Hubungan Teori Dan Media Pembelajaran [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

“Hubungan Antara Teori Para Ahli dan Media Pembelajaran Matematika” Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Media dan Teknologi Pembelajaran Matematuka AKPC1502



Dosen Pembimbing : Drs. Hidayah Ansori, M.Si Juhairiah, M.Pd



Kelompok 3 : 1. Desiana Hafsari (A1C115012) 2. Harmia Rani (A1C115017) 3. Noorlatifah (A1C115030) 4. Hafizah Fikriah Waskan (A1C115050) 5. M. Noor (A1C115053)



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN IPA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT BANJARMASIN 2017



1. Piaget Menurut Jean Piaget, dasar dari belajar adalah aktivitas anak bila ia berinteraksi dengan lingkungan social dan lingkungan fisiknya. Pertumbuhan anak merupakan suatu proses sosial. Anak tidak berinteraksi dengan lingkungan fisiknya sebagai suatu individu terikat, tetapi bagian dari kelompok sosial. Akibatnya lingkungan sosialnya berada diantara anak dengan lingkungan fisiknya. Tahap perkembangan kognitif menurut Piaget (Paul. S, 2001:24) dibagi menjadi 4 tahap antara lain: a. Tahap sensorimotor (umur 0 – 2 tahun) Pada tahap sensorimotor, anak mengenal lingkungan dengan kemampuan sensorik yaitu dengan penglihatan, penciuman, pendengaran, perabaan. Karakteristik tahap ini merupakan gerakan – gerakan akibat suatu reaksi langsung dari rangsangan. Anak mengatur alamnya dengan indera(sensori) dan tindakan-tindakannya(motor), anak belum mempunyai kesadaran – kesadaran adanya konsepsi yang tetap. Media yang digunakan pada tahap ini yaitu media yang dapat dilihatnya dan didengar yang berada disekitarnya. Contohnya: Diatas ranjang seorang bayi diletakkan mainan yang akan berbunyi bila talinya dipegang. Suatu saat, ia main-main dan menarik tali itu. Ia mendengar bunyi yang bagus dan ia senang. Maka ia akan mencoba menarik-narik tali itu agar muncul bunyi menarik yang sama. b. Tahap pra operasional (2 – 7 tahun) Ciri pokok pada tahap ini adalah pada penggunaan symbol atau bahasa tanda, dan mulai berkembangnya konsep-konsep intuitif. Penggunaan media pembelajaran yang cocok dalam tahap ini Contohnya: anak bermain pasar-pasaran dengan uang dari daun. Kemudian dalam penggunaan bahasa , anak menirukan apa saja yang baru ia dengar. Ia menirukan orang lain tanpa sadar. Hal ini dibuat untuk kesenangannya sendiri. Tampaknya ada unsur latihan disini, yaitu suatu pengulangan untuk semakin memperlancar kemampuan berbicara meskipun tanpa disadari. c. Tahap operasional konkret (7 – 11 tahun) Tahap operasional konkret dinyatakan dengan perkembangan sistem pemikiran yang didasarkan pada peristiwa – peristiwa yang langsung dialami. Pada tahap ini anak masih menerapkan logika berpikir pada barang – barang yang konkret, belum bersifat abstrak maupun hipotesis. jadi media yang cocok untuk tahap ini anak bisa melihat langsung alat



peraga yang digunakan misal dalam operasi hitung guru bisa menggunakan alat seperti kelereng, pensil, buku dan benda-benda yang ada diruangan kelas sebagai penunjang dalam menjelaskan materi tersebut. d. Tahap operasional formal (11 tahun keatas) Pada tahap ini anak mampu bernalar tanpa harus berhadapan dengan objek atau peristiwanya langsung. Media yang cocok digunakan pada tahap ini adalah dengan melihat suatu gambar yang abstrak misal dalam Power Point anak sudah mampu berpikir nalar untuk memecahkan masalah.



2. Brunner Ada tiga proses kognitif dalam proses pembelajaran : a.



Tahap enaktif Dalam tahap ini penyajian yang dilakukan melalui tindakan anak secara langsung terlibat dalam memanipulasi (mengotak-atik) objek. Pada tahap ini anak memerlukan benda konkret atau situasi yang nyata dalam menerima pelajaran tanpa menggunakan imajinasinya atau kata-kata. Berdasarkan teori belajar Bruner, media diperlukan dalam mendukung proses pembelajaran. Contohnya pada anak Sekolah Dasar (SD), pada anak usia tersebut sangat diperlukan yang namanya media pembelajaran, misalnya saja kita kaitkan dengan materi bangun datar. Pada materi bangun datar seperti segitiga, persegi panjang, persegi dan bangun datar lainnya sangat mendukung pembelajaran apabila di bantu dengan media. Anak seusia Sekolah Dasar akan cepat memahami materi tentang persegi panjang yang diajarkan ketika pendidik memberikan media dua persegi lalu anak dapat mengotak-atik menjadi persegi panjang setelah dua persegi tersebut digabung. Pada proses memanipulasi itulah peserta didik dapat memahami materi yang diajarkan. Dengan media tersebut diharapkan peserta didik dapat mengotak-atik langsung atau melihat benda konkret tersebut. Jadi, pada tahap enaktif ini media pembelajaran diperlukan untuk proses pembelajaran, khususnya pada peserta didik di tingkatan Sekolah Dasar (SD).



b.



Tahap ikonik Tahap ikonik, yaitu suatu tahap pembelajaran sesuatu pengetahuan dimana pengetahuan itu di representasikan (diwujudkan) dalam bentuk bayangan visual (visual



imaginery), gambar, atau diagram, yang menggambarkan kegiatan konkret yang terdapat pada tahap enaktif. Berdasarkan teori belajar Bruner, media diperlukan dalam mendukung proses pembelajaran. Contohnya pada materi bangun datar yaitu persegi panjang. Pada anak usia di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) sudah mengenal bangun datar di Sekolah Dasar (SD). Jadi, untuk mengingatkan materi tentang persegi panjang cukup digambarkan atau menggunakan gambar yang berbentuk persegi panjang. Peserta didik diusia ini tidak harus mengotak-atik benda konkret lagi. Tetapi, bisa dibantu dengan media gambar yang sudah disediakan. Jadi, pada tahap ini juga terdapat media yang dapat digunakan untuk mendukung proses pembelajaran. c.



Tahap Simbolis Dalam tahap ini bahasa adalah pola dasar simbolik, anak memanipulasi simbolsimbol atau lambang-lambang objek tertentu. Pada tahap simbolik ini, pembelajaran direpresentasikan dalam bentuk simbol-simbol abstrak (abstract syimbols), yaitu simbol-simbol arbiter yang dipakai berdasarkan kesepakatan orang-orang dalam bidang yang bersangkutan, baik simbol-simbol verbal (misalnya huruf-huruf, kata-kata, kalimat-kalimat), lambang-lambang matematika maupun lambang-lambang abstrak yang lain. Berdasarkan teori belajar Bruner, media tidak terlalu diperlukan dalam proses pembelajaran. Karena, pada tahap ini anak sudah mengenal materi yang diajarkan pada sekolah tingkat SMP dan SD yaitu ditahap enaktif dan tahap ikonik dan akan lebih meningkat ke proses rumus luas dan keliling. Peserta didik sudah dapat berimajinasi apa itu persegi panjang dan bagaimana bentuknya. Jadi, pada tahap ini tidak lagi diperlukan media dalam proses pembelajaran.



3. Gagne Robert M. Gagne adalah seorang ahli psikologi yang banyak melakukan penelitian mengenai fase-fase belajar, tipe-tipe kegiatan belajar, dan hirarki belajar. Dalam penelitiannya ia banyak menggunakan materi matematika sebagai medium untuk mengujipenerapan teorinya (Depdiknas, 2005:13). Gagne dalam Dimyati (2002:10) menyatakan belajar merupakan kegiatan yang kompleks. Setelah belajar orang memiliki keterampilan, pengetahuan, sikap, dan nilai. Dengan demikian



belajar adalah seperangkat proses kognitif yang mengubah sifat stimulus lingkungan, melewati pengolahan informasi, menjadi kapabilitas baru. Dalam teorinya, Gagne mengemukakan delapan fase dalam suatu tindakan belajar (Dahar, 1991:141-143). Fase-fase itu merupakan kejadian-kejadian eksternal yang dapat distruktur oleh siswa. Kedelapan fese yang dimaksud adalah sebagai berikut : 1. Fase Motivasi Siswa (yang belajar) harus diberi motivasi untuk belajar dengan harapan, bahwa belajar akan memperoleh hadiah. Misalnya, siswa-siswa dapat mengharapkan bahwa informasi akan memenuhi keingintahuan merekatentang suatu pokok bahasan, akan berguna bagi mereka atau dapat menolong mereka untuk memperoleh angka yang lebih baik. 2. Fase Pengenalan Siswa harus memberi perhatian pada bagian-bagian yang esensial dari suatu kajian instruksional, jika belajar akan terjadi. Misalnya, siswa memperhatikan aspek-aspek yang relevan tentang apa yang dikatakan guru, atau tentang gagasan-gagasan utama dalam buku teks. 3. Fase Perolehan Bila siswa memperhatikan informasi yang relevan, maka ia telah siap untuk menerima pelajaran. Informasi tidak langsung terserap dalam memori ketika disajikan, informasi itu di ubah kedalam bentuk yang bermakna yang dihubungkan dengan materi yang telah ada dalam memori siswa. 4. Fase Retensi Informasi baru yang diperoleh harus dipindahkan dari memori jangka pendek ke memori jangka panjang. Ini dapat terjadi melalui pengulangan kembali (rehearsal), praktek (practice), elaborasi atau lain-lainnya. 5. Fase Pemanggilan Mungkin saja kita dapat kehilangan hubungan dengan informasi dalam memori jangkapanjang. Jadi bagian penting dalam belajar adalah belajar memperoleh hubungan dengan apa yang telah dipelajari, untuk memangil informasi yang telah dipelajari sebelumnya. 6. Fase Generalisasi Biasanya informasi itu kurang nilainya jika tidak dapat diterapkan di luar konteks dimana informasi itu dipelajari. Jadi, generalisasiatau transfer informasi pada situasi-situasi baru merupakan fase kritis dalam belajar. Transfer dapat ditolong dengan memintapara siswa untuk menggunakan informasi dalam keadaan baru.



7. Fase Penampilan Siswa harus memperhatikan bahwa mereka telah belajar sesuatu melalui penampilan yang tampak. 8. Fase Umpan Balik Para siswa memperoleh umpan balik tentang penampilan mereka yang menunjukkan apakah mereka telah atau belum mengerti tentang apa yang diajarkan.



Hubungan Teori Gagne dan Media Pembelajaran Langkah pertama dalam pembelajaran adalah memotivasi para siswa untuk belajar sebagaimana fase pertama pada teori Gagne. Kerap kali ini dilakukan dengan membangkitkan perhatian mereka dalam isi pelajaran dan mengemukakan kegunaannya. Mungkin cara lain agar siswa lebih termotivasi adalah pemanfaatan musik sebagai media pembelajaran yang menjadikan proses pembelajaran menjadi menyenangkan dan tidak membosankan. Musik dapat menyeimbangkan kecerdasan intelektual dan emosional sehingga akan memberikan hasil yang baik bagi siswa. Selain itu musik juga mempengaruhi kondisi fisiologis. Kondisi fisiologis yang relaks akan membangkitkan semangat siswa dalam mengikuti proses belajar. Relaksasi yang diiringi dengan musik membuat pikiran selalu siap dan mampu untuk lebih berkonsentrasi dalam menerima pelajaran. Jika siswa sudah termotivasi untuk mengenal sesuatu maka mereka akan lebih mudah menerima pelajaran dari guru dan juga menunjang mereka ke fase-fase selanjutnya seperti fase pengenalan dan fase perolehan. Kemudian fase yang dapat ditunjang dengan media pembelajaran adalah Retensi. Retensi atau bertahannya materi yang di pelajari (jadi tidak terlupakan) dapat diusahakan oleh guru dan siswa itu sendiri dengan cara sering mengulangi pelajaran itu. Cara lain adalah dengan memberi banyak contoh, menggunakan media tabel, diagram, dan gambar. Dengan adanya media visual seperti tabel, diagram, dan gambar akan lebih memudahkan siswa untuk mengingat pelajaran.



4. Van Hiele Teori belajar Van Hiele adalah teori yang khusus membahas tentang materi Geometri. Penelitian yang dilakukan oleh Van Hiele melahirkan beberapa kesimpulan mengenai tahap perkembangan kognitif anak dalam memahami geometri. Penerapan teori Van Hiele diyakini dapat mengatasi kesulitan belajar siswa dalam geometri. Hal ini disebabkan karena teori Van Hiele lebih menekankan pada pembelajaran yang disesuaikan dengan tahap berpikir siswa.



Van Hiele (dalam Ismail, 1998) menyatakan bahwa terdapat 5 tahapan berpikir atau tingkatan kognitif sisiwa dalam memahami geometri yaitu : 1. Tahap Pengenalan Pada tahap ini siswa sudah mulai belajar mengenali suatu bentuk geometri secara keseluruhan, namun belum mampu mengetahui adanya sifat-sifat dari bentuk geometri yang dilihatnya itu. Jadi fungsi media pembelajaran pada tahap ini hanya agar siswa mengenali nama dari bangun-bangun geometri. Sebagai contoh, jika pada seorang siswa diperlihatkan sebuah persegipanjang, siswa itu belum menyadari bahwa persegipanjang mempunyai empat sisi dimana dua sisi yang berhadapan sama panjang, bahwa kedua diagonalnya sama panjang. Demikian juga dengan persegi. 2. Tahap Analisis Pada tahap ini, media berfungsi agar siswa sudah mulai mengenal dan memahami sifat-sifat yang dimiliki benda geometri yang diamatinya. Misalnya disaat siswa mengamati persegi panjang, siswa telah mengetahui bahwa terdapat 2 pasang sisi yang berhadapan, dan kedua pasang sisi tersebut saling sejajar. Namun dalam tahap ini siswa belum mampu mengetahui hubungan yang terkait antara suatu benda geometri dengan benda geometri lainnya. Misalnya, siswa belum mengetahui bahwa persegi adalah persegipanjang, bahwa persegi adalah belah ketupat. Setelah dapat memahami sifat-sifat atau bentuk-bentuk bangun datar diatas, diharapkan siswa dapat menyebutkan benda-benda disekitar mereka yang termasuk kedalam bentuk bangun datar yang dibicarakan. Misalnya papan tulis, buku tulis, penggaris, adalah contoh bentuk persegipanjang. 3. Tahap Pengurutan Pada tahap ini siswa sudah mengenal bentuk geometri dan memahami sifat-sifatnya, namun kemampuan ini belum berkembang secara penuh. Jadi, fungsi media pada tahap ini adalah agar siswa bisa mengurutkan bentuk-bentuk geometri. Misalnya, diberikan bangun datar persegi dan persegi panjang. Siswa sudah dapat mengurutkan bahwa persegi adalah persegipanjang. Persegi merupakan segi empat yang besar setiap sudut dalamnya adalah dan kedua diagonalnya sama panjang. Ciri atau sifat tersebut juga merupakan sifat persegipanjang, sehingga dapat dikatakan bahwa persegi adalah persegipanjang yang keempat sisinya sama panjang. 4. Tahap Deduksi Dalam tahap ini siswa sudah mulai mampu menarik kesimpulan secara deduktif, yakni penarikan kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum menuju hal-hal yang bersifat khusus.



Pada tahap ini berpikir deduktif siswa sudah mulai tumbuh tetapi belum berkembang dengan baik. Misalnya, siswa sudah mulai memahami defenisi, postulat dan teorema pada bangun datar, namun belum mengerti mengapa postulat tersebut benar dan mengapa dapat dijadikan sebagai postulat dalam cara-cara pembuktian dua segitiga yang sama dan sebangun (kongruen). Contohnya, guru memberikan sebuah bangun persegi. Lalu siswa dapat membuktikan bahwa diagonal suatu persegi akan membagi persegi tersebut menjadi 2 buah segitiga yang kongruen 5. Tahap Keakuratan Dalam tahap ini siswa sudah mulai menyadari betapa pentingnya ketepatan dari prinsipprinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Misalnya, memahami pentingnya defenisi, aksioma-aksioma atau postulat dan teorema pada bangun datar. Tahap akurasi merupakan tahap berpikir yang tinggi, rumit, dan kompleks. Oleh karena itu pada siswa yang duduk dibangku SD masih belum sampai pada tahap berpikir ini. Karena tahap ini siswa sudah mulai berpikir abstrak, jadi mungkin pada tahap ini penggunaan media pembelajaran sudah tidak diperlukan lagi.



5. Thorndike Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. (Slavin, 2000). Ada tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike yakni: 1)



hukum efek;



2)



hukum latihan dan;



3)



hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991). Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat respon



Thorndike mengembangkan teori asosiasionisme yang sangat sistematis, dan salah satu teori belajar yang paling sistematis. Berdasarkan hal tersebut, terlihat bahwa teori belajar Thorndike mendukung penggunaan media dalam pembelajarannya. Terutama pada hukum latihan (law of exercise) dimana jumlah



exercise (yang dapat berupa penggunaan atau praktek) dapat memperkuat ikatan S-R. Contoh : mengulang, menghafal, dan lain sebagainya. Belakangan teori ini dilengkapi dengan adanya unsur effect belajar sehingga hanya pengulangan semata tidak lagi berpengaruh. Penerapan teori Thorndike dalam pembelajaran khususnya matematika bergantung pada beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pembelajaran, karakteristik siswa, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Penggunaan media yang bertingkat juga merupakan salah satu penerapan teori ini. Media yang digunakan harus disesuaikan dengan kesiapan anak dan bersifat kontinu. Soal latihan yang diberikan tingkat kesulitannya harus bertahap. Proses pembelajaran juga harus bertahap dari yang sederhana hingga yang kompleks. Contohnya penggunaan media tiga (3) dimensi untuk tahap awal, kemudian disusul oleh penggunaan media 2 (dua) dimensi, lalu menggunakan media visual yang tidak bisa disentuh. Pada pengenalan konsep bangun ruang balok misalnya, pada tahap pertama pengenalan menggunakan media balok asli 3 dimensi, setelah siswa dirasa siap maka akan digunakan media 2 dimensi atau dalam bentuk gambar, lalu siswa akan dikenalkan dengan ciri-ciri balok menggunakan visualisasi kata.