Hukum Adat Peradilan [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN A.



Latar Belakang



Indonesia memiliki adat yang berbeda-beda baik adat dari satu daerah, ke daerah lainya memiliki coraknya tersendiri, terutama dalam sistem peradilanya , meskipun indonesia memiliki lembaga pengadilan yang berlandaskan pada konstitusi, tetapi masih ada saja permasalahan – permasalahan yang menyangkut dengan hukum adat B.



Rumusan Masalah 1. Apa Itu Hukum Adat Peradilan? 2. Apa Saja Macam-Macam Peradilan Adat Pada Zaman Kolonial Sampai Lahirnya UU Darurat No 1 Tahun 1951? 3. Apa Tugas Dari Hakim Adat? 4. Bagaimana Rangkaian Penyelsaian Perkara Hukum Adat Dan Penetapan Keputusan Dalam Perkara Hukum Adat?



C. Tujuan Penulisan 1. Mengetahui hukum adat peradilan 2. Mengetahui macam-macam peradilan adat 3. Mengetahui tata cara penyelsaian perkara yang berkaitan dengan hukum adat



1 | Hukum Adat



BAB II PEMBAHASAN A.



Pengertian Hukum Adat Peradilan



Hukum adat peradilan adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur tentang cara bagaimana berbuat untuk menyelesaikan sesuatu perkara dan atau untuk menetapkan keputusan hukum sesuatu perkara menurut hukum adat. Cara untuk menyelesaikan masalah atau perkara itulah yang disebut “peradilan”. Kalau kita menyinggung kata “peradilan” mungkin yang ada di benak kita adalah adanya keadilan, ya keadilan yang didapat dapat dilakukan melalui proses persidangan atau permusyawaratan. “peradilan” juga kadang bisa disebut cara untuk mengadili, peradilan adat dapat dilaksanakan oleh anggota masyarakat secara perorangan, oleh keluarga/tetangga, kepala kerabat atau kepala adat (hakim adat), kepala desa, atau oleh perkumpulan pengurus organisasi , sebagaimana telah dikemukakan diatas dalam penyelesaian delik adat secara damai untukmengembalilakn keseimbangan masyarakat yang terganggu. Begitupula peradilan adat dapat dilkasanakan oleh badan-badan peradilan resmi, yaitu peradilan negara seperti oleh pengadilan umum (pengadilan negeri, pengadilan tinggi atau mahkamah Agung), pengadilan Agama, peradilan administrasi atau peradilan militer. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang pengadilan dalam lingkungan peradilan umum No. 13 tahun 1965 dan Undang-Undang tentang mahkamah Agung No. 14 tahun 1970.1 B. Macam-Macam Peradilan Adat Pada Zaman Kolonial Sejak zaman hindia belanda dahulu sampai lahirnya undang-undang darurat nomor 1 tahun 1951 tanggal 14 Januari 1951, di Indonesia belum ada univikasi dalam susunan dan kekuasaan pradilan, karena masih ada lima macam tatanan peradilan yang berlaku yakni: 1. Tatanan peradilan gubernemen (gouvernemen rechts praak) yang meliputi seluruh wilayah hindia belanda yang terdiri dari macam-macam jenis peradilan. 2. Peradilan peribumi (inheemsche rechts praak) yang ada di daerah-daerah yang mendapat kebebasan untuk menyelenggarakan peradilanya sendiri dengan hakimhakim peribumi. 3. Peradilan swapraja (zelbestuur srechts praak) yangn terdapat di daerah-daerah swap raja.



1 Hilman, Hadikusuma, “Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia” Mandar Maju. Bandung.2014.Hal 236-237



2 | Hukum Adat



4. Peradilan agama (raad agama) yang ada di daerah-daerah hindia belanda, baik yang di daerahnya terdapat peradilan gubernemen maupun yang menetapkan peradilan agama sebagai bagian dari peradilan peribumi atau peradilan swap raja. 5. Peradilan desa (dorpsrechts praak) yang terdapat dalam masyarakat desa, yang biasanya juga merupakan peadilan adat. Dari lima macam tatanan peradilan diatas, yang dalam melaksanakan tugasnya selalu berpedoman pada hukum adat sebagai landasan mengadili perkara ialah: 1. Peradilan peribumi Peradilan peribumi ini mempunyai wewenang untuk mengadili perkara yang terjadi antara orang-orang bumiputera yang tidak termasuk wewenang peradilan gubernemen. Pasal 130 I.S. menegaskan bahwa orang-orang bumiputera dimanapun ia berada, kalau tidak menyelenggarakan peradilan sendiri, maka peradilanya dilakukan atas nama raja atau ratu (belanda). 2. Peradilan desa Peradilan desa ini merupakan bagian dari peradilan peribumi (di jawa), dan kadang-kadang merupakan peradilan swap raja (di luar jawa madura). Di beberapa daerah tertentu peradilan desa dapat juga merupakan bagian dari peradilan gubernemen seperti peradilan desa di ambon, saparua dan banda (karesi denan maluku). Nama-nama peradilan di desa ini bermacam-macam misalnya: rapat (dii tapanuli, Palembang, jambi, bengkulu), musapat (aceh besar, singkel), mahkamah (riau), perapatan (Kalimantan selatan dan timur), hudat (Sulawesi selatan), raad (sasak), majlis (gorontalo). Peradilan desa ini dilakukan secara majlis oleh para kepala desa atau kepala masyarakat hukum adat setempat dan wewenangnya hanya mengenai perkara-perkara perdata yang kecil terhadap putusan peradilan desa ini dapat dimintakan banding terhadap hakim yang lebih tinggi yaitu hakim distrip. 3. Peradilan swa praja Pada dasarnya kekuasaan otonomi pada daerah-daerah swapraja meliputi juga kewenangan dalam peradilan, sehingga daerah-daerah swapraja yang ada pada zaman hindia belanda dahulu pada umumnya mempunyai peradilanya sendiri Dari empat daerah swapraja yang ada di jawa (kesultanan Yogyakarta, pekualaman Yogyakarta, kesunanan Surakarta , mengkunegaran surakarta).pada tahun 1907 (Stbl.1907 no.156) pekualaman Yogyakarta melepaskan kekuasaan mengadilinya, sehingga peradilan untuk kaula daerah swapraja pekualaman di serahkan kepada kekuasaan peradilan gubernamen.tiga daerah lainya tetap berjalan , sampai di hapuskan oleh pemerintah Indonesia dengan lahirnya Undang-undang Darurat no.1 tahun 1951 yang mengatur susunan dan kekuasaan pengadilan2. C. Tugas Para Hakim Adat



2 H. Hilman Hadikusuma, Peradilan Adat di Indonesia, Jakarta: CV Miswar, 1989. Hal 36.



3 | Hukum Adat



Dalam hal ini Prof.Mr.djojodigoeno mengatakan bahwa hakim harus dapat menumbuhkan pengadilannya dengan rasa keadilan masyarakat, sehingga putusan hakim dapat mencerminkan rasa keadilan masyarakat yang bersangkutan. 3



Dalam melaksanakan tugasnya yang berat ini para hakim terikat pada: 1. Nilai-nilai yang berlaku secara objektif dalam masyarakat 2. Sistem hukum adat yang telah berbentuk dan berkembang dalam masyarakat 3.Syarat-syarat dan nilai-nilai kemanusiaan 4.Putusan-putusannya sendiri yang pernah di jatuhkan 5.Putusan-putusan hakim lainnya dalam masalah serupa yang masih dapat di pertahankan karena masih sesuai dengan rasa keadilan masyarakat Adapun pedoman yang harus dipegangi oleh seorang hakim adat dalam mengambil putusan antara lain: 1. Asas-asas dan peragaan hukum di masa lampau yang merupakan ukuran statis, guna mengabdi tujuan hukum yang bernama”adat” 2. Keadaan masyarakat pada waktu sekarang ,yang merupakan ukuran dinamik, guna mengejar” tatanan masyarakat yang adil” 3. Indifidualitas masing-masing kasus yang merupakan ukuran praktis . Dengan demikian maka wujud dari putusan hakim yang sedang mengadili suatu perkara menurut hukum adat berupa: 1. Melaksanakan aturan hukum adat yang telah ada , sepanjang masih mencerminkan rasa keadilan 2.



Tidak melaksanakan aturan hukum adat yang ada melainkan memberi penetapan baru, bila mana menurut keyakinan dan rasa keadilan hakim,



3.



Aturan hukum adat yang lama itu tidak sesuai lagi dengan perasaan keadilan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.



Sebagai kemungkinan ketiga hakim dapat pula mengambil keputusan jalan tengah,kalau terjadi hal-hal sebagai berikut: a. Peristiwa atau faktannya tidak terang (siapa yang salah) b. Hukum yang menguasai perkara itu tidak jelas c. Kalau penerapan aturan hukum adat yang ada akan dapat menimbulkan rasa tidak puas masyarakat.4 D. Rangkaian Penyelesaian Perkara dan Putusan Hukum Adat Peradilan 3 Bushar Muhammad, “Asas-asas hukum adat “ suatu pengantar. PT. prandnya para mita .jakarta.hal 23 4 Ibid hal 9



4 | Hukum Adat



1. Penyelesaian Perkara Secara Damai Menyelesaikan suatu perkara atau perselisihan di dalam masyarakat adat secara damai sudah lumrah adanya atau merupakan budaya hukum (adat) bangsa Indonesia yang tergolong tradisional. Pada zaman Hindia Belanda penyelesaian perkara secara damai ini seringkali disebut “Peradilan Desa” (Dorpjustitie), sebagaimana diatur dalam pasal 3 a RO, yang sampai sekarang tidak pernah dicabut. Menurut pasal tersebut dikatakan : (a) Semua perkara yang menurut hukum adat termasuk kekuasaan hakim dari masyarakat hukum kecil-kecil (hakim desa) tetap diadili oleh para hakim tersebut. (b) Ketentuan pada ayat dimuka tidak mengurangi sedikitpun hak yang berperkara untuk setiap waktu mengajukan perkaranya kepada hakim-hakim yang dimaksud pasal 1, 2 dan 3 (hakim yang lebih tinggi). (c) Hakim-hakim yang dimaksud dalam ayat 1 mengadili perkara menurut hukum adat, mereka tidak boleh menjatuhkan hukuman. Kemudian menurut penjelasan UU No. 14 tahun 1970 dikatakan bahwa semua peradilan diseluruh wilayah Indonesia adalah peradilan negara, hal mana untuk menutup semua kemungkinan adanya atau akan adanya lagi peradilan-peradilan swapraja atau peradilan adat yang dilakukan oleh bukan badan peradilan negara. Ketentuan ini sekali-kali tidak bermaksud untuk mengingkari hukum tidak tertulis, melainkan hanya akan mengalihkan perkembangan dan penerapan hukum itu kepada peradilan-peradilan yang dilakukan oleh bukan badan peradilan negara. Penyelesaian perkara diluar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrage) tetap diperbolehkan. Dengan demikian yang kita sebut peradilan adat disini adalah penyelesaian perkara secara damai, bukan peradilan adat yang dahulu disebut “Peradilan Pribumi” atau “Peradilan Swapraja”. 2. Penyelesaian Perkara di Muka Peradilan Dasar hukum perundangan yang lama tentang pelaksanaan peradilan adat di muka Pengadilan Negara adalah pasal 75 RR lama yang menyatakan, bahwa apabila Gubernur Jendral tidak memperlakukan perundang-undangan golongan eropa bagi golongan bumiputera dan golong bumiputera tidak menyatakan dengan sukarela tunduk pada hukumn perdata eropa, maka untuk golongan Bumiputera, hakim harus melakukan hukum ( perdata ) adat, apabila hukum adat itu tidak bertentangan dengan dasar-dasar keadilan yang umum dipakai. Tetapi jika aturan hukum adat itu bertentangan dengan dasar-dasar keadilan atau jika terhadap perkara bersangkutan tidak ada aturan hukum adatnya, maka hakim harus memakai dasar-dasar umum hukum perdata dan hukum dagang eropa sebagai pedoman5 Jelaslah bahwa dasr hukum perundangan pasal 75 RR lama tesebut mewarisi pasal 11 AB yang juga tidak terlepas dari pengaruh ketentuan lama dari masa Deandles dan Raffles bahaw hukum adat itu dapat berlaku dalam peradilan sepanjang ia tidak bertentangan dengan asas-asas keadilan dan kepatutan yang diakui umum, atau menurut istilah Raffles asal saja tidak bertentangan dengan “the universal adn acknowledged priciples of natural justice” 6 5 H. Hilman Hadikusuma, Peradilan Adat di Indonesia, Jakarta: CV Miswar, 1989. Hal 152.



5 | Hukum Adat



3.



    



Dengan demikian apabila dalam pemeriksaan perkara hakim menganggap hukum adat yang digunakan itu bertentangan dengan dasar-dasar keadilan yang umum, maka berdasarkan pasal 75 RR ayat 3 jo 6 RR lama, maka hukum adat tersebut dapat di kesmapingkan. Sebagaimana dikatakan soepomo, hakim menurut fungsinya berwenang bahkan wajib mempertimbangkan apakah peraturan hukum adat yang telah ada yang mengenai soal yang dihadapi, masih selaras atau sudah bertentangan dengan kenyataan sosial (sociale werklijkheid) baru berhubungan dengan pertumbuhan situasi baru di dalam masyarakat. Pertimbangan Dalam Pemeriksaan Perkara Fungsi hakim dalam memeriksa dan mempertimbangkan perkara menurut hukum adat, tidak dibatasi undang-undang., hakim tidak terikat dengan ketentuanketentuan tentang pembuktian menurut Reglement Indonesia yang baru (RIB) S. 1941 No. 44. Bagi hakim yang penting adalah memperhatikan apakah hukum adat itu masih hidup dan dipertahankan masyarakat adat bersangkutan, dan apakah hukum adat itu masih patut untuk dipakai sebagai bahan pertimbangan, ataukah hukum adat itu sudah tidak sesuai lagi dengan perasaan dan kesadaran hukum masyarakat yang umum, apakah hukum adat itu masih mempunyai kekuatan material, ataukah malahan bertentangan dengan tujuan pembangunan nasional. Untuk dapat mengatur sejauh mana aturan-aturan hukum adat itu masih mempunyai kekuatan material, dapat diperhatikan dari hal-hal sebagai berikut : Apakah struktur masyarakat adatnya masih tetap dipertahankan ataukah sudah berubah. Apakah kepala adat dan perangkat hukum adatnya masih tetap berperan sebagai petugas hukum adat. Apakah masih sering terjadi penyelesaian perkara dengan keputusan-keputusan yang serupa. Apakah akidah-akidah hukum adat yang formal masih dipertahankan ataukah sudah bergeser atau berubah. Apakah hukum adat itu tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undangundang Dasar serta politik hukum Nasional. Jadi, agar pertimbangan hakim dalam pemeriksaan perkara tidak sia-sia, maka kita kembali kepada pendapat van Vollenhoven yang menyatakan “ “ jika dari atas telah diputuskan untuk mempertahankan hukum adat padahal hukum itu sudah mati, maka peraturan-peraturan itu sia-sia belaka. Sebaliknya jika dari atas diputuskan bahwa hukum adat itu harus diganti, padahal didusundusun, didesa-desa dan pasar-pasar hukum adat itu masih kokoh dan kuat, maka hakim akan sia-sia belaka” ( Van vollenhoven).



4. Penetapan Keputusan dalam Perkara Hukum adat Menurut sistem peradilan di Indonesia memang tidak dikenal adanya sistem precedent sebagaimana dalam peradilan yang terdapat dalam anglosaxon, jadi disini hakim tidak terikat pada suatu keputusan Hakim terdahulu, walaupun dalam perkara yang sama persis ataupun dalam waktu yang bersamaan. Begitu pula dengan pemeriksaan di muka pengadilan negara, seorang Hakim tidak berbuat seperti Hakim perdamaian di luar pengadilan sebagai “pemakat” diantara 6 Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Jakarta: Universitas, 1967, hal 34



6 | Hukum Adat



para pihak berperkara yang beda hukum adatnya., atau sebagai penengah diantara kedua belah pihak yang sedang berperkara yang berbeda masyarakatnya. Atau juga sebagai “pemutus” diantara kedua belah pihak berperkara yang hukum adatnya sama. Jadi setelah suatu perkara tersebut di periksa di pengadilan negara dengan ,menggunakan hukum adat, maka hakim dapat mengambil putusan-putusan sebagai berikut : a. Putusan menyamakan Artinya disini putusan hakim itu mengandung isi yang sama dengan putusan hakim terdahulu, kerena perkaranya sama atau bersamaan. b. Putusan menyesuaikan Didalam hal ini putusan seorang hakim mengandung isi yang disesuaikan dengan kaidah-kaidah hukum yang tradisional. c. Putusan menyimpang Dalam hal ini putusan seorang hakim itu mengandung isi yang menyimpang dari kaidah-kaidah hukum adat yang berlaku. d. Putusan menyampingkan Dalam hal ini putusan seorang hakim itu mengandung isi yang mengesampingkan atau menyisihkan kaidah hukum adat yang berlaku. e. Putusan jalan tengah Didalam putusan ini biasanya seorang hakim mengambil jalan tengah diantara keterangan kedua belah pihak yang tak jelas. f. Putusan mengubah Disini putusan hakim yang mengandung isi mengubah kaidah hukum adat yang lama dengan kaidah hukum adat yang baru g. Putusan baru Putusan hakim disini mengandung kaidah hukum yang menggantikan kaidah hukum yang lama yang tidak sesuai lagi. h. Putusan menolak Dalam putusan ini seorang Hakim mengandung isi menolak tuntutan atau gugatan para pihak berperkara karena bukan pada tempatnya7.



7 Hilman, Hadikusuma, “Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia” Mandar Maju. Bandung.2014.Hal 240-241



7 | Hukum Adat



BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Hukum adat peradilan adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur tentang cara bagaimana berbuat untuk menyelesaikan sesuatu perkara dan atau untuk menetapkan keputusan hukum sesuatu perkara menurut hukum adat. Cara untuk menyelesaikan masalah atau perkara itulah yang disebut “peradilan Pada zaman kolonial terdapat beberapa pengadilan mulai dari gubernemen, pribumi, swapraja, dan agama, dan dalam menyelsaikan perkara dalam hukum adat berangsur – angsur dimulai dari dengan cara berdamai , hingga di pengadilan.



8 | Hukum Adat