Ibnu Taimiyah [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

KATA PENGANTAR Dalam edisi bahasa Indonesia, buku ini diberi judul Ibnu Taimiyah, Hasan Al-Banna dan Ikhwanul Mislimin. Sekilas terasa profokatif. Namun sebenarnya bukan itu tujuan dari penetapan judul ini. Yang diinginkan adalah memberi gambaran yang mudah difahami kepada sidang pembaca mengenai isi buku ini. Mengenai hubungan antara Ikhwanul Muslimin dengan Hasan Al-Banna, tidak ada yang perlu dipertanyakan lagi. Semua orang memahami bahwa Ikhwan adalah sebuah gerakan dakwah abad 14 H yang mempunyai pengaruh luas ke seluruh penjuru dunia dan Al-Banna adalah pendirinya. Lantas apa hubungan keduanya dengan Ibnu Taimiyah yang lahir dan hidup pada abad ke 6 Hijriyah? yang berarti terpaut delapan abad dari Hasan Al-Banna. Baiklah kita jelaskan,dengan menengok judul aslinya. Kalau diterjemahkan secara harfiyah judul buku ini adalah "Di jalan dakwah bersama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Imam AsySyahid Hasan Al-Banna." Apa yang tertuang dalam buku ini adalah beberapa permasalahan kelslaman – porsi terbesar adalah masalah dakwah – untuk kemudian masing-masing masalah tersebut kemudian dikonfirmasikan kepada dua imam. Karena pada saat penulisan buku ini kedua Imam telah wafat, maka yang dilalaikan oleh penulis buku adalah merujuk kepada karya-karya tulis monumental kedua beliau (lebih jelas baca: Muqadimah). [0] Yang sangat menarik di sini, bahwa dari setiap permasalahan yang diangkat ternyata hampir tidak ada satu pun perselisihan di antara keduanya. Inilah satu keistimewaan yang berhasil ditampilkan oleh buku ini. Padahal kurun waktu yang memisahkan kehidupan kedua beliau demikian jauhnya. Penulis mengambil pendapat Hasan Al-Banna dengan menggunakan rujukan utama kitab Majmu'ah Rasail yang merupakan kumpulan makalah dan ceramah beliau sepanjang gerak langkahnya di medan dakwah. Notabene buku inilah yang menjadi rujukan utama gerakan Ikhwan. Ketika kemudian dikonfrontasikan dengan pandangan imam Ibnu Taimiyah, maka seakan-akan beliau tengah menanggapi Ikhwanul Muslimin. Inilah penemuan paling berharga yang tersaji dalam buku ini. Sekarang mari kita temukan keajaiban tersebut. Siapkanlah kitab-kitab rujukan kedua imam, dan bukalah halaman demi halaman buku ini untuk dicocokkan. Maka anda akan temukan keajaiban tersebut. Selamat membaca. [0]



MUQADIMAH Segala puji bagi Allah atas kenikmatan iman yang bersemayam dalam kalbu dan kemuliaan ibadah serta penghambaan kepada-Nya. Shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada penutup para rasul dan penghulu segenap makhluq, Muhammad saw, beserta keluarga dan shahabat-shahabatnya serta semua orangyang mengikuti petunjuknya. Amma ba'du: Ilmu adalah rahmat bagi pemiliknya. Maka dari itu ilmu bersifat menghimpun dan menyatukan. Ia anti terhadap perpecahan dan perselisihan. Ahli ilmu dan taqwa serta para da'i senantiasa bersatu meskipun jarak dan masa hidup mereka berjauhan. Mereka senantiasa bertemu meskipun jalan yang dilalui berkelok-kelok, turun



naik dan bercabang-cabang, sementara lontaran syubhat terdengar dari segala penjuru. Mereka senantiasa bersatukarena pengetahuan mereka diambil dari mata air dan sumber yang satu. Yaitu kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya. Maka dari itu langkah-langkah mereka satu arah, dan pandangan-pandangan mereka bersesuaian karena lahir dari sesuatu yang satu dan tidak berbilang. Ini semua dalam hal yang sifatnya ushuliyah (pokok dan mendasar) serta i'tiqadiyah (keyakinan) yang tsabitah. Hakikat ini telah penulis rasakan ketika penulis [11] 'hidup bersama" dua imam besar di tengah-tengah penulis mempersiapkan Risalah Magister yang menganalisa hal-hal negatif dalam shahwah lslamiyah (kebangkitan Islam) masa kini, dengan menguraikan faktor-faktor penyebabnya serta menawarkan solusi dalam perspektif pandangan ulama Islam terpercaya, yang telah menduduki posisi terhormat di mata generasi shahwah terutama dari kalangan ulama salaf. Di tengah penulis menelaah dan membahas risalah tersebut, tertangkap oleh perhatian penulis adanya pertemuan visi dan persepsi antara dua imam besar dalam banyak hal, termasuk topik-topik yang sedang hangat dibicarakan oleh generasi shahwah hari-hari ini. Maka berikutnya, mulailah penulis mencatat dan mengumpulkan serta menelaahnya. Dan untuk keperluan ini penulis mengumpulkan serta menelaahnya. Dan untuk keperluan ini penulis membutuhkan waktu berhari-hari. Bahkan konsentrasi dan perhatian penulis lebih tercurah ke sini sementara risalah magister penulis belum lagi rampung. Narnun penulis bersyukur karena disela-sela kesibukan menelaah masalah ini masih tersisa beberapa waktu luang. Sehingga akhirnya, berkat pertolongan Allah SWT penulis dapat segera menyelesaikan risalah, untuk kemudian kembali menekuni pembahasan ini, menyusun, dan mengeditnya hingga siap dipersembahkan kepada abnaush shahwah Islamiyah. Kedua Imam besar tersebut adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Imam Syahid Hasan Al-Banna, yang melalui sepak terjangnya Allah SWT berkenan menghidupkan kembali ummat setelah kematiannya, membangunkan mereka setelah tidur panjangnya serta menggerakkan kembali mereka setelah kelunglaiannya. [12] Kedua Imam telah meninggalkan pusaka yang tiada ternilai harganya. Pusaka yang berhubungan dengan berbagai hal, dengan aqidah ushul, akhlaq dan dakwah, tarikh dan ghazwul fikri. Setelah penulis memungut beberapa genggam dari padanya, penulis mencoba membicarakan beberapa sikap kedua imam yang berhubungan dengan : - Menjaga Ukhuwah dan jama'ah. - Tashawwuf. - Khilaf dalam furu' fiqhiyyah. - Hukum taqlid. - Aqidah. - Terakhir, sebagai penutup dikemukakan beberapa ucapan dan sikap kedua imam dalam masalah dakwah secara khusus dan problem ummat Islam pada umumnya. Perlu juga diketahui oleh pembaca, bahwa penulis memfokuskan pada pembahasan aqidah karena urgennya masalah ini. Dirnana hal ini tidak boleh dilewatkan khususnya bagi mereka yang pernah menekuninya dan terutama juga bagi mereka yang bergelut dalam kancah da'wah Alhamdulillah malalui penjelasan ini banyak sekali masalah aqidah yang dapat dijawab. Diantaranya penulis menguraikan sikap kedua Imam dalam hal-hal berikut : - Beberapa penyelewengan yang merusak aqidah kaum muslimin - Tawasshul



- Tentang sifat Allah, dalam pandangan ulama salaf maupun khalat Penulis memilih tema-tema di atas dan sikap kedua Imam dalam menghadapinya, disebabkan karena alasan-alasan berikut: [13] 1. Qadhaya (problem-problem) ini telah melahirkan pengaruh yang cukup besar di medan dakwah hari ini. 2. Qadhaya ini masih banyak diperselisihkan oleh banyak orang. Penulis ingin menjelaskan sikap kedua imam dengan rinci dan jelas sehingga terlihat mana yang benar dan mana yang salah. 3. Pendapat-pendapat kedua imam begitu besar pengaruhnya bagi para pemuda generasi shahwah, oleh karenanya penulis memilih menukilkan pendapat mereka secara langsung sebagaimana adanya. 4. Tentang Syaikhul Islam penulis merujuk pada karangannya yang monumental: Majmu' Fatawa. Penulis mengandalkan buku ini kecuali beberapa hal penulis nukilkan dari rujukan yang lain. 5. Tentang Imam Syahid, penulis merujuk pada mutiara fikrahnya: Majmu'atur Rasail dan Mudzakkirat Ad-Da'wah wad Da'iyah. Kecuali beberapa diantaranya penulis nukilkan dari sumber lain. Demikian, akhirnya penulis bermohon kepada Allah kiranya upaya ini menjadi amal shalih. [14]



SEKILAS TENTANG BIOGRAFI DUA IMAM SYAIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYAH Beliau dilahirkan di kota Hiran, bulan Rabi'ul awwal tahun 661 H. Sang ayah memberinya nama Ahmad Taqiyudin. Beliau dijuluki Abul Abbas namun yang kemudian terkenal adalah julukan Ibnu Taimiyah. Beliau dididik dalam keluarga yang terkenal dengan ilmu dan agamanya. Beliau tumbuh dan berkembang dalam iklim keilmuan yang kental. Dimana kakek beliau adalah pengarang kitab Muntaqal Akhyar yang disyarah oleh imam Syaukani dalam Nailul Authar. Keluarga Syaikhul Islam akhirnya berpindah dari Hiran ke Damaskus karena menghindari serangan Tar-Tar yang demikian ganas. Syaikhul Islam hafal Al-Qur’an semenjak kecil. Beliau telah aktif menghadiri majlis taklim orang tuanya meski umurnya masih belia. Sehingga beliau berhasil menyerap berbagai ilmu pengetahuan seperti fiqh, hadits dan bahasa. Beliau terkenal dengan kegeniusannya. Kemampuan menghafalnya telah membuat ta'jub para ulama. Sedari kecil beliau telah jauh dari permainan dan hidup santai sebagaimana dunia anak-anak pada umumnya. Sebaliknya perhatiannya lebih banyak tercurah kepada ilmu. Beliau mulai mengajar sementara umurnya belum genap dua puluh dua tahun, yaitu pada bulan Muharram 683 H.[15] Beliau adalah pemanggul panji dakwah salafiyyah. Diambilnya aqidah dari para ulama salaf dengan memberi kritik tajam kepada Ahli ilmu kalam. Beliau berjuang menghadap orangorang yang mengotori aqidahnya dengan filsafat serta menyeru mereka untuk beraqidah secara murni sebagaimana dipahami oleh generasi awal umat ini. Beliau juga amat tegas sikapnya menghadapi bid'ah kemunkaran yang ketika itu merajalela. Dengan ungkapan ringkas, langkah beliau bertujuan mengembalikan umat Islam kepada



sumbemya yang murni yaitu Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya serta sirah salafus shalih. Pada masanya beliau juga sangat gigih menegakkan jihad. Beliau mempelopori jihad menghadapi kekejaman Tar-tar yang mulai beraksi di Mustahal tahun 699 H, sampai akhirnya dapat menghancurkan pasukan Tar-tar tersebut dalam suatu pertempuran hebat pada Ramadhan tahun 702 H. Kehidupan beliau dipenuhi jihad dalam rangka memenangkan agama ini. Beliau secara tegas menghadapi kelompok-kelompok ilhad (ingkar Allah) yang sesat dan menyesatkan. Beliau juga telah memerangi kelompok Rafidhah yang berkhianat, Nushairi, Kebathinan, Isma'iliyah dan Hakimiyah. Disamping itu beliau juga gigih menghadapi pemalsuan dan penyesatan aqidah seperti Wihdatul Wujud, hulul dan sebagainya. Sebagai konsekuensinya, beliau banyak menerima tekanan, fitnah dan siksaan namun itu semua dihadapi dengan tsabat dan sabar. Cobaan terakhir beliau terima pada bulan Sya'ban tahun 726 H dimana beliau ditawan di penjara Beteng di Damaskus. [16] Beliau kembali ke pangkuan Rabbnya pada bulan Dzul Qa'dah tahun 728 H dan penguburan jenazahnya diiringi oleh puluhan ribu orang terdiri dari para ulama dan pemimpin, serta kaum muslimin laki-laki dan perempuan. Beliau banyak meninggalkan pusaka ilmiah yang tiada terhitung jumlahnya, yang masih segar dipetik hikmahnya hingga hari ini. Beliau diterima dan dihormati oleh ummat dan hingga hari ini beliau merupakan salah satu dari sekian motor penggerak Shahwah Islamiyyah Mu'asyirah. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada beliau.



IMAM SYAHID HASAN AL-BANNA Imam syahid dilahirkan di kota Al-Mahmudiyah di propinsi Buhairah, Mesir tahun 1906 M. Beliau terdidik dalam keluarga yang masyur dengan ilmu dan agamanya. Ayah beliau hernama Ahmad Abdur Rahman Al-Banna, salah seorang ulama terkenal dengan ilmu sunnahnya. Diantaranya tertuang dalam salah satu kitab karangannya yang berjudul Al-Fathur Rabbani Litartibi Musnadil Imam Ahmad bin Hambal As Syaibani. Disamping itu ayah beliau juga menekuni profesinya sebagai pengusaha penjilidan buku dan reparasi jam sehingga terkenal dengan ahli jam. Beliau menempuh jenjang pendidikan dasarnya di Madrasah Al-I'dadiyah Rasyad AdDiniyyah kemudian melanjutkan di madrasah Al-I'dadiyah di Al-Mahmudiyah. Beliau mulai menaruh perhatian terhadap da'wah semenjak kecil. Dicanangkan amal Islami secara terstruktur untuk beramar ma'ruf nahi munkar. [17] Beliau bersama teman-temannya membentuk organisasi bernama Jam'iyyah Al-Akhlaq Al-Adabiyyah (Organisasi yang bergerak di bidang peningkatan etika dan akhlaq), setelah itu mendirikan Jam'iyyah Man'il Muharramat (Organisasi anti barang haram). Imam Syahid begitu gemar menghafal teks semenjak kecil dan terkenal memiliki hafalan yang sangat kuat. Selanjutnya Imam Syahid pindah ke Darul Mu'alimin di Damanhur tahun 1920 M, dimana di sinilah beliau dapat menyelesaikan hafalan Qur'annya sebelum usianya genap empat belas tahun. Kemudian pada tahun 1923 M beliau pindah lagi ke Kairo untuk melanjutkan studi di Darul Ulum. Di sanalah wawasan imam Syahid mulai terbuka lebar-lebar. Beliau banyak menjalin hubungan dengan ulama-ulama ternama.



Beliau secara disiplin mengunjungi Perpustakaan Salafiyyah dan secara rutin menghadiri majlisnya Ustadz Muhibbuddin Al-Khatib, dimana di tempat inilah beliau banyak bertatap muka dengan para ulama. Disamping itu beliau juga menjadi salah satu hadirin aktif di majlis ta'limnya Ustadz Rasyid Ridha. Dan di sana beliau banyak berjumpa dengan para ulama Al-Azhar. Beliau selalu menekankan perlunya amal Islami dengan segala cara untuk menghadapi gelombang ilhad (atheis) dan Ibahiyah (permissifisme/serba boleh) yang sudah demikian deras menyelusup di negara-negara Islam ketika itu. Ketika jiwa da'wah telah demikian merasuk mendarah-daging dalam pribadinya, mulailah beliau bangkit meningkatkan manuver da'wah bersama teman-temannya, dari majlis-majlis ta'lim, kedai-kedai kopi hingga forum ilmiyah. Tahun 1927 M beliau selesai menempuh pendidikan di Darul Ulum dengan menggondol predikat juara Pertama. [18] Kemudian beliau mengajar di kota Ismailiyah di wilayah terusan Zues. Dari sana mulailah beliau berkhidmah dalam dakwah secara manhajiy. Dirancanglah program dakwah dengan keliling kampung, masuk keluar Masjid, serta menda'wahi orangorang yang biasa duduk-duduk santai di kedai kopi. Mereka semua ditarbiyah dengan Islam secara serius hingga menghasilkan jiwa yang dinamis. Pada bulan Dzulqa'dah tahun 1347 atau bertepatan dengan Maret 1928 terbentuklah sel awal jamaah Ikhwanul Muslimin dengan anggota 6 (enam) orang. Sejak hari pertamanya, jama'ah ini terkenal dengan prinsip kembali kepada sumber asasi Islam: Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya serta kehidupan para salafus shalih. Imam Syahid sejak semula telah memberikan perhatiannya kepada pemahaman Syumuliyyatul Islam (keutuhan dan kelengkapan Al-Islam) dalam jiwa anggotanya. Bahwa Islam meliputi aqidah, syari'ah dan manhajul hayah (sistem kehidupan) yang lengkap dan sempurna. Beliau berjihad memberantan bid'ah, khurafat dan kemunkaran yang melanda umat ketika itu. Mulailah beliau membangun yayasan-yayasan jama'ah, masjid masjid, gedung-gedung pertemuan, mendirikan Ma'had Harra' Al-Islami dan Madrasah Ummahatul Mu'minin di kota Isma'iliyah. Mulailah da'wahnya menyebar di seantero kota maupun desa-desa sekitarnya. Pada tahun 1923 M Imam Syahid pindah ke Kairo, dengan demikian berpindah pula markas umum Al-Ikhwan ke sana. Mulailah beliau dengan program tarbiyah bagi para pemuda dengan tarbiyah Islamiyah yang kokoh menghunjam sebagai persiapan nantinya memikul beban-beban dakwah yang berat. [19] Beliau ketika itu menjadi obor bagi harakah dan da'wah. Beliau melakukan perjalanan dari satu wilayah ke wilayah lainnya bersama kawan-kawannya untuk memberikan ta'limat (pengajaran-pengajaran) sambil memberikan contoh kepada sesama aktitis da'wah, bagaimana bentuk ideal sebuah amal da'wah itu. Beliau sangat serius menjaga harakah da'wahnya agar jangan sampai menjadi haraqah iqlimiyah (gerakan lokal) di wilayah Mesir saja. Namun sebaliknya beliau ingin agar da'wahnya itu bersifat 'alamiyah (internasional) sebagaimana 'alamiyahnya Islam. Imam Syahid aktif mengirim utusannya ke berbagai wilayah dunia Islam untuk melakukan observasi tentang kondisi kaum muslimin setempat, untuk kemudian hasilnya dikirim ke Kairo. Markas umum Ikhwanul Muslimin ketika itu mejadi tempat bertemunya para mujahiddin dari seluruh dunia, di saat mana negeri-negeri Islam tengah berada pada masa kegelapannya karena hidup dibawah penjajah asing. Markas umum Ikhwanul Muslimin sempat pula dihadiri tokoh-tokoh harakah tahrir (gerakan pembebasan) dari Afrika, Yaman, India, Pakistan, Indonesia dan Afganistan Juga dari Sudan, Somalia, Suria, Irak, Palestina dan



lain sebagainya. Imam Syahid mengibarkan panji jihad untuk menghadapi penjajahan asing seperti Inggris, Prancis dan Yahudi. Beliau juga secara khusus memobilisir jihad untuk pembebasan Palestina. Tercatat dalam sejarah dan masyur bagaimana pasukan Ikhwan memberi pelajaran yang tak terlupakan kepada Yahudi dan antek-anteknya. Pada tahun 1948 M kaum penjajah dan konco-konconya bersekongkol menghancurkan Ikhwanul Muslimin. Negara-negara Barat lantas menekan pemerintah Mesir untuk [20] menghancurkan jamaah Ikhwanul Muslimin serta menangkap para mujahiddin sekembalinya mereka dari perang di Palestina. Jadilah Imam Syahid seorang diri di luar penjara setelah dirinya dipisahkan dari muridmuridnya, agar musuh-musuh Islam lebih leluasa mewujudkan impiannya. Puncaknya, pada tanggal 12 Pebruari tahun 1949 H Imam Syahid mencapai kesyahidannya setelah ditembak oleh antek-antek raja Faruq secara pengecut di salah satu jalan di kota Kairo. Imam Syahid meninggalkan beberapa karangan buku. Diantaranya yang paling fundamental adalah buku Majmu'atur Rasail (kumpulan-kumpulan surat), yang dihimpun dalam satu buku, kemudian Mudzakkiratut Da'wah wad Da'iyah dan lain-lain tulisannya. Tulisan-tulisan beliau meskipun sedikit dan ringkas namun mengandung kebaikan dan berkah yang melimpah-ruah. Di dalamnya mengandung banyak sekali nilai meski diungkap dengan bahasa yang ringkas dan sederhana. Orang dengan mudah memahami isinya hanya dalam tempo yang singkat. Imam Syahid telah menghabiskan waktunya untuk menekuni dakwah dan tarbiyyah. Beliau bangun Jama'ahnya itu dengan bertumpu pada proses tarbiyah untuk mencetak kader dakwah serta membangun kesadaran ummat yang selama ini tertidur pulas dan telah beku. Beliau telah memfokuskan perhatiannya pada pembentukan rijal dakwah yang tangguh. Dipenuhinya perpustakaan dengan karya-karyanya yang menyuarakan kebangkitan dan dinamika umat. Dengan amal Islami yang dirintisnya beliau telah menegakkan bendera jihad fi sabilillah di lima benua. Beliau dengan semangat menggelora maju menghadang kebatilan, membongkar dengan jemarinya akar-akar [21] penjajah di setiap tempat, serta memberantas kemunkaran, atheisme dan kesesatan. Beliau tampil menyuguhkan Islam kepada ummat manusia dengan segenap karakternya yang lengkap, sempurna, serta universal. jauh dari penafsiran para juhala dan pemalsu. Ala kulli hal, dengan gayanya yang khas beliau telah berhasil menunjukkan sekaligus mendemonstrasikan di hadapan umat bahwa Islam itu mudah dan jelas, tidak ada sesuatupun yang samar dan membingungkan. Semoga Allah memberi balasan pahala yang setimpal dan memasukkannya ke dalam golongan orang yang shalih. Amin. [22]



SUMBER RUJUKAN Menetapkan rujukan nilai dalam sebuah amal dakwah – apapun bentuk dan warna dakwahya – adalah hal yang pokok. Karena dialah yang akan menentukan arah perjalanan selanjutnya. Dengan kata lain, bahwa sebuah dakwah akan lurus atau bengkok, baik atau rusak, terbimbing atau sesat, sangat ditentukan oleh sumber



nilai yang menjadi acuannya. Adalah sesuatu yang telah menjadi kesepakatan semenjak generasi pertama bahwa sumber pertama hukum bagi setiap muslim adalah kitab Allah dan Sunnah-Nya. Keduanya merupakan sumber dari nilai-nilai Islam yang orisinil dan jernih, yang layak dijadikan acuan bagi penyelesaian setiap problem kehidupan dalam segala aspeknya. Akan tetapi, tercatat semenjak abad ketiga, sadar atau tidak sadar kaum muslimin telah memulai mencampuri sumber nilai yang murni itu dengan filsafat dan nilai-nilai lainnya. Maka Islam yang keliru dan menyimpang, dimana hal ini kemudian mempengaruhi pola hidup dan tingkah lakunya yang selanjutnya menjerumuskan mereka menuju arah yang sesat dan kehancuran. Namun demikian berkat anugerah Allah SWT, dibangkitkanlah seorang mujahid pada setiap abad untuk memperbaharui agamanya serta menghancurkan setiap penyelewengan, kebatilan dan kesesatan. Sehingga kembalilah ummat manusia kepada sumber nilainya yang murni dan hiduplah [23] mereka dengan kehidupan yang baik. Tatkala Syaikhul Islam rahimahullah dilahirkan, manusia tengah berada pada kehidupan dengan sumber nilai yang beraneka ragam. Mereka mencampuradukkan berbagai sumber dan rujukan tersebut, sehingga menyeretnya ke dalam banyak fitnah dan kekacauan. Tercampurlah antara haq dan bathil, antara petunjuk dan kesesatan, antara benar dan salah. Maka berjihadlah Syaikhul Islam untuk mengembalikan ummat manusia kepada kondisi yang telah tercipta pada generasi pertama atau mengembalikan mereka kepada sumbernya yang asasi, yang bersih dari segala kotoran. Demikian juga kondisi ummat manusia ketika datangnya Imam Syahid Al-Banna. Mereka mencampuradukkan kesesatan dengan kebenaran. Bangkitlah Imam Syahid untuk mengembalikan mereka kepada suasana kehidupan sebagaimana pernah diwujudkan oleh generasi pertama Ummat ini. Maka "bertemulah" kedua Imam dalam menentukan sumber rujukan manhaj dakwah dan kehidupan ummat Islam. Yakni Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya serta kehidupan salafus shalih. Dengan membuang jauh-jauh segala hal yang lain kecuali yang masih sinkron dengannya. Demikianlah srhagai penjelasan global, dan kini kita masuk pada penjelasan secara rinci tentang hal itu.



KITAB DAN SUNAH Salah satu hal yang telah jelas dan tidak membutuhkan banyak pembicaraan adalah bahwa kedua imam sepakat menganggap perlunya kembali kepada kitab Allah dan Sunah rasul-Nya dan apa-apa yang sesuai dengannya, dan slrbaliknya menolak tegas-tegas apapun yang bertentangan dengan keduanya. [24] Allah SWT berfirman : "... Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan Kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap-gulita kepada cahaya yang terang-benderang dengan seizin-Nya dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus". (Al-Maidah 15,16). Dan Firman-Nya pula : "Taatilah Allah dan taatidah rasul-Nya ... (An-Nisa 59) Firman-Nya yang lain : "Kami tidak mengutus rasul kecuali untuk ditaati dengan izin Allah. " (Al-Hasyr 7)



"Maka apabila kamu berselisih pendapat dalam satu urusan, kembalikanlah ia kepada Allah (AlQur'an) dan Rasul (Sunnah)". (An-Nisa 59) Barangsiapa yang membaca buku-buku karangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah maka hampir selalu mendapatkan ajakannya untukkembali kepada kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya serta taat kepada keduanya. "Ketaatan yang mutlak hanya kepada Rasul, baik untuk menunaikan atau meninggalkan sesuatu." (Lihat Al-Fatawa: 19/66, 71). Berkata Imam Syahid: "Dakwah kami adalah dakwah islamiyah dengan segala makna yang terkandung di dalam kalimat itu. Setelah Itu pahamilah ia sesuka hati, maka pemahaman anda akan terikat dengan kitab Allah din Sunnah Rasul-Nya serta perilaku para ulama shalafus shalih – semoga Allah meridhai mereka – [25] adalah para pelaksana perintah-perintah Allah, mereka mengambil dengan konsekuen nilai-nilai-Nya. Oleh karena itu merekalah teladan utama dan gambaran ideal bagi pelaksana nilai-nilai ini." (Majmu'ah Rasail (Da'watuna: hal 16). Kemudian beliau menjelaskan rujukan dan sumber nilai yang didakwahkannya seraya berkata : 'Adapun pilar kami dalam hal ini adalah kitab Allah yang tidak mendatangkan kebathilan baik dari depan maupun dari belakangnya. Kemudian Sunnah yang shahih dari Rasulullah saw. Dan salafus shalih ummat ini." (Majmu'ah Rasail (Ilassy Syabab: hal 84) Dalam rukun fahm, salah satu rukun bai'ah sepuluh, beliau berkata : 'Al-Qur'anul Karim dan Sunnah Mutaharah (yang suci) adalah rujukan setiap muslim dalam mengenal hukum-hukum Islam. Al-Qur'an dipahami dengan mengikuti kaidah bahasa Arab dengan tanpa mempersulit atau mempermudahnya. Sedangkan dalam memahami Sunnah Rasul hendaklah merujuk kepada rijalul hadits yang terpercaya (Risalah Ta'lim hal. 268). Di bawah sebuah judul: Kami dan Politik, beliau menguraikan: 'Ada orang lain mengatakan bahwa Ikhwanul Muslimin adalah kelompok politik sehingga dakwahnya bertendensi politis dimana ada kemauan-kemauan tertentu di balik seruan dakwahnya. Kami tidak tahu sampai kapan saudara-saudara kami dituduh dengan tuduhan negatif itu. Realita juga nantinya akan membongkar tuduhan itu. Wahai kaumku, kami menyeru kalian dengan Al-Qur'an ada di tangan kanan kami dan Sunnah ada di tangan kiri, sedangkan ulama salafus shalih senantiasa menjadi [26] teladan kami. Kami menyeru kalian kepada Islam, nilai Islam, hukum Islam dan petunjuk Islam. Dan apabila yang demikian itu menurut kalian adalah politik, maka itulah politik kami. Demikian juga bila setiap yang berpolitik, maka Alhamdulillah, kami adalah orang yang paling komit dengan politik. Bila kalian akan menamai itu dengan nama politik, namailah sekehendak kalian, karena nama-nama itu sama sekali tidak berpengaruh sepanjang apa yang ada di balik nama serta langkah dan tujuannya yang jelas." (Majmu' Ar-Risalah (Ila Asy-Syai'in Nad'un Nas: hal. 35)



TIADA YANG MA’SHUM SELAIN RASUL SAW, Imam Syahid telah menegaskan hal ini dan menjadikannya asas bagi da'wahnya. Dalam rukun fahm, salah satu rukun bai'ah yang sepuluh, beliau berkata : "Setiap orang kata-katanya bebas diambil atau ditinggalkan, kecuali Al-Ma'shum saw. Dan segala sesuatu yang datang dari kaum salaf – semoga Allah meridhai mereka – dan sesuai dengan kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya, kita terima. Apabila tidak demikian maka kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya lebih utama untuk diikuti.



Namun demikian kita tidak melemparkan tuduhan keji atau melukai perasaannya. Kita serahkan kepada niat mereka, mereka telah memperoleh dari apa yang mereka persembahkan". Majmu' Ar-Rasail (Risalah Ta'alim: 269) Dengan demikian maka Imam Syahid hakikatnya telah melepaskan keterikatan dan fanatisme orang terhadap personil tertentu, siapapun mereka. Beliau mengarahkan da'wah dan disertai dengan sikap sumber asasnya yaitu kitab dan sunnah, disertai dengan sikap ihtiram (penghormatan) yang tulus kepada para ulama salaf. [27]



HUKUM ILHAM DAN MIMPI Salah satu masalah pokok yang berkaitan dengan sumber hukum adalah masalah kasyf (ketersingkapan), mimpi dan ilham. Orang banyak yang tergelincir dalam masalah ini. Sebagian ada yang begitu fanatik sementara sebagian yang lain menolak secara membabi-buta tanpa disertai hujjah yang jelas. Adapun kedua imam telah menjelaskan masalah ini dengan penuh keadilan dan arif bijaksana. Mereka mengakui adanya ilham, mimpi dan kasyf serta kemungkinan sementara orang mendapatkannya. Namun selanjutnya mereka menjelaskan bahwa ilham, mimpi dan kasyf ini tidak memiliki kekuatan hujjah dengan sendirinya. Ia mesti diukur dengan timbangan syar'i. Bila sesuai kita terima dan bila tidak kita tegas menolaknya. Syaikhul Islam berkata: "Untuk menjawab secara ilmiah, harus merujuk kepada apa yang dinyatakan dalam kitab dan Sunnah. Setiap orang wajib membenarkan adanya kasyf pada seseorang atau berita yang datang dari orang yang terpercaya baginya. Ia dapat mengambil manfaat ilmunya dan hal itu dapat menambah kadar iman dan tashdiqnya terhadap apa yang tertuang dalam nash-nash kitab Allah dan Sunnah rasul-Nya. Namun sebaliknya, setiap orang tidak diwajibkan untuk percaya kepada selain yang dibawa oleh para Nabi saw. Allah SWT hanya mewajibkan tashdiq kepada apa yang datang dari para Nabi. Sebagaimana hrman-Nya : "Katakanlah oleh kamu, "Kami beriman kepada Allah". (Al-Baqarah 136) [28] Dan firman-Nya yang lain: "Akan tetapi yang namanya kebajikan itu adalah barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, kepada malaikat, kitab dan para Nabi". (Al-Baqarah 177) Dalam hadits shahih, Nabi saw bersabda: "Setiap ummat sebelum memiliki muhaddatsun, dan bila pada umatku ada, maka Umarlah orangnya". (HR. Bukhari dan Muslim) Muhaddats adalah orang yang diberi ilham dan kasyf Dia harus menimbangnya dengan tolok ukur syar'i. Bila cocok dengannya kita terima dan bila tidak janganlah dihiraukan. oleh karena itu maka para ulama tidak ada yang menjadikan rujukan kecuali nash-nash kitab dan Sunnah serta Ijma'ul ummah. Hujjah Allah pada ummat ini hanyalah Nabi saw. Seandainya ada orang yang memiliki nikmat ini dan ia telah mengukurnya dengan syar’i sebagai haq, itupun tidak dibenarkan mengharuskan orang percaya kepadanya. Sebaliknya wajib mengharuskan tashdiq kepada orang yang ma’shum, dalam hal ini kata-kata para nabi as. Namun demikian orang yang mendapatkannya itu dan memiliki bukti kebenaran adalah merupakan cahaya hidayah. Berkata sebagian orang salaf: "Bashirah (ketajaman penglihatan) orang mu'min dapat melahirkan hikmah meskipun ia tidak mendengar nash. Dan hila ternyaia nash pun mendukungnya maka Itu adalah cahaya di atas cahaya". (Al-Fatawa, juz 24/376, 378) Allah SWT berfirman:



"barangsiapa yang tidak diberi cahaya oleh Allah maka ia tidak memiliki cahaya". (An-Nur: 40) [29] Tentang mimpi, Syaikhul Islam berkata : "Mimpi biasa tidak ada dalil membenarkannya tidak boleh ditetapkan sebagai hukum sama sekali, demikian yang telah disepakati. Dalam riwayat dari Nabi saw, beliau berkata: "Mimpi itu ada tiga " mimpi dari Allah, mimpi dari bisikan diri sendiri dan mimpi dari syaitan". (HR. Bukhari dan Muslim). Maka dari itu bila ada mimpi, kita mesti mengelompokkannya terlebih dahulu sesuai dengan pembagian itu." (Majmu' Al-Fatawa, juz 27, hal 458) Ini pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Adapun Imam Syahid, beliau menjelaskan masalah ini dengan keterangan yang ringkas namun cukup memberi pelajaran dan faedah yang banyak. Dalam rukun fahm, salah satu rukun bai'ah yang sepuluh, beliau berkata: "Dalam iman yang tulus dan ibadah yang benar serta mujahadah ada cahaya dan kenikmatan yang ditanamkan oleh Allah dalam hati siapa saja yang dikehendaki-Nya. Akan tetapi ilham, khawatir (semacam firasat), Kasyf dan mimpi bukan termasuk dalil hukum syar'i. Hal itu tidaklah berarti sesuatu kecuali memang tidak bertentangan dengan hukum agama dan nash-nashnya". (Majmu'ah Rasail (Risalah Ta'alim) hal. 268) Itulah pendapat dua imam dalam masalah ini. Dan ini merupakan pendapat yang benar, mengandung keadilan dan didukung dengan dalil-dalil syar'i. Dengan demikian maka beliau berdua hakikatnya telah menjaga keaslian dan kemurnian sumber rujukan serta membentenginya dari segala hal yang berbau khurafat, dongeng-dongeng, hayalan [30] dan sangkaan-sangkaan dusta yang dihembus-hembuskan oleh para dajjal diantara ummat ini. Namun ternyata, bagi sebagian orang ada yang menjadikannya pokok segala sesuatu sedangkan syara' mesti disesuaikan dengannya. Sementara sebagian yang lain secara ekstrim mengabaikan serta menafikan keberadaannya. Sejarah ummat Islam telah ikut bersedih menyaksikan munculnya dua kelompok manusia tersebut. Keduanya sama-sama salah dan tersesat jalan. Kemudian tampillah dua imam dengan perpaduan pendapatnya yang wasathiyyah (tengah-tengah) dengan meletakkan kedudukan akal pada tempat yang semestinya. Mereka menjelaskan bagaimana Islam telah mengangkat kedudukan akal dan memuliakannya. Kedua imam menjelaskan bahwa akal memiliki ruang yang tidak tersentuh syara' sebagaimana syara' memiliki ruang yang tidak terjangkau oleh pikiran. Pendapat inl telah berpengaruh positif di kalangan ummat. Banyak permasalahan yang bisa dipecahkan dan berbagai perasaan yang mengganjal telah dapat ditenangkan. Kini marilah kita menyimak pendapat mereka itu : Berkata Syaikhul Islam: "Akal pikiran merupakan syarat untuk mengenal ilmu, ia penyempurna bagi amal perbuatan. Dengan akal, sempurnalah ilmu dan amal. Namun demikian akal tidak berdiri sendiri. Ia merupakan kekuatan bagi jiwa sebagaimana kekuatan penglihatan bagi mata. Apabila ia berpadu dengan cahaya iman dan Qur'an maka Ibarat cahaya mata yang berpadu dengan cahaya matahari dan api. Dan sebaliknya bila ia berdiri tidak dapat melihat apa-apa. Oleh karena itu [31] bila akal dilepas sama sekali maka ucapan dan tingkah laku seseorang sebagaimana ucapan dan tingkah laku binatang. Mungkin masih ada rasa cinta, selera dan perasaan, namun itu sebatas sebagaimana apa yang dimiliki binatang. Perilaku yang dihasilkan tanpa pertimbangan akal adalah perilaku cacat, sedangkan kata-



kata yang berlawanan dengan akal adalah bathil. Para Rasul datang dengan sesuatu yang tidak terjangkau oleh akal, dan menyampaikan argumentasi yang tidak dapat dipatahkan oleh akal. Akan tetapi orang-orang yang melampaui batas dalam hal ini mewajibkan, membolehkan dan melarang sesuatu hanya dengan pertimbangan logika. Mereka menyangka bahwa hal itu merupakan kebenaran, padahal sesungguhnya bathil dan bertentangan dengan wahyu yang datang kepada nabi. Sementara kalangan ekstrim yang lain meyakini akan adanya sesuatu yang bathil pada setiap hat yang menyertakan peran akal. Dengan kata lain, mereka menafikan sama sekali peranan akal, tanpa mampu membedakan antara anugerah yang diberikan oleh Allah kepada manusia dengan apa yang diberikan-Nya kepada selainnya. Sebagaimana ahli hadits ada yang cenderung lepada salah satu dart kelompok ini. Pada suatu waktu dia mencabut akal dart tempat dan kewenangannya, di saat yang lain dia menggunakannya secara membabi-buta untuk menghantam sunnah." (Majmu' Al-Fatawa: 3/338 - 339)



PERHATIAN TERHADAP UKHUWAH DAN JAMAAH Kedua imam telah sepakat akan urgensi ukhuwah serta kedudukannya dalam dien ini. Ia adalah puncak mahkota yang tiada teraih dan pondasi kokoh yang tidak dapat dihancurkan. [32] Kedua imam telah memberikan perhatiannya yang demikian besar bagi terbentuknya ikatan hati dan kesatuan jiwa di sepanjang kehidupan mereka berdua. Baik melalui interaksinya dengan masyarakat di kancah da'wah, maupun dalam tulisan dan pesan-pesannya.



Perbedaan Masalah Fiqh Tidak Boleh Melahirkan Perpecahan Kedua imam telah menekankan pembicaraan dalam masalah ini, bahwa tidak seyogyanya perbedaan dalam masalah fiqih itu berakibat adanya perpecahan, permusuhan serta saling mendengki. Pendapat Syaikhul Islam. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: 'Adapun perbedaan dalam masalah hukum adalah sesuatu yang sulit dideteksi karena banyaknya. Hingga apabila setiap perbedaan yang terjadi pada dua orang muslim menjadikan mereka berselisih, niscaya tidak tersisa lagi di tengah kaum muslimin 'ishmah (perlindungan) dan ukhuwah". (Majmu' Al-Fatawa: 24/173) Pada masa lalu pernah terjadi perpecahan hebat dalam tubuh kaum muslimin oleh sebab perbedaan dalam masalah fiqih. Perpecahan itu sampai mengakibatkan lahirnya pertikaian dan permusuhan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah jelas mengingkari kenyataan pahit semacam ini yang tidak senafas dengan jiwa Islam, jiwa keimanan yang penuh persaudaraan dan ikatan hati. Beliau banyak menjelaskan hal ini dalam beberapa karangannya ketika menguraikan masalah khilaf dan fiqih. Antara lain beliau berkata: "Adapun tentang shalat, maka masalah yang banyak diperselisihkan antara lain seputar basmalah. [33] Mereka mempermasalahkan apakah basmalah itu wajib dibaca atau tidak, ia termasuk salah satu ayat Qur'an atau bukan hingga perbedaan bagaimana membacanya. Masing-masing pihak menyusun banyak buku namun di sana terlihat adanya sikap berlebihlebihan, bodoh dan zhalim, padahal masalah sebenarnya sungguh sederhana. Maka dari itu sikap ta'asub dengan pendapat serupa itu adalah bagian dari bentuk perbedaan dan perpecahan yang kami ingkari. Karena orang yang menyeru kepada pendapat



tersebut merupakan biang bagi perpecahan. Dan kalau saja bukan karena syaithan yang berusaha menanamkan rasa hasud dan dendam maka masalah tersebut merupakan permasalahan yang paling ringan." (Qawaid Nuraniyah Fiqhiyah, hal. 42) Pengingkaran Syaikhul Islam sangat jelas kepada mereka yang ta'ashshub terhadap masalah khilafiyah. Hal ini disebabkan sikap ta'ashshub merupakan salah satu indikasi dari sikap mengiyakan kepada seruan syaithan, baik disadari maupun tidak.



Meninggalkan Mustahabbat (Hal-Hal Yang Disukai Syara') Demi Persatuan S yai k h ul Is l am t elah m enjelaskan bagaimana tingginya kedudukan ta’liful qulub (ikatan hati) dalam Islam. Dan beliau begitu sungguh-sungguh memeliharanya meskipun sebagai konsekuensinya harus meninggalkan mustahabbat. Kenapa sampai demikian, karena dalam ta'liful qulub ada maslahat yang lebih agung bagi Islam dan kaum muslimin. Dengannya bangunan Islam menjadi kuat dan kokoh. Dan pemeliharaan ta'liful qulub ini merupakan manhaj Rasul saw dalam dakwahnya. Demikian juga dalam beliau berinteraksi dengan masyarakat sekitarnya. Para shahabat [34] – ridwanullahi 'alaihim – juga telah memegang teguh prinsip ini sebagai bukti iqtida' (mengambil keteladanan) mereka kepada Rasulullah Saw. Ibnu Taimiyah menukilkan beberapa pendapat ulama seraya berkata: "Seseorang dianjurkan untuk mewujudkan ta'liful qulub meskipun – terkadang – dengan meniggalkan beberapa amal mustahahbat. Hal ini karena ta'liful qulub dalam timbangan Islam lebih membawa mashlahat (kebaikan) daripada mengamalkan mustahabbat. Sebagaimana Nabi Saw menunda perbaikan Baitullah karena dengan dibiarkannya akan ada mashlahat yang lebih besar. Sebagimana juga Ibnu Mas'ud yang menolak shalat itmam (sempurna raka'atnya) dalam safar sebagaimana pendapat Utsman ra, akan tetapi ia shalat dengan itmam di belakang Utsman. selanjuutya berkata: "Khilaf itu jelek".



Khilaf dalam Furu' Aqidah Bukan Faktor Pemecah-Belah Telah sepakat kedua imam bahwa perbedaan pendapat dalam masalah cabang aqidah tidak seyogyanya melahirkan perpecahan. Tidak boleh perbedaan ini dijadikan alat untuk memfitnah orang lain, akan tetapi hendaklah mulutnya ditahan, hatinya dihimpun dan jiwanya dibersihkan. Syaikhul Islam telah menegaskan hal ini dalam "Risalah Ila Ahli Bahrain" ketika mereka berbeda pendapat dalam masalah furu’ aqidah: tentang apakah orang kafir melihat Allah (di akhirat). Telah terjadi perbedaan yang sangat tajam dalam masalah ini hingga memporak-porandakan shaf dan kesatuan umat serta menyuburkan benih-benih hasud di dada mereka. Perbedaan pendapat ini sampai membuat mereka tidak mau shalat berjamaah bila yang menjadi imam bukan dari pihaknya. Fitnah ketika itu begitu serius hingga bangkitlah syaikhul Islam hendak meluruskan [35] kekeliruan mereka. Beliau segera menulis buku-buku untuk dikirimkan kepada mereka yang berisi seruan agar mereka bersatu dan menjalin ukhuwwah kembali. Selanjutnya beliau menyebutkan bahwa masalah sebenarnya sangat ringan dan bahwa para shahabat dan tabi'in dahulu juga berbeda pendapat dalam beberapa hal yang jauh lebih serius dari ini semua. Namun demikian tidak sampai mengorbankan ukhuwwah, ta'liful qulub, kesucian jiwa, kasih sayang dan saling menghormati antar sesama. Berkata Syaikhul Islam: "Yang mengharuskan saya berbuat ini (menulis risalah di atas) adalah karena rombongan



orang dari kalian bercerita tentang terjadinya perselisihan di antara kalian dan menyebutnya hahwa pertikaian ini hampir mendekati peperangan. Dan mereka menyebutnya bahwa penyebab ini semua adalah perbedaan tentang apakah orang kafir di akhirat dapat melihat Allah atau tidak. Saya tidak membayangkan sama sekali bahwa urusannya akan sampai seperti ini. Masalah ini sebenarnya sederhana, karena yang paling pokok bagi seorang muslim adalah keyakinan bahwa orang-orang mukmin dapat melihat Rabb mereka pada hari akhirat setelah mereka masuk ke dalam sorga." (Majmu' Al-fatawa, juz 6, hal. 485) Selanjutnya beliau menjelaskan pendapatnya yang rajih seraya berkata: "Ringkasnya, dengan risalah ini saya tidak bermaksud menganggap masalah ini cukup karena ilmu yang berhubungan dengan hal di atas cukup banyak. Namun yang saya ingin tegaskan adalah bahwa masalah ini bukan sesuatu yang menuntut banyak pembicaraan, baik di kalangan orang-orang tertentu apalagi di kalangan umum, sehingga melahirkan sesuatu yang tidak kita inginkan berupa [36] perpecahan dan saling mendengki antar sesama". (Majmu' Al-Fatawa, juz 6, hal. 502)



Perbedaan Pendapat di Kalangan Para Sahabat Tidak Menimbulkan Permusuhan Beliau – Syaikhul Islam – selanjutnya menyebut contoh dari kalangan orang-orang salafus shalih, bahwa perbedaan dalam masalah furu' aqidah tidak memecah-belah shaf mereka Berkata Ibnu Taimiyah: "Masalah semisal ini bukanlah masalah yang harus melahirkan perpecahan karena orangorang sebelum kita dari kalangan ahlus sunnah telah banyak membicarakannya. Mereka telah berheda pendapat namun tanpa harus berselisih dan putus hubungan. Para sahabat dan orangorang sesudahnya telah berbeda pendapat tentang apakah nabi saw melihat Rabbnya di dunia atau tidak. Sampai-sampai telah melahirkan ungkapan pedas sebagaimana kata-kata Ummul Mukminin ‘Aisyah ra: "Barangsiapa yang mengatakan bahwa Muhammad melihat Tuhannya maka ia telah berdusta besar atas nama A l l a h ". ( H R . B u k h a r i 3 2 3 4. HR. Muslim 177) Meskipun demikian perbedaan ini tidak sampai menyebabkan adanya perpecahan dan permusuhan di kalangan mereka" (Majmu’ Al-Fatawa: 6/502-503) Kemudian beliau mengakhiri tulisannya dengan menyebutkan beberapa etika yang harus dimiliki oleh para da’i yang senantiasa berurusan dengan ummatnya "Ada beberapa etika yang harus dijaga, antara lain: barangsiapa yang tidak ikut berbicara masalah ini (tentang orang kafir melihat Yuhan) dan tidak menyeru kepada salah satu pendapat, maka ia tidak boleh [37] dijauhi, meskipun yang lebih berkeyakinan tertentu. Karena sesungguhnya bid'ah yang lebih besar dari itupun tidak membuatnya harus dijauhi, kecuali apabila ia menjadi penyerunya. Demikian juga: Janganlah mengungkapkan masalah-masalah seperti ini di kalangan orang-orang awam yang selama ini hidup aman dan jauh dari fitnah berbagai macam perbedaan pendapat. Akan tetapi apabila seseorang ditanya tentang itu dan ia memiliki pengetahuan tentang itu, jelaskanlah dengan penjelasan yang membawa manfaat baginya. Berbeda halnya dengan keyakinan bahwa orang-orang mu'min dapat melihat Tuhannya di akhirat, maka iman kepadanya adalah wajib karena telah disebutkan riwayatnya secara mutawatir dari Nabi Saw, shahabat dan salafus shalih." (Majmu' Al-Fatawa, 6/503, 504)



Inilah beberapa contoh yang dengan jelas menunjukkan kepada kita bagaimana perhatian Syaikhul Islam kepada ta'liful qulub dan betapa bencinya kepada perpecahan yang hanya diakibatkan oleh perbedaan masalah furu' dalam aqidah. Dengan demikian beliau telah meletakkan salah satu prinsip dakwah yang harus dipegang teguh oleh para da'i. hendaklah para da’i melangkah di atas pijakan mereka dan mengaplikasikan petunjuknya secara benar, jauh dari sikap berlebih-lebihan. Dalam akhir pembahasan ini insya Allah akan secara lebih jelas diuraikan.



Perhatian Imam Syahid Hasan Al-Banna Terhadap Ukhuwwah Kini kita telah beralih kepada Imam Syahid dan bagaimana beliau memberikan perhatiannya kepada masalah [38] ukhuwah dan ta’liful qulub untuk memperjelas bagaimana persesuaian pandang antara kedua Imam dalam menempuh jalan da’wah. Bagaimana perhatian beliau terhadap ukhuwah bisa kita simak ungkapan-ungkapan berikut ini: Nama jamaah yang beliau pimpin adalah Ikhwanul Muslimin. Dan beliau menjadikan ukhuwwah sebagai salah satu dari sepuluh rukun bai'ah yang disebutkan dalam Risalatut Ta'lim. Arkanul Bai'ah yang sepuluh itu adalah: al-fahm (paham), al-ikhlash, al-amal, al-jihad, at-tadhiyyah (pengorbanan), at-tha'ah (taat), ats-tsabat (teguh), at-tajarrud (murni dalam komitmen) al-ukhuwwah dan ats-tsiqah (percaya penuh). Itulah pondasi sistem usrah yang menjadi sel pertama bangunan jamaah Ikhwanul Muslimin. Sedangkan rukun usrah yang diupayakan untuk menegakkannya ada tiga: atta'aruf (perkenalan), at-tafahum (saling memahami) dan at-takaful (saling menanggung). Setiap risalah yang ditulis oleh Imam Syahid tidak pernah lepas dari ungkapan tentang ukhuwwah.



Khilaf Fiqih itu Bukan Pemecah-Belah Imam Syahid sepakat dengan Syaikhul Islam tentang bahwa khilaf dalam masalah fiqih tidak boleh melahirkan adanya perpecahan di kalangan kaum muslimin. Imam Syahid berkata dalam rukun al-fahm: "Khilaf fiqih dalam masalah furu' seyogyanya tidak menjadi sebab perpecahan dalam agama, tidak menimbulkan adanya perpecahan dan saling membenci. Setiap mujtahid mendapatkan pahalanya. Meskipun demikian tidaklah niengapa membahasnya secara 'ilmiyah dan di bawah naungan cinta karena Allah serta bekerja sama mencapai kebenaran tanpa harus menyeretnya ke jurang ta'asshub." (Majmu'ah. Rasail, hal. 269) [39]



Shahabat Berbeda Pendapat Tapi Tidak Berseteru. Imam Syahid menjelaskan bahwa para shahabat pernah berbeda pendapat dalam beberapa hal, namum tidak menjadikan shaf mereka terpecah-belah dan ukhuwwah mereka retak. Maka kenapa kita merobek ikatan ukhuwwah kita lantaran masalah serupa? Beliau berkata: "Kita selalu berusaha toleran kepada semua orang yang berbeda dengan kita dalam masalah-masalah furu'. Kita melihat bahwa hal itu tidak selayaknya menjadi penyebab adanya dinding yang menghalangi terjalinnya ribatul qulub, saling mencinta dan bekerja sama dalam kebaikan. Hendaklah kita pahami makna Islam dengan batas-batasnya yang luas dan syamil (menyeluruh). Bukankah kita ini dituntut mencintai saudara-saudara kita sebagaimana kita mencintai diri kita? Bila demikian halnya kenapa kita berselisih?. Bukankah akan lebih baik bila pendapat kita menjadi bahan kajian bagi mereka dan



pendapat mereka menjadi kajian bagi kita. Kenapa kita tidak saling memahami dalam suasana bersih penuh ukhuwwah, bila di sana banyak faktor yang dapat menyatukan kita? Mereka, para shahabat rasul Saw, dahulu pernah berselisih pendapat di antara sesamanya, namun apakah perbedaan pendapat ini membuat hati mereka berselisih? Apakah shaf dan kesatuan mereka terperah-belah? Sekali-kali tidak. Kisah Bani Quraidhah masih jelas terpampang di hadapan kita. Para shahabat telah berbeda pendapat, padahal mereka adalah orang-orang yang paling dekat masanya dengan [40] Rasulullah Saw dan paling tahu terhadap hukum, kenapa kita berseteru hanya lantaran perbedaan pendapat dalam hal yang tidak seberapa. Dan apabila para imam – yang mereka adalah orang-orang yang paling tahu akan kandungan Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya – telah pula berselisih pendapat di antara sesamanya, mereka saling mengcounter pendapat satuu sama lain, kenapa kita tidak melapangkan dada kita sebagaimana mereka berlapang dada terhadap sesamanya?" (Majmu`ah Rasail, Da'watuna, hal, 24, 25)



Iman dan Ukhuwwah, Bukan Harta dan Kekuatan. Dalam kesempatan lain Imam Syahid menjelaskan bahwa satu-satunya upaya efektif untuk merealisasikan tujuan-tujuan jamaah Ikhwanul Muslimin adalah dimulai dengan pribadi muslim dan diakhiri dengan tegaknya Daulah Islamiyah 'alamiyah. Dan sarananya bukan berujud harta dan kekayaan, akan tetapi iman dan ukhuwwah. Selanjutnya beliau berkata: "Adapun sarana untuk mewujudkan itu semua bukanlah dengan harta. Sejarah, semenjak dahulu hingga kini, mengajari kita bahwa dakwah, sejak langkah pertamanya, tidak tegak dengan harta dan tidak pula berkembang dengannya sama sekali. Benar, harta dibutuhkan oleh dakwah pada tahapan-tahapan tertentu. Namun ia tidak menjadi pilar dan penyangga utamanya. Para tokoh dan pendukung dakwah selalu terdiri dari orang-orang yang miskin harta. Tanyakan kepada sejarah ia akan menjelaskan itu padamu.



Kekuatan Juga Bukan Sarana Utama Dakwah yang sebenarnya itu obyek utamanya adalah ruh. Setelah ruh memberi respon ia membisiki hati, dan selanjutnya hati mengetuk pintu-pintu jiwa. Maka dari itu [41] adalah suatu yang tidak masuk akal apabila ia dapat sampai dan menjadi kokoh dengan perantara tongkat dan tombak. Akan tetapi sarana yang dipakai untuk memfokuskan keberhasilan bangunan dakwah dan kekokohannya adalah dengan membaca tulisan sejarah perjalanan jamaah. Hal itu dapat disimpulkan dengan dua kata: iman dan amal, serta ukhuwwah dan kasih sayang. Apa ada yang lebih banyak yang dikerjakan Rasulullah Saw dalam menegakkan bangunan dakwahnya pada generasi pertama dari kalangan shahabat kecuali menyeru mereka untuk beriman dan beramal, setelah itu hati-hati mereka beliau satukan dalam ikatan kasih sayang dan persaudaraan." (Da'watuna, fi Thaurin jadid hal. 123) "Mereka telah beriman dengan keimanan yang paling dalam, paling kuat, paling suci dan paling abadi kepada Allah Swt dengan pertolongan dan dukungan-Nya. "Apabila kalian menolong Allah niscaya tiada yang mengalahkan kalian". (Ali Imran : 160) Mereka juga orang-orang yang paling tsiqah (percaya) dengan kesungguhan dan kepemimpinan Rasulullah Saw: "Telah ada untuk kalian dalam diri Rasulullah teladan yang baik". (Al Ahzab : 21) Dan mereka demikian yakin dengan keistimewaan dan fungsi manhaj ilahi:



"Telah datang kepada kalian dari sisi Allah cahaya dan Kitab yang jelas, yang dengan itu Allah memberi petunjuk jalan keselamatan kepada orang yang mengikuti keridhaan-Nya". (Al- Maidah : 15, 16) Mereka juga begitu yakin dengan keagungan ukhuwah dan kesuciannya: [42] "Sesungguhnya orang-orang mu'min itu bersaudara". (Al-Hujurat: 10)". (Majmu'ah Rasail, alIkhwan Al-Muslimin tahta rayatil Qur'an, hal. 100, 101) Demikianlah dengan jelas Imam Syahid telah menunjukkan dan meyakini tingginya kedudukan ukhuwwah dan beliau mengingatkan adanya hati-hati yang ]alai dan tidak peduli dengan konsep dasar dalam agama ini.



Ukhuwwah Adalah Bagian Dari Bekal Kami "Imam Syahid menjelaskan bahwa tujuan jamaah Ikhwanul Muslimin adalah mewujudkan pribadi muslim, rumah tangga muslim, masyarakat muslim dan pemerintah muslim, yaitu pemerintah yang akan memimpin negeri-negeri Islam dan menghimpun seluruh komunitas kaum muslimin, menegakkan kembali menara keagungan mereka, mengembalikan kembali tanah air, bumi, dan negeri mereka yang selama ini terampas kemudian memanggul bendera jihad dan panji dawah kepada Allah sehingga dunia ini tunduk di bawah naungan Islam. Setelah menjelaskan tujuan-tujuan ini beiiau menjelaskan bekal yang harus dimiliki untuk mewujudkannya seraya berkata: "Bekal kami adalah para salaf (pendahulu) kami. Dan senjata yang pernah dipakai pimpinan dan teladan kami, Muhammad Rasulullah Saw dan para shahabatnya untuk bertempur dengan sedikit bilangan dan sederhananya perlengkapan serta besarnya kesungguhan, itulah senjata yang akan kami pakai dalam rangka memperjuangkan dunia ini dari mula." (Tahta Rayatil Islam, hal. 100, 101) "Maka terhimpunlah kekuatan aqidah dengan kekuatan persatuan. jadikanlah jamaah mereka jamaah teladan yang [43] kalimatnya senantiasa muncul di permukaan dan seruannya selalu menang meskipun seluruh penghuni bumi menjegalnya. Adakah yang dilakukan para da'i dahulu hingga kini lebih banyak dari itu? Mereka menyeru dengan fikrah, menjelaskan kepada orang dan mendakwahkannya. Mereka meyakininya, mereka bekerja dalam rangka mewujudkannya dan mereka berhimpun di sekelilingnya. Makin bertambahlah bilangan pendukungnya dan makin menggema pula gaung Fikrahnya hingga batas yang amat jauh menembus batas-batas ruang dan waktu. "itulah sunnatullah dan tiada bagi sunnatullah itu pengganti." (Majmu'ah Rasail, Da'watul Ikhwan fi Thaurin jadid, hal. 123, 124).



Kekuatan Aqidah, Ukhuwwah, Kemudian Senjata. Beliau menjelaskan bahwa Ikhwanul Muslimin bekerja dalam rangka memperkuat aqidah dan iman, persatuan dan ukhuwwah kemudian senjata. Dengan berpadunya tiga kekuatan inilah mereka akan bertempur menghadang durjana yang melampaui batas. Beliau selanjutnya berkata tentang Ikhwan: "Mereka semua tahu bahwa tingkatan pertama kekuatan adalah kekuatan aqidah dan iman. Kernudian persatuan dan ukhuwwah, setelah itu kckuatan tangan dan senjata. Sebuah jamaah tidak dapat dikatakan kuat sebelum terpenuhinya tiga kekuatan tersebut. Maka apabila kekuatan tangan dan senjata dipergunakan padahal shafnya cerai-berai, nizham (struktur)nya berantakan dan iman serta aqidahnya lemah, niscaya akhir perjalanannya adalah [44] kehancuran dan kebinasaan." (Majmu'ah Rasail, Al-Mu'tamarul Khamis, hal. 169)



Akhirnya, itulah nukilan singkat yang menjelaskan kepada kita titik temu kedua imam, Ibnu Taimiyah dan Imam Syahid, dalam menjaga keutuhan ukhuwwah dan jamaah, ta'liful qulub dan kesatuannya. Mereka berdua sepakat dalam hal bahwa: - Ukhuwwah memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam Islam. - Ukhuwah merupakan kekuatan yang tidak teruntuhkan dengan senjata apapun, apalagi hanya lantaran perbedaan dalam masalah furu', baik menyangkut fiqih maupun aqidah. - Kita diutamakan untuk meninggalkan hal-hal yang mustahabbat yang sekiranya dapat menyebabkan adanya perpecahan dan membangkitkan kedengkian. Itulah beberapa prinsip yang lahir dari pandangan yang tajam dan akal yang bijak, yang ia dianjurkan Al-Qur'an dan ditegaskan oleh Rasul sayyidul anam. Simaklah, bagaimana Al-Qur'an menerangkan kepada kita bahwa membunuh dengan senjata, yang itu merupakan salah satu dosa besar, ternyata tidak serta-merta dapat melepaskan tali ukhuwwah pelakunya secara total. Allah SWT berfirman: "Wahai orang-orang yang beriman telah ditetapkcan atasmu qishash berkenaan dengan orang yang dibunuh. Dan merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, wanita dengan wanita. Maka barang siapa mendapat pemaafan dari saudaranya hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula. Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan [45] suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas setelah itu maka baginya siksa yang sangat pedih". (Al-Baqarah :178) Ketika Rasulullah Saw hijrah dari Mekkah ke Madinah maka yang pertama beliau lakukan adalah membangun masjid dan mengikatkan tali ukhuwwah. Karena di dalam masjid itulah hati ummat terhimpun dalam ketaatan kepada Allah dan terikat kepadaNya. Sehingga masjid juga merupakan unsur perekat ikatan tali ukhuwwah dengan seringnya pertemuan di dalamnya. Dalam masjid itulah dibangun ta'liful qulub, kesucian jiwa, jalinan ruh, tautan kasih sayang dan cinta kasih karena Allah. Kepada para pemuda pemandu dakwah ilallah, perlu saya ingatkan sekali lagi, jagalah ukhuwwah dan jamaah. Dengan menjaganya kalian telah menjaga bangunan agama. Dengan kuatnya ukhuwwah Islam akan tegak, dan lantaran rapuhnya Islam akan hancur. Ukhuwwah itu ciri khas iman dan tafarruq itu ciri khas kekufuran. "Dan berpegang teguhlah dengan tali (agama) Allah semuanya dan jangan bercerai-berai. Ingatlah nikmat Allah yang telah diberikan kepada kalian tatkala kalian saling bermusuhan lantas Allah menyatukan hati-hati kalian maka dengan nikmat itulah kalian jadi bersaudara ... ". (Ali `Imran: 102) [46]



TASHAWWUF Telah sering kita dengar pembicaraan mengenai tashawwuf. Ada sebagian mereka yang memujinya secara berlebihan namun ada pula yang secara habis-habisan mencelanya. Hingga akhirnya pemahaman menjadi kabur dan kebenaran menjadi sulit ditangkap. Namun demikian Allah Swt telah membangkitkan para ulama yang dapat menjelaskan secara benar hakikat ini dengan timbangan syara'. Sebagian ulama tersebut adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Imam Syahid Hasan Al-Banna. Kedua beliau telah



memaparkan pendapatnya tentang tashawwuf dan sekali lagi, mereka memiliki titik temu dalam pandangannya itu. Sebuah pandangan yang arif dan ada di jalan tengah: Dan itulah pendapat dan pandangan yang menegaskan kebenaran dan mengingkari kebathilan tanpa sikap berlebihan. Kini, mari kita simak nukilan dari pendapat-pendapat beliau berdua.



TUMBUHNYA TASHAWWUF Tashawwuf pertama kali muncul di Bashrah. Syaikhul Islam berkata: Pertama kali muncul tashawwuf itu dari Bahsrah. Sedang orang yang pertama kali membangun tashawuf adalah shahabat-shahabat Abdul Wahid bin Zaid. [47] Sedangkan Abdul Wahid adalah salah satu dari sahabat Hasan. Ketika itu di Bashrah ada fenomena ekstrim dalam zuhud, ibadah, khauf (rasa takut) dan sebagainya yang tidak pernah ada bandingannya selama ini." (Al-Fatawa juz. 11, hal. 6,7) Syaikhul Islam telah mengambil pendapat yang kuat mengenai penamaan tashawwuf, yaitu dari pakaian yang berwarna shuf.



SEPUTAR KERANCUAN MASALAH TASHAWWUF Pada awalnya adalah orang-orang yang menjalani kehidupan zuhud. mereka begitu gigih dan tegar dalam menjalani gaya hidupnya itu sehingga melahirkan perilaku yang tidak pernah dikenal pada masa generasi pertama Islam, baik pada masa shahabat maupun tabi'in. Seperti teriak-teriak bila mendengar Qur'an dan lain sebagainya. Ada diantara mereka yang alim dan taqwa tetapi ada pula yang jahil. Ada diantaranya yang ikhlas dan jujur namun ada pula yang dusta. Oleh karena itu orangpun simpang-siur antara yang memuji dan mencelanya. Syaikhul Islam berkata: "Orang-orang berselisih pendapat mengenai tashawwuf. Satu kelompok mencela tashawwuf seraya berkata: Mereka adalah para ahli bid'ah dan telah keluar dari sunnah. Dari kelompok dan para imam mereka banyak kita dapatkan nukilan pendapatnya yang cukup dikenal yang kemudian diikuti oleh beberapa kelompok yang lain terutama dari kalangan ahli fiqih dan ilmu kalam. Sementara kelompok yang lain memujinya secara berlebihan dan mereka mengatakan bahwa ahli tashawwuf adalah makhluq yang paling mulia dan paling sempurna setelah para Nabi." (Al-Fatawa, juz. 11, hal. 18) [48] Pendapat Syaikhul Islam: Setelah beliau mengungkap pendapat orang tentang tashawwuf beliau kini mengungkapkan pendapatnya sendiri, yang menempuh jalan tengah dengan berpatokan kepada timbangan syara'. Beliau berkata: "Pendapat kedua kelompok di atas sama-sama tercelanya, yang benar adalah: Mereka itu orang-orang yang taat kepada Allah sebagaimana usaha orang-orang yang ahli taat lainnya. Ada sebagian mereka yang ada di depan karena kesungguhan usahanya, ada di antara mereka cukupan. Di antara keduanya ada orang-orang yang berusaha namun jatuh dalam kekeliruan, sementara yang lain ada yang ahli berbuat dosa kemudian bertobat atau tidak bertobat sama sekali. Sedangkan di antara orang-orang yang menisbatkan dirinya kepada golongan mereka ada pula yang menganiaya diri sendiri dan suka berbuat maksiat kepada Tuhannya". (Al-fatawa, juz 11, hal. 16,17).



TASHAWWUF ITU HAKIKATNYA BAIK Syaikhul Islam menjelaskan bahwa tashawwuf itu asalnya baik. Ia berakar pada sikap zuhud, ibadah, tazkiyatun nafs, shidiq dan ikhlash. Syaikhul Islam berkata: "Tashawwuf bagi mereka memiliki beberapa prinsip dan perilaku yang telah ma'ruf (dikenal), yang telah mereka bicarakan batas-batas dan asal-usulnya. Seperti apa yang mereka katakan bahwa Shufi (ahli tashawwuf) adalah orang-orang yang bersih dari kotoran dan sarat dengan muatan pikir. Baginya sama saja antara emas dan batu. Tashawwuf – demikian lanjutnya – adalah menyembunyikan makna dan menghindari pengakuan dan semisalnya. Mereka menghendaki dari makna tashawwuf itu makna shidiq". (Al-Fatawa, juz. 11, hal. 16, 17) [49]



KOTORNYA TASHAWWUF Kita telah tahu bahwa tashawwuf pada dasarnya baik karena ia tegak di atas hal-hal yang ditetapkan Islam sebagai aplikasi kandungan Kitab Allah dan Sunnah-Nya. Namun pada akhirnya banyak orang yang menisbatkan dirinya pada kelompok tashawwuf ini yang memiliki aqidah dan tujuan yang menyeleweng dari semestinya. Mulailah praktek khurafat dan kebathilan merasuk ke dalamnya, yang bahkan diingkari oleh tokoh-tokoh yang lurus dari kalangan tashawwuf sendiri. Syaikhul Islam berkata: "Beberapa kalangan dari ahli bid'ah dan zindiq telah menisbatkan dirinya pada tashawwuf, namun di kalangan tokohnya yang lurus mereka tidak dianggapnya. Seperti Al-Hallaj misalnya. Banyak diantara tokoh tashawwuf yang mengingkarinya dan mengeluarkannya dari shaf mereka. juga misalnya Junaid bin Muhammad Sayyiduth Thaifah dan sebagainya, sebagaimana dalam Thabaqat Suffhiyyah dan disebutkan pula oleh Al-Khatib Abu Bakr AlKhatib dalam Tarikh Baghdad." (Al Fatawa juz. 11, hal 18) Ketika itulah dalam tashawwuf bercampur-aduk antara hal-hal yang haq dan yang bathil, yang lurus dan yang sesat, sunnah dan bid'ah, kebodohan dan ilmu. Merasuklah ke dalamnya racun filsafat yang aneh-aneh. Tashawwuf gaya filsafat yang aneh ini telah mendapatkan kritik dan pengingkaran yang tajam dari kalangan para ahli tashawwuf yang lurus. Dalam pada itu tashawwuf dapat dibagi menjadi dua: 1. Tashawwuf Ahli Ilmu dan Istiqamah "Seperti Fudhail bin 'Iyadh, Ibrahim bin Adham, Abi Sulaiman ad-Darani, [50] Ma'ruf alKarkhi, junaid bin Muhammad, Sahl bin Abdullah al-Tastari dan lain sebagainya, Semoga Allah memberikan ridha-Nya kepada mereka." (Al-fatawa, juz 11, hal. 233) 2. Tashawwuf Filsafat, Bid'ah dan Zindiqah. Tashawwuf serupa ini yang memunculkan ajaran-ajaran aneh semisal wihdatul wujud (menyatukan alam wujud), hulul dan ittihad (kesendirian total), du'a al-amwat (doanya orang mati) dibarengi dengan nadzar, mendakwakan dirinya tahu hal ghaib dan semisal ini yang terang-terang bertentangan dengan syari'at Islam yang bersih dan suci. Kedua model tashawwuf ini masih ada hingga sekarang di beberapa negeri di dunia. Namun kelihatannya justru tashawwuf model yang kedua yang paling banyak tersebar.



SIKAP IMAM SYAHID Imam Syahid telah mengambil sikap yang adil dan jalan tengah berhadapan dengan



tashawwuf ini, beliau puji hal-hal yang baik di dalamnya dan beliau cela penyelewenganpenyelewengannya. Sedangkan tolok ukur yang beliau pakai adalah Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. ttulah timbangan yang adil yang menempatkan sesuatu pada tempatnya. Imam Syahid menyadari sepenuhnya sejauhmana penyelewengan dan penyimpangan yang terjadi dalam dunia tashawwuf. Hal mana telah berdampak negatif pada kehidupan ummat Islam, sehingga melapangkan jalan bagi masuknya kerusakan, kelemahan, kefakiran, keterbelakangan, kehinaan dan kebodohan hingga ummat ini mengalami penderitaan baik dunia maupun agamanya dalam bentuknya yang paling parah. [51] Beliau menyadari sepenuhnya akan kondisi buruk ini sehingga beliau menawarkan konsep pengobatannya dengan menggunakan dua sarana: Pertama: Beliau menyebut kebaikan-kebaikan tashawwuf pada asal mulanya, semisal akhlaqul karimah, zuhud dan jihad. Kedua: Beliau menuturkan pula kejelekan-kejelekannya yang berupa bid'ah agama telah keluar jauh dari rel Islam. Ibrah itu dalam kandungan bukan nama, dalam makna bukan kerangka, serta dalam hakikatnya bukan kata-kata. Kini kita beralih kepada apa penjelasan beliau tentang itu semua.



ISLAM ITU MENYELURUH BUKAN RUHANIAH SEMATA Salah satu hal negatif yang didapati dalam tashawwuf adalah mereka membatasi Islam hanya sebatas peribadatan sempit dan kerohanian. Adapun yang bernama Syumuliyatul Islam, mereka tidak mengenalnya sama sekali, Berkatalah Imam Syahid: "Dengarlah wahai akhi, dakwah kami adalah dakwah yang menghimpun segala sesuatu yang disebut Islam. Kata (Islam) ini mengandung makna yang sangat luas bukan sebagaimana yang dipahami oleh banyak orang. Kami berkeyakinan bahwa Islam memiliki makna yang universal, menyangkut seluruh aspek kehidupan. Artinya, Islam memberi bimbingan dam aturan yang rinci untuk seluruh masalah kehidupan. Ia tidak bisu menghadapi problema kehidupan, namun sebaliknya ta selalu siap memberi solusi yang membawa maslahat hagi ummat manusia. Sebagian orang memahaml Islam secara keliru. Mereka menganggap bahwa syari'at Islam hanyalah seperangkat [52] aturan ibadat dan petunjuk rohani. Mereka beramal hanya dalam batas yang sempit ini sesuai dengan pemahamannya. Akan tetapi kita memahami Islam tidak sebatas apa yang mereka pahami, yaitu pemahaman yang luas dan menyeluruh sebagai aturan kehidupan yang berdimensi dunia dan akhirat. Pemahaman ini bukanlah sikap latah dan mencari-cari, akan tetapi itulah yang kita fahami dari kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya serta salafus shalih. Kalau pembaca ingin memahami dakwah Ikhwan lebih jauh dari sekedar kata "Islamiyah" maka ambillah mushhaf dan pahamilah isinya dengan melepaskan seluruh subyektifitas dan hawa nafsunya. Dengan demikian ia akan mengetahui hakikat dakwah Ikhwan." (Mqjmu'ah Rasail, Da'watuna, hal. 16)



KAMI BUKAN KELOMPOK DARWISY Pada kesempatan lain imam Syahid menjelaskan aliran tashawwuf yang tercela dan mungkar, dimana aliran ini hanya melihat Islam dari sudut pandang yang sempit dan tidak menyeluruh sebagaimana seruan Allah Swt dalam firman-Nya: "Wahai orang-orang yang beriman masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhannya dan janganlah mengikuti langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu adalah musuh yang



nyata bagimu". (Al-Baqarah : 208) Dan firman-Nya pula: "Katakanlah bahwa shalatku, ibadahku, hidup dan matiku adalah bagi Allah, Tuhan semesta alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya, dengan itulah saya diperintahkan dan saya adalah awal dari orang-orang muslim". (Al-An'aam: 162, 163) Berkata Imam Syahid : [53] "Wahai para pemuda, telah keliru orang yang mengatakan bahwa jamaah Ikhwanul Muslimin adalah jamaah Darwisy. Yaitu jamaah yang wawasan Ibadahnya dibatasi dalam lingkup yang sempit. Agama bagi mereka sekedar shalat, puasa, dzikir dan membaca tasbih. Generasi pertama Islam tidak mengenal dan meyakini Islam dalam wujud seperti itu. Namun mereka meyakini sepenuhnya bahwa Islam adalah aqidah dan ibadah, tanah air dan kebangsaan, akhlaq dan materi, wawasan dan perundang-undangan, toleransi dan kekuatan. Mereka meyakini bahwa Islam adalah aturan bagi seluruh aspek kehidupan. Islam mengatur kehidupan dunia sebagaimana ia juga mengatur alam akhirat. Mereka mengimani Islam sebagai aturan operasional fisik dan rohani sekaligus. Oleh karena itu maka Islam dalam pandangan mereka adalah agama dan negara, mushaf dan senjata. Meski demikian mereka tidak mengabaikan aspek-aspek ‘ubudiyah dan ketaatan kepada perintah Tuhannya. Mereka selalu berusaha memperbaiki shalatnya, tilawah Qur'an dan berdzikir sebagaimana diperintahkan Allah dalam batas-batas yang telah ditetapkan syara' tanpa berlebihan. Mereka memahami apa yang Rasulullah Saw sabdakan: "Sesungguhnya agama ini kokoh, maka pergaulilah ia dengan kelembutan ..." Mereka mengambil bagian dunia dalam batas yang tidak sampai menyia-nyiakan akhiratnya, sesuai dengan firman Allah: "Katakanlah, siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan untuk hamba-hamba-Nya dan rizqi yang baik". (Al-A'raf: 32) [54] Mereka mengetahui bahwa gambaran yang terbaik bagi jamaah adalah sebagaimana sebutan bagi para shahabat: Mereka seperti rahib di waktu malam dan pasukan perang di siang hari. Gelar itulah yang ingin dicapai oleh jamaah, kepada Allah saja kita mohon pertolongan." (Majmu`ah Rasail (Ilasy Syabab), hal. 7,88)



TIDAK ADA PERMOHONAN KEPADA AHLI KUBUR imam Syahid memberi kritik kepada tashawwuf yang tercela, yang tidak mengambil Islam secara utuh. Kemudian menunjukkan hal-hal yang negatif itu dengan tegas namun lembut. "Jimat, mantera, ramalan, perdukunan dan sejenisnya adalah kemungkaran yang wajib diberantas kecuali bila ada petunjuk dari Qur'an atau mantera yang ma'tsur dari Rasulullah Saw." (Majmu'ah Rasail, Risalatut Ta'lim, hal. 268, 270) Dan katanya pula: "Ziarah qubur adalah ramalan yang masyru' (disyari'atkan) bila dilakukan dengan etika yang dicontohkan Nabi. Akan tetapi memohon kepada ahli kubur, minta hajat kepada mereka dari jauh maupun dekat, bernadzar untuk mereka, membangun makam, membuat dinding dan penerangan, mengusapnya dengan maksud tabarruk dan lain sebagainya adalah merupakan perilaku bid'ah besar yang wajib diperangi. janganlah hal ini ditolerir demi menutup kemungkinan yang lebih sesat." (Majmu'ah Rasail, Risalatut Ta'lim, hal. 268, 270) Itulah beberapa ucapan Imam Syahid yang menjelaskan sikap beliau menghadapi tashawwuf yang tercela beserta pemeluknya. Kita rnendapati di sini hal-hal yang berhuhungan sengan fiqhud dakwah, yaitu beliau menyebut aliran tashawwuf yang tercela namun tanpa menyebut



namanya secara langsung. [55] Ini adalah akhlak Nabi Saw dalam mensikapi perilaku tercela: "Kenapa orang-orang adayang mengatakan begini dan begitu ..." (HR. Bukhari dan Muslim) dengan hanya menyebut kejelekan dan perbaikannya tanpa menyebut pelakunya, dengan tujuan merang-sang dirinya untuk menerima nasehat serta merubahnya dengan mudah. Adapun ketika menyebut kebaikan, beliau menyebutkan pelakunya sebagai perangsang untuk lebih meningkatkannya. Dari penjelasan sebelumnya kita tahu tashawwuf pernah melalui tahapan-tahapan sejarahnya, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Taimiyah. Pada mulanya adalah perilaku zuhud, hidup sederhana dan ketinggian jiwa serta jauh dari cinta dunia. Kemudian tercampur dengan filsafat, bid`ah, khurafat, dan kebodohan. Maka jadilah tashawwuf itu dua bentuk: Pertama, tashawwuf yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah dan itu pantas dipuji. Kedua, tashawwuf yang bertentangan dengan Kitab dan Sunnah, dan ia laik mendapatkan celaan. Maka dari itu menggeneralisir pujian tidaklah benar sebagaimana tidak benarnya memutlakkan celaan. Kita telah menyimak bagaimana Imam Syahid mensikapi tashawwuf yang tercela dan para penganutnya. Kini kita simak bagaimana sikap beliau menghadapi tashawwuf yang ashalah (orisinil), yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah.



HAKIKAT TASHAWWUF Imam Syahid memuji tashawwuf dalam kerangka makna yang shahih, yang sesuai dengan jiwa Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Bila sesuai dengan kitab Allah dan [56] Sunnah Rasul kita terima tanpa melihat namanya apa. Akan tetapi bila bertentangandengan keduanya, kita tegas menolaknya meskipun dikemas dengan nama yang indah seperti apapun. Atas dasar inilah pujian dilontarkan. Imam Syahid menjelaskan bahwa fikrah Ikhwanul Muslimin mengandung segala hal yang berorientasi perbaikan, sebagai kesimpulan atas pemahaman menyeluruh terhadap ajaran Islam. Berkatalah Imam Syahid : "Kalian dapat pula mengatakan bahwa Ikhwanul Muslimin adalah: 1. Da'wah Salafiyah, karena mereka menyeru ummat untuk mengembalikan Islam kepada sumbernya yang jernih, yakni Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. 2. Thariqah Sunniyah, karena mereka membawa dirinya untuk beramal sesuai dengan bimbingan Sunnah dalam segala hal. Khususnya dalam aqidah dan ibadah yang dengan itulah jalannya yang dilalui menjadi jelas. 3. Hakikat Shufiyah, karena mereka mengetahui bahwa asas kebajikan adalah kesucian jiwa, kebersihan hati, melatih amal, cinta kepada Allah dan mengikatkan diri pada kebaikan. 4. Hai'ah Siyasiyah ... 5. Jama'ah Riyadhiyah ... 6. Rabithah Ilmiyah Tsaqafiyah ... 7. Syirkah Iqtishadiyah. 8. Fikrah Ijtima'iyah ... (Majmu'ah Rasail, (Mu'tammar Khamis), hal. 156, 157) Demikianlah Imam Syahid memuji kebaikan-kebaikan yang ada dalam tashawwuf, seperti kesucian jiwa, kebersihan hati, ikhlash, 'iffah dan semisalnya. Dan ia menegaskan bahwa hal ini merupakan inti dan hakikat dari fikrah da'wahnya lantaran bersesuaian dengan Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. [57]



PARA AHLI TASHAWWUF ADALAH PARA MUJAHID Pada kesempatan lain Imam Syahid memuji tashawwuf dengan menyebutkan beberapa



tokohnya yang terlibat dalam jihad fi sabilillah. Ini merupakan fenomena agung yang telah disaksikan sejarah pada masanya dan tidak seorang pun yang dapat mengingkarinya kecuali mereka yang takabbur dan congkak. Berkata Imam Syahid: "Untuk melengkapi pembicaraan kita ini, barangkali ada baiknya penulis ingatkan bahwa kaum muslimin sepanjang masa – tentu sebelum masa gelap yang jiwa patriotisme telah lenyap dari dada kaum muslimin sebagaimana sekarang ini – tidak pernah meninggalkan jihad. Baik para ulama, para shufi maupun cendikiawannya. Mereka semua senantiasa siap siaga untuk itu. Sebutlah umpamanya Abdullah bin Mubarak, sang faqih yang zuhud dan ahli ibadah. Dia menggunakan sebagian besar waktunya untuk jihad. Sebagaimana pula Abdul Wahid bin Zaid, seorang shufi yang zuhud. Adalah pula Syaqiq al-Bakhla, seorang syaikh sufi yang pada masanya melibatkan diri beserta murid-muridnya memikul senjata untuk berjihad. Ada lagi Al-Badrul Aini, pensyarah Bukhari yang faqih dan ahli hadits. Ia mengajar setahun, berperang setahun dan berhaji setahun. Al-Qadhi Asad bin Al-Farat Al-Maliki, terkenal sebagai komandan angkatan laut pada masanya. Dan adalah Imam Syafi'i yang masyhur itu, ternyata ia adalah ahli melempar. Beliau melempar sepuluh kali tidak pernah meleset sekali pun. Nah demikianlah para ulama salaf kita. Di mana posisi kita dari keagungan sejarah ini?" (Majmu’ah Rasail, Risalatul Jihad, hal. 260.) [58] Salah seorang yang memperkenalkan dakwah semisal ini adalah Imam yang mulia, Hasan Al Bashri. Kemudian diikuti oleh banyak kalangan para da'i yang shalih. Hingga banyak kelompok yang dikenal sebagai penyeru kepada dzikrullah, zuhud, dzikrul maut dan tazkiyatun nufus untuk taat dan taqwa kepada Allah. Dan banyak lagi nilai-nilai Islam selain ini. Mereka mengambil amaliyah ini dalam format yang baru dan dijadikanlah ia sebagai jalan hidup yang khas dengan tahapan-tahapan: dzikir, ibadah dam ma'rifah. Kemudian berakhir dengan masuk dalam sorga dan ridha-Nya. Inilah satu bentuk aliran tashawwuf yang saya namai: Ilmu tarbiyah was suluk (Ilmu pengetahuan dan tingkah laku). Tidak disanksikan lagi bahwa hal itu merupakan bagian dari inti ajaran Islam. Dan tidak diragukan bahwa tashawwuf telah berhasil mengobati kejiwaan yang dalam batas-batas tertentu tidak dapat dicapai oleh cara-cara lain. Dengan pola seperti ini mereka telah membimbing manusia untuk menunaikan kewajibankewajiban dari Allah, mengarahkan orientasi hidup hanya kepada-Nya, serta menjauhi larangan-larangan-Nya. Namun demikian kita mengakui bahwa sering kita dapati adanya sikap mubalaghah (berlebih-lebihan) dalam banyak hal karena pengaruh tradisi masyarakat pada masanya. Seperti berlebihan dalam berdiam diri, dalam berlapar-lapar, tidak tidur, 'uzlah (mengasingkan diri), meskipun itu semua ada akarnya dalam agama. Berdiam diri asalnya adalah berpaling dari laghwun (tindakan sia-sia), berlapar-lapar asalnya adalah puasa sunnah, tidak tidur asalnya adalah qiyamul lail dan ‘uzlah asalnya adalah menghindari penyakit hati dari dalam dirinya. Kalau saja semua ini dipraktekkan dengan batas-batas yang telah ditentukan syara' maka alangkah baik dan mulianya. [59] Sangat disayangkan bahwa dakwah tashawwuf tidak berhenti sampai di sini saja. Ia tercemar oleh ilmu-ilmu filsafat, manthiq (logika) dan warisan-warisan tradisi serta pemikiran ummat masa lalu. Bercampurlah antara nilai-nilai agama dengan hal-hal yang tidak ada kaitan apapun dengannya. Terbukalah pintu bagi merasuknya aliran zindiq, atheis, pemikiran yang rancu dan berbagai keyakinan aneh, yang kesemuanya mengatas namakan tashawwuf. Oleh karena itu semua pemikiran yang mengarah kepada zuhud dan hidup menderita serta pencapaian tingkat rohani tertentu lainnya harus disikapi dengan teliti dan hati-hati. Ia harus



ditimbang secara ketat dengan ukuran syara'. Sampai saatnya, datanglah nilai-nilai ini dalam bentuk aliran sehingga memunculkan kelompok-kelompok pengikutnya. Semua dengan ciri khas yang mereka pergunakan. Kepentingan politik pun akhirnya ikut mewarnainya sehinggga terbentuklah kelompokkelompok itu dalam lembaga militer atau lembaga-lembaga khas lain sebagai buah dari perjalanan sejarahnya yang panjang . Tidak disangsikan bahwa tashawwuf merupakan salah satu sarana paling efektif dalam ikut menyebarkan dienul Islam di banyak wilayah dari kota hingga pedalaman dimana wilayah itu tidak pernah terjangkau kecuali melalui tangan-tangan mereka. Sebagaimana terjadi di Afrika dengan padang pasir tanpa tepinya, juga di sebagian wilayah Asia. Tidak pula diragukan bahwa kaidah-kaidah tashawwuf dalam aspek tarbiyah wa suluk (pembinaan dan perilaku) memiliki pengaruh yang demikian kuat dalam hati dan jiwa. Ungkapan-Ungkapan para sufi sungguh memiliki bobot yang tidak pernah dijumpai pada ungkapan-ungkapan selainnya. Namun sangat disayangkan bahwa unsur asing yang mengotorinya telah merusak itu semua. [60] Adalah kewajiban para da'i untuk memikirkan bagaimana meluruskan kelompokkelompok seperti ini. Usaha perbaikan itu sesungguhnya mudah karena mereka telah memiliki kesiapan yang total untuk itu. Bahkan boleh jadi mereka adalah orang-orang yang terdekat dengan kebenaran bila diarahkan dengan cara yang benar. Maka yang dibutuhkan adalah mengerahkan sekelompok ularna yang shalih dan `alim, pembimbing yang jitu, jujur serta ikhlash untuk mengkaji masyarakat model seperti ini, memanfaatkan kekayaan ilmiah ini dan melepaskan mereka dari hal-hal asing yang mengotorinya kemudian mengarahkan mereka menuju qiyadah shalihah (kepemimpinan yang lurus)." (Mudzakkiratud Da'wah wa Da'iyah, hal. 16, 18)



CATATAN Satu hal yang perlu saya jelaskan di sini bahwa imam Syahid pernah terdidik pada sebagian masa hidupnya dalarn salah satu aliran tashawwuf yang terkenal masa Thariqah al-Hashafiyyah. Alangkah baiknya kita sedikit mengenal apa itu thariqah Al-Hashafiyah dan sejauh mana iltizam (komitment)nya kepada manhaj Allah. 'Ibrah (nilal pelajaran) itu pada kandungan bukan pada nama. Imam Syahid bercerita tentang thariqah ini: "Saya secara rutin mengamalkan wadzifah (semacam wirid) ar-ruzuqiyyah pagi dan sore. Dan saya semakin heran karena ayah membuat catatan kecil dengan menunjuk dalil-dalilnya yang keseluruhannya ternyata memiliki riwayat hadits yang shahih. Beliau menamai risalah kecilnya itu dengan: Tanwirul Af-idah az-Zakiyyah Biadillati Adzkar ar-Ruzuqiyyah. Dan wadzifah tersebut sesungguhnya tidak [61] lebih dari sekumpulan ayat-ayat suci Al-Qur'an dan hadits do'a-do'a pagi dan sore yang termaktub dalam Kitab dan Sunnah. Tidak ada satu pun kalimat yang aneh-aneh, ungkapan filsafat atau lainnya yang tidak mengandung do'a." (Mudzakkiratud Da'wah Wad-Da'iyah, hal 11) Kemudian beliau bercerita sedikit tentang Syaikh Hasnain al-Hashaf, beliau adalah syaikh Tariqah yang pertama, dan bagaimana pola da'wahnya. "Da'wah beliau dibangun di atas ilmu dan pengajaran, fiqih, ibadah, taat, dzikir, memerangi bid'ah dan khurafat yang meracuni ummat dan menegakkan kitab dan Sunnah sebagaimana yang dipegang teguh oleh para syaikhnya yang lain. Satu hal yang paling berkesan dalam hati dan tertanam dalam jiwaku dari perjalanan hidup beliau adalah



kegigihannya dalam ber-amar ma'ruf nahi mungkar, ketika itu beliau sungguh tidak gentar menghadapi celaan orang. Beliau tidak pernah surut dengan amar ma'ruf nahi mungkar ini meskipun menghadapi tantangan yang begitu berat. Sebagai contoh bisa saya sebutkan: "Suatu saat beliau mengunjugi orang yang bernama Basya, dia adalah seorang Perdana Menteri. Masuklah kemudian salah seorang ulama, beruluk salam dan membungkukkan badannya hingga mendekati ruku'. Maka bangkitlah syaikh dengan marah dan dipukullah kedua pipi orang itu dengan keras menggunakan kedua tangannya sambil berkata: "Hai berdirilah. Ruku' itu tidak boleh dilakukan kecuali hanya kepada Allah. Janganlah engkau menghinakan agama dan ilmu supaya engkau tidak dihinakan Allah." Tidak sepatah kata pun terucap ketika itu, baik dari orang 'alim tadi maupun dari Basya sendiri. Pada kesempatan lain, beliau mengunjungi masjid Husain ra, dengan sebagian muridnya. Ia berdiri di atas qubur [62] dan membacakan do'a ma'tsur: Assalaamu 'alaikum ahlad diyar minal mu'minin. Pada saat itu berkatalah salah seorang muridnya: "Wahai syaikh, mintalah kepada sayyidina Husain agar meridhai saya". Mendengar ini dengan serta-merta ia berpaling dan marah sambil berkata: "Yang meridhai saya, kamu dan dia hanyalah Allah." Setelah usai ziarah syaikh menerangkan hukum ziarah dan adab-adabnya dan dijelaskan di dalamnya hal-hal yang masyru' maupun bid'ah. Hal-hal inilah yang telah memberikan pengaruh dan melahirkan ketakjuban serta rasa hormat saya padanya. Teman-teman ketika itu memang banyak yang bercerita tentang kekeramatan syaikh namun itu semua tidak berpengaruh dalam jiwaku sebagaimana ketika saya melihat sikap 'amaliyah yang tegas ini. Sejak dahulu saya berkeyakinan bahwa karamah paling besar yang dianugerahkan Allah kepadanya adalah taufiq dan hidayah-Nya hingga beliau dapat menyebarkan da'wah Islam di atas pondasi yang lurus, yakni kecemburuan yang besar atas kema'siyatan, amar ma'ruf dan nahi mungkar." (Mudzakkirah Da'wah wad Da'iyah, hal 11, 13) Inilah beberapa hal yang disebutkan beliau tentang Thariqah al-Hashafiyah. Dan ternyata, sebagaimana yang anda baca, ia merupakan thariqah yang lurus, jauh dari hal-hal yang menyeleweng dari syara'.



KOMENTAR Allah SWT telah memberi anugerah kepada imam Syahid berupa hikmah dalam da'wah kepada Allah SWT Beliau menggunakannya untuk memperbaiki banyak celah dan kekurangan, membimbing banyak orang dengan penuh [63] sikap bijak. Hal ini begitu nampak pada sikapnya terhadap tashawwuf. Imam Syahid telah memberi rangsangan kepada mereka dengan sesuatu yang dicintainya. Yaitu sebuah kesucian jiwa, keakraban serta bimbingan ruhiyyah sehingga ketika mereka di bawah naungan syumuliatul Islam. Daya rangsang dari depan ini telah pula diikuti dengan dorongan dari belakang berupa penjelasan hal-hal yang bertentangan dengan Islam yang suci dan bersih agar mereka meninggalkan dan mengingkarinya.



IBRAH ITU PADA KANDUNGAN BUKAN PADA NAMA Istilah tashawwuf kini menjadi istilah yang didalamnya terkandung pengertian yang semrawut. Ada yang benar dan ada yang salah, ada yang haq ada pula yang bathil. Maka dari itu kita wajib memberi rincian sebelum menentukan hukumnya. Kita harus menolaknya bila yang dimaksud adalah pengertian tashawwuf yang salah, begitu pula sebaliknya kita harus



secara jujur membenarkannya bila yang dimaksud adalah tashawwuf dalam pengertiannya yang positif. Sedang tolok ukurnya tentu saja kitab Allah dan Sunnah rasul-Nya, sebagaimana firman-Nya: "Maka apabila kalian berselisih dalam suatu urusan kembalikanlah hal itu kepada Allah dan rasul, apabila kalian beriman kepada Allah dan hari Akhir. Itulah sebaik-baik ta'wil". (An-Nisa': 59). Tidaklah layak bagi seorang yang berakal sehat berbicara suatu masalah hanya dengan patokan istilah sebelum dipahami betul apa maksudnya. Kedua Imam telah memberi batasan dan kaidah yang baik dalam masalah ini. [64] Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: "Kata faqr (kefakiran) dan tashawwuf telah masuk dalam lingkaran masalah yang dicintai Allah dan Rasul-Nya. Hal ini diperintahkan dalam agama meskipun menggunakan istilah faqr atau tashawwuf. Hal itu karena Al-Qur'an dan Sunnah bila telah memberi petunjuk dan isyarat akan dicintainya sesuatu, maka sesuatu itu tidak menjadi berubah dan keluar dari lingkar cintanya hanya karena diberi nama yang lain. Sebagaimana masuknya a'malul qulub (aktivitas hati) semisal taubah, sabar, syukur, ridha, khauf, raja', mahabbah serta akhlaqul karimah yang lain. Namun di sana masuk juga a'mal sayyi'ah yang dibenci Allah dan RasulNya, seperti jenis hulul dan ittihad (bersatunya dzat Kkoliq dengan makhluk-Nya), juga perilaku rahbaniyah (kependetaan) yang jelas merupakan bid'ah dalam Islam, ado pula perilaku menentang syara' dan bentuk bid'ah lainnya. Hal ini semua merupakan larangan Islam meskipun dikemas dengan nama yang indah. Seorang mukmin yang cerdas akan sepakat dengan sekelompok orang sepanjang mereka sepakat dengan kitab dan sunnah atau taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebaliknya ia akan menentang mereka, siapapun saja orangnya, bila ternyata bertentangan dengan Kitab dan Sunnah atau bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya." (Majmu'. Al-Fatawa, juz. 11, hal. 28, 29). Sedangkan Imam Syahid berkata: "'Urf (istilah yang telah mentradisi) yang salah tidak dapat merubah hakikat ungkapan syar'i. Ia harus ditegaskan sesuai dengan batas-batas yang dimaksudkannya dan ambillah kesimpulan itu. Begitu juga, hati-hatilah terhadap istilah yang menipu dalam urusan agama dan dunia. Ibrah (pengamhilan pelajaran) Itu melalui kandungan bukan istilahnya." (Majmu'ah Rasail, Risalatut ta'lim, hal. 270). [65] Itulah pandangan kedua imam, semoga Allah memberi rahmat kepada mereka berdua. Apabila kita perhatikan, maka demi Allah keduanya memancar dari lentera yang satu, yakni lentera hikmah dan i'tidal (jalan tengah). Wahai para generasi shahwah, hendaklah kalian mengikuti jejak mereka berdua, berjalanlah dengan cahaya hikmahnya. Karena kita sekarang banyak sekali mendapatkan orang berselisih dan bertengkar hanya demi mempertahankan istilah dan nama. Yang satu melihat dengan kerangka pandang negatif maka dicelanya habis-habisan, sementara yang lain bertahan dengan pandangannya yang positif kemudian memujinya mati-matian. Muncullah dari sana perbedaan dan perselisihan yang mengotori hati dan merenggangkan hubungan. Bila saja kedua belah pihak berakal dan berpikir sehat niscaya mereka akan meninggalkan semua istilah itu dan kembali kepada makna yang dikandungnya. Dengan begitu Insya Allah segala perbedaan akan mudah diatasi.



KHILAF MASALAH FIQIH



SEBAB-SEBAB KEMESTIAN DAN SIKAP KITA MENGHADAPINYA Kedua Imam telah banyak berbicara masalah yang satu ini. Sebuah masalah yang telah menjadikan kaki tergelincir, mata hati tertutup, pemahaman sesat dan centang-perenang. Masalah ini adalah perbedaan pendapat dalam masalah hukum. Atau dengan kata lain khilaf fiqih dalam masalah-masalah furu' (cabang). Setelah kedua Imam telah mengutarakan pandangan-pandangannya dalam masalah ini, nampak sekali adanya kesatuan pandang di antara keduanya. Seolah-olah pelajaran yang disampaikan kepada Syaikhul Islam kemudian beliau menyampaikannya kembali dengan redaksi yang berbeda kepada kita. Dan nampak dengan jelas bahwa pendapat mereka itu bersesuaian dengan langkah para shahabat, tabi'in dan orang-orang yang mengikuti mereka.



SEBAB-SEBAB KHILAF MENURUT SYAIKHUL ISLAM Syaikhul Islam menyebutkan sebab-sebab khilaf dalam sepuluh poin. Kesepuluh poin tersebut adalah: 1. Barangkali karena haditsnya belum sampai kepadanya [67] 2. Hadits mungkin telah sampai akan tetapi tidak tsabat (kuat) baginya. Mungkin menyangkut orang yang menyampaikannya atau orang yang menyampaikan sebelumnya atau tokoh-tokoh sanadnya yang mungkin tidak ia kenal, tertuduh, atau jelek hafalannya. Atau boleh jadi karena tidak sampai kepadanya dengan sanad yang bersambung atau ia tidak yakin dengan matan (redaksi) hadits meskipun ia telah diriwayatkan oleh banyak perawi lain yang terpercaya bahkan dengan sanad yang bersambung. lni banyak sekali terjadi, dari kalangan tabi'in dan tabi'ihim sampai ulama-ulama terkenal setelahnya. 3. Ia meyakini haditsnya dha'if dan ikut berbeda dengan keyakinan yang lain lantaran penalaran yang dilakukan berbeda dengan yang lain. Hal itu bisa terjadi karena beberapa sebab: Antara lain: Yang memberi hadits berbeda pendapat, yang satu mengatakan dha'if yang lain mengatakannya shahih. Padahal pengetahuan tentang rijal (tokoh hadits) sangat luas. Atau: Yang memberi hadits tidak yakin betul bahwa dirinya mendengarkan dari penyampai sebelumnya sementara pemberi hadits yang lain yakin betul bahwa dirinya mendengarkannya. Dan lain sebagainya. 4. Ia mensyaratkan dalam khabar wahid (riwayat dari satu orang) itu harus adil dan penghafal kuat, sementara yang lain tidak mensyaratkannya demikian. Misalnya yang lain mensyaratkan ditimbangnya hadits dengan tolok ukur Kitab dan Sunnah. Sementara yang lain lagi mensyaratkan bahwa penyampai hadits harus faqih bila isinya berbeda dengan qiyasnya ushul. [68] Dan yang lain lagi mensyaratkan dimana haditsnya harus sudah dikenal dan tersebar ... dan sebagainya. 5. Barangkali haditsnya telah sampai kepadanya dan ia mengakui kekuatannya, akan tetapi ia lupa. Di sini beliau menyebut kisah Ammar bin Yasir dan Umar bin Khattab tentang hukum seorang musafir yang junub dan tidak mendapatkan air. Ketika itu Umar bin Khattab lupa haditsnya. Demikian juga kisah Umar yang lain ketika ia menentukan batas mahar.



6.



Tidak tahu akan dalalah haditsnya. Mungkin kata-katanya asing baginya, atau makna yang diketahui sesuai dengan bahasa masyarakatnya berbeda dengan yang dikehendaki oleh Nabi saw. Atau terkadang kata-katanya ada yang memiliki makna ganda, makna global atau ia ragu menentukan apakah pengertiannya hakiki atau majazi. Atau bisa jadi dalalah nashnya tersembunyi. Padahal pengertian sebuah kalimat itu sangat beragam dan masing-masing orang bisa berbeda satu sama lain. Hal itu juga berkaitan dengan anugerah Allah Swt. Maka dari itu ia tidak bisa dijangkau kecuali oleh Allah Swt. 7. Ia berkeyakinan bahwa tidak ada dalalah dalam hadits itu. Perbedaan antara yang ini dengan yang pertama adalah bahwa, yang pertama tidak mengetahui arah dalalah. Sementara yang kedua mengetahuinya, akan tetapi ia meyakini bahwa itu tidak benar. Ia beranggapan bahwa ada kaidah ushul yang menolak dalalah tadi, baik masalah itu benar atau salah. Umpama, keyakinan bahwa umum yang dikhususkan bukanlah hujjah, atau sesuatu yang umum tetapi memiliki sebab yang khusus maka ia hanya terbatas pada sebabnya saja atau bila semata-mata perintah ia tidak mengandung sesuatu yang wajib atau sebaliknya larangan pada perintah sebaliknya .... Perbedaan masalah fiqih banyak disebabkan oleh perbedaan-perbedaan kaidah ushul seperti ini. 8. Ia meyakini bahwa dalalah yang ada pada hadits telah dimentahkan oleh keterangan yang lain. Umpama, dimentahkannya ‘am oleh khash, mutlaq oleh muqayyad, perintah mutlak oleh penafian wajib, hakikat oleh majaz atau lain-lainnya. Ini juga masalah yang luas pembicaraannya. Juga keyakinannya bahwa hadits itu telah didha'ifkan, dinasakh atau dita'wil bila mungkin, oleh keterangan yang setingkat sesuai kesepakatan ulama. Seperti oleh ayat, oleh hadits yang lain atau ijma' ulama. 9. Ia meyakini bahwa hadits ini telah didha'ifkan, dita'wil atau dinasakh, sementara yang lain tidak meyakini demikian .... (Raf'ul Malam 'anil Aimmati'l A'lam, hal. 6-27). Itulah sebab-sebab terpentingyang menjadikan lahirnya perbedaan pendapat di kalangan ulama.



SEBAB-SEBAB KHILAF MENURUT IMAM SYAHID Dengan ungkapan yang sederhana dan ringkas beliau menyebutkan beberapa sebab yang melahirkan perbedaan dikalangan ulama. "Salah satunya adalah perbedaan kemampuan berfikir dalam mengistimbath (menyimpulkan hukum) dan dalam memahami dalalah hadits. Dan perbedaan pula dalam hal kemampuan menyelami makna dan hubungan antara hakikat satu dengan lainnya. Juga perbedaan wawasan keilmuan. Seseorang memiliki wawasan berfikir yang tidak dimiliki orang lain. [70] Berkata Malik kepada Abi Ja'far: Sesungguhnya Shahabat Rasul Saw Itu berpencar-pencar tempat tinggalnya. Masing-masing kaum memiliki ahli ilmu. Oleh karena itu bila dipaksakan untuk meyakini pendapat yang satu akan muncullah fitnah. Juga perbedaan lingkungan. Hal ini menjadikan praktek hukum di satu wilayah berbeda dengan wilayah lainnya. Kita melihat bagaimana Imam Syafi'i berfatwa dengan qaul qadim-nya di Irak, ketika beliau pindah ke Mesir beliau berfatwa dengan qaul jadid. Masing-masing fatwa tersebut didasarkan pada apa yang mereka ketahui sampai saat fatwa itu disampaikan. Hal lain adalah perbedaan kepuasan terhadap suatu riwayat hadits ketika diterima. Kita



kadang mendapatkan suatu hadits dianggap tsiqah oleh seorang imam dan ia merasa puas dengannya sementara yang lain tidak melihat demikian karena sebab-sebab yang ia ketahui. Bisa juga karena perbedaan menakar kadar dalalah. Misalnya, yang satu mengatakan bahwa perbuatan orang didahulukan atas khabar ahad sementara yang lain tidak mengatakan demikian, dan demikian seterusnya." (Majmu'ah Rasail, Da'watuna, hal. 23, 24). Itulah sebab-sebab timbulnya ikhtilaf dalam pandangan Imam Syahid. Hal itu merupakan pertemuan pikiran dengan apa yang dikatakan Syaikhul Islam. Siapapun yang membaca dan menghayati apa yang disampaikan oleh kedua imam tadi niscaya akan mengatakan bahwa yang kedua adalah ringkasan yang pertama.



APAKAH KHILAF DALAM FURU’ MERUPAKAN KEMESTIAN Setelah kita mengetahui sebab-sebab timbulnya khilaf melalui perpaduan dua pendapat di atas, ada pertanyaan yang lain, [71] yaitu: Apakah perbedaan dalam masalah furu' itu sesuatu yang mesti terjadi dan tidak bisa dihindari? Kedua imam telah membentangkan pendapatnya untuk menjawab pertanyaan ini dan kita dapati keduanya berbicara dengan nada serupa sebagaimana biasanya. Keduanya menjelaskan bahwa kesepakatan dalam masalah furu'iyyah adalah suatu yang tidak mungkin terwujud. Mereka menyebutkan ini dengan disertai hujjah yang kuat. Berikut pendapat mereka berdua.



PENDAPAT SYAIKHUL ISLAM Syaikhul Islam menyebutkan bahwa perbedaan pendapat dalam masalah furu'iyyah amaliyah adalah mesti terjadi dan tidak mungkin menghapuskannya. Tidak ada kesepakatan dalam furu'iyyah. Hal ini terjadi karena sebab-sebab berikut: 1. Sebab-sebab ikhtilaf yang sepuluh di atas tidak mungkin dihilangkan, maka konsekwensinya adalah tidak bisa dihindarinya perbedaan. 2. Para shahabat telah pula berbeda pendapat dalam masalah-masalah furu', baik hukum maupun aqidah, padahal mereka adalah sebaik-baik generasi. Lantas bagaimana dengan orang-orang setelahnya? 3. Pernyataan para imam yang dikemukakan kepada sesamanya tentang masalah-masalah ijtihadiyah berbeda-beda hasilnya. 4. Kebutuhan terhadap perluasan aktivitas dan beragamnya cabang menjadikan munculnya perbedaan pendapat oleh karena beragamnya pemahaman dan wawasan keilmuan. Itulah ringkasan pendapat Syaikhul Islam tentang khilaf dan hujjahnya. [72] Kini kita nukil pendapat beliau secara langsung agar bisa mendapatkan kejelasan lebih jauh. "Sesungguhnya masalah-masalah detil dalam masalah ushul hampir tidak mungkin disatukan di antara kelompok orang. Karena bila demikian halnya tentu tidak mungkin para shahabat, tabi'in dan kaum salaf berselisih." (Majmu' Al-Fatawa, juz. 6, hal. 56). Padahal mereka adalah sebaik-baik generasi dan orang yang paling mengerti. Beliau berkata pula: "Ketika perluasan aktivitas dan penganekaragaman furu'nya semakin dituntut maka sebagai konsekwensinya adalah munculnya perbedaan pendapat sesuai yang cocok dengan jiwa masing-masing pembelanya." (Majmu' Al-Fatawa, juz. 6, hal. 58). Dan katanya pula: 'Adapun orang yang cenderung kepada pendapat salah seorang imam atau syaikh sesuai dengan ijtihadnya, sebagaimana perbedaan pendapat tentang mana yang lebih utama antara



adzan dengan tidak adzan, dalam qamat ifrad atau itsna' (yakni masing-masing lafalnya dibaca sekali atau dua kali), shalat fajar itu di akhir malam atau di saat fajar, qunut di waktu subuh itu diamalkan atau tidak, lafal basmalah itu dijahrkan, ditakhfifkan atau bahkan tidak dibaca sama sekali, dan seterusnya, adalah merupakan masalah ijtihadiyah yang juga diperdebatkan oleh aimmah salaf. Dan masing-masing mereka menetapkan keputusan ijtihad yang lain." (Majmu' Al-Fatawa, juz 20, hal. 292). Beliau berkata pula: "Ijtihad para ulama dalam masalah hukum itu seperti ijtihadnya orang menentukan arah kiblat. [73] Empat orang melaksanakan shalat dan masing-masing orang menghadap ke arah yang berbeda dengan yang lain dan masing-masing mereka meyakini bahwa ka'bah berada di arah shalat mereka. Maka shalat keempat orang itu benar adanya. Sedangkan orang yang shalat tepat menghadap ka'bah hanyalah satu, dialah yang mendapatkan dua pahala". (Majmu' Al-Fatawa, juz 20, hal. 224). Perkataan beliau bahwa sebab-sebab khilaf tidak mungkin dihapuskan seluruhnya. 'Adapun tuntutan bahwa seseorang harus menguasai seluruh hadits Rasul Saw adalah sesuatu yang tidak mungkin adanya." (Raf'ul Malam Anil Aimmatil A'lam, hal. 7,). Hal itu terjadi karena banyaknya sunnah yang tidak diketahui oleh para shahabat termasuk khulafaur rasyidin. "Padahal mereka adalah orang yang paling tahu dan paling faqih, paling takwa dan paling utama. Orang-orang sesudahnya tentu lebih lemah dari mereka. Maka tersembunyinya sebagian hadits di kalangan mereka tentu lebih mungkin. Hal ini tidak perlu penjelasan. Barangsiapa yang berpikir bahwa semua hadits shahih itu telah sampai kepada setiap para imam, maka ia telah berpikir sangat keliru." (Idem, hal 13). Kemudian beliau menjelaskan beberapa syubhat yang melanda ummat manusia dahulu dan sekarang. "Janganlah sekali-kali seseorang berkata bahwa seluruh hadits shahih telah dihimpun. Karena himpunan hadits yang masyhur dalam Sunan itu dilakukan setelah lenyapnya para imam yang menjadi ikutan, semoga Allah merahmati mereka. Tidak boleh memiliki keyakinan bahwa haditshadits Rasulullah saw itu hanyalah yang terhimpun dalam himpunan-himpunan tertentu." (Idem, hat 13, 14). Kemudian beliau menjelaskan tentang pengetahuan dalalah hadits dan bahwa hal itu tidak mungkin dikuasai oleh seseorang betapapun ilmunya. [74] "Sesungguhnya arah dalalah lafal itu sangat luas cakupannya. Masing-masing orang beragam dalam memahaminya. Adapun pemahaman akan arah sebuah kalam (pembicaraan) itu berkaitan dengan anugerah Allah Swt. Kemudian ada kalanya seseorang memahaminya secara umum, ia tidak begitu detail memahami bahwa makna kalimat ini telah masuk ke dalam yang umum ini. Terkadang juga ia mengetahuinya tapi lupa beberapa saat kemudian. Dan demikianlah hal ini memiliki pembahasan sangat luas yang tidak diketahui secara persis kecuali oleh Allah Swt. Seseorang mungkin keliru, dimana ia memahami sesuatu yang tidak sama dengan kandungan bahasa Arab yang diturunkan kepada Rasulullah Saw." (Idem, hal. 23). Katanya selanjutnya: "Sesungguhnya perbedaan mengenai dalalah lafal dan penetapan salah satunya itu seumpama samudra nan luas". (Idem, hal. 25). Akhirnya kita simpulkan bahwa terjadinya khilaf dalam masalah furu' adalah suatu hal yang mesti terjadi dan tidak mungkin dihilangkannya.



PENDAPAT IMAM SYAHID Pendapat Imam Syahid dalam masalah ini sangat jelas. Dan pendapat ini memiliki titik temu secara persis dengan pendapat Syaikhul Islam. Dalam salah satu tulisannya yang berjudul: Al-Khilaf Dharuri: "Kami berkeyakinan bahwa khilaf dalam masalah furu' adalah suatu yang mesti terjadi. Kita tidak mungkin menyeragamkan furu', pendapat serta madzhab karena hanyak sebab ..." (Majmu'ah Rasail, Da'watuna, hal. 23). Kemudian beliau menyebutkan berapa sebab [75] sebagaimana telah dinukil di muka. Setelah menyebutkan faktor-faktor penyebab, beliau berkata: "Semua sebab-sebab tersebut menjadikan kita berkeyakinan bahwa upaya penyatuan dalam masalah-masalah furu' adalah pekerjaan mustahil, bahkan ia bertentangan dengan karakter agama ini. Allah menghendaki agar agama ini tetap lestari dan abadi, dan dapat mengiringi kemajuan zaman. Untuk itu agama ini harus muncul dalam warna yang mudah, fleksibel dan lunak, tidak jumud atau keras." (Idem, hal. 24). Pada kesempatan lain beliau berkata: Adapun mengenai penghindaran Ikhwan dari khilaf masalah fiqih, karena Ikhwan meyakini bahwa khilaf dalam masalah furu' merupakan masalah yang mesti terjadi. Hal itu karena pondasi Islam terdiri dari ayat-ayat, hadits-hadits dan amal yang terkadang dipahami beragam oleh banyak pikiran. Dari itu maka perbedaan pendapat terjadi terus pada masa shahabat dahulu. Kini masih terjadi dan akan terjadi terus hingga yaumil qiyamah. Alangkah bijaknya Imam Malik ketika berkata kepada Abi ja'far, tatkala ia ingin memaksa semua orang berpegang pada Muwattha' (buku kumpulan hadits karangan Imam Malik): Ingatlah bahwa para shahabat Rasulullah Saw itu terpencar-pencar di beberapa wllayah. Setiap kaum memiliki ahli ilmu. Maka apabila kamu memaksa mereka dengan satu pendapat, yang akan terjadi adalah fitnah sebagai akibatnya." (Majmu'ah Rasail, Mu'tamar Khamis, hal. 158). [76]



SIKAP KITA MENGHADAPI KHILAF Ada kerancuan berpikir di kalangan banyak orang. Sebagian mereka beranggapan, bahwa khilaf dalam masalah furu' merupakan suatu yang mesti terjadi, sehingga batas-batas kebenaran menjadi tidak jelas dan amat subyektif. Setiap orang menjadi berhak memilih pendapat-pendapat yang sekiranya sesuai dengan selera hawa nafsunya, meskipun pendapat itu lemah (tanpa hujjah yang nyata) dan nyeleneh. Pada akhirnya urusan agama menjadi demikian kahur dan serba boleh. Itulah yang ada dalam benak umat dewasa ini dan sebagian mereka ada yang menuduh bahwa penjelasan-penjelasan kedua Imam telah turut menyebabkan kerusakan ini. Mengalirlah kemudian dari lisan mereka omongan pedas dan tajam melukai perasaan, serta mengobarkan perang bukan di medannya. Ingin penulis katakan bahwa kedua Imam telah mengarahkan kita untuk bersikap secara benar dan lurus menghadapi masalah khilaf ini, tidak sebagaimana yang mereka bayangkan. Bagi siapa yang telah menelaah pendapat-pendapat kedua beliau secara utuh dan komprehensif dengan menghubung-hubungkan antara satu bagian dengan bagian [77] yang lain, niscaya akan segera mendapatkan kesimpulan bahwa pandangan keduanya merupakan pandangan yang lurus dan saling terjalin serta terkait antar bagian yang satu dengan bagian yang lain, yang oleh karenanya dapat menjadi petunjuk kepada kebenaran. Setiap orang hendaknya jujur kepada Allah dengan membenarkan-Nya. Hendaklah ia



ikhlas karena Allah dan melepaskan diri dari pengaruh hawa nafsunya. Apabila dirasa ada sesuatu yang mengganjal dan kurang jelas hendaklah bertanya dan mencari kejelasan agar ia tidak terjerumus dalam sikap yang tidak benar. Pepatah mengatakan: Obat penyakit (sebelum yang lain-lain) adalah bertanya. Ada sejumlah hakikat yang hendaknya diketahui mengenai hal ini. Pandangan kedua imam rahimahumullah sesungguhnya memberikan penerangan bagi para da'i. Keduanya memperingatkan akan adanya kelokan jalan yang dengan mudah menggelincirkan orang, kemudian mengarahkan untuk menjaganya agar tidak tergelincir di kelokan yang berbahaya ini. Para da'i, ketika memasuki berbagai negeri yang berbeda-beda, dengan coraknya yang beraneka ragam, membawa panji dakwah ilallah untuk mengentaskan ummat manusia dari kegelapan menuju cahaya, untuk menghimpun had mereka dalam ruku' dan sujtid kepada Rabbnya, untuk menanamkan hakikat 'ubudiyah yang syamilah dalam jiwa mereka yang akan membuahkan kemuliaan dan harga diri serta kejayaan. Dan ketika mereka memasuki medan dakwah untuk mengobati penyakit yang berbahaya serta meluruskan penyelewengan yang telah melanda, maka para da'i akan mendapati bahwa ummat manusia begitu beragam dalam menunaikan ibadah furu'iyyah. Mereka berbeda-beda dalam mempraktekkan beberapa [78] bagian fiqih, sesuai dengan ilmu pengetahuan yang sampai kepadanya. Sesuai tingkat pemahaman sebagai hasil tarbiyah mereka memahami kandungan Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Boleh jadi pemahaman seorang da'i dalam bebcrapa masalah furu' agama ini berbeda dengan apa yang dipahami orang. Mungkin sekali dia yang benar, tetapi bukan mustahil juga justru dirinya yang salah. Namun tidak jarang terjadi sang da'i bersikukuh dengan pendapatnya, dan mulailah ia mendebat orang banyak, menentang setiap pendapat orang lain yang berbeda dengan pendanatnya. Sementara, orang banyakpun secara otomatis melontarkan sikap "asal berbeda" sebagai mekanisme perlawanan dari arogansi sikap sang da'i. Begitulah secara bergantian masing-masing menuduh pendapat yang lain salah, kemudian saling menghasut, mencela dan membodohkan. Maka hujjahpun ditanggapi dengan hujjah, tetapi tidak jarang juga hujjah dilawan dengan hawa nafsu, sampai akhirnya masing-masing hanya berbicara atas nama hawa nafsunya. Kalau sudah demikian, lantas hatipun menjadi gelap, dan akal tidak lagi berfungsi. Maka syaitanpun ikut girang dan dengan semangat mengobarkan emosi di dada mereka semua. Akhirnya buah yang dapat dipetik hanyalah buah pahit berupa tafriqah yang menghancurkan kesatuan ummat dan menyebabkan kegagalan dakwah. Ketika itu seorang da'i tidak lagi berfungsi memperbaiki ummat, namun justru menjadi penghambat dan penghalang ummat menegakkan ajaran Allah. Ia bukan menjadi perahu penyelamat penumpang namun justru menjadi sebab tenggelamnya kapal umat. Yang semestinya menjadi pemikul dakwah, akhirnya hanya menjadi beban dakwah. [79] Kedua Imam sangat memahami hal ini, dan setiap orang yang pernah bersentuhan dengan problem dakwah pun memahaminya pula. Oleh karena itu kedua Imam memberi bekal kepada para da'i dengan hakikat ini. Yakni bahwa perbedaan pendapat dalam masalah furu' adalah sesuatu yang mesti terjadi dan dapat diterima oleh logika sehat. Maka janganlah hendaknya seorang da'i terkuras tenaganya untuk sesuatu yang tidak mungkin – dan tidak perlu – ditiadakan. Coba renungkan, apakah ada jamaah kaum muslimin di atas dunia ini yang secara utuh bersatu dalam semua urusan furu' agama, semenjak kurun shahabat sekalipun?



Oleh karena itu dalam menghadapi masalah ini, yang pertama para da'i hendaklah mengarahkan dan menfokuskan perhatiannya kepada masalah-masalah yang tidak boleh diperselisihkan. Kedua, sesungguhnya khilaf dalam agama itu bertingkat-tingkat. Ada khilaf yang perbedaan antara dua pendapat itu sangat tipis hingga sulit diukur. Ada tingkatan yang menengah dimana perbedaannya sudah kelihatan bila direnungkan. Sedangkan ada lagi yang perbedaan antara dua pendapat itu begitu nyata dan jelas. Sedangkan yang mengetahui tingkatan-tingakatan ini tentunya adalah para ulama yang benar-benar 'alim, ikhlas dan lurus, serta tidak ta'asshub. Ketiga, setelah kita mengetahui adanya tingkatan-tingkatan dalam masalah khilaf seharusnya kita tahu bahwa setiap ijtihad yang disandarkan kepada asas syar'i serta landasan pijak bahasa Arab adalah merupakan ijtihad yang mu'tabar (dianggap benar), baik ia rajih (dikuatkan) maupun marjuh (dilemahkan). Sedangkan bila tidak disandarkan kepada dasar apapun selain hawa nafsu maka ia tidak mu'tabar. [80] Dan hal ini sedikit terjadi di kalangan ulama yang lurus dan sebaliknya banyak terjadi di kalangan juhala dan pengumbar hawa nafsu... Yang perlu juga saya ingatkan di sini bahwa ijtihad yang mu'tabar itu kadang-kadang jelas masalahnya bagi seseorang namun tidak demikian bagi orang lain ataupun sebaliknya. Maka dari itu kita tidak dapat mengukurnya hanya dengan pendapat sendiri. Berkata Syaikhul Islam: “Adapun tentang ucapan dan perbuatan yang tidak diketahui secara qath'i bertentangan dengan Kitab dan Sunnah, namun sebagai hasil ijtihad yang diperbincangkan oleh kalangan ahli ilmu dan iman, bisa jadi dianggap qoth'i oleh sebagian orang yang telah mendapatkan cahaya Al-Haq dari Allah Swt. Namun demikian ia tidak pula dapat memaksakan pendapatnya kepada orang lain yang belum mendapatkan apa yang ia dapatkan itu". (AlFatawa, juz 1, hal. 383 dan 384).



PERBINCANGAN DIBAWAH NAUNGAN UKHUWAH Kedua Imam telah menjelaskan bahwa khilaf dalam masalah furu' adalah hal yang mesti terjadi. Ini bukanlah aib namun justru menunjukkan fleksibilitas Islam serta dorongan bagi akal pikiran untuk memperluas cakrawala berpikirnya. Yang aib adalah ketika orang ta'asshub dalam mempertahankan pendapatnya sehingga memancing perpecahan. Beliau berdua juga memperingatkan bahwa pandangan ini tidak berarti meninggalkan urusan tanpa upaya mencapai kebenaran yang lebih dekat. Mereka berdua menjelaskan bahwa tidak ada larangan untuk melakukan diskusi ilmiah yang obyektif, hanya saja [81] kedua imam mensyaratkan hal itu dilakukan di bawah naungan ukhuwwah karena Allah. Syaikhul Islam berkata: "Para ulama dari kalangan shahabat dan tabi'in dan orang-orang setelahnya apabila berselisih dalam suatu perkara mereka mengikuti perintah Allah dalam firman-Nya: "Maka apabila kalian berselisih dalam suatu urusan kembalikanlah kepada Allah (Qur'an) dan Rasul-Nya (Hadits) bila kalian beriman kepada Allah dan hari akhir. Itulah yang lebih baik dan sebaik-baik ta'wil". (An-Nisa': 59). Mereka mendiskusikan masalah dengan diskusi yang diwarnai jiwa syura (musyawarah) dan saling menasihati. Bisa jadi suatu saat mereka berbeda pendapat tentang masalah ilmiyah dan amaliyah namun ukhuwwah dan ikatannya tetap terpatri kokoh. Sedangkan siapa saja yang bertentangan dengan Kitab Allah yang terang dan Sunnah Rasul



yang demikian gamblang, atau menyalahi pendapat para shalafus shalih secara diameteral, maka ia pasti pengikut ahli bid'ah." (Al-Fatawa, juz 24, hal. 172). Setelah itu beliau menyebut sejumlah perkara yang diperselisihkan oleh para shahabat dan tabi'in dengan menjelaskan bahwa perbedaan ini tidak menyulut perpecahan ukhuwwah dan retaknya ikatan. Kemudian beliau berkata: 'Adapun ikhtilaf dalam masalah hukum sangat banyak jumlahnya, hingga apabila setiap perselisihan berakhir dengan permusuhan maka dalam tubuh ummat Islam tidak akan tersisa adanya ukhuwwah dan perlindungan." (Al-Fatawa, juz 24, hal. 173). [82]



PANDANGAN IMAM SYAHID Imam Syahid telah menfokuskan perhatiannya dengan amat serius pada masalah ini karena munculnya perpecahan yang demikian meluas di kalangan ummat ketika itu, dan sudah demikian mendesak sehingga membutuhkan siraman ruh ukhuwwah serta jamaah. Imam Syahid berkata: "Bukanlah aib pada masalah khilaf. Akan tetapi aib adalah pada ta'asshub pendapat yang ada pada benak orang." (Majmu'ah Rasail, Al-Mu'tamar Al-Khamis, hal. 158). Selanjutnya beliau berkata: "Ikhwanul Muslimin memahami semua ini. Maka dari itu mereka paling lapang dada bila menghadapi orang-orang yang berbeda pendapat. Mereka melihat bahwa setiap orang memiliki ilmu dan setiap dakwah ada unsur haq dan bathilnya. Mereka berusaha mencari kebenaran dan mengambilnya serta berupaya meyakinkan orang lain dengan penuh kelembutan dan kasih sayang. Bila mereka akhirnya sependapat itulah yang diinginkan dan apabila mereka bertahan dengan pendapatnya, mereka tetaplah ikhwan fiddin (saudara seiman), kita mohon hidayah kepada Allah. Itulah manhaj Ikhwanul Muslimin menghadapi orang-orang yang tidak sependapat dengannya dalam masalah furu'iyyah agama Allah. Barangkali dapat penulis simpulkan untuk anda bahwa Ikhwanul Muslimin memperbolehkan khilaf tapi memberi ta'asshub pendapat. Mereka selalu berusaha untuk mendapatkan kebenaran dan membawa orang kepadanya dengan cara yang penuh kelembutan dan kasih sayang." (Majmu'ah Rasail, da'watuna, hal. 25). [83] Beliau selanjutnya berkata: “Adapun khilaf fiqih dalam masalah furu' hendaknya tidak menjadi sebab tafarruq dalam agama dan tidak pula mengarahkan kepada permusuhan dan kebencian, karena setiap mujtahid mendapatkan satu pahala. Tidak dilarang adanya diskusi obyektif dan ilmiah dalam masalah khilaf sepanjang dinaungi oleh jiwa ukhuwwah dan mahabbah fillah (saling mencintai di jalan Allah) serta bekerja sama untuk meraih kebenaran tanpa terjerumus kepada ta'asshub dan kesombongan." (Majmu'ah Rasail, Rissalatut ta'lim, hal. 269). Itulah pandangan kedua imam yang tidak membutuhkan lagi komentar dan penjelasan yang lebih banyak. Buah dari manhaj yang lurus ini adalah terurainya benang kusut ta'asshub, terpatrinya kembali hati yang retak, hidup penuh kedamaian dan ukhuwwah serta tegaknya bangunan ummat. Selanjutnya Ikhwanul Muslimin menerbitkan kitab Fiqhus Sunnah oleh Syaikh Sayyid Sabiq yang diberi pengantar oleh imam Syahid. Beliau memuji dan menyanjungnya karena manhaj yang dipakai yaitu dengan tanpa bersikap memusuhi orang-orang yang tidak sependapat.



AIB ADA PADA TA'ASSHUB BUKAN KHILAF Kita tahu bahwa khilaf dalam masalah furu' tidak ada usainya. Dan itu bukanlah aib. Ia merupakan sunnatullah pada makhluq-Nya dimana perbedaan pendapat dan beragamnya pemikiran merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Adapun suatu khilaf dianggap aib itu bila sudah mulai muncul ta'asshub, memaksakan pendapat kepada orang lain, kagum terhadap pandangan sendiri, meretakkan jalinan ukhuwwah, tidak bersedia memberi nasehat dan sikap-sikap sebangsanya. Itulah aib yang dilarang Islam. Para shahabat dalam majlis mereka sering terlibat perdebatan seru dalam beberapa masalah agama, namun perdebatan ini tidak melewati batas lisannya dan begitu mudah segera sirna. Adapun hati-hati mereka tetaplah pada ikatan ukhuwwah yang kokoh. Allah Swt berfirman: "Muhammad adalah Rasulullah, dan orang-orang yang bersamanya bersikap tegas terhadap orang kafir serta berlemah-lembut terhadap sesamanya". (Al-Fath, 29). Kisah Ibnu Abbas dan Zaid bin Tsabit Ra begitu jelas memberi contoh dalam masalah ini. Kedua shahabat ini berselisih dalam salah satu masalah faraid (hukum waris). Zaid bin Tsabit berpendapat bahwa saudara mendapat waris bersama kakek. Sementara Ibnu Abbas Ra berpendapat bahwa kakek dapat menggugurkan hak waris saudara baik laki-laki maupun perempuan sebagaimana bapak. Berkata Ibnu Abbas suatu hari: "Tidaklah Zaid bertakwa kepada Allah, yang telah menjadikan anaknya anak menjadi anak dan bapaknya bapak menjadi bapak". Begitulah ia mengomentari saingannya. Pada hari lain Ibnu Abbas Ra melihat Zaid naik tunggangannya. Maka dituntunlah tunggangannya oleh Ibnu Abbas. Berkata Zaid Ra: "Lepaskan wahai anak paman Rasulullah Saw." Maka Ibnu Abbas menjawab: "Demikianlah kami diperintahkan memperlakukan ulama dan pembesar kami". Berkata Zaid Ra: "Tunjukkan tanganmu!" Maka Ibnu Abbas mengeluarkan tangannya maka diciumlah tangan itu oleh Zaid seraya berkata: "Begitulah kami diperintahkan memperlakukan ahli bait Nabi kami." (Al-Ishabah, 1/261, 2/332, Majma' zawaid, 9/345, Hayatus Shahabat, 2/440, 441). [85] Demikian pula terjadi pada dua orang Imam, Yakni Ali bin Al-Madini dan Ahmad ibnu Hambal rahimahumullah, ketika keduanya terlibat perdebatan yang cukup seru mengenai masalah syahadah sorga bagi sepuluh orang shahabat. Ahmad berpendapat mendapatkan syahadah itu sementara Ali Al-Madini tidak demikian. Khawatir akan terjadi keretakan hubungan di antara keduanya, ketika mereka akan berpisah Ahmad bangkit menuntun kendaraan Ali." (Lihat Jami' Bayanil Ilmi, Ibnu Abdil Bar, juz 2, hal. 107). Kini kita simak bagaimana sikap para Imam mengenai ini. Berkata Syaikhul Islam. "Dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa Rasyid berhijam (mengeluarkan darah dari tengkuk) kemudian minta fatwa kepada Malik. Imam Malik memberi fatwa bahwa ia tidak perlu berwudhu. Abu Yusuf shalat di belakangnya. Padahal Abu Hanifah dan Ahmad (Abu Yusuf/salah satu tokoh besar madzhab Hanafi) berpendapat bahwa keluarnya darah dari selain dua jalan membatalkan wudhu. Sedangkan madzhab Maliki dan Syafi'i mengatakan tidak membatalkan wudhu. Dikatakan kepada Abu Yusuf: Apakah engkau shalat dengan ma'mum kepadanya? Ia menjawab: Subhanallah! Amirul Mu'minin. Sesungguhnya meninggalkan shalat berjamaah di belakang imam semisal dia hanyalah indikasi ahli bid'ah seperti rafidhah dan mu'tazilah. Oleh karena itu ketika imam Ahmad diminta fatwa tentang ini kemudian menjawab wajibnya



wudhu, berkatalah orang yang menanya tadi: Apabila imam tidak berwudhu apakah saya boleh shalat berjamaah di belakangnya? Ia menjawab: Subhanallah! Apakah kamu tidak shalat berjamaah di belakang Sa'id bin Mushayyib dan Malik bin Anas?" (Majmu' Al-Fatawa, juz: 2, hal. 365, 366). [86] Adalah Imam Abu Hanifah. Ia berpendapat tidak ada qunut pada shalat Shubuh. Sedangkan Imam Syafi'i berpendapat sebaliknya. Ketika Imam Syafi'i berkunjung ke Kufah dan di sana mengimami orang shalat Shubuh beliau meninggalkan qunut karena menghormati Abu Hanifah. Semoga Allah Swt merahmati seluruh para imam. Imam Syahid begitu membenci sikap ta'asshub terhadap pendapat, bahkan beliau menganggapnya sebagai faktor penghancur bangunan ummat. Beliau berkata: "Ikhtilaf dalam agama dan madzhab serta merubah agama dari pengertiannya sebagai aqidah dan amal kepada pengertian istilah semata yang jumud dan tidak ada maknanya, serta mengabaikan Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya, ta'asshub terhadap pendapat dan pandangan, suka berdebat kusir, semua ini merupakan perilaku yang sangat dilarang Islam." (Majmu'ah Rasail, Bainal Ams wal Yaum, hal. 131). Hingga Rasulullah saw bersabda: "Manusia tidaklah sesat setelah mendapatkan petunjuk kecuali karena diberi kemampuan berdebat". (HR. Tirmidzi dan Ahmad). Imam Syahid berkata pula: "Bukanlah aib pada khilaf akan tetapi aib terletak pada sikap ta'asshub kepada pendapat orang". (Majmu'ah Rasail, Al-Mu'tamar al-Khamis, hal. 158). Akhirnya penulis perlu memperingatkan akan adanya urusan sepele namun terkadang mengguncangkan jiwa orang. Dan penulis ingin dapat menghilangkan ini semua. [87] 1. Khilaf Itu Jelek Sebagian besar orang telah membaca ungkapan para shahabat atau ulama sepanjang masa bahwa khilaf itu jelek, sebagaimana kata Ibnu Mas'ud Ra, "Saya tidak suka khilaf", atau khilaf menyebabkan kelemahan kita, atau Allah melarang khilaf atau ungkapan-ungkapan lain yang senada. Khilaf mengandung maksud pertengkaran dan perpecahan yang menyebabkan permusuhan. Akan tetapi khilaf juga mengandung makna sekedar perbedaan pandangan dan pikiran yang dibarengi dengan hati yang dingin. Dan inilah yang terjadi pada kalangan salaf ummat ini. Oleh karena itu bila kita mendengar atau membaca ungkapan: khilaf itu hal yang mesti terjadi dan kita membenarkannya, maka yang dimaksud adalah khilaf yang kedua. Dan bila kita mendengar para ulama mencela khilaf maka yang mereka cela adalah khilaf yang pertama. Dengan demikian maka tidak perlu lagi ada orang yang bingung dengan istilah ini dan orang-orang yang akan memancing di air keruh akan diam. 2. Kebenaran Itu Satu Tidak Berbilang Ada prinsip yang kadang menimbulkan kerancuan paham bagi sebagian orang, yakni bahwa "kebenaran itu satu, tidak berbilang." Saya ingin katakan bahwa kaidah ini benar adanya dan dikatakan oleh jumhur ulama ahlus sunnah wal jamaah. Hal ini sama sekali tidak bertentangan dengan



prinsip kemestian khilaf dalam masalah furu'. Mengapa demikian? Para shahabat Ra telah berselisih pada masa Rasulullah saw dan itu diakui oleh mereka, sebagaimana peristiwa shalat Ashar di Bani Quraidhah. Demikian juga generasi [88] setelahnya berselisih. Ada sementara orang berkata bahwa ikhtilaf mereka itu ikhtilaf tanawwu' (perbedaan dalam keragaman). Saya katakan bahwa ia benar untuk satu masalah namun tidak benar untuk yang lain. Karena ada beberapa perbedaan pendapat yang terjadi secara diametral. Yang satu menghalalkan, dan yang lain mengharamkan, yang ini berfatwa boleh yang satunya lagi tidak memperbolehkan. Para shahabat mendapatkan pengajaran di majlis yang satu namun terkadang terjadi perdebatan. Yang satu berdalil dengan suatu dalil sementara yang lain berhujjah dengan dalil yang lain. Kadang terjadi kesepakatan namun terkadang juga tidak. Demikian juga para imam setelahnya, mereka banyak yang lahir dari satu majlis namun demikian perbedaan tetap saja terjadi. Hal ini cukup jelas memberi kesimpulan. Barangsiapa yang lapang dada menerimanya, syukurlah. Namun bila belum juga bisa menerima, kita lihat alasan lain. Maksud dari ungkapan bahwa "Kebenaran adalah satu tidak berbilang" itu adalah dalam hakikat/essensinya. Adapun yang ditangkap oleh para ulama itu ada dua macam: 1. Pertama, yang Allah tampakkan kepada kita dengan sejelas-jelasnya dan dapat dibuktikan dengan hujjah qath'iyah dan sharihah (terang). Seperti bahwa Allah itu Esa tidak ada sekutu baginya, Dia-lah satu-satunya yang berhak diibadahi dan tidak ada selain-Nya yang layak untuk itu. Dan bahwa bulan puasa itu bulan Ramadhan, bahwa ibadah haji itu tidak sah kecuali dengan wukuf di Arafah dan lain-lain. Masalah-masalah ini hakikatnya memiliki kebenaran yang satu, ia tidak boleh di-ijtihad-i dan diperselisihkan lagi hukumnya. 2. Kedua, masalah yang Allah Swt sembunyikan dari kita. [89] Dimana dalil-dalilnya mengandung alternatif ganda, tidak bisa ditetapkan hukumnya seperti masalahmasalah yang pertama tadi. Inilah yang dapat melahirkan perbedaan pendapat dan pandangan dan kita menerimanya. Setiap ulama boleh menyimpulkan hukum dengan dalil yang ia anggap lebih kuat dan lebih menenteramkan hatinya. Terhadap masalah ini tidak boleh saling mengingkari antara sesamanya dan tidak boleh pula seseorang melemparkan tuduhan sesat, rusak dan bathil dengan dalih kebenaran itu satu tidak berbilang. Yang harus dilakukan oleh kita dalam hal ini – yang nantinya dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt – adalah berusaha dengan sungguh-sungguh, lapang dada dan penuh keikhlasan serta melepaskan diri dari kotoran hawa nafsu. Kita tidak dituntut untuk memperoleh kebenaran mutlak yang satu dan tidak berbilang tadi. Pahala dapat dihasilkan pada dua hal: salah dan benar. Itu merupakan karunia Allah yang diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Marilah kita simak ungkapan bijak Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: "Ijtihad ulama dalam masalah hukum itu seperti ijtihadnya orang yang mencari arah Ka'bah. Bila empat orang shalat dan setiap orang menghadap ke suatu arah yang diyakini sebagai arah kiblat, maka shalat keempat orang tadi shah. Sedangkan yang shalat menghadap ka'bah dengan tepat hanya satu dan ialah yang mendapatkan dua pahala." (Al-Fatawa, juz 20, hal. 224).



Sebagaimana dalam hadits shahih dari Nabi saw. bersabda: "Bila seorang hakim berijtihad dan ia benar mendapatkan [90] dua pahala. Bila ia berijtihad dan salah maka ia hanya mendapatkan satu pahala". (HR. Bukhari dan Muslim). Saya kira ini saja cukup untuk menghilangkan keraguan sekaligus memperjelas masalah. Semoga Allah menunjuki jalan kita untuk menggapai hidayah-Nya. Semoga Allah Swt memberi balasan kepada dua imam, Syaikhul Islam dan Imam Syahid, atas pandangan-pandangannya yang adil yang dapat membuka jalan bagi ruh Islam bangkit dengan mulus dan tegar. Itulah pandangan-pandangan yang hakikatnya keluar dari satu lentera meskipun masa hidup dan tempat tinggal mereka berjauhan. Pandangan-pandangan yang menuntut ummat ini menuju mashlahatnya sebagai pandangan salaf ummat ini. Dan sekali-kali akhir ummat ini tidak akan pernah baik kecuali diawali oleh kebaikan para salaf pendahulunya. [91]



HUKUM TAQLID Sejak dahulu hingga sekarang orang banyak mensikapi ijtihad dan taqlid secara beragam. Ada di antaranya yang mewajibkan secara mutlak, begitupun ada pula yang mengharamkannya secara mutlak. Di samping keduanya ada yang berpendapat tengah-tengah dan itulah para bijak. Yang menempuh jalan tengah ini antara lain adalah dua imam kita, Syaikhul Islam dan imam Syahid. Beliau berdua telah juga satu pendapat dan pikiran dalam masalah ini. Gaya yang dipakai mencerminkan kejelian seorang ahli ilmu dan kebijakan seorang da'i. Berikut adalah sikap kedua beliau tentang siapa yang boleh taqlid dan siapa yang tidak boleh.



UNGKAPAN-UNGKAPAN SYAIKHUL ISLAM Syaikhul Islam berkata: "Di kalangan para ulama ada yang berpendapat bahwa penalaran dan ijtihad dalam masalah furu' wajib dilakukan oleh semua orang sampai yang awam sekalipun. Namun di antara mereka juga ada yang mewajibkan taqlid kepada semua orang baik ulama ataupun awamnya. Adapun pendapat yang dianut oleh jumhur ummat ini adalah bahwa ijtihad boleh dilakukan oleh kalangan tertentu dan dilarang untuk kalangan yang lain. Mereka tidak mewajibkan ijtihad kepada setiap orang sebagaimana tidak mengharamkan taqlid. Mereka juga tidak mewajibkan taqlid kepada setiap [93] orang sebagaimana tidak mengharamkan ijtihad. Ijtihad boleh dilakukan oleh mereka yang punya kemampuan untuk itu dan taqlid boleh dilakukan oleh orang yang tidak bisa ijtihad." (Al-Fatawa, juz 20, hal. 203 dan 204). Beliau berkata juga: "Taqlidnya orang yang tidak mampu mengambil dalil kepada orang 'alim boleh dilakukan, demikian pendapat jumhur." (Majmu' Al-Fatawa, juz 19, hal. 262). Syaikhul Islam menjelaskan beberapa alasan yang membolehkan taqlid kepada para imam bagi kalangan yang tidak mampu menyimpulkan dalil, katanya: "Bila ada hukum sedang kebanyakan orang tidak mengetahuinya maka mereka merujuk kepada orang yang mengetahuinya. Karena ia lebih tahu tentang apa yang dikatakan Rasul Saw dan lebih mengetahui maksudnya. Para imam yang menjadi ikutan mereka merupakan perantara dan jalan untuk menghubungkan antara orang banyak dan Rasulullah saw. Mereka



menyampaikan apa yang dikatakan Rasul dan rnemahamkan maksudnya sesuai dengan ijtihad dan kemampuannya. Allah Swt telah memberi anugerah ilmu dan kepahaman kepada orang ini lebih dari apa yang diberikan kepada orang lain. Namun dalam masalah lain barangkali ada yang diketahui orang lain lebih dari apa yang diketahui oleh orang 'alim ini." (Al-Fatawa juz 20, hal. 224). Inilah beberapa ungkapan Syaikhul Islam yang mencerminkan sikap bijaknya dalam masalah ijtihad dan taqlid. Ringkasnya, taqlid itu boleh bagi orang yang lemah. juga boleh dilakukan taqlid kepada seorang imam, tentang suatu hukum yang tidak diketahui kecuali olehnya. Dan dalam bertaqlid diharapkan dibarengi dengan sikap takwa kepada Allah Swt. [94]



PENDAPAT IMAM SYAHID Imam Syahid telah berbicara tema ijtihad dan taqlid yang ketika itu orang bersitegang dan berbeda pendapat tentangnya dan bahkan telah menjadi penyebab lahirnya perpecahan. Pendapat beliau terhimpun dalam ungkapannya yang ringkas dan jelas, sebagai berikut: "Setiap muslim yang belum mampu melakukan telaah dalil hukum furu' hendaklah mengikuti salah satu imam dari imam-imam yang ada. Namun alangkah baiknya sementara mengikut ia berupaya mengetahui dalil-dalil hukumnya. Dan hendaknya ia menerima setiap bimbingan yang disertai dalil yang shahih dan dibawa oleh orang yang shalih juga. Hendaklah ia menyempurnakan ilmunya, bila sudah memiliki ilmu, agar mencapai tingkat penalaran hukum yang baik." (Majmu'ah Rasail, Risalatut Ta'lim, hal. 269). Itulah pendapat beliau imam Syahid yang nampak bahwa apa yang disampaikan masih satu alur dengan apa yang diungkapkan Syaikhul Islam. Keduanya tetap pada manhajnya yang i'tidal (lurus) dan mudah dimengerti. Semoga Allah Swt memberi balasan kepada keduanya.



MENGINGKARI TA'ASHSHUB Kedua imam telah sependapat tentang bolehnya taqlid, namun memperingatkan pula adanya ta'asshub sebagai dampaknya. Oleh karena itu hendaklah bagi yang bertaqlia jauhilah ta'asshub kepada pendapat gurunya secara berlebihan hingga mati-matian membela dan mempertahan kannya, atau tidak mau mendengarkan pendapat lain yang jelas-jelas didukung oleh dalil qath'i dari Kitab dan Sunnah. Kedua imam sepakat mengingkari sikap seperti ini. [95]



Sikap Syaikhul Islam Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: "Barangsiapa yang membela seseorang, siapapun orangnya, ia rela mencintai dan membenci demi membelanya dalam ucapan maupun tindakannya, maka ia termasuk golongan orang-orang yang difirmankan Allah: "... Sebagian dari mereka yang memecahbelah agamanya dan mereka berkelompok-kelompok". Apabila ada seseorang yang tengah belajar dan mengikuti langkah kelompok kaum mu'minin, seperti mengikuti para imam dan para syaikh, maka ia hendaknya tidak menjadikan teladannya sebagai ukuran. Ia mencintai orang yang setuju dengannya dan memusuhi orang yang menentangnya". (Majmu' Al-Fatawa, juz 20, hal 8,9). Beliau berkata juga:



"Maka barangsiapa yang mantap untuk bertaqlid kepada imam Syafi'i hendaklah tidak mengingkari orang yang mantap bertaqlid kepada imam Malik. Dan barangsiapa yang mantap bertaqlid kepada imam Ahmad juga hendaknya tidak mengingkari orang yang mantap untuk bertaqlid kepada Imam Syafi'i, dan sebaliknya." (Majmu' Al-Fatawa, juz 20, hal. 292, 293). Ini ucapan yang sangat jelas bagaimana beliau membenci ta'asshub yang akhirnya menyebabkan orang mencintai maupun membenci, membela atau memusuhi. "Syaikhul Islam ditanya tentang orang yang taqlid kepada beberapa ulama dalam masalah ijtihadiyah, bolehkah ia? Demikian juga tentang orang yang mengamalkan salah satu dari dua pendapat, bolehkah? Beliau menjawab: Alhamdulillah, masalah ijtihad, barangsiapa yang mengamalkan pendapat para ulama [96] tidak mengapa dan tidak diingkari. Dan barangsiapa yang mengamalkan salah satu dari dua pendapat juga tidak mengapa dan tidak diingkari. Apabila dalam masalah ini ada dua pendapat, bila bagi seseorang ada pendapat yang lebih kuat ikutilah dan bila tidak menganggap demikian ikutilah ulama yang bisa dijadikan sandaran untuk dapat menjelaskan pendapat yang paling kuat. Wallahu Alam". (Al-Fatawa, juz 2, hal. 207 ).



Sikap Imam Syahid Imam Syahid berkata: "Khilaf dalam masalah furu'iyyah fiqih tidak menjadi sebab perselisihan dalam agama. Tidak pula menyebabkan adanya permusuhan dan kebencian karena setiap mujtahid mendapat satu pahala. Tidak ada larangan mengadakan perdebatan ilmiah dalam masalah khilaf sepanjang dinaungi oleh jiwa mahabbah karena Allah serta bekerja sama dalam rangka meraih kebenaran, tanpa hal itu menyebabkan sombong dan ta'asshub". (Majmu'ah Rasail, Risalatut Ta'lim, hal. 269). Imam Syahid juga mewasiati orang yang taqlid agar dadanya lapang penuh rasa pengertian kepada yang lain. Beliau selanjutnya berkata: "Sebaliknya sementara ia mengikut berupayalah mengenal dalil-dalilnya (dalil imamnya). Dan seyogyanya ia mau menerima setiap bimbingan yang disertai dalil yang baginya shahih sekaligus dengan keshalihan pembawanya". Ibid. Beliau juga menjelaskan tentang ta'asshub madzhab, ketika berbicara tentang aspekaspek yang menyebabkan tegaknya daulah Islamiyah. Dimana beliau menyebutkan [97] bahwa ta'asshub ini adalah salah saw faktor yang dapat menyebabkan lemahnya bangunan ummat Islam. Imam Syahid berkata: Adapun aspek-aspek yang terpenting dalam hal ini adalah: a. Perselisihan dalam masalah politik dan pertikaian dalam merebut kepemimpinan dan kedudukan. b. Khilafiyah diniyah dan madzhabiyah serta mengalihkan agama dari hakikat aqidah dan hukum kepada istilah-istilah beku yang tidak mengandung dinamika. Di samping itu juga lantaran mengabaikan Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya, jumud, ta'asshub pendapat dan suka berdebat, yang itu semua merupakan perilaku yang dibenci Islam, hingga beliau saw bersabda: "Tidaklah manusia sesat kecuali setelah mereka diberi kemampuan berdebat". (HR. Tirmidzi dan Hakim), c. Hanyut dalam beragam kenikmatan serta respon terhadap nafsu sahwat ..."



(Majmu'ah Rasail; bainal ams wal Yaum, hal. 171). Demikianlah hal-hal yang dapat menyebabkan kehancuran ummat, salah satunya adalah ta'asshub.



SEPUTAR MASALAH AQIDAH Syaikhul Islam dan Imam Syahid telah satu pandangan dalam masalah aqidah. Dimana aqidah yang dianut adalah aqidah yang bersih dan murni sebagaimana dianut oleh generasi awal sebagai sebaik-baik generasi. Telah nampak pengaruh aqidah ini pada kehidupan beliau berdua, sebagai kehidupan yang penuh dinamika dan istiqamah, yang telah Allah Swt anugerahi dengan berkah-Nya hingga dapat membimbing dan menggerakkan ummat. Beliau berdua telah menguras segala potensi untuk berjihad dengan sebenar-benar jihad hingga menemui kesyahidannya. Berjihad dengan lisan, pena maupun pedangnya, hingga menciutkan nyali orang-orang kafir sebagai musuh-musuhnya. Kehidupan beliau berdua sungguh sarat dengan perjuangan menegakkan 'izzah agama ini. Allah telah berkenan memberi manfaat terhadap upaya-upaya mereka hingga hari ini. Warisan pusaka 'ilmiyah maupun ghirah (semangat)nya telah merasuki tubuh ummat dengan begitu kentaranya. jazakumullah khairal jaza'. Salah satu pusaka ilmiah mereka berdua adalah pembahasan tentang aqidah, yang terkadang secara global namun [99] pada kesempatan lain secara rinci dan detail. Keduanya telah berbicara masalah aqidah ini dengan pemahaman yang jelas sepaham, hingga masalah-masalah yang detail dan rinci. Memang ada sebagian orang yang sulit menerima kesimpulan hakikat ini hingga mereka melemparkan celaan dan tuduhan, padahal seringkali lemparan tuduhan negatif itu hanya didasari hati yang kotor dan kebodohan belaka. Kini, marilah kita menyimak dan membuktikan keterpaduan dan kesatuan pikiran antara kedua Imam, Syaikhul Islam dan Imam Syahid.



TIDAK ADA ISTI'ANAH KEPADA AHLI KUBUR Kedua Imam telah menjaga kemurnian aqidahnya dari kotoran syirik dan memperjuangkannya dengan perjuangan yang gigih. Mereka berdua telah menjelaskan bahwa isti'anah (minta pertolongan) hanya boleh dipanjatkan pada Allah Swt. Kita membaca dalam setiap shalat: "Iyyaka na'budu waiyyaka nasta'in. (Al Fatihah: 5), hanya kepada-Mu lah kami mengabdi dan hanya kepada-Mu lah kami beristi'anah". Kenapa banyak orang lalai akan hakikat yang demikian jelas ini. Dan sesungguhnya setiap fenomena 'ubudiyah harus dikhususkan kepada Allah sendiri, tidak boleh dicampuri dengan siapapun selainnya.



Pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Syaikhul Islam telah memberi perhatian khusus dalam masalah ini dan banyak sekali menulis tentangnya. Bila kita membaca karangan-karangan beliau hampir-hampir selalu didapati penjelasan masalah ini ataupun yang sejenisnya. Itu semua karena didorong keinginannya untuk [100] mengembalikan aqidah ini kepada kemurnian dan kejernihannya serta menjauhkannya dari kotoran-kotoran jahiliyah yang telah banyak dioleskan orang, baik secara



sengaja maupun tidak. Syaikhul Islam menjelaskan bahwa berdoa kepada ahli kubur dan meminta kepadanya adalah merupakan amalan syirik. Nabi Saw bersabda: "Bila engkau minta, mintalah kepada Allah dan bila engkau beristi'anah, isti'anahlah kepada Allah ...." Para ulama berkata: Tidak boleh membangun masjid di atas kuburan. Mereka juga berkata: "Tidak dibenarkan bernadzar kepada ahli kubur." Para ulama telah sepakat bahwa barangsiapa ziarah kubur, kubur siapapun, tidak boleh mengusap dan menciumnya, karena di dunia ini tidak ada barang mati yang boleh dicium kecuali hajar aswad. Dalam riwayat shahih, Umar Ra berkata: "Demi Allah, sungguh saya tahu bahwa engkau adalah batu, tidak memberi manfaat dan tidak pula memberi bahaya. Kalau bukan karena saya melihat Rasulullah Saw menciummu, saya tidak mau menciummu. " (HR. Bukhari dan Muslim). Syirik yang paling besar adalah minta tolong kepada orang mati atau orang yang tiada. Mengajukan permohonan ketika mendapatkan musibah dengan mengatakan: "Wahai syaikh fulan." Seolah-olah ia meminta kepadanya untuk menghilangkan penyakitnya atau mendatangkan manfaat untuknya. (Lihat Al-Fatawa, juz 27, hal. 68 dan 81).



Pandangan Imam Syahid Hasan Al-Banna Imam Syahid telah memberi perhatian yang serius pula terhadap masalah ini, demi memulihkan kemurnian aqidah dari kotoran syirik. [101] Beliau mendasari dakwahnya dengan aqidah murni ini dan bahkan menjadikannya sebagai asas dakwah dan syarat bagi siapa saja yang ingin bergabung dengannya. Beliau berkata di point fahm, sebagai awwal rukun bai'ah yang sepuluh. "Ziarah kubur, kubur siapapun, adalah sunnah masyru'ah (yang disyari'atkan) dengan cara yang ma'tsur (dituntunkan oleh Rasuluilah Saw), Akan tetapi permohonan kepada ahli kubur, siapapun pemiliknya, mengajukan do'a, meminta dipenuhi kebutuhanya untuk segera mampun jangka waktu lama, bernadzar kepadanya, membangun kuburan, memberi penghalang, memberi lampu dan mengusapnya serta bersumpah atas nama selain Allah dan sejenisnya adalah bid'ah yang wajib diperangi. Harus ditindak tegas dari akar-akarnya untuk menutup lobang-lobangnya". (Majmu'ah Rasail, Risalatut Ta'lim, hal. 270).



JIMAT DAN PERDUKUNAN Islam datang untuk membebaskan ummat manusia dari segala praktek kejahiliyahan, membebaskan akal pikiran mereka dari polusi pandangan jahiliyah, khurafat, hayalan-hayalan yang menyempitkan wawasan pemikiran. Ia datang untuk mengikatkan mereka kepada Sang Khaliq. Islam datang untuk membebaskan had dan mensucikannya serta menanamkan di dalamnya bangunan 'ubudiyah hanya kepada Allah Swt beserta segenap kandungan maknanya, dengan kesempurnaan cinta dan orientasi serta ketundukan di hadapan-Nya. Maka dari itu hati orang beriman segar dan akalnya bercahaya hingga seseorang merasa memiliki harga diri dan kemuliaan. [102] Allah Swt berfirman: "Bagi Allahlah kemuliaan, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang beriman". (Al-Munafiqun: 8). Untuk tujuan suci itulah Islam datang dengan tegas memerangi segala bentuk kejahiliyahan dalam bentuk jimat dan mantera-mantera selain Qur'an, praktek perdukunan dan ramalan-



ramalan. Akan tetapi dengan berlalunya masa, syaithan kembali mempengaruhi ummat manusia, hingga banyak di antaranya yang terjerumus dalam jurang jahiliyah semisal itu. Maka Allah mengutus kepada mereka orang yang memperbaharui kembali urusan agamanya. Salah satu dari pembaharu itu adalah Syaikhul Islam dan Imam Syahid.



Pandangan Syaikhul Islam Syaikhul Islam menjelaskan sikap Islam yang tidak mau kompromi terhadap praktek perdukunan dan ramalan. Islam mengharamkan ini semua, kemudian merinci beberapa mantera yang boleh dilakukan dan yang tegas-tegas diharamkan. Semua itu dijelaskan dengan berlandaskan dalil yang kuat. Mengenai mantera, beliau berkata: "Dalam riwayat shahih, dari Nabi saw bersabda: "Tidak mengapa dengan mantera-mantera selama tidak syirik". (HR. Muslim). Beliau juga melarang mantera yang mengandung syirik sebagaimana bila mengandung perlindungan kepada jin. Allah Swt berfirman: "Dan bahwasannya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara fin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan". (Al-Jin: 6). [103] Oleh karena itu para ulama melarang jimat dan mantera yang sering digunakan untuk kekebalan dan mengalahkan musuh yang di dalamnya. Berbeda dengan mantera-mantera yang dibenarkan syara', maka itu boleh saja hukumnya." (Al-Fatawa,, juz 1, hal. 336). Rasulullah Saw pernah melakukan mantera untuk dirinya sendiri, para shahabat saling memberi mantera antar sesamanya, juga memberi mantera anak-anaknya, tentu saja dengan mantera yang dibenarkan Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Selanjutnya Syaikhul Islam menjelaskan sikap Islam terhadap para dajjal yang mendakwakan dirinya mengetahui yang ghaib dan sibuk melakukan perdukunan. Semua itu tidak dihalalkan dan beliau menjelaskannya dengan berlandaskan dalil. Beliau menjelaskan sikap kita terhadapnya serta keharusan memeranginya.



Berkata Syaikhul Islam: "Masalah-masalah seperti itu bagaimanapun tidak dihalalkan. Diriwayatkan oleh Abu Dawud Ra. dalam sunannya dengan sanad yang baik, dari Qubaishah bin Mukharik, dari Nabi Saw: 'Iyafah, turuq, dan thirah (jenis perdukunan dan ramalan) adalah jibt (syaitan). HR. Abu Dawud dan Ahmad. Berkata Auf, rawi hadits, makna 'iyafah adalah meramal dengan berlandaskan arah burung terbang, sedangkan turuq adalah mencoret tanah. Dikatakan juga makna sebaliknya. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah dan lain-lain meriwayatkan dalam hadits shahihnya dari Ibnu Abbas berkata: bersabda Rasulullah Saw: "Barangsiapa yang mencari ilmu nujum (ramalan bintang) maka ia telah memperoleh satu cabang dari sihir, tambahlah semaunya". [104] Rasulullah Saw secara tegas telah berkata bahwa ilmu nujum adalah bagian dari sihir. Dan Allah Swt telah berfirman: "... Dan tidak akan menang tukang sihir itu dari manapun ia datang". (Thaha: 69). Demikianlah realitanya, ahli nujum tidak akan berhasil, baik di dunia maupun di akhirat. Dari Shafiyyah binti Ubaid dari beberapa istri Nabi, dari beliau Saw bersabda: "Barangsiapa mendatangi tukang ramal dan menanyakan kepadanya sesuatu, ia tidak diterima



shalatnya selama empat puluh hari". (HR. Muslim dan Ahmad). Diriwayatkan juga dari Mu'awiyah bin Hakam As-Salmi berkata: Saya bertanya: "Wahai Rasulullah, ada sebagian orang-orang kami mendatangi dukun. Beliau bersabda: `Jangan datangi mereka". (HR. Muslim). Dalam riwayat shahih dari Nabi Saw bersabda: "Harga anjing itu kotor, mahr orang durhaka itu kotor dan barang pemberian dukun itu kotor". (HR. Bukhari dan Muslim). Termasuk di dalamnya tulisan rajah yang ada huruf-huruf seperti ba, jim, dal dan sebangsanya. Apa yang mereka berikan itu haram. Sepakat para jumhur ulama mengharamkannya seperti Al-Baghawi, Al-Qadhi 'Iyadh dan lain-lain. Sedangkan nash-nash dari Nabi Saw dan para shahabatnya dalam hal ini banyak sekali, tidak cukup diungkap di sini." (Al-Fatawa, juz 35, hal 192, 195). [105]



Pendapat Imam Syahid Imam Syahid telah mendasari dakwahnya dengan pemikiran yang bersih dari penyelewengan. Beliau menjadikan aqidah yang bersih dan jernih sebagai asas dakwahnya. Dalam rukun fahm, rukun bai'ah yang pertama, beliau menulis: "Jampi-jampi, mantera, ramal, perdukunan dan dakwaan tahu yang ghaib serta semua yang sejenis dengan ini adalah kemungkaran yang wajib diperangi, kecuali jenis-jenis yang dibenarkan Al-Qur'an atau mantera yang ada riwayatnya". (Majmu'ah Rasail, Risalatut Ta'lim, hal. 268, 269).



WALI DAN KARAMAHNYA Kedua Imam telah menjelaskan kepada kita siapa wali itu, dan mereka telah sepakat dengan definisi Qur'ani. Di samping itu mereka berdua juga menetapkan adanya karamah bagi waliyyullah yang shalih, sebagaimana ditunjukkan oleh hadits shahih dan realitas yang ada. Agar orang tidak jatuh dalam sikap yang berlebih-lebihan atau sebaliknya beliau berdua menjelaskan juga tentang hak-hak para wali, sikap apa yang harus kita berikan dan sikap apa yang tidak boleh. Syaikhul Islam menjelaskan bahwa salah satu dasar prinsip ahlussunnah wal jamaah adalah membenarkan adanya karamah bagi para wali. "Salah satu dari prinsip ahlussunnah wal jamaah adalah tashdiq terhadap karamah para wali dan segala kejadian yang luar biasa yang Allah anugerahkan kepada mereka, dalam lapangan ilmu dan kasyf (terkuaknya rahasia), dalam hal kemampuan serta pengaruhnya sebagaimana disebutkannya riwayat ummat dahulu dalam surat Al-Kahfi dan lain-lain. [106] juga terjadi di kalangan para shahabat dan tabi'in serta generasi-generasi berikutnya. Hal itu akan selalu ada hingga hari kiyamat." (Al-Fatawa, juz 3, hal. 156). Syaikhul Islam telah mengarang buku dengan judul: Perbedaan Antara Auliya Allah dengan Auliya Syaitan. Di dalamnya antara lain beliau berkata: "Auliya Allah yang bertakwa adalah mereka yang beriqtida' (mengambil keteladanan) kepada Rasulullah Saw. Yang mengamalkan apa-apa yang diperintahkan kepadanya dan menjauhi apaapa yang dilarang. Mereka mengikuti apa-apa yang diharuskan untuk diikuti maka malaikat turun mendukungnya. Allah Swt menancapkan cahaya-Nya dalam hati mereka dan bagi mereka karamah yang Allah anugerahkan kepada auliya'-Nya yang bertakwa. Auliya' Allah yang terpilih dengan karamahnya merupakan hujjah bagi agama dan dibutuhkan kaum



muslimin, sebagaimana mu'jizat Nabi Saw. Karena karamah yang diperoleh para auliya' sesungguhnya lantaran berkah mereka mengikut Rasulullah Saw. Maka ia hakikatnya termasuk mu'jizat Rasul Saw ..." (Majmu'. Fatawa, juz 11, hal. 275). Sedangkan karamah yang terjadi pada shahabat dan tabi'in serta para orang-orang shalih sangat banyak jumlahnya. Kemudian beliau memberi contoh peristiwa karamah yang terjadi di kalangan mereka dengan menyebutkan kisah Abu Bakar as-Shiddiq, Usaid bin Hudair, Khubaib bin Adi, Amir bin Fuhairah, Ummu Aiman, Khalid bin walid. Umar bin Khattab, Sa'id bin Zaid, Sa'd bin Abi Waqqash, Hasan Bashri, Shilah bin Asyim dan Sa'd bin Al-Musayyib. Kemudian beliau menjelaskan syarat karamah dan sebab-sebabnya serta perbedaan antara karamah dan tipu daya syaitan. Beliau berkata: [107] "Perbedaan antara karamah para wali dan semisalnya dengan tipu daya syaitan banyak jumlahnya, antara lain bahwa karamah para wali itu disebabkan karena iman dan takwa sedangkan tipu daya syaitan itu penyebabnya karena melanggar Allah dan Rasul-Nya". (AlFatawa, juz 11, hal 274, 278, 302).



Pendapat Imam Syahid Imam Syahid menjelaskan kepada kita siapa yang disebut wali itu, apa sifat-sifat mereka, apakah karamah itu ada, apa sikap kita menghadapi mereka dan apa hak-hak mereka. Semua itu diungkap dalam bahasa ringkas dan padat dalam rukun fahm, sebagai salah satu rukun bai'ah yang sepuluh. "Mencintai orang-orang shalih, menghormati dan memuji mereka berdasar apa yang diketahui dari amal-amal shalih mereka adalah merupakan bentuk taqarrub kepada Allah. Sedangkan para wali adalah mereka yang disebutkan Qur'an: "Yaitu orang-orang yang beriman dan mereka bertakwa". (Yunus: 63). Karamah itu ada dengan syarat-syarat syar'inya, dengan dibarengi keyakinan bahwa mereka sendiri tidak memiliki kemanfaatan dan kemadharatan dalam hidupnya, atau setelah matinya. Apalagi dapat memberi sesuatu kepada selainnya". (Majmu'ah Rasuil, Risalatut Ta'lim, hal. 270). Kemudian menjelaskan juga hukum minta perlindungan kepada ahli kubur, sebagaimana sudah dituturkan di depan. [108]



PANDANGAN KEDUA IMAM TENTANG SIFAT Mereka berdua telah berbicara tentang tauhid asma' wassifat. Masing-masing mereka menuturkan dengan caranya sendiri. Yang satu berbicara secara rinci dan panjang lebar sementara yang lainnya berbicara dengan ringkas. Yang demikian itu sesuai dengan kebutuhan lingkungan yang masing-masing hidup di dalamnya. Panjang dan rinci atau singkat dan ringkas bukanlah hal yang menjadi ukuran, namun ia terletak pada relevansinya dengan situasi dan kondisi lingkungan yang ada ketika mereka masing-masing berbicara. Yang penting mereka berdua telah berbicara hakikat yang harus diketahui oleh ummat. Syaikhul Islam telah berbicara masalah ini dengan panjang lebar dan rinci, beliau menulis tentang ini berjilid-jilid. Mudah-mudahan amalnya diterima oleh Allah Swt. Adapun Imam Syahid menjelaskan masalah ini dengan ringkas dan dalam beberapa halaman saja, selesai dalam beberapa kali. Semoga Allah Swt membalasnya. Yang paling penting bagi kita sekarang bertanya kepada diri sendiri dengan tulus ikhlas. Apakah masing-masing mereka menjelaskan itu semua relevan dengan lingkungan dan obyek



dakwahnya? Dan apakah masing-masing mereka meninggalkan hakikat yang seharusnya diketahui atau [109] sebaliknya? Dan apakah pikiran dan pendapat mereka sama atau berbeda? Masalah ini telah banyak menimbulkan perdebatan, memancing permusuhan dan meretakkan hati. Banyak di antara mereka hingga melontarkan tuduhan negatif serta celaan. La haula wala quwwata illa billah. Namun demikian, hal itu tidak menjadi alasan penulis menjelaskannya secara emosional. Penulis coba mendiskusikannya secara ilmiah dengan tujuan mencapai kebenaran, meletakkan sesuatu pada tempatnya tanpa harus fanatik kepada salah satu dari padanya karena keduanya telah berijtihad dan upaya mereka tidak sia-sia. Mereka telah menghasilkan apa yang mereka hasilkan, yang benar mendapatkan dua pahala dan yang salah mendapatkan satu pahala, sedang kesalahannya insya Allah diampuni. Keutamaan dan keni'matan semuanya dari Allah Swt. Semoga Ia mencurahkan rahmat dan ridha-Nya kepada mereka berdua. Sebelum penulis mendiskusikan masalah ini penulis melihat perlunya memberi pengantar dengan sejumlah prinsip sebelum kita sampai kepada hasil akhir. Pembaca hendaknya melapangkan dadanya, membaca dengan cermat dan teliti, jangan terburu-buru. Penulis coba mengungkapkannya dengan bahasa yang sederhana dan muclah dimengerti. Kepada Allah-lah kita beristi'anah dan bertawakkal. Bila penulis benar itu dari Allah semata dan bila salah maka hal itu datangnya dari diri penulis dan syaitan.



PENGANTAR, YANG PENTING DIKETAHUI Penulis telah banyak mendengar orang-orang yang terlibat perbincangan tentang dua imam. Ada yang mencela dan melemparkan tuduhan negatif. Penulis mendapatkan [110] sesuatu yang aneh dan asing karena kebenarannya tidak transparan bagi mereka sama sekali. Penulis coba mencari informasi dan bertanya kepada mereka dan mencoba mengetahui sejauh mana sikap mereka terhadap hakikat ini. Penulis tahu kemudian bahwa sebagian besar yang mempermasalahkan ini ternyata tidak mengerti sama sekali hakikat yang mereka bicarakan. Ketidaktahuan inilah rupanya yang menjadi salah satu sebab utama kerancuan sikapnya. Namun barangkali ketidaktahuan mereka perlu dimaklumi dan penulis coba untuk mengerti dengan lapang dada. Kita hendaklah belajar sabar, cermat dan tidak terburu nafsu. Allah Swt telah memaafkan apa-apa yang telah berlalu dan Ia berfirman: "Kalian tidak diberi ilmu kecuali sedikit". (Al-Isra': 85). Boleh jadi sebagian orang tidak dapat menangkap sebagian hakikat ini dengan sejelasjelasnya namun penulis yakin sebagian yang lain dapat mengerti dengan mudah. Bagi kelompok yang pertama, hendaklah menerima dengan ikhlas penjelasan yang diterangkan kepadanya dan dengan demikian insya Allah akan menjadi pintu menuju kebenaran yang hakiki. Jangan sampai menolak keseluruhan hanya karena kesalahan sebagian. Akan tetapi hendaklah bersikap adil, memberi ukuran sesuai kadarnya dan memberi hak kepada pemiliknya. Allah Swt berfirman: "Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya atau miskin maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti [111] hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan



(kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan". (An-Nisa': 135) Dan firman-Nya: "Hai orang-orang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan". (Al-Maidah : 8)



AQIDAH MEMPUNYAI USHUL DAN FURU' Tidak disangsikan lagi bahwa aqidah adalah asas dan pondasi agama. Di atasnya bangunan Islam ditegakkan. Bila pondasi kokoh, kokohlah bangunan dan bila ia rapuh, maka rapuh pulalah bangunan Islam. Oleh karena itu di kalangan para ulama aqidah ini dinamakan juga ushuluddin. Nama ini telah begitu dikenal di kalangan umat Islam sejak beberapa generasi yang lalu hingga kini. Ada yang perlu diketahui menyangkut hal ini yaitu: - Penamaan ini belum dikenal hingga tiga abad pertama hijriyah. - Nama ini merupakan nama baru yang mula-mula dipakai oleh kalangan para ulama ilmu kalam dan beberapa ulama fiqih. Mereka membagi masalah agama menjadi dua: Ushul; yaitu hal-hal yang berkenaan dengan masalah aqidah, dan furu'; yakni berkenaan dengan masalah hukum operasional (fiqih). Penamaan ini dikenal dan dipakai pula oleh kalangan ahli sunnah wal jamaah. [112] Akan tetapi ada beberapa perbedaan pemahaman mengenai istilah tersebut antara ulama ahli sunnah dan ulama ilmu kalam. Inilah hakikat yang belum banyak difahami. Ahli sunnah ketika menyebut istilah ushuluddin bagi aqidah dimaksudkan sebagai tasyrif terhadapnya dan menempatkannya pada posisi yang istimewa dalam agama. Tidak dimaksudkan bahwa seluruh masalah aqidah adalah ushul, sebab di sana juga ada masalah furu'. Mereka tidak bermaksud menyatakan bahwa seluruh masalah fiqih itu furu', namun di sana ada juga ushulnya. Hal-hal yang pokok dalam masalah aqidah dan fiqih disebut ushul sedangkan hal-hal yang rinci dan detail di dalamnya disebut furu'. Inilah pandangan ulama salaf rahimahullah. Inilah agaknya pandangan yang bijak dan benar yang telah menjadi faktor yang membuat prinsip ahlus sunnah wal jamaah senantiasa istiqamah dan stabil, dapat terhindar dari terjertimus dalam sikap-sikap yang tidak proporsional seperti takfir (mudah mengkafirkan orang). Dan ini pula yang telah menjaga mereka dari mudah melemparkan tuduhan sesat kepada orang lain tanpa kebenaran. Agama Islam itu agama yang agung dan kokoh. Tidak hancur begitu saja hanya karena perbedaan pendapat dalam salah satu masalah aqidah tanpa mau menelaah secara mendalam hujjah-hujjah syar'inya. Karena madzhab salaf itu menimbang masalah secara hukum lebih dahulu kemudian memutuskan hukumnya dengan adil. Sedangkan madzhab ahli bid'ah itu tanpa mau menimbang masalah serta membedakan mana yang pokok dan mana yang cabang. Mereka secara tergesa-gesa memberi cap kepada siapa saja yang berbeda dengan pendapatnya dengan kafir, ahli bid'ah, sesat dan lain-lain. [113] Masalah yang saya ungkapkan ini bukanlah hasil menyimpulkan apa yang saya baca namun ia telah dibahas dan diungkap oleh seorang alim dari kalangan salaf ummat ini serta imam mereka. Ia adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.



Beliau berkata: "Sesungguhnya masalah-masalah khabariyah (masalah keimanan) terkadang menduduki posisi masalah 'amaliyah (fiqih) meskipun yang satu diberi nama masalah ushul sementara yang lainnya diberi nama masalah furu'. Istilah ini istilah baru yang dipakai oleh sekelompok para fuqaha dan mutakallimin (ahli ilmu kalam). Hanya saja lebih banyak dipakai oleh mutakallimin dan ahli ushul ..." Selanjutnya beliau menjelaskan bagaimana madzhab salaf dan contohnya. Beliau berkata: "akan tetapi yang benar adalah bahwa masalah-masalah pokok dalam dua hal di atas (aqidah dan fiqih) adalah masalah ushul, sedangkan masalah detail dan rinci dari padanya adalah masalah furu'. Pengetahuan tentang wajibnya menunaikan rukun Islam yang lima, tentang haramnya hal-hal yang diharamkan secara mutawatir oleh ayat-ayat Allah, tentang hahwa Allah itu Maha Mengetahui segala sesuatu, Maha Mendengar dan Melihat, bahwa Qur'an adalah kalamullah dan sejenisnya adalah masalah-masalah yang sangat jelas, yang barangsiapa mengingkarinya maka ia kafir."



DUA HAL YANG PENTING DIKETAHUI Setelah Syaikhul Islam menjelaskan tentang asal mula penamaan aqidah dengan ushul dan menjelaskan kandungan istilah-istilah itu. [114] Selanjutnya beliau mengemukakan dua prinsip penting menyangkut masalah aqidah yang kedua prinsip ini akan menjaga kita dari terjerumus dalam jurang yang telah menjerumuskan ahli bid'ah dan hawa nafsu. Adapun dua prinsip penting itu adalah: Pertama: Masalah aqidah tidak hanya satu jenis ditinjau dari segi qath'iyyah dan zhanniyyah-nya. Ada yang jelas dan qath'i yang telah disepakati oleh ulama berdasar dalil mutawatir yang tidak bisa dibantah dan tidak mengandung interpretasi ganda dari tinjauan syara' atau logika ataupun bahasa. Disamping itu ada pula yang samar atau logika ataupun bahasa. Disamping itu ada pula yang samar dan dzannid dalalah, yang memungkinkan adanya interpretasi ganda dari tinjauan syara', logika maupun bahasa, lepas dari hakikatnya benar atau salah. Dari prinsip inilah dibangun prinsip yang kedua. Kedua: Ijtihad dalam masalah aqidah tidak dapat dihukumi sebagai berada pada satu tingkatan. Ada yang dengan ijtihadnya berpahala, ada yang berdosa, ada yang fasiq, ada pula yang dimaafkan.



Berkata Syaikhul Islam: "Saya katakan bahwa masalah khabariyyah itu terkadang memiliki kedudukan yang sama dengan masalah amaliyah, ada yang qath'i dan ada yang zhanni. Para mujtahidnya ada yang benar dan ia mendapat pahala. Sedangkan mujtahid yang salah mungkin berdosa, mungkin fasiq atau diperlakukan sebagaimana mujtahid dalam masalah amaliyah". (Al-Fatawa, juz 6, hal. 57). Dari ini dengan gamblang telah diungkap oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, kita berkesimpulan, seorang muslim [115] hendaknya menelaah dengan detail masalah-masalah aqidah agar dapat mengukur timbangan hukumnya dengan tepat, bijak dan adil. Janganlah terburu-buru memberi vonis saat pertama kali melihat orang lain berbeda pendapat dengan prinsip yang selama ini kita yakini kebenarannya dan sudah menjadi bagian dari prinsip kita dalam agamanya. Sebaliknya sikapilah dengan dewasa dan kritis, hiasilah senantiasa dengan takwa kepada Allah agar akhirnya dapat terungkap hukum yang sebenarnya secara detail.



Kepada Allahlah kita mohon pertolongan. Wahai saudara-saudaraku yang tercinta, jagalah prinsip tersebut baik-baik, karena ia merupakan penuntun bagi kalian dalam menempuh jalan yang benar. Jadikanlah ia pengendali dan jangan sekali-kali kalian abaikan. Karena jalan dakwah ini dipenuhi oleh rangsangan perdebatan yang sering menimbulkan perpecahan yang membingungkan.



LARANGAN MERENUNGI DZAT ALLAH SWT Islam menganjurkan kita untuk merenung dan berfikir tentang alam, manusia dan angkasa luar. Itu semua diperlukan dalam rangka kemaslahatan ummat manusia, memanfaatkan apaapa yang ditundukkan Allah untuk hamba-hambanya serta dalam rangka memenuhi kewajiban menegakkan fungsi kekhalifahan di muka bumi. Disamping itu juga untuk dapat menambah kemantapan iman kepada Allah Swt. Namun demikian Islam membatasi obyek perenungannya. Ia melarang ummat manusia untuk merenungkan hal-hal yang di luar jangkauan akal pikirannya. Dalam kebijakan itu sesungguhnya ada perlindungan dan pembatasan bagi manusia agar tidak menyia-nyiakan energi yang tidak perlu. [116]



Imam Syahid Berkata: "Sementara orang telah terjerumus dalam kesesatan karena berbicara tentang dzat Allah Swt. Pembicaraan mereka itu telah menyebabkan mereka terseret dalam fitnah dan perpecahan karena mereka berbicara sesuatu yang tidak mereka ketahui dengan pasti. oleh karena itu Nabi Saw melarang ummatnya merenungkan dzat Allah dan menyuruh mereka memikirkan makhluqNya. Dari Ibnu Abbas Ra, sesungguhnya ada beberapa orang yang berfikir tentang dzat Allah. Maka Nabi Saw bersabda: "Berfikirlah tentang makhluq Allah dan jangan berfikir tentang dzat Allah, karena kalian tidak mampu menjangkau kekuasaan-Nya". Tentang hadits ini, berkata 'Iraqiy: Diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dalam Hulliyyah dengan sanad da'if. Diriwayatkan oleh Asbihani dalam Targhib dan Tarhib dengan sanad yang lebih shahih, demikian juga riwayat Abu Syaikh. Yang jelas dari segi makna hadits ini shahih. Ini bukanlah sesuatu yang mengekang akal pikiran sehingga menyebabkan orang jumud dan berwawasan sempit. Namun ia justru menjadi dinding bagi ummat manusia yang menghalanginya terperosok dalam kesesatan, menjauhi pembahasan yang tidak ada sarananya. Inilah manhaj hamba-hamba Allah yang shalih dan alim tentang keagungan dzat Allah dan kemampuan-Nya yang tanpa batas. Batasilah cakupan pemikiranmu dalam memaharni keagungan Allah dengan memikirkan makhluq-Nya serta berpegang teguh kepada sifat-sifat-Nya". (Majmu'ah Rasail, Risalatul Aqaid, hal. 296, 297). [117]



DILARANG BERBICARA YANG TIDAK DIBARENGI AMAL Islam datang untuk menjaga waktu dan mengarahkan potensi manusia. Sebagian dari prinsip-prinsipnya adalah tidak boleh berbicara yang tidak diikuti amal perbuatan, atau perkataan yang tidak membuahkan apa-apa dan tidak ada faedah yang bisa dipetik. Para ulama salafus shalih dahulu selalu menjauhi perdebatan yang di dalamnya tidak ada pengaruhnya bagi amal perbuatan ummat manusia. Perdebatan itu dilayani kalau memang mendesak dan tidak mungkin dihindari.



Imam Syatibi herkata: "Imam Malik bin Anas berkata: Saya benci pembicaraan dalam masalah agama dan seluruh masyarakat kami membenci dan melarangnya, seperti berbicara masalah jahmiyah dan qadariyah dan yang semisal dengannya. Saya tidak suka perkataan kecuali yang diikuti oleh amal perbuatan. Adapun perkataan tentang agama dan tentang Allah Azza wa jalla maka diam itu lebih baik menurut saya karena saya melihat penduduk negeri kami melarangnya kecuali bila diikuti dengan amal perbuatan. Berkata Ibnu Abdil Barr: Imam Malik telah menjelaskan bahwa perkataan yang diiringi amal perbuatan itu diperbolehkan olehnya dan juga oleh masyarakatnya (ulamanya). Dan beliau menjelaskan bahwa perkataan tentang agama (yang dilarang itu) seperti tentang sifat Allah dan asma-Nya, selanjutnya beliau memberi contoh seperti qadariyah dan jahmiyah. Ibnu Abdil Barr berkata: "Apa yang dikatakan Malik itu disepakati oleh ulama fiqih dahulu dan sekarang, juga oleh ahli hadits dan ahli fatwa. [118] Adapun yang menentangnya hanyalah kalangan ahli bid'ah. Adapun jamaah berada pada apa yang dikatakan imam Malik, kecuali bila seseorang dipaksa harus berkomentar untuk mengcounter kebathilan dan menjauhi pengaruh sesat di kalangan ummat atau sejenisnya". (Al-I'tisham Lissyatibi, juz 2, hal 332, Jam i' Bayanil `Ilmi wa Wadhlihi oleh Ibnu Abdil Barr, juz 2, hal. 95). Inilah wahai saudaraku, penganut madzhab salaf. Pembicaraan hanya boleh bila diiringi perbuatan kecuali dalam keadaan terpaksa. Para ulama salaf adalah ahli beramal dan bukan ahli berdebat. Peganglah prinsip ini dalam hidupmu niscaya banyak memberi manfaat kepadamu. Sekali-kali tidaklah ummat ini menjadi baik kecuali bila orang-orang salafnya baik. Dan kini engkau telah mengikuti para ulama salaf yang baik itu, istiqamahlah.



KEWAJIBAN KITA TERHADAP SIFAT Telah disebutkan dalam Al-Qur'an maupun hadits-hadits Rasul Saw beberapa sifat Allah Swt. Allah adalah ghafur (Maha Pengampun), rahim (Maha Penyayang), sami' (Maha Mendengar), bashir (Maha Melihat), 'alim (Maha Mengetahui), hakim (Maha Bijaksana), qawiy (Maha Kuasa), 'aziz (Maha Perkasa), razzaq (Maha Memberi Rizki), qadir (Maha Kuasa), dan lain sebagainya. Adapun kewajiban dan tuntutan yang utama bagi kita adalah berupaya untuk mengenal dampak sifat-sifat itu pada kehidupan seseorang dan lingkungan sekitarnya. Disamping itu juga berpegang teguh dengan sikap yang menjadi keharusannya setelah menghayati sifat-sifat Allah tersebut. Inilah kewajiban pokok kita. Barangsiapa yang konsisten dengannya ia akan memperoleh kehormatan hidup [119] di dunia dan keberuntungan di akhirat kelak.



Berkata Imam Syahid: "Suatu hal yang wajib disadari oleh setiap mu'min adalah bahwa makna yang dikandung dalam lafal sifat-sifat Allah tabaraka Swt tidak serupa dengan makhluk-Nya. Renungkanlah hakikat ini. Kita tidak dituntut mengetahui essensinya, namun cukup bagi kita mengenal dampaknya pada alam ini dan konsisten dengan hak-hak yang semestinya kita tunaikan. Hanya kepada Allah kita mohon perlindungan dari ketergelinciran, dan pada-Nya sajalah taufiq." (Majmu'ah Rasail, Al-'aqaid, hal. 317). Inilah akhi fillah, ungkapan yang amat berharga. Renungkanlah. Cahaya hikmah telah menyiramnya dan sinar keimanan telah menaunginya. Sebagaimana penulis telah wasiatkan di muka, baca dan renungkanlah.



MENGANGKAT ISSU SIFAT Kita.telah mengetahui salah satu manhaj salaf dalam dakwah adalah berkata sesuatu yang dibangun atas amal perbuatan. Yaitu perkataan yang realistis dan mempunyai pengaruh dalam kehidupan. Sebaliknya, meninggalkan omongan yang tidak dibangun atas amal, baik dalam masalah aqidah ataupun fiqih, kecuali bila mendesak untuk itu. Sebagaimana juga pembicaraan mengenai sifat, kita tahu bahwa tuntutan kita hanyalah mengenal dampaknya pada alam serta konsisten dengan hak-hak yang harus ditunaikan. Kini kita sampai pembahasan yang teramat penting yang mendapat perhatian serius dari Syaikhul Islam, [120] sebagai manhaj para ulama salaf dari kalangan shahabat dan tabi'in radhiallahu 'anhum. Sungguh, ini persoalan serius yang harus mendapatkan perhatian dan kejernihan pikiran. Yaitu hukum mengangkat tema "sifat" di kalangan awam, sebuah tema yang banyak dibicarakan oleh kalangan salaf maupun khalaf dan berpengaruh besar pada ummat. Saya ingatkan bahwa Syaikhul Islam telah dituduh memancing kekacauan pemikiran dan kebimbangan bagi banyak orang karena banyak membicarakan ayat dan hadits-hadits tentang sifat. Beliau jawab tuduhan ini dengan penuh sikap bijak dan adil, seraya berkata: Adapun perkataan orang bahwa hendaklah pembahasan ayat dan hadits-hadits sifat itu jangan diangkat di forum awam, maka saya memang tidak pernah sama sekali menyinggung masalah ini di hadapan orang awam. Akan halnya menjawab pertanyaan orang-orang yang mencari petunjuk tentang ajaran yang telah Allah turunkan kepada Rasul-Nya, maka Nabi saw sendiri bersabda: "Barangsiapa ditanya sebuah persoalan yang ia tahu tetapi menyembunyikannya maka Allah akan mencemeti ia dengan cemeti dari api". (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majjah). Dan Allah swt berfirman: "Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan sesuatu yang Kami turunkan dari keterangan dan petunjuk setelah Kami jelaskan kepada orang dalam Kitab, mereka akan dilaknati Allah dan dilaknati orang-orang yang melaknati". (Al-Baqarah : 159). Seseorang yang berpengetahuan tidak akan diperintah kepada sesuatu yang membangkitkan laknat Allah. Wallahu A’lam, walhamdu lillahi rabbil 'alamin." (Majmu' Al-Fatawa, juz 5, hal. 266). [121] Beliau berkata pula: "Saya tidak bertindak melampaui batas kepada seorang pun. Saya tidak pernah berkata kepada seseorang: "Ikutilah pendapatku, kalau tidak kau akan saya lakukan begini begitu." Saya tidak pernah memaksa seseorang, baik dengan ucapan maupun tindakan. Bahkan saya tidak pernah menulis tentang itu (sifat) sama sekali kecuali semata-mata menjawab desakan pertanyaan yang bertubi-tubi. Bukanlah kebiasaan saya berbicara masalah ini di hadapan orang tanpa diminta". (Al-Fatawa, juz 3, hal. 243). Allahu Akhar, begitulah saudaraku. Sungguh, ia adalah hikmah dan ia pula manhaj salaf dan para ulama yang mukhlis. Kita saksikan bagaimana perhatian para da'i yang sadar terhadap ta'liful qulub dan wihdatush shaf (menghimpun barisan) tanpa mengabaikan kebenaran dan main vonis terhadap pihak lain. Inilah dia manhaj salaf, yakni tidak mengungkap persoalan di hadapan orang awam tanpa sebab yang jelas. Kecuali apabila didesak oleh pertanyaan yang tidak bisa dihindari. Adapun bila tidak ada persoalan, ummat dalam keadaan tenang dan tenteram, janganlah diusik. Karena frthrah itu akan dengan sendirinya mengikuti kebenaran.



Dan apa yang diungkapkan Syaikhul Islam ini telah pula banyak dibicarakan oleh para ulama sebelumnya. Kalau saja tidak khawatir akan menjemukan tentu saya akan menyebutkannya. Disamping saya menganggap apa yang Syaikhul Islam katakan sudah mewakilinya. [122]



Sebab-sebab Syaikhul Islam Berbicara Panjang Lebar Barangkali para pembaca ada yang dikejutkan oleh keterangan di atas, mungkin ia akan berkata: Kalau manhaj Syaikhul Islam itu tidak membicarakan masalah sifat tanpa diminta, kita melihat karangan-karangan dan risalah beliau dalam masalah ini begitu banyak dan berjilid-jilid. Apa penyebabnya? Kenapa beliau memperbanyak tulisan tentang itu semua? Pertanyaan ini sungguh benar-benar dilontarkan oleh banyak orang sedangkan jawabannya mudah, sederhana dan jelas. Untuk itu, saya ungkapkan beberapa di antaranya dalam lembaran ini. Yaitu, dapatkanlah semua ini pada kisah kehidupan Syaikhul Islam. Yang saya maksud dengan kehidupannya itu bukanlah pemikiran, pendapat dan kata-katanya saja. Sebab hal itu tidak cukup buat menjawab pertanyaan kita. Akan tetapi yang saya maksud dengan kehidupannya adalah juga kondisi kehidupan dan lingkungan dimana beliau hidup waktu itu, baik dalam aspek pemikiran, politik, sosial maupun keagamaan. Disamping itu juga memahami berbagai ragam kelompok aliran yang ada dan berkembang ketika itu, pertentangan pemikiran yang dibarengi dengan saling menghasut dan menjatuhkan, atau menebarkan fitnah syubhat dan dusta untuk sekedar dapat mengunggulkan kelompoknya dalam persaingan. Syaikhul Islam ketika itu lebih banyak diam dan bersabar serta memberi toleransi, sehingga datang keadaan yang memungkinkan bagi beliau untuk berbicara. Ketika itu telah banyak terjadi perselisihan pandangan yang tiada putus-putusnya hingga memunculkan perselisihan dan permusuhan, bahkan hampir terjadi pertumpahan darah. Pada saat itulah beliau bangkit memberi [123] arahan dan penjelasan dengan petuah yang baik serta bijak, konstruktif dan bermanfaat. Beliau sering ditantang untuk berdebat dan difitnah sebagai membawa pemikiran sesat. Untuk menghadapinya, beliau tidak punya daya apa-apa kecuali menjawab dan menjawab dengan menyandarkan segala sesuatunya kepada Allah. Perdebatan pun terus berkelanjutan hingga banyak di antaranya terhimpun dalam tulisantulisan. Masing-masing dari mereka menuliskan pendapatnya dengan membubuhkan dalilnya, sementara yang lain tidak mau ketinggalan memberi sanggahannya dan menyatakan bahwa pendapat saingannya itu bathil. Kemudian pihak yang dikritik pun tidak mau mengalah begitu saja, dan begitulah seterusnya hingga banyak sekali karangan dan tulisan yang berhubungan dengan masalah ini. Syaikhul Islam ketika itu juga mengeluarkan fatwanya secara jelas dan tegas, dengan hujjah yang kuat dan ilmiah. Terkadang beliau membantai pendapat orang-orang dari generasi sebelumnya, di saat lain beliau mengeritik pandangan orang-orang semasanya. Namun demikian beliau tidak pernah memaksakan pendapatnya kepada orang lain karena beliau memahami dengan baik bahwa banyak faktor yang membuat orang suka atau sebaliknya membuat orang benci. Ada orang-orang yang bersimpati kepada pendapat beliau. Namun ada pula sebagian ulama menyanggahnya. Hal ini beliau sikapi dengan memberikan penjelasan secara rinci. Beliau menulis kitab dan menghimpunnya untuk menjawab keraguan mereka. Dan demikianlah seterusnya.



KESIMPULAN Faktor penyebab kenapa Syaikhul Islam membahas [124] panjang lebar tentang sifat adalah karena banyaknya desakan pertanyaan. Karena perdebatan yang sengit banyak terjadi ketika itu, hingga masing-masing pihak mengungkapkan hujjahnya, baik untuk mempertahankan pendapatnya ataupun menggugurkan pendapat pihak lain. Bahkan kalau perlu membuat hujjah-hujjah palsu demi menjatuhkan pihak lawan. Na'udzubillahi min dzaalik. jadi, beliau mengemukakan pembahasan panjang lebar itu bukan disebabkan urgennya persoalan sehingga membutuhkan pembahasan panjang lebar. Akan tetapi sekedar untuk meluruskan yang bengkok ataupun yang sengaja dibengkokkan orang. Dan untuk meletakkan sesuatu pada proporsinya. Kalau bukan demikian, bukankah sirah (perjalanan hidup) para shahabat dan salafush shalih (para pendahulu yang shalih) hingga kini masih ada di tangan kita, dan seolah-olah kita hidup bersama mereka? Sejarah mereka tercatat datt pembicaraan mereka terekam? Akan tetapi coba perhatikan, apakah mereka berbicara masalah ini begitu seriusnya? Saya ingin tegaskan jawabannya: "Tidak!". Mungkin anda bertanya: Mengapa? jawabnya: "Karena fithrah menuntun kepada kebenaran ini dengan mudah, dan kebenaran ini telah tertanam dalam fithrah tersebut berkat anugerah Allah. Sehingga hati dengan sangat mudah merasa tenteram menerima dan memahami ini semua. Adapun kini, kita dapati orang-orang yang berlebihan melampaui batas hingga keluar dari manhaj salaf yang jernih dan memancing kebimbangan serta kekacauan pemikiran. Bahkan sampai menyebarkan racun fitnah yang menjadikan orang hampir keluar dari agama dan fithrahnya. Di sinilah saat yang tepat untuk melakukan diskusi [125] dengan orang-orang yang melampaui batas dan keluar dari manhaj salaf. Diskusi ini dimaksudkan untuk meredam fitnah dan menolak pemikiran yang rancu dan membimbing orang-orang yang kebingungan. Untuk tujuan yang selain itu, perdebatan masalah ini tidak perlu dilakukan. Karena kebenaran itu telah tertanam dalam fithrah. Tidak baik mengawali pembicaraan dalam masalah ini. Seseorang bisa jadi tidak mahir dalam menyampaikan sesuatu meskipun yang disampaikan adalah kebenaran. Bila demikian yang terjadi, maka dikhawatirkan akan muncul keraguan, fitnah dan keresahan yang sulit diredam sebagai akibatnya. Umat ini tidak membutuhkan sesuatu yang rumit, maka jangan pula menyodorkan kerumitan?



ANTARA SALAF DAN KHALAF Generasi awal telah menampilkan Dienul Islam dalam bentuk yang paling baik. Mereka mendapatkan aqidah, syari'ah, nilai-nilai dasar dan semua ajaran kehidupan dari Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Terkadang terjadilah sebuah diskusi diantara mereka dalam masalah-masalah khabariyyah (berita wahyu) maupun amaliyah di mana antara yang satu dengan lainnya berbeda pendapat. Namun itu semua terjadi tanpa dibarengi dengan perselisihan dan retaknya hati. Mereka selalu menjaga ukhuwah dan ta'liful qulub di antara sesamanya. Kondisi seperti ini terus dapat dipertahankan hingga abad emas ketiga. Sejak saat itu mulailah mercusuar daulah Islamiyah menjulang. Orang berbondongbondong masuk ke pangkuan Islam. Orang-orang baru itu ada yang datang dengan warisan aqidah sesatnya, ada yang dusta dan munafik dan [126] tentu saja ada di antara mereka yang mu'min dan shadiq. Sehingga keadaan umat sertlakin heterogen dalam tingkat



pemahamannya terhadap Al-Islam. Maka mulailah bermunculan fitnah yang mengotori kemurnian ajaran Islam. Di antara fitnah besar itu adalah diterjemahkannya filsafat Greek Yunani yang kemudian dibawa masuk ke negeri Islam. Sebagian masyarakat ada yang takjub dan serta-merta menerimanya untuk kemudian mencampur adukkannya dengan sumber mata air nilai yang jernih dan bersih. Terbukalah kini pintu fitnah yang lebih besar dalam masalah aqidah. Munculah pandangan-pandangan baru yang aneh dan menyimpang, aktifitas orang-orang zindik, syubhat yang mengkaburkan pemikiran dan keyakinan hingga membangkitkan keraguan di kalangan ummat. Salah satu masalah yang dimasukkan oleh filsafat Yunani tersebut adaiah masalah asma' dan sifat bagi Allah swt. Persoalan ini telah menyebabkan maraknya diskusi dan perdebatan, hingga akhirnya melahirkan perpecahan dan permusuhan. Ummat pun terpecah bercerai-berai. Ada di antara mereka yang zindik dan munafik yang hanya menginginkan hancurnya agama, ada pula di antaranya yang bodoh dan tertipu, disamping ada pula tentunya yang tetap istiqamah. Dari beragamnya kelompok orang seperti ini, lahir berbagai aliran, dimana yang satu dengan lainnya saling bermusuhan. Di antaranya ada aliran yang lurus, dibangun dengan dalil-dalil syar'i. Dan banyak pula aliran yang bathil, tanpa hujjah dan dalil yang jelas kecuali persangkaan belaka. Sementara ada aliran yang campur-aduk antara haq dan bathil. Melihat kepentingannya kita tidak perlu merinci satu per satu masalah ini, saya nukilkan saja ringkasan beberapa pendapat tentang itu. [127]



Imam Syahid Berkata: "Dalam masalah ini orang-orang terbagi dalam empat kelompok. 1. Ada yang mengambil makna dalil secara zhahir (tekstual). Mereka menisbatkan – umpamanya – wajah Allah sebagaimana wajah makhluk-Nya, tangan Allah sebagaimana tangan makhluk-Nya, tertawa-Nya sebagaimana tertawa makhluk-Nya, dan demikian seterusnya hingga mereka menyerupakan Allah dengan seorang syaikh atau pemuda. Mereka itulah kelompok yang disebut mujassimah dan musyabbinah (yang menjisimkan dan menyerupakan). Padahal omongan mereka tidak bisa dinisbatkan kepada Islam dan tidak mengandung bagian dari dienul Islam sekecil apapun. Untuk membantah omongan mereka cukuplah apa yang Allah Swt firmankan: "Tidak sesuatu pun semisal Allah dan Ia Maha Mendengar lagi Maha Melihat". (As-Syura: 11). Juga firman-Nya: "Katakan bahwa Allah itu Esa. Allah dzat tempat memohon. Ia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu pun yang sepadan dengan-Nya". (Al-Ikhlash: 14). 2. Ada kelompok lain yang menafikan lafal-lafal sifat. Mereka menolak kandungan lafallafal itu secara mutlak dinisbatkan kepada Allah. Bagi mereka Allah Swt itu tidak berbicara, tidak mendengar dan tidak melihat. Karena semua aktivitas tersebut tidak dapat dilakukan [128] kecuali menggunakan anggota badan. Sedangkan anggota badan harus dinafikan dari Allah Swt. Dengan demikian mereka telah menafikan sifat-sifat Allah Swt, tetapi dengan dalih mensucikan-Nya. Dalam sejarah aqidah, kelompok mereka lazim disebut kelompok Jahmiyyah. Saya tidak yakin ada akal pikiran yang bisa menerima cara berpikir mereka. Bukankah



terjadi praktek berbicara, mendengar dan melihat tanpa anggota badan pada beberapa makhlukNya? Bagaimana mungkin Allah yang Maha segala-galanya kesulitan dalam hal demikian? Maha Suci Allah dari semua tuduhan itu, dan Ia Maha Tinggi lagi Maha Besar. Dua kelompok ini bathil, tidak perlu lagi dibahas panjang lebar. Masih tersisa setelah itu dua kelompok lagi. Inilah yang banyak diperbincangkan oleh para ulama ahli aqidah. Mereka berdua adalah aliran salaf dan aliran khalaf". (Majmu'ah Rasail, Al-‘Aqaid, hal. 324, 325). Penjelasan Imam Syahid tentang dua kelompok pertama di atas (Mujassimah dan Mu'atthilah) sudah cukup jelas. Hal itu senada dengan pendapat Syaikhul Islam. Kini muncul lagi pertanyaan berikut ini, yang kadang mengusik perasaan kita. Yaitu: 'Apakah kedua imam sepakat tentang pengertian salaf dan khalaf?" Untuk menjawab pertanyaan ini saya mulai dengan menukilkan penjelasan kedua imam tentang definisi madzhab salaf dan madzhab khalaf. Kemudian penjelasan tentang mana yang terpilih di antara keduanya.



Definisi Syaikhul Islam Syaikhul Islam menulis banyak sekali risalah tentang [129] tema ini. Ringkasan definisinya tentang madzhab salaf sebagaimana ungkapan beliau berikut ini: "Madzhab salaf adalah madzhab yang mensifati Allah dengan sifat yang Ia sebutkan sendiri atau disebutkan Rasul-Nya. Yang hal itu tidak lebih dan tidak kurang dari Qur'an dan Hadits. Yaitu madzhab pertengahan antara ta'thil (meniadakan sama sekali) dan tamtsil (menyerupakan). Mereka tidak mensifati Allah dengan sifat makhluk-Nya sebagaimana mereka tidak menyamakan dzat-Nya dengan dzat makhluq-Nya. Mereka juga tidak menafikan sifat-sifat yang disebutkan Allah sendiri dan disebutkan Rasul-Nya". (Majmu' Al-Fatawa, juz 5, hal. 26 dan Al-Hamuwiyah, 16). Ketika berbicara tentang madzhab khalaf Syaikhul Islam menghimpun semua madzhab yang keluar dari madzhab salaf dengan segala ragamnya. "Paling parah di antara mereka adalah madzhab yang menafikan asma' dan sifat, berikutnya madzhab yang menetapkan asma' tetapi tidak mengakui kandungan sifat. Sedangkan yang paling ringan adalah kelompok yang menetapkan asma' dan sebagian sifat dengan mentakwilkan sebagian yang lain." (Risalah Tadammuriyah, 7, 8, 13 dan Al-Hamuwiyah, 6,7).



Definisi Imam Syahid Imam Syahid menjelaskan definisi madzhab salaf dan khalaf dengan ungkapan sebagai berikut: `Adapun orang-orang salaf, mereka berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat dan haditshadits ini sebagaimana adanya. Kami menyerahkan maksudnya kepada Allah Swt. Mereka menetapkan wujud tangan, mata, istiwa, tertawa, ta'jub, dan sebagainya. Semua itu dengan makna yang [130] tidak kami ketahui. Kami serahkan kepada Allah Swt yang pengetahuanNya meliputi segala sesuatu. Apalagi Rasulullah Saw telah melarang membicarakan hal itu dalam hadits-nya: "Berfikirlah tentang makhluq Allah dan jangan berfikir tentang Allah, karena kalian sekalikali tidak akan mampu menjangkau kekuasaan-Nya. " Berkata Al-'Iraqi, diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dalam Al-Hulliyah dengan sanad dhaif dan



diriwayatkan oleh Al-Asbihani dalam At-Targhib wat-Tarhib dengan sanad yang lebih shahih. Demikian juga diriwayatkan oleh Abu Syaikh. Semua itu dengan satu penegasan, yaitu menafikan tasybih (penyerupaan) antara Allah dan makhluq-Nya." (Majmu'ah Rasail, Al-Aqaid, hal. 325). ltulah definisi Imam Syahid tentang madzhab salaf sebagaimana yang beliau fahami. Kemudian beliau menjelaskan beberapa ucapan ulama salaf. Ucapan-ucapan mereka itu telah ditetapkan oleh kedua Imam berasal dari kalangan salaf. Berikut ini nukilannya: "Diriwayatkan oleh Abul Qasim Al-Lalikai dalam Ushulus Sunnah dari Muhammad bin Hasan kawan Abu Hanifah, berkata: "Seluruh ahli fiqih dari Timur hingga Barat sepakat bahwa iman kepada Al-Qur'an dan Hadits-hadits yang dibawa oleh rawi terpercaya dari Rasulullah Saw tentang sifat Allah adalah iman tanpa interpretasi (penafsiran dan pentakwilan), identifikasi dan penyerupaan. Barangsiapa yang hari ini memberikan interpretasi tentang satu bagian dari padanya maka ia telah keluar dari ajaran Nabi Saw dan telah memisahkan diri dari jamaah. Hal itu karena mereka para pendahulu yang shalih itu tidak pernah mensifati dan menafsirkannya. Mereka berfatwa hanya dengan apa-apa [131] yang dijelaskan oleh Kitab dan Sunnah, tidak lebih daripada itu." (Majmu'ah Rasail, Al-Aqaid, 325, 326) Berkata Al-Khilal dalam Kitab As-Sunnah dari Hanbal, beliau menyebutkan dalam bukunya, semisal As-Sunnah wal Mihnah sebagai berikut: "Saya bertanya kepada Abu Abdullah tentang hadits yang menyebutkan bahwa sesungguhnya Allah Swt turun ke langit dunia, atau Allah itu melihat, atau Allah meletakkan kaki-Nya, dan hadits-hadits semisal itu." Berkata Abu Abdullah: "Kita mengimaninya dan membenarkannya tanpa membayangkan dan memberi makna serta tidak menolak sesuatu pun tentang itu. Kita semua tahu bahwa apa yang datang dari Rasulullah Saw itu adalah benar adanya sepanjang diriwayatkan oleh sanad yang shahih. Kita tidak menolak firman Allah dan tidak mensifati Allah lebih banyak dari apa yang Ia katakan tentang diri-Nya. Tidak ada sesuatupun yang semisal-Nya." (Majmu'ah Rasail, Al-Aqaid, hal. 326) Kita cukupkan sampai di sini, karena keterangan selanjutnya tidak keluar dari makna tersebut di atas. Adapun tentang madzhab khataf, maka Imam Syahid menyebutkan sebagai berikut: "Orang-orang khalaf berkata: Kami meyakini bahwa maksud lafal-lafal yang ada dalam ayat dan hadits-hadits tentang ini tidak sebagaimana lahirnya. Lafal-lafal itu bernilai majaz yang masih mungkin ditakwil. Maka mereka mentakwilkan lafal wajh (wajah) dengan dzat (eksistensi), sedangkan yad (tangan) ditakwilkan dengan qudrah (kekuasaan), dan begitu seterusnya. Hal itu dilakukan sebagai penghindaran terhadap tasybih (penyerupaan)." Inilah definisi Imam Syahid tentang 'madzhab khalaf sebagaimana yang beliau fahami. [132] Ucapan ini juga senada dengan apa yang dikatakan oleh Syaikhul Islam tentang tsubut (tetap)-nya uraian di atas dari kalangan khalaf. Berikut sebagian nukilannya : 1. Berkata Abu Farj bin Al-Jauzi al-Hanbali dalam kitabnya Daf'u Syubuhatit Tasybih; Allah Swt berfirman : "Dan tetaplah Wajah Tuhanmu". (Ar-Rahman: 27), berkata para mufasir: yakni tetaplah Tuhanmu. Demikian juga mereka berkata tentang ayat: "Mereka menghendaki Wajah-Nya". (Al-An'am: 52), yakni : mereka menghendaki-Nya. Berkata Dhahhak dan Abu Ubaidah: "Segala sesuatu binasa kecuali Wajah-Nya". (AlQashash: 88), yakni kecuali Dia. Kemudian beliau menjelaskan secara rinci, membantah



orang-orang yang mengatakan bahwa mengambil zhahir (lahiriah) ayat dan hadits itu adalah madzhab salaf. Ringkasan pendapatnya sebagai berikut : Mengambil zhahir ayat atau hadits itu adalah tajsim dan tasybih. Karena zhahir lafal itu dimaksudkan sebagaimana adanya. Tidak ada hakikat makna yad (tangan) kecuali dengan anggota tubuh (yang berujud tangan), dan demikian yang lainnya. Adapun madzhab salaf bukannya mengambil zhahir lafalnya, akan tetapi, diam tanpa komentar. Demikian juga penamaannya sebagai ayat dan hadits sifat sesungguhnya merupakan istilah bid'ah, tidak dikerial dalam Qur'an ataupun Sunnah. Hal itu bukanlah hakiki tetapi semata tambahan, tidak lebih. Kemudian untuk mendukung pendapatnya ia menggunakan banyak dalil yang di sini tidak bisa saya jelaskan." (Majmu'ah Ra-sail, Al-Aqaid, hal. 327, 328). 2. Berkata Fakhruddin Ar-Razi dalam kitabnya Asaasut-Taqdis : "Ketahuilah bahwa nash-nash Qur'an tidak mungkin [133] ditangkap zhahirnya, karena beberapa sebab : Pertama: Dzahir firman Allah: "... Walitushna'a ala Ainiy". (Thaha : 39), bila ditangkap dzahir lafalnya, maksudnya adalah bahwa Musa as tinggal di Mata Allah dan menempel di sana. Tentu tafsiran ini tidak bisa diterima oleh akal sehat. Kedua: Firman Allah: "washna'il fulka bi a’yunina". (Hud : 37), jika diterjemahkan menurut zhahirnya adalah: Buatlah bahtera dengan Mata-Ku. Yakni, alat yang dipakai adalah mata. Ini juga janggal. Ketiga: Menetapkan kata a'yun (beberapa mata) pada satu wajah itu ketetapan yang buruk. Maka, demi jelasnya makna, tidak ada lain kecuali dengan ta'wil. Demikian ini karena pertimbangan yang sangat hati-hati." (Majmu'ah Rasail, Al-Aqaid, hal. 327,). Berkata imam Ghazali dalam juz pertama kitabnya Ihya Ulumuddin, tentang dinisbatkannya ilmu zhahir kepada ilmu bathin. Sehingga mengakibatkan pengertian secara zhahir maupun bathin, ta'wil atau bukan ta'wil : "Sesuatu apabila disebutkan secara terang-terangan akan difahami. Pada yang demikian itu tidak ada masalah. Akan tetapi penyebutan dengan ingus itu disamakan dengan kulit bila dipanggang api. Padahal kita tahu bahwa keluasan areal masjid tidak mungkin terlumpuri keseluruhannya hanya oleh kotoran ingus. Sebagaimana pula sabdanya: "Barangsiapa yang mengangkat kepalanya sebelum imam (dalam i'tidal), dikhawatirkan kepalanya berubah menjadi kepala keledai". (HR. Bukhari dan Muslim). Dari segi bentuk, itu sesuatu yang tidak mungkin. Tapi dari segi makna bisa terjadi. Yaitu kepala keledai yang [134] bukan dalam tinjauan bentuk dan keadaannya, akan tetapi dalam hal karakternya yang dungu dan bodoh. Kita kini dapat mengetahui ini semua bukan dalam konteks zhahir. Akan tetapi berdasarkan logika atau dalil syar’i. Tentang logika, bila dimaksudkan sebagairnana zhahirnya memang tidak masuk akal. Misalnya seperti hadits Nab, Saw : "Hati seorang mu'min itu ada di antara dua jari dari jari-jari Ar-Rahman (Allah)". (HR. Muslim dan Ibnu Majah), Kalau kita periksa dalam hati seorang mu'min, kita tidak mendapatkan di dalamnya jari-jari Ar-Rahman. Dengan demikian kita pahami bahwa hal itu merupakan kinayah (perumpamaan) tentang kekuasaan yang itu disimbolkan dengan jari karena hal itu mudah dipahami sebagai kesempurnaan kekuasaan". (Majmu'ah Rasail, Al-Aqaid, hal. 327, 329). Inilah definisi kedua imam tentang madzhab salaf dan madzhab khalaf. Setelah itu ada



sejumlah pertanyaan sebagai berikut: - Apakah keduanya sependapat dalam mendefinisikan kedua madzhab? - Apa perbedaan yang sesungguhnya dari kedua madzhab? - Apakah kedua imam sepakat dalam memilih salah satu dari dua madzhab tersebut? - Bagaimana keduanya mensikapi orang yang berbeda pendapat dalam masalah ini? Sebelum saya menjawab pertanyaan-pertanyaan teresebut baiklah saya nukilkan sejumlah jawaban yang telah ditulis orang. Dari jawaban-jawaban itu, yang paling masyhur adalah sebagai berikut: Mengenai definisi kedua madzhab, mereka berkata [135] "Kedua imam bertemu dalam mendefinisikan madzhab khalaf. Adapun tentang madzhab salaf, keduanya berbeda pendapat. Imam Syahid mendefinisikan madzhab salaf dengan definisi madzhab tafwidh (menyerahkan total kepada Allah) yang itu merupakan madzhab yang paling jelek. Dengan demikian keduanya berbeda pandangan." Sedangkan menyangkut hakikat perbedaan antara kedua imam, mereka mengatakan: "Sikap kedua imam berbeda sekali. Syaikhul Islam memandang bahwa perbedaan itu (antara salaf dan khalaf) sangat jauh dan sangat tajam, bagaikan timur dan barat. Adapun Imam Syahid menganggap bahwa perbedaannya itu ringan dan sederhana." Tentang pilihan madzhab, mereka berkata : "Kedua imam berbeda pendapat. Syaikhul Islam memilih madzhab salaf, sedangkan imam Syahid cenderung kepada madzhab tafwidh." Mengenai sikap menghadapi yang berbeda, mereka berkata: "Syaikhul Islam sangat tegas karena ini sebuah kebenaran, sehingga siapa yang berbeda itu kufur. Sedangkan Imam Syahid menganggap masalahnya sederhana tidak enteng. Karena beliau ingin sekali menghimpun mereka, hingga kurang peduli apakah mereka terhimpun dalarn kebenaran atau dalam kebathilan." Inilah wahai akhi, jawaban yang mereka tulis mengenai perbedaan dan persamaan kedua imam dalam persoalan-persoalan di atas. Itulah satu sisi. Di sisi lain, ada sementara orang mengatakan: "Sesungguhnya barangsiapa mau meneliti secara detail sikap Syaikhul Islam dan menghayati ungkapan-ungkapan yang beraneka ragam lalu menghimpun dan [136] menggabungkan bagian-bagiannya secara benar, kemudian diteruskan dengan membaca pemikiran imam Syahid demikian cermat dan tenang, ikhlash karena Allah, akan mendapatkan kesimpulan bahwa kedua imam telah bertemu dalam memandang madzhab salaf dalam pandangan yang tepat, adil dan jauh dari ifrath dan tafrith (berlebihan dan kurang secara ekstrim)." Ini sebuah pendapat yang juga masyhur. Lalu yang mana yang benar dari kedua jawaban di atas? Sebelum saya sendiri menjawab, ingin rasaya mengingatkan anda akan beberapa kesimpulan pembahasan kita sebelumnya, dan hal ini sangat penting bagi siapa saja yang belajar aqidah. Yaitu bahwa : - Masalah aqidah ada yang furu' dan ada Yang ushul. - Ada yang jelas dan ada yang tersembunyi. - Ada yang qath'i dan ada yang zhanni. - Masalah-masalah ijtihadiyyah berlaku dalam beberapa persoalan aqidah. - Islam melarang berfikir tentang dzat Allah dan mengajak berfikir tentang makhluk-Nya. - Orang-orang salaf tidak suka berbicara kecuali hal-hal yang dibangun atas amal perbuatan.



-



Kewajiban kita terhadap ayat-ayat dan hadits-hadits sifat adalah mengetahui pengaruh dan dampaknya dalam kehidupan serta konsekuen dengan hak-hak kita. - Manhaj salaf dan orang-orang yang mengikutinya adalah tidak mengangkat persoalanpersoalan yang diperselisihkan di hadapan orang banyak kecuali sangat mendesak. Dan kita telah tahu kenapa Syaikhul Islam berbicara panjang lebar tentang tema ini meskipun beliau sendiri tidak menyukainya. Renungkanlah kembali poin-poin tersebut dan tanamkan dalam pikiran anda baik-baik. [137] Dan selanjutnya, pertanyaan-pertanyaan di atas akan terjawab jika kita mengetahui hal-hal berikut, hendaklah anda bersabar mengikuti pembahasan hingga akhir.



MELEPASKAN TITIK PERBEDAAN Agar kita dapat mengetahui kadar perbedaan antara salaf dan khalaf, kita mesti memiliki gambarannya dengan detail. Orang-orang salaf berkata : "Kami beriman kepada sifat sesuai apa yang disebut, seperti yad, 'ain, istiwa dan sebangsanya, karena Al-Qur'an menyebutkan demikian. Kita memahami sifat-sifat ini secara mutlak sebagaimana adanya, dengan catatan bahwa nisbat untuk Al-Khaliq berbeda sama sekali dengan bila dimaksudkan kepada makhluq-Nya. Allah memiliki kesempurnaan yang layak bagi-Nya, sementara makhluq Allah itu lemah dan kurang dalam segala hal. Maka dari itu kita menyerahkan kepada-Nya hakikat makna sifat yang sesuai dengan keagungan dan kesempurnaan-Nya." Adapun orang-orang khalaf berkata : "Kami beriman kepada apa yang disebutkan Al-Qur'an dan Sunnah, menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan sifat-sifat-Nya, seperti yad, ain, istiwa' dan lain-lainnya. Kami beriman bahwa sifat-sifat ini memiliki kandungannya sendiri, bukan kandungan makna untuk makhluq-Nya. Allah tidak bisa diserupakan dengan sesuatu pun. Kami menegaskan bahwa makna yang terkandung dalam lafal sifat, seperti yad, `ain dan istiwa' tadi, tidak dipahami secara lahiriyah sebagaimana dipahami oleh makhluk-Nya. Tidak ada yang dipahami secara lahiriyah kecuali hak-hak makhluq. Oleh karena itu kita menta'wilkan sesuai dengan [138] batas yang dibenarkan oleh kaidah bahasa dan tidak bertentangan dengan syara' agar dapat terhindar dari syubhat tamtsil (penyerupaan) yang secara langsung dipahami oleh akal pikiran. Karena pikiran memang dengan mudah memutlakkan makna sifat seperti yad, 'ain dan istiwa' itu sebagaimana yang dinisbatkan kepada makhluq."



DAMAI ITU BAIK Allah Swt telah memerintahkan kita untuk men-damai-kan dua pihak yang berselisih dengan penuh keadilan tanpa emosi. Allah memuji orang-orang yang menegakkan perdamaian karena dengan itu utuhlah jamaah. Semua itu dalam batas kebenaran dan keadilan, tanpa ifrath dan tafrith. Allah Swt berfirman : "Dan jika ada dua golongan di antara orang-orang mu 'min berperang maka damaikanlah mereka. Jika salah satu dari dua golongan itu berbuat aniaya kepada vang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golvngan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali kepada perintah Allah maka damaikanlah antara keduanya dengan adil. Berbuat adillah, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil". (Al-Hujurat: 9).



Dan firman Nya: "Dan jika seorang wanita khawatir akan sikap nusuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya dan perdamaian itu lebih baik bagi mereka meskipun martusia menurut tabi'atnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isteri-istrisecara baik dan memelihara dirimu, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan". (An-Nisa': 128). [139] Ayat-ayat tersebut mengandung beberapa konsep dasar Islam, antara lain: - Islam mengajak ummatnya untuk berdamai. - Islam juga memuji dan menyebut bahwa perdamaian itu baik adanya. - Islam mencela orang-orang yang berupaya membangkitkan perpecahan dan permusuhan. - Juga pelajaran bahwa perdamaian harus ditegakkan dengan keadilan. Dan Allah mencintai orang-orang yang konsisten dengan keadilan, kebenaran dalam menimbang dan memutuskan permasalahan. Dalam proses mendamaikan harus dikatakan kepada orang yang salah: 'Anda telah salah dan kadar kesalaharl anda demikian". Itu semua dilakukan dengan penuh sikap adil dan timbangan syara' yang pas, tanpa berlebih-lebihan dan tanpa kurang dari sewajarnya. Kebathilan tidak ditolerir hanya karena ia senang dan kebenaran tidak diingkari hanya karena ia tengah marah. Karena: “Allah telah menjadikan untuk segala sesuatu itu ukuran yang sesuai". (At-Thalaq: 3). Inilah apa yang dipegang teguh oleh imam Syahid dalam rangka melepaskan titik sengketa. Beliau juga menjelaskan kadar yang dapat mendekatkannya dengan khalaf, menghindar dari tajamnya pertikaian. Dalam menjelaskan kadar perselisihan yang terjadi, Imam Syahid berkata: "Pertama: Kedua kelompok (salaf dan khalaf) sepakat dalam mensucikan Allah Swt dari bentuk tasybih dengan makhluk-Nya. Kedua: Semua kelompok sepakat untuk memutuskan bahwa maksud lafal dalam nash-nash seperti ini sepenuhnya dalam konteks yang sesuai dengan dzat Allah Swt, [140] bukan sebagaimana dipahami untuk makhluq-Nya. Dengan demikian keduanya sepakat menghindari tasybih. Ketiga: Semua pihak sepakat bahwa lafal-lafal ini disebut untuk mendekatkan pemahaman dalam benak, atau diletakkan dalam kerangka indrawi pengguna bahasa itu. Dan sebuah bahasa. betapapun tingginya, tidak dapat mengungkapkan sesuatu yang memang tidak mungkin dimengerti oleh penggunanya. Esensi yang berhubungan dengan dzat Allah Swt dipahami dalam konteks tersebut. Bahasa memang memiliki kelemahan untuk mengungkapkan hakikat ini." Katanya selanjutnya: "Perbedaan hanyalah bahwa madzhab khalaf menambahi batasan makna yang dikandung demi mensucikan Allah dan menjaga aqidah orang-orang awam agar tidak diracuni oleh tasybih. Perbedaan seperti itu tidak semestinya melahirkan permusuhan." (Majmu'ah Rasail, Al-Aqaid, hal. 330). Secara lebih ringkas dan tegas, beliau mengungkapkan hal ini: "Ringkasnya, madzhab salaf dan khalaf telah sepakat bahwa yang dimaksud oleh lafal-lafal itu bukanlah zhahirnya sebagaimana dikenal oleh makhluk. Ta'wil yang bertentangan dengan ushul syara' tidak diperbolehkan. Sehingga perbedaan hanya sebatas ta'wil lafalnya yang masih dibenarkan syara'. Sebagaimana anda lihat, itu persoalan ringan dan lagi banyak kalangan salaf yang menggunakannya". (Majmu'ah Rasail, Al-Aqaid, hal. 331).



Inilah pendapat imam Syahid Apakah dalam masalah yang disepakati oleh salaf dan khalaf ada perselisihan yang mengotori jiwa seseorang? Apakah kritik terhadap madzhab khalaf berlebih-lebihan [141] atau kurang tajam? Apakah langkah membebaskan titik khilaf itu tidak benar? Dalam menentukan kadar perbedaan, apakah berlebih-lebihan atau malah terlalu ringan? Barangkali sebagian kita akan terkejut membaca kesimpulan akhir bahwa kadar perbedaan itu ringan dan sederhana. Namun demikian saya tetap berusaha meyakinkan dan mengurangi keterkejutan anda dengan kebenaran dan keadilan, Insya Allah. Untuk itu saya akan menukilkan pendapat sebagian ulama terpercaya dan terhormat di kalangan umat. Imam Syathibi Imam Syatibi, seorang ulama terpercaya dan banyak meninggalkan pusaka peninggalan yang tiada terkira nilainya bagi ummat, penegak sunnah dan pemberantas bid'ah, berkata dalam sebuah bukunya Al-I'tisham : "Salah satu masalah khilaf yang terbesar adalah seperti penetapan sifat. Apabila kita teliti maksud dari kedua kelompok itu, kita dapatkan bahwa masing-masing dari mereka beri'tiqad melindungi kesucian, menafikan kekurangan dan meninggikan derajat-Nya. Perbedaan mereka hanyalah pada jalan yang ditempuh dan hal ini tidak mengurangi niat suci mereka sama sekali. Alhasil, perbedaan ini kadarnya sebagaimana perbedaan masalah furu' saja." (Al-I'tisham, juz 2, hal. 187). Inilah pendapat Imam Syathibi, yaitu bahwa salaf dan khalaf telah sepakat mensucikan Allah dari unsur tasybih dan kekurangan. Sedangkan kata kunci dari perbedaan itu adalah: Kalau madzhab salaf menetapkan tanpa tasybih dan ta'thil, sedangkan khalaf menta'wil dalam batas-batas syara', logika maupun bahasa. Sedangkan batas khilaf dikatakan hanya seperti khilaf fiqih amaliyah yang terkenal dengan nama khilaful furu'. [142] Kejutan Seorang Imam Kini kita coba menyimak dan memperhatikan beberapa ungkapan yang sangat berharga, yang diucapkan oleh salah seorang Imam ummat ini, perhatikan berikut ini: "Karena keadaan mengharuskan adanya pengembangan bentuk amal dan perluasan cabang-cabangnya, maka hal itu melahirkan berbagai perselisihan pendapat, dan itu sesuatu yang wajar. Berbeda dengan masalah khabariyah (keyakinan), mereka sudah sepakat dalam memahami sebuah kalimat. Apabila kalimat ini diurai tanpa melahirkan perselisihan yang sebenarnya tidak perlu, tentu merusak. Oleh karena itulah maka ahli hawa nafsu dan ahli debat itu dicela dalam agama. Karena itu jelek dan nierusak, bila tidak diperlukan. Namun demikian, ini tidak berarti melarang kita untuk mengurai dan merinci dengan tujuan mengetahui detailnya. Dari itu maka pembicaraarn masalah ini tidaklah mengapa jika didasari oleh ilmu." Beliau kemudian menjelaskan buah khilaf dan kadarnya, seraya berkata : "Tidak dibenarkan mengkafirkan orang yang keliru dalam masalah ini kecuali terpenuhinya syarat-syarat kekufuran. Dan ini hanya ada pada khilaf yang kontradiktif dan hakiki." Katanya kemudian : 'Adapun perbedaan-perbedaan yang lain seperti khilaf dalam ragam atau khilaf dalam memahami lafal serta ungkapan, merupakan khilaf yang ringan. Hal ini banyak terjadi



dalam masalah-masalah khabariyah." Bila kita cermati ungkapan di atas, kita akan mendapati beberapa kesimpulan yang sangat berharga. [143] 1. Dua kelompok, salaf dan khalaf telah sepakat dalam mensikapi nash-nash zhanni. Khilaf dalam masalah rincian dan zhanniyah ini disebut sebagai khilaf dalam ragam atau khilaf dalam lafal dan ungkapan. 2. Batas dan kadar khilaf mereka itu ringan dan sederhana. Banyak terjadi pada masalahmasalah khabariyah. Khilaf seperti ini tidak boleh melahirkan sikap saling mengkufurkan. 3. Adapun khilaf yang boleh dikafirkan adalah khilaf yang kontradiktif dan hakiki, yaitu khilaf dalam masalah-masalah qath'iyyah yang telah disepakati. Seperti misalnya seseorang meyakini bahwa Allah Swt tidak mampu mengembalikan fisik seseorang setelah ia terbakar atau hancur karena musibah. Khilaf dalam masalah ini merupakan khilaf yang kontradiktif, karena salah satu prinsip qath'i dan telah disepakati bersama adalah bahwa kekuasaan Allah berlaku atas segala sesuatu. Sehingga kalau ada dua orang berselisih dalam masalah ini maka yang satu kafir. Inilah beberapa kesimpulan yang diambil dari kumpulan teks, dan ketahuilah bahwa penulis teks itu adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yang sebagaimana kita dapatkan di halaman muka bahwa banyak orang menganggap pendapat dan pendirian beliau dalam masalah ini berbeda dengan pendirian imam Syahid. Beliau menuliskannya dalam kitab Majmu' Al-Fatawa, juz 6, hal. 58. Sekali lagi saya ingin tegaskan satu hal penting bahwa khilaf yang terjadi antara kaum salaf dan kelompok yang kita bahas di atas hanya menyangkut ta'wil dalam batas-batas syara', logika dan tidak melanggar kaidah umum bahasa. Akan halnya menyangkut ta'wilnya kaum zindiq [144] dan pengingkar yang selalu memerangi Islam maka berbeda masalahnya. Untuk meyakinkan kesimpulan ini, berikut kita nukilkan pendapat Syaikhul Islam: "Kita dapati orang yang taqlid buta kepada kaum jahmiyyah (yang menafikan sifat Allah). Ia setuju saja atas apa-apa yang mereka katakan meskipun hatinya bersih dan suci. Sebagian dari mereka tidak memahami apa arti penafian yang mereka lontarkan bahkan ia menganggapnya sebagai pensucian secara mutlak untuk Allah. Ada orang-orang yang tidak paham ungkapan jahmiyyah, malah memahaminya dengan positif. Ia meyakini itsbat (penetapan) sesuatu yang bertentangan dengan kandungan itsbat itu sendiri dan ia mendengar itu semua dari orang. Semisal memahami kata-kata mereka bahwa Allah itu tidak di mana-mana, Ia tidak bertempat, Ia tidak berada di langit. Kalimat ini benar dan iman kepadanya pun benar. Akan tetapi orang-orang tersebut menyangka bahwa penafian ini hanya sampai di sini. Padahal tidaklah demikian. Akan tetapi maksud mereka dengan penafian itu adalah bahwa tidak ada sesuatu pun di atas arsy, tidak ada sesuatu di langit kecuali kehampaan, tidak ada di sana Tuhan yang disembah, tidak ada Tuhan tempat memohon, tidak ada pencipta, tidak ada kisah mi'raj Nabi, dan demikian seterusnya, apa yang mereka kehendaki dari kata-katanya". (Majmu'. Fatawa, juz 4, hal. 58, 59). Semoga Allah merahmati Syaikhul Islam, dengan pan dangannya yang sungguh jeli dan detail. Beliau memisahkan dengan jelas maksud dari kedua kelompok. Kita lihat bahwa maksud dari prinsip jahmiyah yang zindiq berbeda jauh dari orang-orang yang menirukan kata-katanya. Maksud para tokoh Jahmiyyah dan khilafnya dengan salaf sangatlah jauh dan dalam. Sedangkan orang-orang yang [145] menirukan kata-kata mereka itu maksudnya baik dan perbedaan mereka dengan salaf ringan saja. Mereka hanya butuh bimbingan untuk



menyadarkan maksud-maksud sesat yang dikehendaki tokoh jahmiyyah agar tidak menjadi para pendukungnya sementara mereka tidak merasa. Selanjutnya Syaikhul Islam berkata : "Kita tahu bahwa orang-orang yang menafikan hal itu tidak mengetahui makna omongannya. Bahkan mereka menyangka bahwa hakikat itu hanyalah milik makhluq. Mereka jahil dengan istilah hakiki dan majazi (kiasan). Omongan mereka tidak berpedoman bahasa apalagi syara'. Karena bila tidak demikian barangkali yang dimaksud dengan menafikan hakikat itu adalah menafikan persamaan antara sifat Allah dan sifat makhluq-Nya. Kita katakan kepada mereka: Kalian bagus dalam menafikan makna yang rusak ini. Akan tetapi kalian keliru bila menyangka bahwa itulah hakikat yang dikehendaki Allah atas dirinya". (Al-Fatawa. juz 20, hal. 217, 218). Dari ungkapan yang indah ini, kini semakin jelas bagi kita bahwa salaf dan khalaf telah sepakat dalam maksud dan tujuan. Yakni ketika menafikan makna yang rusak dan mensucikan Allah Swt. Khilaf terjadi hanya dalam cara saja yaitu seputar memahami makna hakikat dan majaz, yang penjelasannya tidak mungkin saya uraikan di sini. Hanya yang perlu saya ingatkan adalah mengenai sikap menghadapi pihak-pihak yang tidak sependapat yang mestinya harus dihadapi dengan lemah lembut untuk membimbing mereka menuju jalan yang lurus.



BEBERAPA PERTANYAAN Sebagian orang barangkali bingung ketika mendapatkan bahwa pendapat ini datang dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. [146] Karena bukankah beliau telah menulis buku berjilid-jilid tentang sebagian masalah ini? Apakah ada sesuatu yang kontradiktif, atau sesuatu yang disembunyikan? Saya katakan bahwa tidak ada yang kontradiktif, meskipun ada sedikit yang tersembunyi. Yang tersembunyi itu adalah alasan-alasan yang membuat beliau menulis panjang lebar masalah ini sebagaimana yang telah dinukilkan pada pembahasan yang lalu.



KESIMPULAN Syaikhul Islam tidak pernah berbicara masalah ini kecuali sekedar menjawab desakan pertanyaan dari orang yang bingung dan minta penjelasan. Atau karena ia dituntut menjawab perdebatan, atau karena ingin mengcounter fitnah subhat yang harus segera diredam, maka beliau mulai menguraikan pendapatnya. Ini jelas terlihat pada ungkapan beliau terdahulu : "Saya tidak menzhalimi seorang pun. Saya tidak pernah mengatakan: "Ikutilah pendapatku, kalau tidak mau aku akan berbuat begini dan begitu!" saya tidak pernah memaksa seseorang baik dengan ucapan ataupun dengan tindakan. Bahkan saya tidak pernah menulis tentang masalah ini sama sekali. Kecuali sekedar menjawab desakan pertanyaan yang bertubi-tubi. Dan bukanlah kebiasaan saya membicarakan masalah ini kepada orang banyak tanpa sebab." (Majmu' Al-Fatawa, juz. 3, hal. 243). Ada lagi masalah penting, yakni bahwa sebagian orang mencampur-adukkan antara dua pertanyaan dan mereka tidak membedakan jawaban keduanya secara detail, maka mereka pun menjadi bingung. Adapun kedua pertanyaan itu adalah sebagai berikut: [147] 1. Apa pendapat Syaikhul Islam tentang sifat secara rinci? 2. Apa khilaf yang sebenarnya terjadi antara salaf dan khalaf dan seberapa batasnya? Apa buah khilaf ini? Dan apa hukum yang berlaku sebagai akibatnya?



Untuk menjawab pertanyaan yang pertama Syaikhul Islam telah menulis buku berjilid-jilid dengan ilmunya yang dalam. Terutama dilakukan sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan kepadanya. Di dalamnya beliau menetapkan ukuran yang detail dan adil, yang dapat menghindarkan dari takfir (mengkafirkarn orang lain) tanpa kebenaran. Beliau tahu persis seberapa kadar khilaf dalam masalah aqidah, karena aqidah memiliki kedudukan dan kehormatan utama dalam hati. Maka, hati sebenarnya tidak mau berselisih dalam masalah ini. Untuk inilah ukuran itu dibuat. Mungkin ada orang yang menyangkal, bagaimana mungkin beliau dikatakan meletakkan ukuran yang detail dan adil padahal kita lihat dalam karangan-karangannya beliau banyak melontarkan istilah seperti kufur, dhalal, zaigh, ilhad, "omongan yang paling rusak" dan lain sebagainya. Akhirnya semua pertanyaan di atas mudah dijawab terutama oleh orang yang pernah menghimpun ungkapan-ungkapan Syaikhul Islam, menggabungkan antara bagian yang satu dengan bagian lainnya hingga mengetahui mana yang muthlaq dan mana yang muqayyad (bersyarat) dan dalam kondisi bagaimana beliau melunakkan pendapatnya. Ucapan-ucapan semisal kufur, dhalal, zaigh dan sebangsanya itu memiliki maksud sebagai berikut : 1. Kata kufur, sebagaimana dipahami oleh Syaikhul Islam itu hukumnya muthlaq. Hukum muthlaq tidak dapat ditimpakan kepada seseorang kecuali apabila [148] terbukti memenuhi syarat-syarat kufur. Siapa pun yang banyak membaca buku-buku Syaikhul Islam dan bersabar atasnya akan mengetahui hal ini. Di sana ada hikmah yang harus digali dengan sungguh-sungguh. 2. Sesungguhnya beliau tidak menghendaki kata-kata kufur dan semisalnya dengan satu derajat makna, yaitu keluar dari agama. Akan tetapi beliau menghendaki agar kata kufur, zaigh dan dhalal digunakan pada tempatnya. Terkadang dimaksudkan dengan makna besarnya dan di waktu lain dengan makna kecilnya atau ringan. Hanya kata-katanya memang di-muthlaq-kan dengan maksud menakut-nakuti dan agar segera menghindar dari omongan yang beliau lihat sebagai tidak benar. Ingin kembali saya tegaskan bahwa hakikat ini tidak diketahui kecuali oleh orang yang mengenal gaya beliau. 3. Terkadang keluar dari mulut beliau ungkapan-ungkapan pedas dalam berbagai kesempatan berdebat dan diskusi yang seru sehingga dikesankan oleh pembaca atau pendengarnya bahwa beliau telah benar-benar menghukumi kufur atau dhalal. Hal ini perlu dikembalikan kepada pembahasan yang lalu. Atau bahwa hukum ini tertuju kepada penganut madzhab yang menurut Syaikh sebagai madzhab rusak. Dan beliau juga menetapkan dan menyadari bahwa pengikut sebuah madzhab tidak selalu identik dengan madzhabnya dalam semua hal. Untuk itu beliau banyak memberikan toleransi kepada orangorang yang tidak sependapat dengannya. Saya memohon kepada Allah taufiq-Nya, kiranya dapat menerangkan sikap Syaikhul Islam dalam masalah takfir pada pembahasan tersendiri. [149]



TARJIH MADZHAB SALAF Setelah kita tahu madzhab salaf dan madzhab khalaf dan mengetahui pula hakikat perselisihan yang terjadi antara keduanya, mengetahui batas-batas dan dampaknya serta mengenal titik-titik sentral yang dipermasalahkan melalui ungkapan-ungkapan Syaikhul Islam, Imam Syathibi dan Imam Syahid Hasal Al-Banna, selanjutnya saya ingin menjelaskan bahwa Imam Syahid tidak membiarkan pembicaraan begitu saja tanpa tarjih. Namun beliau mentarjih madzhab salaf dan hal itu pun sependapat dengan Syaikhul Islam.



Imam Syahid mengungkapkan hal itu dalain sebuah sub tema: Tarjih Madzhab Salaf, katanya : "Kami berkeyakinan bahwa pendapat salaf, yaitu diam dan menyerahkan makna kepada Allah Swt adalah pendapat lebih selamat dan lebih utama untuk diikuti, tanpa ta'wil dan ta'thil. Maka apabila engkau termasuk orang yang Allah beri anugerah kebahagiaan dengan ketenteraman iman, dan Allah sejukkan dadanya dengan embun keyakinan, janganlah sekalikali berpaling dari padanya." (Majmu'ah Rasail, Al-Aqaid, hal. 330).



SYUBHAT TAFWIDH Sebagian orang – semoga Allah mengampuni mereka – saya tidak tahu bagaimana alam pikiran mereka dan dengan mata hati macam apa mereka melihat? Mereka membaca kalimat Imam Syahid. Dan sebenarnya kalimat itu sungguh sangat jelas bagi siapa saja yang mempelajari aqidah meskipun sekilas. Namun mereka tidak mau bersikap obyektif dan tidak mau memetik makna kata sebagaimana mestinya. Betapa banyak orang membaca kalimat yang benar, [150] tetapi menarik kesimpulan secara keliru. Setelah itu mulailah mereka secara sembrono menyimpulkan bahwa Imam Syahid tidak berjalan di atas manhaj salaf, yaitu manhajnya generasi awal dalam masalah aqidah. Bahkan ia termasuk kelompok madzhab mufawwidhah. Apa itu mufawwidhah? Ia adalah sejelek-jelek madzhab dalam aqidah. Oleh karena itu maka aqidah Imam Syahid berada di dalamnya, dan seterusnya. Saya amati ucapan mereka itu, kemudian saya bertanya-tanya : Bukankah Imam Syahid itu adalah seorang lelaki yang memiliki anugerah yang dengannya Allah telah membangkitkan ummat. Mungkinkah sebuah ummat dapat bangkit oleh seorang yang jumud seperti ini, oleh seorang yang memiliki aqidah menyeleweng? Bagaimana mungkin ini terjadi? Mana logika sehat kita? Kalau saya merenungkan itu semua seolah-olah saya mendengar keluhan beliau dari sebuah hati yang sedih melihat kondisi ummat. "Sampai kapan ummat kami ditimpa tuduhan silih berganti dan mendapatkan julukanjulukan negatif. Sampai kapan orang-orang harus mempertahankan keyakinannya sebelum realitas sendiri yang akan memberi pembelaan dalam rangka menghilangkan keraguan?" Saya sendiri juga dihantui oleh pertanyaan-pertanyaan serupa. Kemudian saya membaca ulang ucapan Imam Syahid, barangkali penanya tergelincir sehingga beliau salah tulis, mengingat tidak ada yang ma'shum kecuali Rasiil Saw. Adapun selain beliau bisa salah bisa benar. Bila demikian bisa jadi ucapan Imam Syahid keliru dan kita dengan berat hati menolaknya untuk kemudian memintakan ampun kepada Allah Swt untuknya. Akan tetapi, sekali lagi [151] saya tidak menemukan apapun sebagaimana yang dituduhkan banyak orang kepada beliau.



TAFWIDH ADA DUA MACAM Persoalan tafwidh itu dapat menyangkut yang muhkam dan mutasyabih. Saya tidak bermaksud membahasnya sekarang. Saya hanya ingin berbicara langsung pada masalahnya. Saya pernah berhubungan dengan orang-orang yang menirukan dan mengulang-ulang subhatnya tafwidh. Namun saya justru mendapatkan sesuatu yang aneh. Yaitu bahwa banyak di antara mereka yang tidak memahami masalah. Mereka hanya ngomong begitu saja dan ikut-ikutan tanpa mengetahui apa yang diomongkan. Namun demikian, bukan di sini tempat



kita diskusi masalah ini. Saya hanya ingin katakan bahwa kata tafwidh (yang selama ini dinisbatkan secara negatif oleh sebagian orang) adalah kata yang mengandung ragam makna. Ia paling tidak memiliki dua jenis makna. 1. Makna yang terpuji dan kita wajib meyakininya. 2. Makna yang tercela dan kita harus menjauh dari padanya. Adapun makna yang tercela adalah keyakinan seseorang bahwa lafal dalam ayat-ayat sifat dan hadits-hadits Rasul mengenai itu tidak ada maknanya sama sekali. Dari berbagai sudut pandang, kata-katanya tidak bisa dipahami. Bagi mereka kata-kata itu semisal tha-sin-mim, kaf-ha-ya-'ain-shadh dan lain-lain. Orang-orang salaf membaca ayat-ayat dan hadits-hadits sifat. Mereka merenungkannya karena Allah Swt memerintahkan untuk itu dan la, mencela orang-orang yang tidak mau melakukannya. [152] Allah Swt berfirman : "Kitab yang Kami turunkan kepadamu yang diberkati untuk direnungkan ayat-ayatnya dan menjadi peringatan bagi orang-orang yang memiliki akal sehat. " (Shad : 29). "Tidakkah mereka merenungi Al-Qur'an, dan seandainya ia bukan dari sisi Allah niscaya mereka akan mendapati pertentangan yang banyak". (An-Nisa' : 82.) "Maka tidakkah mereka merenungi Al-Qur'an atau pada hatinya ada kunci penutup". (Muhammad: 24). Orang-orang salaf semua memahami makna-makna ayat. Akan tetapi ada pertanyaan penting yaitu makna macam apa yang mereka pahami? Apakah makna padan kata dalam bahasa? Bukan, bukanlah begitu pemahaman manhaj salaf, karena manhaj khalaf mernahaminya begitu. Akan tetapi makna yang dipahami salaf tentang ayat dan hadits adalah makna global yang umum dan mutlak serta abstrak. Makna seperti ini tidak ada ujudnya kecuali dalam benak. Ia merupakan kadar yang terhimpun antara semua unsur yang disandarkan kepadanya. Kadar seperti ini, yang hanya ada dalam benak, diperlukan untuk menangkap pembicaraan yang ditujukan kepada kita tentang sesuatu yang tidak dalam lingkar indera kita. Maka apabila makna abstrak dan mutlak ini dipergunakan, kita dapati perbedaan total antara kandungan hak Khaliq dengan apa yang menjadi hak makhluq-Nya. Hak Khaliq itu sempurna dan tidak menyerupai hak makhluq-Nya sedikit pun. Adapun makna yang baik dan kita wajib meyakininya adalah: tafwidh (penyerahan) secara total hakikat maknanya ketika kita nisbatkan kepada Allah Swt. [153] Karena kita tidak mengerti eksistensi-Nya, maka bagaimana kita tahu sifat-Nya. Allah Swt itu : "Tiada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Ia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". (As-Syura: 11). "Mereka tidak dapat menjangkau-Nya dengan ilmunya". (Thaha: 110). Setelah kita mengetahui kedua macam pandangan itu secara jelas, kita bertanya-tanya sekarang, imam Syahid itu pengikut yang mana? Sekarang kita simak lagi kata-katanya secara ringkas, sebagai bukti atas pandangannya : "Sesuatu yang wajib dipegang teguh oleh seorang mukmin adalah bahwa makna yang terkandung dalam lafal sifat Allah Swt berbeda secara total dengan makna lafal itu, bila dinisbatkan kepada makhluq-Nya (kemudian beliau menyebutkan beberapa contohnya). Semua ini karena kandungan lafal tentang Allah berbeda sama sekali dengan kandungan makna untuk makhluq-Nya dalam segi kesempurnaan dan bentuknya. Allah Swt tidak menyamai sesuatu pun dari makhluq-Nya. Renungkan dan pegang teguhlah, karena ini masalah sensitif ..." (Majmu'ah



Rasail, Al-Aqaid, hal. 316, 317). Dari ungkapan beliau ini telah jelaslah bagi yang memiliki kejernihan pikiran bahwa makna yang wajib ditafwidh (diserahkan) dan tidak diketahui hakikatnya adalah makna yang dinisbatkan kepada Allah Swt baik bentuk ataupun kesempurnaannya. Apakah ada yang keberatan dan mengingkari tafwidh macam ini? Kemudian beliau berkata : "Bahasa itu, betapapun tingginya, sesungguhnya tidak dapat menjangkau sesuatu yang tidak diketahui oleh penggunanya. [154] Hakikat yang berhubungan dengan dzat Allah masuk dalam konteks ini. Bahasa memiliki kelemahan untuk mengungkapkan hakikat ini." (Majmu'ah Rasail, Al-Aqaid, hal. 330). Dari pandangan beliau ini jelas sekali bahwa tafwidh yang dimaksud adalah yang berhubungan dengan dzat Allah Swt. Apakah ada seseorang yang mendakwakan dirinya mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan dzat Allah? Berangkat dari dasar inilah kita dapat memahami ucapan imam Syahid : Kita serahkan urusan ini kepada Allah. Beliau sama sekali tidak pernah mengatakan bahwa kami tidak memahami nash ini dengan tinjauan apa pun karena ini tidak berbeda dengan qaf, ha-mim, `ain-sin-qaf. Akan tetapi beliau menafikkan pengetahuan kandungan lafal dari segi kesempurnaan, bentuk dan cakupannya serta hakikat-hakikat yang berhubungan dengan Allah Swt. Imam Syahid berkata : "Kami berkeyakinan bahwa pendapat salaf berdiam diri dan menyerahkan hakikat makna ini kepada Allah adalah lebih selamat dan lebih utama untuk diikuti. Tanpa ta'wil dan ta'thil." (AlAqaid, hal. 330). Yakni, tafwidh akan makna yang berhubungan dengan dzat Allah, baik kesempurnaan maupun bentuknya. Hal ini sebagaimana yang dikatakan imam Ahmad: "Kami beriman kepadanya, membenarkannya, tidak membayans; kan bentuknya, tidak ada makna dan tidak menolak sesuatu pun dari padanya". (Al-Aqaid, hal. 326). Makna yang bagaimana yang dinafikkan Imam? Tentu makna dalam tinjauan bentuk dan hakikat yang berhubungan dengan dzat Allah. Ada lagi kata-kata Imam Syahid yang mengganggu [155] pikiran ketika beliau berkata : Sesungguhnya pendapat salaf adalah diam, dan seterusnya. Adakah orang-orang salaf diam karena mereka tidak tahu sama sekalil Padahal mereka adalah ummat yang terbaik dan paling tahu tentang persoalan ini? Ketahuilah bahwa hal yang menyebabkan mereka diam itu sebagai berikut : 1. Mereka benci berbicara sesuatu yang tidak dibangun di atas amal. Coba tunjukkan amal macam apa yang dapat dihasilkan dari padanya. 2. Jiwa mereka tenang dan tenteram. Tidak ada seorang pun yang membangkitkan perselisihan tentang tema ini. 3. Mereka menetapkan persoalan ini dalam kerangka : "Tidak ada sesuatu pun yang semisal dengan-Nya dan Ia Maha Mendengar dan Maha Melihat". (As-Syura: 11) Mereka tidak bimbang dan tidak kabur, karena semua isi Al-Qur'an adalah haq. 4. Mereka telah disibukkan dengan urusan jihad di jalan Allah dan penyebaran dakwah. Kesibukan itu melindungi mereka sehingga terhindar dari perpecahan, dan dari perdebatan yang tiada guna. Dengan demikian terhimpunlah antara pemahaman yang baik dan menjauh dari perdebatan. Akhirnya mereka diam dan tidak banyak berkomentar. Saya ingatkan kepada anda akan beberapa hal yang telah saya sebutkan pada permulaan



pembicaraan, yaitu mencegah untuk berfikir tentang dzat, mencegah pembicaraan yang tidak dibangun di atas amal dan bagaimana hukum mengangkat persoalan semisal ini di forum terbuka.



KEWAJIBAN KITA MENSIKAPI MASALAH INI Tema asma' dan sifat ini merupakan salah satu tema yang membuka pintu perpecahan dan gesekan hati. [156] Maka dari itu para ulama tidak suka membicarakan masalah ini secara rinci kecuali memang kondisi menuntut demikian. Bila rincian masalah itu ternyata tidak melahirkan perseteruan, pertikaian dan permusuhan, maka itu baik dilakukan. Namun bila ternyata hal itu justru membangkitkan perpecahan dan memutus tali ukhuwah, maka hal itu tidak boleh dilakukan. Berikut kesimpulan-kesimpulan yang bisa diambil berdasarkan apa-apa yang telah disepakati dalam masalah ini. - Kita wajib mensucikan Allah dari penyerupaan dengan makhluq-Nya. - Kandungan makna lafal ayat-ayat dan hadits-hadits sifat bagi Allah itu berbeda dengan kandungan makna bagi makhluq-Nya. - Tidak seorang pun mengetahui hakikat bentuk sifat Allah kecuali diri-Nya. Sedangkan hal-hal yang diperselisihkan adalah: Lafal-lafal itu dibiarkan sebagaimana adanya ataukah dita'wil dengan syarat tidak bertabrakan dengan kaidah syara', bahasa dan logika. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : 'Apa-apa yang diperselisihkan dan menjadikan pertengkaran umat kalau mungkin diurai dan diperinci dengan ilmu dan sikap adil. Kalau tidak mampu melakukan demikian biarkanlah utuh dengan nash dan kesepakatan sebagaimana adanya. Hindarilah orang-orang yang memecahbelah agama dan berkelompok-kelompok. Dan sesungguhnya perpecahan dan perselisihan itu timbulnya dari mengikuti hawa nafsu dan purba sangka. Padahal Allah telah menurunkan hidayah-Nya kepada mereka." [157] Ini berhubungan dengan urusan seseorang dengan dirinya sendiri, yang menginginkan kejelasan dalam masalah yang sering diperselisihkan. Adapun bagi para da'i yang mereka selalu keluar untuk memberikan pengajaran kepada umat manusia dan menanamkan nilai aqidah yang dinamis pada diri umat untuk menumbuhkan jiwa yang tenteram penuh harga diri dan membebaskan mereka dari penghambaan kepada selain-Nya, seharusnya mengetahui bentengbenteng pertahanan para thagut untuk kemudian membangun menara Islam yang kokoh. Para da'i itu hendaklah bertaqwa kepada Allah dan memahami kewajibannya secara baik dan tunaikanlah dengan pcnuh hikmah dan cermat. Simaklah kata-kata Syaikhul Islam ketika memberi pengarahan kepada para da'i. "Hal yang wajib adalah memerintahkan kepada golongan awam untuk memegang teguh nash dan ijma' yang sudah ditetapkan dan melarang mereka memasuki wilayah pembahasan yang rind yang dapat membangkitkan perbedaan dan permusuhan di antara mereka. Karena pertikaian dan permusuhan adalah merupakan larangan Allah yang paling besar." (Majmu' Al-Fatawa, juz 12, hal. 237). Inilah kewajiban kita terhadap diri, orang lain dan terhadap dakwah dalam kaitan dengan tema tersebut. Lihatlah kembali nasehat beliau tentang bagaimana mengangkat pembahasan ini di forum awam, niscaya kita akan dapat menambah pengetahuan lebih banyak dan lebih baik lagi. Untuk melengkapi pembahasan ini, kita simak pandangan kedua imam tentang bagaimana



mensikapi orang yang berbeda pendapat. [158]



BAGAIMANA MENSIKAPI PERBEDAAN Kalau seseorang merasa tenang dengan madzhab salafus shalih dan lapang dada menerimanya, maka dia harus mengetahui bagaimana seharusnya bersikap menghadapi perbedaan. Hal ini sangat penting bagi kehidupan diri dan dakwah anda karena syaithan mengintai datangnya kesempatan seperti ini untuk menebarkan racun perselisihan dan permusuhan. Dan sebaik-baik orang yang bisa membimbing kita dalam hal demikian adalah para ulama pendahulu kita yang telah malang melintang dalam medan dakwah dengan ilmu dan amalnya. Termasuk di dalamnya Syaikhul Islam dan imam Syahid.



PETUNJUK SYAIKHUL ISLAM Syaikhul Islam telah menjelaskan kepada kita mengenai masalah ini sementara beliau ketika itu ada di penjara : "Saya tidak memiliki kebencian dan permusuhan dengan seorang pun ketika saya berada di Mesir. Saya senantiasa mencintai dan setia kepada mereka, baik para pemimpin, para tokoh maupun para hakimnya." (Rijalul Fikri wad-Du'at, An-Nadawi, jua. 2, hal. 80). Beliau berkata tentang seorang hakim yang paling jahat kepadanya dan paling berat kebenciannya. "Ibnu Mahluf itu, apa pun yang ia perbuat, demi Allah saya tidak dapat melakukan kebaikan kecuali ketika saya bekerja bersamanya. Saya sama sekali tidak pernah membantu musuhnya dan tidak ada daya dan kekuatan kecuali milik Allah. Inilah niat dan tekadku dengan pengetahuanku atas segala sesuatu (yang kuketahui). Saya faham betul bahwa syaithan itu menciptakan permusuhan di antara kaum mukminin dan saya sekali-kali tidak akan menjadi [159] penolong syaithan dalam menghancurkan mereka itu." (Ibid, juz. 2, hal. 84). Allahu Akbar, inilah hikmah seorang ulama dengan kedalaman pemahaman dan keindahan penerapannya. Kita seharusnya menapaki jalan itu. Kita berjihad memerangi diri agar dapat melumpuhkan hawa nafsu kita untuk kita bawa mendekat kepada ketinggian yang Allah kehendaki atas kita dengan para ulama itu. Hati-hatilah, jangan sampai syaithan menertawakanmu dan "menghiasi" urusanmu serta menakut-nakutimu terhadap sesuatu yang sebenarnya sepele dan kecil. Yang kecil itu bagaimanapun tetap kecil. Jangan sampai ia menghancurkan sesuatu yang besar. Janganlah kamu telantarkan saudaramu fillah. Jangan kamu genggam tanganmu untuk mereka atau kamu enggan berusaha memberikan bantuan kepadanya hanya karena ia berbeda pendapat denganmu dalam beberapa masalah. Hati-hatilah agar syaithan tidak sampai menjerumuskanmu dengan bisikannya, hingga engkau melemparkan tuduhan keji atau bahkan takfir kepada saudaramu sebagai wujud dukungan terhadap pendapat seorang ulama atau imam yang engkau ikuti. Perhatikan bagaimana Syaikhul Islam memperagakan prinsipnya dalam perilaku dan sikap yang teramat indah. Penerapan di lapangan memang tidak selalu sekaku pemikiran dan pendapat. Karena bisa jadi yang keliru adalah pemahaman atas ucapan. Maka ikutilah jejak langkah beliau di lapangan kehidupan, dan bukan hanya melihat kata-katanya.



BIMBINGAN IMAM SYAHID Kini kita bersama imam Syahid, bagaimana beliau membimbing kita dalam masalah ini. [160] "Perbedaan itu tidak sepatutnya melahirkan kebencian dan permusuhan." Setelah beliau memilih untuk berpegang kepada manhaj salaf, beliau kemudian berkata : "Kami meyakini selanjutnya bahwa ta'wil madzhab khalaf tidak bisa divonis kufur ataupun fasiq. Hal ini tidak mengundang perselisihan yang berlarut-larut di antara mereka, dari dulu hingga sekarang. Dada Islam lebih lapang dari itu semua." (Majmu'ah Rasail, Al-Aqaid, hal. 330). Kemudian beliau mengakhiri taujihnya dengan mengatakan : "Konsentrasi paling penting yang wajib diupayakan oleh kaum muslimin sekarang adalah menyatukan shaf dan menghimpun kalimahnya semaksimal yang bisa kita lakukan untuk itu. Hasbunallahu wani'mal wakil." (Rasail, Al-Aqidah, hal. 331). Kini, bandingkan antara manhaj Syaikhul Islam dan manhaj imam Syahid, maka kalian akan mendapati bahwa keduanya itu keluar dari sumber yang satu, bertemu di jalan yang satu berjalan bergandengan menuju arah dan tujuan yang satu pula. Renungkanlah. [161]



TAWASSUL Kedua imam telah berbicara tentang tawassul. Syaikhul Islam telah menulis risalah tentang itu, dan Imam Syahid telah mengatakan sesuatu yang berkaitan dengannya. Bertemukah jalan pikiran mereka berdua? Sebagaimana dalam banyak urusan yang lain, keduanya tetap sejalan. Hanya ada beberapa orang – yang tidak memahami duduk perkaranya – mengatakan: "Tidak! keduanya berbeda." Baiklah, mari kita simak bersama ucapan kedua Imam agar kita tahu secara jelas, berbedakah? Atau sejalankah? Kita memohon Allah agar ditunjukkan kepada jalan yang lurus. Namun sebelum saya memulai pembicaraan, ingin terlebih dahulu menyampaikan sebuah kaidah berharga yang diucapkan Syaikhul Islam. "Sesungguhnya banyak orang berselisih pendapat dalam masalah ini (tawassul) karena pemahaman terhadap lafal yang global dan bermakna ganda. Sehingga kita dapatkan kebanyakan mereka tidak memahami pembicaraan yang tegas dalam masalah ini." (Al-Fatawa, juz 1, hal. 199). Ungkapan pendek tersebut memiliki makna yang cukup luas, dan menjadi kaidah pokok, yaitu tentang perlunya membatasi makna istilah dan maksudnya sebelum mendiskusikan suatu permasalahan. Sesudah itu baru memutuskan istimbath hukumnya. [163]



PEMBATASAN MASALAH Sebelum kita memahami sikap kedua imam saya ingin membatasi ruang lingkup diskusi kita kali ini. Hal ini diperlukan untuk lebih menfokuskan permasalahan. Saya tidak akan mengangkat tema wasilah (Sesuatu yang menjadi perantara) dalam pembicaraan ini. Saya hanya akan membahas tentang tawassul (proses meminta dengan



perantara) di kalangan ulama, dan bukan kaum awamnya. Selanjutnya saya membatasi dengan hanya mengangkat satu macam bentuk tawassul, yaitu tawassul dengan Nabi Saw. Itupun saya batasi dengan pengertian: Bertawassul kepada Allah dengan dzat (diri) Nabi atau meminta kepada-Nya dengan jaah (kehormatan)-nya. Termasuk pula dengan orang-orang shalih. Inilah yang ingin saya jelaskan, bagaimana sikap kedua imam, apakah keduanya sejalan atau tidak. Untuk lebih jelasnya, kira-kira berikut ini pertanyaan yang sering dilontarkan: Bagaimana hukum ucapan: "Ya Allah, kami memohon kepada-Mu dengan jaah Nabi-Mu atau dzatnya agar Engkau melakukan ....?"



Pendapat Syaikhul Islam Syaikhul Islam menjelaskan bahwa persoalan ini persoalah khilafiyyah ijtihadiyah (yang memungkinkan adanya ijtihad), beliau berkata : "Dinukil dari Ahmad bin Hambal dalam Mansakil Marwadziy bahwa sekolompok orang membolehkan tawassul dengan Nabi saw, sementara yang lain melarangnya. Apabila yang dimaksud oleh orang yang bertawassul itu tawassul dengan keimanan, cinta, kesetiaan dan ketaatan kepadanya, maka tidak ada perbedaan di antara dua kelompok. Namun bila yang dimaksud adalah tawassul dengan dzatnya, inilah titik persoalan. [164] Dan apa saja yang dipermasalahkan hendaknya dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya." (M. Al-Fatawa, juz. 1, hal. 264). Katanya juga dalam masalah ini : `Akan tetapi tujuannya adalah mengenai masalah-masalah ijtihadiyah. Dan apa pun yang diperselisihkan umat harus dikembalikan kepada Allah SWT". (M. Al-Fatawa, juz 1, hal. 179). Sangatlah jelas dari ungkapan Syaikhul Islam ini bahwa persoalannya adalah persoalan khilafiyah ijtihadiyah. Dengan demikian ia termasuk masalah furu'iyah yang tidak boleh melahirkan pertikaian karenanya dan tidak sampai pada jatuhnya sangsi hukum. Syaikhul Islam menjelaskan hal ini dengan mengatakan: `Adapun pembagian ketiga dari apa yang dinamakan tawassul itu adalah permohonan kepada Allah dengan perantaraan para nabi dan orang-orang shalih. Dalam hal ini tidak seorang pun dapat menukilkan keterangan yang jelas dari Nabi saw, baik permohonan dengan perantaraan dirinya ataupun dengan perantaraan orang lain. Kalau para ulama memang ada yang membicarakannya dan telah ada keterangan dari lebih dari satu orang bahwa hal itu dilarang, jadilah ia masalah khilafiyah. Sebagaimana keterangan sebelumnya, perselisihan ini hendaknya dikembalikan kepada Allah dan RasulNya, dan masing-masing menunjukkan hujjahnya sebagaimana masalah-masalah lain yang semisalnya. Kaum muslimin sepakat bahwa ini bukan masalah yang bisa di-'iqab (dijatuhi sangsi hukum). Bahkan orang yang memberi sangsi karenanya termasuk orang yang melampaui batas, jahil dan zhalim. Yang mengatakan ini telah mengatakan sesuatu yang telah dikatakan para ulama. [165] Sedangkan orang yang mengingkarinya ia tidak memiliki dalil yang pantas untuk diikuti. Tidak dari Nabi Saw dan tidak pula dari kalangan shahabat." (Majmu' Al-Fatawa, juz 1, hal. 285, 286). Dari keterangan di atas jelaslah bagi kita bahwa : 1. Tawassul kepada Nabi saw dan orang-orang shalih adalah masalah khilafiyah. 2. Tidak ada dalil qath'i yang memperbolehkan atau mengharamkannya,



3. Kaum muslimin sepakat bahwa masalah ini tidak sampai mendatangkan 'iqab. 4. Yang menjatuhkan 'iqab karena masalah ini adalah orang yang melampaui batas, jahil dan dzalim. Kemudian Syaikhul Islam menjelaskan bahwa khilaf dalam masalah ini tidak menjadikan salah satu pihak menjadi kafir, bahkan barangsiapa yang menghukumi kufur kepada pihak lain inilah yang harus di-'iqab karena kebodohan dan sedikitnya ilmu. Selanjutnya beliau berkata: "Dalam memahami hadits a'ma, orang terbagi dalam dua kelompok : Pertama : Tawassul yang dimaksud di atas adalah tawassul dengan do'a ketika Nabi hidup, tidak lebih dari itu. Kedua: Tawassul boleh dilakukan ketika hidupnya atau setelah wafatnya. Tidak seorang pun berhak memvonis bahwa orang yang mengatakan dengan pendapat yang kedua telah kufur. Tidak ada alasan untuk mengkafirkannya. Masalah ini sangat samar, tidak ada dalil yang tegas. Kekufuran hanyalah bisa dituduhkan kepada orangyang mengingkari masalah-masalah pokok agama atau mengingkari hukum yang mutawatir dan telah disepakati ulama, atau sejenisnya. [166] Syaikh Izzuddin bin Abdis Salam berkata tentang bolehnya tawassul dengan Nabi Saw. Bahkan orang yang mengkafirkan pendapat ini berhak mendapatkan sangsi yang berat sebagaimana pendusta-pendusta agama." (Majmu' Al-Fatawa, juz. 1, hal. 106). Demikian juga sabda Rasul : "Barangsiapa yang mengatakan kepada temannya: Wahai kafir, maka kekufuran itu jatuh kepada salah satunya". (HR. Bukhari dan Muslim). Inilah pendapat Syaikhul Islam mengenai tawassul dengan Nabi dan orang-orang shalih. Ia tidak menganggap orang yang berselisih tentang itu sebagai rusak aqidahnya. Ada pengertian penting yang masih ingin saya tekankan kembali kepada pembaca, yaitu membedakan antara dua pertanyaan berikut ini : 1. Bagaimana sehingga masalah tawassul tersebut di atas merupakan masalah khilafiyah ijtihadiyah sehingga tidak dijatuhkannya sangsi kepada yang berselisih pendapat? 2. Bagaimana pendapat Syaikhul Islam dan mana yang beliau pilih dari pendapat-pendapat yang berbeda itu? Untuk menjawab pertanyaan pertama, Syaikhul Islam berkata : "Itu persoalan yang khilafiyah ijtihadiyah dan termasuk furu'iyah." Sedangkan menjawab pertanyaan kedua beliau mengatakan : "Pendapat saya, tawassul model seperti ini tidak diperbolehkan, dengan keyakinan bahwa masalah ini masalah ijtihadiyah". Beliau telah menulis banyak risalah untuk menguatkan [167] hujjahnya sekaligus memberi kritikan dan masukan kepada pendapat yang tidak beliau setujuinya. Dengan membedakan dua pertanyaan tadi, mudah-mudahan, telah jelas persoalannya untuk kemudian kita bisa menapakkan kaki kita pada jalan yang ditempuh oleh Syaikhul Islam. Selanjutnya, sekiranya kita bertanya kepada Syaikhul Islam, 'Apa yang Syaikh katakan kepada orang yang berbeda pendapat dengan Syaikh?" Beliau pasti akan menjawab : "Saya memang mempunyai pendapat. Akan tetapi saya tidak ingin memaksakan pendapatku padanya dan saya tidak memberikan sangsi kepadanya apalagi menvonis mereka dengan kekufuran atau syirik ..."



Inilah ringkasan pendapat Syaikhul Islam tentang tawassul dengan Nabi dan orang-orang shalih, dengan pengertian memohon kepada Allah dengan perantaraan dzat dan jaah mereka.



Kini Kita Melihat Bagaimana Pendapat Imam Syahid : Imam Syahid menjelaskan tentang ini sebagai masalah khilafiyah far'iyyah sebagaimana lazimnya masalah-masalah lain yang tidak memiliki landasan qath'i. Maka dari itu, ini persoalan yang tidak merusak aqidah orang yang berbeda pendapat. Dan ia bukan pula termasuk persoalan aqidah yang pokok serta berdimensi ushul. Imam Syahid, dalam rukun fahm, salah satu rukun bai'ah yang sepuluh, berkata : "Doa, apabila disertai dengan tawassul kepada Allah dengan salah satu makhluq-Nya adalah khilaf furu' dalam tata cara berdo'a dan bukan persoalan aqidah." (Majmu'ah Rasail, Al-Aqidah, hal. 270). [168] Nah, dengan demikian beliau bertemu pendapat dengan Syaikhul Islam bahwa khilaf dalam masalah ini, dengan bentuk yang telah saya batasi merupakan khilaf far'i ijtihadi, yang secara ijma' tidak menyebabkan `iqab bahkan yang meng-'iqab karenanya termasuk orang yang melampaui batas, jahil dan dzalim. Ia bukan persoalan aqidah yang pokok sehingga yang berbeda pendapat menjadi kafir. Do'a itu, sebagaimana ibadah pada umumnya, memiliki cakupan yang luas. Ia memiliki ushul yang telah disepakati yang sifatnya yaqiniyah dan qath'iyah yang barangsiapa bertentangan dengannya maka ia rusak aqidahnya. Namun ia juga memiliki persoalan furu' yang masih menerima ijtihad dan adanya tukar pendapat untuk kemudian diambil keputusan yang terkuat. Persoalan dasarnya sebenarnya masalah bagaimana menghadap kepada Allah dengan do'a dan permohonan. Orang yang menggunakan wasilah jaah seseorang itu pun hakikatnya tetap menghadap hanya kepada Allah dengan permohonan dan do'a yang dipanjatkannya. Perbedaannya hanyalah menyangkut cara yang ditempuh dan itu masalah furu', sebagian membolehkan dan sebagian yang lain melarang. Semua mengungkapkan hujjahnya dengan kuat. jadi apabila niatnya benar, yakni hanya tertuju kepada Allah saja, maka setelah itu, yang menyangkut cara dan gaya pengungkapannya merupakan masalah ijtihadiyah. Demikianlah, permasalahan telah jelas bahwa masalah ini merupakan masalah ijtihadiyah far'iyah yang tidak menyebabkan rusaknya aqidah dan kedua Imam telah bertemu pendapat di dalamnya. [169]



SYUBHAT DAN DISKUSI Terkadang ada orang yang mengatakan: Ucapan Imam Syahid bahwa hal ini merupakan khilaf far'i adalah ucapan yang tidak tegas bahkan menyebabkan orang tasahul (menganggap ringan) dan tergelincir. Saya katakan: "Wahai Akhi, apa yang anda maksud sebagai tidak tegas?" Masalah ini memang bukan masalah qath'i, ini masalah ijtihadiyah disebabkan tidak adanya dalil yang mengharuskan kita mengatakan tegas. "boleh" atau "tidak boleh", sebagaimana telah diungkapkan Syaikhul Islam. Adapun Imam Syahid – semoga Allah memberikan balasan yang baik kepadanya – membebaskan hakikat masalah dengan mengatakannya sebagai masalah furu'. Dengan begitu telah dapat meredakan banyak pertikaian dan permusuhan. Beliau telah menghimpun hati yang



bercerai-berai dengan fadhilah-Nya. Karena inilah kebenaran dalam masalah yang memungkinkan hati menjadi bersatu dengannya. Ketahuilah akhi, musykilah anda dan beribu-ribu orang semisal anda adalah disebabkan ketidaktahuan kita akan makna aqidah kecuali bahwa ia sebagai suatu perkara yang di dalamnya hanya ada masalah ushul sehingga bila berbeda dengan prinsip anda lantas disebut kufur, syirik, dhalal (sesat), dan sebagainya. Tidak ada di dalamnya masalah ijtihadiyah far'iyyah. Saya ingin memberi pengertian kepada anda semua bahwa pendapat serupa itu salah besar dan bukan seperti itu manhaj salafus shalih. Itu adalah manhaj ahli ilmu kalam yang tercela dan ahli hawa nafsu sebagaimana dijelaskan Syaikhul Islam. [170] Adapun manhaj salaf itu adalah: Membagi masalah aqidah kepada ushul dan furu', ataupun qath'i dan zhanni. Atas dasar itulah para ulama sepakat membenarkan ijtihad dalam masalah furu'nya. Bagi setiap mujtahid ada pahalanya sesuai dengan usahanya. Anda semua bisa mengulangi lagi membaca keterangan di atas tentang ini. Kemudian ketahuilah wahai akhi, ketika imam Syahid menegaskan bahwa masalah ini sebagai masalah khilafiyah far'iyyah itu ditujukan kepada ulama yang faham pembicaraan, dan dapat membedakan masalah-masalah yang mutasyabihah. Sedangkan kebanyakan kita tidak memahami itu semua. Maka kalian menghukumi Imam Syahid sebagaimana kalian bersikap terhadap perilaku orang awam yang bodoh, yang berdo'a kepada orang-orang yang sudah mati dan meminta kepada mereka untuk dipenuhi kebutuhannya. Pemahaman seperti inilah rupanya yang membuat anda menganggap bahwa imam Syahid telah menyebabkan orang banyak tasahul (mempermudah terhadap masalah) dan menyeleweng. Karena anda sendiri yang mengacaukan perilaku sesat seperti di atas itu dengan istilah tawassul. Wahai akhi, anda telah jatuh dalam syubhat, dan anda lupa bahwa imam Syahid menggunakan istilah ini dalam makna yang terbatas, yaitu: Menghadap semata-mata kepada Allah dengan doa dan permohonan dengan perantaraan jaah atau dzat si Fulan. Bukan menghadap dan mengharap pemberian dari si Fulan yang telah mati itu. Memang kalangan awam menganggap yang seperti itu sebagai tawassul, dan anda menjatuhkan hukum kepada imam Syahid lantaran memahami ungkapannya dengan pengertian yang dipahami oleh orang awam. Dengan demikian anda telah keliru. Menghukumi seseorang dengan sesuatu yang orang itu lepas diri dari padanya. [171] Sedangkan mengenai memohon dan berdo'a kepada orang-orang yang telah mati, imam Syahid sendiri telah sangat tegas menganggapnya sebagai dosa besar yang wajib diperanginya. Bahkan tidak boleh dita'wil sekalipun, agar tidak membuka jalan masuknya penyelewengan lebih jauh. Mengenai ini kembalilah kepada ucapan imam Syahid dengan sub judul: Tidak Ada Isti'anah dengan Ahli Kubur. Demikianlah akhi, hendaklah anda pahami dengan baik bagaimana membedakan berbagai masalah agar tidak mudah tergelincir dalam lubang kekeliruan dan kesalahan. Kalau anda menjumpai keterangan yang dirasa tidak jelas dan rancu tanyakan kepada ahli iimu, karena: "Sesungguhnya obat penyakit tidak tahu itu bertanya," itulah ajaran Rasulullah Saw. Janganlah secara gegabah bersikap apriori dan memvonis orang dengan vonis rusak dan sesat agar anda tidak termasuk orang yang dikatakan ahli syair: Betapa banyak orang menangkap omongan benar. Tetapi ia terjatuh karena pemahaman yang rancu. Dan salah satu sebab penyelewengan itu adalah: Karena seseorang tidak cermat dalam



menangkap apa yang ia baca atau ia dengar. Inilah yang dikatakan oleh ahli ushul sebagai Tahqiqul Manath. Dan kesalahan dalam tahqiqul manath ini penyebabnya adalah: jahl (kebodohan), hawa (hawa nafsu) dan 'ajalah (tergesa-gesa). Kita memohon kepada Allah ampunan dan semoga Ia merahmati kedua Imam.



UCAPAN DAN SIKAP DALAM DA’WAH Kedua imam memiliki pemahaman yang sebaik-baiknya terhadap dien, sehingga dapat menerangi pikiran, menyinari hati dan menyegarkan indera kita berkaitan dengan masalah ini. Beliau berdua telah meninggalkan warisan untuk kita berupa kata-kata yang sarat hikmah dari cahaya Islam, dan sikap perilaku yang dipenuhi cayaha iman. Kata-kata dan sikap ini merupakan mercusuar hidayah dan lentera yang senantiasa menerangi orang-orang yang berjalan di medan da'wah. Dan lentera itu pula yang menunjuki orang-orang yang tersesat di tengah perjalanannya. Saya ingin mengemukakan beberapa contoh dalam masalah ini, mudah-mudahan Allah Swt melimpahkan manfaat kepada kita.



SYAIKHUL ISLAM Allah Swt telah mewajibkan amar ma'ruf nahi mungkar kepada hamba-hamba-Nya. Kewajiban ini merupakan upaya melindungi agama dari keguncangannya dan menghalanginya dari kemandegan. Agar agama ini terus menyebar memenuhi alam dengan rahmat-Nya. Allah Swt berfirman : "Hendaklah ada di antara kalian ummat yang menyeru kepada kebaikan, memerintahkan yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar. Dan merekalah orang-orang yang beruntung". (Ali `Imran: 104). [173] Ayat dan hadits dalam masalah ini sangat banyak. Kewajiban dari Allah ini pun memiliki fiqihnya sendiri, yaitu berupa rambu-rambu dan akhlaq, yang harus diketahui oleh setiap da'i. Seorang da'i harus menguasainya agar setiap langkah yang dilakukan senantiasa berdasarkan ilmu. Dengan begitulah ia dapat menghasilkan buah yang sebaik-baiknya serta dapat menghindarkan diri dari ketergelinciran. Dalam hal ini Syaikhul Islam memiliki ucapan-ucapan yang sarat hikmah dengan bingkai syara' yang adil, jauh dari ifrath dan tafrith. Dengan pernahaman yang benar terhadap Islam akan menumbuhkan ucapan dan sikap yang tepat sehingga dapat memberikan jalan bagi para da'i dan dapat meluruskan langkah yang mulai bengkok. Itulah yang telah dilakukan oleh kedua imam, sebagaimana yang akan saya kemukakan di sini mengenai pandangan kedua imam tentang "amar ma'ruf dan nahi mungkar." Syaikhul Islam berkata : Adalah maklum bahwa amar ma'ruf nahi mungkar disertai dengan jihad sebagai pelengkapnya adalah merupakan kebaikan yang paling agung yang diwajibkan kepada kita. Maka dari itu dikatakan: hendaknya amar ma'ruf dan nahi munkarmu itu dilakukan bukan dengan kemungkaran yakni, apabila ia merupakan kewajiban dan anjuran yang paling agung, maka kemaslahatan yang didapatkan harus lebih besar dari kerusakan



yang ditimbulkan. Karena dengan tujuan maslahat itu sajalah Rasul dibangkitkan dan Kitab diturunkan. Sedang Allah tidak menyukai kerusakan. [174]



TINGKATAN-TINGKATANNYA Amar ma'ruf nahi mungkar itu terkadang dilakukan dengan hati, pada saat lain dengan lisan dan pada saat lain lagi dengan tangan. Adapun dengan hati, maka wajib dilakukan dalam segala hal. Karena tidak ada madharat dalam pelaksanaannya. Barangsiapa tidak melakukannya, ia bukan termasuk orang mu'min. Hal ini sebagaimana disabdakan Rasul saw bahwa memerangi kemungkaran dengan hati sebagai yang paling lemah atau minimal. Artinya, kalau dengan hati pun tidak, berarti tidak ada lagi iman padanya.



KELIRU DI TENGAH JALAN Ada kesalahan yang dilakukan oleh dua kelompok orang. Kelompok pertama: Mereka meninggalkan kewajiban ini dengan dalil sebuah ayat, sebagaimana pernah dibacakan Abu Bakar ra dalam khutbahnya : "Urusilah dirimu sendiri, tidaklah orang sesat itu dapat mencelakakanmu bila kamu telah mendapatkan petunjuk". (Al-Maidah : 105). Maka ketahuilah, bahwa kalian yang termasuk di dalamnya telah meletakkan ayat ini tidak pada tempatnya. Karena saya mendengar Rasulullah saw bersabda : "Sesungguhnya orang-orang itu apabila melihat kemungkaran tidak merubahnya. Saya khawatir Allah akan meratakan siksa karenanya". (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi). Sedangkan kelompok kedua: Mereka ingin melaksanakan amar ma'ruf nahi mungkar, ada yang dengan lisannya saja ataupun tangannya saja, atau kedua-duanya. Tetapi mereka tidak memiliki fiqihnya, tidak bersabar, tidak juga [175] melakukannya dengan lemah lembut, serta tidak dengan pertimbangan mana yang membawa maslahat dan mana yang tidak atau mana yang belum mampu dikerjakan dan mana yang sudah. Mereka merasa telah menegakkan amar ma'ruf nahi mungkar dengan sepenuh keyakinan menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya, padahal hakikatnya mereka telah melampaui batas yang ditetapkan syara'." (Majmu' Al-Fatawa, juz. 20, hal. 127, 128).



ETIKA-ETIKA YANG DIBUTUHKAN 1. Ilmu Hendaklah memiliki pengetahuan tentang amar ma'ruf nahi mungkar dan perbedaan di antara keduanya. Yaitu memiliki pengetahuan tentang orang-orang yang di-amar (diperintah) maupun orang-orang yang di-nahi (dicegah). Alangkah indahnya bila amar ma'ruf dan nahi mungkar didasari dengan ilmu semacam ini yang dengannya akan menunjukkan orang ke jalan yang lurus dan dapat mengantarkan inereka kepada tujuan.



2. Rifq (lemah lembut) Hendaklah memiliki jiwa rifq, sebagaimana sabda Rasul saw: "Tidaklah ada kelemah-lembutan dalam sesuatu kecuali menghiasinya, dan tidaklah ada kekerasan dalam sesuatu kecuali membuatnya jelek". (HR. Muslim) Dan sabdanya :



"Sesungguhnya Allah itu Maha lemah lembut, Ia mencintai kelemahlembutan dalam segala hal. Ia memberi kepada kelembutan sesuatu yang tidak diberikan kepada kekerasan". (HR. Bukhari dan Muslim).



3. Sabar Hendaklah bersabar dan menahan diri dari segala perlakuan buruk. [176] Karena tabi'at jalan da'wah itu memang demikian. Apabila seorang da'i tidak memiliki kesabaran serta rasa menahan diri maka ia akan lebih banyak merusak daripada melakukan perbaikan. Sebagaimana nasehat Luqman kepada anaknya : "Perintahkanlah manusia kepada yang ma'ruf, cegahlah mereka dari kemungkaran dan bersabarlah terhadap musibah yang menimpa kalian, sesungguhnya yang demikian itu merupakan hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)". (Luqman: 17) Dari itu maka Allah Swt memerintahkan kepada para Rasul-Nya, yang mereka adalah penghulus para da'i, pelopor amar ma'ruf nahi mungkar, untuk senantiasa bersabar.



RINGKASNYA Dari ketiga rambu amar ma'ruf di atas, setidaknya ada tiga hal yang dapat disimpulkan di sini sebagai sesuatu yang harus dimiliki oleh seorang da'i. Yakni ilmu, kelemah-lembutan dan sabar. - Ilmu itu harus ada sebelum melakukan tugas. - Kelemahlembutan dibutuhkan antuk menyertai pelaksanaannya, dan - Kesabaran harus ada setelah ia menunaikannya. Ada sebuah atsar dari kalangan sahabat, sebagaimana disebutkan oleh Al-Qadhi Abu Ya'la dalam Al-Mu'tamid : "Tidaklah seseorang beramar ma'ruf nahi mungkar kecuali : - Orang faqih, ia tahu terhadap apa yang diperintah dan apa yang dilarang dengan hujjah yang nyata dan terang. - Orang lemah lembut. Yang dengan kelemahlembutannya ia memerintahkan, dengan itu pula dia mencegah. - Orang yang sabar. Ia sabar dalam memerintah dan sabar ketika melarang". (Majmu' AlFatawa: juz 28 hal. 139, 137) [177]



BAGAIMANA MENSIKAPI THAGHUT "Saya telah berbicara tentang bagaimana memerangi para pemimpin – tidak dalam forum ini – dan semua isinya terkandung dalam kaidah umum," yaitu : Apabila akan muncul – sebagai akibat amar ma'ruf nahi mungkar – maslahat dan mafsadat atau kebaikan dan keburukan, maka wajib dilakukan pertimbangan untung rugi dari akibat yang ditimbulkan tersebut, mana yang akan lebih dominan muncul. Karena amar ma'ruf dan nahi munkar, meskipun dimaksudkan untuk menciptakan maslahat dan menumpas kerusakan, namun kita terkadang salah dalam mempertimbangkan akibat yang akan ditimbulkannya. Terutama yang berkaitan dengan skala prioritas. Oleh karenanya, apabila ternyata amalan itu Iebih banyak menghapuskan kemaslahatan atau menimbulkan kerusakan maka dia tidak boleh dilakukan.



UKURAN MASLAHAT DAN MAFSADAT



"Ukuran maslahat dan mafsadat tidak ada lain kecuali ukuran syara'." (Majmu' AlFatawa, juz 28, hal. 129). Itulah di antara mutiara hikmah Syaikhul Islam yang kita dapati dalam manhaj dakwahnya. Bagaimana beliau telah memenuhi syarat sekaligus etikanya. Beliau telah memberi kejelasan arah jalan, serta peringatan kepada mereka yang langkah dakwahnya serabutan. Semuanya ada di bawah manhaj Rabbani dan timbangan syar'i.



SIKAP-SIKAP MENGHADAPI KEMUNKARAN Ibnu Taimiyah itu bukan orang yang hanya bisa berbicara, tetapi beliau adalah orang yang ahli bicara sekaligus ahli beramal, bahkan amalnya lebih banyak dari bicaranya. Beliau adalah sosok yang cemerlang dalam kapasitasnya sebagai seorang pemikir dalam memandang setiap permasalahan, [178] beliau juga orang pertama yang mengamalkan huah pikiran dan konsepkonsepnya. Kalau berbicara beliau berbicara dengan hikmah, kalau beramal penuh dengan kecermatan. Sejarah telah mencatat untuk kita bagaimana sikap-sikap beliau secara operasional menghadapi tantangan dakwah. Hal ini sangat perlu bagi orang-orang yang ingin memahami kata-kata Syaikhul Islam secara detail agar memungkinkannya meniru dan menelusuri jejaknya secara baik. Berikut saya nukilkan beberapa sikap beliau tersebut :



1. Sikap Bijak Dalam Beramar Ma'ruf Nahi Mungkar Berkata Imam Ibnu Qayyim Al-jauziyyah: "mengingkari kemungkaran itu ada empat tingkatan : Pertama: Kemungkaran akan hilang dan muncullah sebaliknya. Kedua: Kemungkaran itu berkurang, meskipun tidak hilang sama sekali. Ketiga: Kemungkaran hilang dengan memunculkan kemungkaran yang sama dengan kemungkaran yang telah diberantas. Keempat: Kemungkaran hilang dengan melahirkan kemungkaran yang lebih parah dari sebelumnya. Dua tingkatan yang pertama itu nilainya syar'i. Sementara tingkatan yang ketiga masih menjadi tema ijtihadi, dan tingkatan yang keempat dilarang sama sekali. Saya mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah – semoga Allah mensucikan ruhnya – berkata: "Suatu saat di zaman Tartar, saya dan teman-teman berjalan-jalan di tengah orang banyak. Di antara mereka ada yang meminum khamr. Lantas salah satu dari kami ada yang mengingkarinya, lalu saya tegur dia. Saya katakan bahwa khamr itu diharamkan [179] karena ia menghalangi seseorang dari dzikrullah dan shalat, sementara bagi mereka khamr itu justru menghalanginya dari membunuh, mencaci-maki dan merampok harta, maka biarkanlah mereka untuk sementara". (I'lamul Muwaqqi'in: 3/4,5). Persoalan tidak lagi membutuhkarn penjelasan karena apa yang beliau ucapkan demikian jelas kandungannya.



2. Mensikapi Orang yang Tidak Sependapat Syaikhul Islam telah berjuang mempertahankan madzhab salaf dengan amat gigih. Di sisi lain dengan tidak kalah gigihnya beliau melakukan kritik terhadap madzhab khalaf. Beliau banyak menulis risalah tentang itu semua dan pandangan-pandangan beliau sangat terkenal di kalangan kaum muslimin. Namun demikian banyak orang tidak tahu persis bagaimana



sikap mu'amalah beliau terhadap orang-orang yang berbeda pendapat dengannya. Kini, mari kita simak salah satu fragmen yang secara lebih jelas menggambarkan sikap tersebut. "Berkata Al-Hafidh Ibnu Katsir: `Al-Qadhi jamaluddin bin Al-Qalansiy bercerita kepadaku bahwa suatu saat Sultan Muhammad bin Al-Malik Manshur Qalawun mintaa fatwa kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tentang bagaimana hukumnya membunuh sebagian hakim karena kesalahan ucapan mereka dan lantaran mereka telah mencopot Sultan dengan membai'at Jasyinkir. Dan katanya kemudian: Akan tetapi mereka juga memusuhi dan mencelakakanmu. Mulailah Sultan menghasut Syaikh untuk memberikan fatwa membunuh sebagian mereka. Meskipun yang sebenarnya marahnya Sultan karena mereka menarik baiatnya tadi. Fahamlah Syaikhul Islam apa yang dimaui Sultan. Kemudian beliau mulai menyanjung dan mengangkat posisi [180] para hakim dan ulama tertuduh itu dan berusaha agar jangan sampai ada seorang pun yang terkena sangsi Sultan. Beliau berkata: "Bila anda membunuh mereka, anda tidak menjumpai orang sehebat mereka lagi." Sultan berkata: "Akan tetapi mereka memerangimu dan ingin membunuhmu." Syaikhul Islam berkata: "Bila mereka akan menyakitiku, biarkan saja, akan tetapi bila akan menyakiti Allah dan Rasul-Nya maka Allahlah Yang Maha memberi balasan. Saya tidak dapat menundukkannya sendirian." Demikianlah beliau terus berbicara hingga akhirnya Sultan mengampuni mereka. Berkata Al-Qadhi jamaluddin: Pernah Al-Qadhi Malikiyyah, Ibnu Mahluf berkata : "Saya tidak pernah melihat orang seperti Ibnu Taimiyah. Orang berusaha membujuknya, tetapi beliau tetap tidak bergeming dengan segala bujukan. Sementara beliau mampu berbuat apa saja pada kita, tetapi meski demikian beliau selalu memaafkan kita". (Al-Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir: 14/54). Itulah akhlaq ulama yang telah melekat pada diri Syaikhul Islam. Agar kita lebih dalam memahami yang sesungguhnya, perlu diketahui lebih jauh tentang kisah ini sebagai berikut : Para qadhi (hakim) dan ulama dalam kisah itu adalah orang-orang yang memiliki perbedaan pendapat serius dengan Syaikhul Islam dalam beberapa persoalan aqidah. Mereka cenderung ke madzhab khalaf sementara Syaikhul Islam pelopor madzhab salaf. Kedua kelompok ini begitu sengit dalam mempertahankan pendapat masing-masing. Yang satu tidak mau menerima pendapat yang lain. Bahkan mereka berusaha menyakiti dan memenjarakan Syaikhul Islam. [181] Akan tetapi beliau orang yang sangat baik pemahamannya tentang ruhuddin (jiwa agama) dan lapang dada menerima perbedaan pendapat. Disamping itu beliau sangat mendalam menghayati hakikat ukhuwwah fid-Dien. Baginya ukhuwah menduduki posisi yang sangat tinggi yang tidak dapat diruntuhkan oleh perbedaan pendapat, apalagi sampai bermusuhan karenanya. Itulah sebuah contoh dan teladan akhlaq Islam yang lahir dari aqidah yang wa'iyah, hayyah dan mutsmirah (sadar, dinamis dan produktif). Fragmen di atas mengajari para da'i bagaimana seharusnya menempuh perjalanan dakwahnya. Bagaimana mereka seharusnya bersikap menghadapi orang-orang yang berbeda pendapat dalam masalah fiqih atau furu' aqidah yang detail.



3. Jihad



Syaikhul Islam dikenal sebagai seorang penulis, khatib sekaligus ahli perang. Beliau banyak mengajar di masjid-masjid, namun begitu mendengar bahwa musuh telah memasuki wilayah kaum muslimin, sontak beliau turut keluar berjihad. Mulai dari mobilisasi pasukan, menghimpun hati hingga memberi bimbingan dengan semangat berkobar-kobar untuk memberi dorongan kepada mereka agar berjihad dan berlomba meraih syahadah (mati syahid). Beliau adalah seorang panglima perang, teladan dalam hal keberanian dan contoh ideal dalam tsabat. Allah Swt telah mengangkat kejayaan Islam dan melindungi agama ini dari bencana melalui tangannya dalam peperangan melawan pasukan Tartar yang durjana. Dengan yang demikian inilah beliau telah memberi contoh, bagaimana memahami aqidah sebagai sesuatu yang hidup dengan menerapkannya [182] dalam amal dan jihad. Aqidah yang dinamis, kokoh, produktif, aplikatif dan konstruktif. Dan bukan aqidah yang jumud atau sekedar simbolis. Tentang keagungan pribadi beliau, Al-Hafidh Umar bin Ali Al-Bazzar berkata : "Syaikhul Islam itu adalah orang yang paling perkasa fisiknya dan paling tegar jiwanya. Saya tidak menjumpai orang yang lebih tabah dan tegar daripadanya dan tidak pula melihat orang yang lebih besar semangatnya dalam memerangi musuh. Beliau ketika itu berjuang dengan segala-galanya, dengan lisan, tulisan dan tangannya. Beliau tidak takut celaan orang yang mencela. Banyak orang berkata bahwa Syaikhul Islam ra dahulu, apabila datang di pasukan kaum muslimin, beliau berada di tengah-tengah mereka. Jika mendapati sebagian dari mereka ada yang takut, ragu-ragu atau khawatir, beliau memberi dorongan semangat dan optimisme. Beliau ingatkan dengan janji kemenangan dan ghanimah, disamping juga memberi pengertian bagaimana keutamaan jihad dan menjadi mujahidin serta bagaimana Allah bakal menurunkan ketenteraman dan kemenangan kepada mereka. Dan adalah beliau apabila menunggang kuda, berkeliling mengitari para musuh laksana orang yang paling terhormat, beliau bangkit menerjang musuh seolah-olah dirinyalah yang paling pemberani. Beliau banyak meneriakkan takbir hingga menggetarkan nyali musuh, dan terjun ke medan laga seperti orang yang tidak peduli dengan kematian. Mereka bercerita bahwa pada kemenangan wilayah Ukkah, mereka menyaksikan sebuah fenomena keberanian yang sulit diceritakan. Mereka berkata bahwa faktor penyebab yang menjadikan kaum muslimin memiliki keberanian [183] adalah karena pengaruh sikap Syaikhul Islam dan pandangan-pandangannya. Saya diberi khabar oleh orang yang terpercaya, ia dari Syaikh Wajihud Din bin Al-Munja – semoga Allah mensucikan ruhnya – berkata: "Pada suatu kesempatan saya hadir menemui Sultan bersama Syaikhul Islam. Beliau memberi petuah kepada Sultan dengan Kalam Allah dan Sunnah Rasul-Nya tentang keadilan dan lain-lain. Di tengah-tengah pembicaraan tiba-tiba beliau mengeraskan suaranya dan berkata kepada penerjernah: "Katakan kepadanya: "Engkau menganggap dirimu sebagai muslim. Engkau memiliki hakim, imam, syaikh dan para muaddzin, lantas engkau perangi kami. Bapak dan kakekmu dahulu orang kafir, tapi mereka tidak melakukan sebagaimana yang engkau lakukan. Mereka berjanji dan menepati., sedangkan engkau berjanji tapi mengingkari dan engkau berkata tetapi berdusta. Itulah sebenarnya yang menjadi sebab kebanyakan tahanan kaum muslimin kemudian dilepaskan dari tangan mereka serta dikembalikan kepada istri dan keluarganya." (Al-A'lam Al-'Ulyahh dalam Manaqib Ibnu Taimiyah/67-72,). Dalam Risalah Qibrishiyyah, Syaikhul Islam berkata kepada Raja Qibrish : "Orang-orang Nasrani telah mengetahui semua bahwa ketika saya berbicara kepada Tartar



untuk membicarakan pelepasan tahanan kaum muslimin, dan saya berkata kepada tokoh tua di antara mereka, ternyata ia mendengar dibebaskannya kaum muslimin, ia berkata kepadaku: 'Akan tetapi kami memiliki orang-orang Nasrani yang kami bawa dari Al-Quds. Mereka tidak dilepaskan." Saya katakan kepadanya: Tidak, seluruh yang ada pada anda, baik orang-orang Yahudi maupun orang-orang Nasrani, yang mereka adalah ahlu dzimmah kami, [184] saya perintahkan anda untuk melepaskan mereka, tidak tersisa satu pun, baik dari ahli millah maupun ahli dzimmah. Maka ia melepaskan sejumlah orang-orang Nasrani. Inilah kerja kami dan amal baik kami. Pahalanya kita serahkan kepada Allah." (Majmu' Al-Fatawa: 28/617, 618). Inilah sikap Syaikhul Islam yang 'alim, berani dan berjiwa mujahid. Beliau mengajari kita bagaimana seharusnya seorang da'i gagah berani menyatakan kebenaran di hadapan pemimpin thagut yang durjana, tanpa merasa takut kecuali kepada Allah. Di sisi lain beliau menuntun kita bagaimana harus membangun kasih sayang dengan sesama muslim, bagaimana membantu dan memberi pembelaan kepada mereka jika mereka teraniaya dan menghadapi musuh penghancur kebenaran, juga bagaimana harus berupaya melepaskan mereka dari tahanan musuh, serta bagaimana pula kesetiaan yang diberikan kepada ahlu dzimmah, di mana itu semua merupakan tuntutan Islam. Inilah profil ulama, 'amilun, 'abidun, shadiqun dan mukhlishun. Semoga Allah Swt selalu merahmati Syaikhul Islam. Selanjutnya, kini kita bersama dengan ucapan dan sikap imam Syahid.



IMAM SYAHID HASAN AL-BANNA Beragam Medan Kepada para da'i, Imam Syahid memberi penjelasan tentang beberapa prinsip yang penting dengan kalimat yang ringkas namun penuh dengan hikmah. Di antaranya beliau mewasiati mereka untuk tidak isti'jal (tergesa-gesa) sehingga perjuangannya tidak sia-sia. Persiapan (i'dad) harus dilakukan sejak dini untuk menghadapi medan yang senantiasa sulit, disamping [185] kesabaran dalam persiapan itu sendiri. Para da'i harus sabar melangkah di atas tahapan yang sesuai dengan karakter kaun (alam) dan sunnatullah. Beliau berkata : "Orang Yang kuat perkasa itu berbeda dengan seorang yang kuat lagi pekerja, seorang kuat lagi pekerja saja berbeda degan seorang pekerja yang mujahid. Seorang mujahid saja juga berbeda dengan mujahid yang bijak dan produktif, yang dapat menghasilkan keuntungan sebesarbesarnya bagi dakwah dengan membayar pengorbanan sekecil-kecilnya". (Majmu'ah Rasail, Mu'tamar Khamis/162, 163). Dalam kisah Thalut ada pelajaran berharga tentang hal ini bagi siapa yang mau merenunginya.



COBAAN SEBAGAI RESIKO PERJUANGAN Orang yang telah mendapatkan petunjuk untuk memasuki medan dakwah akan merasakan adanya kehormatan dan kebanggaan menapak tilas jejak para Nabi dan du'at (para da'i) pendahulu. Ia rasakan kenikmatan dalam pengorbanan dan khidmah (pengabdian) yang dipersembahkannya. Ini semua merupakan anugerah Allah di dunia, sedangkan di akhirat ada anugerah kenikmatan lain yang lebih besar dan tiada habisnya.



Ini semua merupakan imbalan yang agung bagi sesuatu yang "kecil" berupa kesabaran di medan dakwah dan tahan uji menghadapi segala cobaan. Itulah sunnatullah yang tidak pernah berubah. Jiwa para da'i semestinya telah memiliki kesiapan untuk menghadapi yang demikian sampai Allah Swt berkenan memberikan pertolongan dan kemenangan di dunia, di samping kenikmatan jannah di akhirat kelak. Imam Syahid berkata : "Saya ingin terus terang berkata bahwa dakwah kalian masih kabur bagi banyak orang. Nanti, di saat mereka mengetahui hakikat dan tujuannya, mereka akan memberikan sikap permusuhan yang keras. Di hadapan kalian akan didapati banyak sekali kesulitan dan kalian akan memperoleh resiko yang berat. Nah, pada saat itulah kalian baru memulai langkah menelusuri jalan para da'i. Adapun kini, kalian belum lagi dikenal, kalian baru membuka jalan dakwah itu dan mempersiapkan kekuatan untuk tuntutan pengorbanan dan jihad nantinya. Di jalan ini, kalian akan menjumpai banyak orang yang bodoh akan hakikat Islam. Akan kalian dapati di antara para ulama dan cerdik pandai, orang-orang yang asing dengan pemahaman Islam kalian, dan mengingkari perjuangan kalian. Akan muncul para pemimpin dan penguasa yang dengki kepada kalian dan semuanya akan memberi sikap yang sama menghadapi kalian. Mereka akan selalu berusaha menjegal langkah dan aktivitas kalian dan akan meletakkan aral di tengah jalan kalian. Mereka akan memasang perangkap di setiap jalan untuk menjebak kalian dan memadamkan cahaya dakwah kalian. Mereka akan meminta bantuan kepada pihak penguasa yang durjana, dengan akhlaq yang hina dan tangan-tangan yang selalu menjulur, serta lidah yang senantiasa menjilat meminta belas kasih, kalian harus waspada memberi perlawanan dan permusuhan. Semuanya akan menebarkan debu syubhat dan tuduhan-tuduhan keji di sekitar kalian. Mereka akan berusaha memanfaatkan kekurangan yang didapatkan pada kalian kemudian menyebarkannya kepada orang banyak dengan [187] menampilkan bentuk yang paling buruk. Itu semua mereka lakukan dengan mengandalkan kekuatan, kekuasaan dan segenap harta yang ada pada mereka. "Mereka ingin meniup (memadamkan) cahaya Allah dengan mulut-mulut mereka. Sedangkan Allah senantiasa menyempurnakan cahaya-Nya, meskipun orang-orang kaftr membencinya". (As-Shaf: 8), dengan demikian kalian akan masuk dalam cobaan dan ujian. Kalian akan dipenjara, diborgol, dipukul, dicambuk, dilempar serta diusir. Kemaslahatan kalian akan mereka rampas, kerja kalian akan mereka jegal, rumah dan harta kalian akan mereka jarah, juga tak ketinggalan keluarga kalian ... anak dan istri kalian ... Kalau sudah demikian maka ujian telah semakin berat. "Apakah orang-orang mengira bahwa mereka akan dibiarkan begitu saja setelah mengatakan kami beriman, tanpa diuji ? " (Al-Ankabut: 2) Namun demikian, Allah menjanjikan pertolongan dan pahala agung-Nya kepada para mujahidin dan hamba-hamba-Nya yang ihsan : "Wahai orang-orang yang beriman, maukah kalian saya tunjukkan sebuah perdagangan yang menyelamatkan kalian dari adzab yang pedih? ... "sanioai firman-Nya: "Maka Kami memberikan dukungan kepada orang-orang yang beriman dalam menghadapi musuhnya, kemudian mereka muncul menjadi pemenang". (As Shaf: 10-14) Apakah kalian akan terus berkeinginan menjadi ansharullah?" (Majmu'ah Rasail, Bainal Ams Wal Yaum/142, 143).



KEKUATAN ITU MEMILIKI TINGKATAN DAN WAKTU Islam itu agama kekuatan, bukan agama yang lemah. [186] Ia mengajak pengikutnya untuk selalu mempersiapkan kekuatan dan ia menyanjung orang-orang yang kuat. Para da'i ilallah akan menghadapi banyak cobaan, mereka akan mendapatkan berbagai perlakuan keji dari musuhnya. Kapan kita menggunakan kekuatan untuk menghadapi mereka? Apakah kalian akan menggunakannya setiap saat tanpa peduli akibatnya? Imam Syahid menjawab pertanyaan yang sering kabur bagi sebagian penempuh jalan dakwah ini, seraya mengatakan : `Adapun quwwah (kekuatan), maka ia adalah slogan Islam pada setiap nidzam (tatanan) dan tasyri' (penetapan syari'at)-nya. Al-Qur'an menyeru kita dengan gamblang : "Persiapkanlah dirimu untuk menghadapi mereka, segenap kekuatan apa saja yang dapat kamu lakukan, berupa kuda-kuda yang tertambat, yang dapat menggetarkan musuh Allah dan musuhmu". (Al-Anfal: 60). Nabi saw bersabda : "Mu'min yang kuat itu lebih baik dari pada mu'min yang lemah .... " (HR. Muslim). Bahkan quwwah tetap menjadi slogan Islam meskipun dalam do'a. Ia juga bersemayam dalam kekhusyu'an dan ketenangan muraqabah kepada-Nya. Marilah kita dengar apa yang Rasulullah saw mohonkan dalam do'anya yang khas, yang beliau ajarkan kepada para shahabatnya dalam bermunajat kepada Rabbnya : "Ya Allah, aku minta perlindungan-Mu dari rasa sedih dan gelisah, dan aku mohon perlindungan-Mu dari rasa malas dan lemah, [189] dan aku mohon perlindungan-Mu dari jiwa pengecut dan sifat bakhil serta aku mohon perlindungan-Mu dari dililit hutang dan kejahatan orang". (HR. Bukhari dan Tirmidzi). Tidakkah kalian perhatikan bagaimana dalam do'a ini Rasulullah meminta perlindungan kepada Allah dari semua fenomena dha'f (kelemahan). - Lemah kemauan yang berujud kesedihan dan kegelisahan. - Lemah produktivitas yang berujud rasa malas. - Lemah finansial yang berujud bakhil dan pengecut. - Lemah harga diri yang berujud hutang dan menjadi sasaran kejahatan. Maka tidak akan didapati dari seorang manusia yang benar-benar menjadi pengikut agama ini kecuali sosok yang kuat dalam segala hal. Dan slogan kekuatan ada di setiap kehidupannya. Ikhwanul Muslimin berkehendak menjadikan anggota dan pengikutnya menjadi orang-orang yang kuat dan bekerja dengan segenap kekuatan.



TINGKATAN KEKUATAN Namun demikian, Ikhwanul Muslimin memiliki pemikiran yang lebih dalam. Ia memiliki kedalaman penalaran dari sekedar tertipu oleh fenomena permukaan kegiatan dan pemikirannya. Mereka mengetahui bahwa tingkatan pertama quwwah adalah quwwatul aqidah dan iman, setelah itu quwwatul wihdah wal irthibath (kesatuan dan ikatan), kemudian baru quwwatus sa'id was silah (senjata). Karena sebuah jamaah tidak pantas disebut kuat hingga memenuhi unsur-unsur ini seluruhnya. [190]



KEKUATAN ADA WAKTUNYA Bila quwwatus sa'id was silah dipergunakan sementara ikatannya masih renggang, nizham (tatanan)-nya masih berantakan, aqidahnya masih lemah dan imannya beku, maka kesudahan yang didapat hanyalah kehancuran dan kebinasaan. Disebabkan yang demikian ini tidak menuruti sunnatullah. Ini dari satu sisi, menjadikan quwwah sebagai slogannya, memerintahkan - untuk mempergunakan kekuatan itu pada setiap keadaan, ataukah dia memberi batasan dan syarat, dengan mengarahkannya pada sesuatu yang tepat? Bahkan tidak hanya dalam masalah kekuatan, akan tetapi dalam segala amalan Islam menetapkan batasan syarat dan rukunnya. Dari sisi yang ketiga : Apakah dalam menyelesaikan permasalahan, kekuatan itu merupakan alternatif yang pertama ataukah yang paling akhir? Haruskah seorang muslim mempertimbangkan dampak negatif dan positifnya dalam setiap penggunaan kekuatan, disamping tentu mempertimbangkan kondisi yang mengitarinya, atau ia dibolehkan begitu saja menggunakan kekuatan semaunya dan masa bodoh dengan akibat yang terjadi setelah itu? Tentu semuanya harus dengan perhitungan yang cermat dan skala prioritas yang tepat.



KITA MENGGUNAKAN QUWWAH PADA SAATNYA Ini adalah pandangan-pandangan Ikhwanul Muslimin menyangkut cara penggunaan quwwah sebelum diputuskan untuk menerapkannya. Ikhwan melihat masalah ini dengan penuh kecermatan dan kedalaman, khususnya di negeri seperti Mesir. Ia telah mencoba kekuatan itu dengan [191] banyak melakukan pemberontakan dan tidak membuahkan kecuali sebagaimana yang kita saksikan dan ketahui bersama. Setelah diketengahkan beberapa pandangan dan analisisnya ingin saya katakan kepada orang-orang yang selalu mempertanyakan masalah ini: "Ikhwanul Muslimin akan mempergunakan kekuatan operasional riil itu nanti ketika alternatif lain sudah tidak membawa manfaat, dan ketika mereka sudah yakin bahwa dirinya telah menyempurnakan kekuatan iman dan ukhuwwahnya. Sehingga, ketika mereka nanti mempergunakan kekuatan itu, mereka dalam posisi yang terhormat dan gagah perkasa. Pertama mereka peringatkan, kemudian dipelajari, setelah itu maju berjihad dengan segenap kehormatan dan kemuliaan. Sehingga mereka akan memperoleh hasil dari perjuangannya itu dengan ridha dan tenang". (Majmu'ah Rasail, Mu'tamar Khamis/169, 170). Dari keterangan-keterangan yang lalu, kita melihat bahwa kedua imam bertemu pendapat dalam masalah fiqhul ihtisab (metode perjuangan amar ma'ruf nahi mungkar) dan bagaimana langkah dakwah yang cermat, konsisten dengan petunjuk syara', yang meletakkan setiap langkah pada saat dan tempatnya yang tepat. Tidak bergerak secara sporadis, dan tidak pula sebaliknya, lemah tanpa daya. Ia merupakan gerakan seorang pejuang yang pemberani di medan laga, yang memahami betul kapan maju menerjang dan kapan mundur menata strategi, dengan hati yang tegar, pikiran yang jernih, analisa yang tajam dan tepat dalam setiap langkah. [192]



BEBERAPA SIKAP Imam Syahid telah mempersembahkan sikap-sikap Islami yang indah dan penuh fenomena



kehormatan kepada generasi muda shahwah. Imam Syahid telah menjadi teladan hidup bagi penerapari nilai-nilai Islam yang menyeluruh. Kita memandangnya sebagai orang yang telah mendapatkan anugerah hikmah dari Allah Swt, dan tidak lebih dari itu. "Barangsiapa yang diberi hikmah maka sesungguhnya ia telah diberi kebaikan yang berlimpah". (Al-Baqarah: 269). Dengan hikmah tersebut, sejarah mencatat beberapa fenomena yang merupakan buah keimanan yang agung sebagai berikut : - Allah telah membangun kembali ummat dari tidur panjangnya. - Ummat telah mengambil pelajaran tentang arti kemuliaan dan kehormatan setelah sekian lama lenyap. - Kehormatan itu diraih dengan agama, sebagai aqidah, syari'ah maupun manhajul hayah. - Ummat dapat mengangkat kemhali bendera jihad setelah hilang sekian lama. - Para thaghut telah mendapatkan pelajaran yang sangat berharga dan tak pernah terlupakan. Dan gema itu masih senantiasa bergetar dalam -setiap jiwa yang rindu dan haus akan keimanan. "(Nikmat) yang lain, yang kalian cintai adalah pertolongan dari Allah dan futuh (kemenangan) yang dekat, dan beri khabar gembiralah orang-orang mu'min". (As-Shaf : 13). Kini, di hadapan pembaca saya masih ingin menukilkan heberapa sikap Imam Syahid untuk mengetahui lebih jauh bagaimana fiqhud dakwah beliau, kekuatan akhlaq dan keberaniannya. Semoga Allah Swt menjadikannya bermanfaat buat kita semua. [193] Pertama: Menjaga Orisinalitas Rabbaniyatud Da'wah Imam Syahid begitu ketat menjaga rabbaniyatud da'wah (dakwah yang berorientasi kepada Rabb). Beliau mengajarkan hal ini kepada pengikutnya dengan kata-kata yang tajam dan sikap operasional yang dinamis. Beliau sangat waspada agar dakwah ini selalu berorientasi kepada Allah, bukan kepada personil ataupun kelompok tertentu. Nampak dalam peristiwa berikut : Di sebuah konferensi pelajar Ikhwanul Muslimin, yang diselenggarakan di gedung Jam'iyyatus Syubban Al-Muslimin di Kairo, tahun 1938 M, berdirilah imam Syahid untuk menyampaikan pidatonya. Tiba-tiba salah seorang dari para pelajar itu ada yang terbakar semangatnya dan bangkit meneriakkan yel-yel bagi kejayaan sang Imam. Meskipun tidak disambut oleh hadirin yang lain, beliau tiba-tiba berhenti berbicara dan tidak bergerak sedikit pun. Semua mata hadirin menatapnya penuh tanda tanya dan penantian. Kemudian mulailah beliau berbicara dengan suara berat menahan marah. Wahai ikhwan, sesungguhnya suatu hari di mana dakwah kita akan berakibat mengagungkan seseorang, tidak pernah ada dan jangan pernah datang hari itu untuk selamanya. Sungguh, bahwa dakwah kita adalah dakwah Islamiyah Rabbaniyah, tegak di atas pondasi aqidah dan tauhid, janganlah kalian berpaling daripadanya. Wahai ikhwan, janganlah karena ditelan semangat yang membara kalian lupa akan pondasi yang telah kita imani bersama. Syi'ar kita adalah Ar-Rasulu Qudwatuna : [194] "Sesungguhnya Allah dan malaikat-Nya bershalawat bagi Nabi, maka wahai orang-orang yang beriman berilah shalawat dan salam untuknya". (Al-Ahzab: 56). Dalam sebuah peristiwa lain, suatu saat di kota Rasyid Ikhwan membuat sebuah resepsi acara peringatan Isra' Mi'raj, untuk mengenang pelakunya, Rasulullah saw. Datanglah salah seorang pembicaranya di acara itu. Orang ini dikenal sebagai salah satu



penyeru dakwah Ikhwan yang paling semangat. Ia berdiri kemudian mulai berbicara. Di tengah pembicaraan ia mengatakan: Perumpamaan kita sekarang dengan yang terhormat tuan Mursyid (tangannya menunjuk kepada imam Syahid) adalah seumpama Rasulullah saw dengan para sahabatnya. Tidak sampai menunggu pembicara selesai, meloncatlah Imam Syahid ke depan. Dengan menghadap hadirin, beliau berkata : "Maaf, tuan pembicara barangkali salah ucap, ada apanya kita bila dibandingkan dengan murid-murid Rasulullah saw?" Kemudian beliau turun dan kembali ke tempatnya semula. Akibat kejadian ini, sang pembicara tidak dapat meneruskan pembicaraannya. Hari berikutnya sang pembicara tadi sudah memutuskan hubungannya dengan Ikhwanul Muslimin di Iskandariyah. Beberapa saat setelah itu diumumkan bahwa dirinya mendirikan Jam'iyyah At-Taqwa wal Irsyad." (Hasan Al-Banna, Mawaqif fid Da'wah. Abbas AsSisi/65-66).



Kedua : Membentuk Jawwalah Imam Svahid berusaha untuk membina dan membentuk para mujahid yang utuh. Yang melekat padanya keimanan yang kokoh, wawasan yang luas dan akal yang cemerlang, serta didukung dengan fisik yang tangguh, untuk bangkit memikul panji-panji Allah dalam prosesi jihad yang panjang. [195] Ketika itu banyak sekali tantangan. Namun Imam Syahid berkat anugerah Allah yang berupa fiqhud da'wah dan hikmah dalam penerapan amal Islamiyah, dapat melewati segala tantangan dengan gemilang. Hal ini nampak sekali pada kisah pembentukan jawwalah (semacam gerakan pramuka). Yang mana dengan wadah inilah beliau dapat mewujudkan apa yang menjadi cita-citanya untuk membentuk serta mendidik para syabab untuk menjadi mujahid-mujahid yang tawazun (seimbang) antara akal, jasad, dan ruhnya. Dan beliau berhasil. Lalu apa yang dilakukan penjajah Inggris dan budak-budaknya yang selalu memonitor gerakan Ikhwan? Dan bagaimana beliau dapat lolos dari musuh-musuhnya ini? Berikut adalah jawabnya : Salah satu dari tekad imam Syahid ketika itu adalah membentuk kegiatan asykari (kemiliteran). Hal ini sebagai realisasi fikratul jihad (konsep tentang jihad) dan tarbiyah jasadiyah (pembinaan jasad). Namun beliau sepenuhnya sadar bahwa dakwah yang dicanangkan masih berada pada fase tamhid (membuka jalan), belum melampaui tahapan ini. Sementara beliau melihat pemerintah Mesir, dengan didukung Inggris, tidak pernah memalingkan perhatiannya untuk selalu mengintai dan memonitor segala aktivitas dakwah. Oleh karena itu – demikian pandangan beliau – dakwah pada fase ini harus dijauhkan dari apa yang dipandang oleh para thaghut sebagai "telah melanggar undang-undang." Pada sepertiga akhir tahun tiga puluhan, membentuk gerakan militer di Mesir tidak sekedar dianggap melanggar undang-undang saja, namun sudah termasuk kejahatan besar. Oleh karena itu dalam melangkah untuk mewujudkan kegiatan baru ini harus dibungkus dengan baju formal. [196] Di Mesir ketika. itu tidak ada satu pun gerakan berbau militer yang diizinkan kecuali Jam'iyyah Kasyaafah Ahliyah (semacam gerakan pramuka tetapi swasta). Gerakan remajanya disebut kasysyaafah (pramuka) sedangkan yang dewasa disebut jawwalah. Akhirnya kebijaksanaan pun diambil, dan dibentuklah oleh Ikhwan sebuah cabang jawwalah yang menginduk kepada organisasi Kassyafah tadi. Ikhwan ikut membenahi ADART Kassyafah diselenggarakan dengan maslahat sosial yang dianjurkan Islam. Maka



dalam waktu singkat, organisasi ini sudah terwarnai dengan corak Islam yang kental, seperti memelihara shalat pada waktunya dalam kondisi bagaimana pun dan lain-lain fadhail a'mal. Betapa banyak anak-anak muda yang muncul dengan potensi dan bakatnya setelah dididik oleh jawwalah Ikhwan, padahal sebelumnya mereka adalah pemuda penganggur yang pekerjaannya luntang-lantung. Pada ketika itu, lembaga politik membentuk sebuah gerakan militer (semacam milisi) yang merekrut para pemuda. Oleh mereka jawwalah Ikhwan dijadikan bahan ejekan dan olok-olokan. Mereka menganggap jawwalah ini lemah karena berafiliasi kepada negara. Begitu gencarnya olok-olok mereka, sampai-sampai karena merasa tersinggung dan tidak tahan menanggung beban mental, para syabab anggota jawwalah mengeluh kepada Ustadzul mursyid (Imam Syahid). Imam Syahid kemudian menenangkan hati mereka dengan memberi semangat: "Janganlah kalian pedulikan omongan mereka dan bersabarlah. Percayalah, kalian nanti akan menyaksikan bahwa kemenangan ada pada pihak kita ... " [197] Hari-hari pun berlalulah. Hingga suatu saat pihak penguasa zhalim datang untuk membubarkan semua milisi yang dipunyai oleh lembaga-lembaga politik yang ada hingga habis tidak berdaya lagi. Kemudian pemerintah mengumumkan dilarangnya lembaga-lembaga tersebut membentuk gerakan militer atau dalam istilah mereka gerakan dengan baju doreng. Kini tidak ada lagi gerakan militer kecuali jawwalah Ikhwan. Ia memang terlindungi karena diakui oleh undang-undang negara dan tercatat dalam organisasi Kassyaafah. Demikianlah, betapa Imam Syahid sangat berpandangan jauh dan pemahamannya dalam." (IM. Ahdats shana'at tarikh, Mahmud Abdul Halim: 1/162, 165). Akhirnya tumbuhlah para syabab, mereka terus berlatih dan menggiatkan aktivitas mereka tanpa kehilangan sedikit pun dari nilai-nilai dan prinsip agamanya. Adalah kebanggaan dan segala puji hanya untuk Allah, di mana pintu dakwah kini terbuka lebar di hadapan istana Fir'aun. Masuklah para jundi untuk mendapatkan gemblengan di sana dengan penuh rasa aman di bawah naungan Allah. Hingga suatu saat, ketika mereka sudah tumbuh berkembang dan telah sampai di tempat pembaringan Fir'aun dan para junudnya, maka kemenangan bakal ada di tangan mereka. "Allah selalu menang dengan urusan-Nya, akan tetapi kebanyakan orang tidak mengetahuinya". (Yusuf: 21).



Ketiga: Jihad Imam Syahid dikenal sebagai seorang rajulun qaulin wa 'amal (ahli berbicara dan ahli beramal). Beliau mendidik genarasi muda dengan pemahaman Islam yang syamil, baik aqidah, syari'ah maupun minhajul hayah. [198] Beliau didik mereka dengan didikan yang dinamis, konstruktif tanpa kenal diam. Ditanamkannya dalam dada mereka bahwa kehormatan hanyalah milik agama ini dan pengabdian total adalah kepada Allah Rabbul 'alamin. Itu semua dilakukan untuk bangkit memikul beban dakwah Islamiyah dan berjuang di jalannya. Agar mereka sanggup mengorbankan segala yang dimilikinya sebagaimana pernah dilakukan oleh para pendahulunya. Imam Syahid memimpin dan mempelopori mereka untuk berjihad. Para thaghut, pasukan Inggris ketika itu, ciut nyalinya menghadapi pasukan beliau yang tidak takut mati. Mereka mendapatkan pengalaman pahit yang tidak terlupakan ketika berhadapan dengan pasukan ini di bumi Palestina. Pasukan mujahidin mengguncang tempat pembaringan para thaghut dan mengusik kenyamanan tidur mereka. Peristiwa Palestina sungguh menjadi bukti sejarah bagaimana kegagah-perkasaan pasukan Ikhwanul Muslimin di bawah asuhan Imam Syahid.



Mereka bangkit dengan penuh semangat di saat orang lain bermalas-malasan. Mereka menerjang maju di saat orang lain ke belakang. Mereka dengan gagah perkasa berjihad di saat orang lain menjadi pengecut. Mereka berkorban dengan jiwa raganya di saat orang lain ditimpa watak bakhil dan penyakit wahn. Mereka merindukan kematian di saat orang lain terpuruk dalam ambisi meraih nikmat hidup. Berikut adalah sekelumit kisah kepahlawanan beliau : "Suatu saat, Lajnah Arabiyyah Ulya untuk Palestina berhasil mencetak sebuah buku yang berjudul An-Nar wad-Damar fi Falistin (Neraka dan Kehancurarn di Palestina). [199] Ikhwanul Muslimin ikut andil menyebarkan buku ini hingga puluhan ribu eksemplar. Kitab ini berisi kisah pembantaian yang dilakukan penjajah Inggris kepada mujahidin Palestina. Setiap peristiwa dilengkapi dengan foto sekaligus nama-nama para mujahidin yang mengalami penderitaan. Dengan cepat Ikhwan membagi-bagikan buku ini. Tidak lebih dari tiga hari buku ini telah memenuhi kota Kairo dan wilayah lain yang mengitarinya. Hal yang demikian itu membuat Parlemen Inggris dan lembaga persnya bertindak untuk mengantisipasi informasi yang mencoreng mukanya ini. Secara serempak, mulailah para polisi negara melakukan penggeledahan rumah-rumah. Ketika itu ditemukan sisa buku sebanyak 750 eksemplar. Dirampaslah semua buku itu dan dicarilah kemudian siapa pemiliknya. Tampillah Al-Ustadz Al-Mursyid Hasan Al-Banna seraya berkata dengan berani: Sayalah pemiliknya. Maka diangkutlah buku-buku itu kemudian dimasukkan ke dalam mobil yang telah menunggunya dan sang polisi meminta kepada Ustadzul Mursyiid untuk mengikutinya ke markas polisi. Mulailah beliau diinterogasi. Berikut petikannya : Polisi : Apakah anda pemilik buku-buku ini? Ustadzui Mursyid : Iya, sayalah pemiliknya. Folisi : T'idakkah anda tahu bahwa buku-buku ini mempermalukan pemerintah dan membangkitkan permusuhan masyarakat kepada negara sahabat yang telah menjalin janji setia? UM : Saya tahu itu. Dan saya sengaja ingin melakukan perlawanan kepada pemerintah dan negara sahabatnya ini. Polisi : Tidakkah anda tahu bahwa undang-undang menindak tegas bagi perbuatan jahat ini? UM : Saya tahu dan saya bersedia diajukan ke pengadilan karena saya mengakui bahwa Mesir menganggapnya ini kejahatan. [200] Kemudian dilaporkanlah foto dan nukilan interograsi ini kepada orang-orang kedutaan Inggris. Setelah menerimra ini sang duta marah besar dan berkatalah ia kepada menteri dalam negeri Mesir : "Dengan interograsi ini hakikatnya anda telah memberi pelayanan besar kepada Hasan Al-Banna tanpa anda sadari. Orang ini telah dengan leluasa menertawakanmu. Ia telah menyebarkan buku dan jadilah ia berada di tangan setiap orang di mana-mana. Apa yang telah kalian terbitkan (yang berisi pujian tentang Inggris) tidak dianggap apa pun bila dibanding dengan apa yang telah ia sebarkan itu. Kalian tahu bahwa keinginan orang ini diajukan ke pengadilan sesungguhnya agar nanti terjadi perdebatan dalam masalah politik ini. Dan itu semua merupakan sarana untuk menyebarkan pikiran-pikirannya dan memperdengarkan kepada orang-orang yang belum mengetahui melalui tulisannya. Nukilan interograsi ini harus dijaga dan Al-Banna harus dilepaskan sekarang juga. Maka dibebaskanlah beliau sebelum masa tahanan genap dua puluh empat jam. Pada



mulanya imam Syahid terperanjat dengan putusan ini, karena ia berkeyakinan bahwa pemerintah Mesir yang dungu ini pasti tidak memahami maksudnya. Akan tetapi belakangan hilang rasa herannya ketika diberi tahu oleh beberapa mata-mata Ikhwan yang sempat mencuri dengar pembicaraan antara kedutaan Inggris dan pihak kementerian Dalam Negeri ..." (IM, Ahdats Shana'at Tarikh, Abd Halim Mahmud: 1/162, 165). Inilah beberapa nukilan yang menunjukkan kepada kita bagaimana ucapan dan sikap tegas kedua imam yang telah bertemu di jalan yang sama karena bertitik tolak dari kaidah yang satu, kaidah Islam. [201] Dalam hidup kedua imam sungguh banyak didapatkan bekal bagi siapa saja yang menginginkannya. Para da'i hendaklah mendalami jejak perjalanan dakwah para ulama dan pemimpin umat agar dapat mengikutinya. Ingatlah bahwa "Barangsiapa yang tidak mau menelaah rahasia perjalanan hidup orang-orang salaf dan manhajnya maka ia tidak mungkin dapat melangkah di atas jalannya. Ketahuilah bahwa perangai iblis itu laksana perampok. Bila ia dibiarkan hidup bersama ahli zaman ini, ia akan mencuri watak mereka, maka jadilah mereka seperti iblis. Sebaliknya, bila ahli zaman ini tnemandang kehidupan orang-orang terdahulu maka ia akan menjadi perangai mereka sebagaimana perangai para pendahulu tersebut." (Talbisu Iblis, Ibnu Jauzi/ 119). [202]



KHATIMAH Itulah pengembaraan kita bersama dua imam yang agung. Yang nampak dari sana pertemuan di antara keduanya di jalan dakwah, baik mengenai sumber rujukan, pemikiran maupun pengalamannya. Meskipun masa dan tempatnya berjauhan. Itulah rupanya tabiat da'ida'i yang menyeru kepada kebenaran ... Saya telah mencukupkan untuk mengemukakan beberapa contoh dalam tulisan sederhana ini yang menunjukkan kesesuaian di antara keduanya. Saya ingin mengingatkan kepada pembaca sekalian akan beberapa hal, yaitu bahwa lingkungan hidup yang rnengitari kedua imam berbeda. Masing-masing memiliki permasalahan, tuntutan dan ciri khas pemikirannya sendiri. Dari itu, maka cara dan sarana yang dipakai keduanya dalam rangka rnemecahkan masalah-masalah umat pun berbeda. Hal ini nampak pada diri Syaikhul Islam dalam beberapa risalahnya yang banyak beliau tulis. Sementara Imam Syahid telah pula menuliskannya dalam ungkapan-ungkapan yang ringkas dan sederhana. Demikianlah, terkadang sesuatu yang dianggap ringan pada masa kini dirasa amat berat pada waktu dulu. Dan sebaliknya sesuatu yang kini dirasa berat, dahulu merupakan masalah yang sepele. Dengan demikian maka beragam pula upaya yang dilakukan untuk menghadapinya sebanding dengan tingkat permasalahan yang ada. Barangsiapa yang mengamati sejarah agama ini dan peninggalan para Mujaddid Islam sepanjang masa, akan memahami hakikat ini. Para pemuda penghasung shahwah Islamiyah hendaknya memahanni hal ini baik-baik. Hormatilah para ulama, dan usahakan [203] untuk selalu mengambil manfaat dari peninggalan dan sirah kehidupan mereka. Dan hendaklah kalian mendudukan posisi ulama dan para da'i di tempat yang semestinya tanpa ifrath dan tafrith. juga hendaknya para pemuda shahwah tidak usah peduli dengan upaya tasykik yang dilancarkan kepada para da'i, akan tetapi seyogyanya mereka mencari kebaikan-kebaikannya dan menutup kekurangannya.



Dan jangan sekali-kali mencela dan merendahkan martabat mereka sebagaimana perilaku orang-orang yang hasud dan tercela. Karena siapalah orang yang dapat lepas dari kesalahan dan selamat dari ketergelinciran? Apabila seorang akhi muslim dihantui keraguan dalam satu dua masalah, maka hendaklah ia bertanya, janganlah dengan pemahaman dan wawasannya yang sempit da'i memvonis dan menghakimi orang lain. Salah satu bimbingan Rasul saw dalam hal ini adalah sabdanya: 'Sesungguhnya obatnya orang bodoh adalah bertanya." Barangsiapa yang motivasinya mengambil manfaat, bukannya menjatuhkan atau mencari-cari kelemahan maka Allah akan menolongnya. Dan barangsiapa yang tekadnya menghimpun ukhuwwah bukannya mencari perpecahan, maka Allah akan menuntunnya. Akhirnya, saya memohon kepada Allah SWT agar memberikan kepada kita shidiq dan ikhlas dalam setiap ucapan dan tingkah laku, dan agar Allah SWT memberikan limpahan rahmat, ampunan dan kasih sayang-Nya atas kekeliruan kita dan saudara-saudara kita yang telah mendahului kita dengan iman. Shalawat, salam dan barkah semoga dicurahkan atas Rasulullah Muhammad Saw. Amin. [204]