepadatan huni memiliki hubungan signifikan dengan kejadian TB Paru dan variabel kepadatan huni disertakan kedalam uji regresi logistik karena memenuhi syarat uji regresi logistik yaitu nilai p = 0,001 < 0,25. Hubungan ventilasi dengan kejadian TB paru. Hubungan antara ventilasi dengan Kejadian TB paru dilakukan dengan uji chi-square pada tingkat kepercayaan 95% (p ≤ 0,05) memperlihatkan hasil sebagai berikut



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



37



Tabel 9 Tabulasi Silang Antara Ventilasi dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Teupin Raya Tahun 2018 Kejadian TB Paru Ventilasi Tidak memenuhi syarat Memenuhi syarat



Menderita TB Paru N 28(84,8%) 3(10,3%)



Tidak TB Paru N 5(15,2%) 26(89,7%)



Total p



RP 95% IK



0,001



8.202 (2,782-24,179)



N 33 (100%) 29 (100%)



Berdasarkan tabel 9 diketahui bahwa mayoritas responden yang tidak TB paru dengan ventilasi yang memenuhi syarat yakni sebanyak 26 orang (89,7%) dan mayoritas responden yang menderita TB paru dengan ventilasi yang tidak memenuhi syarat yakni sebanyak 28 orang (84,8%). Hasil uji chi-square memperlihatkan bahwa nilai p = 0,001, lebih kecil dari 0,05, dapat disimpulkan bahwa ventilasi memiliki hubungan signifikan dengan kejadian TB Paru dan variabel ventilasi disertakan kedalam uji regresi logistik karena memenuhi syarat uji regresi logistik yaitu nilai p = 0,001 < 0,25. Hubungan pencahayaan dengan kejadian TB paru. Hubungan antara pencahayaan dengan Kejadian TB paru dilakukan dengan uji chi-square pada tingkat kepercayaan 95% (p ≤ 0,05) memperlihatkan hasil sebagai berikut Tabel 10 Tabulasi Silang Antara Pencahayaan dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Teupin Raya Tahun 2018 Kejadian TB Paru Pencahayaan Tidak memenuhi syarat Memenuhi syarat



Menderita TB Paru n 28(80%) 3(11,1%)



Tidak TB Paru N 7(20%) 24(88,9%)



Total P



RP 95% IK



0,001



7.2 (2,446-21,194)



N 35 (100%) 27 (100%)



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



38



Hasil tabulasi silang pada tabel 10 memperlihatkan bahwa mayoritas responden yang tidak TB paru dengan pencahayaan yang memenuhi syarat yakni sebanyak 24 orang (88,9%) dan mayoritas responden yang menderita TB paru dengan pencahayaan yang tidak memenuhi syarat yakni sebanyak 28 orang (80%). Hasil uji chi-square memperlihatkan bahwa nilai p = 0,001, lebih kecil dari 0,05, dapat disimpulkan bahwa pencahayaan memiliki hubungan signifikan dengan kejadian TB paru dan variabel pencahayaan disertakan kedalam uji regresi logistik karena memenuhi syarat uji regresi logistik yakni nilai p = 0,001 < 0,25. Hubungan kelembaban dengan kejadian TB paru. Hubungan antara kelembaban dengan Kejadian TB paru dilakukan dengan uji chi-square pada tingkat kepercayaan 95% (p ≤ 0,05) memperlihatkan hasil sebagai berikut : Tabel 11 Tabulasi Silang Antara Kelembaban dengan Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Teupin Raya Tahun 2018 Kejadian TB Paru Kelembaban Tidak memenuhi syarat Memenuhi syarat



Menderita TB Paru n 28(82,4%) 3(10,7%)



Tidak TB Paru n 6(17,6%) 25(89,3%)



Total P



RP 95% IK



0,001



7.686 (2,609-22,645)



N 34 (100%) 28 (100%)



Berdasarkan hasil tabel 11 diketahui bahwa mayoritas responden yang tidak TB paru dengan kelembaban yang memenuhi syarat yakni sebanyak 25 orang (89,3%) dan mayoritas responden yang menderita TB paru dengan kelembaban yang tidak memenuhi syarat yakni sebanyak 28 orang (82,4%). Hasil uji chi-square memperlihatkan bahwa p = 0,001, lebih kecil dari 0,05, dapat disimpulkan bahwa kelembaban memiliki hubungan signifikan dengan kejadian



UNIVERSITAS SUMATERA UTARA



39



TB paru dan variabel kelembaban disertakan kedalam uji regresi logistik karena memenuhi syarat uji regresi logistik yaitu nilai p = 0,001 < 0,25. Berikut ini adalah rangkuman hasil uji chi-square antara ke-5 variabel bebas yaitu jenis lantai, kepadatan hunian, ventilasi, pencahayaan,kelembaban dengan Kejadian TB paru. Tabel 12 Kandidat Uji Multivariat Berdasarkan Hasil Uji Chi-square di Wilayah Kerja Puskesmas Teupin Raya Tahun 2018 No Variabel kandidat Sig-p r-kritis Kesimpulan 1 2 3 4 5



Jenis Lantai Kepadatan hunian Ventilasi Pencahayaan Kelembaban



0,002 0,001 0,001 0,001 0,001



0,25 0,25 0,25 0,25 0,25



p ≤ 0,05, berpeluang p ≤ 0,05, berpeluang P ≤ 0,05, berpeluang p ≤ 0,05, berpeluang p ≤ 0,05, berpeluang



Berdasarkan tabel 12 diketahui bahwa ke-5 variabel bebas yaitu jenis lantai, kepadatan hunian, ventilasi, pencahayaan dan kelambaban memenuhi persyaratan untuk diserstakan kedalam uji multivariat karena memiliki nilai p< 0,25. Hasil Uji Regresi Logistik Hasil uji tahap awal. Analisis multivariat dilakukan untuk mengetahui variabel yang paling berhubungan dengan Kejadian TB paru dengan langkahlangkah sebagai berikut 1. Melakukan pemilihan variabel, adapun variabel yang dipilih adalah variabel yang memiliki nilai p