Induksi Dan Augmentasi Persalinan - Reunita Constantia Amiman [PDF]

  • 0 0 0
  • Suka dengan makalah ini dan mengunduhnya? Anda bisa menerbitkan file PDF Anda sendiri secara online secara gratis dalam beberapa menit saja! Sign Up
File loading please wait...
Citation preview

Referat



Kepada Yth : ............................................. Dibacakan tanggal :



INDUKSI DAN AUGMENTASI PERSALINAN



Oleh : Reunita Constantia Amiman



Pembimbing : Prof. Dr. dr. Eddy Suparman , SpOG(K)



PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS – I BAGIAN / SMF OBSTETRI – GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SAM RATULANGI RSUP PROF. DR. R.D. KANDOU MANADO



1



BAB I PENDAHULUAN Persalinan adalah rangkaian proses yang berakhir dengan pengeluaran hasil konsepsi oleh ibu. Proses ini dimulai dengan kontraksi persalinan yang ditandai dengan perubahan progresif pada seviks dan diakhiri dengan proses persalinan. Kehamilan mempunyai batas waktu tersendiri yang ditentukan oleh kemampuan uterus untuk meregang, perubahan hormon progesteron yang menurun, peningkatan produksi hormon oksitosin, peningkatan hormon prostaglandin, dan pengaruh dari hipotalamus.1 Induksi persalinan merupakan salah satu intervensi obstetrik yang paling sering diterapkan di seluruh dunia.2 Induksi merupakan stimulasi kontraksi sebelum onset persalinan spontan, dengan atau tanpa ketuban pecah. Ketika serviks tertutup dan tidak terbuka, induksi persalinan akan sering dimulai dengan pematangan serviks, suatu proses yang umumnya menggunakan prostaglandin untuk melunakkan dan membuka serviks. Augmentasi mengacu pada peningkatan kontraksi spontan yang dianggap tidak memadai karena kegagalan dilatasi serviks dan penurunan janin.3 Induksi persalinan telah menjadi semakin umum di Amerika Serikat dengan sebanyak satu dari lima kehamilan berakhir dengan induksi persalinan.5 Di Amerika Serikat, insiden induksi persalinan meningkat lebih dari dua kali lipat dari 9,5 persen pada tahun 1991 menjadi 23,2 persen pada tahun 2011. Di Parkland Hospital, sekitar 35 persen persalinan diinduksi atau diaugmentasi. Sebagai perbandingan, University of Alabama di Rumah Sakit Birmingham, jumlah persalinan diinduksi pada sekitar 20 persen wanita, dan 35 persen lainnya diberikan oksitosin untuk augmentasi—total 55 persen.3 Data menunjukkan bahwa 1 dari 5 wanita hamil akan menjalani proses persalinan dengan induksi persalinan dan 3040% wanita melahirkan akan dilakukan induksi persalinan.6 Oksitosin adalah zat yang paling banyak digunakan pada ibu untuk mempercepat proses kelahiran oleh dokter di bidang obstetrik. Penelitian terbaru menunjukan bahwa oksitosin digunakan lebih dari 50% ibu yang melahirkan di rumah sakit.6 Persalinan induksi di negara berkembang mencapai 25%.



2



Diperkirakan bayi yang lahir secara induksi dengan perbandingan 1:4. Survey WHO dari sekitar 300.000 persalinan, 9,6% bersalin dengan induksi. Persalinan induksi umumnya di lakukan pada partus lama, kehamilan lewat waktu, ketuban pecah dini (KPD), hipertensi, dan komplikasi lainnya. Angka di negara Afrika cenderung lebih rendah jumlah induksi (terendah Nigeria 1,4%), dibandingkan Asia dan Amerika latin (tertinggi Srilanka 35,5%), Mesir (9,3%).7 Tujuan dari induksi persalinan adalah untuk merangsang kontraksi uterus dengan bantuan farmakologi medis atau tindakan medis sebelum onset persalinan normal walaupun induksi persalinan dianjurkan ketika resiko melanjutkan kehamilan lebih besar daripada proses persalinan namun sebaiknya perlu dipertimbangkan dengan pendekatan yang aman dan efisien, serta mempunyai manfaat lebih besar bagi kesehatan ibu dan bayi baru lahir.8 Induksi persalinan biasanya dilakukan jika risiko menunggu persalinan spontan dinilai lebih besar daripada risiko memperpendek durasi kehamilan.9 Augmentasi



persalinan



adalah



proses



merangsang



rahim



untuk



meningkatkan frekuensi, durasi dan intensitas kontraksi setelah dimulai awitan persalinan spontan. Umumnya telah digunakan untuk tatalaksana persalinan yang tertunda karena kontraksi uterus yang tidak adekuat dinilai adalah penyebabnya. Metode tradisional adalah dengan penggunaan infus oksitosin intravena dan ketuban pecah buatan (amniotomi).10 Kesuksesan induksi persalinan dapat dipengaruhi beberapa hal yaitu tingkat kematangan serviks, paritas, BMI, usia ibu, perkiraan berat janin, dan diabetes.8 Skor Bishop dikembangkan pada tahun 1964 sebagai prediktor untuk keberhasilan induksi. Sistem penilaian awal kematangan serviks lalu ditentukan menggunakan 5 determinan (dilatasi, penipisan, penurunan, posisi, dan konsistensi) yang mengaitkan nilai masing-masing determinan 0 hingga 2 atau 3 point (skor maksimal 13).



3



BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Induksi dan Augmentasi Induksi persalinan adalah upaya menstimulasi uterus untuk memulai terjadinya persalinan. Sedangkan augmentasi atau akselerasi persalinan adalah meningkatkan frekuensi, lama, dan kekuatan kontraksi uterus dalam persalinan. Induksi dimaksudkan sebagai stimulasi kontraksi sebelum mulai terjadi persalinan spontan, dengan atau tanpa rupture membrane. Augmentasi merujuk pada stimulasi terhadap kontraksi spontan yang dianggap tidak adekuat karena kegagalan dilatasi serviks dan penurunan janin.3 Induksi persalinan adalah upaya memulai persalinan dengan cara-cara buatan sebelum atau sesudah kehamilan cukup bulan dengan jalan merangsang timbulnya his.9 Secara umum induksi persalinan adalah berbagai macam tindakan terhadap ibu hamil yang belum inpartu, baik secara operatif maupun medisinal, untuk merangsang timbulnya atau mempertahankan kontraksi rahim sehingga terjadi persalinan. Atau dapat juga diartikan sebagai inisiasi persalinan secara buatan setelah janin viable. 2.2 Indikasi Induksi Persalinan Induksi diindikasikan hanya untuk pasien yang kondisi kesehatannya atau kesehatan janinnya berisiko jika kehamilan berlanjut. Induksi persalinan mungkin diperlukan untuk menyelamatkan janin dari lingkungan intra uteri yang potensial berbahaya pada kehamilan lanjut untuk berbagai alasan atau karena kelanjutan kehamilan membahayakan ibu. Adapun indikasi induksi persalinan yaitu ketuban pecah dini, kehamilan lewat waktu, oligohidramnion, preeklampsia berat, hipertensi akibat kehamilan, intrauterine fetal death (IUFD) dan pertumbuhan janin terhambat (PJT), insufisiensi plasenta dan umbilical abnormal arteri doppler.12 2.3 Kontraindikasi Induksi Kontra indikasi induksi persalinan serupa dengan kontra indikasi untuk menghindarkan persalinan dan pelahiran spontan. Diantaranya yaitu: disproporsi sefalopelvik (CPD), plasenta previa, gemelli, polihidramnion, riwayat sectio caesar klasik, malpresentasi atau kelainan letak, gawat janin, vasa previa, hidrosefalus,



4



dan infeksi herpes genital aktif.3 2.4 Komplikasi atau Risiko Komplikasi dapat ditemukan selama pelaksanaan induksi persalinan maupun setelah bayi lahir. Komplikasi yang dapat ditemukan antara lain: atonia uteri, hiperstimulasi, fetal distress, prolaps tali pusat, ruptur uteri, solusio plasenta, hiperbilirubinemia, hiponatremia, infeksi intra uterin, perdarahan post partum, kelelahan ibu dan krisis emosional, serta dapat meningkatkan sesar pada induksi elektif.3 2.5 Persyaratan Induksi Untuk dapat melaksanakan induksi persalinan perlu dipenuhi beberapa kondisi/persyaratan sebagai berikut: 12



a. Tidak ada disproporsi sefalopelvik (Cephalopelvic Disproportion/CPD) b. Sebaiknya serviks uteri sudah matang, yakni serviks sudah mendatar dan menipis, hal ini dapat dinilai menggunakan tabel skor Bishop. Jika kondisi tersebut belum terpenuhi maka kita dapat melakukan pematangan serviks dengan menggunakan metode farmakologis atau dengan metode mekanis.



c. Presentasi harus kepala, atau tidak terdapat kelainan letak janin. d. Sebaiknya kepala janin sudah mulai turun kedalam rongga panggul. Apabila kondisi-kondisi diatas tidak terpenuhi maka induksi persalinan mungkin tidak memberikan hasil yang diharapkan. Untuk menilai keadaan serviks dapat dipakai skor Bishop. Berdasarkan kriteria Bishop, yakni:



5



Sistem Bishop Score yang Digunakan untuk Serviks



Score 0



1



2



3



Posisi serviks



Posterior



Tengah



Anterior



-



Konsistensi serviks



Tebal



Sedang



Lunak



-



Effesement



0-30%



40-50%



60-70%



>=80%



Pembukaan



Tertutup



1-2 cm



3-4 cm



>=5 cm



Penurunan kepala



-3



-2



-1



+1, +2



Jika kondisi serviks baik (skor 5 atau lebih), persalinan biasanya indikasi dengan hanya menggunakan induksi.3 Sumber: Prawirohadjo. (2009). Ilmu Kebidanan. Yogyakarta: Yayasan Bina Pustaka



Tabel 1. Skor pelvik menurut Bishop



Gambar 1. Stasiun +1 dengan potongan frontal (kiri); stasiun -2 pada potongan lateral (kanan). Sumber: Blueprints Obstetrics & Gynecology, Boston: Blackwell Publishing.



Pada kebanyakan kasus, teknik yang digunakan untuk meningkatkan favorabillity atau kematangan serviks juga menstimulasi kontraksi. Jadi teknik tersebut dapat digunakan untuk menginduksi persalinan. Metode yang digunakan untuk mematangkan serviks meliputi preparat farmakologis dan berbagai bentuk distensi



6



serviks mekanis. Metode farmakologis diantaranya yaitu Pemberian Oksitosin Intravena, pemberian prostaglandin E2 (dinoprostone, cervidil, dan prepidil), prostaglandin El (Misoprostol atau cytotec), dan donor nitrit oksida. Sedangkan yang termasuk ke dalam metode mekanik yakni kateter trans servikal (kateter foley), ekstra amnionik salin infusion (EASI), dilator servikal higroskopik, dan stripping membran.3 2.6 Metode Induksi Ada dua cara yang biasanya dilakukan untuk memulai proses induksi, yaitu kimia dan mekanik. Namun pada dasarnya, kedua cara ini dilakukan untuk mengeluarkan zat prostaglandin yang berfungsi sebagai zat penyebab otot rahim berkontraksi. 2.6.1



Farmakologi atau Medikamentosa 2.6.1.1. Pemberian Oksitosin Intravena Tujuan induksi atau augmentasi adalah untuk menghasilkan aktivitas uterus



yang cukup untuk menghasilkan perubahan serviks dan penurunan janin. Sejumlah regimen oksitosin untuk stimulasi persalinan direkomendasikan oleh American College of Obstetricians and Gynecologists. Oksitosin diberikan dengan menggunakan protokol dosis rendah (1-4 mU/menit) atau dosis tinggi (6-40 mU/menit), awalnya hanya variasi protokol dosis rendah yang digunakan di Amerika Serikat, kemudian dilakukan percobaan dengan membandingkan dosis tinggi, dan hasilnya kedua regimen tersebut tetap digunakan untuk induksi dan augmentasi persalinan karena tidak ada regimen yang lebih baik dari pada terapi yang lain untuk memperpendek waktu persalinan.3 Oksitosin digunakan secara hati-hati karena gawat janin dapat terjadi dari hiperstimulasi. Walaupun jarang, ruptur uteri dapat pula terjadi, terlebih pada multipara. Untuk itu tetap dilakukan observasi yang ketat pada ibu yang mendapat oksitosin.12 Dublin (tahun 1984) menguraikan protokol untuk penatalaksanaan aktif persalinan yang menggunakan oksitosin dosis awal dan tambahan 6 mU/menit. Dan di Parkland Hospital melakukan evaluasi regimen oksitosin dengan dosis tersebut, peningkatan dengan interval 20 menit jika diperlukan, menghasilkan rata-rata waktu masuk ke persalinan yang



7



lebih singkat, lebih sedikit induksi yang gagal, dan tidak ada kasus sepsis neonatus. Dan dengan percobaan pada sampel yang berbeda, mereka yang mendapat regimen 6 mU/menit memiliki durasi waktu persalinan yang lebih singkat, persalinan forseps yang lebih sedikit, pelahiran caesar karena distosia yang lebih sedikit, dan menurunnya korioamnionitis intrapartum atau sepsis neonatorum.3,12 Dengan demikian, manfaat yang lebih banyak didapatkan dengan memberikan regimen dosis yang lebih tinggi dibandingkan dosis yang lebih rendah. Di Parkland hospital penggunaan regimen oksitosin dengan dosis awal dan tambahan 6 mU/menit secara rutin telah dilakukan hingga saat ini. Sedangkan di Birmingham Hospital di University Alabama memulai oksitosin dengan dosis 2 mU/menit dan menaikkannya sesuai kebutuhan setiap 15 menit yaitu menjadi 4, 8, 12, 16, 20, 25, dan 30 mU/menit. Walaupun regimen yang pertama tampaknya sangat berbeda, jika tidak ada aktivitas uterus, kedua regimen tersebut mengalirkan 12 mU/menit selama 45 menit ke dalam infus.3 Jika setelah mengikuti protokol tetap belum terbentuk pola kontraksi yang baik



dengan



penggunaan



konsentrasi oksitosin yang tinggi maka



pada



multigravida induksi dinyatakan gagal, dan lahirkan janin dengan section caesar. Jika masih tidak terbentuk kontraksi yang baik pada dosis maksimal, lahirkan janin melalui sectio caesar. Dalam pemberian infus oksitosin, selama pemberian ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu:



a. Observasi ibu selama mendapatkan infus oksitosin secara cermat. b. Jika infus oksitosin menghasilkan pola persalinan yang baik, pertahankan kecepatan infus yang sama sampai pelahiran.



c. Ibu yang mendapat oksitosin tidak boleh ditinggal sendiri d. Jangan menggunakan oksitosin 10 unit dalam 500 m1 (20 mIU/mL) pada multigravida dan pada ibu dengan riwayat section caesar. Peningkatan kecepatan infus oksitosin dilakukan hanya sampai terbentuk pola kontraksi yang baik, kemudian pertahankan infus pada kecepatan tersebut.



8



Regimen



Rendah



Tinggi



Dosis



awal



Penaikan dosis (mU/menit)



Interval (menit)



0,5 – 1,5



1



15-40



2



4,8,12,16,20,25,30



15



4



4



15



4,5



4,5



15-30



6a



6b



20-40c



(mU/menit)



a



Dosis awal 2 mU/menit digunakan di Brimingham Hospital University of Alabama dan dosis



awal 6 mU/menit digunakan di Parkland Hospital. b



Dengan hiperstimulasi dan setelah infus oksitosin dihentikan, infus dimulai lagi dengan dosis



setengah dari dosis sebelumnya dan dinaikkan 3 mU/menit. cHiperstimulasi lebih sering pada interval yang lebih pendek. Data dari Merrill dan Zlatnik (1999), Satin, dkk. (1992, 1994), serta Xenakis, dkk. (1995).3 Tabel 2. Regimen oksitosin dosis rendah dan tinggi pada induksi persalinan



(i)



Teori Mengenai Faktor yang Mempengaruhi Induksi Oksitosin a. Usia ibu Pada usia ibu yang relatif tua (≥ 35 tahun) dan usia anak terakhir sudah > 5 tahun, induksi oksitosin akan kurang berhasil sehingga dapat terjadi keluaran induksi berupa persalinan dengan tindakan. Hal ini disebabkan karena semakin tua usia, kondisi serviks semakin kaku sehingga menghalangi pembukaan atau pelebaran serviks.14 b. Paritas ibu Induksi oksitosin akan lebih berhasil pada ibu multipara daripada ibu primipara sehingga dapat terjadi keluaran induksi berupa persalinan secara spontan. Hal ini disebabkan karena pada ibu multipara sudah pernah terjadi pembukaan atau pelebaran serviks.14



9



c. Kadar hemoglobin (Hb) Induksi oksitosin akan lebih berhasil pada ibu dengan kadar Hb normal (tidak anemia) pada trimester ketiga yaitu 10,5 g/dL sehingga dapat terjadi keluaran induksi berupa persalinan secara spontan. Sedangkan pada ibu dengan kadar Hb 35 tahun),



10. Penyakit ginjal kronis, 11. Gerak janin menurun, 12. Anemia berat pada ibu, 13. Pasien antepartum yang berisiko tinggi (ketuban pecah dini, kelahiran prematur dan perdarahan). Uji stres kontraksi (contraction stress test) merupakan uji pemantauan kehidupan janin berdasarkan respon denyut jantung janin terhadap kontraksi uterus. Karena adanya kontraksi uterus menyebabkan oksigenasi ke janin memburuk. Saat tekanan cairan amnion meningkat bersamaan dengan kontraksi uterus, tekanan miometrium akan lebih tinggi daripada tekanan pembuluhpembuluh yang berjalan sepanjang otot uterus dan menyebabkan pembuluh-pembuluh tersebut kolaps dan akhirnya mengisolasi ruang antar vilus kemudian terjadi periode singkat gangguan pertukaran oksigen, dan terdapat patologi uteroplasenta, sehingga terjadi deselerasi lambat frekuensi denyut jantung janin. Merupakan deselerasi yang dimulai terlambat dalam fase kontraksi, sampai pada titik terendah setelah puncak kontraksi dan biasanya bertahan melewati akhir kontraksi.3,12 Dilakukan induksi kontraksi dengan pemberian oksitosin intravena, dan respons denyut jantung janin direkam menggunakan pemantauan standar. Frekuensi denyut jantung janin dan kontraksi uterus secara bersamaan direkam oleh suatu monitor eksternal. Apabila terdapat paling sedikit tiga kontraksi spontan yang berlangsung minimal 40 detik dalam 10 menit, stimulasi terhadap uterus tidak lagi diperlukan. Apabila jumlah kontraksi kurang dari tiga kali dalam 10 menit, dilakukan induksi dengan oksitosin atau stimulasi puting payudara. Pemeriksaan umumnya diulang setiap



11



minggu, dan pemeriksa menyimpulkan bahwa hasil uji stress kontraksi yang negatif (normal) dapat menggambarkan kesehatan bayi. Salah satu kekurangan yang disebutkan adalah bahwa rata-rata uji stress kontraksi memerlukan waktu 90 menit.12 Stimulasi



puting



payudara



dapat



digunakan



untuk



menggantikan oksitosin sebagai pemicu kontraksi uterus. Salah satu metode yang dianjurkan adalah bahwa wanita yang bersangkutan mengusap salah satu puting payudara dibalik bajunya selama 2 menit atau sampai kontraksi dimulai. Ia diminta untuk mengulang kembali setelah 5 menit apabila stimulasi pertama tidak memicu tiga kontraksi dalam 10 menit. Keunggulan cara ini antara lain adalah biaya yang lebih murah dan waktu pengujian yang lebih singkat. Walaupun ada penelitian melaporkan bahwa stimulasi puting payudara dapat menyebabkan hiperstimulasi uterus dan gawat janin yang tidak dapat diduga, namun peneliti lain tidak menemukan bahwa aktivitas uterus yang berlebihan akibat stimulasi pting payudara membahayakan janin.12 Uji stress kontraksi diinterpretasikan berdasarkan ada dan tidak adanya deselerasi lambat denyut jantung janin. Hasil dari uji stress kontraksi dikategorikan sebagai berikut:3,12 a.



Negatif: tidak ada deselerasi lambat atau deselerasi variabel yang signifikan



b.



Positif: deselerasi lambat mencapai 50% atau lebih dari kontraksi (terjadi bila frekuensi kontraksi kurang dari 3 dalam 10 menit)



c.



Equivocal suspicious: deselerasi lambat intermiten atau deselerasi variabel yang signifikan.



d.



Equivocal hyperstimulatori: deselerasi denyut jantung yang terjadi saat terjadinya kontraksi yang lebih sering setiap menit atau selama 90 detik



12



e.



Tidak memuaskan: kurang dari 3 kontraksi dalam 10 menit atau uninterpretable tracing. Kontraindikasi relatif uji stress kontraksi pada kondisi yang



berhubungan dengan peningkatan risiko persalinan prematur, ruptur uteri atau perdarahan uteri, yaitu:3,8 1.



Pasien dengan risiko tinggi lahir belum waktunya,



2.



Ruptur membran preterm,



3.



Riwayat pembedahan uterus atau persalinan seksio sesaria,



4.



Plasenta praevia.



2.6.1.2 Prostaglandin E2 (PGE2) PGE2 tersedia dalam bentuk gel atau pesarium yang dapat dimasukkan intravaginal atau intraserviks. Gel atau pesarium ini yang digunakan secara lokal akan menyebabkan pelonggaran kolagen serviks dan peningkatan kandungan air di dalam jaringan serviks. PGE2 memperlunak jaringan ikat serviks dan merelaksasikan serabut otot serviks, sehingga mematangkan serviks. PGE2 ini pada umumnya digunakan untuk mematangkan serviks pada wanita dengan nilai bishop 5). Amniotomi pada dilatasi serviks



18



sekitar 5 cm akan mempercepat persalinan spontan selama 1 sampai 2 jam, bahkan penelitian acak dari 209 perempuan yang menjalani induksi persalinan baik itu amniotomi dini pada dilatasi 1-2 cm ataupun amniotomi lanjut pada dilatasi 5 cm didapatkan awitan persalinan yang lebih singkat yakni 4 jam.3,8 Namun ada komplikasi atau resiko yang dapat timbul setelah dilakukan amniotomi yakni: sekitar 0,5 % terjadi prolaps tali pusat, infeksi (jika jangka waktu antara induksi- persalinan > 24 jam), perdarahan ringan, perdarahan post partum (resiko relatif 2 kali dibandingkan dengan tanpa induksi persalinan), hiperbilirubinemia neonatus (Bilirubin > 250 pmoL/L). 3,8



19



2 Evaluasi Periksa kesejahteraan janin



1 Pasien hamil dengan indikasi untuk induksi persalinan



Ya



Apakah serviks favorable untuk induksi persalinan



Tidak



Pematangan serviks a. Metode mekanik (membrane sweep) b. Metode farmakologi (Prostaglandin, Misoprostol)



INDUKSI PERSALINAN a. Metode mekanik (amniotomi) b. Metode farmakologi (oksitosin IV)



Apakah persalinan maju?



Tidak



Gagal Induksi: Periksa kembali kondisi ibu dan janin Evaluasi kembali indikasi & metode induksi Percobaan induksi kembali CS



Ya



Monitor Kemajuan dan Proses Persalinan



Ya



Apakah serviks dilatasi dan persalinan maju?



-



20



Metode farmakologi: Dapat diulang Prostaglandin (tab/gel) setelah 6-12 jam Oksitosin IV dipakai jika Prostaglandin gagal menginduksi kontraksi uterus, namun serviks favorable



BAB III KESIMPULAN



Induksi persalinan merupakan salah satu intervensi obstetris yang paling sering diterapkan di seluruh dunia.2 Induksi merupakan stimulasi kontraksi sebelum onset persalinan spontan, dengan atau tanpa ketuban pecah. Ketika serviks tertutup dan tidak terbuka, induksi persalinan akan sering dimulai dengan pematangan serviks, suatu proses yang umumnya menggunakan prostaglandin untuk melunakkan dan membuka serviks. Augmentasi mengacu pada peningkatan kontraksi spontan yang dianggap tidak memadai karena kegagalan dilatasi serviks dan penurunan janin.3 Kontra indikasi induksi persalinan serupa dengan kontra indikasi untuk menghindarkan persalinan dan pelahiran spontan. Diantaranya yaitu: disproporsi sefalopelvik (CPD), plasenta previa, gemelli, polihidramnion, riwayat sectio caesar klasik, malpresentasi atau kelainan letak, gawat janin, vasa previa,hidrosefalus, dan infeksi herpes genital aktif.3 Komplikasi dapat ditemukan antara lain: atonia uteri, hiperstimulasi, fetal distress, prolaps tali pusat, ruptur uteri, solusio plasenta, hiperbilirubinemia, hiponatremia, infeksi intra uterin, perdarahan post partum, kelelahan ibu dan krisis emosional, serta dapat meningkatkan sesar pada induksi elektif.3 Ada dua cara proses induksi. Secara farmakologis/medikamentosa, yaitu pemberian Oksitosin Intravena, penggunaan prostaglandin E2 (PGE2), prostaglandin E1 (PGE1), donor Nitrit Oksida, dan. Secara mekanis dengan kateter trans servikal (Kateter Foley), dilator servikal higroskopik (batang laminaria), stripping membrane, dan induksi amniotomi.



21



BAB IV DAFTAR PUSTAKA



1. Varney, Helen. 2004. Ilmu Kebidanan (Varney’s Midwife 3rd ed). Bandung : Sekeloa Publisher 2. Gommers, J. S., Diederen, M., Wilkinson, C., Turnbull, D. & Mol, B. W. (2017). Risk of Maternal, Fetal and Neonatal Complications Associated with the Use of the Transcervical Balloon Catheter in Induction of Labour: A Systematic review. European Journal of Obstetrics and Gynecology and Reproductive Biology, 218, 73-84 3. Cunningham, F. G., Leveno, K. J., Bloom, S. L., Hauth, J. C., Gilstrap, L., & Wenstrom, K. D. (2014). Pregnancy Hypertension. Dalam F. G. Cunningham, K. J. Leveno, S. L. Bloom, J. C. Hauth, L. Gilstrap, & K. D. Wenstrom (Penyunt.), Williams Obstetrics (24th Edition ed.). New York: The McGraw-Hill Companies. 4. World Health Organization. Maternal Mortality. In: Reproduction Health and Research, editor. Geneva: World Health Organization; 2014 5. Bomba-opoń, D., Drews, K., Huras, H., Laudański, P., Paszkowski, T. P. & Wielgoś, M. (2017). Polish Gynecological Society Recommendations for Labor Induction. Ginekologia Polska, 88, 224-234 6. Christina A. Penfield DAW. Labor Induction Techniques: Which Is the Best? Obstetrics and Gynecology Clinics of North America. 2017;Vo1ume 44, 2017 (Issue 4):567-82. 7. WHO. (2011). Who Recommendations for Induction of Labour, Geneva: World Health Organization 8. WHO. (2014). Recommendations for Augmentation of Labour, Geneva: World Health organization. 9. Sinclair, Constance (2010) Buku Saku Kebidanan. Meiliya, E. & Wahyuningsih, E. eds. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 10. Oxorn, H. 2010. Ilmu Kebidanan Patologi Dan Fisiologi Persalinan. Yogyakarta : Yayasan Essentia Medica. 11. Saifuddin, A. B. (2010). Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 12. Manuaba IBG, Manuaba IAC, Manuaba IBGF. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta: EGC; 2007: 450-55, 800-9



22



13. Saifuddin AB, Rachimhadhi T, Wiknjosastro GH. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo Edisi 4 Cetakan 2. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2009: 620-28, 685-95, 774-99. 14. Hoffbrand AV, Pettit JE, Moss PAH. Kapita Selekta Hematologi Edisi 4. Jakarta: EGC; 2004: 13-9, 300-2. 15. Zhang J, Branch DW, Ramirez MM, Laughon SK, Reddy U, Hoffman M, et al. Oxytocin regimen for labor augmentation, labor progression, and perinatal outcomes. Obstet Gynecol. 2011; 118(2):249-56. 16. Manuaba, IGB. 2007. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta : EGC.



23