Implementasi Kebijakan Bottom Up Dan Campuran [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN BOTTOM UP DAN CAMPURAN Dengan memahami model-model Implementasi pada dasarnya dapat dibuat pemetaan modelmodel Implementasi dalam dua jenis pemilahan (Riant Nugroho 2008 ; 451) pemilahan pertama adalah Implementasi kebijakan yang berpola dari “atas ke bawah” (Top Down) versus dari “bawah ke atas”, atau pemilahan implementasi yang berpola paksa (command and control) dan mekanisme pasar (economic incentives). Model mekanisme paksa adalah model yang mengedepankan arti penting lembaga publik sebagai lembaga tunggal yang mempunyai monopoli atas mekanisme paksa dalam Negara. Sebaliknya “bottom up “ bermakna meskipun kebijakan dibuat oleh pemerintah, namun pelaksanaannya oleh rakyat. Diantara dua kutub ini ada interaksi pelaksanaan antara pemerintah dan masyarakat. Dari pemetaan tersebut tampak bahwa sebagian besar implementasi kebijakan berada pada model Top Down ( Van Meter Van horn, Grindle, W. Hoogwood dan Lewis, C Edwards, Mazmanian dan Paul Sabatier, Nakamura dan small wood) sementara model “Bottom Up” yaitu (Adam Smith, Richard Elmore dkk, model jaringan), serta ada model yang berada di tengahtengah yaitu model Goggin ( dalam Riant Nugroho 2008 :452). Saat ini yang akan dibahas adalah model Implementasi Bottom Up dan campuran. Model implementasi dengan pendekatan bottom up muncul sebagai kritik terhadap model pendekatan rasional (top down). Parsons (2006), mengemukakan bahwa yang benar-benar penting dalam implementasi adalah hubungan antara pembuat kebijakan dengan pelaksana kebijakan. Model bottom up adalah model yang memandang proses sebagai sebuah negosiasi dan pembentukan consensus. Masih menurut Parsons (2006), model pendekatan bottom up menekankan pada fakta bahwa implementasi di lapangan memberikan keleluasaan dalam penerapan kebijakan. Berikut adalah model Implementasi kebijakan Bottom Up antara lain:



Model Adam Smith Ahli kebijakan yang lebih memfokuskan model implementasi kebijakan dalam persfektif bottom up adalah Adam Smith. Menurut Smith (1973) dalam Islamy (2001), implementasi kebijakan dipandang sebagai suatu proses atau alur. Model Smith ini memamndang proses implementasi kebijakan dari proses kebijakan dari persfekti perubahan social dan politik, dimana kebijakan yang dibuat oleh pemerintah bertujuan untuk mengadakan perbaikan atau perubahan dalam masyarakat sebagai kelompok sasaran. Menurut Smith dalam Islamy (2001), implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variable, yaitu : 1. Idealized policy : yaitu pola interaksi yang digagas oleh perumus kebijakan dengan tujuan untuk mendorong, mempengaruhi dan merangsang target group untuk melaksanakannya 2. Target groups : yaitu bagian dari policy stake holders yang diharapkan dapat mengadopsi pola-pola interaksi sebagaimana yang diharapkan oleh perumus kebijakan. Karena kelompok ini menjadi sasaran dari implementasi kebijakan, maka diharapkan dapat menyesuaikan pola-pola perilakukan dengan kebijakan yang telah dirumuskan 3. Implementing organization : yaitu badan-badan pelaksana yang bertanggung jawab dalam implementasi kebijakan. 4. Environmental factors : unsur-unsur di dalam lingkungan yang mempengaruhi implementasi



kebijakan



seperti



aspek



budaya,



sosial,



ekonomi



dan



politik.



Model Elmore, dkk Model yang disusun Richard Elmore (1979), Michael Lipsky (1971), dan Benny Hjern dan David O’ Porter (1981). Model ini dimulai dari mengidentifikasi jaringan actor yang terlibat dalam proses pelayanan dan menanyakan pada mereka : tujuan, strategi, aktivitas, dan kontakkontak yang mereka miliki. Model implementasi ini didasarkan pada jenis kebijakan public yang mendorong masyarakat untuk mengerjakan sendiri implementasi kebijakannya atau tetap melibatkan pejabat pemerintah namun hanya ditataran rendah. Oleh karena itu kebijakan yang dibuat harus sesuai dengan harapan, keinginan, public yang menjadi target atau kliennya, dan sesuai juga dengan pejabat eselon rendah yang menjadi pelaksananya. Kebijakan model ini biasanya diprakarsai oleh masyarakat, baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga nir laba kemasyarakatan (LSM). Model Jaringan Model ini memahami bahwa proses Impementasi kebijakan adalah sebuah complex of interaction processes diantara sejumlah besar actor yang beada dalam suatu jaringan (network) actor-aktor yang independen. Interaksi para actor dalam jaringan tersebutlah yang aan menentukan bagaimana implementasi harus dilaksanakan, permasalahan-permasalahan yang harus dikedepankan, dan diskresi-diskresi yang diharapkan menjadi bagian penting didalamnya. Pemahaman ini antara lain dikembangkan dalam sebuah buku yang ditulis tiga orang iluwan Belanda, yaitu walter kicker, Eric Hans Klijn, dan Joop Koppenjan, managing complex network : Strategies for the public sctor (1997). Pada model ini, semua actor dalam jaringan relative otonom, artinya mempunyai tujuan masing-masing yang berbeda. Tidak ada actor sentral, tidak ada actor yang menjadi coordinator. Pada pendekatan ini, koalisi dan/atau kesepakatan diantara actor yang berada pada sentral jaringan menjadi penentu imlpementasi kebijakan dan keberhasilannya. Pada gambar berikut, kita dapat melihatnyya pada actor A,B,C,D, dan E. Pemahaman jaringan ini dapat dikatakan diembangkan dari teori komunikasi jaringan, yang berkembang pada awal tahun 1980-an, oleh Everett M. Rogers dan Lawrence Kincaid ( 1981), dan di Indonesia dikembangkan dalam bentuk studi-studi jaringan komunikasi dengan metode pemetaan sosiometri. Gambar ; Model Goggin. Diposkan oleh Ratu Agung di 21.34 http://ratuagung78.blogspot.com/2010/02/implementasi-kebijakan-bottom-up-dan.html



Model Proses Menurut Smith Menurut Smith (1973) dalam model prosesnya, pembentukan kebijakan yang ideal dapat berhasil diterapkan jika didukung oleh 3(tiga) faktor utama, yaitu organisasi yang menerapkannya (implementing organization), kelompok yang menjadi target kebijakan tersebut (target group), serta faktor-faktor lingkungan (environmental factors) nya. Salah satu saja dari faktor tersebut tidak memenuhi, maka tidak akan tercapai suatu kebijakan ideal yang dapat terlaksana. Dengan mengetahui model proses Smith ( 1973 ) dapat disimpulkan bahwa penjelasan Smith ( 1973 ) tentang model proses, ada 3 faktor utama yang diterapkan yaitu : implementing organization ( organisasi yang menerapkannya ) yaitu ada sekelompok organisasi dalam masalah Kemacetan lalu lintas tersebut, diantaranya adalah Kelompok yang menjadi target tersebut ( target group ) yaitu. Dan yang terakhir adalah faktor lingkungan (environment factor ) yaitu keadaan lingkungan yang menunjang permasalah model proses Kebijakan tersebut. Setelah kita mengidentifikasi masalah, kita mengetahui masalah apa saja dari individu atau kelompok masyarakat. Lalu, agenda setting dari media massa oleh publik yang memfokuskan masalah khusus kebijakan pemerintah. Dari siklus kebijakan aktivitas politik model proses kemudian perumusan kebijakan (policy formulation ) yakni proses pengesahan yang dirancang secara khusus untuk mengatasi atau mengurangi masalah yang terjadi di masa lalu atau untuk mencegah terjadinya kembali masalah kebijakan publik yang kurang lebih sama di masa yang akan datang. Lalu, policy legitimation ( pengesahan kebijakan ) yang memilih suatu usulan dan membentuk politik dan disahkan dalam hukum undang – undang. Kemudian, policy implementation ( implementasi kebijakan ) menurut sementara ahli, implementasi dapat dirumuskan sebagai suatu proses, suatu output ( keluaran ), dan suatu hasil akhir ( outcome ). Proses siklus yang terakhir adalah evaluasi kebijakan ( evaluation policy ) yakni menganalisis tentang program-program, evaluasi hasil-hasil dan pengaruhnya, dan menyarankan perubahanperubahan dan penyesuaian-penyesuaian. Evaluasi kebijakan pada hakikatnya mempersoalkan apa yang sesungguhnya telah terjadi sebagai hasil dari sebuah kebijakan atau apa yang terjadi sesudah kebijakan tertentu diimplementasikan. Dengan begitu evaluasi akan mempersoalkan dampak nyata dari sebuah



proses legislasi atau seberapa jauh kebijakan tertentu senyatanya mencapai hasil yang diinginkan. Sebagai contoh, studi evaluatif mungkin akan tertarik pada pertanyaan seperti ‘apakah pengadaan Bus Way secara signifikan memang terbukti mengurangi kemacetan lalu lintas di Ibu Kota Jakarta ? ( Salah satu fenomena masalah tipikal pertanyaan yang umumnya ingin dijawab oleh studi evaluasi kebijakan ). Perubahan kebijakan ( policy change ) boleh dikatakan merupakan konsep terbaru yang dikembangkan dan kemudian dimasukkan dalam model proses aktivitas kebijakan publik. Konsep ini yang sebagian besar berasal dari hasil karya Paul Sabatier dkk pada pertengahan 1980 –an mencakup berbagai tahapan dai model proses kebijakan. Diposkan oleh avirista midaada di 21.17 http://avirista.blogspot.com/2012/12/model-proses-menurut-smith.html



Teori implementasi Kebijakan



Pendekatan-pendekatan dalam Implementasi Kebijakan Dalam sejarah perkembangan studi implementasi kebijakan dijelaskan tentang adanya dua pendekatan guna memahami implementasi kebijakan secara sederhana, yakni pendekatan top down dan pendekatan bottom up. Pendekatan ini selanjutnya dikenal dengan the command and control approach (pendekatan kontrol dan komando yang mirip dengan top down approach) dan the market approach (pendekatan pasar yang mirip dengan bottom up approach). Penjelasan tentang pendekatan top down awalnya adalah pendekatan yang paling banyak digunakan oleh pembuat kebijakan publik, walaupun dikemudian hari terdapat pula kelemahan-kelemahan dalam pendekatan ini sehingga menimbulkan perdebatan-perdebatan yang menghasilkan pendekatan baru bernama bottom up approach. Dalam pendekatan top down, implementasi kebijakan dilakukan secara tersentralisasi dan dimulai dari aktor di tingkat pusat, serta keputusannya pun dilakukan pada tingkat pusat. Pendekatan ini bertitik tolak pula dari perspektif bahwa keputusankeputusan politik (kebijakan publik) yang telah ditetapkan oleh pembuat kebijakan harus dilaksanakan oleh administrator-administrator atau birokrat-birokrat pada level dibawahnya. Inti pendekatan ini secara sederhana dapat dimengerti sebagai sejauhmana tindakan para pelaksana (admnistrator dan birokrat) sesuai dengan prosedur serta tujuan yang telah digariskan oleh para pembuat kebijakan ditingkat pusat. Maka untuk memahami pendekatan yang kedua yaitu bottom up, pada intinya bertitik tolak pada asumsi-asumsi yang sama dan memahaminya adalah secara terbalik dari apa yang kita pahami pada pendekatan top down. Untuk lebih memahami tentang pendekatan-pendekatan dalam implementasi kebijakan akan dijelaskan sebagai berikut : I. Implementasi kebijakan Model George C. Edward III Beberapa ilmuan penganut aliran Top Down salah satunya adalah George C. Edward III. Model Implementasi kebijakan yang dikembangkan oleh George C. Edward III yang menamakan model implementasi kebijakan publiknya dengan Direct and Indirect Impact On Implementation dalam Leo Agustino (2008:149) dimana terdapat empat variabel yang sangat menentukan keberhasilan implementasi suatu kebijakan yaitu : (1) Komunikasi, (2) Sumberdaya, (3) Disposisi, (4) Struktur Birokrasi. 1. Komunikasi Variabel pertama yang mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu kebijakan menurut George C. Eward III, adalah komunikasi. Komunikasi menurutnya lebih lanjut sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan dari implementasi kebijakan publik. Implementasi yang efektif terjadi apabila para pembuat keputusan sudah mengetahui apa yang akan mereka kerjakan. Pengetahuan atas apa yang akan mereka kerjakan dapat berjalan bila komunikasi berjalan dengan baik, sehingga setiap keputusan kebijakan dan peraturan implementasi harus ditransmisikan (atau dikomunikasikan) kepada bagian personalia yang tepat. Selain itu, kebijakan yang dikomunikasikan pun harus tepat, akurat, dan konsisten. Komunikasi (atau pentransmisian informasi) diperlukan agar para pembuat keputusan di dan para implementor akan semakin



konsisten dalam melaksanakan setiap kebijakan yang akan diterapkan dalam masyarakat. Terdapat tiga indikator yang dapat dipakai (atau digunakan) dalam mengukur keberhasilan variabel komunikasi tersebut di atas, yaitu: a. Transmisi; penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan suatu implementasi yang baik pula. Seringkali yang terjadi dalam penyaluran komunikasi adalah adanya salah pengertian (miskomunikasi), hal tersebut disebagiankan karena komunikasi telah melalui beberapa tingkatan birokrasi, sehingga apa yang diharapkan terdistorsi di tengah jalan. b. Kejelasan; komunikasi yang diterima oleh para pelaksana kebijakan (street-levelbureuacrats) haruslah jelas dan tidak membingungkan (tidak ambigu/mendua). Ketidakjelasan pesan kebijakan tidak selalu menghalangi implementasi, pada tataran tertentu, para pelaksana membutuhkan fleksibilitas dalam melaksanakan kebijakan. Tetapi pada tataran yang lain hal tersebut justru akan menyelewengkan tujuan yang hendak dicapai oleh kebijakan yang telah ditetapkan. c. Konsistensi; perintah yang diberikan dalam pelaksanaan suatu komunikasi haruslah konsisten dan jelas (untuk diterapkan atau dijalankan). Karena jika perintah yang diberikan sering berubah-ubah, maka dapat menimbulkan kebingungan bagi pelaksana di lapangan.



2. Sumberdaya Variabel atau faktor kedua yang mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu kebijakan adalah sumberdaya. Sumberdaya merupakan hal penting lainnya, menurut George C. Edward III dalam Leo Agustino (2008 : 151) dalam mengimplementasikan kebijakan. Indikator sumber-sumberdaya terdiri dari beberapa elemen, yaitu: a. Staf; sumberdaya utama dalam implementasi kebijakan adalah staf. Kegagalan yang sering terjadi dalam implementasi kebijakan salah satunya disebagiankan oleh karena staf yang tidak mencukupi, memadai, ataupun tidak kompeten dibidangnya. Penambahan jumlah staf dan implementor saja tidak mencukupi, tetapi diperlukan pula kecukupan staf dengan keahlian dan kemampuan yang diperlukan (kompeten dan kapabel) dalam mengimplementasikan kebijakan atau melaksanakan tugas yang diinginkan oleh kebijakan itu sendiri. b. Informasi; dalam implementasi kebijakan, informasi mempunyai dua bentuk, yaitu pertama informasi yang berhubungan dengan cara melaksanakan kebijakan. Implementor harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan disaat mereka diberi perintah untuk melakukan tindakan. Kedua informasi mengenai data kepatuhan dari para pelaksana terhadap peraturan dan regulasi pemerintah yang telah ditetapkan. Implementor harus mengetahui apakah orang lain yang terlibat di dalam pelaksanaan kebijakan tersebut patuh terhadap hukum. c. Wewenang; pada umumnya kewenangan harus bersifat formal agar perintah dapat dilaksanakan. Kewenangan merupakan otoritas atau legitimasi bagi para pelaksana dalam melaksanakan kebijakan yang ditetapkan secara politik. Ketika wewenang itu nihil, maka kekuatan para implementor dimata publik tidak terlegitimasi, sehingga dapat menggagalkan proses implementasi kebijakan. Tetapi, dalam konteks yang lain, ketika wewenang formal tersebut ada, maka sering terjadi kesalahan dalam melihat efektivitas



d.



3.



a.



b.



kewenangan. Di satu pihak, efektivitas kewenangan diperlukan dalam pelaksanaan implementasi kebijakan tetapi di sisi lain, efektivitas akan menyurut manakala wewenang diselewengkan oleh para pelaksana demi kepentingannya sendiri atau demi kepentingan kelompoknya. Fasilitas; fasilitas fisik juga merupakan faktor penting dalam implementasi kebijakan. Implementor mungkin memiliki staf yang mencukupi, mengerti apa yang harus dilakukannya, dan memiliki wewenang untuk melaksanakan tugasnya, tetapi tanpa adanya fasilitas pendukung (sarana dan prasarana) maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan berhasil. Disposisi Disposisi atau sikap dari pelaksana kebijakan adalah faktor penting ketiga dalam pendekatan mengenai pelaksanaan suatu kebijakan publik. Jika pelaksanaan suatu kebijakan ingin efektif, maka para pelaksana kebijakan tidak hanya harus mengetahui apa yang akan dilakukan tetapi juga harus memiliki kemampuan untuk melaksanakannya, sehingga dalam praktiknya tidak terjadi bias. Hal-hal penting yang perlu dicermati pada variabel disposisi, menurut George C. Edward III dalam Leo Agustino (2006 : 152), adalah: Pengangkatan birokrat; disposisi atau sikap para pelaksana akan menimbulkan hambatan-hambatan yang nyata terhadap implementasi kebijakan bila personil yang ada tidak melaksanakan kebijakan-kebijakan yang diinginkan oleh pejabat-pejabat tinggi. Karena itu, pemilihan dan pengangkatan personil pelaksana kebijakan haruslah orang-orang yang memiliki dedikasi pada kebijakan yang telah ditetapkan; lebih khusus lagi pada kepentingan warga. Insentif; Edward menyatakan bahwa salah satu teknik yang disarankan untuk mengatasi masalah kecenderungan para pelaksana adalah dengan memanipulasi insentif. Oleh karena itu, pada umumnya orang bertindak menurut kepentingan mereka sendiri, maka memanipulasi insentif oleh para pembuat kebijakan mempengaruhi tindakan para pelaksana kebijakan. Dengan cara menambah keuntungan atau biaya tertentu mungkin akan menjadi faktor pendukung yang membuat para pelaksana kebijakan melaksanakan perintah dengan baik. Hal ini dilakukan sebagai upaya memenuhi kepentingan pribadi (self interest) atau organisasi.



4. Struktur Birokrasi Variabel keempat, menurut Edward III, yang mempengaruhi tingkat keberhasilan implementasi kebijakan publik adalah struktur birokrasi. Walaupun sumber-sumber untuk melaksanakan suatu kebijakan tersedia, atau para pelaksana kebijakan mengetahui apa yang seharusnya dilakukan, dan mempunyai keinginan untuk melaksanakan suatu kebijakan, kemungkinan kebijakan tersebut tidak dapat terlaksana atau terealisasi karena terdapatnya kelemahan dalam struktur birokrasi. Kebijakan yang begitu kompleks menuntut adanya kerjasama banyak orang, ketika struktur birokrasi tidak kondusif pada kebijakan yang tersedia, maka hal ini akan menyebagiankan sumberdaya-sumberdaya menjadi tidak efektif dan menghambat jalannya kebijakan. Birokrasi sebagai pelaksana sebuah kebijakan harus dapat mendukung kebijakan yang telah diputuskan secara politik dengan jalan melakukan koordinasi dengan baik. Dua



karakteristik menurut Edward III yang dapat mendongkrak kinerja struktur birokrasi/organisasi ke arah yang lebih baik, adalah: melakukan Standar Operating Prosedures (SOPs) dan melaksanakan Fragmentasi. SOPs adalah suatu kegiatan rutin yang memungkinkan para pegawai (atau pelaksana kebijakan/administratur/birokrat) untuk melaksanakan kegiatan-kegiatannya pada tiap harinya sesuai dengan standar yang ditetapkan (atau standar minimum yang dibutuhkan warga). Sedangkan pelaksanaan fragmentasi adalah upaya peyebaran tanggungjawab kegiatan-kegiatan atau aktivitas-aktiuvitas pegawai diantara beberapa unit kerja. II. Implementasi Kebijakan Model Van Metter dan Van Horn Model pendekatan top-down yang dirumuskan oleh Donald Van Metter dan Van Horn sebagaimana dalam Agustino (2008:141) disebut dengan A model of the Policy Implementation. Dalam teori ini ada enam variabel yang mempengaruhi kinerja suatu kebijakan, yaitu : 1. Ukuran dan Tujuan Kebijakan Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya jika-dan-hanyajika ukuran dan tujuan dari kebijakan memang realisits dengan sosi-kultur yang mengada pada level pelaksana kebijakan. Ketika ukuran kebijakan atau tujuan kebijakan terlalu ideal (bahkan terlalu utopis) untuk dilaksanakan di level warga, maka agak sulit memang merealisasikan kebijakan public hingga titik yang dapat dikatakan berhasil. 2. Sumberdaya Keberhasilan proses implementasi kebijakan sangat terbantung dari kemampuan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia. Manusia merupakan sumberdaya yang terpenting dalam menentukan suatu keberhasilan proses implementasi. Tetapi di luar sumberdaya manusia, sumberdaya-sumberdaya lain yang perlu diperhitungkan juga adalah sumber daya financial dan sumberdaya waktu. Ketiga sumber daya ini akan saling mendukung dalam implementasi sebuah kebijakan. 3. Karakteristik Agen Pelaksana Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan informal yang akan terlibat pengimplementasian kebijakan public. Hal ini sangat penting kerena kinerja implementasi akan sangat banyak dipengaruhi oleh ciri-ciri yang tepat serta cocok dengan para agen pelaksananya. Selain itu, cakupan atau luas wilayah implementasi kebijakan perlu juga diperhitungkan manakala hendak menentukan agen pelaksana. Semakin luas cakupan implementasi kebijakan, maka seharusnya semakin besar pula agen yang dilibatkan. 4. Sikap/Kecenderungan para Pelaksana Sikap penerimaan atau penolakan dari agen pelaksana akan sangat banyak mempengaruhi keberhasilan atau tidaknya kinerja implementasi kebijakan public. Hal ini sangat mungkin terjadi oleh karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat yang mengenal betul persoalan dan permasalahan yang mereka rasakan. Tetapi kebijakan yang akan diimplementasikan adalah kebijakan “dari atas” yang sangat mungkin para pengambil keputusannya tidak pernah mengetahui (bahkan tidak menyentuh) kebutuhan, keinginan, atau permasalahan yang warga ingin selesaikan. 5. Komunikasi Antarorganisasi dan Aktivitas Pelaksana



Koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi kebijakan. Semakin baik koordinasi komunikasi di antara pihak-pihak yang terlibat dalam suatu proses implementasi, maka asumsinya kesalahan-kesalahan akan sangat kecil untuk terjadi. 6. Lingkungan Ekonomi, Sosial, dan Politik Hal terakhir yang perlu juga diperhatikan guna menilai kinerja implementasi kebijakan dalam perspektif yang ditawarkan adalah sejauh mana lingkungan eksternal turut mendorong keberhasilan kebijakan yang telah ditetapkan. Lingkungan sosial, ekonomi, dan politik yang tidak kondusif dapat menjadi biang keladi dari kegagalan kinerja implementasi kebijakan. Karena itu, upaya untuk mengimplementasikan kebijakan harus pula memperhatikan kekondusifan kondisi lingkungan eksternal. III. Implementasi Kebijakan Model Daniel Mazmanian dan Paul Sebastier Model implementasi kebijakan yang lain ditawarakan oleh Daniel Mazmanian dan Paul Sebastier dalam Wahab ( 2010 ). Model implementasi ini mereka sebut dengan A Framework for Policy Implementation Analiysis. Kedua ahli ini berpendapat bahwa peran penting dari analisis implementasi kebijaksanaan Negara ialah mengidentifikasi variabel-variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi. Adapun secara garis besar variabel-variabel yang dimaksud di kategorikan dalam tiga kategori besar, yaitu : a. Mudah tidaknya masalah yang akan digarap dikendalikan b. Kemampuan keputusan kebijaksanaan untuk menstrukturkan secara tepat proses implementasinya; dan c. Pengaruh langsung pelbagai variabel politik terhadap keseimbangan dukungan bagi tujuan yang termuat dalam keputusan kebijaksanaan tersebut. IV. Implementasi Kebijakan Model Goggin Malcolm Goggin, Ann Bowman, dan James Lester mengembangkan apa yang disebutnya sebagai: “Generasi Ketiga Model Implementasi Kebijakan” (1990) dalam Harbani Pasolong (2011:58). Goggin, dkk. Bertujuan mengembangkan sebuah model implementasi kebijakan yang lebih ilmiah dengan menggunakan pendekatan metode penelitian dengan adanya variabel independen, intervening, dan dependen, dan meletakkan faktor “komunikasi” sebagai penggerak dalam implementasi kebijakan. V. Implementasi Kebijakan Model Shabbir Cheema dan Denis A. Rondineli Shabbir Cheema dan Denis A. Rondineli dalam Subarsono ( 2010 ) berpendapat bahwa ada empat kelompok Variabel yang mempengaruhi kinerja dan dampak suatu program, yakni : i. Kondisi Lingkungan ii. Hubungan antar organisasi iii. Sumber daya organisasi untuk implementasi program iv. Karakteristik dan Kemampuan agen Pelaksana VI. Implementasi Kebijakan Model Adam Smith Ahli kebijakan yang lebih memfokuskan model implementasi kebijakan dalam persfektif bottom up adalah Adam Smith. Menurut Smith dalam Islamy (2007), implementasi kebijakan dipandang sebagai suatu proses atau alur. Model Smith ini memandang proses implementasi kebijakan dari proses kebijakan dari persfekti perubahan social dan politik, dimana kebijakan yang dibuat oleh pemerintah bertujuan untuk mengadakan perbaikan atau perubahan dalam masyarakat sebagai kelompok sasaran. Menurut



Smith dalam Islamy (2001), implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variable, yaitu :  Idealized policy : yaitu pola interaksi yang digagas oleh perumus kebijakan dengan tujuan untuk mendorong, mempengaruhi dan merangsang target group untuk melaksanakannya.  Target groups : yaitu bagian dari policy stake holders yang diharapkan dapat mengadopsi pola-pola interaksi sebagaimana yang diharapkan oleh perumus kebijakan. Karena kelompok ini menjadi sasaran dari implementasi kebijakan, maka diharapkan dapat menyesuaikan pola-pola perilakukan dengan kebijakan yang telah dirumuskan.  Implementing organization : yaitu badan-badan pelaksana yang bertanggung jawab dalam implementasi kebijakan.  Environmental factors : unsur-unsur di dalam lingkungan yang mempengaruhi implementasi kebijakan seperti aspek budaya, sosial, ekonomi dan politik. VII. Implementasi Kebijakan Model D.L . Weimer dan Aidan R. Vining Salah satu pendapat yang menarik tentang keberhasilan dan kegagalan dari implementasi suatu kebijakan disampaikan oleh D.L . Weimer dan Aidan R. Vining dalam Harbani Pasolong (2011). Setelah mempelajari berbagi literatur tentang implementasi. Menurut mereka ada tiga faktor umum yang mempengaruhi keberhasilan yaitu : i. Logika yang digunakan oleh suatu kebijakan, yaitu sampai seberapa benar teori yang menjadi landasan kebijakan atau seberapa jauh hubungan logis antara kegiatan – kegiatan yang dilakukan dengan tujuan atau sasaran yang telah ditetapkan. ii. Hakekat kerjasama yang dibutuhkan ,yaitu apakah semua pihak yang terlibat dalam kerjasama telah merupakan suatu assembling produktif. iii. Ketersediaan sumber daya manusia yang memiliki kemampuan, komitmen untuk mengelola pelaksanaanya. http://ppu90.blogspot.com/2013/09/teori-implementasi-kebijakan.html