Identifikasi Karya Sastra Cerpen Menggunakan Teori Marxisme Kelompok 1 [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Kelompok 1: 1. Deni (175200069) Angkatan 2017 2. Richsta Salsabilla (195200045) 2019 C 3. Yashinta Nur Zakiyyah (195200049) 2019 C



IDENTIFIKASI KARYA SASTRA CERPEN MENGGUNAKAN TEORI MARXISME Di bawah ini adalah contoh karya sastra cerpen yang berjudul “Sittichai Lebih Cinta Indonesia daripada Aku” karya Aisyah Nihayah, yang akan di identifikasi dengan menggunakan teori marxisme. A. Contoh Karya Sastra Cerpen Sittichai Lebih Cinta Indonesia daripada Aku Oleh : Aisyah Nihayah



“kresek, kresek”



Aku terbangun. Bergumam dalam hati, pasti Bapak. Bergegas berlari kecil-kecil membuka pintu depan yang sudah dimakan usia. Masih subuh. Bapak mau kemana pagipagi begini?



“Oh Sha. Wes tangi kon?1”



Aku mengangguk. Mengucek mata sebentar, meneliti apa yang sedang Bapak bawa. Hari senin. Bukankah Bapak sudah berjanji akan menemaniku membuat KTP di Kecamatan? Aku sudah genap berusia 17 tahun seminggu kemarin.



“Bapak mau kemana? Bawa kapak? Bagaimana dengan janji pada Sha?” 1



Sudah Bangun kamu? (Bahasa Jawa Ngoko (kasar, biasanya digunakan oleh yang lebih tua kepada yang lebih muda)



Bapak menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Matanya yang sendu berusaha menjelaskan padaku. Kurang lebih seperti, ayolah Sha, kita sudah pernah membahas ini sebelumnya bukan?. Aku berusaha mati-matian menahan tangis. Jika Bapak sudah membawa kapak, berarti akan ada yang meninggal setelah ini. Entah belasan, entah puluhan.



“kali ini berapa?”



Aku bertanya hati-hati.



“hanya satu” Bapak menjawab mantab.



Kemudian bergegas berbalik dan meninggalkanku berjalan memasuki hutan. Menebang kayu-kayu terbaik untuk dijadikan peti mati.



Perkenalkan, aku Sha. Lahir dan besar dipulau Nusakambangan. Tempat Lapas paling mengerikan se-Indonesia disebelah selatan pulau Jawa. Bapak dan belasan penduduk lainnya berprofesi yang sama, pembuat peti mati. Walaupun mayoritas yang lain bekerja sebagai nelayan. Mereka menerima pesanan dari para sipir penjara. Setiap tahunnya, ratusan orang di eksekusi di Bukit Nirbaya. Bukit yang berjarak hanya sekitar 600 meter dari rumahku.



Bagaimana rasanya hidup dan makan dari darah para penjahat kelas kakap Indonesia bahkan dunia?



Aku Sha. 17 tahun dan masih menangis melihat Bapak pergi mencari kayu-kayu terbaik demi menafkahi aku. Walaupun sedih, aku bersyukur. Setidaknya dalam waktu dekat ini hanya ada satu orang yang akan dieksekusi.



***



“Weh Sha. Sek isuk. Paling sek turu arek e2”



Pak Joni sedikit kaget melihatku yang pagi-pagi sudah datang membawa perlengkapan melukis seperti biasa. Pak Joni Indro-sipir penjara Nusakambangan. Asli Banyuwangi. Sudah menjadi sipir Lapas Nusakambangan sekitar hampir 10 tahun dan kelihatan masih betah.



Aku melambai sesaat dan tersenyum. Pak Joni membukakan pintu.



Sekarang aku didalam halaman penjara. Disekelilingnya berjejer belasan sel. Dari ujung ke ujung. Halaman sel ini biasa disebut dengan pos satu. Semuanya aku kenal. Mulai Pak Kusni, koruptor dua triliyun negara sampai Mat Peci si gembong teroris. Pagi-pagi begini biasanya sudah banyak yang sudah bangun. Entah berolahraga, entah mencuci baju. Sebagian besar memang masih tidur.



Aku menuju sel paling barat. Satu-dua orang melambai, menyapa. Sel yang kutuju isinya hanya satu orang. Sudah kuanggap sahabatku sendiri, Sittichai. Pemuda asli Thailand, anak buah kapal pembawa 125 kg sabu-sabu. Dan tidak seperti yang dibilang orang-orang, Sittichai ternyata sudah bangun. Asik tengkurap membelakangiku, melukis.



“ehhem!”



aku berdehem.



Sittichai



menoleh,



tersenyum



dan bergegas



membukakan pintu.



“lukisan baru?” aku bertanya. Sittichai mengangguk. “aku nge-fans sama Choirul Bahri!” lima tahun di Nusakambangan kosa kata bahasa Indonesia yang dikuasai Sittichai makin canggih. “siapa itu?” aku jujur bertanya. Sittichai bilang dalam melukis kita harus punya panutan. Banyak sekali panutan dia. Sepertinya Pak Choirul Bahri ini yang terbaru. 2



Masih pagi. Mungkin masih tidur anaknya



Alih-alih menjawab pertanyaanku, Sittichai malah memberikan sebuah buku usang padaku dan dengan kedua matanya ia berusaha berkata-“baca ini!”dengan sangat bersemangat. Judul bukunya, “21 Pelukis Aceh 21 Tahun Silam”. Aku memutar mataku. Bergumam dalam hati, Aceh lagi Aceh lagi!. Sittichai memang tergila-gila dengan Aceh semenjak diberi buku kebudayaankebudayaan Indonesia oleh Pak Joni setahun yang lalu. Coba tanya Sittichai soal kebudayaan Aceh, ia pasti akan bercerita panjang lebar mulai Tari Saman sampai Krong Badenya (rumah adat Aceh). Dan sekarang aku tidak terlalu terkejut jika dia menemukan Pak Choirul siapalah itu. Aku membaca cepat tentang pelukis yang dimaksud Sittichai ini. Lahir di Gayo, anggota TNI dan belajar melukis di Roma, Itali. Sepertinya cukup hebat. Aku mengembalikan bukunya, tidak tertarik membaca lebih lanjut. “Apa alirannya?” kembali bertanya. “sayangnya Realis. Menggambar orang cukup sulit” raut muka Sittichai mendadak mendung.



Aku tertawa. “Realis kan tidak harus menggambar orang bukan?” walaupun tidak bersekolah, sedikit banyak aku tahu maksud macam-macam aliran dalam seni lukis. Realis hanya berusaha menampilkan subjek yang dilukis dengan apa adanya.



“iya Sha. aku tahu. Tapi apa yang aku lihat? Ya hanya orang-orang. Atau lebih tepatnya orang-orang yang sedang menunggu dieksekusi”. Sittichai terkekeh diujung kalimatnya. Tapi tidak dengan aku. Mendadak perutku mual mendengar kalimat Sittichai. Melihat ekspresiku yang berubah, Sittichai masuk ke sel nya dan kembali dengan lukisan nya yang setengah jadi beserta perlengkapan melukis kami. “ayolah walaupun



belum mandi kita langsung melukis saja” Sittichai berkata sambil menutup kembali selnya dan menggandeng tanganku menuju spot melukis favorit kami. Kami senang melukis menghadap pintu sel yang didepannya terhampar pemandangan pulau Nusakambangan. Disebelah kiri ada hutan, disebelah kanan ada bukit Nirbaya. Satu-dua ibu-ibu melintas membawa cucian, hendak mencuci di sungai. Aku menyapa sopan. Kali ini kami menghadap arah yang berlawanan. Aku berusaha melukis bukit Nirbaya sementara Sitticahi berusaha melukis Pak Joni yang sedang membaca koran. Aku mencoba fokus. Melukis bukit Nirbaya susah susah gampang. Karena bukitnya juga dikelilingi petak-petak air. Setengah jam melukis aku berhenti. Selain lapar, sejak setengah jam yang lalu Sittichai juga tidak mengajak aku bicara. Aku berbalik badan. Membuka dua bungkus roti yang kubawa dan memberikan salah satunya pada Sittichai. Aku menatap lukisannya sejenak. Bagus sekali. Entah kenapa, tapi Pak Joni kelihatan lebih baik dilukisan Sittichai daripada aslinya. Aku tersenyum sendiri bisa berfikiran seperti itu. Angin sepoi-sepoi membuatku yang masih mengunyah roti mengantuk. Aku mengambil posisi disebelah Sittichai. Dalam posisi tidur dan mengunyah roti aku melihat Sittichai yang sedang fokus melukis. Pemuda ini tampan sekali. Aku sangat suka kedua alis Sittichai yang sangat lebat dan hitam. Alis paling tebal yang pernah kulihat. Tiba-tiba aku teringat awal pertemuan kami. Sejak kecil aku sudah keluar-masuk penjara karena ajakan bapak. Profesi bapak yang menyebabkan kami harus sering-sering ke penjara, menerima pesanan. Penghuni pos satu adalah teman-temanku semua. Aku sudah dianggap anak sendiri oleh mereka yang notaben-nya adalah para ayah.



Mereka juga punya keluarga dirumah. Dengan melihatku, kurasa bisa sedikit mengusir rasa rindu terhadap anak mereka. Penjagaan Nusakambangan yang super ketat hanya mengizinkan mereka dijenguk oleh keluarga dua kali. Saat pertama kali masuk Nusakambangan dan saat akan dieksekusi mati. Saat mengunjungi penjara lima tahun lalu, Pak Kusni bercerita bahwa beberapa hari yang lalu Pos Satu kedatangan satu anggota lagi. Seorang pemuda tanggung asal Thailand. Anehnya, dia dimasukkan dalam sel tersendiri. Kata Pak Kusni karena tiap malamnya dia mengamuk. Membentur-benturkan kepalanya ke dinding dan meracau dengan bahasa Thailand. Tapi demi mendengar cerita Pak Kusni bahwa dia adalah seorang pelukis, aku memberanikan diri menghampiri selnya. Pertama kali melihatnya, Sittichai sangat tidak ter-urus. Rambut keritingnya acak-acakan, pelipis dan bibirnya berdarah. Juga aku tidak tahu kapan pemuda ini terakhir kali mandi. Bau selnya sangat tidak enak. Aku tidak tahu bahasa Thailand. Dia juga tidak tahu bahasa Indonesia. Tapi aku ingin sekali bisa melukis dengannya. Maka berminggu minggu kemudian aku setiap hari melukis didepan selnya. Perlahan-lahan Sittichai mau mandi, tidak mengamuk lagi tiap malam dan mau melihatku melukis. Makin lama Sittichai sudah bisa memarahiku bila kuasku tidak kucuci bekas melukis sehari sebelumnya atau ketika aku mengambil warna cat yang salah, walaupun dengan bahasa Thailand yang menurutku sangat lucu. Kemajuan terbesarnya saat Sittichai bisa bersosialisasi dengan penghuni sel lainnya. Diajari bahasa Indonesia bahkan Bahasa Jawa Krama oleh teman -teman. Lima tahun disini, Sittichai semakin lebih baik. Apalagi semenjak diberi buku-buku kebudayaan oleh Pak Joni. Berlagak lebih nasionalis daripada siapapun hihi Dibandingkan penghuni sel lainnya, Sittichai orang yang sangat terbuka. Setahun dipenjara, disuatu siang saat kami sedang melukis dia tiba tiba bertanya,



“Apa kamu tidak penasaran Sha kenapa aku bisa masuk kesini?”



Aku tidak langsung berkata iya walaupun aku sangat ingin. Karena aku tahu, setiap orang pasti punya alasannya sendiri. Melihatku yang hanya diam, Sittichai dengan cepat bercerita bahwa, ia aslinya ditipu. Sittichai memang seorang pelukis. Orang tuanya adalah pedagang buah dipasar. Dia anak tunggal. Sama sepertiku, Sittchai juga tidak bersekolah. Mereka hidup sederhana. Namun suatu hari, paman Siitichai, adik dari ayahnya yang kaya raya tibatiba datang kerumah. Memohon izin pada kakak nya untuk bisa membawa Sittichai ikut berdagang benda-beda antik keseluruh dunia. Sittichai kecil sangat bersemangat, akhirnya ia bisa menjual lukisannya kepada banyak orang. Perdagangan barang antik itu sangat sukses. Berbulan bulan kemudian, kapal paman Sittichai sudah berlayar ke hampir seluruh benua di dunia. Setelah dari Australia tujuan selanjutnya adalah bersandar di pelabuhan Malaysia. Tapi naas, kapal mereka dihentikan oleh otoritas Bea Cukai ketika memasuki perairan Indonesia.



Sittichai kecil kebingungan, “kenapa kapal kami diberhentikan?” ternyata barang-barang antik hanyalah sebuah kedok. Digudang kapal otoritas Bea Cukai mendapati temuan 125 kg sabu-sabu, temuan narkotika paling besar di Indonesia tahun itu. Dimalam itu pula, Sittichai terakhir kali melihat paman beserta teman - teman nya. Tanpa bisa bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dengan baik, juga tidak adanya pengacara, Sittichai semakin kesusahan membela dirinya sendiri di Pengadilan. Melihat tubuhnya yang sudah besar dan tinggi, hakim tidak percaya bahwa saat itu usia Sittichai masih usia anak-anak dan tidak seharusnya ia berada di Nusakambangan. Tapi



diakhir



cerita,



Sittichai



berterima



kasih



padaku



karena



sudah



menyelamatkan nyawanya. Aku hanya tersenyum dan mengangguk walaupun tidak faham benar apa yang ia maksud. Beberapa menit terbayang awal pertemuan kami, Sittichai mengambil roti yang sudah kubukakan untuknya. Aku kembali menatap kedua alisnya.



Setengah hari itu akhirnya aku mengerti kenapa Sittichai sangat tergila - gila dengan Aceh. Sebelum pulang, aku sempat bertanya pada Pak Joni tentang siapa yang akan dieksekusi kali ini. Syukurlah Pak Joni menjawab, “bukan dari pos satu”. Hatiku lega sekali. Aku pulang dengan riang gembira karena lukisanku juga sempat dibantu oleh Sittichai tadi. *** Keesokan paginya ada pengumuman yang ditujukan bagi warga agar tidak keluar rumah karena akan dilaksanakan eksekusi di Bukit Nirbaya sesaat lagi. Satu jam kemudian saat aku sedang mebuatkan kopi untuk Bapak terdengar beberapa tembakan. Aku bergumam dalam hati, semoga dosa-dosanya bisa diterima disisi-Nya, Amin. Hari ini penjara ditutup. Para napi sedang berkabung. Aku sibuk melukis didalam kamar. Jam dua belas siang pintu rumahku diketuk. Ternyata Pak Joni. Kedua matanya sembab. Ditangan kanannya ada beberapa lukisan Sittichai dan ditangan satunya ada peralatan melukis kami. Sesaat kemudian satu hal yang aku langsung tahu. Pak Joni berbohong padaku kemarin. *** “kamu tahu kenapa aku sangat suka dengan kebudayaan Aceh?” Sittichai kembali bertanya. Aku jelas tidak punya ide, jadi aku menunggunya melanjutkan bicara.



“jawabannya sederhana Sha. karena dibuku Kebudayaan Indonesia yang diberikan oleh Pak Joni, Halaman-halaman awalnya membahas kebudayaan Aceh. Buku itu membahas kebudayaan dengan urut. Dari Sabang sampai Merauke. Aku masih membaca awal-awal halaman dan sudah sangat jatuh cinta. Sesederhana itu lho Sha Indonesia bisa dicintai. Aku yakin aku pasti akan menyukai semua kebudayaan negeri



ini jika aku masih punya waktu” lagi - lagi Sittichai tertawa diujung kalimat yang kubalas dengan menimpuknya dengan palet. “semuanya luar biasa Sha. kalian semua berbeda, tapi bersepakat untuk bersatu. Tarian kalian, rumah adat kalian-hei bahkan masakan penjara ini sangat enak” aku tidak pernah melihat Sittichai seserius ini. Bahkan aku mendadak sedih, biasanya orang orang senasionalis Sittichai begini malah yang sering ditertawakan oleh orang Indonesia sendiri. Miris. Sekarang Sittichai sudah berpulang. Sampai akhir hayatnya pun yang sering ia bahas adalah Indonesia, Indonesia dan Indonesia. Sittichai jelas-jelas lebih cinta Indonesia daripada aku. Aku teringat pertanyaan yang sering ditanyakan Sittichai padaku,



jadi



bagaimana Indonesia dimatamu Sha? . Aku sudah 17 tahun hidup dipulau Nusakambangan, beberapa kali menyebrang laut selama kurang lebih enam jam hanya untuk bisa pergi ke kabupaten. Jadi untuk masalah mobilitas, tentu aku tidak mendapatkannya. Aku tidak bersekolah. Aku bisa melihat dunia hanya dari buku-buku yang dibawa oleh Pak Joni. Yang artinya pemerataan pendidikan di Indonesia masih belum menjangkau tempat-tempat terpencil. Dan aku belum mendapatkannya Aku kehilangan ibu ku saat melahirkanku. Resiko kematian ibu saat melahirkan dipulauku sangat tinggi karena tidak ada dokter dipulauku, apalagi rumah sakit. Yang artinya, selain pendidikan, hak untuk sehat juga sepenuhnya belum kudapatkan. Tapi mengingat Sittichai yang bisa mencintai Indonesia hanya dari sebuah buku, bukankah aku pantas untuk malu? Sudah 17 tahun aku hidup. Aku memiliki Bapak yang sangat menyayangiku dan bisa menghidupi keluarganya dari pohonpohon terbaik pulau Nusakambangan. Aku memiliki teman-teman yang baik seperti Pak Joni, Pak Kusni, Mat Peci dan tentu saja Sittichai.



Kita menghirup udaranya. Kita minum airnya. Kita makan dari tanahnya. Kita berteman baik dengan rakyatnya. Sittichai menyadarkanku bahwa seburuk apapun keadaan negara ini dan setidak adil apapun kita diperlakukan oleh negara, Indonesia selalu berhak untuk dicintai.



B. Identifikasi Karya Sastra Cerpen “Sittichai Lebih Cinta Indonesia daripada Aku” Rumusan Masalah: 1. Bagaimana Sistem Kapitalisme Dalam Cerpen “Sittichai Lebih Cinta Indonesia daripada Aku”? Alienasi dalam Sistem Kapitalisme: a. Alienasi Produk Dalam Cerpen “Sittichai Lebih Cinta Indonesia daripada Aku”: Dalam tulisan bercetak biru tepat di halaman pertama yakni: ‘Bukankah Bapak sudah berjanji akan menemaniku membuat KTP di Kecamatan?’, ‘Bagaimana dengan janji pada Sha?”’, ‘Jika Bapak sudah membawa kapak, berarti akan ada yang meninggal setelah ini. Entah belasan, entah puluhan.’, ‘Bagaimana rasanya hidup dan makan dari darah para penjahat kelas kakap Indonesia bahkan dunia? ‘, ‘masih menangis melihat Bapak pergi mencari kayu-kayu terbaik demi menafkahi aku’. Merupakan Alienasi Produk. Hal ini dikarenakan jika seorang yang bernama Sya tidak dapat memiliki sebuah objeknya. Yaitu ayahnya sendiri. Hal ini di tunjukkan dari kebiasaan ayah Sya yang bekerja sebagai pembuat peti mati untuk narapidana di Nusakambangan ketika ada pesanan. Tidak dapat di tolak ataupun melarangnya, karena hanya dengan inilah Ayah Sya dapat menafkahinya (berprofesi sebagai pembuat peti mati untuk narapidana yang dieksekusi di Nusakambangan). Dalam kalimat lain seperti ‘orang-orang yang sedang menunggu dieksekusi’ menjelaskan jika orang – orang dipenjara tersebut, tak dapat memiliki objeknya. Yakni menolak hukuman eksekusi yang diberikan. Karna itu



mereka hanya bisa menunggu dieksekusi. Mereka tak memiliki kewenangan dan kekuasaan untuk hukuman mereka sendiri. Dalam kalimat ‘Penjagaan Nusakambangan yang super ketat hanya mengizinkan mereka dijenguk oleh keluarga dua kali. Saat pertama kali masuk Nusakambangan dan saat akan dieksekusi mati.’ menunjukkan jika keluarganya tidak memiliki kekuasaan dan kewenangan untuk melihat keluarganya sendiri yang berada dipenjara (menjenguk ). Yang padahal keluarganya adalah milik mereka (objek), namun karena tidak adanya kekuasaan dan kewenangan. Pada akhirnya mereka tidak berkuasa untuk keluarganya sendiri (untuk objek). Dalam paragraf ‘Tanpa bisa bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dengan baik, juga tidak adanya pengacara, Sittichai semakin kesusahan membela dirinya sendiri di Pengadilan. Melihat tubuhnya yang sudah besar dan tinggi, hakim tidak percaya bahwa saat itu usia Sittichai masih usia anakanak dan tidak seharusnya ia berada di Nusakambangan.’ Dan ‘Aku yakin aku pasti akan menyukai semua kebudayaan negeri ini jika aku masih punya waktu’ Terlihat jika sittichai tidak memiliki kekuasaan saat membela dirinya sendiri. yang membuat ia kesusahan saat membela diri di pengadilan. Dalam hal ini alienasi produk mengarah pada objeknya yaitu Sittichai yang tidak dapat membantu dirinya sendiri karena tidak memiliki kekuasaan. Pada kalimat ini Ternyata Pak Joni. Kedua matanya sembab. Ditangan kanannya ada beberapa lukisan Sittichai dan ditangan satunya ada peralatan melukis kami. Sesaat kemudian satu hal yang aku langsung tahu. Pak Joni berbohong padaku kemarin. Disini juga menunjukkan jika Pak Joni dan Sya sendiri tak memiliki kewenangan dan kekuasaan dalam menghentikan hukuman mati Sittichai. Yang padahal secara batin, Sya sudah menganggapnya sebagai temannya sendiri. Dan Pak Joni tak memiliki kewenangan atas peralatan melukis Sya. Dalam kalimat ini juga menyampaikan tentang alienasi ini, Sittichai menyadarkanku bahwa seburuk apapun keadaan negara ini dan setidak adil apapun kita diperlakukan oleh negara, Indonesia selalu berhak untuk dicintai. Menunjukkan bahwa Indonesia wajib untuk dicintai, karena tidak memiliki kewenangan dan kekuasaan untuk membencinya setelah makan, minum, dan hidup dari tanah negri ini.



Kesimpulannya, dalam cerpen yang menceritakan tentang lingkungan Sya yang berada di Nusakambangan dan lapas paling mengerikan se-Indonesia. Menunjukkan bahwa dalam cerpen ini banyak mengisahkan tentang orang – orang yang tak memiliki kekuasaan dalam berbagai macam. Seperti menghentikan eksekusi, meniadakan hukuman eksekusi, menolak untuk dieksekusi, pekerjaan yang kebanyakan berprofesi sebagai nelayan ataupun pembuat peti mati, tidak dapat membela dirinya sendiri, diberikannya batasan untuk menjenguk keluarganya sendiri. yang padahal itu adalah dirinya sendiri, hidupnya sendiri, keluarganya sendiri, nasibnya sendiri, pekerjaannya sendiri. karena tak memiliki kewenangan ataupun kekuasaan. b. Alienasi Aktivitas Dalam Cerpen “Sittichai Lebih Cinta Indonesia daripada Aku”: Alienasi Aktivitas dalam Cerpen ini, dapat diambil dari sebuah aktivitas yang ada dalam cerpen, seperti:profesi peti mati melukis, eksekusi dan penjara Nusakambangan. Hal ini di karenakan, daerah Nusakambangan adalah penjara, tempat para penjahat kelas kakap yang kebanyakan diberi hukuman eksekusi mati. sehingga dalam cerita ini secara tidak langsung menunjukkan sebuah kebiasaan eksekusi mati yang berulang – ulang dengan orang yang dieksekusi berbeda – beda. Karena itulah di tempat ini banyak orang yang berprofesi sebagai pembuat peti mati. Lalu kata melukis juga merupakan sebuah kebiasaan antara 2 tokoh dalam cerpen ini, sosok Sya dan sosok Sittichai. Yang selalu melukis bersama di dalam penjara. c. Alienasi Esensi Spesies Dalam Cerpen “Sittichai Lebih Cinta Indonesia daripada Aku” Alienasi Esensi Spesies dapat ditunjukkan pada kalimat yang diberi warna ungu. Seperti Aku tidak bersekolah. Aku bisa melihat dunia hanya dari buku-buku yang dibawa oleh Pak Joni. Yang artinya pemerataan pendidikan di Indonesia masih belum menjangkau tempat-tempat terpencil. Dan aku belum mendapatkannya.dan



paragraf



Aku



sudah



17



tahun



hidup



dipulau



Nusakambangan, beberapa kali menyebrang laut selama kurang lebih enam jam hanya untuk bisa pergi ke kabupaten. Jadi untuk masalah mobilitas, tentu aku tidak mendapatkannya. Dalam kalimat ini menunjukkan jika manusiawinya anak usia 17 tahun, seharusnya mendapatkan Pendidikan yang sama dengan anak usianya. Namun karena ia berada di tempat-tempat terpencil dan pemerataan Pendidikan di Indonesia belum menjangkau tempat Sya. sehingga Sya tidak dapat bersekolah seperti anak se-usianya. Selain itu, dalam cerpen ini. seorang Sya menjelaskan bahwa dia sendiri tidak mendapatkan mobilitas yang baik. untuk pergi ke kabupaten, Sya harus menyebrangi laut selama kurang lebih enam jam. Karena tidak ada Alienasi ini dalam cepen, sehingga kami ambil paragraf yang mendekati sebagai contohnya. d. Alienasi Waktu Dalam Cerpen “Sittichai Lebih Cinta Indonesia daripada Aku”: Dalam kalimat Aku yakin aku pasti akan menyukai semua kebudayaan negeri ini jika aku masih punya waktu. dan kalimat Aku Sha. 17 tahun dan masih menangis melihat Bapak pergi mencari kayu-kayu terbaik demi menafkahi aku Sudah dapat ditunjukkan sebagai Alienasi waktu. Karena tidak adanya alienasi waktu dalam cerpen, sehingga kami ambil kalimat yang mendekati sebagai contoh alienasi ini. Dalam kalimat pertama, menunjukkan jika Sittichai akan menyukai semua kebudayaan di negri ini. namun karna ia tahu jika dirinya akan di eksekusi. Sehingga ia hanya bisa menunggu hari



kematiannya saja seperti



dalam kalimat “jika aku masih punya waktu”. Untuk paragraf setelah kalimat sittichai yang berharap jika masih punya waktu. Paragraf itu menjelaskan tentang seorang Sya yang menangis melihat Bapaknya mencari kayu terbaik untuk dibuatkan peti mati agar bisa menafkahi keluarga. Yang artinya adalah ketika Sya membutuhkan ayahnnya untuk mengantar mengambil ktp (paragraf di awal cerpen). Namun tidak bisa karena ayahnya harus bekerja.



2. Bagaimana Marxisme Dalam Cerpen “Sittichai Lebih Cinta Indonesia daripada Aku” a.



Determinisme Ekonomi Dalam cerpen ini, Determinisme Ekonomi atau hubungan ekonomi. Terdapat pada profesi orang yang ada di Nusakambangan ini. mereka memiliki hubungan satu sama lain, seperti Seseorang yang berprofesi sebagai pembuat peti mati dengan lapas. Lapas di tempat ini merupakan tempat dieksekusinya penjahat – penjahat yang diberikan hukuman mati. Sehingga penjara membutuhkan peti mati untuk jasad manusia yang sudah dieksekusi mati. karena hubungan antara kedua bela pihak saling berjalan.



b.



Determinisme Sosial /mekanisme perubahan sosial meliputi: -



Tesis Dalam cerpen ini. menunjukkan bahwa pemeran tidak dapat memiliki kekuasaan dan kewenangannya untuk dirinya sendiri, keluarga, ataupun keinginannya. Sehingga mau tidak mau pemeran dalam cerpen ini harus mau menjalani itu. seperti contoh jika sittichai awalnya sangat tidak menyukai tempat ini, dan tidak dapat membela dirinya. yang pada akhirnya membuat dirinya diberi hukuman eksekusi mati. lalu untuk Sya sendiri. yang dirinya tidak jadi diantarkan ayahnya untuk mengambil ktp karena ayahnya harus bekerja membuat peti mati.



-



Antitesis Dalam cerpen ini. menunjukkan bahwa sittichai sempat pernah mengamuk, membentukan kepalanya didinding dan merancau. Saat awal ia berada di penjara dan tidak dapat membela dirinya karena tidak memiliki kekuasaan dan kewenangan.



-



Sintesis Dalam cerpen ini. Menunjukkan bahwa orang – orang yang berperan didalam cerpen, hanya berbekal kesabaran dan menerima segala macam keadaan di tempat ini. seperti pasrah ketika diberikan hukuman eksekusi mati, hingga menerima profesi sebagai tukang pembuat peti mati untuk



lapas. Seperti yang ada dalam cerpen ini, mereka dapat menerima apa terjadi dalam hidupnya meskipun itu pahit. Seperti sittichai yang berhenti merancau dan mengamuk karena sikap Sya yang selalu baik padanya. Serta sikap Sya yang dapat menerima untuk tidak sekolah karena Pendidikan di Indonesia masih belum merata hingga ke pelosok – pelosok negri. C. Hasil Identifikasi Karena dalam marxisme membahas tentang kesenjangan sosial yang lebih menitik pada sebuah permasalahan masyarakat yang berkaitan dengan kekuasaan dalam pekerjaan, kewenangan dalam pekerjaan, yang selalu merujukkan objeknya pada pekerjaan. Sehingga point – point yang di dapat juga berhubungan dengan pekerjaan. Namun karena cerpen yang kami ambil tidak banyak merujuk pada pekerjaan, sehingga kami mengambil sebagai persamaan. Seperti: jika dalam Alienasi Produk memaparkan tentang pola pekerja yang memproduksi sebuah objek, namun tidak berkuasa untuk menggunakan atau memiliki obyek tersebut. Sehingga identifikasi dalam cerpen ini menjadi: pada kalimat ‘Penjagaan Nusakambangan yang super ketat hanya mengizinkan mereka dijenguk oleh keluarga dua kali. Saat pertama kali masuk Nusakambangan dan saat akan dieksekusi mati.’ obyek pada kalimat ini berada pada “keluarga dan dijenguk” namun di kalimat ini juga ada larangan “hanya mengizinkan mereka dijenguk oleh keluarga dua kali” pada kalimat ini menegaskan jika keluarga yang menjenguk ini tidak memiliki kekuasaan dan kewenangan karena adanya larangan, meskipun yang dijenguk adalah keluarganya sendiri. Dalam cerita dalam cerpen ini, jika di identifikasi dengan teori marxis. 



Tokoh yang bernama Sya tidak memiliki kewenangan untuk melarang ayahnya, agar tidak membuat peti mati untuk penjara, karena hanya dengan ini Sya dapat makan, minum, dan sebagainya.







Tokoh yang bernama sittichai tidak memiliki kekuasaan, saat membela diri. Hal ini membuatnya harus di hukum mati serta tidak memiliki kewenangan untuk menolak



menjalani hukumannya. Sehingga sittichai memilih untuk tetap sabar, kuat, dan selalu menyukai Indonesia 



Ayah Sya tidak dapat mengantar Sya mengambil KTP , karena harus mencari nafkah. Beruntungnya Sya tidak marah karena hal ini. ia memilih untuk lebih menerima.







Pak Joni dan Sya sendiri tak memiliki kewenangan dan kekuasaan dalam menghentikan hukuman mati Sittichai. Yang padahal secara batin, Sya sudah menganggapnya sebagai temannya sendiri. pada akhirnya Sya dan Pak Joni mencoba menerima semua kenyataan itu.







Dan Pak Joni tak memiliki kewenangan atas peralatan melukis Sya. sehingga pak Joni memberikannya pada Sya saat Sittichai di eksekusi mati.