Identifikasi Melalui Kraniometri, PDF [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

REFERAT IDENTIFIKASI MELALUI KRANIOMETRI



Mata Kuliah IDENTIFIKASI: ANTROPOLOGI FORENSIK



Oleh: Ali Sodikin NPM: 130621180003



Pembimbing: Dr. Naomi Yosiati Sp.F



PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1 DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN RUMAH SAKIT Dr. HASAN SADIKIN BANDUNG 2020



BAB I PENDAHULUAN Kraniometri atau kuantifikasi dan komparasi bentuk serta ukuran kranium telah menjadi metodologi inti dalam antropologi selama beberapa abad. Walaupun begitu, tujuan dan asumsi teoretis terkait analisis kraniometri telah berubah seiring dengan waktu. Penelitian awal yang dilaporkan oleh Johann Blumenbach pada tahun 1775, mengikutsertakan sejumlah besar kranium dari Eropa dan Amerika untuk menyusun aspek objektif dan dapat diulang dari kuantifikasi variasi kranium. Pada abad ke-19, Anders Retzius melanjutkan tujuan ini dengan menemukan sebuah metrik, yaitu indeks kranium. Rasio ini masih digunakan secara luas dalam bidang bioantropologi dan bioarkeologi hingga saat ini.1,2 Paul Broca pada akhir abad ke-19 menekankan penilaian bentuk dan ukuran kranium secara konsisten dengan mendeskripsikan secara detail titik-titik pada permukaan luar kranium



yang digunakan



dalam



pengukuran.



Penamaan titik-titik ini



kemudian



dikembangkan oleh Aurel von Torok, Paul Topinard dan Felix von Luschan hingga awal abad ke-20. Kemudian Rudolf Martin (1914) dan William Howells (1973) membuat skema terstandardisasi dengan menyusun instruksi tentang cara mengidentifikasi titik-titik kranium dan cara mengukur yang benar.1,3 Kraniometri tradisional mengkuantifikasi dan menganalisis pengukuran linier, sudut yang terbentuk di antara tiga titik kranium dan rasio pengukuran linier. Pengukuran ini dilakukan dengan menggunakan berbagai jenis kaliper yang didesain khusus untuk mengukur bagian tengkorak yang berbeda. Dimensi utama yang diukur antara lain, lebar, panjang, lingkar dan sudut. Data-data yang dikumpulkan kemudian dianalisis dengan analisis bivariat, multivariat, analisis komponen utama dan jarak biologis.1-3 Beberapa dekade terakhir, para ahli sudah menggunakan metode morfometrik geometri, yaitu dengan menganalisis langsung kovarians dari koordinat titik-titik kranium yang berada pada dua dimensi maupun tiga dimensi. Model tiga dimensi kranium sudah dikembangkan dalam beberapa tahun terakhir dengan menggunakan pemindai laser sehingga penandaan titik-titik kranium dan pengukuran dapat dilakukan secara virtual. Model ini penting digunakan terutama untuk rekonstruksi spesimen kranium yang tidak lengkap.1,3



1



Utilisasi dari data kraniometri masih terus dikembangkan. Hingga saat ini analisis yang paling umum digunakan adalah studi jarak biologis. Data kraniometri digunakan untuk menguji hipotesis spesifik terkait faktor yang mempengaruhi pola jarak biologis, seperti migrasi eksternal ke dalam suatu populasi, dampak kontak dan pertukaran kultur antar populasi, serta rekonstruksi sejarah masa lampau suatu populasi. Uji hipotesis yang biasa digunakan ialah analisis regresi dan korelasi. 1



2



BAB II KRANIOMETRI



2.1. Anatomi Kranium Kerangka dapat dibagi menjadi beberapa bagian utama, yaitu kerangka kranial yang meliputi tulang tengkorak dan kerangka postkranial yang meliputi semua tulang di bawah tulang tengkorak. Kerangka postkranial dapat dibagi lagi menjadi kerangka aksial dan apendikular. Terdapat 28 tulang tengkorak yang meliputi tulang-tulang kranium dan mandibula, antara lain tulang frontal, 2 parietal, 2 temporal (masing-masing memiliki tiga tulang pendengaran: maleus, inkus dan stapes), oksipital, sfenoid, 2 maksila, 2 palatum, 2 konka nasal inferior, etmoid, vomer, 2 lakrimal, 2 nasal, 2 zigomatik, dan mandibula. Tulang kranium dapat dibagi menjadi 2 kelompok splanchnocranium dan neurocranium. Beberapa tulang kranium memiliki sinus, yaitu kantong udara yang terhubung ke rongga hidung.4-6 A. Neurokranium a. Tulang frontal Berada di belakang dahi dan membentuk batas atas dari orbita. Tulang frontal berartikulasi dengan tulang parietal, sfenoid, etmoid, lakrimal, zigomatik, maksila dan nasal. Pada permukaan eksterior dapat ditemukan arkus supersilier, foramen supraorbital, batas supraorbital, dan garis temporal. Sedangkan pada permukaan serebral dapat ditemukan krista frontalis dan foramen sekum. 5,7 Tulang yang menyerupai tulang frontal ialah tulang-tulang pipih lainnya, seperti parietal, oksipital dan temporal, begitu pula skapula. Akan tetapi, hanya tulang frontal yang membentuk batas atas dari orbita, selain itu terdapat sinus frontalis pada permukaan serebralnya di antara dua orbita. 5,7



3



Gambar 2. Elemen dan fitur kranium tampak lateral (kiri) dan tampak basis (kanan)6



b. Tulang Parietal Tulang parietal berada di antara tulang frontal dan oksipital, membentuk sebagian besar atap dan sisi dari kranium. Tulang ini berartikulasi dengan oksipital, frontal, sfenoid, temporal dan parietal lainnya. Pada permukaan eksterior terdapat garis temporal superior, batas anterior frontal, batas medial (sutura sagitalis), batas posterior (sutura lambdoidalis), dan batas inferior atau skuamosa yang miring. Sedangkan pada permukaan serebralnya terdapat garis untuk arteri meningeal media dari sudut sfenoid ke arah atas.4-6 Tulang parietal mirip dengan tulang pipih lainnya, seperti frontal, oksipital dan temporal, serta skapula. Untuk membedakannya, tepi tulang parietal harus diperiksa secara seksama. Tulang ini merupakan tulang berbentuk mangkuk dangkal yang semua tepinya adalah sutura.5,7



c. Tulang Oksipital Tulang oksipital berada di bagian posterior dan inferior dari kranium, tulang oksipital terhubung oleh sutura lambdoidalis dengan kedua tulang parietal, kedua tulang temporal dan sfenoid. Tulang oksipital merupakan satu-satunya tulang tengkorak yang berartikulasi dengan kerangka postkranial melalui kondilus



4



oksipital dengan tulang atlas. Foramen magnum berada pada sisi inferior dari oksipital.4-6 Oksipital terbagi menjadi 4 bagian, yaitu basilar di anterior dari foramen magnum; dua lateral yang membentuk sisi foramen magnum; serta skuamosa di posterior dari foramen magnum. Pada permukaan eksteriornya terdapat protuberansi oksipital eksterna, garis nukal superior dan inferior, krista oksipitalis eksterna, dan kondilus oksipitalis. Sedangkan pada permukaan serebral terdapat krista oksipitalis interna. Untuk membedakannya, terdapat foramen magnum pada oksipital, selain itu, terdapat permukaan artikular berupa kondilus oksipitalis yang konveks.5,7 d. Tulang Temporal Tulang temporal berapa pada sisi dan basis kranium, di bawah tulang parietal, di posterior dari sfenoid dan anterior dari oksipital. Terdapat organ pendengaran dan artikulasi dengan mandibula di dalam tulang ini. Masing-masing juga berartikulasi dengan tulang zigomatik melalui arkus zigomatikus. Temporal terbagi menjadi 3 bagian, yaitu skuamosa, mastoid dan petrosa. 4-6 Pada permukaan eksterior terdapat prosesus zigomatikus, fossa mandibula, meatus auditori eksterna, prosesus mastoid dan prosesus styloid. Sedangkan pada permukaan serebral terdapat bagian petrosa dan lekukan untuk arteri meningeal media. Pada posisi anatomis, prosesus zigomatikus menghadap ke depan dan prosesus mastoid serta styloid ke bawah. Tepi skuamosa miring adalah tepi superior temporal.5,7 e. Tulang Sfenoid Sfenoid merupakan tulang yang sangat ireguler, membentuk dasar dan sisi dari neurokranium. Tulang ini terdiri dari bagian badan, bagian sayap besar dan sayap kecil serta prosesus pterygoid. Sfenoid berbentuk U dan berartikulasi dengan oksipital, parietal, frontal, etmoid, temporal, palatum, vomer, zigomatik dan terkadang maksila.5-7 Pada permukaan eksterior terdapat sayap besar dan prosesus pterygoid. Sedangkan pada permukaan serebral terdapat sayap kecil dan sela tursika. Dapat dibedakan dengan tulang lain karena memiliki beberapa proyeksi tajam, banyak foramina dan sinus sfenoidalis. Selain itu, sfenoid juga bersifat rapuh. 5,7



5



B. Splanchnocranium a. Tulang Maksila Maksila merupakan penyokong gigi-gigi atas dan membentuk orbita, palatum keras dan fosa nasal. Kedua tulang maksila saling berartikulasi dan berartikulasi juga dengan frontal, nasal, lakrimal, etmoid, palatum, vomer, zigomatik dan konka nasal inferior.4-6 Tulang maksila dapat dibedakan karena terdapat sinus maksilaris, foramen infraorbital, spina nasal anterior, prosesus zigomatik, prosesus palatum, foramen insisivus dan prosesus alveolar. Terkadang tertukar dengan mandibula karena terdapat soket gigi. Untuk mengidentifikasi posisi anatomisnya, pastikan foramen insisivus berada pada garis tengah dan prosesus zigomatik menjauhi garis tengah.5,7 b. Tulang Nasal Nasal merupakan tulang kecil yang membentuk jembatan hidung. Tulang nasal lebih tebal dan sempit pada bagian superior, sedangkan bagian inferior tipis dan lebar. Tulang ini saling berartikulasi dan berartikulasi juga dengan frontal, kedua maksila dan etmoid. Terkadang tertukar dengan vomer. Akan tetapi dapat dibedakan dengan melihat tepi artikular medial, lateral berupa sutura nasomaksilaris, superior berupa sutura nasofrontal, serta tepi non artikular inferior. Untuk mengidentifikasi posisi anatomis, posisikan tepi artikular terpanjang pada bagian lateral dan tepi non artikular mengarah ke bawah atau menjauhi kita.4-6 c. Tulang Zigomatik Tulang ini membentuk prominensia pada pipi di bawah lateral dari orbita. Zigomatik berartikulasi dengan sisi zigomatik dari tulang temporal, membentuk arkus zigomatik, serta maksila, frontal dan sfenoid. Terkadang sulit dibedakan dengan tulang frontal dan maksila karena terdapat sisi orbita, serta tulang skapula. Zigomatik dapat dibedakan dengan mengidentifikasi prosesus frontosfenoid, foramen zigomatikofasial, prosesus temporal dan tuberkel malar. Posisikan prosesus infraorbital di bawah orbita, mengarah ke hidung untuk identifikasi posisi anatomisnya.4-6 d. Tulang Mandibula Mandibula atau rahang bawah merupakan tulang yang paling bergerak bebas di wajah. Tulang ini berartikulasi melalui kondilus dengan tulang temporal pada 6



sendi temporomandibular. Mandibula menyokong gigi-gigi bawah. Untuk identifikasi, bedakan badannya yang seperti tapal kuda, temukan ramus asendens, kondilus, prosesus koronoid, lekuk mandibular, simfisis, foramen mental, foramen mandibular, lekukan mylohyoid, angulus Gonial, dagu, dan prosesus alveolar. Posisi anatomisnya adalah dengan menghadapkan gigi ke arah superior, foramen mental pada permukaan eksterior dan foramen mandibular pada permukaan medial. Sedangkan lekukan mylohyoid terbentang ke arah bawah depan dari foramen mandibula.4-6 e. Tulang Etmoid Etmoid membentuk dasar fosa kranii anterior, serta dinding orbita dan fosa nasi. Bentuknya seperti huruf “E” dan berartikulasi dengan tulang frontal, sfenoid, dua nasal, vomer, dua lakrimal, dua maksila, dua konka nasal inferior dan dua palatum. Dapat dibedakan dengan cara menemukan pelat kribiformis berupa pelat horizontal dengan banyak foramina, crista galli berupa pelat segitiga di atas pelat kribiformis, serta pelat perpendikular.4-6 f. Tulang Lakrimal Tulang lakrimal sangat tipis dan rapuh, berada di bagian anterior dari dinding medial orbita, dan tepat di posterior bagian frontal dari maksila. Lakrimal berartikulasi dengan etmoid, maksila, frontal dan konka nasal inferior. Diidentifikasi dengan menemukan lekukan lakrimal tempat kantong dan saluran lakrimal berada. Posisikan lekukan lakrimal ke arah anterior untuk mencapai posisi anatomisnya.4-6 g. Tulang Palatum Dua tulang palatum membentuk bagian posterior dari palatum keras dan bagian dari dinding lateral fosa nasi. Palatum merupakan tulang yang rapuh, berbentuk “L” dan berartikulasi dengan konka nasal inferior, etmoid dan pasangannya. Identifikasi dapat dilakukan dengan memperhatikan bagian horizontal yang membentuk atap mulut dan bagian perpendicular yang membentuk dinding lateral dari fosa nasi. Selain itu, terdapat foramen palatum besar di atas geraham kedua dan/atau ketiga. Posisikan tepi nonartikularnya ke arah posterior dan foramen palatum besar di bagian lateral.4-6 h. Tulang Vomer Vomer adalah tulang yang tipis dan pipih, berada pada bidang medial dan membentuk bagian bawah dan posterior dari septum nasi. Tulang ini 7



berartikulasi dengan etmoid, sfenoid, palatum dan maksila. Identifikasi dapat dilakukan dengan melihat tepi superiornya yang paling lebar dan tebal, serta berartikulasi dengan sfenoid.4-6 i. Tulang Konka Nasal Inferior Konka nasal inferior bersifat sangat rapuh dan menempel pada dinding lateral dari fosa nasal. Bagian inferiornya bebas. Konka nasal media dan superior merupakan bagian dari tulang etmoid. Tulang ini berartikulasi dengan maksila, lakrimal, palatum dan etmoid. Bedakan dengan permukaan serebral tulang frontal apabila terfragmentasi karena memiliki tekstur yang kasar juga. 5 j. Tulang-Tulang Pendengaran Tulang pendengaran terdiri dari maleus yang menempel pada membran timpani, inkus di antara maleus dan stapes, serta stapes yang berartikulasi dengan inkus. Bentuk maleus seperti pentungan, inkus memiliki dua prosesus dan stapes seperti sanggurdi.4,6



2.2. Metode Pengukuran Pengukuran antropometri penting dilakukan dengan berdasarkan ilmu tentang instrumentasi, teknik, dan titik anatomis yang benar. Data-data yang dikumpulkan dari pengukuran ini akan dikombinasikan dengan teknik antropologi lainnya, seperti golongan darah, analisis kimiawi dan mikroskopis. Antropometri terbagi menjadi 4 cabang yaitu, somatometri untuk mengukur tubuh, sefalometri untuk mengukur kepala dan wajah, osteometry untuk mengukur kerangka dan bagian-bagiannya, serta kraniometri untuk mengukur tulang tengkorak.3,7 Pengukuran kranium secara manual diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu lingkar, sutural, atau kurvatur ekstrem/lekuk. Pengukuran lingkar merupakan pengukuran dari titik-titik ekstrem kranium, seperti lingkar maksiloalveolar. Pengukuran sutural merupakan pengukuran jarak antara dua titik, biasanya mengikuti sutura atau sejenisnya, seperti jarak antara dakrion kanan dan kiri. Pengukuran kurvatura ekstrem/lekuk adalah berdasarkan area dengan perubahan permukaan kurvatura maksimum, seperti konveksitas tertinggi dari tulang frontal terhadap korda nasionebregma. Untuk mendapatkan pengukuran yang tepat, tulang-tulang harus diletakkan pada posisi yang benar dan titik-titik anatomis juga harus tepat.3,7 Titik-titik anatomis digunakan oleh ahli untuk melakukan pengukuran antropometri. Sebagian besar titik-titik ini menunjukkan suatu titik yang pasti pada permukaan 8



tengkorak eksternal maupun internal. Berikut adalah pengukuran standar yang digunakan oleh para ahli forensik:3,5,8 A. Neurokranium3,5,8 a. Panjang Maksimal Tengkorak (g-op, GCL): letakkan KLK pada g dan sokong dengan jari, ujung lain digeser dari atas ke bawah hingga op, catat dalam mm. b. Panjang glabello-inion (g-i): ukur jarak lurus antara g dan i dengan KLK. c. Panjang glabello-lambda (g-l): ukur jarak lurus antara g dan l dengan KLK d. Panjang naso-basilar (n-ba): ukur jarak lurus antara n dan ba dengan KLK e. Lebar Maksimal Tengkorak (eu-eu, XCB): gerakkan ujung KLK ke depan dan ke belakang pada sisi tengkorak di atas kristra supramastoid sampai ditemukan lebar maksimum. f. Lebar minimal frontal (ft-ft): ukur jarak lurus antara kedua ft dengan KG. g. Lebar maksimal frontal (co-co): ukur jarak lurus antara kedua co dengan KLK atau KG. h. Lebar kepala belakang (ast-ast): ukur jarak lurus antara kedua ast dengan KG. i. Lebar mastoidal (ms-ms): ukur jarak lurus antara kedua ms dengan KLK atau KG j. Tinggi basion-bregma (ba-b): ukur jarak lurus antara ba dan b dengan KLK. k. Tinggi porion-bregma (po-b): ukur jarak proyektif antara po dan b terhadap bidang Frankfurt. l. Lingkar horizontal tengkorak: ukur lingkar tengkorak melalui g dan op, tegak lurus terhadap bidang Median-Sagittal m. Lengkung Median-Sagittal: lengkung dari n ke o, melalui b dan l n. Lengkung Median-Sagittal frontal (n-b) o. Lengkung Median-Sagittal parietal (b-l) p. Lengkung Median-Sagittal oksipital (l-o) q. Diameter lurus n-b, diukur dengan KG. r. Diameter lurus b-l, diukur dengan KG. s. Diameter lurus l-o, diukur dengan KG.



9



Gambar 5. Titik-titik kraniometrik: (a) anterior, (b) lateral, (c) inferior6



t. Isi tengkorak Dapat diukur dengan menutup semua lubang pada tengkorak dan mengisinya dengan butir-butir kecil, kemudian dipindahkan ke suatu tabung berskala yang berisi air. Dapat juga diukur dengan metode Lee-Pearson, dengan menggunakan panjang maksimal tengkorak, lebar maksimal tengkorak dan tinggi proyektif tengkorak yang kemudian dihitung dengan rumus.6



10



Tabel 1. Daftar nama titik-titik kraniometrik dan definisinya6,7 Titik (singkatan)



Definisi



Alare (al)



The most laterally positioned point on the anterior margin of the nasal aperture



Apertion (apt)



Titik paling lateral pada tepi apertura piriformis



Asterion (ast)



Titik perpotongan antara sutura lambdoidea, sutura oksipito-mastoidea dan sutura parieto-mastoidea



Auriculare (au)



A point on the lateral aspect of the root of the zygomatic process at the deepest incurvature, wherever it may be



Basion (ba)



Titik dimana bidang Median-Sagittal berpotongan dengan tepi anterior dari foramen magnum



Bregma (b)



Titik tempat pertemuan antara sutura coronalis dan sagittalis



Coronale (co)



Titik paling lateral dari sutura coronalis



Dacryon (d)



Titik perpotongan sutura lakrimomaksilaris dan tulang frontal pada dinding medial dari orbita



Ectoconchion (ec)



Titik imajinatif yang keluar dari mf dan sejajar dengan tepi atas lekuk mata, memotong tepi lateral lekuk ini



Ectomolare (ecm)



Titik paling distal pada tepi luar prosesus alveolaris



Endomolare (enm)



Titik pada tepi dalam prosesus alveolaris di tengah molar kedua



Eurion (eu)



Titik paling distal pada sisi neurocranium



Frontotemporale



Titik paling proksimal pada linea temporalis tulang frontal



(ft) Glabella (g)



Titik paling anterior dari frontal, di antara tonjolan supraorbital pada bidang Median-Sagittal



Gnathion (gn)



Titik terbawah mandibula yang berpotongan dengan bidang MedianSagittal



Gonion (go)



Titik terbawah, posterior dan lateral pada sudut yang terbentuk oleh ramus dan korpus mandibula



Infradentale (id)



Titik perpotongan bidang Median-Sagittal dengan tepi atas prosesus alveolaris mandibula



Inion (i)



Titik di tempat bidang Median-Sagittal memotong linea nuchae superior



11



Kondylion laterale Titik paling lateral prosesus kondilaris (kdl) Kondylion mediale Titik paling medial prosesus kondilaris (kdm) Koronion (kr)



Ujung paling atas prosesus koronoideus, apabila bercabang, dipilih yang paling depan



Mastoidale (ms)



Titik paling bawah dan paling lateral pada ujung prosesus mastoideus



Maksilofrontale



Titik



(mf)



frontonasalis



Mentale (ml)



Titil paling mendalam pada tepi foramen mentale



Nasion (n)



Titik perpotongan bidang Median-Sagittal dengan sutura frontonasalis



Nasospinale (ns)



Titik perpotongan bidang Median-Sagittal dengan spina nasalis



perpotongan



kristra



lakrimalis



anterior



dengan



sutura



anterior Opistocranion (op)



Titik di bidang sentral dari oksipital, paling jauh dari glabella



Opisthion (o)



Titik perpotongan bidang Median-Sagittal dengan foramen magnum sisi posterior



Orale (ol)



Titik di depan palatum, perpotongan bidang Median-Sagittal dengan tepi dalam prosesus alveolaris



Orbitale (or)



Titik paling bawah pada lekuk orbita.



Pterion (pt)



Titik perpotongan tulang frontal, parietal, temporal dan sfenoid



Pogonion (pg)



Titik paling menonjol ke anterior pada protuberansia mentalis



Porion (po)



Titik pada tepi atas porus akustikus eksterna, berpotongan dengan garis yang membagi lubang ini menjadi bagian depan dan belakang



Prosthion (pr)



Titik perpotongan bidang Median-Sagittal dengan tepi paling bawah dan paling depan dari prosesus alveolaris maksila



Staphylion (sta)



Titik perpotongan bidang Median-Sagittal dengan garis yang ditarik antara titik-titik paling mendalam pada kedua arkus palatum posterior



Stephanion (st)



Titik perpotongan linea temporalis dengan sutura coronalis



Vertex (v)



Titik tertinggi pada neurocranium dalam posisi Dataran Frankfurt



Zygion (zy)



Titik paling lateral pada arkus zigomatikus



Zygomaksilare



Titik terbawah dari sutura zigomatikomaksilaris



(zm)



12



u. Indeks untuk membandingkan ukuran dan bentuk:6 i. Indeks kranial: rasio lebar dan panjang tengkorak dalam persen. Rumus: Hasilnya diklasifikasi menjadi dolikokranium (85%). Anak dengan kraniosinostosis sagittal maupun koronal memiliki indeks kranial yang rendah/dolikokranium. Kelainan ini dapat ditemukan pada kasus sindroma Sensenbrenner, sindroma Crouzon, sindroma Sotos dan sindroma Marfan.4 ii. Modul kranial: perkiraan nilai ukuran dari tengkorak. Rumus: iii. Indeks panjang-tinggi kranial: rasio tinggi dan panjang tengkorak dalam persen. Rumus: Hasilnya diklasifikasi menjadi kamaekranium, ortokranium dan hipsikranium. iv. Indeks lebar-tinggi kranial: rasio tinggi dan lebar tengkorak dalam persen. Rumus: : Hasilnya



diklasifikasikan



menjadi



tapeinokranium,



metriokranium



dan



akrokranium. v. Indeks rerata tinggi Rumus: vi. Indeks rerata tinggi basion: Rumus: vii. Indeks rerata tinggi porion Rumus: viii. Indeks kepipihan basis kranial Rumus: ix. Indeks fronto-parietal: rasio lebar frontal minimal dan lebar kranial maksimal dalam persentase. Hasilnya diklasifikasikan menjadi stenometopik, metriotopik dan eurimetopik. 13



Gambar 6. Titik-titik kraniometrik untuk pengukuran kraniometri6



B. Splanchnocranium3,6,8 a. Panjang wajah (ba-pr): ukur jarak lurus antara ba dan pr dengan KLK. b. Lebar biorbital (ek-ek): ukur jarak lurus antara kedua ek dengan KG. c. Lebar zigomatik (zy-zy): ukur jarak lurus antara kedua zy, tegak lurus terhadap bidang Median-Sagittal dengan KLK atau KG. d. Lebar wajah men. Virchow (zm-zm): ukur jarak lurus antara kedua zm dengan KG. e. Tinggi wajah genap (n-gn): ukur jarak lurus antara n dan gn dengan KG. f. Tinggi wajah atas (n-pr): ukur jarak lurus antara n dan pr dengan KG. g. Lebar orbita (mf-ek): ukur jaral lurus antara mf dan ek dengan KG. h. Tinggi orbita: ukur jarak lurus tepi atas dan tepi bawah orbita di tengah garis mf-ek dan tegak lurus terhadapnya dengan KG. i. Lebar hidung (apt-apt): ukur jarak lurus antara kedua apt, sejajar dengan bidang Median-Sagittal dengan KG. j. Tinggi hidung (n-ns): ukur jarak lurus antara n dan ns dengan KG. k. Panjang palatum (ol-sta): ukur jarak lurus antara ol dan sta dengan KG. l. Lebar palatum (enm-enm): ukur jarak lurus antara kedua enm dengan KG. m. Lebar kondilar mandibula (kdl-kdl): ukur jarak lurus antara kedua kdl dengan KLK atau KG. n. Lebar bigonial (go-go): ukur jarak lurus antara kedua go dengan KLK.



14



o. Panjang mandibula: ukur jarak antara pg dan ujung belakang kedua sudut mandibula dengan mandibulometer. p. Tinggi mandibula (id-gn): ukur jarak lurus antara id dan gn dengan KG. q. Indeks untuk membandingkan ukuran dan bentuk:6,10 i. Indeks wajah genap: rasio tinggi dan lebar wajah dalam persen. Rumus: Hasilnya diklasifikasikan menjadi hipereuriprosopik, euriprosopik, mesoprosopik, leptoprosopik dan hiperleptoprosopik. ii. Indeks wajah atas: rasio tinggi wajah atas dan lebar wajah dalam persen. Rumus: Hasilnya diklasifikasikan menjadi hipereurienik, eurienik, mesenik, leptenik, hiperleptenik. iii. Indeks nasal: rasio lebar dan tinggi nasal dalam persentase. Rumus: Hasilnya diklasifikasikan menjadi leptorini, mesorini dan platirini iv. Indeks orbital: rasio tinggi dan lebar orbital dalam persen. Rumus: Hasilnya diklasifikasikan menjadi kamaekonki, mesokonki dan hipsikonki. v. Indeks maksiloalveolar: rasio lebar dan panjang maksiloalveolar dalam persen. Rumus: Hasilnya diklasifikasikan menjadi dolikurani, mesurani, dan brakiurani. vi. Indeks palatum: rasio lebar dan panjang maksimal palatum dalam persen. Rumus: Hasilnya diklasifikasikan menjadi leptostafilin, mesostafilin dan brakistafilin.



15



Gambar 7. Titik-titik kraniometrik pada splanchnokranium dan pengukuran kraniometrinya 6



16



BAB III PERAN KRANIOMETRI DALAM IDENTIFIKASI



3.1. Interpretasi Data Kraniometri Identifikasi Ras Tengkorak merupakan satu-satunya bagian kerangka yang dapat menentukan asal ras secara akurat. Penentuan ras dari tengkorak memiliki dua pendekatan, yaitu variasi morfologis dan anatomis dari struktur tulang, serta pengukuran antropometris. Identifikasi ras dapat dilakukan dengan analisis univariat dan multivariat. Salah satu indeks kraniometri yang memiliki peran penting dalam menentukan ras ialah indeks kranial. Rata-rata indeks kranial berdasarkan ras tertuang dalam tabel 2.4,8 Beberapa penelitian yang pernah dilakukan di Indonesia, antara lain studi pada morfologi hidung populasi Dayak di Kalimantan Utara, dengan hasil indeks nasal rata-rata merupakan mesorini. Studi untuk membandingkan indeks kranium suku Bali dan suku Batak di Bandar Lampung melaporkan bahwa suku Bali cenderung hiperbrakikranium, sedangkan suku Batak cenderung brakikranium dan bentuk dahi kedua suku cenderung eurimetopik. Hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian sebelumnya. Penelitian pada suku Jawa dan Minangkabau menyatakan bahwa indeks kranium suku Minangkabau cenderung mesokranium, sedangkan suku Jawa cenderung hiperbrakikranium.11,12 Tabel 2. Rata-rata indeks kranial8 Ras



Rata-Rata



SD



Min



Maks



Kaukasoid



77,5



P:2,84



P: 71,8



P: 84,2



L: 4,06



L: 68,9



L: 88,8



P: 2,77



P: 67,6



P: 82,5



L: 3,03



L: 66,8



L: 83,3



P: 2,63



P: 68,8



P: 82,4



L: 3,41



L: 67,9



L: 83,0



Mongoloid



Negroid



73,4



76,0



17



Selain analisis univariat di atas, dapat juga dilakukan analisis multivariat dengan analisis regresi dan analisis fungsi diskriminan. Salah satu analisis multivariat adalah dengan menggunakan Fordisc, yang merupakan program perangkat lunak berbasis Windows yang dijadikan alat yang umum digunakan untuk menentukan ras dan jenis kelamin. Fordisc terhubung dengan basis data yang besar dalam berbagai ras. Apapun jenis analisis yang digunakan, tetap bandingkan analisis dengan metode lain seperti analisis data nonmetrik, serta analisis terhadap data postkranium jika tersedia untuk meningkatkan akurasi.4,8



3.2 Identifikasi jenis kelamin Secara umum, ukuran tengkorak pria lebih besar dari ukuran tengkorak wanita. Akan tetapi, konsep ini tidak dapat digunakan pada perbandingan antar ras. Oleh karena itu, penting untuk dilakukan penentuan ras terlebih dahulu sehingga data pengukuran dapat dibandingkan dalam suatu ras tertentu saja. Beberapa penelitian menggunakan beberapa pengukuran kraniometri untuk membantu menentukan jenis kelamin. Hasil pengukuran osteometri dapat dimasukkan ke dalam analisis univariat atau dalam analisis multivariat dengan regresi logistik dan analisis fungsi diskriminan untuk menentukan jenis kelamin. Hasil interpretasi data metrik akan lebih akurat jika didukung juga dengan data nonmetrik.4,8 Analisis univariat pada sebuah penelitian melaporkan bahwa pria sebagian besar merupakan mesokranium, sedangkan wanita brakikranium. Sedangkan berdasarkan indeks panjang-tinggi dan lebar-tinggi kranial, pria sebagian besar adalah ortokranium dan akrokranium dan wanita adalah kamekranium dan tapeinokranium. Pada bagian frontal, pria sebagian besar eurimetopik dan wanita metriometopik. Wajah pria cenderung leptoprosopik dan wanita mesoprosopik dengan orbita hipsikonki dan hidung leptorini. Akan tetapi, hasil studi tersebut dapat berbeda jika dilakukan di populasi yang berbeda. Oleh karena itu, diperlukan studi untuk membangun database indeks-indeks kranium dan fasial pada populasi di Indonesia agar hasil pengukuran kraniometri dapat dibandingkan dengan database yang ada. Sejauh ini, penelitian-penelitian di Indonesia belum menghasilkan hasil yang signifikan dalam membandingkan indeks kranium dan fasial pada pria dan wanita.11,12 Saat ini terdapat perangkat lunak bernama Fordisc yang dapat melakukan analisis fungsi diskriminan pada data metrik dan nonmetrik kranium sekaligus 18



dengan tingkat kebenaran 90-91%. Selain itu, Fordisc juga dapat mengkoreksi ukuran dan melakukan analisis berdasarkan bentuk. Hasil analisis kraniometri juga dapat dikombinasikan dengan data metrik postkranial jika tersedia. 4,13 Suatu penelitian melakukan studi untuk membantu menentukan jenis kelamin dengan membandingkan 5 segitiga yang dibentuk dari pengukuran kraniometri, antara lain: segitiga mastoid kiri dan kanan (AME dan AMD) yang melibatkan titik ast, po dan ms; segitiga bimastoid (AB) yang melibatkan titik o, ms kiri dan kanan; segitiga oksipital (AO) yang melibatkan titik l, ast kiri dan kanan; serta segitiga wajah (AF) yang melibatkan pr dan titik foramen infraorbital kiri dan kanan. Data tersebut kemudian dimasukkan ke dalam Rumus Heron dan dianalisis secara statistik dan mendapatkan hasil yang signifikan. Hasil tersebut digunakan untuk menyusun suatu rumus, sehingga dapat membantu menentukan jenis kelamin.14 Penelitian lain melakukan studi dengan pengukuran mastoid untuk menentukan jenis kelamin. Penelitian yang dilakukan populasi Telangana dengan parameter yang dilakukan panjang, luas, diameter antero posterior, ukuran dan area prosesus mastoid, terdapat perbedaan dengan hasil P