Ilmu Maanil Hadis [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

ILMU MA’ANIL HADITS DAN HEURMENETIKA HADITS



MAKALAH Diajukan Sebagai Tugas untuk Memenuhi Syarat Mata kuliah : Studi Kritis Analitis Hadits dan Ilmu Hadits Dosen Pengampu : Dr. Munawwir, S.Th.I., M.S.I Disusun oleh: Fajrul Muharrom Ulil Albab Ati’ullah (214120600011)



MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PASCASARJANA UNIVERSITAS PROF. K.H. SAIFUDDIN ZUHRI PURWOKERTO 2021



1



Pendahuluan Menurut petunjuk al-Qur’an, Nabi Muhammad diutus oleh Allah untuk semua umat manusia sebagai rahmat bagi seluruh alam. Kehadiran Nabi Muhammad membawa kebajikan dan rahmat bagi seluruh umat manusi dalam segala waktu dan tempat. Dalam sejarah, Nabi Muhammad berperan dalam banyak fungsi, antara lain sebagai Rasulullah, kepada Negara, pemimpin masyarakat, panglima perang, hakim, dan pribadi. Sehingga, hadis yang merupakan sesuatu yang berasal dari mengandung petunjuk pemahaman dan penerapannya perlu dikaitkan juga dengan peran Nabi tatkala hadis itu terjadi. Disamping itu, terjadinya hadis Nabi ada yang bersifat umum dan khusus.segi-segi yang berkaitan erat dengan diri Nabi dan suasana yang melatar belakangi ataupun menyebabkan terjadinya hadis tersebut mempunyai kedudukan penting dalam pemahaman suatu hadis. Mungkin saja hadis tersebut dipahani secara tersurat maupun tersirat. Untuk pemahaman terdapat sejumlah hadis, pada kajian ini melalui telaah terhadap bagian dari ma’ani al-hadis, yaitu berupa memahami hadis dari segi matannya. Dan diharapkan muncul bukti-bukti yang jelas bahwa dalam berbagai hadis Nabi tergantung ajaran Islam yang bersifat universal, temporal, atau lokal.



2



PEMBAHASAN A. Pengertian Ma’anil Hadis Ma’ani dalam bentuk jamak adalah gambaran suatu daya imajinatif perasaan seseorang serta persepsi rasional yang terealisasi melalui ungkapan kata. Sehingga dilihat dari segi kebahasaan bahwa makna dari suatu ungkapan bersumber pada akal manusia dan berkolerasi kuat dengan perasaan. Jika dilihat dari segi kebalaghahan tersaji secara khusus yang membahas tentang hakikat ma’ani disajikan dalam bentuk ta’rif ilmu al-ma’ani. Ilmu ma’anil hadis secara istilah dapat diartikan sebagai suatu keilmuwan yang didalamnya mengungkapkan tentang suatu prinsip metodologi dalam memahami hadis Nabi, sehingga hadis tersebut dapat dipahami kandungannya dengan benar. Dengan adanya metodologi seperti ini pembaca mampu memahami hadis dengan melihat konteks zaman dahulu, sehingga pembaca bisa meninjau persamaan dan perbedaan untuk pengamalan suatu hadis pada zaman sekarang dengan mengedepankan aspek historis. Menurut Mustaqim dalam bukunya memaparkan bahwa ilmu ma’anil hadis merupakan suatu kajian matan akan suatu hadis itu sendiri dan memahaminya, sehingga ketika menyampaikan suatu hadis harus mampu menghubungkan teks hadis tersebut dengan konteks masa kini, hal ini agar mampu memperoleh pemahaman yang relatif tepat, tanpa harus kehilangan relevansinya dengan konteks masa kini.1 B. Hakikat Ma’anil Hadis Kajian ma’anil hadis pada dasarnya sudah ada sejak masa Nabi saw, terutama ketika Nabi saw diangkat menjadi rasul, yang kemudian dijadikan sebagai panutan oleh para sahabat dan seluruh kaum muslimin. Dengan kemahiran dan kemampuan



1



Esa Agung Gumelar, Memerangi atau Diperangi: Hadis-Hadis Peperangan Sebelum Kiamat, (Bogor: Guespedia, 2010), 15-18.



3



yang dimilikioleh para sahabat pada masa itu, secara umum para sahabat bisa langsung menangkap dan memahami sabda yang disampaikan oleh Nabi saw. Berkaitan dengan pemahaman hadis ketika Rasul wafat, disinilah awal mula permasalahannya dalam memahami hadis, sebab para sahabat dan generasi berikutnya ketika ada permasalahan atau kesulitan dalam memahami hadis mereka sudah tidak bisa bertanya secara langsung lagi kepada Rasul. Sehingga para sahabat harus memahami hadis itu sendiri sesuai dengan apa yang tertulis, kesulitan dalam memahami hadis semakin kompleks, terutama ketika Islam sudah menyebar luas keberbagai belahan penjuru dunia. Hal ini disebabkan karena para sahabat tidak mengetahui dan memahami dengan baik tentang gaya bahasa yang digunakan Rasul dalam menyampaikan hadis. Karena terkadang Rasul menggunakan ungkapan yag bersifat majazi, qiyas, dan bahkan menggunakan sebuah kata yang gharib (asing), seiring dengan berjalannya waktu terkadang kata yang dahulu sangat jelas maknanya lambat laun akan tenggelam karena sudah tidak dipakai lagi dan dianggap asing sehingga sulit untuk dipahami.2 C. Sejarah Perkembangan Ilmu Ma’anil Hadis Pada masa Nabi SAW, sahabat dan tabiin belum ada istilah ma’anil al-hadis. Dalam kitab klasik hadis, syarat hadis, Maupun ulumul hadis tidak pernah disinggung perihal istilah ma’anil al-hadis yang mengacu pada suatu disiplin keilmuan khusus. Istilah tersebut kemudian muncul baru-baru ini dalam studi hadia konteporer. Sebenarnya ilmu ma’anil al-hadis telah diaplikasikan sejak zaman Nabi SAW, akan tetapi sangatlah sederhana. Pada awal munculnya ilmu hadis, kajian ma’anil al-hadis berkembang pada generasi mutaqaddimin. Kemudian para ulama selanjutnya berusaha untuk memberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan daei suatu hadis dengan cara memunculkan berbagai kitab syarah hadis, seperti kitab Tanwir al-



Esa Agung Gumelar, Memerangi atau Diperangi: Hadis-Hadis Peperangan Sebelum Kiamat,18-20. 2



4



Hawalik syarat Al-Muwatha karya Imam Malik yang disyarahi oleh Jalaluddin Abdurohman al-Suyuthi, kitab Fathul Barri syarat kitab Shahih Bukhari yang disyarahi oleh Ibnu Hajar al-Asqalani, Kitab Ikmal al-Mu’lim syarah kitab Shahih Muslim yang disyarahi oleh al-Qadhi Iyadh, Kitab Aunul Ma’bud syarah dari kitab Sunan Abi Daud yang disyarahi oleh Abu Thayib Muhammad Syams Al-Haqq AlAzhim, dan lain sebagainya. Sebelum muncul kitab syarah, para ulama sudah meletakan dasar ilmu ma’anil al-hadis salah satunya adalah ilmu gharib hadis, yaitu ilmu yang membahas tentang hadis-hadis yang memiliki matan yang asing dan sulit dipahami,terutama pada generasi pasca sahabat, di mana pada masa itu islam sudah berkembang luas keseluruh penjuru dunia. Munculnya istilah ilmu ma’anil al-hadis dimaksudkan agar mampu meringkas displin ilmu-ilmu hadis yang terkait dengan objek kajian matan suatu hadis, yang mana sudah digunakan para ulama dalam ilmu gharib hadis, nasik mansukh, mukhtaliful hadis, tarikhul mutun, asbab al-wurud dan sebagainya.3 D. Tujuan dan Kegunaan Ilmu Manil hadis Muatan terhadap berbagai kaidah mayor dan kaidah minor dalam tinjauan ilmu ma’anil al-hadis berfungsi sebagai media pembantu dalam usaha memaknai atau memahami ungkapan hadis. Kegunaan seperti ini bermaksud agar pengkaji mengetahui maksud dari ungkapan suatu hadis dengan pemaknaan yang tepat dan pemahaman yang memandai. Dengan adanya pemaknaan kita berharap agar semakain banyak yang mengetahui inti dari ajaran syariat yang diambil dari pemahaman terhadap hadis Nabi SAW. Sehingga dengan adanya hal tersebut membuka secara lebar peluang untuk mampu mengambil nilai keteladanan dari perikehidupan Nabi SAW dan tuntunan yang sempurna melekat pada diri Nabi SAW melalui pemahaman hadis tersebut. dalam mengkaji suatu hadis Nabi saw, seorang pengkaji harus memiliki bekal wawasan yang terjamin valid. Hal ini dimaksudkan agar pengkaji Esa Agung Gumelar, Memerangi atau Diperangi: Hadis-Hadis Peperangan Sebelum Kiamat,22-23. 3



5



mampu mengungkap kata-kata yang gharib dalam ungkapan hadis. Hal ini pernah diingatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal ketika beliau ditanya perihal kata-kata yang gharib di dalam ungkapan suatu hadis Nabi SAW. “bertanyalah kalian kepada seorang di antara mereka yang memiliki keahlian dalam dalam kata-kata yang gharib karna sesungguhnya aku tidak menyukai bila (dipaksa) untuk membicarakan mengenai suatu hadis Rasulullah SAW hanya sebatas persangkaan saja”. Berkat adanya ilmu ma’anil al-hadis akan mampu menafsirkan dan menjelaskan atas ungkapan-ungkapan yang ada dalam sebuah hadis.4 E. Indikasi (Qarinah) Hadis Pemahaman hadis secara tekstual dan kontekstual ditentukan oleh faktorfaktor yang disebut qarinah atau indikasi yang dibawa oleh teks itu sendiri. 5 Hal-hal yang menjadi indikasi tersebut adalah : 1. Bentuk matan hadits Nabi dan cakupan petunjuknya, berupa : a. Jamawi’ Al Kalim, yaitu ungkapan yang singkat namun padat makna. Contoh: )‫ب خ ْد َعةٌ (رواه اُلبخارى و ُمسلم وغريمها ُعن جابر بن عبداهلل‬ ُ ‫احلَْر‬ “Perang adalah siasat.” (H.R. Bukhari dan Muslim dan lain-lain, dari Jabir bin ‘Abdullah) Pemahaman terhadap hadis tersebut adalah sejalan dengan bunyi teksnya, yakni bahwa setiap peperangan pastilah memakai siasat. Ketentuan yang demikian itu berlaku secara universal sebab tidak terikat oleh tempat dan waktu tertentu.6 Perang, secara pasti, memerlukan siasat dan jika tanpa siasat, maka sama halnya menyerah kepada musuh. b. Tamsil, yaitu perumpamaan. Contoh:



6 Esa Agung Gumelar, Memerangi atau Diperangi: Hadis-Hadis Peperangan Sebelum Kiamat,23-24. 5 Muhammad Yusuf, Metode dan Aplikasi Pemaknaan Hadis, (Yogyakarta: Teras, 2009), 21. 4



6



hid upn “Orang yang beriman terhadap orang



ya,



beriman lainnya ibarat bangunan,



ber



bagian satu memperkokoh terhadap



bed



bagian yang lainnya.” (HR. Bukhari,



a



Muslim, dan Turmudzi, dari Abu Musa



den



Al Asy’ari)7



gan



Hadis tersebut mengungkapkan perumpamaan beriman saling



bagi



layaknya



orang-orang



bangunan



menguatkan.



yang



Orang-orang



ora ng kaf ir



beriman tersebut hendaknya saling



yan



memperkuat



g



ukhuwah



islamiyyah



dengan yang lainnya dan bukan untuk



me



saling menjatuhkan sesamanya.



nja



c. Ramzi, yaitu ungkapan simbolik. Contoh:



dik



Orang yang beriman itu makan dengan satu usus “ (perut), sedang orang kafir makan dengan tujuh usus.” (H.R. Bukhari, Turmudzi dan Ahmad, dari Ibn ‘Umar)8



an ma kan seb



Perbedaan usus dalam matan hadis tersebut menunjukkan perbedaan sikap orang beriman dengan orang kafir dalam menghadapi nikmat Allah, termasuk dalam makan. Orang beriman



aga i tuj uan hid



tidak menjadikan makan sebagai tujuan 7



M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, 14. 8 M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, 21.



7



d. Bahasa percakapan atau dialog, yaitu hadis yang berisi percakapan Nabi dan masyarakat sekitar. Contoh:



‫ أ ي اإل َ سَل م امل سلِ ِم ن ِل َوَي ِدهِ (متفق عليه عن‬,‫ اي رسوَل هلال‬: ‫قالو‬ ْ ْ ََ ‫أىب‬ ‫ْ َس م‬ ‫ْم و َن‬ ‫َسانِه‬ ‫ ْن‬: ‫ِلم أْف َض ل؟ قال‬ )‫موسى األشعرى‬ “Mereka (para sahabat) bertanya: ‘Ya Rasulullaah, amalan islam yang manakah yang lebih utama?’ Beliau menjawab: ‘(Yaitu) orang yang kaum muslimin selamat dari (gangguan) mulutnya dan tangannya.’” (Muttafaq ‘alayh, dari Abu Musa Al Asy’ari)9 e. Ungkapan analogi atau qiyas, yaitu ungkapan yang didalamnya mempunyai hubungan yang sangat logis. Contoh: Sahabat bertanya pada Nabi: “Apakah menyalurkan hasrat seksual kami (kepada istri-istri) kami mendapat pahala?” Nabi menjawab:



‫َع َْل ِي ه فِْي َها ِْوٌزر؟ َف َك َذالِ َك إذَا َو َض َع َها ِف‬ َ‫احَل‬



‫أ َرأْيت ْ م َْل و َو َض َع َها ِف َ َحراٍم أ‬ ‫َك ا َن‬ )‫أىب ذر‬



‫لِ ل َكا َن لَه أ ْ ٌجر (رواه مسلم عن‬ “Bagaimanakah



pendapatmu



sekiranya



hasrat



seksual



(seseorang)



disalurkannya di jalan haram, apakah (dia) menaggung dosa? Maka demikianlah,bila hasrat seksual disalurkan ke jalan yang halal, dia mendapat pahala.” (H.R Muslim, dari Abu Dzarr).10 Hadis ini menyatakan bahwa jika penyaluran hasrat di jalan haram (zina) merupakan perbuatan dosa, maka jika disalurkan secara halal (hubungan suami istri dalam pernikahan yang sah) adalah merupakan 9



M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, 23. 10 M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, 31.



8



perbuatan yang diberi pahala. 2. Kandungan hadis dihubungkan dengan fungsi Nabi Muhammad, yaitu bahwa Nabi bukan hanya seorang rasul, tetapi juga sebagai kepala negara, panglima



9



M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, 23. 10 M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, 31.



8



perang, hakim, tokoh masyarakat, suami dan pribadi. Berikut contoh hadis Nabi yang dihubungkan dengan fungsi-fungsi Nabi tersebut.



‫إ ْن أ َش د الن ا ِس َع َذاً ب ْعِن َد ه ِلال َي ْ َوم الِ قَي َا مِ ة امل َص ِو ْرو َن (رواه البخارى و مسلم و غريمها عن عبد هلال‬ )‫بن مسعود‬ “Sesungguhnya orang-orang yang menerima siksaan paling dahsyat di hadirat Allah pada hari kiamat kelak ialah para pelukis.” (H.R bukhari, Muslim dan lainnya, dari ‘Abdullah bin Mas’ud)11 Banyak hadis yang melarang perbuatan melukis makhluk yang bernyawa. Dikatakan bahwa pelukis, pada hari kiamat kelak, dituntut untuk memberikan nyawanya kepada apa yang dilukisnya. Dan dikatakan juga bahwa malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang terdapat lukisan di dalamnya. Hadis yang disampaikan Nabi ini merupakan salah satu bukti dari kapasitas beliau sebagai rasulullah, sebab dalam hadits itu menyatakan mengenai nasib para pelukis di hari kiamat. 3. Petunjuk hadis Nabi yang dihubungkan dengan latar belakang terjadinya, yaitu hadis yang memiliki sebab tertentu berupa sebuah peristiwa secara khusus dan dapat berupa suasana atau keadaan yang bersifat umum yang menjadi latar belakangnya. Hadis ini digolongkan menjadi: (1) Hadis yang tidak mempunyai sebab secara khusus, seperti hadis tentang kewajiban menunaikan zakat fithri; (2) Hadis yang mempunyai sebab khusus, seperti hadis mengenai urusan dunia; dan (3) Hadis yang berkaitan dengan keadaan yang sedang terjadi, seperti hadis yang berbicara mengenai dibelenggunya setan pada bulan Ramadhan. 4. Petunjuk hadis Nabi yang tampak saling bertentangan, yaitu hadis yang samasama memiliki kualitas sahih namun kandungannya tampak bertentangan. 11



M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, 36.



9



Untuk menyelesaikan masalah ini, cara yang ditempuh ulama berbeda-beda.



11



M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, 36.



9



Ada yang menempuh satu cara dan ada yang menempuh lebih dari satu cara dengan urutan yang berbeda-beda. Istilah-istilah yang banyak dijumpai dalam hal ini antara lain: a. Al-tarjih, yaitu meneliti dan menentukan petunjuk hadis yang memiliki argumen yang lebih kuat. b. Al-jam’u, al-taufiq atau al-talfiq, yaitu kedua hadis yang tampak bertentangan



dikompromikan,



atau



sama-sama



diamalkan



sesuai



konteksnya. c. Al-naskh wa al mansukh, yaitu petunjuk hadis yang satu dinyatakan sebagai penghapus, sedang yang lain sebagai yang dihapus. d. Al-tawaqquf, yaitu menunggu sampai ada petunjuk atau dalil lain yang dapat menjerihkan dan menyelesaikan pertentangan.12 F. Metode Kajian Ilmu Ma’anil Hadis Dalam memahami sebuah hadis, terdapat dua unsur penting yang tidak bisa dipisahkan, yaitu sanad dan matan. Dalam permasalahan yang timbul mengenai sanad hadis, maka muncullah diskusi yang panjang tentang otentisitas. Sedangkan dalam permasalahan mengenai matan hadis melahirkan beberapa pendekatan dan metode untuk memecahkan permasalahan tersebut. Beberapa metode yang dimaksud antara lain: 1. Takhrij Hadis Langkah awal yang dilakukan adalah melacak redaksional hadits tentang ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan hadits tersebut, dengan menggunakan metode takhrij yang telah banyak digunakan para ulama. Adapun metode takhrij yang digunakan para ulama hadis menurut Mahmud Ath-Thahhan ada 5 metode antara lain : a. Dengan Melihat Indeks Nama Sahabat 12



Abdul Mufid, Moderasi Beragama Perspektif Yusuf Qardhawi: Kajian Interdispliner tentang Wacana Penyatuan Hari Raya, (Banyumas: CV Pena Persada, 2019), 30.



10



b. Dengan Awal Kata Pada Matan c. Menggunakan Kata-kata dalam Matan Hadis d. Menggunakan Tema Hadis 2. Pendekatan Historis, Sosiologis, dan Antropologis Pendekatan historis adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara mengkaitkan antara ide atau gagasan yang terdadapat dalam hadis dengan determunasi-determinasi social dan situasi historis kultural yang mengitarinya. Pendekatan model ini sebenarnya sudah dirintis oleh para ulama hadis sejak dulu, yaitu dengan munculnya ilmu Asbabul al-Wurut yaitu suatu ilmu yang menerangkan sebab-sebab mengapa Nabi menuturkan sabdanya dan masa-masa Nabi menuturkan sabdanya dan masa-masa Nabi menuturkannya. Atau ilmu yang berbicara mengenai peristiwa-peristiwa atau pertnyaan-pertanyaan yang terjadi pada hadis disampaikan oleh Nabi. Pendekatan historis menekankan pada pertanyaan mengapa Nabi SAW bersabda demikian? Dan bagaimana kondisi historis sosio-kultural masyarakat dan bahkan politik pada saat itu?, serta mengamati proses terjadinya. Adapun pendekatan sosiologi menyoroti dari sudut posisi manusia yang membawanya kepada perilaku itu. Sedangkan antropologi memperhatikan terbentuknya polapola perilaku itu pada tatanan nilai yang dianut dalam kehiduan masyarakat manusia. Kontribuksi pendekatan antropologis adalah ingin membuat uraian yang meyakinkan tentang apa sesungguhnya yang terjadi dengan manusia dalam berbagai situasi hidup dalam kaitan waktu dan ruang.13



13



Said Agil Husin Munawwa dan Abdul Mustaqim, Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual Asbabul Wurud, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 26-27.



11



PENUTUP Ilmu ma’anil hadis merupakan suatu kajian matan akan suatu hadis itu sendiri dan memahaminya, sehingga ketika menyampaikan suatu hadis harus mampu menghubungkan teks hadis tersebut dengan konteks masa kini, hal ini agar mampu memperoleh pemahaman yang relatif tepat, tanpa harus kehilangan relevansinya dengan konteks masa kini. Sejarah perkembangan ilmu ma’anil hadis ini karena para sahabat tidak mengetahui dan memahami dengan baik tentang gaya bahasa yang digunakan Rasul dalam menyampaikan hadis. Karena terkadang Rasul menggunakan ungkapan yag bersifat majazi, qiyas, dan bahkan menggunakan sebuah kata yang gharib (asing). Ma’anil al-hadis berfungsi sebagai media pembantu dalam usaha memaknai atau memahami ungkapan hadis. Kegunaan seperti ini bermaksud agar pengkaji mengetahui maksud dari ungkapan suatu hadis dengan pemaknaan yang tepat dan pemahaman yang memandai. Dengan adanya pemaknaan kita berharap agar semakain banyak yang mengetahui inti dari ajaran syariat yang diambil dari pemahaman terhadap hadis Nabi SAW.



12



DAFTAR PUSTAKA Agil Husin Munawwar, Said dan Mustaqim, Abdul, Studi Kritis Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual Asbabul Wurud, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.



Gumelar, Esa Agung, Memerangi atau Diperangi: Hadis-Hadis Peperangan Sebelum Kiamat, Bogor: Guespedia, 2010. Ismail, M. Syuhudi, Hadits Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, Jakarta: Bulan Bintang, 1994. Mufid, Abdul, Moderasi Beragama Perspektif Yusuf Qardhawi: Kajian Interdispliner tentangWacana Penyatuan Hari Raya, Banyumas: CV Pena Persada, 2019. Yusuf, Muhammad, Metode dan Aplikasi Pemaknaan Hadis, Yogyakarta: Teras, 2009.