Makalah Pemikiran Ibnu Taimiyah [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

BAB I PENDAHULUAN



A. Latar Belakang Masalah Secara natural, manusia cenderung untuk saling tolong menolong, membentuk suatu tatanan sosial dalam rangka mendapatkan manffat bersama dan menghindari hal-hal yang mencelakakan bagi mereka. Di dalam tatanan sosial itu terdapat seperangkat norma dan aturan yang harus diikuti. Perlakuan seperti itu menunjukkan bahwa secara sosiologis, manusia tidak mungkin hidup dengan aman dan sejahtera tanpa membentuk sebuah tatanan sosial. Untuk mencapai keadaan tersebut, masyarakat sebagai makhluk sosial sepakat untuk membuat suatu perjanjuan untuk membentuk negara yang akan melindungi hak-hak dan kebutuhan mereka. Masalah kenegaraan dalam kehidupan ini akan sangat berkaitan dengan masalah politik. Politik Islam merupakan salah satu bagian dari dunia politik. Sejarah Islam mewariskan khazanah tradisi politik yang sangat kaya, dimulai dari masa Rasulullah, khulafaurrasyidin, periode klasik, periode pertengahan hingga masa modern. Dalam dunia Islam ada beberapa tokoh yang berkecimpung dalam dunia politik yang melahirkan pemikiran-pemikiran dinamis, di antaranya adalah Ibnu Taimiyyah. Oleh karena itu dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut tentang pemikiran politik Ibnu Taimiyah.



B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah : 1. Siapakah Ibnu Taimiyah? 2. Bagaimana riwayat pendidikan Ibnu Taimiyah? 3. Apa saja karya-karya Ibnu Taimiyah? 4. Bagaimana kondisi lingkungan pada zaman Ibnu Taimiyah? 5. Bagaimana pemikiran politik Ibnu Taimiyah?



1



BAB II PEMBAHASAN



A. Biografi Ibnu Taimiyah Nama asli Ibnu Taimiyyah adalah Taqiyuddin Abu al Abbas Ibnu Abd alHalim bin al-Imam Majduddin Abil Barakat Abd al Salam bin Muhammad bin Abdullah bin Abi Qasim Muhammad bin Khuddlarbin Ali bin Taimiyyah alHarrani al Hambali.32Para ahli lebih singkat menyebut nama lengkapnya dengan Taqiyuddin Abu Abbas bin Abd al Halim bin Abd al Salam bin Taimiyyah al harani al Hambali.33 Namun orang lebih cepat mengenal namanya dengan sebutan Taqiyuddin Ibnu Taimiyyah atau lebih populer Ibnu Taimiyyah saja. Beliau dilahirkan pada hari senin tanggal 10 Rabi’ul Awal tahun 661 H bertepatan dengan tanggal 22 Januari 1263 M di kota Harran.34 Yaitu daerah yang terletak ditenggara negeri Syam, tepatnya dipulau Ibnu Amr antara sungai Tigris dan Eupraht.1 Ibnu Taimiyyah lahir dari keluarga cendikiawan dan ilmuan terkenal. Ayahnya Syaibuddin Abu Ahmad adalah seorang syaikh, khotib hakim dikotanya. Sedangkan kakeknya, syaikh Islam Majduddin Abu al-Birkan adalah fakih Hambali, Imam, ahli hadits, ahli-ahli ushul, nahwu seorang hafiz, dan pamannya bernama Fakhruddin yang terkenal sebagai seorang cendekiawan dan penulis Muslim ternama. Pada tahun 1268 M, Ibnu Taimiyyah dibawa mengungsi oleh keluarganya ke Damaskus. Karena pada ketika itu bencana besar menimpa umat Islam, bangsa Mongolia menyerang secara besar-besaran kota kelahiran Ibnu Taimiyyah. Bangsa Mongol memusnahkan kekayaan intelektual Muslim serta Metropolotan yang berpusat di Bagdad. Dan seluruh warisan Intelektual dibakar dan dibuang ke sungai Tigris.2



1 2



Ibnu Taimiyah, Al-Furqan baina Auliya’ al-Syithan, Alih bahasa Abd Azia Mr, (Yogyakarta: Mitra Pustaka,2005),h.11 Qamaruddin Khan, Pemikiran Politik Ibnu Taimiyah, Ali bahasa Anas M,(Bandung: Pustaka, 1983),h.11



2



Ketika pindah ke Damaskus, Ibnu Taimiyyah baru berusia enam tahun. Setelah ayahnya wafat pada tahun 1284, Ibnun Taimiyyah yang baru berusia 21 tahun,menggantikan kedudukan sang ayah sebagai guru dan khatib pada masjidmasjid sekaligus mengawali karirnya yang kontroversial dalam kehidupan masyarakat sebagaiteolog yang aktif. Ibnu Taimiyah dikenal sebagai seorang pemikir, tajam intuisi, berpikir dan bersikap bebas, setia pada kebenaran, piawai dalam berpidato dan lebih dari itu, penuh keberanian dan ketekunan. Ia memiliki semua perssyaratan yang menghantarkannya pada pribadi luar biasa.3



B. Pendidikan Ibnu Taimiyah Al-Islam Ibnu Taimiyyah tumbuh berkembang dalam penjagaan yang sempurna dan sederhana dalam pakaian dan makanan. Ia terus melakukan demikian sampai akhir hayatnya. Disamping itu, ia juga sangat berbakti kepada orang tuanya, bertakwa, berwira’i, beribadah, banyak berpuaa,sholat, dzikir kepada Allah, berhenti pada batas-batas-Nya berupa perintah dan larangan-Nya, menyuruh melakukan perbuatan yang makruf dan mencegah perbuatan yang mungkar. Jiwanya hampir tidak pernah kenyang dengan ilmu, tidak puas dari membaca, tidak bosan mengejar dan tidak pernah berhenti meneliti.4 Ibnu Taimiyyah tumbuh dalam lingkungan keluarga yang berpendidikan tinggi. Ia mulai belajar agama ketika ia masih kecil, berkat kecerdasan dan kejeniusannya Ibnu Taimiyyah yang masih berusia muda sudah dapat menghafal Al-Qur’an dan telah mampu menamatkan sejumlah mata pelajaran seperti tafsir, hadits, fiqh, matematika dan filsafat, serta berhasil menjadi yang terbaik diantara teman-teman seperguruannya.5 Ibnu Taimiyyah belajar teologi Islam dan Hukum Islam dari ayahnya sendiri. Disamping itu ia juga belajar dari ulama-ulama hadits yang terkenal. Guru Ibnu Taimiyyah berjumlah kurang lebih 200 orang, diantaranya adalah



3 4 5



Khalid Ibrahim Jindan, op.cit, h.25 Syaikh Ahmad Farid,60 Biografi Ulama Salaf, Terj Masturi Irham dan Assmu’I Taman, (Jakarta: Pusstaka Al-Kautsar,2006),Cet.ke-1, h.787 Adiwarman Azwar Karim,Sejarah pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,2006),h.351



3



Syamsuddin al-Maqdisi, Ahmad bin Abu bin al-Khair, Ibnu Abi al-Yusr dan alKamal bin Abdul Majd bin Asakir.6 Disamping itu ia juga mempelajari hadits sendiri dengan membaca berbagai buku yang ada. Ketika berusia tujuh belas tahun, Ibnu Taimiyyah telah diberi kepercayaan oleh gurunya Syamsuddin al-Maqdisi untuk mengeluarkan fatwa. Pada saat yang bersamaan, ia juga memulai kiprahnya sebagai seorang guru. Ketekunan Ibnu Taimiyyah dalam mempelajari ilmu yang berkaitan dengan hadits membuatnya menjadi seorang ahli hadits dan ahli hukum. Ia sangat menguasai Rijal al-hadits (para tokoh perawi hadits) baik yang shahih, hasanatau dhoif.7 Sebagai ilmuan, Ibnu Taimiyyah mendapat reputasi yang sangat luar biasa dikalangan ulama ketika itu, ia dikenal sebagai orang yang berwawasan luas, pendukung kebebasan berpikir, tajam perasaan, teguh pendirian dan pemberani serta menguasai berbagai disiplin keilmuan yang dibutuhkan ketika itu. Ia bukan hanya menguasai studi Al-Qur’an, Hadits dan Bahasa Arab, tetapi ia juga mendalami Ekonomi, Matematika, Sejarah Kebudayaan, Kesustraan Arab, Mantiq, Filsafat dan berbagai analisa persoalan yang muncul pada saat itu. Kedalaman ilmu Ibnu Taimiyyah memproleh penghargaan dari pemerintah pada saat itu dengan menawarinya jabatan kepala kantor pengadilan. Namun, karena hati nuraninya tidak mampu memenuhi berbagai batasan yang ditentukan penguasa, ia pun menolak tawaran tersebut.8 Ibnu Taimiyyah menyelesaikan pendidikannya dalam bidang yurisprudensi (Fiqh), hadits nabi, tafsir al-Qur’an, matematika dan filsafat pada usia yang sangat muda. Disebabkan oleh pemikirannya yang revolusioner yakni gerakan tajdid (pembaharu) dan ijtihadnya dalam bidang muamalah, membuat namanya terkenal diseluruh dunia.9 Ia juga dikenal sebagai seorang pembaharu, dengan pengertian memurnikan ajaran Islam agar tidak tercampur dengan hal-hal yang berbau



6 7 8 9



Ibid,h.351 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara : ajaran, sejarah dan pemikiran (Jakarta : UI Press,1990), h. 79 Ibid, h.352 Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam dari Masa Klasik hingga Kotemporer,(Depok: Gramata Publishing, 2010), h. 206



4



bid’ah. Diantara elemen gerakan reformasinya, adalah : pertama, melakukan reformasi melawan praktek-praktek yang tidak Islami. Kedua, kembali kearah prioritas fundamental ajaran Islam dan semangat keagamaan yang murni, sebaliknya mempedebatkan ajaran yang tidak fundamental dan sekunder. Ketiga, berbuat untuk kebaikan publik melalui intervensi pemerintah dalam kehidupan ekonomi, mendorong keadilan dan keamanan publik serta menjaga mereka dari sikap eksploitatif dan mementingkan diri sendiri.10 Cabang ilmu pengetahuan yang ditekuni Ibnu Taimiyyah adalah Teologi. Disamping itu, ia juga secara khusus mempelajari hukum dari mazhab Imam Hambali, dimana ayahnya merupakan tokoh yang sangat penting. Sehingga ia menjadi seorang mujtahid mutlak dan ahli kalam yang disegani pada masanya. Ibnu Taimiyyah dipandang sebagai salah seorang diantara para cendekiawan yang paling kritis dan yang paling kopenten dalam menyimpulkan peraturan-peraturan hukum-hukum dari Al-Qur’an dan hadits. Semangat dan pemikirannya serta penyelidikannya yang bebas dan tegar, ia dipandang sebagai bapak spiritual dalam gerakan modernisasi Islam diseluruh dunia. ibnu Taimiyyah meninjau berbagai masalah tanpa dipengaruhi apapun kecuali Al-Qur’an, As-Sunnah dan praktek para sahabat Rasulullah serta beberapa tokoh sesudah mereka.11



C. Karya-Karya Ibnu Taimiyah Karya-karya Ibnu Taimiyyah meliputi berbagai bidang keilmuan, seperti tafsir, hadits, ilmu hadits, ushul fiqh, tasawuf, mantiq, filsafat, politik, pemerintahan dan tauhid. Karya-karya Ibnu Taimiyyah antara lain:12 1. Tafsir wa’Ulum al-Qur’an a. At-Tibyan fi Nuzuhu al-Qur’an b. Tafsir surah An-Nur c. Tafsir Al-Mu’udzatain d. Muqaddimah fi ‘Ilm al-Tafir 10 11 12



Ibid, h. 207 Neni, Pemikiran Ibnu Taimiyyah Tentang Talqi Al-Wafidain,(Pekanbaru: UIN Suska Riau, 2011),h.13 Syaikh Said Abdul Azhim, Ibnu Taimiyah Pembaharuan Salafi dan Dakwah Reformasi,Terj,Faisal Saleh,(Jakarta: Pusstaka Al-Kautsar, 2005),h.259.



5



2. Fiqh dan Ushul Fiqh a. Kitab fi Ushul Fiqh b. Kitab Manasiki al-Haj c. Kitab al-Farq al-Mubin baina al-Thlaq wa al Yamin d. Risalah li Sujud al-Sahwi e. Al-‘Ubudiyah 3. Tasawwuf a. Al-Faraq baina Aulia al-Rahman wa Aulia al-Syaithan b. Abthalu Wahdah al-Wujud c. Al-Tawasul wa al-Wasilah d. Risalah fi al-Salma wa al-Raqsi e. kitab Taubah f. Al-‘Ubudiyyah g. Darajat al-Yaqin 4. Ushulu al Din wa al Ra’du ‘Ala al Mutakallimin a. Risalah fi Ushulu al-Din b. Kitab al-Iman c. Al-Furqan baina al-Haq wa al-Bathl d. Syarah al-‘Aqidah al-Ashfihiniyah e. Jawabu Ahli al-Ilmi wa al-Iman f. Risalah fi al-Ihtijaj bi al-Qadr g. Shihah Ushul Mazhab h. Majmua Tauhid 5. Al Ra’du ‘Ala Ashab al Milal a. Al-Jawab al-Shahih Liman Badala Dina Al-Haq b. Al-Ra’du ‘Ala al-Nashara c. Takhjil Ahli al-Injil d. Al Risalah al-Qabarshiyah 6. Al Fasafah al Mantiq a. Naqdhu al Mantiq b. Al-Raddu ‘Ala al Mantiqiyin c. Al-Risalah al-‘Arsyiah



6



d. Kitab Nubuwat 7. Akhlak wa al Siyasah wa al-Ijtima’ a. Al-Hasbah fi al-Islam b. Al Siyasah al-Syar’iyyah fi Ishlah al-Ra’yi wa al-Ru’yah c. Al Wasiyah al-Jami’ah li Khairi al-Dunia wa al-Akhirah d. Al Mazhalim al-Musytarikah e. Al Amru bi al Ma’ruf al Nahyu ‘an al-Munkar f. Amradlu Qulub wa Syifa’uha 8. Ilmu al-Hadits wa al-Mustalahah a. Kitab fi ‘Ilmi al-Hadits b. Minhaj Sunnah Nabawiyyah. Disamping buku-buku yang ditulis Ibnu Taimiyyah diatas juga ada karyanya yang mashur antara lain : Al-Fatawa AL-Kubra sebanyak lima jilid, AshShafadiyah sebanyak dua jilid, Al-Istiqamah sebanyak dua jilid, Al-Fatawa ALHamawiyyah



Al-Kubra,



At-TuhfahAL-‘Iraqiyyah



fi



A’mar



Al-Qalbiyah,



AlHasanah wa As-Sayyiah, Dar’u Ta’arudh Al-Aql wa An-Naql, sebanyak sembilan jilid.13 Menurut Qamaruddin Khan bahwa karya Ibnu Taimiyah yang masih dijumpai sebanyak 187 buah judul, dari jumlah tersebut dapat dklasifikasikan menjadi tujuh bersifat umum, empat buah judul merupakan karya besar dan 177 buah judul merupakan karya kecil. Dari 177 buah judul dapat diklasifikasikan dalam topik-topik pembahasan sebagai berikut : 9 judul masalah Qur’an dan tafsir, 13 judul masalah hadits, 48 judul masalah dokma, 6 judul masalah polemikpolemik menentang para sufi, 6 judul masalah polemik-polemik menentang konsep-konsep zimmah, 8 buah masalah yang menentang sekte-sekte Islam, 17 judul masalah fiqh dan ushul fiqh dan 23 judul buku tanpa dklasifikasikan.14



13 14



Syaikh Ahmad Farid, op.cit,h. 809 Qamaruddin Khan, The political Thought Mahyuddin,(Bandung:Pustaka,1983),h.315-340



7



of



Ibnu



Taimiyah,



terj.



Anas



D. Kondisi Lingkungan Pada Zaman Ibnu Taimiyah 1. Politik Ibnu Taimiyah hidup pada masa dunia Islam mengalami puncak disintegrasi politik, dislokasi sosial dan dekadensi akhlak serta moral. Dari segi politik kekuasaan pemerintahnya yang seharusnya berada di tangan penguasa secara total beralih kepada penguasa lokal. Khalifah seolah kehilangan ”gigi taring”nya dalam memanage negara, semua diambil alih oleh penguasa daerah atau wilayah baik yang bergelar sultan, raja maupun amir. Wilayah kekuasaanpun semakin dipersempit dan bahkan ada yang direbut oleh penguasa-penguasa Tatar dari Timur dan oleh Krusades dari Barat.



2. Sosial Sementara dari segi sosial, Masyarakat dimana Ibnu Taimiyah hidup ini sangat heterogen baik dalam hal kebangsaan, status sosial, agama, aliran, budaya dan hukum. Sebagai akibat sering terjadinya perang, mobilitas penduduk dari berbagai bangsa sangat tinggi. Dalam satu wilayah terdapat banyak macam bangsa : Arab asal Irak, Arab asal Turki, Mesir, Turki, Tartar dan sebagainya sedang mereka semua berbeda satu sama lain dalam adat istiadat, tradisi, perilaku dan alam pikiran. Dan kesemuanya ini sangat merupakan potensi untuk timbulnya kerawanan-kerawanan kehidupan bernegara dan kelangsungan hidup sosial. Keserasian sosial dan pemupukan moral dan akhlaq merupakan suatu hal yang sangat sulit diciptakan. Persoalan lain yang mengakibatkan pada masa ini umat Islam mengalami kemunduran adalah sikap fanatisme dan sektarianisme aliran atau madzhab yang sangat tinggi diantara para pendukungnya. Ibnu Taimiyah pernah menjadi ”korban” atas fanatisme ini, Ibnu Taimiyah pernah dipenjara karena hasutan ulama lain yang berasal dari madzhab diluar madzhab Hambali, madzhab yag dianutnya. Ketika Baghdad yang menjadi icon pusat peradaban Islam dan Spanyol di Barat mengalami kehancuran, lembaga tarekat mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Akan tetapi yang sangat disayangkan penganut tarekat adalah orang orang awam yang kurang mendalami ajaran agama sehingga dengan sangat



8



mudah mereka terjerumus ke dalam praktek praktek Okultisme dan pemujaan kepada para wali atau orang orang yang dipandang suci. Bahkan Ibnu Taimiyah menyaksikan adanya orang orang yang berdo’a di kuburan para wali dengan harapan akan mendapatkan barokahnya. Terkait dengan ini, Ibnu Taimiyah pernah dihukum karena kritikannya yang keras terhadap kebiasaan kebiasaan yang dipandang sebagai bid’ah dan khurafat seperti pemujaan makam para Nabi dan wali serta sejenisnya. Pada masa hidup beliau memang telah terjadi pencampuradukan ajaran Islam dengan paham dan praktek praktek non Islam yang dicoba dinisbatkan dengan Islam. Ajaran Islam yang semestinya mudah untuk diamalkan kemudian menjadi sulit dan terasa berat untuk diamalkan karena menjadi sangat rumit. Inilah yang sesungguhnya menjadi akar mengapa Ibnu Taimiyah begitu lantang menyuarakan upaya pemurnian.



3. Ekonomi Ibnu Taimiyah hidup pada zaman pemerintahan Bani Mamluk .Pada saat itu harga-harga barang ditetapkan dalam Dirham, yaitu mata uang peninggalan Bani Ayyubi. Karena desakan kebutuhan masyarakat terhadap mata uang dengan pecahan lebih kecil, maka Sultan Kamil Ayyubi memperkenalkan mata uang baru yang berasal dari tembaga yang disebut dengan Fulus. Dirham ditetapkan sebagai alat transaksi besar, dan Fulus digunakan untuk transaksi-transaksi dalam nilai kecil .Inilah yang kelak kemudian menginspirasi pemerintahan Sultan Kitbugha dan Sultan Dzahir Barquq untuk mencetak Fulus dalam jumlah sangat besar dengan nilai nominal yang melebihi kandungan tembaganya (intrinsic value(. Akibatnya kondisi perekonomian semakin memburuk, karena nilai mata uang menjadi turun. Berkenaan dengan adanya fenomena penurunan nilai mata uang tersebut, Ibnu Taimiyah berpendapat sebagai berikut Penguasa seharusnya mencetak fulus )mata uang selain emas dan perak) sesuai dengan nilai yang adil (proporsional) atas transaksi masyarakat, tanpa menimbulkan kezaliman terhadap mereka. Dari yang beliau nyatakan tersebut, dapat dipahami bahwa beliau melihat adanya hubungan antara jumlah uang yang beredar di masyarakat, total volume transaksi yang dilakukan, dan tingkat harga produk yang berlaku. Pernyataan



9



dalam kalimat pertama (penguasa seharusnya mencetak Fulus sesuai dengan nilai yang adil (proporsional( atas transaksi masyarakat (dimaksudkan untuk menjaga harga agar tetap stabil Menurutnya, nilai intrinsik mata uang harus sesuai dengan daya beli masyarakat di pasar sehingga tidak seorang pun, termasuk pemerintah dapat mengambil untung dengan melebur uang dan menjualnya dalam bentuk logam lantakan, atau mengubah logam tersebut menjadi koin dan memasukkannya dalam peredaran mata uang, karena sifat-sifat alamiah uang yang termasuk kategori token money, semakin sulit bagi pemerintah untuk menjaga nilai uang. Yang dapat dilakukan pemerintah adalah tidak mencetak uang selama tidak ada kenaikan daya serap sektor riil terhadap uang yang dicetak tersebut.



E. Pemikiran Politik Ibnu Taimiyah 1. Pemimpin Ibnu Taimiyah dengan tegas menyatakan bahwa kekuasaan kepala negara atau raja hanya merupakan mandat dari Tuhan yang diberikan kepada hambahamba pilihanNya. Dalam hal ini Ibnu Taimiyah menganggap bahwa penguasapenguasa yang korup adalah yang paling tidak bermoral dan karena itu tidak ada kewajiban untuk patuh pada mereka, dan ia juga menyalahkan para ulama dan cerdikcendikia yang mendukung penguasa-penguasa yang tidak mengindahkan agama dan melakukan penyelewengan dan membuat syari’at tidak mampu menjawab tuntutan kemanusiaan. Mereka telah dianggap mengingkari prinsipprinsip syari’ah. Tapi di lain sisi Ibnu Taimiyah menemukan dilema ketika dihadapkan tentang ada dan tidak adanya pemimpin dalam sebuah negara. Menurut Ibn Taimiyah, sebagai faktor instrumental dalam mewujudkan kesejahteraan bersama, adanya seorang kepala negara merupakan sesuatu yang niscaya dan tidak terelakkan. Di sini prinsip gagasannya adalah bahwa kaum muslimin dalam hidup sosial perlu ada pemimpin dan diorientasikan pada stabilitas. Lebih baik 60 tahun diperintah oleh pemimpin yang dzalim dibandingkan hidup satu hari tanpa pemerintahan adalah berasal dari pendapat ibnu Taimiyah sendiri dalam buku As-Siyasah Asy-Syariah.15 15



Masrohin. “Pengantar Penerjemah” untuk buku Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam, Telaah Kritis Ibnu Taimiyah tentang Pemerintahan Islam, 1995, Surabaya: Risalah Gusti, 1995. h. vii.



10



2. Negara Ibnu Taimiyah menganggap berkelompok dalam mengelola kapasitas alam, merupakan keniscayaan. Dari konsep ini kemudian akan melahirkan institusi negara. Taimiyah terkenal dengan gagasan organis dalam memandang institusi. Ia menekankan dengan sangat keras pentingnya institusi dalam pengelolaan masyarakat untuk mencapai keadilan. Manusia pada dasarnya berwatak madaniy (suka membangun). Itulah sebabnya jika mereka berkumpul, pastilah mereka mengembangkan kegiatankegiatan yang diperlukan untuk mewujudkan kemaslahatan dan mengatasai persoalan. Untuk kepentingan itu, diperlukan kerja sama yang padu antara pemerintah (ruler) dan anggota masyarakat (ruled). Tentu saja diperlukan ketentuan-ketentuan yang defenitif yang mengatur tugas dan ruang gerak masingmasing.16 Hakikat pemerintahan menurut Ibnu Taimiyah, adalah kekuasaan memaksa, yang diperlukan jika manusia ingin hidup di masyarakat dan solidaritas mereka tidak ingin hancur karena keegoisan manusia yang alamiah. Karena pemerintahan merupakan kebutuhan alamiah pada masyarakat, ia muncul melalui suatu proses perebutan yang alamiah, memperoleh legitimasi melalui perjanjian untuk hidup bersama. Penguasa dengan demikian, dapat menuntut kepatuhan dari rakyatnya, karena sekalipun penguasa tersebut tidak adil, itu masih lebih baik daripada perselisihan dan bubarnya masyarakat; “berikan apa yang menjadi hak penguasa dari kita dan mintalah kepada Tuhan apa yang menjadi hak untuk kita”.17 Hanya saja, Taimiyah meneruskan pendapatnya itu dengan mewajibkan lembaga di bawah kontrol negara untuk menegakkan keadilan. Lembaga yang dimaksud oleh Taimiyah adalah lembaga Hisbah yang menjadi salah satu ciri khas pemerintahan Islam dalam mengelola distribusi perekonomian dan pasar. Lembaga Hisbah adalah lembaga negara yang memiliki wewenang yang sangat luas dalam bidang perekonomian dan pasar dan bertugas mempromosikan apa yang baik dan mencegah apa yang buruk (amar ma’ruf nahi munkar). Taimiyah menekankan prinsip keadilan sebagai penopang lembaga Hisbah dalam 16 17



Ibnu Taimiyah, Tugas Negara menurut Islam, 2004, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, h. 35. Albert Hourani, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, (Bandung : Mizan, 2004)., h. 31



11



pemerintahan Islam. Keadilan adalah penopang pemerintahan dan syarat datangnya pertolongan Tuhan. Untuk mencegah antagonisme yang berujung pada ketidakadilan, Taimiyah berpendapat, hukum harus ditegakkan dengan keras oleh Negara. Menegakkan hukum adalah tugas pemerintah dan hal ini berlaku baik untuk delik meninggalkan kewajiban maupun delik mengerjakan larangan.18 Selanjutnya, Taimiyah juga berbicara tentang hukum keadilan yang terintegrasi dalam pemerintahan. Menurutnya pemerintahan sebagai syarat mutlak dan fundamental dalam kehidupan bermasyarakat untuk menegakkan keadilan. Tujuan Taimiyah adalah membangun pemerintahan berdasarkan syariat (siyasah syari’iyyah). Syariat dalam pemerintahan ditopang oleh dua pilar-yang juga sering disebut sebagai inti pemikiran politik Islam, yaitu keadilan dan mempromosikan kebaikan dan mencegah keburukan (amar ma’ruf nahi munkar). Walapun Ibnu Taimiyah selalu menekankan kekuasaan politik, negara, dan pemerintahan dalam kehidupan masyarakat, tetapi Taimiyah meragukan validitas pendapat bahwa kekhalifahan berasal dari sumber agama (Al-Quran dan AsSunnah). Suatu pemikiran ekstrim yang menentang arus pemikiran teori kekhalifahan yang sangat sakral pada masa itu. Ibnu Taimiyah juga mengkritik Sunni dan Syiah. Menurut pandangannya, tidak ada dasar dalam Al-Quran dan As-Sunnah tentang teori kekhalifahan tradisional ala Sunni dan tidak ada teori imamah Syiah yang mutlak. Ia melihat Islam sebagai suatu tata sosial yang mempunyai hukum tertinggi: hukum Allah. Oleh sebab itu, ia sama sekali tidak tertarik pada negara dan formasinya. Meskipun menerima negara itu sebagai suatu kebutuhan agama (a religious necessity). Artinya, negara Islam yang dianggap memenuhi syarat adalah suatu pemerintahan yang mendasarkan pada syariat sebagai penguasa tertinggi dan tidak memandang apakah negara itu berbentuk khalifahan, monarki, ataupun republik. Ia lebih memilih meletakkan keadilan pada setiap pemerintahan sebagai esensi kekuasaan, dibandingkan meributkan bentuk negara. Teori politik Ibnu Taimiyah memiliki kemiripan yang lebih dekat kepada konsep pemerintahan modern. Dalam asal-usul negara, ia bermaksud menawarkan 18



Ibnu Taimiyah, Op.Cid. h 35



12



interpretasi sosiologis berdasarkan pada hakikat manusia yang bebas dari penjelasan agama. Sikap tersebut tidak ditemukan pada teori klasik yang menegaskan bahwa asal-usul kekuasaan hanya berasal dari sumber agama. Dari sini kita bisa melihat pemikiran Ibnu Taimiyah “melampaui” tradisi berpikir para filsuf Islam tentang teori kekuasaan.19



3. Kriteria pemimpin Dalam disertasinya di Universitas Kairo yang kemudian diterbitkan Dar Al-Akhil la'Dammam KSA (1994: hlm 95-97) berjudul Al-Nazhariyyah AlSiyâsah 'inda Ibn Al-Taimiyyah, Hasan Konakata menyatakan bahwa dari berbagai tulisan Ibn Al-Taimiyyah dapat disimpulkan bahwa Ibnu Taimiyyah menetapkan dua syarat umum bagi se orang pemimpin Muslim, yaitu al-quwwah waalamânah (kekuatan dan amanah). Kesim pulan ini diambil dari pernyataan Ibnu Taimiyyah sendiri di dalam Al-Siyâsah Al- Syar'iyyah (Dar Al-Afaq AlJadidah Beirut, 1998: 15), "Fa innaal-wilâ yah lahâ ruk nâni: al-quwwah wa alamâ nah." Yang dimaksud dengan "kekuatan" oleh Ibnu Taimiyyah adalah kemampuan yang harus di miliki seorang pemimpin di lapangan yang dipimpinnya. Ia mencontohkan seorang panglima perang harus memiliki keberanian dan pengetahuan strategi perang. Tanpa kedua hal itu, dia tidak akan mampu melaksanakan tugasnya sebagai pemimpin pasukan tempur. Sementara, orang yang akan memangku amanah memimpin manusia harus mengetahui ilmu tentang keadilan yang diajarkan di dalam Alquran dan sunah; juga harus memiliki kemampuan untuk menerapkannya di tengah-tengah manusia. Adapun yang dimaksud dengan "amanah" adalah sikap takut hanya kepada Allah, tidak memperjualbelikan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit dan tidak takut pada manusia. Definisi ini ia dasarkan pada firman Allah SWT, "………..Janganlah kalian takut pada manusia, takutlah pada-Ku; dan janganlah kalian memperjualbelikan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Siapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah maka mereka adalah orang-orang yang kafir. (QS al-Ma'idah: 44). 19 Khalid Ibrahim Jindan, Op.Cit, h.21



13



Merujuk pada syarat "amanah" ini, agak sulit dimengerti jika Ibnu Taimiyyah tidak mempersyaratkan pemimpin harus seorang "Muslim". Kalau bukan Muslim, bagaimana mungkin



dia



bisa takut pada Allah dan



memperjualbelikan ayat-ayat Allah? Bahkan, syarat yang ditetapkan Ibnu Taimiyyah ini lebih dari sekadar harus "Muslim". Dia harus memiliki sifat-sifat yang utama sekelas sifat seoang ulama, yaitu "takut kepada Allah SWT". Penjelasan mengenai syarat-syarat menjadi pemimpin kaum Muslim semacam ini memang agak berbeda dengan penulispenulis lain. Namun, maksud yang ingin disampaikan Ibnu Taimiyyah sama dengan ulama-ulama yang lain. Bila dibandingkan dengan penjelasan Al-Mawardi, misalnya, kita akan segera bisa menyimpulkan bahwa kriteria Ibnu Taimiyyah telah merangkum syarat-syarat yang ditetapkan Al-Mawardi. Dalam Al-Ahkam Al-Sulthâniyyah, Al-Mawardi menyebutkan bahwa kepemimpinan politik dalam Islam bertujuan untuk meneruskan misi kenabian dalam menegakkan agama dan mengatur urusan dunia. Untuk itu, orang yang akan memangku amanah ini harus memiliki syarat, antara lain, adil (dengan berbagai syaratnya, termasuk di dalamnya beragama Islam), memiliki ilmu yang dapat mengantarkannya melakukan ijtihad, sehat pancaindra, sehat anggota tubuh, memiliki kecerdasan, dan memiliki keberanian untuk menerapkan berbagai aturan. Dari keenam syarat yang ditetapkan AlMawardi ini, esensinya hanya dua seperti yang disebut Ibnu Taimiyyah, yaitu memiliki kekuatan (alquwwah) dan amanah.



14



BAB III PENUTUP



A. Kesimpulan Dalam pandangan Ibnu Taimiyah, tegaknya keadilan tidak mungkin dapat dicapai tanpa adanya kerjasama. Manusia berkumpul dan membentuk sebuah komunitas politik, kemudian menunjuk salah seorang sebagai pemimpin untuk mengorganisir untuk mewujudkan keadilan dan kebermanfaatan bersama. Seorang pemimpin tidak menetapkan tujuan mereka sendiri, melainkan memiliki otoritas untuk bertindak dan dipatuhi, karena mereka tengah (atau semestinya) berusaha mewujudkan tujuan-tujuan Islam. Menurut Ibnu Taimiyah, negara dan agama adalah saling melengkapi. Tanpa kekuasaan negara yang bersifat memaksa agama berada dalam bahaya, demikian juga sebaliknya, tanpa disiplin hukum wahyu, negara pasti menjadi sebuah organisasi yang tiranik. Namun demikian, bagaimanapun juga, negara hanyalah sebagai sesuatu yang dibutuhkkan untuk menegakkan perintah agama, tetapi eksistensinya adalah sebagai alat belaka, dan bukan lembaga keagamaan itu sendiri. Baginya Amar ma’ruf nahi mungkar tidak mungkin diwujudkan tanpa adanya negara. Negara adalah amanah, dan negara bertujuan untuk menegakkan syariah.



B. Saran Sebagai generasi penerus, hendaknya manusia kini belajar dari tokoh pemikiran politik pendahulu yang dapat dijadikan suri tauladan yang sekiranya dapat membawa perubahan bagi bangsa ini, Bangsa Indonesia.



15



DAFTAR PUSTAKA



Adiwarman Azwar Karim, Sejarah pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2006) Albert Hourani, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, (Bandung : Mizan, 2004) Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam dari Masa Klasik hingga Kotemporer, (Depok: Gramata Publishing, 2010) Ibnu Taimiyah, Al-Furqan baina Auliya’ al-Syithan, Alih bahasa Abd Azia Mr, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2005) Ibnu Taimiyah, Tugas Negara menurut Islam, 2004, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar) Masrohin. “Pengantar Penerjemah” untuk buku Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam, Telaah Kritis Ibnu Taimiyah tentang Pemerintahan Islam, 1995, Surabaya: Risalah Gusti, 1995 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara : ajaran, sejarah dan pemikiran (Jakarta : UI Press,1990) Neni, Pemikiran Ibnu Taimiyyah Tentang Talqi Al-Wafidain, (Pekanbaru: UIN Suska Riau, 2011) Qamaruddin Khan, Pemikiran Politik Ibnu Taimiyah, Ali bahasa Anas M,(Bandung: Pustaka, 1983) Qamaruddin Khan, The political Thought of Ibnu Taimiyah, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung : Pustaka,1983) Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, Terj Masturi Irham dan Assmu’I Taman, (Jakarta: Pusstaka Al-Kautsar, 2006) Syaikh Said Abdul Azhim, Ibnu Taimiyah Pembaharuan Salafi dan Dakwah Reformasi, Terj, Faisal Saleh, (Jakarta: Pusstaka Al-Kautsar, 2005)



16