Hypothermia Yang Terjadi Pada Hiking [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Hypothermia yang terjadi pada Hiking



BAB I PENDAHULUAN 1.1.



Latar Belakang Masalah Hiking adalah suatu kegiatan rekreasi petualangan alam bebas. Dalam melakukan



petualangan tersebut memang bukanlah hal yang mudah, tetapi juga tidak sulit ataupun mustahil untuk dilakukan. Untuk itu, persiapan dan perencanaan yang matang mutlak harus dilakukan untuk menghindari terjadinya Hypothermia, Frosbite, AMS (Acute Mountain Sickness) dan lain-lain (Elliana, 2011). Menurut Setiati et al., (2008),”Hypothermia didefinisikan sebagai keadaan dimana suhu inti tubuh < 35oC (95oF)”. Hypothermia juga didefinisikan sebagai kegagalan dalam memproduksi panas pada lingkungan dengan temperature yang dingin (Meyer, 1999). Sedangkan frostbite adalah membekunya sebagian organ tubuh yang terpapar oleh suhu dingin yang berlebihan [umumnya terjadi pada suhu 0oC (32oF)]. Organ yang terkena biasanya adalah ujung-ujung jari kaki dan tangan, cuping telinga, cuping hidung dan dagu (Myaluzz, 2011). Hal tersebut terjadi karena adanya pertukaran panas antara tubuh dan lingkungan yang berlangsung melalui radiasi, konduksi, konveksi dan evaporasi (Sherwood, 2006). Dari sebuah penelitian United States menyatakan bahwa jumlah kematian pada penderita hypothermia tergantung pada tingkatannya. Yaitu pada hypothermia ringan dengan suhu tubuh 3235oC tidak terkait dengan morbidity yang signifikan ataupun kematian. Sedangkan pada hypothermia sedang dengan suhu tubuh 28-32oC pada survey multicenter menemukan angka kematian mencapai 21%. Bahkan kematian lebih tinggi terjadi pada hypothermia berat dengan suhu tubuh < 28oC. Tingkat kematian yang lebih tinggi juga terkait dengan cormobidity lain termasuk alkoholisme, tunawisma, penyakit kejiwaan dan usia lanjut (Eldestein & Chief, 2011). Kematian yang disebabkan oleh hypothermia setiap tahun di USA sebanyak 700 orang pada periode tahun 1978 – 1998, dan setengah dari penyebab kematian tersebut disebabkan oleh cuaca yang sangat dingin. Rata-rata mortality pada accidental hypothermia sekitar 30-80% (O’Connel et al., 2011). Bahkan di Indonesia, hypothermia menduduki peringkat teratas sebagai



ancaman maut serta “hantu” pencabut nyawa paling kejam bagi para pendaki gunung (Marssy, 2007). Dari hasil penelitian tersebut didapatkan bahwa kematian akibat hypothermia pada para pendaki gunung sangat besar resikonya dan hypothermia selalu menjadi momok bagi para hiker. Sehingga penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai hypothermia pada hiking.



1.2.



Rumusan Masalah



Dari latar belakang yang ada di atas maka rumusan penulisan sebagai berikut: 1. Bagaimana efek pajanan suhu dingin terhadap kondisi fisiologis tubuh? 2. Bagaimana perawatan atau pengobatan hypothermia bagi para pendaki gunung? 3. Bagaimana pencegahan yang dilakukan untuk menghindari terjadinya hypothermia pada hiking?



1.3.



Tujuan Penulisan



Dari rumusan masalah di atas maka tujuan penulisan sebagai berikut: 1.3.1. Tujuan Umum Mengetahui hubungan antara hypothermia dengan hiking sebagai upaya pencegahan kematian akibat hypothermia.



1.3.2. Tujuan Khusus 1. Menjelaskan efek pajanan suhu dingin terhadap kondisi fisiologis tubuh. 2. Menjelaskan perawatan atau pengobatan hypothermia bagi para pendaki gunung. 3. Menjelaskan pencegahan untuk menghindari terjadinya hypothermia pada hiking.



1.4.



Manfaat Penulisan



Manfaat dari penulisan ini adalah sebagai berikut: 1.4.1. Manfaat Bagi Penulis 1.



Mengembangkan kemampuan berpikir kritis, analitis, dan sistematis dalam mengidentifikasi permasalahan.



2.



Menerapkan dan memanfaatkan ilmu yang didapat selama pendidikan dan dan menambah pengetahuan dan pengalaman dalam membuat karya tulis ilmiah.



3.



Tulisan ini diajukan guna melengkapi sebagian persyaratan dalam mencapai gelar Sarjana Kedokteran.



1.4.2. Manfaat Bagi Perguruan Tinggi 1. Mengamalkan Tri Dharma Perguruan Tinggi dalam melaksanakan fungsi perguruan tinggi sebagai lembaga penyelenggara pendidikan, pengajaran dan pengabdian pada masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Turut berperan serta dalam rangka mewujudkan visi FK-UMI 2011 sebagai universitas riset. 3. Meningkatkan kerjasama yang harmonis serta komunikasi antara mahasiswa dan staf pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Methodist Indonesia.



1.4.3. Manfaat Bagi Pembaca 1. Dapat menjadi sumber informasi, inspirasi dan referensi bagi para pembaca. 2. Memberikan informasi tentang bahayanya hypothermia bagi para hiker.



BAB II TINJAUAN PUSTAKA



2.1. Suhu Dingin dan Lingkungan Dingin 2.1.1. Sumber Pajanan Suhu Dingin di Tempat Tinggi Ada beberapa faktor yang berkontribusi terhadap timbulnya cold stress, yaitu suhu lingkungan yang sangat dingin, kedinginan angin dan kedinginan air. Faktor ini baik secara sendiri maupun kombinasi dari faktor-faktor tersebut dapat menyebabkan panas keluar dari tubuh. Begitu juga dengan perlindungan pakaian yang tidak adekuat dan tubuh kurus juga merupakan faktor pendukung terjadinya heat loss (Setiati et al., 2008).



2.1.2. Mekanisme Perpindahan Panas dari Kulit ke Lingkungan Dingin



Gambar 2.1. Mekanisme Perpindahan Panas (a) Radiasi – perpindahan energi panas dari benda yang lebih panas ke yang lebih dingin dalam bentuk gelombang elektromagnetik (“gelombang panas”), yang berjalan melalui ruang. (b) Konduksi – perpindahan panas dari benda yang lebih panas ke benda yang lebih dingin dengan cara berkontak langsung. Panas dipindahkan melalui gerakan energi termal dari molekul ke molekul di dekatnya. (c) Konveksi – perpindahan energi panas melalui arus udara. Udara dingin dihangatkan oleh tubuh melalui konduksi bergerak ke atas dan digantikan oleh udara yang lebih dingin. (d) Evaporasi – panas penguapan diperlukan untuk mengubah suatu cairan, misalnya keringat, menjadi uap air diserap dari kulit (Sherwood, 2006). Kehilangan panas terjadi melalui empat mekanisme utama, yaitu radiasi, konduksi, konveksi, dan evaporasi. Keempat kondisi lingkungan tersebut terjadi melalui mekanisme yang disebabkan oleh stress dingin melalui temperatur yang rendah, kedinginan angin dan kedinginan air (Decker et al., 2003). Empat mekanisme utama kehilangan panas: 1. Radiasi



Menurut Ganong (2005) dan Sherwood (2006),” Radiasi adalah pemindahan panas melalui radiasi elektromagnetik inframerah dari satu benda ke benda lain dengan suhu berbeda dan keduanya tidak berkontak (Gbr. 2.1a)”. Apabila seseorang berada dalam lingkungan yang dingin, terjadi pengeluaran panas melalui hantaran ke udara di sekitarnya dan melalui radiasi ke benda-benda dingin di sekitarnya (Ganong, 2005). Kehilangan panas tubuh melalui radiasi terjadi ketika suhu tubuh di bawah 98,6oF (Decker et al., 2003). Menurut Boron & Boulpaep, (2003) dan Guyton & Hall, (2008),”Orang yang telanjang pada suhu kamar yang normal kehilangan panas kira-kira 60% dari kehilangan panas total (sekitar 15%) melalui radiasi.”



2. Konduksi Konduksi adalah perpindahan panas antara benda-benda yang berbeda suhunya yang berkontak langsung satu sama lain (Gbr. 2.1b), (Sherwood, 2006); [dimana objek tersebut lebih dingin daripada tubuh], (O’ Connel et al., 2011). Hanya sejumlah kecil panas, yakni sekitar 3%, yang biasanya hilang dari tubuh melalui konduksi langsung dari permukaan tubuh ke benda-benda padat, seperti kursi atau tempat tidur. Sebaliknya, kehilangan panas melalui konduksi ke udara mencerminkan kehilangan panas tubuh yang cukup besar (kira-kira 15 persen) walaupun dalam keadaan normal (Guyton & Hall, 2008). Dan menurut Curtis (1995),”Terpapar air dapat menghilangkan panas tubuh 25 kali lebih cepat daripada terpapar udara karena air memiliki densitas terbesar”. Pakaian yang basah dapat meningkatkan kehilangan panas lima kali lebih cepat dari pada pakaian yang kering (Decker et al., 2003); [Stay dry = stay alive!], (Curtis, 1995).



3. Konveksi Konveksi terjadi ketika kehilangan panas tubuh melalui udara dingin ataupun angin dingin, dan derajat kehilangan panas tergantung pada kecepatan angin (O’ Connel et al., 2011). Konveksi mengacu pada perpindahan energi panas melalui arus udara. Ketika tubuh kehilangan panas melalui konduksi ke udara sekeliling yang lebih dingin, udara yang berkontak langsung dengan tubuh akan menjadi lebih hangat. Karena udara hangat lebih ringan dibandingkan dengan udara dingin, udara yang sudah dihangatkan tersebut bergerak ke atas sementara udara yang lebih dingin bergerak ke kulit untuk menggantikan udara panas yang sudah pindah tersebut. Proses ini terjadi berulang-ulang (Gbr. 2.1c). Gerakan udara ini, yang dikenal sebagai arus konveksi, membantu membawa panas menjauhi tubuh (Sherwood, 2006).



4. Evaporasi Evaporasi adalah metode terakhir pemindahan panas yang digunakan oleh tubuh (Sherwood, 2006). Bila air berevaporasi dari permukaan tubuh, panas sebesar 0,58 Kalori (kilokalori) akan hilang untuk setiap satu gram air yang mengalami evaporasi. Bahkan bila orang tersebut tidak berkeringat, air masih berevaporasi secara tidak kelihatan dari kulit dan paru dengan kecepatan 600 sampai 700 ml/hari. Hal ini menyebabkan kehilangan panas yang terus menerus dengan kecepatan 16 sampai 19 Kalori per jam (Guyton & Hall, 2008). Ketika udara menguap dari permukaan kulit, panas yang diperlukan untuk mengubah air dari keadaan cair menjadi gas diserap dari kulit, sehingga tubuh menjadi lebih dingin (Gbr. 2.1d), (Sherwood, 2006). Penguapan yang terjadi dari permukaan tubuh yang basah (keringat ataupun pakaian basah yang kita kenakan), (Cartenz, 2011). Dan Sherwood, (2006) juga mengatakan bahwa baju dalam keadaan basah lebih dingin daripada baju dalam keadaan kering. Evaporasi banyak membuang panas tubuh, selain dari pada itu cairan dalam tubuh juga terus berkurang karena penguapan (Cartenz, 2011).



2.1.3. Efek Pakaian pada Kehilangan Panas di Lingkungan Dingin Memakai satu ataupun beberapa lapisan pakaian dapat melindungi tubuh dan mengurangi perpindahan panas antara inti tubuh dengan lingkungan yang dingin (Boron & Boulpaep, 2003). Pakaian dengan bahan biasa menurunkan kecepatan kehilangan panas kira-kira setengah dari tubuh yang telanjang, sedangkan pakaian kutub dapat menurunkan kecepatan kehilangan panas paling sedikit sampai seperenam kalinya (Guyton & Hall, 2008). Efektivitas pakaian dalam mempertahankan suhu tubuh hampir hilang semuanya bila pakaian menjadi basah, karena konduktivitas air yang tinggi meningkatkan kecepatan pemindahan panas melalui baju hingga sebesar 20 kali lipat atau lebih. Oleh karena itu, salah satu faktor terpenting untuk melindungi tubuh terhadap udara dingin di kutub adalah menjaga dengan sangat hati-hati agar pakaian tidak basah. Tentu saja, orang tersebut juga harus berhati-hati untuk tidak menjadi kepanasan walaupun hanya untuk sementara waktu, karena dengan berkeringat di dalam pakaian akan membuat pakaian tersebut menjadi kurang efektif sebagai penyekat (Guyton & Hall, 2008).



2.1.4. Efek ataupun Mekanisme Pajanan Suhu Dingin Terhadap Kondisi Fisiologis Tubuh



Penurunan suhu tubuh meski hanya beberapa derajat di bawah suhu normal yaitu 37 oC dapat dideteksi oleh hipotalamus (Seidel, 2002). Dimana hipotalamus adalah pusat integrasi utama untuk memelihara keseimbangan energi dan suhu tubuh. Dan hipotalamus juga berfungsi sebagai termostat tubuh. Hipotalamus sangat peka karena mampu berespons terhadap perubahan suhu darah sekecil 0,01oC (Sherwood, 2006). Suhu tubuh diatur oleh hipotalamus melalui mekanisme persarafan umpan balik (Guyton & Hall, 2008). Hipotalamus menerima seluruh impuls dari eferen dan aferen. Saraf eferen hipotalamus terdiri atas saraf simpatik dan saraf autonom, karena itu hipotalamus dapat mengatur kegiatan otot, kelenjar keringat, peredaran darah dan ventilasi paru (Boron & Baulpaep, 2003). Sedangkan hipotalamus yang sebagai pusat integrasi termoregulasi tubuh, menerima informasi aferen mengenai suhu di berbagai bagian tubuh dan memulai penyesuaian-penyesuaian terkoordinasi yang sangat rumit dalam mekanisme penambahan atau pengurangan suhu sesuai dengan keperluan untuk mengkoreksi setiap penyimpangan suhu inti dari “patokan normal” (Sherwood, 2006). Untuk membuat penyesuaian-penyesuaian hingga terjadi keseimbangan antara mekanisme pengurangan panas dan mekanisme penambahan serta konservasi panas, hipotalamus harus secara terus-menerus mendapat informasi mengenai suhu kulit dan suhu inti melalui reseptor-reseptor khusus yang peka suhu yang disebut termoreseptor. Termoreseptor perifer memantau suhu kulit di seluruh tubuh dan menyalurkan informasi mengenai perubahan suhu permukaan ke hipotalamus. Suhu inti dipantau oleh termoreseptor sentral, yang terletak di hipotalamus itu sendiri serta di tempat lain di susunan saraf pusat dan organ-organ abdomen. Hipotalamus memiliki dua pusat pengaturan suhu yaitu region anterior yang diaktifkan oleh rasa hangat, memicu refleks-refleks yang memperantai pengurangan panas dan region posterior diaktifkan oleh suhu dingin dan kemudian memicu refleks-refleks yang memperantai produksi panas dan konservasi panas (Sherwood, 2006) misalnya dengan melakukan vasokonstriksi (untuk mengurangi kehilangan panas) dan menggigil (untuk meningkatkan produksi metabolik panas), (Williams & Wilkins, 2007).



Sistem pengatur temperatur menggunakan tiga mekanisme yang penting untuk meningkatkan panas tubuh ketika tubuh terlalu dingin, yaitu (Guyton & Hall, 2008) :



1.



Vasokonstriksi kulit di seluruh tubuh. Hal ini disebabkan oleh rangsangan pusat simpatis hipotalamus posterior.



2. Piloereksi. Piloereksi berarti rambut “berdiri pada akarnya.” Rangsangan simpatis menyebabkan otot arektor pili yang melekat ke folikel rambut berkontraksi, yang menyebabkan rambut berdiri tegak. Hal ini tidak penting pada manusia, tetapi pada hewan yang lebih rendah, berdirinya rambut memungkinkan mereka untuk membentuk lapisan tebal “isolator udara” bersebelahan dengan kulit sehingga pemindahan panas ke lingkungan sangat ditekan. 3. Peningkatan termogenesis (pembentukan panas). Pembentukkan panas oleh sistem metabolisme meningkat dengan memicu terjadinya menggigil dan rangsangan simpatis untuk pembentukan panas. Sebagai respons terhadap penurunan suhu inti yang disebabkan oleh pemajanan tubuh ke lingkungan yang dingin, hipotalamus memanfaatkan kenyataan bahwa peningkatan aktivitas otot rangka menghasilkan lebih banyak panas. Melalui jalur-jalur desendens yang berakhir di neuronneuron motorik yang mengontrol otot rangka tubuh, hipotalamus pertama-tama meningkatkan tonus otot rangka. Tonus otot ini mengacu pada tingkat ketegangan konstan di dalam otot sehingga timbul segera menggigil. Menggigil terdiri dari kontraksi otot rangka yang ritmik bergetar yang terjadi dengan frekuensi tinggi sepuluh sampai dua puluh kali perdetik. Mekanisme ini sangat efektif untuk meningkatkan produksi panas, semua energi yang dibebaskan selama tremor otot ini diubah menjadi panas karena otot tidak melakukan kerja eksternal. Dalam beberapa detik sampai menit, produksi panas internal dapat meningkat dua sampai lima kali lipat akibat proses menggigil (Sherwood, 2006). Walaupun perubahan-perubahan aktivitas otot yang bersifat volunter dan reflektif merupakan cara utama untuk meningkatkan kecepatan produksi panas, termogenesis (kimiawi) non-menggigil juga berperan dalam termoregulasi. Pada sebagian besar hewan percobaan, pemajanan ke suhu dingin secara terus menerus meningkatkan produksi panas metabolik yang tidak bergantung pada kontraksi otot, dan tampaknya melibatkan perubahan aktivitas kimiawi penghasil panas. Pada manusia, termogenesis non-menggigil berperan penting pada bayi baru lahir karena bayi belum mampu menggigil. Bayi baru lahir memiliki simpanan jaringan lemak khusus yang dikenal sebagai lemak coklat, yang mampu mengubah energi kimia menjadi energi panas (Sherwood, 2006). Gambar 2.2. Jalur Termoregulasi Utama (Sherwood, 2006).



Mekanisme pengurangan panas juga dapat dikontrol terutama oleh hipotalamus. Jika kita merasa panas, kita ingin meningkatkan pengeluaran panas ke lingkungan; sewaktu kita dingin, kita ingin mengurangi pengeluaran panas. Jumlah panas yang dikeluarkan ke lingkungan melalui radiasi dan konduksi-konveksi terutama ditentukan oleh gradient suhu antara kulit dan lingkungan eksternal. Bagian tengah (inti) tubuh adalah suatu ruangan penghasil panas yang suhunya harus dipertahankan sekitar 37,8oC (100oF), (Sherwood, 2006). Dalam proses termoregulasi, aliran darah kulit dapat sangat bervariasi, dari 400 sampai 2.500 ml/menit. Semakin banyak darah dari bagian tengah tubuh yang mencapai kulit, semakin dekat suhu kulit dengan suhu inti. Pembuluh darah kulit melenyapkan efektivitas kulit sebagai isolator dengan mengangkut panas ke permukaan, tempat panas tersebut dapat dikeluarkan dari tubuh melalui radiasi dan konduksi-konveksi. Dengan demikian, vasodilatasi pembuluh darah kulit, yang menyebabkan peningkatan aliran darah ke kulit, meningkatkan pengurangan panas atau, apabila suhu lingkungan lebih tinggi daripada suhu inti, mengurangi penambahan panas. Sebaliknya, vasokonstriksi pembuluh kulit, yang mengurangi aliran darah ke kulit bertujuan untuk mengurangi pengeluaran panas dengan mempertahankan darah agar tetap berada di inti tubuh, supaya tubuh dapat terisolasi dari lingkungan eksternal yang dingin. Namun, kulit bukan merupakan isolator yang sempurna, bahkan dengan vasokonstriksi maksimum. Walaupun aliran darah ke kulit minimal, masih dapat terjadi pemindahan sebagian panas melalui konduksi dari organ-organ dalam ke permukaan kulit tempat panas dan dapat dikeluarkan ke lingkungan (Sherwood, 2006). Setelah vasokonstriksi kulit maksimum tercapai akibat pajanan terhadap dingin, berkurangnya panas lebih lanjut pada manusia dapat dicegah hanya oleh adaptasi perilaku, misalnya perubahan postur yang mengurangi sebanyak mungkin luas permukaan yang terpajan tempat panas keluar. Perubahan postural tersebut mencakup antara lain duduk membungkuk, menangkupkan lengan di depan dada, atau meringkuk (Sherwood, 2006).



2.1.5. Beberapa Cedera Lain Akibat Suhu Dingin 2.1.5.1. Frostnip Frostnip adalah keadaan pembekuan jaringan tubuh akibat terpapar udara dingin yang dapat menimbulkan kerusakan jaringan. Bentuk paling ringan biasanya hanya mempengaruhi



lapisan atas kulit dan cenderung pada organ yang jauh dari pusat tubuh, misal daun telinga, hidung, pipi, jari dan ibu jari, tangan dan kaki. Frostnip bisa terjadi pada suhu sekitar 15oC (59oF), (Myaluzz, 2011). Gejala-gejalanya berupa mati rasa (baal), rasa kaku atau beku terutama daerah yang terpajan langsung dengan udara dingin, pucat, dingin, kram dan kaku otot (Myaluzz, 2011).



2.1.5.2. Frostbite Frostbite adalah keadaan yang lebih berat dari frostnip. Ini dikarenakan jaringan tubuh yang terkena lebih dalam (Jimmy, 2011). Frostbite adalah consequence langsung pada vasokonstriksi peripheral akibat respons dingin juga dikenal dengan radang dingin dimana jaringan sel di dalam tubuh menjadi rusak karena terjadi pembekuan. Frobite cenderung menyerang pada area yang memiliki sedikit sirkulasi darah seperti toes, fingers, ears, cheeks, nose, chin and neck (Anonymous, 2000). Gejala frostbite dibagi dalam 3 tingkatan (Myaluzz, 2011) : Stadium 1: kulit menjadi pucat, kemudian seperti terbakar dan selanjutnya mengelupas Stadium 2: kulit menjadi melepuh Stadium 3: kulit menjadi beku, pembuluh darah kulit tersumbat bekuan darah dan jaringan sekitar mati. Jika stadium 3 ini tidak ditangani segera, kerusakan jaringan menjadi lebih serius dan dapat menjadi gangren, kadang-kadang membutuhkan amputasi. Gambar 2.3. Picture of the Stages of Frostbite (Eldestein, 2011). Tabel 2.1. Classification of Frostbite (Anonymous, 2000). Superficial Frostbite



Deep Frostbite



Epidermis frozen



Epidermis and dermis frozen



Some pain perception



No pain



Tissue pliable



Tissue is solid



Gambar 2.4. Perbedaan antara frostnipe, superficial frostbite dan deep frostbite (Anonymous frostbite, 2010). Gambar 2.5. Frostbite yang terjadi pada tangan (Jessie & T.J., 2011). Gambar 2.6. Frostbite yang terjadi pada kaki (Auerbach, 2011). Gambar 2.7. Frostbite yang terjadi pada pipi (Anonymous Frostbitten Face, 2011). 2.1.5.3. Trench Foot – Immersion Foot Trench foot disebabkan oleh karena kedua kaki yang terlalu lama terpapar dalam kondisi kedinginan dan basah. Hal ini dapat terjadi pada temperatur 60oF (Curtis, 1995). 2.1.5.4. Chilblains Menurut Curtis, (1955), chilblains adalah: 



Paparan dingin yang terlalu lama pada temperature dibawah 60oF.







Kemerahan dan gatal.







Terutama ditemukan pada pipi, telinga, jari tangan dan kaki.







Paling sering terkena adalah pada wanita dan anak-anak.



2.1.5.5. Eye Injuries a.



Pembekuan pada kornea (Curtis, 1995).







Disebabkan oleh karena mata yang tidak menggunakan googles selama terpapar angin yang kencang.







Terapinya berupa pemanasan. Contoh: kompres hangat pada mata. Penghangatan dilakukan selama 24 – 48 jam.



b. Snowblindness (Curtis, 1995). 



Sunburn of the eyes.







Pencegahan dengan menggunakan good sunglasses with side shields or googles.







Gejala:



 Terjadi 8 – 12 jam setelah terpapar.  Mata terasa kering dan iritasi, kemudian terasa seperti adanya pasir di mata, nyeri, kemerahan dan sering mengeluarkan air mata.



2.2. Hypothermia 2.2.1. Definisi Hypothermia Menurut Mubin, (2010),”Hypothermia didefinisikan sebagai penurunan suhu tubuh yang cenderung tidak mampu mengembalikan suhu ke taraf normal”. Dan menurut Williams & Wilkins, (2007),”Hypothermia terjadi pada penurunan suhu tubuh dibawah 35oC (95oF)”. Hypothermia merupakan gangguan medis yang terjadi di dalam tubuh dimana terjadi penurunan temperatur tubuh secara tidak wajar yang disebabkan karena tubuh tidak mampu lagi memproduksi panas untuk mengimbangi dan menggantikan panas tubuh yang hilang (Cartenz, 2011). Biasanya ini disebabkan oleh tubuh yang terlalu lama bersentuhan dengan hawa dingin, seperti kehujanan digunung ditambah lagi serangan angin kencang yang dingin (Agustin, 2006). Pada dasarnya hypothermia dapat dikelompokkan dalam dua golongan yaitu accidental hypothermia/ hypothermia yang tidak disengaja dan induced hypothermia/ hypothermia yang disengaja (Setiati et al., 2008). Yang akan dibahas disini adalah accidental hypothermia



2.2.2. Klasifikasi Hypothermia Tabel 2.2. Clinical features of hypothermia (O’Connel et al., 2011; Williams & Wilkins, 2007). Category



Temperature



Signs/ Symptoms



Hypothermia Ringan



32o-35oC (90o-95oF)



Takikardi, kesulitan



(Mild Hypothermia)



dalam berjalan, kesulitan untuk berbicara, kulit pucat, kedinginan dan menggigil.



Hypothermia Sedang



28o-32oC (82o-90oF)



Bradikardi, menggigil, pergerakkannya semakin



(Moderate Hypothermia)



lamban dan lemah, menurunnya laju pernapasan, kebingungan dan kesadaran menurun. Hypothermia Berat



Below 28oC (82oF)



Hipotensi, bradikardi, udema paru, menggigil



(Severe Hypothermia)



telah berhenti dan terjadi dilatasi pupil. Mengancam Jiwa



Below 25oC (77oF)



(Life-



threatening)



Apnoe, asistole dan jantung telah berhenti (“flat line” pada EKG).



2.2.3. Faktor Predisposisi Hypothermia Faktor Predisposisi Hypothermia Tabel 2.3. Faktor Predisposisi Hypothermia (Pamela, 2011). Lingkungan Fisik



Angin Embun Air



2.2.4. Epidemiologi Hypothermia



Komposisi tubuh Penyakit Hipoglikemia Dehidrasi Kesalahan manusia



Pada tahun 1992, terjadi evakuasi atau memindahkan jenazah Didiek Samsu dan Norman Edwin [seorang pendaki gunung Indonesia] dari lokasi musibah di ketinggian antara 6.400 dan 6.600 mdpl di dekat puncak Gunung Aconcagua (6.959m dpl). Kedua jenazah ini dilakukan Visum et repertum dinas forensik dan kriminologi setempat menyatakan kematian mereka akibat hypothermia (kehilangan panas tubuh), (Kompas, 1992). Empat siswa STM Pembangunan Jakarta yang tersesat di Gunung Salak (Edwin,2010); dengan ketinggian Gunung Salak pada puncak I (2.211 m dpl) dan puncak II (2.098 m dpl), (elliana, 2011); akhirnya ditemukan tewas di lembah Sungai Cibadak dengan penyebab kematian mereka adalah hypothermia (Edwin, 2010). Kasus kematian macam itu memang umum sekali terjadi pada kecelakaan di gunung Indonesia. Satu contoh, dari 14 korban tewas di Gunung Gede-Pangrango (Edwin, 2010); dengan ketinggian pada Puncak Gede 2.958 m dpl dan Puncak Pangrango dengan ketinggian 3.019 m dpl (Elliana, 2011); selama periode tahun 1970 sampai 1984, cuma tiga orang yang menemui ajalnya karena jatuh. Sebelas yang lain meninggal karena menurunnya suhu tubuh, hypothermia (Edwin, 2010).



2.2.5. Gejala Hypothermia Gejala dan Indikasi Penyakit Hypothermia (Isfarida, et al., 2010) : 1. Gejala awal hypothermia apabila suhu < 36oC atau kedua kaki dan tangan teraba dingin. 2.



Gigi gemeretakan, merasa sangat letih dan mengantuk yang sangat luar biasa. Selanjutnya pandangan mulai menjadi kabur dan fisik menjadi lemah.



3. Hypothermia menyerang saraf dan bergerak dengan pelan, oleh karena itu sang korban tidak merasa kalau dia menjadi korban hipotermia. Dari sejak korban tidak bisa menahan kedinginan sampai malah merasa kepanasan di tengah udara yang terasa membekukan, korban biasanya tidak sadar kalau dia terserang hypothermia. 4. Dalam kasus penderita hypothermia yang sampai pada taraf “paradoxical feeling of warmt” selain merasa kepanasan dia juga terkena halusinasi. Akan tetapi, dalam banyak hal lainnya, halusinasi juga terjadi walau si korban tidak sampai mengalami “paradoxical feeling of warmt”. Yang jelas, ketika si korban hypothermia sudah kehilangan “kesadaran”, maka dia akan mudah terkena halusinasi. Dan faktor halusinasi ini yang sangat berbahaya karena korban akan “melihat bermacam-macam hal” dan dia akan mengejar apa yang dilihatnya itu tanpa menghiraukan apapun



yang ada di hadapannya. Jadi tidaklah mengherankan kalau banyak korban hypothermia ditemukan jatuh ke jurang telah meninggal dunia. 2.2.6. Diagnosis Hypothermia Serangan hypothermia adalah tersembunyi dan kemungkinan akan sulit untuk dikenali. Hypothermia harus dikenali untuk diobati. Riwayat penyakit yang tepat, pemeriksaan badan dan temperature harus dilakukan untuk membuat diagnosis (Nugroho, 2009). Tanda dan gejala hypothermia mulai muncul pada suhu tubuh 36,1oC. Menggigil terjadi pada suhu tubuh 35oC, terus menurunnya suhu inti tubuh menyebabkan respon kebingungan , tingkah laku yang tidak biasa, koordinasi melemah, berbicara tidak jelas, mengantuk, lesu, lemah, disorientasi dan ketidaksadaran. Akan ada penurunan kecepatan detak jantung dan kecepatan bernapas. Denyut nadi melemah, dan tekanan darah menurun. Pergerakkan melambat, dan menurunnya reflek tendon (Nugroho, 2009) . Pada suhu 32,2oC hingga 35oC, terjadi vasokontriksi peripheral dan menggigil. Diantara 25oC hingga 32,2oC menggigil akan berkurang dan vasokontriksi peripheral akan hilang. Di bawah 25oC akan ada gangguan pada seluruh sistem pengaturan panas dan mekanisme pertahanan panas tubuh. Hilangnya kesadaran akan terjadi saat suhu 30oC hingga 32oC, hilangnya fungsi sistem saraf pusat dan kornea terjadi saat suhu dibawah 28oC, apnoe terjadi pada suhu di bawah 27oC dan asystole pada suhu dibawah 22oC (Nugroho, 2009).



2.2.7. Perawatan dan Penatalaksanaan Hypothermia Menurut Agustin, (2006); Perawatan yang dilakukan pada pasien hypothermia adalah: 1. Tempatkan korban pada posisi yang terlindung dari angin, hujan atau udara dingin. Jaga jangan sampai tubuhnya bersentuhan langsung dengan tanah, berikan alas di bawah tubuhnya. 2. Pastikan korban dalam keadaan hangat dan kering, gantilah pakaiannya jika basah dengan yang kering. Waktu mengganti pakiannya, ganti satu per satu. Jangan tanggalkan seluruhnya. Tubuhnya yang terbuka bisa memperparah keadaanya. 3. Setelah itu, masukkan korban ke dalam hypothermia blanket. Jika tidak mempunyainya, korban bisa dimasukkan ke dalam sleeping bag yang telah dihangatkan terlebih dahulu. Tempatkan juga benda-benda yang bisa menambah kehangatan. 4. Bisa juga korban didekap oleh seseorang agar bisa berbagi panas tubuhnya.



5. Berikan korban makanan dan minuman hangat yang gampang dicerna. Jangan lakukan ini jika korban dalam keadaan pingsan. 6. Hindari memberikan korban minuman beralkohol, mengandung kafein dan rokok. Gambar 2.8. Hypothermia blanket yang digunakan untuk menghangatkan tubuh dan untuk mencegah terjadinya hypothermia (Anonymous Prevention and Management for Hypothermia, 2011). Gambar 2.9. Hypothermia treatment (Anonymous, 2011).



Gambar 2.10. Heating pads (lempeng pemanas), (Anonymous, 2010).



Penatalaksanaan hypothermia harus selalu dimulai dengan evaluasi awal yang bila perlu dapat dilanjutkan dengan resusitasi jantung paru. Selanjutnya terapi penghangatan dimulai dengan kecepatan penghangatan yang aman (1o – 2oC per jam) dan teknik penghangatan sesuai tingkat keparahan pasien. Secara keseluruhan terdapat 3 macam teknik penghangatan yang digunakan (Setiati et al., 2008), yaitu: 1. Penghangatan eksternal pasif. Teknik ini merupakan terapi pilihan untuk hypothermia ringan. Pada teknik ini singkirkan baju basah pasien kemudian tutupi tubuh pasien dengan selimut atau insulasi lain. Hal ini akan membatasi pelepasan panas tubuh dan membiarkan tubuh pasien untuk memproduksi panas tubuh dan meningkatkan suhu inti tubuh, karena pasien dengan hypothermia ringan masih dapat meningkatkan produksi panas tubuh dengan menggigil. 2. Penghangatan eksternal aktif. Teknik ini digunakan untuk pasien dengan hypothermia sedang atau untuk pasien yang tidak berespon dengan penghangatan eksternal pasif. Selimut penghangat, mandi air hangat atau lempeng pemanas (heating pads) digunakan untuk menghangatkan pasien. Selain itu dapat pula diberikan cairan infuse hangat I.V. (suhu 39o – 40oC) dan oksigen.



3.



Penghangatan internal aktif. Dalam teknik yang digunakan untuk hypothermia berat ini, pemberian oksigen serta cairan infuse I.V. hangat dengan suhu 43oC dapat terus diberikan. Dan O’Connel et al., (2011) juga mengatakan bahwa ada beberapa metode yang dapat digunakan antara lain irigasi ruang pleura atau peritoneum, hemodialisis dan operasi bypass kardiopulmonal. Dapat pula dilakukan bilas kandung kemih dengan cairan NaCl 0,9% hangat, bilas lambung dengan cairan NaCl 0,9% hangat (suhu 40o – 45oC) atau dengan menggunakan tabung penghangat esophagus (esophageal warming tubes). Cairan infuse I.V. yang dianjurkan untuk diberikan adalah cairan NaCl 0,9% atau cairan I.V. campuran dekstrosa 5% dalam NaCl 0,9%. Selain itu suhu ruangan penanganan pasien juga perlu dijaga tetap hangat. Pemasangan selang nasogastrik untuk mencegah dilatasi saluran cerna, dan kateter urin untuk memantau dieresis juga diperlukan, terutama bila pasien tidak sadar. Setelah penghangatan dilakukan terapi dapat dilanjutkan dengan terapi suportif yang mencakup perawatan luka dan rehabilitasi untuk meningkatkan pemulihan kondisi tubuh pasien (Setiati et al., 2008).



2.2.8. Pencegahan Hypothermia Menurut Agustin, (2006),”Ada beberapa tips untuk mencegah ataupun menghindari hypothermia,” antara lain: 1. Hindari tubuh dari basah. Jika tubuh basah, segeralah keluar dari lingkungan yang basah tersebut dan ganti pakaian basah tersebut dengan yang kering. 2. Hindari angin yang dingin. Jika tidak bisa melakukannya, paling tidak segera beranjak dari tempat berangin tersebut secepat mungkin. 3. Jangan sampai tubuh mengalami dehidrasi. Jika dehidrasi telah terjadi, segera ganti cairan tubuh dengan minum secukupnya. 4. Berikan tubuh isolasi yang cukup dengan memakai pakaian yang pantas dengan kondisi cuaca. 5. Bawa makanan yang cepat dibakar menjadi kalori, seperti gula jawa, coklat, dan lain-lain. Dalam perjalanan banyak “ngemil” untuk mengganti energi yang hilang



2.3. Ketinggian



Penurunan tekanan barometrik ini merupakan penyebab dasar semua persoalan hipoksia pada fisiologi tempat-tinggi, karena sering terjadinya penurunan tekanan barometrik maka akan terjadi penurunan tekanan oksigen. Hal ini ditunjukkan oleh tabel 2.4. (Guyton & Hall, 2008).



Tabel 2.4. Pengaruh Pajanan Akut Tekanan Atmosfer Rendah pada Kadar Gas Alveolus dan Saturasi Oksigen Arteri* (Guyton & Hall, 2008).



Tabel 2.4. menunjukkan nilai aproksimasi tekanan barometrik dan tekanan oksigen di berbagai ketinggian. Dari situ terlihat bahwa pada ketinggian permukaan laut, tekanan barometric adalah 760 mm Hg; pada ketinggian 10.000 kaki hanya 523 mm Hg; dan pada 50.000 kaki adalah 87 mm Hg (Guyton & Hall, 2008). Sebagai contoh, katakanlah bahwa tekanan barometer turun dari nilai normal di permukaan laut sebesar 760 mm Hg menjadi 253 mm Hg, yang merupakan nilai yang biasa terukur di Puncak Gunung Everest pada ketinggian 29.028 kaki. Empat puluh tujuh millimeter air raksa dari nilai ini tentunya uap air, dan sisanya hanya 206 mm Hg untuk seluruh gas-gas lain. Pada seseorang ynag teraklimatisasi, 7 mm dai 206 mm Hg tersebut tentunya merupakan karbon dioksida, dan sisanya hanya 199 mm Hg. Jika tidak ada oksigen yang digunakan oleh tubuh, seperlima dari 199 mm Hg ini akan berupa oksigen dan empat perlimanya berupa nitrogen; atau Po2 dalam alveoli akan menjadi 40 mm Hg. Namun, sebagian dari oksigen alveolus yang tersisa ini akan diabsorbsi ke dalam darah, menghasilkan tekanan oksigen sekitar 35 mm Hg di dalam alveoli. Pada puncak Gunung Everest, hanya orang-orang yang memiliki aklimatisasi terbaik saja yang dapat bertahan hidup saat menghirup udara. Tetapi pengaruh ini sangat berbeda bila seseorang menghirup oksigen murni (Guyton & Hall, 2008). Kolom kelima pada tabel 2.4. memperlihatkan nilai aproksimasi Po2 di alveoli pada berbagai ketinggian bila seseorang menghirup udara biasa dalam keadaan teraklimatisasi dan tidak teraklimatisasi. Pada ketinggian permukaan laut, Po2 alveolus adalah 104 mm Hg; pada ketinggian 20.000 kaki, tekanan ini menurun sampai sekitar 40 mm Hg pada orang yang tidak teraklimatisasi, tetapi hanya sampai 53 mm Hg pada orang yang teraklimatisasi. Perbedaan kedua hal ini adalah bahwa ventilasi alveolus meningkat sekitar lima kali lipat pada orang yang teraklimatisasi (Guyton & Hall, 2008).



Beberapa efek akut penting dari hipoksia pada orang yang belum teraklimatisasi saat menghirup udara biasa, mulai dari ketinggian 12.000 kaki ialah mengantuk, malas, kelelahan mental dan otot, kadang sakit kepala, mual, dan euphoria. Semua ini berkembang progresif dan apabila di atas 23.000 kaki berakhir dengan koma pada orang yang belum teraklimatisasi, yang segera diikuti oleh kematian (Guyton & Hall, 2008). Salah satu efek utama dari hipoksia ialah menurunnya kecakapan mental, yang akan menurunkan kemampuan dalam mengambil keputusan, mengingat, dan melakukan gerakan motorik (Guyton & Hall, 2008).



2.3.1. Aklitimatisasi Terhadap Ketinggian Setelah beberapa waktu tinggal di ketinggian terjadilah penyesuaian dengan iklim lingkungan setempat (aklitimatisasi). Ventilasi paru terus meningkat dan juga terjadi peningkatan progresif dari jumlah eritrosit dan Hb dalam beberapa bulan yang akan membantu memulihkan kandungan O2 dan transportasinya. Waktu untuk terjadinya aklitimatisasi penuh tergantung pada ketinggian dan bersifat individual. Diperlukan waktu sekitar 3 minggu untuk beraklimatisasi terhadap ketinggian sedang (2300-2700 m) walaupun telah diperlukan waktu untuk terjadinya penyesuaian-penyesuaian ini, pada ketinggian 2300 m konsumsi O2 maximal tetap turun 6-7% di bawah nilai yang dapat diperoleh di permukaan laut. Hal ini berarti bahwa proses aklimatisasi memulihkan 3-4% kemampuan penampilannya. (Ingat : nilai konsumsi O2 max menurun 3% untuk setiap kenaikkan 300 m di atas ketinggian 1500 m). Tetapi di atas 6000 m aklimatisasi tidak mungkin dan dengan pemaparan yang lama orang akan mengalami kemunduran, kehilangan berat badan dan kemampuannya (Pyke & Sutton, 1992).



2.3.2. Latihan Ketinggian Oleh karena adaptasi fisiologis terhadap kehidupan di ketinggian serupa dengan hasil latihan ketahanan, maka untuk mendapatkan hasil yang terbaik disarankan untuk latihan ketinggian. Masalah utama pada latihan di ketinggian adalah bahwa intensitas dan volume kerja harus diturunkan agar sesuai dengan lingkungan. Bila seorang Pelatih atau atlet berhasrat berlatih



pada ketinggian, dianjurkan untuk menggunakan ketinggian sedang (1800-2000 m) pada ketinggian itu gejala penyakit gunung belum/ tidak terasa. Pada ketinggian yang lebih tinggi, agaknya tidak mungkin penyesuain-penyesuain fisiologis dapat mengkompensasi berkurangnya penurunan intensitas latihan. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk dapat lebih memahami berapa lama waktu yang diperlukan untuk terjadinya perubahan pada latihan ketinggian, dan berapa lama hasil latihan dapat dipertahankan pada ketinggian permukaan laut dan bagaimana variasi individual terhadap latihan pada ketinggian ( Pyke & Sutton, 1992). Intensitas latihan yang rendah dan masa pemulihan yang panjang penting pada beberapa hari pertama pada ketinggian, sampai menghilangnya gejala-gejala penyakit gunung. Hal ini dapat dibantu dengan mengkonsumsi sejumlah besar cairan dan tata-gizi tinggi karbohidrat untuk mengatasi dehidrasi dan meningkatkan kemampuan berlatihnya (Pyke & Sutton, 1992).



2.3.3. Penyakit Ketinggian Pendakian yang cepat ke ketinggian yang lebih tinggi, sering disertai dengan beberapa gejala penyakit: a.



Penyakit Gunung Akut (PGA)/ Accute Mountain Sickness (AMS) Acute Mountain Sickness (AMS) atau penyakit ketinggian ini biasa menyerang pendaki gunung yang berada di gunung yang tinggi. Pada ketinggian lebih dari 3.408 m dari permukaaan laut, sekitar 75 persen orang akan terkena gejala ringan. Terjadinya AMS tergantung pada ketinggian, laju pendakian, dan tingkat ketahanan individu masing-masing. Banyak juga orang yang terkena AMS pada saat proses penyesuaian (aklimatisasi). Gejalanya biasanya dimulai 12 hingga 24 jam setelah sampai di daerah ketinggian. Gejala AMS ringan adalah sakit kepala, pusing, kelelahan, bernafas pendek-pendek, kehilangan nafsu makan, mual, tidur susah, dan secara umum perasaan tidak enak. Gejala ini akan semakin memburuk di waktu malam pada saat laju pernafasan menjadi lambat. AMS ringan tidak menggangu aktivitas normal dan gejala ini biasanya akan hilang setelah 2 hingga 4 hari setelah tubuh mulai menyesuaikan diri atau beraklimatisasi. Selama gejala AMS-nya ringan, pendakian dapat diteruskan perlahan (Agustin, 2006).



b. Udema Paru pada Ketinggian Hal ini adalah kegawatan medis dan memerlukan pertolongan segera dan bila mungkin dievakuasi. Gejalanya yang menonjol meliputi sesak nafas, batuk, rasa tak nyaman di dada.



Pertolongan terdiri dari mengistirahatkan penderita dalam posisi tegak (mengurangi udem paru), memberi O2 dan bila mungkin segera evakuasi (Pyke & Sutton, 1992).



2.4. Hal-hal yang Perlu di Persiapkan pada Pendakian Gunung Menurut Agustin (2006):  Pakaian – Memilih pakaian untuk berpetualang di gunung lebih ditekankan pada fungsi pakaian untuk dapat mempertahankan panas tubuh dan melindungi tubuh dari terpaan angin dingin. Pakailah pakaian berlapis (2 atau 3 lapis).  Lapis pertama, memungkinkan kulit leluasa bernapas sehingga keringat tidak terperangkap diantara permukaan kulit dan pakaian. Selain juga cepat kering (tidak menyerap air). Material seperti sutra berserat kasar adalah salah satu pilihan terbaik sebagai pakaian lapis pertama karena cepat menguapkan keringat dan kain tidak menjadi basah seperti katun.  Lapis kedua, dapat menyerap penguapan, tapi tidak menghilangkan panas yang ada. Material dari wool sangat baik untuk dipakai (contoh: sweater wool) karena wool akan terasa hangat walau basah.  Lapis ketiga, sebaiknya berupa jacket yang handal dalam menahan angin dingin, dan anti air, serta dapat menjaga agar panas tidak hilang.



 Sarung tangan & kaos kaki – Untuk menghindar kontak langsung dengan benda-benda dingin saat berjalan, juga untuk tidur, pakailah sarung tangan (rajut wool), yang biarpun bagian luar basah karena sering bersentuhan benda dingin/basah, namun tetap hangatdibagian dalam. Sebaiknya untuk pergerakan di daerah gunung yang dingin jangan memakai koas kaki katun.  Sleeping bag - Pilihlah sleeping bag yang apabila kita berada didalamnya , udara tetap dapat bersirkulasi (tidak terperangkap dalam sleeping bag). Selain itu bawa serta matras jenis karet yang banyak dijual di toko-toko outdoor yang digunakan sebagai alas dari sleeping bag. Penting untuk selalu membawa matras untuk menghindari terjadinya konduksi saat kita haarus bersentuhan dengan tanah atau batu (beristirahat ditengah perjalanan).



 Tenda – Perlu dipertimbangkan dalam memilih tenda agar dapat menahan angin, hujan, mempunyai sirkulasi udara yang baik, praktis dan cepat dalam mendirikannya serta dapat didirikan tanpa harus memakai patok, tidak mudah roboh, dan ergonomis tidak seperti layar yang menghadang angin. Cukup leluasa didalam tenda bukan berarti tenda harus besar, selain itu tenda juga dilingkapi dengan lapisan anti air.  Kompor & penghangat – Pemilihan kompor berdasarkan medan jelajah, dan lama operasi, berat dari kompor dan bahan bakar, selain juga kepraktisan. Disamping itu pemilihan juga didasarkan atas pengalaman masing-masing orang, karena tiap jenis kompor memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Selain kompor bawa juga beberapa batang lilin, dan korek api anti air. Selanjutnya untuk peralatan masak, pilihlah yang praktis dan tidak memberatkan.  Sepatu – Pilihlah sepatu yang dapat melindungi mata kaki dan bergerigi pada sol nya. Jangan letakkan sepatu di luar tenda tanpa membungkusnya dengan pembungkus dari bahan anti air karena biarpun tidak hujan, sepatu akan menjadi dingin dan basah oleh kabut dan embun.



BAB III KESIMPULAN DAN SARAN 3.1. Kesimpulan Dari uraian-uraian yang telah dipaparkan sebelumnya, maka penulis dapat mengambil kesimpulan dalam Karya Tulis ini sebagai berikut: 1.



Penurunan suhu tubuh terjadi karena adanya mekanisme kehilangan panas tubuh melalui konduksi, konveksi, radiasi dan evaporasi.



2. Dengan adanya penurunan suhu tubuh maka tubuh akan berusaha untuk memberi respons dengan cara vasokonstriksi dan menggigil yang dikontrol oleh hipotalamus juga diikuti dengan adaptasi perilaku untuk meningkatkan suhu tubuh.



3. Pakaian juga sangat berpengaruh terhadap hilangnya panas tubuh. Karena itu hindari pakaian dalam keadaan lembab dan basah serta memakai beberapa lapis pakaian akan dapat mencegah ataupun mengurangi hilangnya panas tubuh.



4. Penurunan suhu tubuh yang tidak diatasi akan menyebabkan frostnipe, frostbite, hypothermia dan lain-lain. 5. Hypothermia adalah penurunan suhu tubuh < 35oC akibat dari cuaca ataupun suhu lingkungan yang dingin.



6. Hypothermia terbagi atas 3 klasifikasi, yaitu mild hypothermia (hipotermia ringan), moderate hypothermia (hipotermia sedang) dan severe hypothermia (hipotermia berat). Serta bisa menyebabkan life threatening, dimana pada tahap ini akan menyebabkan kematian pada pasien hipotermia.



7. Perawatan pada pasien hypothermia dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti menghindari ataupun melindungi korban dari terpaan angin, hujan dan udara yang dingin serta mengganti pakaian yang basah dengan yang kering. Dan setelah itu masukkan korban ke dalam hypothermia blanket ataupun sleeping bag untuk menghangatkan tubuh dan apabila memungkinkan didekap oleh seseorang agar bisa berbagi panas tubuhnya dengan si korban.



8.



Penatalaksanaan pada pasien hypothermia tergantung pada klasifikasi hypothermia. Dimana penatalaksanaanya adalah dengan cara penghangatan eksternal pasif, penghangatan eksternal aktif dan pengahangatan internal aktif.



9. Seperti kata pepatah,”lebih baik mencegah daripada mengobati.” Maka dari itu pencegahan yang dapat dilakukan pada para pendaki gunung ataupun hiker untuk menghindari terjadinya hypothermia adalah dengan cara menghindari tubuh dalam keadaan basah, dehidrasi, cold stress, serta sering ngemil untuk mengganti energi yang hilang selama perjalanan dalam pendakian gunung.



10. Pada para pendaki yang berada di ketinggian di atas 10.000 kaki sangat penting untuk melakukan aklimatisasi agar menghindari terjadinya hipoksia, AMS, udema paru, dan lain-lain.



3.2. Saran Dari seluruh Karya Tulis ini maka penulis dapat mengambil beberapa saran yang berguna bagi para pembaca: 1. Karena hypothermia adalah suatu emergency (kegawatan darurat medis), maka disarankan kepada para pendaki gunung yang terkena hypothermia harus segera mendapatkan perawatan medis untuk mencegah terjadinya kematian akibat hypothermia.



2.



Karena Karya Tulis Ilmiah ini hanya berupa tinjauan kepustakaan, maka harapan penulis agar kedepannya nanti akan ada penelitian terhadap hypothermia yang sering terjadi pada hiking.



DAFTAR PUSTAKA Agustin, Hendri. 2006. Panduan Teknis Pendakian Gunung. Yogyakarta: Penerbit Andi. Anonymous, 2010. Heating Pads Photos. (http://www.qrbiz.com/product/1151525/Heat-pad.html, diakses 25 February 2012).



Anonymous. 2000. IOC Sport Medicine Manual. Jurnal Environmental Factors, (Online), Chapter 9, (http://www.olympic.or.id/files/documents/journal/chapter_9_environmental_factors.pdf, diakses 31 Januari 2012). Anonymous. 2011. The Outdoor Education Professional’s Resource Photos. Hypothermia: Assessment and Treatment, (online), (http://www.outdoored.com/community/w/articles/hypothermia-fieldassessment-and-treatment.aspx, diakses 05 Januari 2012). Anonymous Frostbitten Face Photos. 2011 [diakses pada 20 November 2011]. Diunduh dari (http://firstaid.about.com/od/heatcoldexposur1/ig/Frostbite-Pictures/Frostbitten-Face.htm). Anonymous Frostbite Photos. 2010. The Different of Frostnipe, Superficial Frostbite and Deep Frostbite, (online), (http://antarcticfudgesicles.files.wordpress.com/2010/09/frostbite.png, diakses pada 25 November 2011). Anonymous Prevention & Management for Hypothermia Photos. 2011 [diakses pada 05 Januari 2012]. Diunduh dari (http://www.armedforces.co.uk/releases/raq46dbd778a303f). Auerbach, Paul. 2011. Medicine for the Outdoors. Frostbite Photos, (Online), (http://www.healthline.com/health-blogs/outdoor-medicine/frostbite-update-wilderness-society, diakses 20 November 2011). Boron, Walter F, dan Emile L. Boulpaep, (2003), Regulation of Body Temperature, dalam Medical Physiology for A Cellular and Molecular Approach, ed. Schmitt, William R., Department in Philadelphia, Pennsylvania, USA. Cartenz. 2011. What is hypothermia?, (Online), (http://www.cartenzadventure.com/HYPOTHERMIA.html, diakses 25 November 2011). Curtis, Rick (1995), Outdoor Action Guide to Hypothermia and Cold weather Injuries, Outdoor Action Program, The University of Princeton, Princeton. Decker, Wyatt W., et al (2003), Hypothermia and Other Cold-Related Emergencies, dalam Emergency Medicine Practice, ed. Abella, B., Frost, Held, the University of Chicago, Chicago. Edwin, Norman. 2010. Catatan Sahabat Sang Alam. Ed. Badil, Rudy. Jakarta: Penerbit KPG. Eldestein, Jamie A. dan Chief (2011), Hypothermia, in Medscape Reference, ed. Kulkarni, R., (Online), (http://emedicine.medscape.com/article/770542-overview#a0199, diakses 31 Januari 2012). Elliana, Maureen. 2011. Wisata Gunung Tantangan bagi yang Berani Beda. Yogyakarta: Penerbit Cahaya Atma, Kelompok Penerbit Universitas Atma Jaya.



Ganong, William F, (2005), Review of Medical Physiology, twenty 2nd edition, Jack and Deloris Lange Professor Physiology Emeritus, University of California: San Francisco. Guyton, Arthur C, dan John E. Hall. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Ed. Setiawan, Irawati. Jakarta: Penerbit EGC. Isfarida,Eka., et al. 2010. Fisiologi Manusia. Hipotermia dan Hipertermia, (Online), Universitas Muhammadiyah Palembang, (http://www.scribd.com/doc/31923875/Hipotermia-hipertermia, diakses 31 Januari 2012). Jessie dan T.J. 2011. Adventures in Antarctica. How Long Does It Take to Get Frostbite?, (online), (http://antarcticfudgesicles.wordpress.com/afsa-student-page/how-long-does-it-take-to-getfrostbite/, diakses 20 November, 2011). Jimmy. 2011. First Aid and Mountain Rescue. Prinsip Pertolongan Penderita Gawat Darurat Prarumah Sakit dan Transportasinya, (Online), Lemdiknas, (http://www.scribd.com/doc/73278659/FirstAid-Mountain-Rescue-Revisi-Dr-jimmy, diakses 28 November 2011). Kompas (Jakarta), 22 April 1992. Marssy, Rad. 2007. Hypothermia, Ancaman Maut Pendaki Gunung. [diakses pada 27 November 2011]. Diunduh dari (http://radmarssy.wordpress.com/2007/02/07/hypothermia-ancaman-mautpendaki-gunung/). Meyer, Bernard., et al. 1999. Human Physiology Chemical, physical and physiological principles. India: University of Pretona. Mubin, Halim. 2009. Lingkungan Hipotermia, dalam Panduan Praktis Kedaruratan Penyakit Dalam Diagnosis dan Terapi, ed. Sutono, J., Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Myaluzz. 2011. Frosbite, Frostnip, Hypothermia. [diakses pada 20 November 2011]. Diunduh dari (http://myaluzz.wordpress.com/2011/02/22/Frosbite-Frostnip-hypothermia/). Nugroho, Sigit (2009), Gambaran Pajanan Suhu Dingin ke Tubuh Manusia, Skripsi Ph.D., Universitas Indonesia, Jakarta. O’Connel, James., et al. 2011. Accidental Hypothermia & Frostbite: Cold – Related Conditions, The Health Care of Homeless Persons, Part II, pp. 189 – 197. Pamela, 2011. Hipotermia Final Seminario Fisio, (Online), (http://www.authorstream.com/Presentation/pamela1234-590666-hipotermia-final-seminariooofisiooo/, diakses 25 February 2012).



Pyke, P.S. dan J.R. Sutton. 1992. Environmental Factors, dalam Textbook of Science and Medicine in Sport, Eds. Bloomfield,J., Fricker, P.A., and Fitch, K.D., Blackwell Scientific Publications. Seidel, Charles, (2002), Temperature Regulation, dalam Basic Concepts in Physiology for A Student’s Survival Guide, Chapter 8, Depatment of Medicine, Department of Molecular Physiology and Biophysics, Baylor College of Medicine, Houston, Texas. Setiati., et al. 2008. Hipotermia, dalam Lima Puluh Masalah Kesehatan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Buku kesatu Interna Pubishing, Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Sherwood, Lauralee, 2006, Buku Ajar Fisiologi Manusia, Eds. Santoso, Blatricia I., Jakarta: Penerbit EGC. Williams, Lippincott and Wilkins. 2007. Hyperthermia and Hypothermia Syndromes, dalam The ICU Book, 3rd edition, Chapter 38, ed. Brown, B., Phyladelphia, USA.