Indahnya Toleransi Antar Umat Beragama [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Indahnya Toleransi Antar Umat Beragama 24 May, 2017   in  Berita  / Pojok Literasi PAI   tagged Alquran  / Antar Umat  / Indah  / manusia  /  sesama  /  toleransi  by umsby2015



“Sikap toleransi sangat dianjurkan bagi umat yang beragama, andai kata umat beragama tidak memiliki sikap tersebut, maka akan timbul diskriminasi antara kaum mayoritas terhadap kaum minoritas” Oleh : Sri Wahyuni              Toleransi antar umat beragama sangatlah dibutuhkan di negeri ini. Mengingat Negara Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya, suku, ras dan agama. Sebelum membahas toleransi beragama, kita harus tahu dan paham arti dari kata toleransi. Toleransi adalah sikap  tenggang rasa, menghargai, membolehkan, membiarkan orang lain berpendapat lain, melakukan hal-hal yang tidak sependapat dengan kita tanpa melakukan diskriminasi ataupun intimidasi. Toleransi dalam bahasa arab dikenal dengan istilah tasamuh artinya sama-sama berlaku baik, lemah-lembut, dan saling memaafkan. Toleransi dalam pandangan islam adalah sikap saling menghargai dan menghormati keyakinan dan agama orang lain, bukan menyamakan atau mencampuradukkan agama lain dengan keyakinan islam itu sendiri. Akan tetapi, sikap toleransi yakni membiarkan orang lain menjalankan ibadahnya menurut keyakinannya masing-masing. Konsep toleransi dalam beragama dalam islam yang paling penting adalah tidak bersikap sinkretisme artinya mencari kesamaan antara agama islam dengan agama lain sehingga timbul kesetaraan. Sikap inilah yang dilarang oleh Allah karena dapat menimbulkan syirik (menyekutukan Allah). Sebab dalam Al Qur’an Surat Ali Imran :19  sudah dijelaskan yang artinya “agama yang di ridha’i disisi Allah hanyalah islam”, firman Allah SWT yang lain dalam surat Al Kafirun 1-6 : Artinya : 1. Katakanlah (Muhammad),”Wahai orang-orang kafir! 2. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah 3. Dan aku bukan penyembah apa yang kamu sembah 4. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah 5. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah 6. Untukmu agamamu dan untukku agamamu   Asbabun Nuzulnya Latar belakang diturunkannya surat al kafirun ini adalah karena ajakan orang – orang kafir kepada Rasulullah SAW untuk menyembah tuhan (berhala) yang mereka sembah. Mereka ingin mengajak Rasul dan para sahabat untuk menyembah Tuhan orang – orang musyrik mekkah dalam satu tahun, baru kemudian orang – orang musyrik akan menyembah Allah di tahun berikutnya. Dari peristiwa itu, kemudian Allah SWT menurunkan wahyu kepada Nabi Muhammad SAW untuk menjawab ajakan kaum kafir makkah tersebut.



Kandungan Surat Al Kafirun 1. Kebenaran hanya milik Allah 2. Allah memberikan kebebasan memilih pada umat manusia, antara mau beriman ataupun ingkar. Karena Allah sudah benar-benar menjanjikan bahwasanya jika umat yang beriman akan mendapat balasan surga, dan apabila ingkar balasannya neraka Perilaku yang tercermin dalam Surat Al Kafirun  Memiliki keyakinan yang kuat akan kebenaram agama islam yang dianutnya  Tidak memcampuradukkan perkara aqidah dan ibadah  Bertauhid kepada Allah dan menjauhi perbuatam syirik  Beribadah dengan ikhlas dan benar sesuai tuntunan Rosulullah  Menghormati pemeluk agama lain dan tidak memaksakan agama kepada orang lain  Memberi kebebasan orang lain untuk memeluk suatu agama  Tidak mengganggu orang lain yang berbeda keyakinan ketika mereka beribadah  Saling menghormati antara pemeluk agama yang satu dengan pemeluk agama yang lain. (PPT, Sri Wahyuni, Tafsir Tarbawi) Konsep toleransi dalam beragama dalam islam yang kedua adalah tidak memaksakan agama islam kepada pemeluk agama lain. Contoh : memaksa seorang umat kristiani untuk memeluk atau menganut ajaran islam. Ini contoh kasus yang salah, sebab islam mengajarkan tidak ada paksaan dalam memeluk agama islam. Allah berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 256 yang artinya : Artinya : Tidak ada paksaan dalam masuk ke dalam islam, karena telah jelas antara petunjuk dari kesesatan. Maka barang siapa yang ingkar kepada toghut dan beriman kepada Allah, sesungguhnya dia telah berpegang kepada buhul tali yang kuat yang tidak pernah putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Kandungan surat Al Baqarah 256 : Janganlah memaksa seorangpun untuk masuk islam. Islam adalah agama yang jelas dan gamblang tentang semua ajaran dan bukti kebenarannya, sehingga tidak perlu memaksakan seseorang untuk masuk ke dalamnya. Orang yang mendapat hidayah, terbuka, lapang dadanya, dan terang mata hatinya pasti akan masuk islam dengan bukti yang kuat. Dan barang siapa yang buta mata hatinya, tertutup penglihatan dan pendengarannya maka tidak layak baginya masuk islam dengan paksa. (Tafsir Ibnu Katsir) Konsep toleransi dalam beragama dalam islam yang ketiga adalah toleransi dalam hubungan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Orang islam dianjurkan untuk berbuat adil  dan hidup rukun kepada non muslim selagi non muslim tidak secara terang-terangan menyatakan permusuhan kepada kaum muslim, artinya islam menganjurkan agar berbuat baik kepada kaum kuffar selama mereka sama-sama berbuat baik dan tidak memusuhi umat islam selama tidak melanggar ajaran dan ketentuan agama islam. Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa toleransi antar umat beragama yaitu larangan mendiskriminasi agama orang lain dalam kehidupan umat beragama. Selain alasan diatas, kita harus punya kesadaran bahwa tujuan kita beragama sendiri ialah bukan untuk menindas orang lain atau kaum tertentu. Yang menjadi lawan ataupun musuh tiap agama bukanlah umat beragama lain melainkan setan. Sikap toleransi sangat dianjurkan bagi umat yang beragama, andai kata umat beragama tidak memiliki sikap tersebut, maka akan timbul diskriminasi kaum mayoritas terhadap kaum minoritas. Kaum yang dianggap kecil akan di tindas baik secara fisik maupun non fisik.  Jika itu sampai terjadi terus menerus, maka banyak hal buruk yang akan terjadi seperti pertikaian antar pemeluk agama bahkan bisa memicu antar Negara. Kejadian seperti ini didasari beberapa hal :



1. Perdebatan agama Realitanya, kita hidup berdampingan dengan umat beragama lain di lingkungan kita. Biasanya, dibenak kita muncul suatu pemikiran dan bertanya –tanya apa yang mereka lakukan dalam beribadah. Kemudian akan timbul perdebatan kecil  yang kemudian terus berkembang dan tidak akan akan pernah selesai karena dasar yang di pegang berbeda. 2. Salah Tafsir Banyak sekali perdebatan yang di mulai dari salah tafsir, sebab hal seperti ini lebih berbahaya. Oleh karena itu diperlukan tokoh agama yang baik dan benar untuk meluruskannya. 3. Mudah Terprovokasi Terkadang sekelompok orang yang mempunyai kepentingan, akan memanfaatkan keberagaman umat beragama untuk mencapai apa yang mereka inginkan sehingga timbullah pertikaian. (“Toleransi Umat Beragama”, Pendidikan Hidup Anak Muda, http://tommysatriyadi.blogspot.com) (diakses 24 Maret 2017) 4. Para pemeluk agama tidak mampu menehan diri, sehingga kurang menghormati bahkan memandang rendah agama lain 5. Kecurigaan masing-masing akan kejujuran pihak lain, maupun antara umat beragama dengan pemerintah, dan 6. Kurangnya saling pengertian dalam menghadapi masalah perbedaan pendapat.             Agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, hendaklah kita hidup bertoleransi terhadap agama lain seperti : 1. Saling menghargai 2. Saling menolong 3. Menghormati orang lain pada saat melakukan ibadah 4. Menghormati acara umat lain 5. Tidak mengganggunya, tidak membuat kegaduhan dan berisik. 6. Bisa menerima pendapat orang lain 7. Menjaga Sopan Santun/etika 8. Berteman dengan semua penganut agama (tidak memilih-milih teman) Dengan begitu, sikap toleransi antar umat beragama akan terjalin. Sehingga tidak akan terjadi perpecahan dan dapat mempererat hubungan sesama manusia. Daftar Rujukan Al Qur’anul Karim Ajat Sudrajat. Din Al Islam. Yogyakarta:UNY Press, 2008. PPT Tafsir Tarbawi , Sri Wahyuni http://tommysatriyadi.blogspot.com) (diakses 24 Maret 



Merenungkan Toleransi 22 Juli 2014



©Maria.bal Hari demi hari, kata “toleransi” makin akrab dengan telinga kita. Beberapa waktu yang lalu, ketika Yogyakarta digoncang sejumlah kasus kekerasan, berbagai pihak menyerukan agar bangsa ini memperkuat sendi-sendi toleransinya. Argumennya beragam: ada yang ingin kembali ke Pancasila, ada yang bilang bahwa tiap agama pada dasarnya cinta damai, ada pula yang menyitir satu dua pendapat dari filsuf-filsuf pasca-modern Perancis. Terlepas dari semua perbedaan argumen-argumen itu, pada akhirnya, semua pendapat merujuk ke muara yang sama: jadilah orang yang toleran. Tetapi, apakah “toleransi” itu? Toleransi merupakan sebuah kata yang lebih sering dipakai dalam perbincangan kita seharihari daripada dipahami maksudnya. Hari ini___seperti yang dikritik oleh Wendy Brown (2006)__tuntutan untuk menjadi toleran menyebar sedemikian cepat sementara kita tertatihtatih untuk memahami istilah “toleransi” itu dengan memadai. Akibatnya, sikap kita ___yang dimaksudkan sebagai sebuah sikap toleran___menjadi rancu dan seringkali membingungkan. Apakah dengan menjadi toleran maka seseorang tidak perlu mempedulikan tindak-tanduk orang lain? Apakah dengan menjadi toleran maka kita harus sepakat dengan semua pilihan orang lain? Apakah toleransi berarti meniadakan benar dan salah di dunia ini? Keterbatasan Toleransi berangkat dari asumsi bahwa manusia punya keterbatasan dalam mengetahui segala sesuatu. Artinya, manusia tidak sepenuhnya bisa tahu apa saja yang benar di dunia ini. Meski manusia menyadari bahwa dirinya adalah makhluk yang terbatas, ia sendiri tak tahu sejauh mana batasan dirinya untuk menemui kebenaran. Manusia dapat mengetahui batasan dirinya jika ia terus merangsek maju untuk mencari kebenaran hingga ia tiba di titik dimana ia tak mampu lagi melangkah lebih jauh. Namun, mengingat manusia memiliki keterbatasan yang inheren di dalam dirinya, setiap gerak maju manusia untuk menemui kebenaran selalu mengandung potensi kesalahan. Sederhananya, manusia harus berusaha mencari kebenaran dalam hidupnya sambil di saat yang sama terus-menerus mengakui bahwa ia bisa saja telah menarik kesimpulan yang salah soal apa yang benar itu. Cara pikir ini menjadi landasan penting bagi sikap toleran. Ketika kita memiliki niat untuk mengetahui apa yang benar sambil di saat yang sama mengakui keterbatasan diri kita, kita akan menjadi terbuka terhadap segala kritik dan dialog bersama orang lain yang barangkali punya pandangan berbeda. Harapannya, lewat dialog itu, tiap orang bisa saling mengkoreksi pandangan dirinya yang salah sambil di saat yang sama menambal kelemahan-kelemahan pandangan orang lain. Ringkasnya, dialog akan menjadi wahana bersama bagi masyarakat untuk mencari tahu apa yang benar bagi mereka. Dialog adalah fitur khas masyarakat toleran. Masyarakat yang tidak mengakui bahwa manusia memiliki kemampuan mengetahui namun terbatas tidak akan mampu menyelenggarakan dialog. Mereka entah terjebak dalam sikap (1) menolak mengakui bahwa



manusia memiliki keterbatasan untuk mengetahui atau (2) menolak mengakui bahwa manusia punya kapasitas untuk mengetahui. Sikap masyarakat toleran pada dasarnya bersifat moderat. Mereka mengakui bahwa manusia punya kapasitas untuk mencari tahu apa yang benar. Tetapi, mereka juga mengakui bahwa manusia punya kapasitas yang terbatas. Sementara itu, dua sikap di atas __nomor (1) dan (2)__berada di titik ekstrim. Sikap nomor (1) kita sebut fanatisme. Sedangkan sikap nomor (2) kita sebut relativisme. Berbeda dengan toleransi, fanatisme tidak mengakui bahwa manusia punya batas. Dengan asumsi yang demikian, maka manusia bisa mencapai kebenaran yang tidak punya retak sama sekali: sebuah kebenaran final yang tak dapat dipertanyakan, dikritisi atau didialogkan. Singkatnya: sebuah kesempurnaan. Beda lagi dengan relativisme. Jika fanatisme menihilkan kemampuan manusia untuk salah, relativisme menihilkan kemampuan manusia untuk mencari tahu apa yang benar dan salah. Tak ada dasar, bagi para relativis, untuk bilang bahwa sesuatu lebih baik atau lebih buruk dari yang lain. Selain itu, relativisme mengakui bahwa tiap manusia punya keberbedaan absolut yang membuat masing-masing dari kita berbeda sepenuhnya dengan satu sama lain. Akibatnya, adalah tidak mungkin untuk menerjemahkan apa yang dimaksud oleh si A dari sudut pandang si B. Ketidakmungkinan ini menyebabkan dialog sukar terjadi (Fiala, 2005). Toleransi pada dasarnya berdiri di antara fanatisme di satu sisi dan relativisme di lain sisi. Tetapi, hari ini, toleransi justru seringkali diidentikkan dengan relativisme. Perbedaan pilihan antara dua orang seringkali diakhiri dengan kalimat “Sudahlah, itu kan hidup dia” alih-alih dialog yang mencerahkan. Kritisisme terhadap pilihan seseorang dianggap tabu. Menjadi toleran hari ini berarti menjadi orang yang membenarkan segala pilihan orang lain. Menilai dan Memutuskan Di samping punya asumsi dasar yang berbeda, toleransi dan relativisme juga dibedakan berdasarkan bagaimana proses sebelum seseorang memutuskan sikapnya. Dua orang, A dan B, barangkali sama-sama tidak memukul penganut agama lain dengan linggis. Akan tetapi, belum tentu bahwa keduanya adalah orang yang sama-sama toleran. Lantas, dimana letak perbedaannya? Seseorang yang toleran memutuskan untuk bertindak toleran. Bertindak toleran berarti memutuskan untuk tidak menolak sesuatu yang sesungguhnya tidak disepakati (Fiala, 2005; Scanlon, 2003). Artinya, menoleransi sesuatu berarti dimulai dengan menilai sesuatu, memutuskan bahwa itu buruk/tidak tepat/tidak disukai, tetapi pada akhirnya memutuskan untuk tidak memaksa sesuatu itu berubah menjadi apa yang kita inginkan. Meski tidak menolak, bukan berarti bahwa seseorang tak boleh mengkritisi pilihan orang lain. Seperti yang telah diulas di atas, toleransi berangkat dari asumsi bahwa pilihan seseorang bisa jadi salah karena manusia punya keterbatasan yang mengeram di dalam dirinya. Oleh karena itu, adalah wajar jika pilihan seorang manusia dikritik oleh manusia lainnya. Akan tetapi, perlu digarisbawahi bahwa tujuan kritik bukanlah mewartakan klaim kebenaran karena sang pengkritik pun merupakan manusia yang punya potensi untuk salah. Kritik dan dialog adalah cara manusia untuk berefleksi lebih jauh untuk meninjau apakah keyakinan yang ia pegang sudah tepat. Sementara itu, relativisme, yang menganggap bahwa manusia satu sama lain memiliki keberbedaan absolut, tidak dapat melakukan penilaian karena standar nilai seseorang tak bisa digunakan untuk menilai tindakan orang lain. Dalam kondisi ini, seorang relativis tak dapat dikatakan menoleransi sesuatu karena ia sendiri tak dapat memutuskan apakah tindakan orang lain dapat dikatakan baik atau buruk.



Penutup Penelusuran kita sejauh ini telah mengklarifikasi sejumlah poin penting dari istilah “toleransi”. Pertama, toleransi hidup dalam masyarakat yang menyadari bahwa mereka adalah makhluk terbatas, tetapi mereka tidak lantas menyerah untuk mencari tahu apa yang benar. Kedua, toleransi melibatkan kemampuan untuk menilai baik dan buruknya sesuatu. Menjadi toleran tidak sama dengan menjadi seorang relativis. Apa yang menonjol dari seseorang yang toleran bukanlah keyakinannya bahwa segala sesuatu dapat dibenarkan, melainkan justru perilakunya yang menghargai tiap manusia, mengutamakan dialog, kerelaannya untuk dikritik maupun mengkritik serta penolakannya untuk memaksakan kehendak.



Jelang Perayaaan Natal, Siswa SD di Kota Madiun Tunjukkan Sikap Toleransi Jumat, 20 Desember 2019 - 19:42 |  67.26k



K eakraban siswa SDN Nambangan Lor 01 saat berkunjung di SDK Santa Maria Kota Madiun. (Foto: Ito Wahyu U/TIMESIndonesia) Pewarta: Ito Wahyu Utomo (MG-204) | Editor: Faizal R Arief TIMESINDONESIA, MADIUN – Pentingnya menjaga toleransi antar umat beragama perlu ditanamkan sejak dini. Hal ini terlihat saat sejumlah siswa dan guru SDN 01 Nambangan Lor Kota Madiun berkunjung ke SDK Santa Maria Kota Madiun, Jumat (20/12/2019). Saat kunjungan, siswa SDN 01 Nambangan Lor membawa tumpeng. Mereka bermaksud mengucapkan selamat  merayakan Natal kepada siswa dan guru SDK Santa Maria.



Kegiatan tersebut juga dihadiri Wakil Walikota Madiun, Inda Raya Ayu Miko Saputri. Wawali memotong tumpeng kemudian menyerahkannya kepada siswa SDN 01 Nambangan Lor untuk diberikan kepada perwakilan siswa SDK Santa Maria. Kegiatan tersebut merupakan salah satu contoh dan bukti nyata merajut kebhinekaan. Sekaligus sebagai bentuk pembelajaran kepada anak sejak dini tentang menghargai dan menjaga kerukunan antar umat beragama. Salah satu siswa SDN 01 Nambangan Lor, Maharani Ayuningratri merasa senang karena dapat bertemu dengan siswa SDK Santa Maria. Apalagi, kegiatan ini baru kali pertama dilakukannya. Dalam kegiatan ini ia juga menyerahkan pohon jeruk yang dijadikan sebagai simbol persatuan. "Ini baru pertama kali dilakukan, ya senang banget bisa berkunjung ke sini. Kita sama-sama anak Indonesia. Saya ingin mengucapkan selamat merayakan Natal kepada teman-teman di SDK Santa Maria," ujarnya,



Hal sama disampaikan Maria, Dominique Flamenca Violize Fatlolon siswa SDK Santa Maria, yang merasa senang dengan kedatangan siswa SDN 01 Nambangan Lor. Dengan begitu, ia bisa mengenal satu sama lain agar lebih banyak kawan. "Saya berterimakasih kepada keluarga besar SDN 01 Nambangan Lor karena telah berkunjung dan memberikan tumpeng. Ini juga sebagai bentuk toleransi antar umat beragama dan jadikan perbedaan ini menjadi sesuatu yang indah," ungkapnya. Sementara itu Wakil Wali Kota Madiun, Inda Raya mengapresiasi kegiatan yang dilakukan pelajar di Kota Madiun. Hal itu menjadi langkah yang baik sebagai bentuk nyata dari toleransi di Kota Madiun. Wawali juga mengimbau pada masyarakat untuk senantiasa menjaga kerukunan demi terciptanya keamanan dan kedamaian di Kota Madiun "Ini adalah wujud nyata dari hidup berdampingan dan toleransi di masyarakat. Ini juga merupakan wujud kebersamaan di Kota Madiun yang sudah nyaman dan damai ini," ujar Inda Raya di hadapan siswa dan guru SDN 01 Nambangan Lor dan SDK Santa Maria Kota Madiun. (*)



Toleransi dalam Bingkai NKRI Senin 13 Feb 2017 06:07 WIB Red: M.Iqbal



Potret toleransi beragama di Indonesia Foto: Edwin/Republika REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Danang Aziz Akbarona *) Ada pihak-pihak yang mengembuskan opini (gerakan massa) aksi bela Islam sebagai tindakan intoleran, mengganggu kebinekaan, memecah belah persatuan, bahkan mengancam eksistensi Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Padahal sumber kegaduhan itu berangkat dari pernyataan dan sikap seorang pejabat publik yang dinilai telah menistakan Alquran, tidak peka terhadap keberagaman, acap kali bersikap sarkastis, agresif, dan ofensif. Yang bersangkutan belakangan juga dinilai mendeskriditkan ulama oleh banyak pihak. Lalu, ketika timbul reaksi, mengapa ulama dan umat mayoritas yang sejatinya merupakan korban kegaduhan ini justru dituduh macam-macam?  Artikel singkat ini menjelaskan bagaimana sikap toleransi seharusnya dikembangkan dalam bingkai NKRI dengan merujuk pada konstruksi sistem hukum yang berlaku. Harapannya agar tidak ada pihak yang asal tuduh dan lempar batu sembunyi tangan. Hak Beragama    Hak beragama adalah hak yang sudah lama dikenal dan kemudian dikukuhkan secara universal melalui Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Hak ini secara tegas disebutkan sebagai hak yang paling dasar (basic human rights), hak yang tidak dapat dikurangi atas nama dan/atau karena alasan apapun (non derogable rights).  Pengakuan terhadap hak beragama didasarkan pada satu asas yang fundamental, yaitu penghargaan dan penghormatan terhadap martabat manusia. Sebagai hak yang nonderogable, ia tidak bisa ditangguhkan pemenuhannya oleh negara dalam situasi dan kondisi apa pun, termasuk selama dalam keadaan bahaya, seperti perang sipil atau invasi militer. Dalam konteks Indonesia, negara tegas menjamin kebebasan beragama setiap warga negara. Pasal 29 Ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Jaminan terhadap hak beragama, tidak hanya berupa perlindungan atas pilihan keyakinan seseorang, tetapi juga harus menjamin ekspresi keagamaan yang merupakan bagian dari peribadatan dan ritual keagamaan. Atas dasar penghormatan tersebut, diperkuat dengan fondasional sejarah Indonesia merdeka sebagai negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa (Vide sila pertama Pancasila dan Pasal



29 Ayat (1), negara berkewajiban melindungi setiap agama dari upaya penodaan dan penistaan yang dilakukan oleh siapapun. Negara juga mengembangkan dan mempromosikan sikap toleransi dalam menjalin hubungan antarumat beragama, mencegah berbagai tindakan yang menyulut ketersinggungan umat beragama serta tegas melarang penistaan agama atas nama apapun, termasuk kebebasan.  Untuk itu, UUD 1945 pada Pasal 28J menegaskan keharusan setiap orang menghormati hak asasi orang lain dalam rangka tertib bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pun, setiap orang dalam menjalankan kebebasannya tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum.   Sikap Toleran   Ketentuan konstitusional tersebut hendaknya mendorong kita semua untuk mengembangkan sikap keberagamaan yang mengedepankan kerukunan antarumat beragama. Hal ini tercermin dari penghargaan dan penghormatan umat beragama terhadap eksistensi agama-agama di Indonesia.  Diantara pilar kerukunan antarumat beragama setiap orang dituntut untuk menghormati agama dan nilai ajarannya. Sehingga umat beragama dapat hidup berdampingan secara damai (peacefull coexistency), secara harmonis, dalam suasana kekeluargaan, dan saling beker jasama dalam kebaikan. Dalam ajaran Islam, sikap toleransi dan sekaligus prinsip kebebasan beragama sangat dijunjung tinggi. Hal ini dapat kita temukan dalam Firman Allah SWT: Lakum diinukum waliya diiin. Bagiku agamaku dan bagimu agamamu (QS. Al-Kafirun: 6), yang menegaskan hakikat toleransi dalam beragama.  Selanjutnya Islam menegaskan tidak boleh ada pemaksaan untuk masuk agama Islam, apalagi agama yang lain, yakni dalam firman Allah: ”Laa ikraaha fiddiin” (QS. Al-Baqarah [2]: 256). Ajaran Islam jelas memberikan pengakuan terhadap eksistensi agama selain Islam dan keberadaan penganut-penganutnya.  Bahkan dalam lapangan kehidupan kita diperintahkan untuk berinteraksi dan bekerja sama dalam kebaikan. Penulis yakin ajaran agama lain juga menekankan pentingnya kerukunan antarumat beragama melalui sikap toleransi, penghormatan, dan kasih sayang di antara manusia.  Mencegah intoleransi  Kerukunan antarumat beragama perlu dirawat. Merawatnya dengan berbagai macam cara, tapi yang terpenting cara itu harus didasari atas kesadaran bersama untuk menjaga segala potensi yang merusak bagunan kerukunan berupa sikap intoleransi.  Sikap intoleransi ini diantaranya diekspresikan dengan sikap yang ofensif terhadap ajaran agama tertentu, tidak peka dalam berucap dan bersikap terkait nilai dan ajaran agama tertentu, serta komunikasi yang agresif—tidak asertif—dalam hubungan bermasyarakat yang multiagama. Pada tingkat yang lebih memprihatinkan sikap tersebut bisa berupa penodaan/penistaan terhadap agama dan keseluruhan nilai ajarannya.  Bersyukur negara kita memiliki pendirian dan aturan yang jelas tentang posisi agama dan ancaman terhadap perbuatan yang merusak bangunan kerukunan beragama sebagaimana tersebut di atas. Oleh karena itu, tidak boleh ada di negara ini sikap dan perbuatan yang menghinakan, menodai, dan menistakan agama.  Tidak boleh ada sikap yang menyerang dan merusak nilai dan ajaran agama. Ketegasan sikap negara terhadap intoleransi secara konkret diwujudkan dalam beleid tentang larangan penodaan agama.  Adalah UU Nomor 1/PNPS/1965 pada Pasal 1 yang menyatakan dengan jelas larangan penodaan agama, yaitu “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan,



menganjurkan dan mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari pokok-pokok ajaran agama itu.” UU Penodaan Agama juga memuat ketentuan untuk memperingatkan orang, penganut, anggota dan/atau pengurus organisasi yang melakukan hal-hal yang menyimpang dari pokokpokok ajaran agama. Keputusan untuk memperingatkan tersebut dapat diambil berdasarkan pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung. Apabila dinilai masih terus melanggar, maka perseorangan tersebut dapat dipidana.  UU ini pernah di-uji materi-kan (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi pada 2009. Namun MK justru menguatkan keberadaannya.  Para penggugat mendasarkan argumen mereka pada prinsip kebebasan yang potensial dilanggar dengan UU tersebut. MK menilai UU larangan penodaan agama tetap diperlukan dalam konteks Indonesia sebagai negara relijius (religious nation). Pembatasan kebebasan beragama dapat dilakukan dengan alasan ketertiban umum (public order) untuk menghindari terjadinya kekacauan dan membahayakan masyarakat, sehingga tercipta keharmonisan nasional.  MK juga memberikan justifikasi bahwa penodaan agama masih merupakan tindak pidana di banyak negara dunia. Selain itu, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 156a menyatakan dengan jelas “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: (a) Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; (b) Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.”  Dengan seluruh instrumen tersebut, Indonesia menghendaki satu hubungan keberagamaan yang saling menghormati dan menghargai eksistensi agama dan nilai ajarannya. Oleh karena itu, setiap warga negara wajib mengembangkan sikap yang arif dan bijaksana, mengedepankan kepekaan dan toleransi dalam hubungan antarumat beragama. Konklusi Reaksi atas perilaku yang dinilai menodai agama seperti aksi bela Islam harus dipandang secara positif dan konstruktif sebagai upaya untuk menjaga dan mempromosikan kerukunan antarumat beragama, menjaga kebinekaan Pancasila dan NKRI. Agar setiap orang, apalagi pejabat publik, mawas diri dan tidak berbuat seenaknya, peka terhadap keberagaman, menghormati ajaran agama dan keyakinan, tidak berperilaku kasar dan ofensif terhadap perbedaan apalagi terhadap tokoh ulama yang dihormati umat Islam.  Justru pengabaian sikap-sikap demikian yang menjadi sumber kegaduhan, memecah belah persatuan, antikebhinnekaan, dan membahayakan NKRI yang berdasar pada pengamalan luhur nilai-nilai Pancasila. Pemerintah dan aparat hendaknya memberikan respons positif atas aksi-aksi yang menentang penistaan agama, bukan malah menunjukkan respons yang dipersepsi luas tidak simpatik, resisten, bahkan represif. Hal ini bukan saja tidak tepat tapi juga menjauhkan negara dari nilai-nilai penghormatan terhadap eksistensi agama sebagai pilar kebangsaan dan promosi atas toleransi hidup beragama. 



Ini contoh kerukunan umat beragama di Indonesia yang patut ditiru Kamis, 23 Juli 2015 08:03Reporter : Mustiana Lestari



Ilu strasi masjid dan gereja. ©2015 Merdeka.com/americanbedu.com Merdeka.com - Indonesia sudah tumbuh dan berkembang sebagai negara yang penuh dengan keragaman. Bahasa, agama, dan suku yang berbeda bukan menjadi halangan bagi masyarakat Indonesia untuk hidup berdampingan. Namun tragedi pembakaran kios dan musala di Tolikara, Papua, di hari Raya Lebaran menghentak toleransi antarumat beragama yang selama ini terjalin. Sejumlah menteri menyebut hal itu terjadi di luar kewajaran dan timbul karena provokasi sejumlah pihak. Banyak orang menyayangkan kejadian tersebut, padahal banyak di wilayah Indonesia lain kerukunan antarumat beragama dapat terjalin kuat. Meski berbeda keyakinan, kerukunan umat beragama ini dapat menjadi contoh kebhinekaan yang baik. Berikut adalah kerukunan antarumat yang dapat dijadikan contoh. Muslim dan Nasrani di Solo



i lustrasi masjid. ©2014 Merdeka.com/Shutterstock/Naufal MQ Sejak zaman kemerdekaan, Muslim dan Nasrani di Kelurahan Kratonan, Kecamatan Serengan Solo, mempunyai tempat ibadah yang saling berdampingan, selalu saling bantu dan saling menghormati satu sama lainnya, tanpa pernah diwarnai gesekan sedikit pun. Umat Islam di wilayah ini, melaksanakan kegiatan salat dan ibadah lainnya di Masjid Al Hikmah. Sedangkan umat Nasrani melaksanakan ibadatnya di Gereja Kristen Jawa (GKJ) Joyodiningratan. Uniknya kedua tempat ibadah tersebut saling bersebelahan dan hanya dipisahkan tembok batu bata. Bahkan kedua tepat ibadah tersebut mempunyai alamat yang sama yakni Jalan Gatot Subroto No 222, Solo. "Kami sudah terbiasa saling bantu, saling menghormati sejak puluhan tahun. Masjid dan gereja ini, punya alamat sama, Jalan Gatot Subroto No 222," ujar Takmir Masjid Al Hikmah,



Haji Muhammad Nashir Abu Bakar, Rabu (22/7). Menurut Nashir, kerukunan kedua umat telah berlangsung sejak awal kemerdekaan, pasalnya Masjid Al Hikmah memang dibangun sejak awl kemerdekaan, yakni tahun 1947. Sementara GKJ Joyodiningratan sudah dibangun 10 tahun sebelumnya atau sejak tahun 1937. Pantauan merdeka.com, di gereja tersebut juga digunakan sebagai sekolah taman kanakkanak. Sedangkan di masjid masyarakat juga sering memanfaatkannya untuk pengajian, TPA (Taman Pendidikan Alquran), serta kegiatan lainnya. Toleransi juga terlihat dalam kehidupan bermasyarakat sehingga peribadatan kedua umat beragama hingga saat ini dapat berjalan lancar. Kerukunan dan toleransi dipaparkan oleh Nashir. Ia menceritakan, suatu saat perayaan Idul Fitri jatuh pada hari Minggu, di mana saat tersebut umat Nasrani juga melakukan kegiatan peribadatan di pagi hari. "Saat itu pihak gereja langsung telepon kami dan menanyakan apakah benar Idul Fitri jatuh hari Minggu. Kemudian mereka dengan rela hati memundurkan jadwal peribadatan paginya menjadi siang. Itu agar kami leluasa menjalankan Salat Idul Fitri," kisah Nashir. Ditemui terpisah, Pendeta GKJ Joyodiningratan, Nunung Istining Hyang yang mengakui jika kerukunan dan toleransi tersebut sudah berlangsung lama. Ia menceritakan, saat ada acara peribadatan umat Nasrani, umat Muslim juga mempersilakan halaman depan masjid untuk tempat parkir. "Kalau ada perayaan Natal atau Paskah, biasanya halaman depan masjid kita pakai untuk tempat parkir. Kami saling memberi kesempatan untuk berkegiatan sehingga peribadahan dapat berjalan lancar. Kalau ada pihak yang mengganggu kerukunan dan toleransi, kami akan secara bersama-sama mengatasinya," jelasnya. Umat Islam dan Katolik di Malang



Gereja. ©2012 Merdeka.com/dok Pelaksanaan Salat Idul Fitri beberapa hari lalu Masjid Jami' Kota Malang biasa memanfaatkan halaman gereja Katolik Paroki 'Hati Kudus Yesus' sebagai tempat salat. Kejadian seperti ini sudah terjadi sekian tahun lamanya. "Beberapa masjid sudah lama bekerja sama dengan gereja, termasuk masjid Sabilillah di Blimbing dengan gereja Albertus di depannya," kata Ketua FKUB Kota Malang, Joko Santoso Perlu diketahui, karena jumlah jamaah salat Idul Fitri 1436 H di Masjid Agung Jami Kota Malang membludak, panitia memanfaatkan halaman gereja. Jamaah meluber hingga halaman Gereja Katolik Paroki 'Hati Kudus Yesus' yang berjarak 100 meter. Yohanes Kristiawan, penjaga gereja menceritakan, masyarakat memenuhi halaman gereja sejak pukul 05.00 WIB. Gerbang gereja yang memang sengaja dibuka, langsung dipenuhi



masyarakat. Halaman gereja tersebut memang sudah biasa dimanfaatkan untuk Salat Idul Fitri setiap tahun. Masyarakat pun bisa khusuk mengikuti salat sampai selesai. "Mereka langsung menggelar tikar, sajadah dan kertas koran yang sudah dibawa untuk alas salat," ujarnya. Ketua Takmir Zainudin Abdul Muchid mengatakan kalau sudah lama terjalin kerja sama antara masjid jami dan gereja 'Hati Kudus Yesus. Kasus jamaah yang salat di halaman gereja merupakan yang sudah terbangun sekian lama. Masjid Jami merupakan masjid tertua di Kota Malang dengan dikelilingi oleh gereja. Usianya sudah lebih dari seabad, sehingga komunikasi sudah sekian tahun terjalin. "Kalau rukun dilihat juga enak, masyarakat juga senang pemimpinnya rukun," katanya. Warga Tionghoa dan umat Hindu di Kuta



Il ustrasi Imlek. ©Shutterstock/Thong Wing Hoong Jelang perayaan Imlek yang jatuh pada 19 Februari lalu kesibukan sudah mulai nampak di berbagai Kongco di Bali. Tidak terlepas juga adanya Kongco Dwipayana Tanah Kilap, Kuta Bali. Bahkan kegiatan upacara sudah mulai berlangsung sejak Senin (16/2) lalu, di griya Kongco ini. "Untuk hari ini hanya mempersiapkan perayaan malam tahun baru. Kita mulai siapkan sejumlah lampion," terang Ratu Bagus Adnyana, pemangku di Griya Dwipayana, Rabu(18/2) di Tanah Kilap Kuta. Katanya Griya yang dibangun tahun 1999 ini, seiring dengan pelepasan Pura Narmada Tanha Kilap yang terletak di sebelah Kongco. Griya yang terletak di tepi bendungan Tukad Badung, sedikitnya ada 28 tempat pemujaan yang dilakukan di Griya ini. Bahkan berikut urutan dan tata cara meletakkan dupa juga sudah dituntun, sehingga siapapun yang akan melakukan pemujaan tidak lagi dibingungkan harus kemana lebih dahulu menghaturkan puja. Hal menarik di areal Kongco yang dikenal nama 'Ling Sii Miao', juga terdapat bangunan pelinggih Padmasana dan Betara Lingsir tempat pemujaan bagi umat Hindu Bali. "Di sinilah letak perpaduan dan keeratan hubungan kami, intinya semua sama dan tertuju kepada hal yang sama dengan penuh kasih sayang," tutur Ratu Bagus. Selain itu juga ada tempat pemujaan 7 Bidadari yang dipercaya memberikan cinta kasih kerejekian dan peningkatan spiritual. "Biasanya umat Hindu yang datang ke Kongco ini sehabis dari Padamasana langsung menghaturkan bhaktinya ke Tuju Bidadari," ungkapnya. Dijelaskannya, setiap hari-hari besar umat Hindu di Bali Kongco ini ramai dipadati umat Hindu. "Menariknya saat hari sembahyangan umat Hindu, saling berbaur dengan warga kami yang juga sembahyangan," ungkap pemangku di Kongco Dwipayana.